Anda di halaman 1dari 11

Covid-19 dan adiksi

Mahua Jana Dubey, Ritwik Ghosh, Subham Catterjee, Payel Biswas, Subhankar Chatterjee,
Souvik Dubey
Abstrak:
Latar belakang dan tujuan: Penyakit Coronavirus 2019 (COVID-19) menjadi penyebab
psikososial yang tidak dapat diatasi dan berdampak pada seluruh umat manusia. Masyarakat
yang terpinggirkan, terutama yang mengalami gangguan penyalahgunaan napza (Substance
Use Disorder; SUD) , sangat rentan untuk tertular infeksi dan juga cenderung menderita
beban psikososial yang lebih besar. Artikel ini menganalisis hubungan dua arah yang rumit
antara COVID-19 dankecanduan.
Metode: Mencari di Pubmed dan Google Scholar dengan istilah kunci berikut- "COVID-19",
"SARS-CoV2", "Pandemic", "Addiction", "Opioid", "Alcohol", "Smoking", "Addiction
Psychiatry", "Deaddiction", "Gangguan penggunaan zat", "Kecanduan perilaku". Beberapa
laporan surat kabar terkait dengan COVID-19 dan kecanduan juga telah ditambahkan sesuai
konteks.
Hasil: Orang dengan SUD berisiko lebih besar mengalami hasil COVID-19 yang lebih buruk.
Terdapat peningkatan perilaku adiksi (baik baru maupun kambuh) termasuk perilaku adiksi
dalam periode ini. Peningkatan kasus kegawatdaruratan withdrawal dan kematian juga
semakin banyak dilaporkan. Orang yang mengalami adiksi khususnya menghadapi kesulitan
dalam mengakses layanan kesehatan yang membuat mereka rentan untuk mendapatkan obat-
obatan dengan cara ilegal.
Kesimpulan: COVID-19 dan adiksi adalah dua pandemi yang berada di ambang bertabrakan
yang dapat menyebabkan ancaman kesehatan masyarakat mayor. Walaupun segala upaya
harus dilakukan untuk menyadarkan masyarakat akan efek SUD yang merugikan pada
prognosis COVID-19, dimulainya kembali layanan untuk detox, rehabilitasi, serta
aksesibilitas yang lebih mudah obat resep dibutuhkan saat ini.

1.Pendahuluan
“ …..Modern life, too, is often a mechanical oppression and liquor is the only mechanical
relief. Let me know if my books make any money and I will come to Moscow and we will
find somebody that drinks and drink my royalties up to end the mechanical oppression.” -
Earnest Hemingway in 1935.
Kata-kata dari novelis Amerika yang terkenal ini terdengar tidak asing hingga saat ini
mungkin lebih dari sebelumnya dalam sejarah kemanusiaan. Gangguan Penggunaan Zat
(SUD), ditandai dengan serangkaian gejala mental, fisik, dan perilaku, merupakan masalah
kesehatan serius yang diderita jutaan orang setiap tahunnya. Konsumsi alkohol dan obat-
obatan terlarang mencapai sekitar 1,5% dari beban penyakit global, dan bahkan menurut data
terbaru, angka tersebut dapat mencapai 5% di beberapa negara. Penyakit coronavirus 2019
(COVID-19) merupakan bencana kesehatan terbesar di zaman kita, dan menyebabkan
berbagai tantangan dalam berbagai bidang. Tindakan utama untuk mengendalikan wabah,
seperti isolasi diri di rumah yang berkelanjutan menyebabkan beban ekonomi dalam tingkat
komunitas dan akhirnya menyebabkan berbagai reaksi emosional, masalah psikologi,
perubahan perilaku termasuk penyalahgunaan zat yang berlebihan. Di sisi lain, penderita
SUD tecangkup dalam komunitas yang terpinggirkan dan selalu lebih rentan terhadap kontrak
infeksi selama pandemi COVID-19. Ulasan ini bertujuan untuk menyoroti hubungan dua arah
antara COVID-19 dan kecanduan, dan analisis bagaimana kedua ancaman ini berinteraksi
satu dengan lainnya untuk menimbulkan ancaman kesehatan masyarakat yang lebih besar.

