Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH

Keperawatan anak
TENTANG
Askep hemoroid

Kelompok 4

Delvi pasaribu(1901011)

APRILIA KAKOTI(1901021)

Gabriella waluba(1901022)

Prisilia onas(1901023)

KEPERAWATAN IV A

JURUSAN KESEHATAN

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN

POLITEKNIK NUSA UTARA

T/A 2019/2020
KATA PENGANTAR
Puji Syukur Kami Panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa,karena atas berkat dan
penyertaannya, Kami boleh menyelesaikan Makalah Keperawatan Anak Tentang Askep
Hemoroid.

Semoga Makalah ini bermanfaat bagi pembaca agar lebih mengetahui Tentang Askep
Hemoroid.

Dalam Pembuatan Makalah ini, jauh dari kata sempurna, untuk itu Penulis mengharapkan
kritik dan saran yang membangun dari pembaca.

Penulis

Tahuna, 26 February 2021


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.....................................................................................................................2
DAFTAR ISI...................................................................................................................................3
BAB I...............................................................................................................................................4
PENDAHULUAN...........................................................................................................................4
1.1 LATAR BELAKANG......................................................................................................4
1.2 PERUMUSAN MASALAH..................................................................................................5
2.3 TUJUAN................................................................................................................................5
BAB II.............................................................................................................................................6
PEMBAHASAN..............................................................................................................................6
2.1 Definisi..............................................................................................................................6
2.3 Epidemiologi.....................................................................................................................7
2.4 Etiologi..............................................................................................................................8
2.5 Manifestasi Klinis...........................................................................................................11
2.6 Patofisiologi....................................................................................................................11
2.7 Komplikasi......................................................................................................................14
2.8 Pemeriksaan Diagnostik..................................................................................................15
2.9 Penatalaksanaan..............................................................................................................16
1.Pengkajian...............................................................................................................................19
2.Diagnosa Keperawatan...........................................................................................................20
3.Intervensi Keperawatan..........................................................................................................21
4.Evaluasi...................................................................................................................................24
BAB III..........................................................................................................................................25
PENUTUP.....................................................................................................................................25
3.1 KESIMPULAN...............................................................................................................25
3.2 KRITIK DAN SARAN........................................................................................................26
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................................26
BAB I

PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Kelainan bawaan atau kelainan kongenital adalah kondisi tidak normal yang terjadi
pada masa perkembangan janin. Kelainan ini dapat memengaruhi fisik atau fungsi anggota tubuh
anak sehingga menimbulkan cacat lahir.Pada banyak kasus, kelainan kongenital terjadi pada 3
bulan pertama kehamilan, yaitu saat organ pada tubuh bayi baru mulai terbentuk. Kelainan
kongenital umumnya tidak berbahaya, namun ada pula yang harus segera ditangani.
Kelainan bibir dan langit-langit atau biasa disebut dengan bibir sumbing atau
labioschizis adalah kelainan bawaan adanya celah di antara kedua sisi kanan dan/atau kiri
bibir. Kelainan ini terjadi saat pembentukan janin, yang proses penyatuan tersebut
normalnya terjadi pada trimester pertama kehamilan, kadang kala meluas mencapai langit-
langit bahkan merusak estetika cuping hidung yang disebut dengan labiopalatoschizis atau
labiognatoschizis.
Pasien dengan bibir sumbing dan/atau langit-langit bukan kelompok yang homogen.
Mereka dapat dibagi menjadi bibir sumbing (Labioschisis), sumbing atau celah pada langit-
langit rongga mulut (Palatoschisis), atau pun gabungan dari keduanya berupa sumbing bibir
dan langitan (Labiopalatoschisis), dan sumbing bibir sampai gusi dan langit-langit
(Labiogenatopalatoschisis). Kelainan tersebut juga biasa terjadi pada satu sisi rahang
(unilateral) ataupun pada kedua sisi yaitu kanan dan kiri (bilateral). Deformitas bibir
sumbing biasanya dibagi menjadi unilateral dan bilateral. Dari data yang didapatkan oleh
Kemenkes RI dari awal bulan September 2014 sampai akhir bulan Agustus 2015
menunjukkan sebagian besar bayi dengan kelainan bawaan lahir dengan 1 jenis kelainan
bawaan dengan presentasi 87% sedangkan bayi yang lahir dengan >1 jenis kelainan bawaan
hanya 13%. Kelainan bawaan yang paling banyak ditemukan salah satunya adalah celah
bibir dan langit-langit (Sani, N., Febriyani, A. dan Budiarta, I.N., 2020).

1.2 PERUMUSAN MASALAH


Berdasarkan latar belakang masalah, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud dengan Labiopalatoskisis?
2. Bagaimana epidemiologi kasus Labiopalatoskisis?
3. Bagaimana etiologi Labiopalatoskisis?
4. Bagaimana patofisiologi Labiopalatoskisis?
5. Apa saja pemeriksaan diagnostik pada Labiopalatoskisis?
6. Apa saja tata laksana pada Labiopalatoskisis?
7. Bagaimana Asuhan Keperawatan Anak dengan Labiopalatoskisis?

