Anda di halaman 1dari 55

107

V. ANALISIS SITUASI PARIWISATA KAWASAN PUNCAK

5.1 Analisis Situasi Wisatawan dan Obyek Tujuan Wisata (OTW)

5.1.1 Analisis Kunjungan Wisatawan

Tingkat kunjungan wisatawan ke Kawasan Puncak meningkat terutama


pada saat akhir pekan. Pada tabel 37 ditampilkan perkembangan jumlah
kunjungan wisatawan dari tahun 2004 sampai dengan tahun 2009 berdasarkan
objek tujuan wisata yang diamati.

Tabel 37. Jumlah kunjungan wisatawan ke berbagai objek tujuan wisata


dari tahun 2004 sampai dengan 2009

Objek Tujuan
No 2004 2005 2006 2007 2008 2009
Wisata

1 TSI 729.803 710.081 718.365 699.782 621.254 639.892

2 Telaga Warna 49.778 6.197 7.636 14.420 14.593 15.031

3 Gn Mas 162.840 371.136 332.244 313.446 267.206 275.222

4 Riung Gunung 6.451 7.160 3.000 19.388 18.320 12.990

5 Curug 104.377 121.816 128.477 111.985 128.412 191.503


Cilember

6 Taman 47.023 52.196 57.937 59.850 60.010 60.810


Melrimba

7 Citamiang 2.408 2.673 368 359 5.722 5.894

8 Curug Kembar - - - 2.832 1.662 1.712

9 Curug Cisuren - - 383 50 1.485 1.530

10 Curug Panjang - - 5.624 953 16.544 17.040

11. Taman Wisata 12.900 110.504 113.819


Matahari

JUMLAH 1.102.680 1.271.259 1.254.034 1.235.965 1.245.712 1.335.443

Secara total terjadi peningkatan jumlah wisatawan sebesar 21,11%, yaitu


dari 1.102.680 wisatawan pada tahun 2004 menjadi 1.335.443 pada tahun 2009.
Kunjungan wisatawan terbanyak pada tahun 2009 adalah menuju lokasi Taman
Safari Indonesia Indah, atau sekitar 47,92% dari jumlah total wisatawan yang
menuju Kawasan Puncak. Kunjungan wisatawan terbanyak kedua dan ketiga
adalah menuju Gunung Mas (20,61%) dan Curug Cilember (14,34%). Lokasi
108

yang paling sedikit dikunjungi wisatawan di kawasan Puncak adalah Curug


Cisuren (0,11%) dan Curug Kembar (0,13%).

Apabila dilihat dari trend kunjungan wisatawan ke Kawasan Puncak


antara tahun 2004-2009 adalah sebagai berikut: (1) Telaga Warna mengalami
penurunan kunjungan wisatawan sebesar 69,80%, yaitu dari 49.778 wisatawan
pada tahun 2004 menjadi 15.031 wisatawan pada tahun 2009; (2) Taman Safari
Indonesia mengalami penurunan kunjungan wisatawan sebesar 12,32%, yaitu
dari 729.803 wisatawan pada tahun 2004 menjadi 629.892 wisatawan pada
tahun 2009; (3) Taman Melrimba mengalami peningkatan kunjungan wisatawan
sebesar 29,32%, yaitu dari 47.023 wisatawan pada tahun 2004 menjadi 60.810
wisatawan pada tahun 2009; (4) Gunung Mas mengalami peningkatan kunjungan
wisatawan sebesar 69,01%, yaitu dari 162.840 wisatawan pada tahun 2004
menjadi 275.222 wisatawan pada tahun 2009; (5) Curug Cilember mengalami
peningkatan kunjungan wisatawan sebesar 83,47%, yaitu dari 104.377
wisatawan pada tahun 2004 menjadi 191.503 wisatawan pada tahun 2009; (6)
Riung Gunung mengalami peningkatan kunjungan wisatawan sebesar 101,36%,
yaitu dari 6.451 wisatawan pada tahun 2004 menjadi 12.990 wisatawan pada
tahun 2009; dan (7) Citamiang mengalami peningkatan kunjungan wisatawan
sebesar 144,77%, yaitu dari 2.408 wisatawan pada tahun 2004 menjadi 5.894
wisatawan pada tahun 2009.

DKI Jakarta, Bekasi, Tangerang dan daerah sekitarnya merupakan pasar


potensial bagi objek dan daya tarik wisata yang ada di Kabupaten Bogor
khususnya Kawasan Puncak. Perbedaan tipologi produk yang terdapat antara
daerah asal wisatawan dengan tipologi produk yang dimiliki Kawasan Puncak,
menjadi penyebab kunjungan wisatawan.

5.1.2 Analisis Karakteristik Wisatawan

Karakteristik wisatawan diketahui berdasarkan jawaban kuisioner yang


disebarkan pada 168 responden yang sedang berada di Kawasan Puncak.
Pertanyaan selain untuk melihat profil wisatawan juga bersifat menggali
pendapat dan opini mengenai berbagai hal terkait daya tarik, kondisi obyek
wisata, masalah dan usulan penanganan, kebutuhan pelayanan, dan fasilitas.
Berdasarkan asal pengunjung, 40% wisatawan yang mengunjungi Kawasan
Puncak berasal dari Jakarta sedangkan pengunjung lain berasal dari Bogor
(18%), Depok (17%), Bandung (14%), Jawa Tengah (6%) dan Sumatera (5%).
109

Wisatawan lokal maupun nusantara pada umumnya merupakan repeater


(kunjungan berulang-ulang) dengan rata-rata frekuensi kunjungan sebagian
besar (81%) lebih dari 3 kali dan tidak menginap (20%).

Gambar 12. Prosentase wisatawan berdasarkan daerah asal.

Pengunjung umumnya datang secara rombongan (52%) dengan


menggunakan kendaraan sewa, bersama teman atau kerabat (35,2%), datang
bersama keluarga (7,2%) atau sendiri (5,6%). Banyaknya pengunjung yang
datang secara rombongan dengan menggunakan kendaraan sewaan disebabkan
kendaraan umum ke tempat ini relatif jarang dan pada umumnya untuk mencapai
lokasi, dari tempat pemberhentian masih harus berjalan kaki.

Gambar 13. Prosentase alasan wisatawan mengunjungi objek tujuan wisata


di Kawasan Puncak.

Alasan wisatawan mengunjungi obyek tujuan wisata di Kawasan Puncak,


adalah: 76% karena ingin melihat pemandangan, 13% karena menganggap
fasilitas pendukung pariwisata di kawasan Puncak lengkap, 7% karena menilai
kawasan Puncak memiliki obyek wisata yang beragam serta 4% karena jarak ke
obyek wisata relatif dekat sehingga mudah dijangkau.
110

Gambar 14. Prosentase keluhan wisatawan di Kawasan Puncak.

Keluhan wisatawan tentang Kawasan Puncak, yaitu: (1) sebanyak


43,01% menyatakan kemacetan lalu lintas; (2) sebanyak 30,33% responden
menyatakan pertumbuhan PKL (pedagang kaki lima) mengganggu kenyamanan
dan keindahan panorama Kawasan Puncak; (3) sebanyak 13,33% responden
mengeluhkan tentang banyaknya reklame yang simpang siur; (4) sebanyak
3,33% mengeluhkan banyaknya fasilitas yang kurang terpelihara; dan (5)
sebanyak 1% mengeluhkan tentang pertumbuhan bangunan liar.

Gambar 15. Prosentase saran wisatawan untuk perbaikan kinerja pariwisata


Kawasan Puncak.

Saran yang diberikan oleh wisatawan untuk perbaikan kinerja pariwisata


di Kawasan Puncak, yaitu: (1) sebanyak 59% menyarankan agar pemerintah
menangani kemacetan di Kawasan Puncak; (2) sebanyak 23% menyarankan
peningkatan pemeliharaan fasilitas obyek wisata; (3) sebanyak 10%
menyarankan peningkatan kelestarian lingkungan; (4) sebanyak 6%
menyarankan peningkatan pelayanan; dan (5) sebanyak 2% menyarankan
peningkatan kualitas SDM dan penurunan tarif obyek wisata.
111

Gambar 16. Prosentase usulan penanganan kemacetan lalu lintas


di Kawasan Puncak

Usulan wisatawan terhadap permasalahan kemacetan lalu lintas di


Kawasan Puncak, yaitu: (1) sebanyak 40% mengusulkan membuka jalan
alternatif dalam upaya mengatasi masalah kemacetan di Kawasan Puncak; (2)
sebanyak 20% mengusulkan pelebaran jalan-jalan utama menuju lokasi obyek
wisata; (3) sebanyak 35% mengusulkan untuk melakukan pengaturan lalu lintas
seperti jam buka tutup pada waktu-waktu sibuk/macet dan memberdayakan
Polisi lalu Lintas dalam mengatur lalu lintas di kawasan Puncak; dan (4)
sebanyak 5% mengusulkan untuk membuka jalan tol ke arah Puncak.