2. Metode penelitian literature


Dilakukan pencarian pada Pubmed dan Google Scholar dengan kata kunci- "COVID-19",
"SARS-CoV2", "Pandemic",“Kecanduan”, “Opioid”, “Alcohol”, “Smoking”, “Addiction
Psychiatry”, "Deaddiction", "Substance use disorder", "Behavioral addiction" (jangka waktu-
1 November 2019 hingga 27 Mei 2020). Beberapa laporan surat kabar terkemuka terkait
dengan COVID-19 dan kecanduan juga ditambahkan bila dianggap sesuai.

3.Penyalahgunaan zat sebagai faktor risiko menderita SARS-SoV2

Orang dengan SUD berada pada risiko tinggi untuk infeksi paru karena
1) penyalahgunaan zat terkait kardio-paru yang sudah ada sebelumnya
2) disfungsi mukosiliar
3) imunitas terganggu
4) perubahan perilaku akan pencarian bantuan kesehatan dan akses pelayanan kesahatan yang
tidak memadai
5) kegagalan strategi rehabilitasi karena social distancing,
6) ketidakstabilan ringkungan rumah.
Orang dengan premorbid penyakit pernapasan dan jantung (misalnya penyakit paru obstruktif
kronik- PPOK, penyakit kardiovaskular) ditetapkan sebagai populasi berisiko tinggi untuk
mengidap Severe Sccute Respiratory System Corona Virus (SARS-CoV2) dan dapat
meningkatkan angka mortalitas. Karena SUD dikaitkan dengan kebanyakan penyakit cardio-
respiratori dan penyakit metabolisme, sangat mungkin bahwa orang dengan dengan SUD
junga mengalami peningkatan risiko COVID-19.

Merokok merupakan indikator prognostik yang buruk untuk COVID-19. Terlepas


dari risiko tradisional yang ditimbulkan oleh merokok pada kesehatan kardio-pulmoner,
faktor risiko spesifik terkait COVID-19 adalah peningkatan ekspresi Angiotensin Converting
Enzyme tipe 2 (ACE2) di antara perokok . Jalur niotinergik yang dimediasi overekspresi
ACE-2, reseptor putative untuk SARS-CoV2 mungkin terkait dengan peningkatan masuknya
virion. Belum publikasikan bilamana merokok merupakan faktor risiko independen untuk
COVID-19 dan tidak menjadi rancu berdasarkan usia, jenis kelamin, etnis dan komorbiditas.
Bukti kontradiktif dari non-asosiasi (terkadang bahkan asosiasi negatif) dari merokok dan
tingkat keparahan COVID-19 di juga telah meningkat, meskipun penelitian ini dibatasi oleh
populasi penelitian yang kecil dan heterogen, rendahnya pelaporan kasus merokok dan
kesalahan statistik. Penelitian di masa depan harus diarahkan untuk menggambarkan asosiasi
yang lebih ketat antara status merokok (saat ini dan masa lalu), yang berkaitan dengan
komorbiditas dan COVID-19, kemungkinan penularan SARS-CoV2 melalui perokok pasif,
bahaya rokok elektrik dan vaping. Berdasarkan beberapa data yang membingungkan
mengungkapkan hubungan negatif antara merokok dan COVID-19 dan fakta bahwa nikotin
mungkin memiliki efek imunomodulator untuk menumpulkan badai sitokin, terdapat ide-ide
baru yang muncul untuk menggunakan nikotin sebagai terapi melawan SARS-CoV2. Semua
temuan-temuan yang bertentangan dari studi harus dilakukan dengan sangat hati-hati
sehingga pesan yang salah atau menyimpang pada saat "infodemik" ini tidak mempengaruhi
langkah-langkah kesehatan masyarakat untuk mengurangi merokok.