2.3 TUJUAN
1. Agar mahasiswa dapat mengetahui dan memahami tentang Labiopalatoskisis
2. Agar mahasiswa dapat mengetahui dan memahami tentang epidemiologi kasus
Labiopalatoskisis
3. Agar mahasiswa dapat mengetahui dan memahami tentang etiologiLabiopalatoskisis
4. Agar mahasiswa dapat mengetahui dan memahami tentang patofisiologi pada
Labiopalatoskisis
5. Agar mahasiswa dapat mengetahui dan memahami tentang pemeriksaan diagnostik yang
dilakukan pada Labiopalatoskisis
6. Agar mahasiswa dapat mengetahui dan memahami tentang tata laksana pada
Labiopalatoskisis

Agar mahasiswa dapat mengetahui dan memahami tentang Asuhan Keperawatan Anak dengan
Labiopalatoskisis
BAB II

PEMBAHASAN
2.1 Definisi
Labio palatoshcizis atau sumbing bibir langitan adalah cacat bawaan berupa celah pada
bibir atas, gusi, rahang dan langit-langit. Labio palatoshcizis merupakan suatu kelainan yang
dapat terjadi pada daerah mulut palato shcizis (sumbing palatum) labio shcizis (sumbing
pada bibir) yang terjadi akibat gagalnya perkembangan embrio (Hidayat, 2012). Bibir
sumbing adalah kelainan bawaan adanya celah diantara kedua sisi kanan dan kiri dari bibir.
Kelainan ini terjadi saat pembentukan janin. Kadang kala meluas mencapai langit-langit,
bahkan sampai merusak estetika cuping hidung.
Labiapaloskizis adalah kelainan bawaan berupa bibir palatum (langit-langit) sumbing,
akibat dari kegagalan proses penutupan maxila dan premaxila selaam embrio, kelainan ini
diduga terjadi akaibat infeksi cirus yang diterima ibu pada kehamilantrimester I tepatnya
minggu ke 7 sampai 12.
Labio palatoschizis adalah merupakan congenital anomaly yang berupa adanya kelainan
bentuk pada wajah ( Suryadi SKP, 2001). Berdasarkan ketiga pengertian di atas maka
penulis dapat menyimpulkan bahwa labio palatoschizis adalah suatu kelainan congenital
berupa celah pada bibir atas, gusi, rahang dan langit-langit yang terjadi akibat gagalnya
perkembangan embrio. Beberapa klasifikasi bibir sumbing menurut organ yang terlibat:
1. Celah bibir (labioskizis)
2. Celah di gusi (gnatoskizis)
3. Celah dilangit (Palatoskizis)
4. Celah dapat terjadi lebih dari satu organ misalnya terjadi di bibir dan langit – langit
(labiopalatoskizis).
Sedangkan, klasifikasi menurut lengkap atau tidaknya celah yang terbentuk:
1. Unilateral incomplete : Jika celah sumbing terjadi hanya di salah satu
bibir dan tidak memanjang ke hidung
2. Unilateral complete : Jika celah sumbing yang terjadi hanya disalah
satu sisi bibir dan memanjang hingga ke hidung
3. Bilateral complete : Jika celah sumbing terjadi dikedua sisi bibir dan
memanjang hingga ke hidung.

(A) Celah bibir unilateral tidak komplit, (B)


Celah bibir unilateral (C) Celah bibir bilateral dengan celah langit-langit dan tulang alveolar, (D)
Celah langit-langit. (Stoll et al. BMC Medical genetics. 2004, 154.)
Pembentukan celah dimulai pada minggu ke-IV kehamilan. Klasifikasi menurut
struktur-struktur yang terkena yaitu:
1. Palatum primer :meliputi bibir, dasar hidung, alveolus dan palatum
durum dibelahan foramen incivisium.
2. Palatum sekunder : meliputi palatum durum dan molle posterior terhadap
foramen.

2.3 Epidemiologi
Di seluruh dunia, insidensi sumbing daerah orofacial (bibir sumbing, bibir dan
lelangit sumbing, atau lelangit sumbing) terjadi pada sekitar 1 per 700 kelahiran hidup
(WHO, 2001 dalam Arindra, P. K. 2018). Insidensi dunia yang terbatas pada sumbing
bibir atau tanpa celah lelangit berkisar antara 7,94-9,92 per 10.000 kelahiran hidup.
Center for Disease Control (CDC) baru-baru ini memperkirakan bahwa setiap tahun
2.651 bayi di Amerika Serikat yang lahir dengan bibir sumbing dan 4.437 bayi lahir
dengan bibir sumbing dengan atau tanpa sumbing langit-langit. Bibir sumbing dengan
atau tanpa celah lelangit merupakan defek lahir terbanyak kedua di Amerika Serikat,
yang mengenai 1 dari setiap 1700 kelahiran dan menghasilkan 4.437 kasus setiap
tahun. Prevalensi bibir dan lelangit sumbing dilaporkan berkisar antara 7,75 sampai
10,63 per 10.000 kelahiran hidup.
Prevalens sumbing di Indonesia menurut Riskesdas 2013, persentase kecacatan
anak usia 24-59 bulan karena bibir sumbing sebesar 0,08%. Prevalensi tertinggi adalah
di Jakarta sebesar 13,9%. Di Indonesia penderita kelainan sumbing bibir di Indonesia
bertambah rata-rata 7.500 orang per tahun. Sumbing bibir dan palatum (46%),
sumbing palatum (33%), dan sumbing bibir (21%). Prevalensi sumbing bibir dan
langit-langit di Indonesia adalah 2,4%. Dengan jumlah pertumbuhan penduduk yang
tinggi sehingga estimasi jumlah bayi lahir dengan sumbing bibir dan langit-langit di
Indonesia adalah 10.000 pertahun.
Tingkat kejadian sumbing orofacial bervariasi menurut populasi. Secara
epidemiologi, tingkat yang lebih tinggi terjadi pada populasi Asia dan Indian Amerika
(satu dari 500 kelahiran), dan tingkat yang lebih rendah pada populasi Afrika (satu
dari 500 kelahiran).