5.1.3 Analisis Biaya Perjalanan (Travel Cost Method /TCM)

Nilai ekonomi kawasan Puncak diduga dengan menggunakan metode


biaya perjalanan wisata (travel cost method). Secara prinsip metode ini mengkaji
biaya yang dikeluarkan dan waktu yang digunakan orang untuk mencapai tempat
rekreasi guna mengestimasi besarnya nilai benefit dari upaya perubahan kualitas
lingkungan. Berdasarkan pola pengeluaran konsumen, dapat dikaji berapa nilai
(value) yang diberikan konsumen kepada sumber daya alam dan lingkungan.

Perbandingan biaya yang dikeluarkan pengunjung pada kawasan wisata


puncak Bogor digambarkan sebagai berikut:
112

Gambar 17. Prosentase biaya yang dikeluarkan pengunjung pada kawasan


wisata puncak Bogor.

Prosentase terbesar yang dikeluarkan oleh pengunjung pada kawasan


wisata Puncak Bogor yakni biaya penginapan sebesar 34,93%, disusul biaya
transportasi sebesar 16,53%, biaya makanan/minuman sebesar 16,22% dan
biaya untuk belanja sebesar 15,48%. Sedangkan biaya yang relatif kecil
dikeluarkan yakni untuk biaya lainnya sebesar 8,22%, aktivitas wisata sebesar
7,87% dan biaya parkir sebesar 0,74% . Rata-rata biaya yang dikeluarkan
pengunjung pada berbagai objek wisata di Kawasan Puncak ditampilkan pada
tabel 38 sebagai berikut:

Tabel 38. Rata-rata biaya yang dikeluarkan pengunjung pada kawasan


wisata Puncak Bogor (BPTi)

Biaya yang dikeluarkan pengunjung pada kawasan wisata Puncak Bogor


Lokasi BPTi
Lain-
Mkn/Mnm Aktivitas Belanja Transpor Penginapan Parkir
lain

T. Safari 132.863 102.059 354.816 240.698 662.500 15.833 156.556 1.665.325

T. Warna 40.000 8.500 70.000 86.667 150.000 2.000 70.000 427.167

G. Mas 171.471 140.714 184.250 141.538 394.000 5.500 79.000 1.116.473

C. Cilember 77.500 35.450 94.250 63.250 103.000 8.308 14.250 396.008

T. Melrimba 400.000 116.667 260.000 177.143 150.000 4.000 60.000 1.167.810

C. Panjang 50.000 15.000 17000 150.000 100.000 5.000 10.000 347.000

T. Matahari 81.944 54.091 76.667 112.692 493.750 3.000 10.000 832.144

Perbandingan alokasi biaya yang dikeluarkan pengunjung pada kawasan


wisata Puncak Bogor sebagaimana tertera pada gambar 18.
113

Gambar 18. Perbandingan biaya yang dikeluarkan pengunjung pada kawasan


wisata Puncak Bogor.

Biaya perjalanan yang dikeluarkan oleh pengunjung berdasarkan tempat


wisata, menunjukkan biaya tertinggi pengeluaran di lokasi Taman Safari, Taman
Melrimba, Agrowisata Gunung Mas dan Taman Wisata Matahari, sedangkan
pengeluaran terkecil adalah di lokasi Curug Panjang, Curug Cilember dan Telaga
Warna. Hal ini menunjukkan bahwa pengunjung bersedia membayar atau
mengeluarkan biaya lebih tinggi pada lokasi-lokasi objek wisata yang sudah
dikelola dengan baik dengan sarana dan prasarana yang memadai disertai
aktivitas wisata yang beragam seperti Taman Safari, Taman Melrimba, Gunung
Mas dan Taman Matahari.

Perbandingan biaya yang dikeluarkan oleh pengunjung pada kawasan


wisata Puncak Bogor menunjukkan bahwa, pengeluaran terbesar pada biaya
penginapan yakni pada lokasi Wisata Taman Safari, Telaga Warna, Agrowisata
Gunung Mas, Curug Cilember dan Taman Matahari.

Pengeluaran terbesar di lokasi Wisata Taman Melrimba yakni pada


makanan dan minuman karena pada lokasi tersebut merupakan pusat restoran
yang menyediakan wisata alam bagi para pengunjungnya, sedangkan pada
Wisata Curug Cilember karena lokasinya yang agak jauh dari jalan poros dan
medannya yang cukup berat menyebabkan biaya pengeluaran terbesar yang
disiapkan oleh pengunjung adalah biaya transportasi.

Guna mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah kunjungan


individu di kawasan puncak digunakan analisis regresi linier berganda dengan
114

enam variabel utama yaitu variabel jumlah kunjungan (Y), biaya perjalanan
(TC), waktu tempuh (H), pendapatan individu (I), umur (A) dan kondisi objek
wisata (F). Pengujian ini menggunakan t-test dan F-test dengan taraf α = 5 %.
Uji t (Uji individu) adalah pengujian koefisien regresi masing-masing variabel
independen terhadap variabel dependen untuk mengetahui seberapa besar
pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen, dengan hipotesa
sebagai berikut:

H0 : β1 = 0 (masing-masing variabel X (Ln TC, Ln H, Ln I, Ln A, Ln F) tidak


mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap variabel Y)

H 1 : β1 ≠ 0 (Masing-masing variabel X (Ln TC, Ln H, Ln I, Ln A, Ln F)


mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap variabel Y)

Jika p-value > 0,05 dan t-hitung < t-tabel Maka H0 diterima dan H1 ditolak, berarti
variabel yang diuji tidak berpengaruh pada frekuensi kunjungan.

Uji F merupakan pengujian hubungan regresi secara simultan dari


variabel-variabel dependent yang bertujuan apakah secara bersama-sama ada
minimal satu variabel independent mempunyai pengaruh yang signifikan
terhadap variabel dependent. Adapun hipotesa yang diajukan adalah:

H0 : β1 = β2 = β3 = β4 = β5 = 0, diduga secara simultan Ln TC, Ln H, Ln I, Ln A,


Ln F tidak mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap variabel Y.

H1 : β1 ≠ β2 ≠ β3 ≠ β4 ≠ β5 ≠ 0, diduga secara simultan Ln TC, Ln H, Ln I, Ln A,


Ln F mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap variabel Y.

Jika F statistik < 0,05 atau F hitung > F tabel maka H0 ditolak, yang berarti
minimal ada satu variabel independent yang mempunyai pengaruh signifikan
terhadap variabel dependent.

Berdasarkan hasil pengujian regresi berganda, didapat hasil uji t untuk


frekuensi kunjungan ditampilkan pada tabel 39 sebagai berikut:
115

Tabel 39. Hasil uji parsial (Uji t) frekuensi kunjungan

Frekuensi Kunjungan
Model
t-hit Sig. Ket

Konstanta -3,093 0,002 Signifikan

Biaya perjalanan (TC) 2,778 0,006 Signifikan

Waktu tempuh (H) -3,685 0,000 Signifikan

Pendapatan Individu (I) 1,539 0,126 Tidak Signifikan

Umur (A) -0,832 0,407 Tidak Signifikan

Kondisi objek wisata ( F) 2,579 0,011 Signifikan


2
R 0,145

N 168

Berdasarkan tabel 39, dapat dijelaskan bahwa biaya perjalanan hasil uji t
menunjukkan p-value 0,006 lebih kecil dari 0,05, maka H0 ditolak, yang berarti
terdapat pengaruh yang signifikan antara biaya perjalanan terhadap frekuensi
kunjungan, hubungan antar keduanya adalah positif, artinya walaupun biaya
perjalanan meningkat, hal ini tidak menimbulkan penurunan frekuensi kunjungan
ke objek wisata di Kawasan Puncak.

