Anda di halaman 1dari 3

Ujian Akhir Semester (UAS)

Filsafat Hukum
16 Desember 2020 (08.00 – 16.00)
IGAM Wardana, Ph.D.

Nama : ARIF AKBAR KURNIA


Kelas : Filsafat Hukum B
NIM : 20/461520/HK/22538
Presensi : 60

Jawablah pertanyaan berikut dengan elaborasi!

1. Ilmu Hukum Sosiologis (Sociological Jurisprudence) bermaksud untuk mengisi


kesenjangan yang terjadi dalam perdebatan klasik antara Positivisme Hukum dan Hukum
Kodrat. Bagaimana Ilmu Hukum Sosiologis ini mengisi kesenjangan tersebut dan apa
kontribusinya dalam studi Filsafat Hukum? (20 Poin)
Jawab:
Perdebatan Positivisme Hukum dengan Hukum Kodrat terbatas pada abstraksi
pemikiran hukum ideal yang tidak sesuai dengan realitas. Sociological Jurisprudence
kemudian melihat hukum sebagai norma/aturan yang tumbuh di masyarakat dengan
menjembatani hukum dari aspek sosial.
Jembatan hukum dari aspek sosial memberikan corak hukum sebagai kenyataan
masyarakat, baik dari kebiasaan, kondisi ekonomi, dan sosial budaya, di mana kenyataan
tersebut tidaklah sama dengan yang lainnya. Oleh karena berdasarkan Sociological
Jurisprudence hukum itu dipandang berdasarkan konteks sosial di masyarakat, maka
hukum itu dapat dimaknai, ditaati, dan berlaku efektif dalam suatu masyarakat. Contoh,
Hukum Pidana Indonesia mengadopsi Hukum Pidana Belanda yang artinya secara moral
tidak berbeda dengan Belanda di mana tindakan pencurian, pembunuhan, dan perkosaan
sama-sama patut dihukum. Namun, kenyataannya output dari hukum yang bermoral sama
itu berbeda di tempat yang berbeda pula. Di Belanda penjara sepi, bahkan menawarkan
sewa kepada negara lain, sedangkan di Indonesia overkapasitas lapas justru terjadi. Hal ini
dikarenakan konteks sosial yang berbeda. Contoh, secara ekonomi Belanda lebih well-
established dari segi kesejahteraan ekonomi daripada Indonesia sehingga tingkat kejahatan
properti akan berbeda pula. Contoh, dari segi budaya orang Belanda mencintai kerapian,
ketertiban, dan memiliki rasa dan kesadaran hukum yang lebih tinggi daripada Indoneisia
sehingga output dari hukum, walaupun secara substansi moral sama, akan berbeda pada
kondisi sosial yang berbeda pula.
Kontribusi dari Sociological Jurisprudence dalam Filsafat Hukum adalah bahwa
Sociological Jurisprudence menunjukkan relasi yang tidak bisa dipisahkan antara tata
hukum dan tata sosial dalam masyarakat. Ia membuktikan bahwa lawyer’s law bukan satu-
satunya hukum yang hidup dan menentukan struktur hukum di masyarakat. Namun,
Sociological Jurisprudence mengkaji dinamika dan sifat adaptif tata hukum, hukum
sebagai fenomena sosial memiliki karakteristik sendiri yang perkembanganya tidak
ditentukan semata-mata oleh pembuat hukum. Ia juga membuktikan kelemahan Filsafat
Hukum yang mambatasi pembatasan kajian hukum yuridis murni atau terbatas pada law
in text. Sementara itu, contoh kontribusi tokoh Roscoe Pound dalam Filsafat Hukum
adalah tujuan hukum sebagai penegah kepentingan individu-individu, hukum harus stabil
tetapi dinamis, hukum sebgaai alat rekayasa sosial.

2. “The majestic equality of the laws prohibits the rich and the poor alike from sleeping under
bridges, begging in the streets, and stealing bread” (Anatole France). Diskusikan
pernyataan tersebut menggunakan perspektif Studi Hukum Kritis (Critical Legal Studies)!
(30 Poin)
Jawab:
Pernyataan tersebut sangat utopis seolah-olah equality before the law sangat praktikal
dan aksesibel oleh segala layer masyarakat. Hukum buta akan segmentasi sosial, tetapi
menutupinya dengan indoktrinasi jahat (equality before the law itu sendiri) untuk
mencapai dominasi sistem.
Hukum seakan-akan melihat masyarakat ada pada posisi yang sama dan menjanjikan
kepastian prinsip non-diskriminasi. Padahal, realita implementasinya, hukum itu berlaku
diskriminatif. Kaya dan miskin adalah produk dari hukum itu sendiri. Contoh, hukum
menjamin suatu kepemilikan. Ada orang (Si kaya) yang memiliki resource besar seperti
tanah, usaha yang terus menerus diakumulasikan. Kepemilikan si kaya yang terus
diakumulasikan tersebut dilindungi oleh hukum keberlangsungannya. Dalam lain sisi, si
miskin yang tidak berkepemilikan akan bergantung pada si kaya dengan menjual
tenaganya, menyerahkan dirinya untuk dieksploitasi. Relasi si kaya dan si miskin akan
terus berlangsung, dilindungi oleh hukum, dan hanya akan membuat si kaya semakin kaya,
sedangkan si miskin tidak akan semakin kaya. Contoh, relasi buruh pabrik dengan pemberi
kerja, relasi buruh petani sawit dengan perusahaan. Oleh karena itu, hukum seakan-akan
mangasumsikan bahwa kesenjangan tidak pernah ada, padahal hukum hanya memberikan
fasilitas bagi si kaya saja. Hukum memformalkan penindasan dengan membuatnya
dihormati melalui indoktrinasi.
Oleh karena urgensi itu, timbul Critical Law studies yang mengeluarkan manifesto
untuk mengeksplorasi dan mengkritik bagaimana sistem hukum menindas disahkan
melalui doktrin, legal studies, dan institusi dan instrumen hukum. Melalui Critical Law
studies pula suatu hukum yang beremansipasi didiskusikan.