2.4 Etiologi
Penyebab sumbing bibir dan palatum tidak diketahui dengan pasti. Sebagian besar kasus
sumbing bibir atau sumbing palatum atau keduanya daat dijelaskan dengan hipotesis
multifaktor. Beberapa faktor yang dicurigai dapat mempengaruhi terjadinya bibir sumbing,
antara lain:
1. Faktor Genetik (Hereditary)
Merupakan penyebab beberapa palatoschizis, tetapi tidak dapat ditentukan dengan
pasti karena berkaitan dengan gen kedua orang tua. Diseluruh dunia ditemukan hampir
22% penderita labiopalatoskishis terjadi karena faktor herediter.
a. Mutasi Gen
Di temukan sejumlah sindroma atau gejala menurut hukum Mendel secara
otosomal, dominant, resesif dan X-Linked. Pada otosomal dominan, orang tua yang
mempunyai kelainan ini menghasilkan anak dengan kelainan yang sama. Pada
otosomal resesif adalah kedua orang tua normal tetapi sebagai pembawa gen
abnormal. X-Linked adalah wanita dengan gen abnormal tidak menunjukan tanda-
tanda kelainan sedangkan pada pria dengan gen abnormal menunjukan kelainan ini.
b. Kelainan kromosom
Dimana material genetik dalam kromosom yang mempengaruhi dapat terjadi
karena adanya mutasi gen ataupun kelainan kromosom.pada setiap sel yang normal
mempunyai 46 kromosom yang terdiri dari 22 kromosom non sex (kromosom 1-22)
dan 1 pasang kromosom sex (kromosom x dan y) yang menetukan jenis kelamin.
Pada penderita bibir sumbing terjadi trisomi 13 atau sindroma patau dimana ada 3
untai kromosom 13 pada setiap sel penderita sehingga jumlah total kromosom pada
setiap selnya adalah 47.Jika terjadi hal seperti ini selain menyebabkan bibir sumbing
akan menyebabkan gangguan berat pada perkembangan otak, jantung, dan ginjal.
Namun kelainan ini sangat jarang terjadi dengan frekuensi 1 dari 8000-10.000 bayi
yang lahir.
2. Faktor lingkungan
Faktor lingkungan juga berperan penting dalam hal yang mempengaruhi
labiopalatoskisis, dalam penelitian Sani, N., Febriyani, A. dan Budiarta, I.N., pada
tahun 2020, faktor lingkungan memberikan kontribusi sebesar 78%. Faktor
lingkungan tersebut antara lain:
a. Nutrisi
Apabila pada kehamilan, ibu kurang mengkonsumsi asam folat, vitamin C dan
Zn dapat berpengaruh pada janin. Karena zat - zat tersebut dibutuhkan dalam
tumbuh kembang organ selama masa embrional. Selain itu gangguan sirkulasi foto
maternal juga berpengaruh terhadap tumbuh kembang organ selama masa
embrional.
b. Infeksi
Infeksi pada saat kehamilan berpotensi dalam kecacatan pada janin, contohnya
seperti infeksi rubella, sifilis, toxoplasmosis dan klamidia dapat menyebabkan
terjadinya labioskizis dan labiopalatoskizis.

c. Pengaruh Obat Teratogenik


Yang termasuk obat teratogenik adalah:
1) Jamu.
Mengkonsumsi jamu pada waktu kehamilan dapat berpengaruh pada janin,
terutama terjadinya labio palatoschizis. Akan tetapi jenis jamu apa yang
menyebabkan kelainan kongenital ini masih belum jelas. Masih ada penelitian
lebih lanjut
2) Kontrasepsi hormonal.
Pada ibu hamil yang masih mengkonsumsi kontrasepsi hormonal, terutama
untuk hormon estrogen yang berlebihan akan menyebabkan terjadinya hipertensi
sehingga berpengaruh pada janin, karena akan terjadi gangguan sirkulasi
fotomaternal.
3) Obat – obatan yang dapat menyebabkan kelainan kongenital terutama labio
palatoschizis. Obat – obatan itu antara lain :
- Talidomid, diazepam (obat – obat penenang)
- Aspirin (Obat – obat analgetika)
- Kosmetika yang mengandung merkuri & timah hitam (cream pemutih)
d. Zat Kimia
Zat kimia (rokok dan alkohol). Pada ibu hamil yang masih mengkonsumsi rokok
dan alkohol dapat berakibat terjadi kelainan kongenital karena zat toksik yang
terkandung pada rokok dan alkohol yang dapat mengganggu pertumbuhan organ
selama masa embrional.
e. Radiasi
Untuk ibu hamil pada trimester pertama tidak dianjurkan terapi penyinaran
radioaktif, karena radiasi dari terapi tersebut dapat mengganggu proses tumbuh
kembang organ selama masa embrional. Efek sinar pengion jelas bahwa merupakan
salah satu faktor lingkungan dimana dapat menyebabkan efek genetik yang nantinya
bisa menimbulkan mutasi gen. Mutasi gen adalah faktor herediter.

f. Trauma pada Trisemester Pertama


Salah satu penyebab trauma adalah kecelakaan atau benturan pada saat hamil
minggu kelima. Bila terdapat gangguan pada waktu pertumbuhan dan
perkembangan wajah serta mulut embrio, akan timbul kelainan bawaan. Salah
satunya adalah celah bibir dan langit-langit. Kelainan wajah ini terjadi karena ada
gangguan pada organogenesis antara minggu keempat sampai minggu kedelapan
masa embrio.
g. Stress
Korteksadrenal menghasilkan hidrokortison yang berlebih. Pada binatang
percobaan telah terbukti bahwa pemberian hidrokortison yang meningkat pada
keadaan hamil menyebabkan labioskizis dan labipaltoskizis.
h. Terpapar Zat Kimia
Zat kimia (rokok dan alkohol). Pada ibu hamil yang masih mengkonsumsi rokok
dan alkohol dapat berakibat terjadi kelainan kongenital karena zat toksik yang
terkandung pada rokok dan alkohol yang dapat mengganggu pertumbuhan organ
selama masa embrional.