Variabel waktu tempuh hasil uji t diketahui bahwa p-value 0,000 lebih
kecil dari 0,05, maka H0 ditolak, yang berarti terdapat pengaruh yang signifikan
antara waktu tempuh terhadap frekuensi kunjungan. Waktu tempuh memiliki
hubungan yang negatif dengan frekuensi kunjungan, artinya jika waktu tempuh
menuju objek wisata bertambah, hal ini akan menurunkan frekuensi kunjungan
ke objek wisata tersebut.

Sedangkan untuk variabel pendapatan hasil uji t menunjukkan bahwa p-


value 0,126 lebih besar dari 0,05, maka H0 diterima, yang artinya tidak terdapat
pengaruh antara pendapatan dengan frekuensi kunjungan. Kemudian untuk
variabel umur hasil uji t menunjukkan bahwa p-value 0,407 lebih besar dari 0,05,
maka H0 diterima, yang artinya tidak terdapat pengaruh antara umur dengan
frekuensi kunjungan. Pada variabel kondisi wisata hasil uji t diketahui bahwa p-
value 0,011 lebih kecil dari 0,05, maka H0 ditolak, yang berarti terdapat pengaruh
yang signifikan antara kondisi objek wisata terhadap frekuensi kunjungan.
Artinya semakin baik kondisi objek wisata di Kawasan Puncak, maka akan
meningkatkan frekuensi kunjungan para wisatawan.
116

Berdasarkan hasil pengolahan regresi berganda pada frekuensi


2
kunjungan diketahui bahwa koefisien determinasi R = 0,145. Artinya seluruh
variabel independent, yaitu: Total Biaya (TC), Waktu Tempuh (H), Pendapatan
(I), Umur (A), dan Kondisi Wisata (F), yang mampu menjelaskan variasi dari
variabel dependen (Frekuensi Kunjungan) sebesar 14,5% sedangkan sisanya
(85,5%) dijelaskan oleh faktor-faktor lain yang tidak diikutsertakan dalam model.
Hasil pengujian serentak ditampilkan pada tabel 40 berikut.

Tabel 40. Hasil Pengujian Serentak (Uji-F) pada Frekuensi Kunjungan

Variabel F Sig Keterangan

Frekuensi Kunjungan 5,478 0,000 Signifikan

Berdasarkan tabel 40, diketahui bahwa p-value sebesar 0,000 lebih kecil
dari 0,05, maka H0 ditolak, yang berarti secara bersama-sama terdapat minimal
satu variabel yang berpengaruh signifikan diantara seluruh variabel independen
(Total Biaya (TC), Waktu Tempuh (H), Pendapatan (I), Umur (A), dan Kondisi
Wisata (F)) terhadap variabel dependen (Frekuensi Kunjungan). Hasil pengujian
statistik dapat dilihat pada tabel 41 berikut.

Tabel 41. Hasil pengujian statistik deskriptif

Variabel N Satuan Min Max Mean Std. Deviation

Kunjungan (V) 168 Frek 1 5 2.3333 1.36538

Biaya Rekreasi (TC) 168 Rp 80.00 41.000.000 945625.0000 3.76266

Waktu Tempuh (H) 168 Jam 1 50 3.4345 4.29822

Pendapatan (I) 168 Rp 500.000 30.000.000 2.6544 3.60806

Umur (A) 168 Tahun 16 57 30.0774 11.27235

Kondisi Wisata (F) 168 Skala Likert 17 55 35.9048 7.12022

Sumber : Data kuesioner diolah dengan SPSS 17

Uji normalitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi,


variabel terikat dan variabel bebas mempunyai distribusi normal atau tidak. Uji
normalitas dalam penelitian ini menggunakan p-plot test. Pengujian normalitas
dapat dideteksi dengan melihat penyebaran data (titik) pada sumbu diagonal dari
grafik normal. Dasar pengambilan keputusannya jika data menyebar di sekitar
garis diagonal dan mengikuti arah garis diagonalnya, maka model regresi
117

memenuhi asumsi normalitas dan sebaliknya jika data menyebar jauh dari garis
diagonal dan/atau tidak mengikuti arah garis diagonal, maka model regresi tidak
memenuhi asumsi normalitas.

Gambar 19. Grafik uji normalitas untuk model frekuensi kunjungan.

Dilihat dari grafik normalitas diatas (normal p-plot of regression


standardized residual) terlihat bahwa titik-titik menyebar di sekitar garis diagonal,
serta penyebarannya mengikuti arah garis diagonal. Hal ini menunjukkan bahwa
model regresi sudah memenuhi asumsi normalitas.

Multikolinearitas menunjukkan bahwa antar variabel independen


mempunyai hubungan langsung. Multikolinearitas terjadi jika nilai variance
inflation factor (VIF) melebihi 10. Variance inflation factor (VIF) merupakan
indikator yang menunjukkan bahwa variabel independen lain masih dalam
standar error dengan koefisien regresi. Perumusan hipotesisnya adalah:

H0 : Tidak ada multikolinearitas;

H1 : Ada multikolinearitas.

Dasar pengambilan keputusan, yaitu jika VIF < 10, maka H0 diterima
(tidak ada multikolinearitas) dan sebaliknya. Berdasarkan hasil pengolahan data
diperoleh hasil seperti tercantum pada tabel 42 sebagai berikut:

Tabel 42. Hasil uji multikolinearitas

Variabel VIF Kesimpulan

Ln TC 1.209 Tidak ada Multikolinearitas

Ln H 1.170 Tidak ada Multikolinearitas

Ln I 1.340 Tidak ada Multikolinearitas

Ln A 1.303 Tidak ada Multikolinearitas

Ln F 1.062 Tidak ada Multikolinearitas


118

Berdasarkan tabel 42, diketahui bahwa seluruh variabel independen


mempunyai nilai VIF < 10, yang berarti tidak ada multikolinearitas sehingga
model regresi untuk frekuensi kunjungan yang digunakan dalam penelitian dapat
dilanjutkan.

Autokorelasi menunjukkan bahwa ada korelasi antara error dengan error


periode sebelumnya dimana pada asumsi klasik hal ini tidak boleh terjadi. Uji
autokorelasi dilakukan dengan menggunakan durbin watson seperti tercantum
pada tabel 43. Perumusan hipotesis adalah:

H0 : tidak ada autokorelasi;

H1 : ada autokorelasi.

Tabel 43. Keputusan uji autokorelasi

Hipotesa Nol (H0) Keputusan Kriteria Keterangan

Tdk ada autokorelasi positif H0 ditolak 0 < DW <dL autokorelasi positif

Tdk ada autokorelasi positif tdk ada keputusan dL ≤ DW ≤ dU tdk dapat disimpulkan

Tdk ada autokorelasi negatif H0 ditolak 4-dL < DW < 4 autokorelasi negative

Tdk ada autokorelasi negatif tdk ada keputusan 4-dU ≤ DW ≤ 4-dL tdk dapat disimpulkan

Tdk ada autokorelasi H0 diterima dU < DW < 4-dU Tidak ada autokorelasi

Gambar 20. Bagan keputusan uji autokorelasi.

Berdasarkan hasil regresi, diketahui pada frekuensi kunjungan memiliki


nilai DW = 1,562 terletak diantara (0 < DW <dL), sehingga data dalam penelitian
berada pada daerah ada autokorelasi positif, sehingga model regresi yang
digunakan masih belum memenuhi uji asumsi klasik, untuk uji autokorelasi.
Namun demikian pengaruhnya terhadap hasil regresi tidak terlalu besar sehingga
119

model regresi yang digunakan masih layak untuk dilanjutkan. Hasil uji
autokorelasi tercantum pada tabel 44 berikut:

Tabel 44. Hasil uji autokorelasi (n=168, k=5, α=0.05)

Model dL dU 4-dU 4-dL DW Kesimpulan

Frekuensi Kunjungan 1.592 1.758 2.242 2.408 1.562 Ada autokorelasi positif

Heteroskedastisitas menunjukkan bahwa varian dari setiap error bersifat


heterogen yang berarti melanggar asumsi klasik yang mensyaratkan bahwa
varian dari error harus bersifat homogen. Pengujian dilakukan dengan uji glejser,
dengan cara meregresikan seluruh variabel independen dengan nilai absolute
residual sebagai dependennya. Perumusan hipotesisnya adalah:

H0 : tidak ada heteroskedastisitas,

H1 : ada heteroskedastisitas.