3. Agni adalah mahasiswi UGM. Saat mengikuti Kuliah Kerja Nyata (KKN), Agni diperkosa
oleh teman laki-lakinya. Setelah lama memandam pengalaman pahit tersebut, Agni
akhirnya melaporkan kejadian tersebut kepada pihak universitas namun laporan tersebut
tidak ditindaklanjuti dengan serius dan menilai kejadian tersebut sebagai cinta lokasi. Agni
pun melaporkan ke pihak kepolisian. Ia pun kecewa dengan perlakuan pihak polisi yang
justru menggoda dirinya dan meminta menyiapkan barang bukti bahwa ia telah diperkosa.
Menurut polisi, apabila ia gagal membuktikannya, Agni dapat dituduh telah melakukan
pencemaran nama baik pelaku. Bahkan ketika kasus tersebut viral di media sosial, Agni
dicemooh karena kejadian itu dianggap merupakan kesalahannya karena telah
menstimulasi pelaku dan ia dinilai berlebihan untuk mencari popularitas. Berikan
pandangan anda pada kasus ini menggunakan perspektif Feminist Jurisprudence! (30
Point).
Jawab:
Ilustrasi tersebut menggambarkan bobroknya kultur Indonesia yang patriarkis, ketidak
rasionalan aktor dalam tugasnya karena relasi kekuasaan, bahkan di bidang penegakan
hukum sekalipun sehingga keadilan tidak dapat ditegakkan sebagaimana saya uraikan
berikut:
1. Agni mengalami reifikasi dan dilema di mana tidak mendukungnya tatanan sosial dan
penegakan hukum terhadap kasus yang Ia alami. Sebagai korban Ia berada dalam
tekanan mental, dirundung rasa takut, gelisah akan kehilangan keprawananya
(stereotipe keprawanan menjadi isu publik bagi perempuan di Indonesia) sehingga Ia
tidak langsung melapor setelah kejadian. Pun ketika Ia siap melapor justru
mendapatkan cemooh, guyonan, label buruk, dan prejudis terhadapnya. Orang-orang
tidak memikirkan tekanan psikologis yang telah Ia alami. Hal ini memberikan beban
dan standar ganda bagi perempuan. Lalu, bagaimana dengan laki-laki? Apakah harus
menanggung seberat yang perempuan tanggung sekalipun menjadi pelaku
pemerkosaan? Laki-laki justru akan dicap sebagai “pemberani” (a true man) dan tidak
mendapatkan tekanan serta prejudis yang sama dengan perempuan. Di isnilah isu
feminisme berakar dalam kasus ini, di mana sekalipun perempuan menjadi kroban, Ia
tetap yang disalahkan, tidak memiliki jaminan hak dan perlindungan yang kuat karena
alasan lainnya yang berkembang di kultur masyarakat (victim blaming).
2. Agni sebagai korban dari dugaan tindakan pemerkosaan seharusnya mendapatkan
perlindungan dan pendampingan yang serius dan berkelanjutan dari kampus UGM atas
hak-haknya yang dirasa olehnya telah dirugikan. Kampus harus menengahi melalui
konsiliasi dan mempertimbangkan sanksi etik sebagai institusi pendidikan.
3. Polisi sebagai penegak hukum seharusnya mampu berperilaku rasional dan menegakan
perlindungan hak dalam menjalankan tugas kewajibannya sebagaimna diatur dalam
Pasal 28 G Ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 tentang HAM perlindungan pribadi dan
martabat.

Pandangan hukum yang dapat digunkanakn untuk menekan subordinasi wanita dalam
konteks masyarakat pada kasus ini adalah Radical Jurisprudence. Equality yang diberikan
liberal feminism tidak tercapai karena ketimpangan relasi (power) dan dominasi patriarki.
Laki-laki mendefinisikan perempuan sebagai aktor yang berbeda, tidak cakap, penuh
standar maka kesetaraan itu tidak akan pernah terjadi. Hukum yang terbentuk merupakan
sistem maskulin yang tidak bisa diubah dengan perempuan masuk ke dalam sistem lalu
memasukkan nilai-nilai feminim pada aturan dan prosedurnya.
Budaya patriarki yang mengakar pada masyarakat membuat tujuan hukum bias gender.
Perempuan akan selalu disalahkan dengan alasan tidak dapat memenuhi standar yang
dibuat oleh patriarkis. Contoh prempuan harus lemah, penurut, berpakaian tertutup.
Sementara itu, Laki-laki semakin mendominasi.

Catatan: lembar jawaban dalam format pdf dikumpulkan melalui Simaster pada Rabu, 16
Desember 2020, paling lambat pada pukul 16.00 WIB.

**********

Anda mungkin juga menyukai