2.5 Manifestasi Klinis


Manifestasi Klinis yang terjadi pada anak dengan Labiopalatoskisis adalah:

1. Pada Labioskisis
Adanya distorsi pada hidung (tampak sebagian atau keduanya) dan adanya celah pada
bibir
2. Pada Palatoskisis
a. Tampak ada celah pada tekak(uvula) , palato lunak, dan keras atau foramen
incisive.
b. Adanya distorsi hidung
c. Teraba ada celah atau terbukanya langit-langit saat diperiksa dengan jari
d. Kesulitan dalam menghisap atau makan
e. Distersi nasal sehingga bisa menyebabkan gangguan pernafasan
f. Gangguan komunikasi verbal

2.6 Patofisiologi
Biasanya sumbing bibir dan palatum disertai kelainan bawaan lain, misal hidrosefalus
(peningkatan tekanan intrakranial), sindaktilia (jari-jari saling melekat), atau polidaktilia
(jari-jari berlebih).
Sumbing bibir dapat terjadi bilateral pada regio insisif lateral dan kaninus. Lebih sering
terjadi unilateral, sisi kiri lebih sering dari sisi kanan. Bila terjadi bilateral, mirip dengan
bibir kelinci. Sumbing dapat sempurna meluas ke dasar hidung atau tidak sempurna
sempurna sebagai lekukan pada bibir atas. (Janti, 2008)
Labioskizis terjadi karena kegagalan pada penyatuan kedua prosesus nasalis maksilaris
dan mediana, palatoskizis merupakan fisura pada garis tengah palatum akibat kegagalan
penyatuan kedua sisinya. (Wong, 2009)
Labiopalatoskizis terjadi karena kegagalan penyatuan prosesus maksilaris dan
remaksilaris selama awal usia embrio. Labiskizis dan palatoskiziz merupakan malformasi
yang berbeda secara embrional dan terjadi pada waktu yang berbeda selam proses
perkembangan embrio. Penyatuan bibir atas pada garis tengah selesai dilakukan pada
kehailan antara minggu ke tujuh dan kedelapan. Fusi palatum sekunder (palatum durum dan
mole) terjadi kemudian dalam proses perkembangan, yaitu pada kehamian antara minggu ke
tujuh dan kedua belas. Dalam proses migrasi ke posisi horizontal, palatum tersebut
dipisahkan oleh lidah untuk waktu yang singkat. Jika terjadi kelambatan dalam migrasi atau
pemindahan ini, atau bila lidah tidak berhasil turun dalam waktu yang cukup singkat, bagian
lain proses perkembangan tersebut akan terus berlanjut namun palatum tidak menyatu.
(Wong, 2009)
Periode perkembangan struktur anatomi bersifat spesifik sehingga sumbing bibir dapat
terjadi terpisah dari sumbing palatum, meskipun keduanya dapat terjai bersama-sama dan
bervariasi dalam berajat keparahannya bergantung pada luas sumbing yang dapat bervariasi
mulai dari lingir alveolar sampai ke bagian akhir dari palatum lunak. Variasi dapat pula
dimulai dari tarik ringan pada sudut mulut atau bifid uvula sampai deformitas berat berupa
sumbing bibir yang meluas ke tulang alveolar dan seluruh palatum secara bilateral. (Janti,
2008)
Variasi yang terjadi merupakan refleksi dari deviasi rangkaian perkembangan palatum
yang dimulai pada minggu ke-8 pada regio premaksila dan berakhir pada minggu ke 12 ada
uvula di palatum lunak. Jadi, jika faktor penyebab bekerja pada minggu ke 8, sumbing akan
terjadi lebih posterior dan juga anterior termasuk alveolus, palatum kerad dan palatum lunak,
serta vulva, membentuk cacat yang serius. Sebaliknya, jika penyebab bekerja dekat akhir
periode perkembangan (minggu ke 11), sumbing yang terlihat hanya pada palatum lunak
bagian posterior, menyebabkan terjadinya sumbing sebagian atau hanya pada uvula sebagai
cacat ringan yang tidak membutuhkan terapi. (Janti, 2008)
Sumbing yang hanya mengenai bibir dinamakan cheilochisis. Sumbing bibir umumnya
terjadi pada minggu ke 6-7 intrauteri, sesuai dengan waktu perkembangan bibir normal
dengan terjadinya kegagalan penetrasi dari sel mesodemal pada grove epitel dianntara
prosecus nasalis medialis dan lateralis. Lebih sering terjadi pada bayi laki-laki dan lebih
sering pada bagian kiri dari pada kanan. (Janti, 2008)
Saat usia kehamilan mencapai usia 6 minggu, bibir atas dan langit-langti ronggaa mulut
bayi dalam kansungan akan mulai terbentuk dari jaringan yang berada dikedua sisi dari lidah
dan bersatu di tengah-tengah. Apabila jaringan jaringan ini gagal bersatu maka akan
terbentuk celah pada bibir atas atau langit-langit rongga.