Jika signifikan < 0,05, maka H0 ditolak (ada heteroskedastisitas) dan sebaliknya.
Hasil uji heteroskedastisitas dapat dilihat pada tabel 45 berikut.

Tabel 45. Hasil uji heteroskedastisitas

Variabel Residual Frekuensi Kunjungan Kesimpulan

Ln TC 1,000 Tidak ada Heteroskedastisitas

Ln H 1,000 Tidak ada Heteroskedastisitas

Ln I 1,000 Tidak ada Heteroskedastisitas

Ln A 1,000 Tidak ada Heteroskedastisitas

Ln F 1,000 Tidak ada Heteroskedastisitas

Berdasarkan tabel 45, dapat diketahui bahwa tidak terdapat masalah


heteroskedastisitas pada frekuensi kunjungan, karena semua variabel
independennya tidak ada yang memiliki nilai signifikan lebih kecil dari 0,05
terhadap residualnya.

Hasil regresi antara Frekuensi Kunjungan (Y) dengan variabel-variabel


bebas Total Biaya (TC), Waktu Tempuh (H), Pendapatan (I), Umur (A), dan
Kondisi Wisata (F) dapat dilihat sebagai berikut:

Ln Y = -3,090+ 0,093 Ln TC – 0,283 Ln H + 0,101 Ln I – 0,110 Ln A + 0,503 Ln F


Sig = (0,002) (0,006) (0,000) (0,126) (0,407) (0,011)
120

Berdasarkan persamaan diatas dapat disimpulkan bahwa dari enam


variabel yang digunakan terdapat tiga variabel bebas yang mempunyai pengaruh
signifikan terhadap variabel terikat (frekuensi kunjungan) yaitu variabel biaya
perjalanan, waktu tempuh dan kondisi objek wisata. Sedangkan dari pengujian
secara simultan diperoleh hasil bahwa semua variabel bebas berpengaruh
secara signifikan terhadap variabel terikatnya (jumlah kunjungan individu).

Hasil regresi menunjukkan terdapat tiga faktor yang berpengaruh


terhadap frekuensi kunjungan, yaitu: total biaya, waktu tempuh dan kondisi
wisata. Faktor total biaya berpengaruh positif terhadap frekuensi kunjungan
wisatawan dengan nilai signifikansi sebesar 0,006 (P = 0,006 < 0,05). Hal ini
menunjukkan bahwa setiap peningkatan satu satuan total biaya akan
meningkatkan frekuensi berkunjung sebesar exp (0,093) atau 1,10 kali
kunjungan.

Faktor waktu tempuh berpengaruh negatif terhadap frekuensi kunjungan


wisatawan dengan nilai signifikansi sebesar 0,000 (P = 0,000 < 0,05). Hal ini
menunjukkan bahwa setiap peningkatan satu satuan waktu tempuh akan
mengurangi frekuensi berkunjung sebesar exp (0,283) atau 0,75 kali kunjungan.

Faktor kondisi wisata berpengaruh positif terhadap frekuensi kunjungan


wisatawan dengan nilai signifikansi sebesar 0,011 (P = 0,011< 0,05). Hal ini
menunjukkan bahwa setiap peningkatan satu satuan kondisi wisata akan
meningkatkan frekuensi berkunjung sebesar exp (0,503) atau 1,65 kali
kunjungan.

5.2 Analisis Daya Saing

Penghitungan indeks daya saing pariwisata di Kawasan Puncak


dilakukan dengan memasukkan seluruh indikator daya saing dari WWTC
sebanyak 8 indikator. Selain mengukur daya saing wisata di Kawasan Puncak,
dilakukan pula studi komparasi dengan indeks daya saing daerah Lembang,
Kabupaten Bandung Barat di Provinsi Jawa Barat. Dipilihnya destinasi Lembang
sebagai perbandingan adalah dengan pertimbangan mempunyai kemiripan
dengan objek wisata di kawasan puncak yaitu berupa alam pegunungan.

Analisis daya saing ini penting dilakukan untuk memberikan gambaran


posisi daya saing pariwisata di Kawasan Puncak serta berimplikasi pada
kebijakan yang harus dilakukan oleh pemerintah Kabupaten Bogor dalam
121

pengembangan sektor pariwisata. Dengan memperhatikan indikator-indikator


penentu daya saing dapat dikaji kelebihan dan kekurangan suatu destinasi dalam
mengembangkan industri pariwisata sebagai salah satu sumber penerimaan
daerah yang potensial.

Hasil analisis mengenai kedudukan atau posisi daya saing pariwisata di


Kawasan Puncak dapat dijelaskan secara ringkas dalam tabel 46 berikut ini:

Tabel 46. Perbandingan daya saing antara Kawasan Pariwisata Puncak dan
Lembang

No INDIKATOR KAWASAN PUNCAK LEMBANG

1 Price competitiveness (PC) 0,106 0,063

2 Human Tourism (HT) 0,036 0,033


- Tourism Impact Index (TII)
- Tourism Participation Index (TPI)

3 Infrastruktur Development Indicator (IDI) 0,028 0,038

4 Environment Indicator (EI) 0,043 0,044

5 Technology Advancement Indicator (TAI) 0,091 0,097

6 Human Resources Indicator (HRI) 0,119 0,123

7 Social Development Indicator (SDI) 0,014 0,025

8 Openess Indicator (OI) 0,045 0,068

Indeks Daya Saing 0,482 0,492

Berdasarkan hasil perhitungan daya saing yang ditampilkan pada tabel


46, secara kumulatif berdasarkan 8 indikator pembentuk daya saing, nilai indeks
daya saing Lembang, Kabupaten Bandung Barat yaitu 0,492, lebih tinggi dari
daya saing Kawasan Puncak, Kabupaten Bogor yaitu 0,482. Hampir seluruh nilai
pada indikator yang dihitung, Lembang memiliki nilai yang lebih tinggi dari
Kawasan Puncak kecuali untuk indikator price competitiveness (PC) dan human
tourism (HT) Lembang memiliki nilai lebih rendah dari Kawasan Puncak.
Beberapa penyebabnya dapat dijelaskan pada setiap indikator yang membentuk
indeks daya saing di sektor pariwisata di bawah ini:

5.2.1 Price Competitiveness Indicator (PCI)

Indikator ini menunjukkan harga komoditi yang dikonsumsi oleh turis


selama berwisata seperti biaya akomodasi, travel, sewa kendaraan dan
sebagainya. Biaya yang dikeluarkan atau dikonsumsi oleh wisatawan di
122

Kawasan Puncak telah dianalisis pada bab V. Berdasarkan hasil survey dan
analisis biaya perjalanan yang telah diuraikan pada bab sebelumnya, diperoleh
rata-rata biaya perjalanan wisatawan di kawasan Puncak adalah Rp. 844.989
dan bila dikalikan jumlah wisatawan serta rata-rata lama tinggal di kawasan
Puncak dalam satu tahun, maka total dana yang dikeluarkan wisatawan dan
beredar di kawasan Puncak adalah Rp. 1.935.695.900.264. Komparasi dengan
Lembang tidak digunakan data biaya perjalanan, mengingat tidak dilakukan
pengambilan sampel pada tempat objek wisata di Lembang. Pengukuran yang
digunakan adalah purchasing power parity (PPP) sebagai proksi dari harga
adalah rata-rata tarif minimum hotel. Harga hotel berasal dari hotel Safari
Garden dan Hotel Seruni di Kawasan Puncak dan Hotel Grand Lembang di
Lembang. PPP dihitung dari jumlah turis suatu daerah x rata-rata tarif hotel x
rata-rata masa tinggal.

Hasil indeks PPP ini juga menunjukkan bahwa indeks PPP lebih tinggi di
Kawasan Puncak dibandingkan dengan Lembang . Hal ini disebabkan oleh lebih
banyaknya jumlah turis yang datang ke Kawasan Puncak dibandingkan ke
Lembang. Selain faktor jumlah turis, faktor rata-rata masa tinggal turis di daerah
destinasi juga merupakan indikator untuk menentukan indeks PPP ini. Rata-rata
masa tinggal turis di destinasi Kawasan Puncak adalah 1,8 hari sedangkan di
destinasi Lembang adalah 2,1 hari. Perbedaan rata-rata masa tinggal ini sangat
ditentukan oleh kenyamanan turis dan daya tarik pariwisata yang ditawarkan
destinasi tersebut. Masa tinggal turis juga sangat ditentukan oleh kenyamanan
hotel dan keramahan penduduk di daerah destinasi. Secara kuantitas jumlah
hotel/wisma/bungalow di Kawasan Puncak lebih banyak dari Lembang, yaitu 141
unit di Kawasan Puncak dan 47 unit di Lembang.