Risiko kesehatan yang serupa mungkin dikenakan oleh konsumsi alkohol, meskipun
ada kekurangan data sistematis tentang konsumsi alkohol dan risiko COVID-19. Sistem
kekebalan yang tidak berfungsi, kekurangan vitamin, peningkatan risiko pneumonia aspirasi,
terkait penyakit hepar dan kardiometabolik, meningkatnya risiko trombosis- semua dapat
secara sinergis menyebabkan tingkat kesehatan akhir yang lebih buruk. Perhatian lebih harus
diambil terkait informasi yang salah seputar efek perlindungan alkohol terhadap COVID-19.
Pasien yang menggunakan opioid untuk terapi berisiko mengalami overdosis yang
fatal. Overdosis opioid dapat menyebabkan depresi pernapasan dan hipoksemia yang dapat
menyebabkan komplikasi kardiopulmoner dan neurologis dan memperburuk COVID-19
yang diderita.
Metamfetamin, obat yang semakin banyak disalahgunakan dapat menyebabkan
kerusakan paru, hipertensi pulmoner, dan kardiomiopati. Para ahli menyarankan untuk
mewaspadai kemungkinan risiko hasil COVID-19 yang lebih buruk pada pengguna
metamfetamin.
Perilaku yang terkait dengan penyalahgunaan zat meningkatkan kemungkinan
penyebaran virus dalam tingkat komunitas. Partikel bermuatan SARS-CoV-2 melayang
melalui vaping mephitic dan hembusan asap. Kebiasaan meludah berulang kali merupakan
kebiasaan di pengunyah tembakau. Risiko tinggi perilaku seperti berbagi rokok, alkohol, dan
jarum suntik dengan teman dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya wabah. Keputusan
yang diambil oleh Pemerintah adalah untuk membuka toko minuman keras untuk
meningkatkan ekonomi yang jatuh sangat dikeritik karena dapat menyebabkan kerumunan
besar di depan took minuman keras dan juga melanggar social distancing.

4. Peningkatan perilaku adiktif selama pandemi covid-19


Stresor akut dan kronis telah dikaitkan dengan mulainya pemakaian dan peemakaian
berjlanjut SUD di kalangan masyarakat umum. Modulasi serotonergik dari jalur
dopaminergik mengarah ke menurunnya aktivasi sirkuit mesolimbic rewards di otak orang
dengan depresi; dan zat adiktif seperti alkohol dan substansi lain menghasilkan aktivasi yang
produktif dari sistem reward yang menyebabkan kesenangan sementara bagi penggunanya.
Selain itu bila minuman beralkohol dikonsumsi untuk durasi yang lama dapat menghasilkan
adaptasi neuronal di jalur stres and reward dan meningkatkan respon neuroendokrin dengan
cepat dan reaktivitas stres, yang pada akhirnya memperberat keinginan kuat untuk
mengonsumsi alkohol pasa situasi stress.

Situasi unik akibat pandemi COVID-19 pada keadaan isolasi sosial jangka panjang,
physical distancing, dan lockdown berkepanjangan di banyak negara mengakibatkan berbagai
hal yang tidak diinginkan sehubungan dengan kesehatan dan kesejahteraan. Sebagian besar
populasi dunia telah bertemu penyebab stres psikososial baru seperti isolasi di rumah yang
berkepanjangan, depresi dan panik karena sifat penyakit yang tidak diketahui, takut tertular
infeksi, kerentanan, bekerja dari rumah, kecemasan mengenai pendapatan, takut kehilangan
pekerjaan. Selain itu, pengangguran mendadak menimbulkan kesulitan untuk orang-orang
dari kelompok berpenghasilan rendah seperti pengusaha kecil, pekerja migran dan pencari
nafkah harian menyebabkan kesulitan karena ketidakpastian masa depan. Orang yang
tertekan mungkin berlindung pada zat adiktif, yang mana saja yang murah dan mudah didapat
dan bisa menghilangkan perasaan negatif mereka. Hal ini berpotensi memicu perkembangan
SUD pada kelompok berisiko tinggi dan juga lonjakan insiden SUD di antara populasi umum.

Pihak berwenang di banyak negara menganggap alkohol dan tembakau sebagai


“komoditas esensial” yang selama lockdown mempromosikan bisnis mereka melalui
pelonggaran perizinan. Kabarnya lonjakan penjualan alkohol telah diamati dalam periode
lockdown, sekali lagi memperkuat asal-usul SUD dalam populasi. Klemperar et al. telah
mengungkapkan bahwa pencandu tembakau dan rokok elektronik merespon pada stressor
baru ini dengan meningkatkan jumlah dan frekuensi pemakaian. Disamping itu Klemperar et
al. juga menemukan hampir sepertiga responden menganggap periode ini sebagai kesempatan
untuk berhenti, sebuah penelitian analisis tren Google menunjukkan adanya peningkatan
pencarian internet terkait "Berhenti merokok". Ahli telah mewaspadai kemungkinan
peningkatan frekuensi merokok di antara perokok aktif dan kemungkinan lebih besar untuk
kambuh di antara mantan perokok. Peningkatan frekuensi minum minuman keras dan
merokok di rumah meningkatkan kemungkinan dampak negatif langsung pada anggota
keluarga, terutama anak-anak.
Gambar 1: Etiologi dari substance use disorder