m
2.7 Komplikasi
Komplikasi yang terjadi pada pasien dengan Labio palatoschizis adalah:
1. Kesulitan berbicara – hipernasalitas, artikulasi, kompensatori. Dengan adanya
celah pada bibir dan palatum, pada faring terjadi pelebaran sehingga suara yang
keluar menjadi sengau.
2. Maloklusi( – pola erupsi gigi abnormal. Jika celah melibatkan tulang alveol,
alveol ridge terletak disebelah palatal, sehingga disisi celah dan didaerah celah
sering terjadi erupsi.
3. Masalah pendengaran – otitis media rekurens sekunder. Dengan adanya celah
pada paltum sehingga muara tuba eustachii terganggu akibtnya dapat terjadi otitis
media rekurens sekunder.
4. Aspirasi. Dengan terganggunya tuba eustachii, menyebabkan reflek menghisap
dan menelan terganggu akibatnya dapat terjadi aspirasi.
5. Distress pernafasan. Dengan terjadi aspirasi yang tidak dapat ditolong secara dini,
akan mengakibatkan distress pernafasan
6. Resiko infeksi saluran nafas. Adanya celah pada bibir dan palatum dapat
mengakibatkan udara luar dapat masuk dengan bebas ke dalam tubuh, sehingga
kuman – kuman dan bakteri dapat masuk ke dalam saluran pernafasan.
7. Pertumbuhan dan perkembangan terlambat. Dengan adanya celah pada bibir dan
palatum dapat menyebabkan kerusakan menghisap dan menelan terganggu.
Akibatnya bayi menjadi kekurangan nutrisi sehingga menghambat pertumbuhan
dan perkembangan bayi.
8. Asimetri wajah. Jika celah melebar ke dasar hidung “ alar cartilago ” dan
kurangnya penyangga pada dasar alar pada sisi celah menyebabkan asimetris
wajah.
9. Penyakit peri odontal. Gigi permanen yang bersebelahan dengan celah yang tidak
mencukupi di dalam tulang. Sepanjang permukaan akar di dekat aspek distal dan
medial insisiv pertama dapat menyebabkan terjadinya penyakit peri odontal.
10. Crosbite. Penderita labio palatoschizis seringkali paroksimallnya menonjol dan
lebih rendah posterior premaxillary yang colaps medialnya dapat menyebabkan
terjadinya crosbite.
11. Perubahan harga diri dan citra tubuh. Adanya celah pada bibir dan palatum serta
terjadinya asimetri wajah menyebabkan perubahan harga diri da citra tubuh.

2.8 Pemeriksaan Diagnostik


Berbagai pemeriksaan diagnostik untuk mendeteksi Labiopalatoskisis diantaranya:
1. Rontgen
Pemeriksaan radiologi dilakukan dengan melakukan foto rontgen pada tengkorak.
Pada penderita dapat ditemukan celah processus maxilla dan processus nasalis media.
2. Radiologi
Beberapa celah orofasial dapat terdiagnosa dengan USG prenatal, namun tidak
terdapat skrining sistemik untuk celah orofasial. Diagnosa prenatal untuk celah bibir baik
unilateral maupun bilateral, memungkinkan dengan USG pada usia janin 13-18 minggu.
Celah palatum tersendiri tidak dapat didiagnosa pada pemeriksaan USG prenatal. Ketika
diagnosa prenatal dipastikan, rujukan kepada ahli bedah plastik tepat untuk konseling
dalam usaha mencegah.
Setelah lahir, tes genetic mungkin membantu menentukan perawatan terbaik untuk
seorang anak, khususnya jika celah tersebut dihubungkan dengan kondisi genetik.
Pemeriksaan genetik juga memberi informasi pada orangtua tentang resiko mereka untuk
mendapat anak lain dengan celah bibir atau celah palatum.