5.2.2 Human Tourism Indicator (HTI)

Human tourism indicator (HTI) merupakan indikator yang menunjukkan


pencapaian perkembangan ekonomi daerah akibat kedatangan turis pada
daerah tersebut. Pengukuran yang digunakan adalah tourism participation index
(TPI) yaitu rasio antara jumlah wisatawan dengan jumlah penduduk daerah
destinasi dan tourism impact index (TII) yaitu rasio antara penerimaan pariwisata
dengan PDRB. Jumlah wisatawan di Kawasan Puncak lebih banyak daripada di
Lembang. Pada tahun 2009 jumlah wisatawan di Kawasan Puncak mencapai
1.347.526 orang, sedangkan di Lembang sebanyak 694.569 orang dan
123

Kabupaten Bandung Barat sebanyak 852.374 orang. Hal tersebut terlihat dari
angka tourism participation index dengan melihat seberapa besar rasio antara
pertambahan jumlah wisatawan dengan pertambahan jumlah penduduk di
daerah tujuan wisata. Hasilnya angka TPI Kawasan Puncak yaitu 0,387 lebih
tinggi dari TPI Lembang yaitu 0,372.

Pertambahan jumlah wisatawan di suatu destinasi akan memberikan


dampak baik secara ekonomi maupun sosial bagi masyarakat setempat. Secara
ekonomi dapat terlihat dari nilai tourism impact index (TII) yang dihitung dari
penerimaan pariwisata dengan PDRB. Nilai TII di Kawasan Puncak yaitu 0,423,
sedangkan nilai TII di Lembang lebih kecil yaitu 0.375. Hal ini menunjukkan
bahwa keberadaan wisatawan di Kawasan Puncak secara ekonomi memberikan
kontribusi terhadap PDRB lebih besar daripada di Lembang. Selain itu sektor
pariwisata, juga memberikan kontribusi pendapatan terhadap pendapatan asli
daerah (PAD) yang berasal dari pajak dan retribusi yang dipungut pemerintah
baik di bidang hotel, restoran, hiburan dan aktivitas lainnya yang berkaitan
dengan pariwisata. Penerimaan PAD dari sektor pariwisata di Kabupaten Bogor
mengalami peningkatan setiap tahunnya, pada tahun 2005 penerimaan dari
sektor pariwisata adalah Rp.17.873.667.000, meningkat menjadi Rp.
35.509.323.990 pada tahun 2009. Peningkatan penerimaan ini diharapkan dapat
memberikan kontribusi bagi kesejahteraan masyarakat .

5.2.3 Infrastructure Development Indicator (IDI)

Infrastruktur merupakan faktor penunjang perkembangan pariwisata yang


secara langsung akan berpengaruh pada pola pencaran arus wisatawan menuju
daerah tujuan wisata dan selanjutnya menuju objek wisata. Ketersediaan
infrastruktur akan memperkuat daya tarik daerah tujuan wisata, terutama bila
akses ke daerah tujuan wisata tersebut sangat dipermudah, karenanya dalam
pengukuran indikator ini digambarkan dengan kondisi jalan raya dan cakupan
pelayanan air bersih sebagai faktor penting untuk perkembangan pariwisata.
Infrastructure development indicator (IDI) Lembang mempunyai nilai lebih tinggi
daripada Kawasan Puncak dengan perbandingan 0,038 : 0,028.

Keunggulan infrastruktur Lembang adalah tersedianya berbagai moda


angkutan yang dapat dipilih oleh wisatawan untuk menuju Bandung. Moda
angkutan tersebut meliputi angkutan kendaraan pribadi maupun umum, moda
angkutan kereta api dan moda angkutan pesawat udara. Sedangkan untuk
124

mencapai Bogor hanya bisa dilalui moda angkutan kendaraan pribadi/umum


dan kereta api. Selain itu, akses untuk mencapai destinasi Lembang dapat
ditempuh melalui 7 jalur jalan yaitu: (1) Padalarang-Jln Pasir Halang- Cisarua –
Lembang; (2) Cimahi – Kol Masturi – Cisarua – Lembang; (3) Cimahi –
Cihanjuang – Parongpong – Lembang; (4) Kota Bandung – Setiabudi –
Lembang; (5) Dago – Cibodas – Maribaya – Lembang; (6) Pucrut – Cijeruk –
Lembang; dan (7) Subang – Tangkuban Perahu – Panorama Lembang,
sedangkan di Kawasan Puncak untuk mencapai Kecamatan Ciawi,
Megamendung dan Cisarua bisa ditempuh dari tiga pintu masuk (inlet) yaitu dari
arah Cianjur, Sukabumi dan Bogor tetapi ketika mencapai tujuan tempat objek
wisata hanya dilayani oleh satu jalur jalan, sehingga jika lalu lintas padat/macet
tidak dapat dihindari karena tidak ada alternatif jalan lain.

Jalan Raya Puncak sebagai jaringan jalan utama (kolektor primer)


merupakan pembentuk struktur Kawasan Puncak, sehingga dengan hanya
mengandalkan satu ruas jalan (single line) ini maka bentuk perkotaan yang
terjadi di Kawasan Puncak cenderung mengarah pada pola linier. Pertambahan
panjang jalan yang relatif sedikit tidak sebanding dengan pertambahan jumlah
kendaraan yang menuju Kawasan Puncak, baik untuk tujuan wisata ataupun
hanya melintasi Kawasan Puncak untuk tujuan ke Cianjur atau Bandung.

Pada tahun 2009 DLLAJ melakukan survey data primer di pos


pengamatan Ciawi dengan hasil rata-rata jumlah kendaraan yang melintas
adalah sebanyak 39.564 kendaraan per hari atau 1649 kendaraan per jam.
Penambahan kendaraan ini cukup tinggi dibandingkan tahun 2001 yang
mencapai 28.800 kendaraan per hari atau sekitar 1.200 kendaraan per jam.
Kemacetan lalu lintas di Kawasan Puncak diperparah dengan banyaknya
gangguan samping akibat penggunaan bahu jalan untuk parkir dan pedagang
kaki lima (PKL). Berdasarkan hasil pendataan yang dilakukan Dinas Cipta Karya
tahun 2006, sepanjang jalur jalan dari Ciawi sampai dengan batas Cianjur
terdapat sekitar 446 PKL. Hal ini sangat mengganggu baik dari estetika,
kenyamanan, keselamatan dan kelestarian lingkungan.

5.2.4 Environment Indicator (EI)

Indikator ini menunjukkan kualitas lingkungan dan kesadaran penduduk


dalam memelihara lingkungannya. Data yang digunakan adalah indeks
kepadatan penduduk (rasio antara jumlah penduduk dengan luas daerah) dan
125

tingkat kebisingan (dBA). Indeks ini memberi implikasi bahwa jika suatu daerah
destinasi tingkat kepadatan penduduk sangat tinggi maka diasumsikan kualitas
lingkungan di destinasi tersebut akan rendah. Kualitas lingkungan akan
mempengaruhi kenyamanan turis yang datang ke destinasi tersebut. Secara
umum mereka menginginkan destinasi yang bersih, nyaman dan aman maupun
suasana alam yang menyegarkan. Indeks lingkungan di Lembang sedikit lebih
baik daripada Kawasan Puncak dengan nilai 0,044 untuk Lembang dan Kawasan
Puncak 0,043.

Hal yang perlu dilakukan dalam pengelolaan wisata di Kawasan Puncak


adalah dengan mengendalikan pertambahan penduduk karena saat ini
kepadatan penduduk di Kawasan Puncak cukup tinggi yaitu 2.532 jiwa/km2 di
Kawasan Puncak sedangkan kepadatan penduduk di Lembang berada di bawah
Kawasan Puncak yaitu 1.760 jiwa/km2. Kepadatan penduduk yang terlalu tinggi
dapat menurunkan kualitas lingkungan yang pada akhirnya menurunkan
kenyamanan berwisata.