*PTSD: post traumatic stress disorder

5. Efek merusak dari pandemi pada pecandu- saat agresi bertemu dengan
keputusasaan
Terjadi kekhawatiran luas bahwa fungsi fisik dan sosial serta kesejahteraan mental
pengguna zat dan pecandu akan sangat terpengaruh oleh krisis COVID-19. Larangan
perjalanan yang berkepanjangan di seluruh dunia telah membatasi pasokan zat rekreasi di
pasar, membuka jalan untuk masuknya pengganti yang tercemar dan beracun dengan harga
lebih murah di pasaran. Selain itu juga terdapat banyak laporan yang beredar bahwa
pengguna substansi mendapatkan kebutuhan mereka dengan harga sangat tinggi dan
terkadang sampai harus menggunakan cara ilegal. Hal ini memiliki implikasi jahat seperti
aktivitas terlarang dan hostile antar para pencandu, penumpukan stok substansi antar residen,
kerentanan dan kekurangan secara ekonomi lebih lanjut, dan peningkatan pemasaran di black
market. Baik ketidaktersediaan dan kelimpahan zat menyebabkan perubahan suasana hati
yang menyebabkan iritabilitas, agresi, prioritas yang salah, sikap tidak hormat secara umum
terhadap norma-norma sosial dan ketidakmampuan untuk menjunjung tinggi nilai-nilai
kekeluargaan di antara para pecandu. Beban ekonomi di balik penggunaan substansi yang
saat ini dijual dengan harga yang jauh lebih tinggi menyebabkan kekurangan secara ekonomi
bagi anggota keluarga yang menyebabkan ketidakharmonisan keluarga dan insiden kekerasan
dalam rumah tangga. Saat craving ada diluar kendali pasien, banyak pecandu sering
terdorong untuk merusak diri sendiri. Kombinasi alkohol dengan psikotropika lain dan obat-
obatan narkotika seringkali terbukti mematikan, dan sangat penting untuk segera mendapat
perhatian medis dalam kasus-kasus ini yang bisa menjadi sulit di tengah-tengah krisis
COVID. Selain itu, banyak orang dengan ketergantungan alkohol menggunakan minuman
beralkohol buatan sendiri, hand sanitizer (mengandung alkohol yang tidak dapat dimakan)
dan zat yang telah terbukti lebih buruk dan sering kali mematikan.
Banyak yang berpikir bahwa pada masa pandemi ini dalah saat yang tepat untuk
menyelesaikan masalah kecanduan karena adanya masalah sumber daya yang terhambat,
perubahan suasana, dan terbatasnya peer pressure, berkurang secara drastisnya acara yang
memungkinan orang-orang untuk berkumpul karena pematasan oleh pemerintah untuk
mengurangi transmisi COVID-19. Akses yang sulit mengurangi eksposure terhada substansi,
namunjuga menyebabkan craving dan efek withdrawal yang lebih menonjol. Rumah sakit di
India sudah menangani meningkatnya jumlah kasus withdrawal alkohol yang kadang-kadang
merenggut nyawa dan membebani sistem pelayanan kesehatan.
Gambar 2:Hubungan dua arah antara adiksi dan COVID-19