2.9 Penatalaksanaan
Tujuandanintervensibedahdanpembedahanadalahmemulihkanstrukturanatomi,
mengoreksicacatdanmemungkinkananakmempunyaifungsi yang normal dalammenelan,
bernapasdanberbicara.Pembedahanbiasanyadilakukanketikaanakberumur ± 3 bulan,
tetapipadabeberaparumahsakitdilakukansegerasetelahlahir.
1. Manajemen perawatan celah bibir
a. Perawatan pra bedah
1) Pemberian makan
Pemberian makan pertama kali sukar, tetapi tergantung pada derajat deformitas
yang dialami pada kasus ringan, ada kemungkinan memberi ASI langsung kepada
bayi. Jika tidak, pemberian susu botol mudah dilakukan. Akan tetapi, bila
menghisap susu dari botol sulit dilakukan bayi, makanan dapat diberikan
menggunakan sendok atau biarkan bayi menghisap dari sendok.
- Bila celah bibir tidak disertai celah palatum, bayi hanya mengalami sedikit
kesukaran dalam makan atau sama sekali tidak kesukaran.
- Jika celah bibir disertai celah palatum, bayi mengalami masalah bukan saja
dalam menelan tetapi juga dalam menghisap karena palatum yang lengkap
dan utuh diperlukan untuk memanifulasi puting dan menghisap ASI.
Regurgitasi ASI melalui hidung menimbulkan masalah lain yang
membahayakan. Inhalasi ASI harus dicegah dengan mempersiapkan penyedot
setiap saat. Pemenuhan kebutuhan nutrisi adekuat penting agar menjamin
bahwa bayi dalam keadaan fisik yang baik, mengalami kenaikan BB dan tidak
mengalami anemia. Bila dijumpai adanya anemia, harus ditangani kapan saja
terjadi.
2) Pemberian antibiotik
Pemberian antibiotik sebagai profilaksis bertujuan menjamin bahwa pada masa
pascabedah, anak tidak mengalami bahaya yang disebabkan oleh mikroorganisme
yang telah ada ataupun yang masuk selama masa bedah dan pascabedah .
3) Persiapan Prabedah
Prinsip manajemen prabedah bertujuanmencapai atau mempertahankan status fisik
yang menjamin bahwa anak mampu mengatasi trauma akibat intervensi bedah.
Tujuan selanjutnya adalah menghilangkan atau mengurangi terjadinya komplikasi
selama atau setelah pembedahan melalui antisipasi yang saksama dan pengobatan
yang tepat.
b. Perawatan pascabedah
Hal-hal yang perlu diperhatikan saat merawat anak yang sudah selesai mengalami
operasi perbaikan celah bibir meliputi :
1) Imobilisasi lengan merupakan aspek penting perawatan, untuk mencegah bayi
menyentuh garis jahitan
2) Sedasi, anak yang menangis dapat mengingkatkan tegangan pada garis jahitan.
Pemberian sedasi sering kali dianjurkan untuk mengurangi tegangan, walaupun
tegangan sudah dikurangi dengan mengenakan peralatan seperti busur logam
3) Pembalutan garis sedasi, biasanya jahitan sudah dibuka antar hari ke-5 dan ke-8.
Garis jahitan biasanya ditinggal tanpa penutup dan kebersihan dipertahankan
dengan mengelap area tersebut dengan air steril atau salin normal setelah selesai
makan.
4) Pemberian makan dapat segera dimulai setelah bayi sadar dan refleks menelan
positif.
2. Manajemen perawatan celah palatum
Saat optimum untuk operasi perbaikan celah palatum tetap merupakan masalah
konvensional. Tindakan pembedahan umumnya dilakukan sebelum anak mulai berbicara.
Sebagian besar ahli bedah plastik melakukan pembedahan diantara usia 15 dan 18 bulan
tetapi beberapa berpendapat bahwa operasi harus ditunda sampai usia 7 tahun untuk
memungkinkan perkembangan tulang wajah secara lengkap. Operasi lebih baik dilakukan
oleh ahli bedah dengan pengalaman khusus dalam pekerjaan ini. Infeksi luka harus
dicegah dengan antibiotik yang sesuai.
Pemberian makan dapat merupakan masalah yang sulit pada anak tersebut, karena
adanya lubang antara rongga mulut dan hidung. Namun, pemberian ASI dapat dilakukan
pada sebagian besar kasus. Bila pemberian ASI tidak dapat dilakukan secara langsung,
sebaiknya digunakan puting karet besar yang menutup sebagian lubang palatum.
Pembesaran lubang puting karet dapat menolong banyak anak penderita celah palatum.
Banyak percobaan yang mungkin diperlukan untuk membentuk kebiasaan makan yang
benar. Terkadang, penggunaan pipet mengatasi masalah pemberian makan. Pemberian
makan melalui sonde harus dihindari karena akan menghalangi penggunaan otot
orofaring
Diet pascabedah langsung harus terdiri atas cairan jernih, seperti minuman glukosa.
Sekali diberikan diet normal harus terdiri atas makanan lunak disusul dengan air steril.
Makanan keras dan manisan harus diberikan selama 2/3 minggu setelah pembedahan.
Pengangkatan jahitan biasanya dilakukan di kamar bedah dibawah sedasi diantara hari
ke-8 atau ke-10
Bila kemampuan bicara anak tidak berkembang secara memuaskan, berikan terapi
wicara. Ahli terapi wicara harus dijadikan sumber konsultasi pada semua kasus dan
rencana disusun untuk memastikan perkembangan bicara yang adekuat. Kuantitas
pengobatan atau latihan yang akan diberikan oleh seorang ahli terapi wicara terbatas,
sehingga beban utama ditanggung oleh ibu. Oleh sebab itu, baik ibu maupun anak harus
ambil bagian dalam pelajaran ini dengan ahli terapi wicara sehingga ibu dapat
melanjutkan terapi dirumah. Melalui latihan yang cermat, ada kemungkinan bagi anak
untuk mencapai tingkat bercakap yang memungkinkan anak untuk berkomunikasi bebas
dengan orang lain pasa saat mulai sekolah. Orang tua memerlukan dukungan dan banyak
dari unit celah palatum menyimpan album foto gambaran sebelum dan sesudah dari kasus
yang berhasil untuk memperlihatkan kepada orang tua dan menenteramkannya bahwa
bayinya akan terlihat baik setelah operasi.
3. Pemberian makan dan minum
Pemberian makan dan minum pada pasien dengan labioschisis dan palatoschisis
bertujuan untuk membantu pasien dalam memenuhi kebutuhan cairan dan elektrolit
sesuai program pengobatan.

1.Pengkajian
1. Identitas
Biodata pasien dan biodata penanggung jawab
2. Keluhan utama
Klien tidak mampu menelan dan menyusui, terlihat adanya celah di bibir dan palatum.
3. Riwayat kesehatan
a. Riwayat kesehatan kehamilan
Mengkaji riwayat kehamilan ibu, apakah ibu pernah mengalami trauma pada
kehamilan Trimester I. bagaimana pemenuhan nutrisi ibu saat hamil, obat-obat
yang pernah dikonsumsi oleh ibu dan apakah ibu pernah stress saat hamil.
b. Riwayat Kesehatan Sekarang
Mengkaji berat/panjang bayi saat lahir, pola pertumbuhan, pertambahan/penurunan
berat badan, riwayat otitis media dan infeksi saluran pernafasan atas.
c. Riwayat kesehatan keluarga
Riwayat kehamilan, riwayat keturunan, labiopalatoskisis dari keluarga.
4. Pengkajian fisik
a.     Mata
1)      Keadaan konjungtiva
2)      Keadaan sclera
3)      Keadaan lensa
b.      Hidung
1)      Kepekaan penciuman
2)      Adanya polip/hambatan lain pada hidung, adanya pilek.
c.       Mulut dan bibir
1)      Warna bibir
2)      Apakah ada luka
3)      Apakah ada kelainan
d.      Leher
1)      Keadaan vena jugularis
2)      Adanya pembesaran jaringan limfe
e.       Dada
1)      Bentuk dan irama napas
2)      Keadaan jantung dan paru-paru

f.        Ekstremitas
1)      Tonus otot kuat atau lemah
g.      Kulit
1)      Warna kulit
2)      Turgor kulit
h.      Makanan/cairan
1)      Berat badan
2)      Intake dan output
3) Mengkaji kemampuan menghisap, menelan bayi