Selanjutnya berdasarkan hasil penelitian Badan Lingkungan Hidup tahun


2009, diperoleh data tingkat kebisingan pada dua lokasi di kawasan Puncak
terdeteksi sudah melebihi ambang batas yang diperkenankan,yaitu tertinggi
mencapai 85,7 dBA sedangkan yang diperkenankan berdasarkan Peraturan
Pemerintah RI No 41 tahun 1999 adalah 60 dBA. Berdasarkan data-data diatas
maka perlu dilakukan upaya perbaikan kualitas lingkungan melalui peningkatan
kesadaran berbagai pihak untuk menjaga lingkungan sehingga lingkungan
menjadi bersih dan indah yang pada akhirnya akan menambah masa tinggal
turis di daerah destinasi.

5.2.5 Technology Advancement Indicator (TAI)

Indikator ini menunjukkan perkembangan infrastruktur dan teknologi


modern yang ditunjukkan dengan meluasnya penggunaan internet, dan
telephone. Hasil analisis menunjukkan bahwa indeks teknologi di daerah
destinasi Lembang lebih tinggi dibandingkan destinasi Kawasan Puncak yaitu
0,097: 0,091. Kemajuan alat telekomunikasi telepon dan internet sangat penting
artinya bagi perkembangan daerah tujuan wisata. Kedua alat komunikasi ini
sekaligus dapat dijadikan sebagai media promosi bagi daerah tujuan wisata
untuk menarik kunjungan wisatawan.
126

5.2.6 Human Resources Indicator (HRI)


Indikator ini menunjukkan kualitas sumber daya manusia daerah tersebut
sehingga dapat memberikan pelayanan yang lebih baik kepada wisatawan.
Pengukuran HRI menggunakan Indeks Pembangunan Manusia (IPM). IPM
mencakup tiga komponen yaitu peluang hidup (longevity), pengetahuan
(knowledge) dan hidup layak (living standards). Peluang hidup dihitung
berdasarkan angka harapan hidup ketika lahir, pengetahuan diukur berdasarkan
rata-rata lama sekolah dan angka melek huruf penduduk berusia 15 tahun ke
atas dan hidup layak diukur dengan pengeluaran per kapita yang didasarkan
pada paritas daya beli (BPS 2009).

Angka IPM Lembang Kabupaten Bandung Barat sebesar 75,02


sedangkan IPM Kabupaten Bogor berada dibawahnya yaitu 71,63. Hal ini
menunjukkan bahwa kualitas SDM penduduk Kabupaten Bandung Barat lebih
baik daripada Kabupaten Bogor, rata-rata lama sekolah di Kabupaten Bandung
Barat mencapai 8,34 tahun atau setara dengan kelas 2 SLTP sedangkan di
Kabupaten Bogor baru 7,53 tahun atau setara dengan kelas 1 SLTP. IPM dapat
digunakan untuk mengklasifikasikan suatu wilayah dikategorikan maju,
berkembang atau terbelakang serta digunakan untuk mengukur pengaruh dari
kebijakan pembangunan terhadap kualitas hidup. Indeks ini memberi implikasi
bahwa semakin tinggi kualitas SDM penduduk di daerah destinasi maka
diasumsikan akan memberikan pelayanan yang lebih baik kepada turis di daerah
destinasi. Semakin baik pelayanan maka dapat meningkatkan rata-rata lama
tinggal wisatawan sehingga memberikan banyak manfaat bagi daerah destinasi.
Salah satu manfaat yang diperoleh adalah pendapatan daerah yang berasal dari
sektor pariwisata.

5.2.7 Social Development Indicator (SDI)

Indikator ini menunjukkan kenyamanan dan keamanan turis untuk


berwisata di daerah destinasi. Ukuran social development indicator (SDI) yang
digunakan dalam penghitungan ini adalah kejadian kriminalitas atau gangguan
kamtibmas (keamanan dan ketertiban masyarakat) dan lama rata-rata masa
tinggal turis di daerah destinasi. Asumsinya semakin sedikit gangguan
kamtibmas maka akan meningkatkan rasa aman dan nyaman para wisatawan.
Indeks gangguan kamtibmas Lembang adalah 0,304 sedangkan gangguan
kamtibmas Kawasan Puncak adalah 0,426. Berdasarkan angka tersebut
menunjukkan bahwa kondisi kejadian gangguan kamtibmas atau keamanan
127

Lembang lebih baik daripada Kawasan Puncak. Gangguan kamtibmas yang


kerapkali terjadi di Kawasan Puncak adalah pencurian (kendaraan, ringan,
berat, kekerasan) sebanyak 62 kejadian di Kecamatan Ciawi, 29 kejadian di
Kecamatan Megamendung dan 102 kejadian di Kecamatan Cisarua (BPS 2009).

Kenyamanan turis atau wisatawan tinggal di suatu destinasi salah


satunya ditunjukkan oleh rata-rata lama tinggal. Angka rata-rata lama tinggal di
lembang berkisar antara 1,7 sampai 2,4 hari sedangkan di Kawasan Puncak
berkisar antara 1,5 sampai dengan 2,1 hari. Selain itu ukuran rata-rata lama
tinggal memberi implikasi bahwa semakin lama turis tinggal di daerah destinasi
maka akan lebih banyak perbelanjaan atau konsumsi yang dikeluarkan di daerah
tersebut. Berdasarkan data yang tertera pada tabel 48, nilai SDI Lembang
(0,025) lebih tinggi daripada Kawasan Puncak (0,014). Hal ini sebagai indikasi
perkembangan kondisi sosial masyarakat yang terjadi di Lembang lebih baik
daripada di Kawasan Puncak.

5.2.8 Openess Indicator (OI)

Indikator ini menunjukkan tingkat keterbukaan destinasi terhadap


perdagangan internasional dan turis internasional, namun karena kesulitan
mencari data-data perdagangan internasional di daerah, maka pendekatan untuk
menunjukkan tingkat keterbukaan atau OI adalah dengan menggunakan data
jumlah wisatawan mancanegara. Asumsinya adalah dengan bertambahnya
kedatangan jumlah wisatawan mancanegara atau internasional maka
menyebabkan terjadinya perdagangan atau transaksi antara kedua bangsa,
yaitu bangsa asal turis dan bangsa destinasi tujuan wisata. Selain itu,
pertambahan jumlah wisatawan asing yang mengunjungi suatu destinasi, maka
menunjukkan bahwa destinasi tersebut berada dalam kondisi aman dan nyaman
serta sebagai indikator keterbukaan masyarakat, pemerintah maupun pelaku
wisata dalam berinteraksi dengan wisatawan mancanegara.

Memperhatikan data pada tabel 48, kondisi destinasi di Lembang lebih


terbuka dari Kawasan Puncak, hal ini ditunjukkan dengan nilai OI Lembang
(0,068) yang lebih tinggi dari OI Kawasan Puncak (0,045). Jumlah wisman di
Lembang pada tahun 2009 adalah 234.186 wisatawan dan di Kawasan Puncak
47.105 wisatawan. Faktor yang mendukung kemudahan wisatawan
mancanegara mendatangi suatu destinasi tidak terlepas dari ketersediaan moda
128

transportasi. Keunggulan Kabupaten Bandung Barat adalah dekat dengan


lapangan terbang internasional Husein Sastranegara.

5.3 Analisis Daya Dukung Kawasan (DDK)

5.3.1 Analisis Daya Dukung Fisik (PCC)

Daya dukung fisik/Physical Carrying Capacity (PCC) adalah jumlah


maksimal pengunjung yang dapat secara fisik memenuhi suatu ruang yang telah
ditentukan pada waktu tertentu. Hasil penghitungan PCC terhadap objek wisata
yang diamati dapat dilihat pada tabel 47.