6. Perilaku Adiksi
Terlepas dari pandemi COVID-19 dan lonjakan SUD, "infodemic" dan kecanduan
internet bersama kecanduan perilaku lainnya telah muncul dalam bentuk yang belum pernah
terjadi sebelumnya. Pandemi COVID-19 dan lockdown telah menghasilkan arus tersembunyi
dari kecanduan perilaku yang cukup untuk mempengaruhi sebagian besar remaja dan dewasa
muda. Lockdown, isolasi, kehilangan pekerjaan, beban ekonomi stress, depresi, anxiety,
phobia, dan banyaknya waktu luang secara bersamaan menyebabkan kadaan yang kondusif
untuk tumbuhnya perilaku adiksi. Literatur menunjukkan bahwa penggunaan internet,
terutama website yang berhubungan dengan pornografi dan video game telah meningkat
dengan tajam dalam periode lockdown ini. Dalam kategori kecanduan perilaku, kecanduan
internet (khususnya penggunaan media sosial), seks internet, video game menduduki
peringkat paling tinggi. Selain dampak buruknya pada kesehatan mental, peningkatan waktu
di depan gadget menyebabkan aktivitas fisik menurun, kebiasaan makan berubah, dan ritme
sirkadian yang terganggu yang akhirnya menjadi gangguan kardiometabolik, obesitas,
diabetes. Karena beban finansial dan masalah masa depan yang tidak pasti, perjudian juga
semakin meningkat. Gangguan makan dan pembelian kompulsif mungkin lebih jarang
kejadiannya di India, namun semakin banyak dilaporkan di Negara-negara Barat. Pandemi
COVID 19 dengan berbagai masalah psikososial yang ditimbulkannya sebenarnya
menyebabkan suatu sikus yang tampaknya tak terlihat yang dimulai dengan stres, depresi,
isolasi sosial, kecemasan, kelebihan waktu senggang dengan layanan internet murah
menyebabkan lonjakan kecanduan perilaku yang selanjutnya menyebabkan perubahan
suasana hati, mudah tersinggung, kecemasan dan stres.

7. Populasi marginal
Berbagai penelitian kohort menunjukkan bahwa dalam setip komunitas terdapat
kerentanan masing-masing terhadap infeksi COVID-19 dan psikopatologi yang berhubungan.
Sudah terdapat prevalensi yang tinggi untuk SUD pada populasi tunawisma, pekerja migran,
takanan, dan komunitas margin lainnya dan mereka berada dalam populasi dengan risiko
tinggi terinveksi virus dan berisiko menularkan virus pada orang lain. Mahasiswa kedokteran
dan residen secara khusus berada dalam fase rapuh dalam karir mereka karena efek
psikologis sambil harus melayani pasien COVID-19, lingkungan belajar yang tidak kondusif,
dan ketidak pastian masa depan. Tenaga kesehatan khususnya raran menagalmi adiksi
perilaku yang ditemukan berhubungan dengan reaksi stress selama pandemic COVID-19.

8. Pengguna opioid dan obat-obatan injeksi


Krisis opioid dan pengelolaannya mungkin yang paling diperdebatkan diantara SUD
di era COVID-19. Pecandu opiat khususnya menghadapi tantangan saat ini karena
marginalisasi yang lebih besar, kesulitan dalam mengakses layanan kesehatan tertentu,
pembatasan obat-obatan, penutupan pusat rehabilitasi, peningkatan risiko withdrawal yang
mengancam nyawa, dan penggunaan opiat terlarang. Sementara untuk mengurangi masalah
ini, melonggarkan pembatasan terkait aksesibilitas opioid yang diresepkan, strategi injeksi
sendiri di rumah, dan formulasi metadon dan buprenorfin kerja panjang telah disarankan,
namun dengan munculnya solusi tersebut ditakutkan akan terjadinya overdosis. Selain itu,
pengguna opiat mungkin salah menafsirkan gejala COVID-19 sebagai gejala putus obat
opioid dan mengobatinya dengan opioid yang diadministrasikan sendiri (tanpa diresepkan).
Permintaan untuk diadakanya tindakan untuk perawatan khusus terhadap pengguna opioid
dari berbagai komunitas klinis mungkin terdengar terlalu ambisius bila dilihat dari perspektif
India karena kurangnya program substitusi opioid terstruktur, penyediaan administrasi
pengganti opiod berbasis rumah, kurangnya tele-medicine atau tele consultation dan
peningkatan stigma sosial.