2.Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan dibagi menjadi 2 yaitu:
1. Diagnosa Pra Operasi:
a. Nutrisi Kurang Dari Kebutuhan berhubungan dengan ketidakmampuan menelan/
kesukaran dalam makan sekunder akibat kecacatan dan pembedahan.
b. Kurang Pengetahuan berhubungan dengan teknik pemberian makan dan perawatan di
rumah.
c. Resiko tinggi terjadi aspirasi berhubungan dengan ketidakmampuan mengeluarkan
sekresi sekunder dari Palatoskisis.
2. Diagnosa Pasca Operasi:
a. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan terpaparnya lingkungan dan prosedur invasi
yang di tandai dengan adanya luka operasi tertutup kasa.
b. Kurang Pengetahuan berhubungan dengan perawatan di rumah.

3.Intervensi Keperawatan
1. Diagnosa Pra Operasi:
a. Nutrisi Kurang Dari Kebutuhan Tubuh
Tujuan : Setelah mendapatkan tindakan keperawatan diharapkan
perubahan nutrisi dapat teratasi

Intervensi Rasional
1. Bantu ibu dalam menyusui, bila 1. Membantu ibu dalam
ini adalah keinginan ibu. memberikan ASI dan posisi
Posisikan dan stabilkan puting puting yang stabil membentuk
susu dengan baik di dalam kerja lidah dalam pemerasan
rongga mulut. susu.
2. Bantu menstimulasi refleks 2. Karena pengisapan diperlukan
ejeksi ASI secara manual / untuk menstimulasi susu yang
dengan pompa payudara pada awalnya mungkin tidak
sebelum menyusui ada

3. Gunakan alat makan khusus, bila 3. Membantu kesulitan makan


menggunakan alat tanpa puting. bayi, mempermudah menelan

(dot, spuit asepto) letakan da mencegah aspirasi

formula di belakang lidah 4. Mempermudah dalam

4. Melatih ibu untuk memberikan pemberian ASI

ASI yang baik bagi bayinya 5. Untuk mencegah terjadinya

5. Menganjurkan ibu untuk tetap mikroorganisme yang masuk


6. mendapatkan nutrisi yang
menjaga kebersihan, apabila di seimbang
pulangkan
6. kolborasi dengan ahli gizi.

b. Kurang Pengetahuan
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan tingkat
pengetahuan orang tua bertambah.
Intervensi Rasional
1. Observasi hambatan belajar Ibu 1. Memastikan tidak ada hambatan
belajar
2. Edukasi tentang penyakit yang
2. Ibu mengetahui apa itu
diderita anaknya
labiapalatoskizis
3. Edukasi ibu cara memberikan
3. Ibu dapat menyusui dengan benar
ASI yang tepat
4. Memberikan penghargaan kepada
4. Beri pujian saat ibu memahami
ibu
yang sudah diajarkan

c. Resiko tinggi terjadi Aspirasi


Tujuan: Setelah mendapatkan tindakan keperawatan di harapkan tidak
terjadi aspirasi
Intervensi Rasional
1. Atur posisi kepala dengan a. Agar minuman atau makanan
mengangkat kepala waktu yang masuk tidak masuk ke
minum atau makan dan gunakan saluran hidungdan anak tidak
dot yang panjang. tersedak.
2. Gunakan palatum buatan (bila b. Agar memudahkan anak untuk
perlu) menete ASI.
3. Lakukan penepukan punggung c. Agar anak tidak tersedak.
setelah pemberian makanan d. Memantau status pernapasan
4. Monitor status pernafasan selama makan agar terlihat
selama pemberian makan seperti kemampuan makan bayi.
prequensi nafas, irama, serta
tanda-tanda adanya aspirasi.
2. Diagnosa Pasca Operasi:
a. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan terpaparnya lingkungan dan prosedur invasi
yang di tandai dengan adanya luka operasi tertutup kasa.
Tujuan: Setelah melakukan tindakan keperawatan diharapkan tidak
terjadi infeksi.
Intervensi Rasional
1. Atur posisi miring ke kanan 1. Agar memudahkan masuknya
serta kepala agak ditinggikan makanan atau minuman.
pada saat makan 2. Agar cepat terdeteksi apabila ada
2. Lakukan monitor tanda adanya infeksi dengan mengenali tanda-
infeksi seperti bau, keadaan tanda infeksi.
luka, keutuhan jahitan, 3. Agar memantau adanya
3. Lakukan monitor adanya komplikasi atau tidak.
pendarahan dan edema 4. Agar luka tetap terjaga
4. Lakukan perawatan luka kebersihannya dan terhindar dari
pascaoperasi dengan aseptic infeksi.
5. Hindari gosok gigi kurang lebih 5. Agar tidak terjadi pendarahan
1-2 minggu atau jaitan lukanya bisa putus.

b. Kurang Pengetahuan berhubungan dengan perawatan di rumah.