Tabel 47. Daya dukung fisik (PCC) untuk kendaraan dan wisatawan
berdasarkan lokasi objek tujuan wisata di Kawasan Puncak

No. LOKASI PCC PARKIR PCC RUANG

1 Taman Safari Indonesia 5.556 88.888

2 Telaga Warna 100 2.400

3 Agrowisata Gunung Mas 2.354 11.880

4 Curug Cilember 167 6,000

5 Taman Melrimba 313 8.750

6 Curug Panjang 296 8.889

7 Taman Wisata Matahari 5.149 15.833

PCC yang diukur dalam penelitian ini meliputi PCC untuk tempat parkir
dan PCC untuk ruang berwisata, PCC tempat parkir dinyatakan dengan jumlah
kendaraan yang dapat ditampung di areal parkir selama masa operasional
wisata. Ukuran kendaraan yang digunakan diasumsikan berukuran 2 x 3 m
dengan perkiraan 54 m2 cukup untuk 3 mobil atau 18 m 2/mobil. Lokasi objek
wisata Taman Safari Indonesia menempati urutan terbanyak dalam hal
kemampuan menampung kendaraan yaitu 5.556 kendaraan dalam kurun waktu
8 jam waktu operasional wisata dengan waktu pemanfaatan rata-rata
pengunjung selama 6 jam. Terbanyak kedua adalah Taman Wisata Matahari
dengan jumlah kendaraan 5.149 kendaraan selama waktu operasional 9,5 jam
dengan rata-rata waktu yang dimanfaatkan pengunjung 8 jam.

Diantara 7 lokasi yang diamati, objek wisata Taman safari Indonesia dan
Taman Wisata Matahari merupakan objek wisata yang menyediakan lahan parkir
terluas yaitu masing-masing 75.000 m2 dan 78.055 m2. Kapasitas daya tampung
129

kendaraan terendah terdapat pada objek wisata Telaga Warna dan Curug
Cilember dengan kapasitas masing-masing 100 dan 167 kendaraan dalam kurun
waktu rata-rata pemanfaatan selama 5 jam dan 8 jam dengan areal luas lahan
parkir masing-masing 20.000 m2 dan 30.000 m2. Berdasarkan gambaran jumlah
kendaraan tersebut dapat menjadi alat pengendali bagi pihak manajemen dan
pemerintah daerah dalam pengaturan luas lahan parkir dan kapasitas
kendaraan yang diperbolehkan atau diizinkan.

Daya dukung fisik (PCC) adalah jumlah maksimal pengunjung yang dapat
ditampung secara fisik di suatu OTW akan tergantung dari: (1) Luas areal OTW;
2) Luas areal OTW yang dimanfaatkan untuk kegiatan wisata; (3) Waktu yang
disediakan oleh kawasan untuk kegiatan wisata dalam satu hari (jam/hari); (4)
Waktu yang dihabiskan oleh pengunjung; serta 5) Area yang dimanfaatkan oleh
1 pengguna per m2. Nilai PCC diperoleh setelah mengidentifikasi dan
pengumpulan data kepada responden serta data-data sekunder tentang OTW
yang bersangkutan. Data-data luas lahan keseluruhan dan luas lahan yang
benar-benar dimanfaatkan wisatawan serta data waktu operasional OTW
diperoleh dari hasil wawancara dengan manajemen OTW sedangkan waktu
pengunjung menghabiskan waktu berwisata diperoleh dari hasil wawancara
dengan pengunjung di lokasi OTW tersebut.

Adapun batasan atau standar potensi ekologis seorang pengunjung per


luasan tertentu diperoleh dari referensi. Berdasarkan pendapat Wong (1991)
dalam Rahmawati (2009), standar kelas rendah kebutuhan ruang berwisata
didaerah pesisir adalah 10 m /orang, kelas menengah adalah 15 m2/orang, kelas
2

mewah 20 m2 dan kelas istimewa 30 m2/orang. Pada penelitian ini digunakan


standar kelas menengah 15 m2/orang dengan pertimbangan sebagian besar
pengunjung ke Kawasan Puncak berada pada kondisi tersebut, salah satu cirinya
adalah kedatangan pengunjung berwisata secara berombongan atau keluarga
yang tidak terlalu membutuhkan ruang terlalu luas/mewah.

Berdasarkan batasan tersebut maka OTW Taman Safari mempunyai


kapasitas menampung pengunjung yang terbesar dibandingkan 6 OTW lain yang
diamati yaitu dapat menampung sebanyak 88.889 pengunjung pada luasan
lahan 100 ha dalam waktu operasional sekitar 8 jam dengan waktu pemanfaatan
rata-rata pengunjung selama 6 jam. Terbanyak kedua adalah pada OTW Taman
Wisata Matahari dengan nilai PCC sebesar 15.833 artinya dapat menampung
130

15.833 pengunjung selama waktu operasional 9,5 jam dengan rata-rata waktu
yang dimanfaatkan pengunjung 8 jam pada lahan yang disediakan seluas 20 ha.
Sebaliknya untuk luas lahan yang relatif sempit tidak dapat menampung
kunjungan dalam jumlah banyak seperti halnya di lokasi Curug Cilember dan
Telaga Warna yang hanya dapat menampung 6.000 dan 2.400 pengunjung pada
luasan lahan masing-masing 3 ha dan 2 ha.

5.3.2 Analisis Daya Dukung Sebenarnya (RCC)

Daya dukung sebenarnya/Real Carrying Capacity (RCC) adalah jumlah


kunjungan maksimal untuk sebuah lokasi setelah mempertimbangkan faktor-
faktor koreksi yang terjadi di suatu lokasi. Faktor koreksi yang digunakan dalam
penelitian ini adalah curah hujan dengan pertimbangan bahwa curah hujan
merupakan faktor yang dapat menghambat kunjungan wisata. Perhitungan
RCC di lokasi pengamatan didasarkan data curah hujan di tiga kecamatan
seperti yang tampak pada tabel 48.

Tabel 48. Curah hujan dan Hari hujan di Kawasan Puncak

No. IKLIM Cisarua Ciawi Megamendung Rata-rata

1. Curah Hujan (mm/bln) 278,8 49,3 49 125,7

2. Hari Hujan (hh) 19 18 19 18,7

Sumber : Kecamatan Dalam Angka, 2009

Berdasarkan klasifikasi Oldeman tipe iklim di Kawasan Puncak termasuk


pada tipe B2 dan C1. Tipe iklim B2 merupakan daerah yang mempunyai 7
sampai 9 bulan basah dan 2 sampai 4 bulan kering. Sedangkan tipe iklim C1
yaitu daerah yang mempunyai 5 sampai 6 bulan basah berurutan dan kurang
dari 2 bulan kering. Bulan basah didefinisikan sebagai bulan yang mempunyai
curah hujan rata-rata lebih dari 200 mm, sedangkan bulan kering adalah bulan
yang mempunyai curah hujan rata-rata kurang dari 100 mm. Tipe iklim B2
terdapat di Kecamatan Cisarua dan Kecamatan Megamendung, Kabupaten
Bogor. Sedangkan tipe ikllim C1 terdapat di Kecamatan Ciawi. Curah hujan di
Kawasan Puncak rata-rata 125,7 mm per tahun dengan jumlah hari hujan 18,7
hh. Berdasarkan data curah hujan, didapati waktu hujan turun rata-rata 6 jam
per hari per tahun. Hasil hitungan faktor koreksi curah hujan disajikan pada tabel
49.
131

Tabel 49. Faktor koreksi curah hujan di lokasi objek wisata tahun 2009

Lokasi Faktor Koreksi (%)

Taman Safari Indonesia 61,37

Telaga Warna 22,74

Agrowisata Gunung Mas 73,65

Curug Cilember 46,03

Taman Melrimba 92,05

Curug Panjang 40,91

Taman Wisata Matahari 46,03

Faktor koreksi merupakan faktor pembatas yang dapat mempengaruhi


jumlah pengunjung berdasarkan daya dukung fisik (PCC). Keberadaan faktor
pembatas yang mengoreksi jumlah kunjungan berdasarkan daya dukung fisik
(PCC), maka daya dukung untuk kunjungan wisatawan yang realistis atau
sebenarnya pada setiap lokasi yang diamati, dapat dilihat pada tabel 50.