9. Kesulitan yang dihadapi pasien yang sedang menjalani terapi rehabilitasi.


Adiksi secara populer diketahui sebagai penyakit dengan isolasi dan protokol terapi
untuk penggunaan zat untuk kembali menjalani hidup bebas napza melalui dukungan
keluarga, sosialisasi, cognitive behavioural therapy (CBT), selain dengan bantuan medikasi.
Seluruh target tersebut dapat dicapai melalui berbagai sesi dan mewajibkan adanya kerjasama
antara pencandu dan therapist. Namun demikian, social distancing sebagai hal terpenting
untuk meminilaisir terjadinya transmisi komunitas, juga berperan sebagai faktor yang
menyebabkan kekambuhan SUD pada masa-masa ini. Seringkali orang dengan SUD sendiri
enggan berkonsultasi dan menjadi tidak patuh pada terapi. Sejak fasilitas menyediakan
dukungan dan intervensi saat ini dipengaruhi oleh pandemi COVID-19, motivasi terus
menerus untuk terapi rehabilitasi terapi menjadi sangat sulit. Harus diingat bahwa pemulihan
dari kecanduan adalah proses yang lama dan kejadian kecanduan silang yang tidak terkendali
dapat terjadi kapanpun, lebih sering terjadi padahari-hari awal pemulihan. Individu mungkin
menemukan subtitusi baru yang tersedia yang memicu dopamine reward center di otak
dengan cara yang sama dan untuk membawa efek "perasaan baik". Sehingga bahkan setelah
berhasil sembuh dari SUD, seseorang bisa memulai kembali kecanduan baru yang melahirkan
lingkaran setan.
Stigma terkait SUD dan COVID-19 berperan secara sinergis pada pecandu dan
menyebabkan mereka terpinggirkan, dan menyendiri. Bahkan di antara penyedia layanan
kesehatan sendi terdapat keyakinan bahwa pecandu tidak memiliki nilai moral, sehingga
menyebabkan mereka lebih sulit mendapatkan perawatan kesehatan khusus. Banyak dari
pecandu yang saat ini menjalani program rehabilitasi tidak mendapatkan persediaan obat-
obatan yang stabil, janji dengan terapis mereka, terapi cepat untuk manifestasi withdrawal,
dan dukungan sosial dukungan karena lockdown total transportasi, keluar dari rumah sakit
yang harus dilakukan lebih cepat, serta sistem triase diubah di rumah sakit. Sebagian besar
klinik swasta dan pusat detoks sekarang telah ditutup selama berbulan-bulan menunggu
terkontrolnya pandemi, dan memaksa pasien yang ditolak untuk berobat ke rumah sakit
pemerintah. Rumah sakit sudah terlalu terbebani untuk mengelola bencana kesehatan ini dan
komunitas pecandu didorong lebih jauh bahkan jika mereka datang dengan gejala COVID-19
atau penyakit serupa. Meskipun demikian, fasilitas tele-health yang diperluas cukup
meringankan beban ini sehingga kondisi di negara-negara berkembang adan negara yang
masi kurang maju manjadi cukup mereda.

10. Masa depan dan kesimpulan


Perilaku adiktif dan COVID-19 membentuk duo berbahaya yang mendorong
terjadinya satu sama lain. Untuk suatu negara dapat pulih dari pandemi ini, kebutuhan khusus
bagi yang terpinggirkan harus ditangani dengan serius. Sistem pendukung yang kuat harus
dibangun dan Pemerintah, masyarakat, keluarga, serta penyedia layanan kesehatan harus
menjalankan tanggung jawab mereka. Pemerintah dan badan legislatif harus menjunjung
tinggi jaminan sosial pecandu zat, mempertahankan ketersediaan dan aksesibilitas obat yang
diresepkan, layanan rehabilitasi dan pengurangan dampak buruk yang tidak terganggu. Selain
harus dilakukannya pelayanan yang baik untuk mencegah dan mengobati gejala withdrawal,
penghentian perilaku adiktif harus didorong di setiap kesempatan. Masyarakat yang
terpinggirkan ini harus menerima nasihat yang tepat yang mudah dipahami tentang
pencegahan dasar COVID-19. Adiksi perilaku, walaupun sering terlewat juga harus dibantu.
Pemantauan ketat konten internet dan penggunaannya oleh anak-anak dan kelompok rentan
lainnya harus dilakukan oleh anggota keluarga. Keterlibatan dalam waktu keluarga, latihan
fisik, karya kreatif merupakan beberapa strategi untuk mengurangi kecanduan internet.
Pengembangan telepsikiatri dapat melengkapi terapi psikiatri yang selama ini telah
dilakukan. Terakhir, pendidikan yang layak akan membantu orang untuk mengakui bahaya
kesehatan dari penggunaan zat, bahkan pada lingkungan yang bebas dari narkotika. (1)

Sumber:
1. Dubey MJ, Ghosh R, Chatterjee S, Biswas P, Chatterjee S, Dubey S. COVID-19 and
addiction. Diabetes & Metabolic Syndrome: Clinical Research & Reviews. 2020 Sep
1;14(5):817–23.

Anda mungkin juga menyukai