Tujuan: Keluarga mengalami peningkatan pemahaman atau pengetahuan mengenai
perawatan dirumah
Intervensi Rasional
1. Melakukan edukasi kepada 1. Edukasi pada keluarga sangat
keluarga pasien mengenai bermanfaat dalam proses
perawatan yang dilakukan dirumah perawatan, dengan adanya
2. Memberikan informasi yang tepat pemberian edukasi, maka
dan akurat sesuai dengan keluarga mampu
kebutuhan keluarga mengidentifikasi masalahnya.
3. Mengintruksikan kepada keluarga Sehingga tenaga kesehatan
untuk bertanya kepada penyedia dimudahkan dalam mengali
layanan kesehatan manapun tetang data pasien.
segala hal yang berhubungan 2. Informasi yang tepat dari
dengan penyakit anak tenaga kesehatan akan
membuat keluarga merasa
dirinya memiliki sumber
informasi yang terpercaya
3. Kadangkala keluarga merasa
tidak berani untuk bertanya
karena belum terbina
hubungan saling percaya
dengan penyedia layanan
kesehatan.

4.Evaluasi
1. Diagnosa Pra Operasi:
a. Nutrisi Kurang Dari Kebutuhan berhubungan dengan ketidakmampuan menelan/
kesukaran dalam makan sekunder akibat kecacatan dan pembedahan.
Kriteria Hasil:
1) Bayi tidak pucat
2) Turgor kulit membaik
3) Kulit lembab, perut tidak kembung
4) Bayi menunjukan penambahan berat badan yang tepat
b. Kurang Pengetahuan berhubungan dengan teknik pemberian makan dan perawatan di
rumah.
Kriteria Hasil:
1) Orang tua mengetahui tentang penyakit yang diderita anak
2) Orang tua mengetahui bagaimana cara perawatan anak mulai dari cara
pemberian makan, cara pembersihan mulut setelah makan.
c. Resiko tinggi terjadi aspirasi berhubungan dengan ketidakmampuan mengeluarkan
sekresi sekunder dari Palatoskisis.
Kriteria hasil:
1) Kepatenan jalan napas
2) Kepatenan saluran cerna

2. Diagnosa Pasca Operasi:


a. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan terpaparnya lingkungan dan prosedur
invasi yang di tandai dengan adanya luka operasi tertutup kasa.
Kriteria hasil:
1) Luka terjaga kesterilannya
2) Tidak ada luka tambahan
3) Tidak ada tanda infeksi
b. Kurang Pengetahuan berhubungan dengan perawatan di rumah.
Kriteria hasil:
1) Keluarga tidak terlihat kebingungan
2) Keluarga memahami penjelasan

BAB III

PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Labiapaloskizis adalah kelainan bawaan berupa bibir palatum (langit-langit)
sumbing, akibat dari kegagalan proses penutupan maxila dan premaxila selaam embrio,
kelainan ini diduga terjadi akaibat infeksi cirus yang diterima ibu pada
kehamilantrimester I tepatnya minggu ke 7 sampai 12. (Dwienda R, dkk. 2014).Bibir
Sumbing terbagi dalam beberapa klasifikasi yang terbagi menurut struktur, menurut
organ, dan menurut lengkap tidaknya suatu celah yang terbentuk.
Di seluruh dunia, insidensi sumbing daerah orofacial (bibir sumbing, bibir dan
lelangit sumbing, atau lelangit sumbing) terjadi pada sekitar 1 per 700 kelahiran hidup
(WHO, 2001 dalam Arindra, P. K. 2018). Insidensi dunia yang terbatas pada sumbing
bibir atau tanpa celah lelangit berkisar antara 7,94-9,92 per 10.000 kelahiran hidup.
Penyebab sumbing bibir dan palatum tidak diketahui dengan pasti. Sebagian besar kasus
sumbing bibir atau sumbing palatum atau keduanya daat dijelaskan dengan hipotesis
multifaktor yaitu faktor genetik dan faktor lingkungan.
Berbagai pemeriksaan diagnostik untuk mendeteksi Labiopalatoskisis diantaranya dengan
rontgen, pemeriksaan radiologi dan setelah lahir, tes genetic mungkin membantu
menentukan perawatan terbaik untuk seorang anak.

3.2 KRITIK DAN SARAN


Dalam pembuatan Makalah ini jauh dari kata sempurna, untuk itu Penulis mengharapkan
Kritik dan Saran yang membangun dari Pembaca.

DAFTAR PUSTAKA
Sani, N., Febriyani, A. dan Budiarta, I.N., 2020. Hubungan Antara Ibu Hamil Usia≥ 35 Tahun
dengan Kejadian Labioschizis. ARTERI: Jurnal Ilmu Kesehatan, Dikutip dari
http://arteri.sinergis.org/index.php/arteri/article/view/60, pada 13 Oktober 2020.
Loho, J.N., 2013. Prevalensi Labioschisis di RSUP. Prof. Dr. RD Kandou Manado Periode
Januari 2011–Oktober 2012. Dikutip dari
https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/ebiomedik/article/view/4569, 13 pada Oktiber 2020.
drg. Arindra, Pingky Krisna, Sp. BMM., 2018. Epidemiologi Sumbing. Dikutip dari
https://cleftcare.fkg.ugm.ac.id/2018/08/20/32/#:~:text=Insidensi%20dunia%20yang
%20terbatas%20pada,menghasilkan%204.437%20kasus%20setiap%20tahun., pada 13
Oktober 2020.
Wahyuni, L.K., 2018, Sumbing bibir dan lelangit, manajemen fungsi bicara, p-50, Read Octopus,
Jakarta
Wong, Dona L.2009. Buku Ajar Pediatrik Vol. 2. Jakarta : EGC
Hidayat, Aziz Alimul. 2012. Pengantar Ilmu Keperawatan Anak 2. Jakarta : Salemba Medika.

Anda mungkin juga menyukai