Tabel 50. Kondisi PCC dan RCC pada setiap lokasi objek tempat wisata

No. LOKASI PCC RCC


(kunjungan/hari) (kunjungan/hari)

1 Taman Safari Indonesia 88.889 34.338

2 Telaga Warna 2.400 633

3 Agrowisata Gunung Mas 11.880 3.131

4 Curug Cilember 6.000 3.238

5 Taman Melrimba 8.750 695

6 Curug Panjang 8.889 5.252

7 Taman Wisata Matahari 15.833 8.,545

Berdasarkan hasil perhitungan PCC dan RCC diatas, terdapat perbedaan


kapasitas daya tampung pengunjung per hari antara sebelum dan setelah
diperhitungkan faktor pembatas. Setelah diperhitungkan faktor pembatas berupa
faktor koreksi dari curah hujan, maka kapasitas daya dukung pengunjung pada
setiap OTW menjadi lebih kecil atau berkurang. Rata-rata pengurangan dari nilai
PCC (daya dukung fisik) menuju RCC (daya dukung sebenarnya) adalah antara
1,7 sampai 12,5 kali lipat. Pengurangan terkecil terjadi di OTW Curug Panjang
sedangkan terbesar adalah di OTW Taman Melrimba. Perbedaan kelipatan
132

pengurangan PCC ke RCC dipengaruhi oleh faktor lamanya pengunjung berada


di suatu OTW. Rendahnya pengurangan PCC menjadi RCC di OTW Taman
Melrimba dipengaruhi masa kunjungan yang relatif pendek di lokasi tersebut
yaitu sekitar 4 jam yang sebagian besar digunakan untuk kegiatan makan di
restoran, sedangkan waktu kunjungan di OTW yang lain lebih lama yaitu sekitar
6 sampai 9 jam, sehingga faktor pembatas curah hujan tidak seluruhnya
mengganggu atau membatasi aktivitas wisata.

5.3.3 Analisis Daya Dukung yang Diperbolehkan/Efektif (ECC)

Setelah mengukur RCC maka dilanjutkan dengan penghitungan ECC


atau analisis daya dukung efektif yang dihitung dengan mempertimbangkan
kapasitas infrastruktur dan kapasitas manajemen. Kapasitas infrastruktur
didasarkan pada lamanya rata-rata pemanfaatan waktu operasional suatu objek
wisata oleh pengunjung dibandingkan dengan waktu jarak tempuh dari jalan
arteri ke lokasi objek wisata, sedangkan kapasitas manajemen adalah
kemampuan pengelola dalam menjalankan usaha wisatanya agar sesuai dengan
tujuan yang diharapkan. Perbandingan hasil analisis PCC,RCC dan ECC dapat
dilihat pada tebel 51 berikut.

Tabel 51. Kondisi PCC, RCC, ECC dan kunjungan wisatawan pada setiap lokasi
objek tempat wisata

No. LOKASI PCC RCC ECC Kunjungan


(kunjungan/ Wisatawan
(kunjungan/ (kunjungan/
hari) hari) (kunjungan/
hari)
hari)

1 Taman Safari Indonesia 88.889 34.338 1.771 1.753

2 Telaga Warna 2.400 633 600 41

3 Agrowisata Gunung Mas 11.880 3.131 714 754

4 Curug Cilember 6.000 3.238 424 525

5 Taman Melrimba 8.750 695 1.811 167

6 Curug Panjang 8.889 5.252 532 47

7 Taman Wisata Matahari 15.833 8.546 591 312

Unsur manajemen yang diamati pada penghitungan ini meliputi kuantitas


dan kualitas sumberdaya manusia pegawai dan alokasi anggaran bagi
pemeliharaan objek wisata tersebut. Ketiga unsur ini sangat penting karena
selain berkaitan dengan kondisi fisik tempat objek wisata yang terpelihara
133

dengan baik juga dengan kemampuan pelayanan pengelola terhadap


pengunjung demi menciptakan kenyamanan berwisata. Gambaran kondisi
PCC, RCC dan ECC serta kondisi kunjungan wisatawan disajikan pada gambar
21.

Gambar 21. Kondisi perbandingan antara, RCC dan kunjungan wisatawan pada
setiap lokasi objek tempat wisata.

Pada saat kapasitas untuk mengelola sumberdaya kawasan meningkat,


maka ECC akan meningkat, namun tidak pernah lebih besar dari RCC meskipun
dalam kondisi yang mendukung. Berdasarkan uraian PCC, RCC dan ECC di atas
dinyatakan bahwa setiap tingkat urutan merupakan tingkat kapasitas yang telah
diperbaiki (dikurangi) dari tingkat sebelumnya, sehingga PCC selalu lebih besar
jumlahnya dari RCC, dan RCC lebih besar atau sama dengan ECC, yang dapat
dinotasikan dengan: PCC > RCC dan RCC > ECC (Khair Uzunu 2008).

Gambar 22. Kondisi perbandingan antara, ECC dan kunjungan wisatawan pada
setiap lokasi objek tempat wisata.
134

Persamaan diatas dijadikan standar dalam menentukan kapasitas daya


dukung fisik di Kawasan Puncak. Jika ECC lebih besar dari RCC dan RCC lebih
besar PCC berarti jumlah pengunjung yang memasuki kawasan wisata telah
melewati daya dukung fisik kawasan. Manning (1992) dalam Khair Uzunu ((2008)
mengatakan ketika indikator variabel tidak sesuai dengan standar yang dibuat,
berarti daya dukung terlampaui sehingga diperlukan langkah-langkah kegiatan
pengelolaan kawasan. Berdasarkan data yang ditampilkan pada tabel 51 dan
gambar 22, dapat dijelaskan sebagai berikut:

1) Taman Safari Indonesia

Dibandingkan dengan tempat objek wisata lainnya di Kawasan Puncak,


Taman Safari Indonesia memiliki PCC dan RCC yang lebih tinggi, yaitu
88.889 kunjungan/hari dan 34.338 kunjungan/hari. Hal ini sesuai dengan luas
lahan objek wisata Taman Safari Indonesia yang dimanfaatkan untuk wisata
memiliki luas sekitar 100 ha dengan durasi waktu operasional sekitar 8 jam,
sehingga walaupun ada kendala hujan yang turun pada hari-hari hujan
tertentu, masih mampu menampung kunjungan wisatawan yang lebih tinggi
dari lokasi wisata lainnya. Namun jika dilihat dari nilai ECC, maka daya
dukung efektif di Taman Safari bernilai lebih rendah dari Taman Melrimba.
Hal ini disebabkan karena terdapatnya perbedaan faktor pembatas kapasitas
infrastruktur dan kapasitas manajemen yang dimiliki oleh lokasi wisata
tersebut. Faktor jarak antara jalan arteri primer ke lokasi wisata menjadi
faktor yang berpengaruh terhadap rotasi kunjungan wisata.

Waktu tempuh dari jalan propinsi ke Taman Melrimba lebih singkat dari
waktu tempuh menuju Taman Safari Indonesia, sehingga rotasi kunjungan
pun menjadi lebih tinggi. Demikian pula dari kapasitas manajemen, Taman
Safari masih membutuhkan penambahan personil karena luasnya areal
wisata serta banyaknya ragam atraksi wisata yang ditawarkan kepada
wisatawan. Saat ini jumlah pegawai yang bekerja di Taman Safari berjumlah
630 orang. Berbeda halnya dengan Taman Melrimba, karena lokasinya yang
tidak luas dengan kegiatan utama wisatanya berupa restoran dan taman
bunga, maka tidak memerlukan karyawan yang banyak sehingga dengan
jumlah pegawai berjumlah 65 orang sudah dirasakan cukup.

Berdasarkan nilai PCC, RCC dan ECC maka diketahui bahwa nilai ECC
Taman safari lebih kecil dari nilai RCC dan lebih kecil dari PCC. Berdasarkan
135

hal tersebut maka kapasitas daya dukung Taman Safari masih memadai.
Indikator lain yang menunjukkan bahwa kapasitas pengunjung di Taman
Safari belum melampaui daya dukung adalah dengan membandingkan nilai
ECC dengan data jumlah wisatawan yang mengunjungi Taman Safari per
hari. Nilai ECC Taman Safari yaitu 1.771 sedangkan jumlah kunjungan
wisatawan eksisiting adalah 1.753 atau sekitar 98% dari nilai ECC.
Berdasarkan perbandingan ECC dengan data jumlah pengunjung eksisting,
walaupun belum melampaui daya dukung efektifnya, namun memiliki selisih
angka tidak jauh atau hampir mencapai kapasitas daya dukung efektif. Jika
membandingkan jumlah pengunjung eksisting dengan RCC maka kapasitas
daya dukung real masih bisa menampung sekitar 19 kali lipat jumlah
pengunjung saat ini. Berkenaan dengan hal tersebut persoalan yang
membatasi daya dukung pengunjung adalah kapasitas infrastruktur dan
kapasitas manajemen. Perbaikan kapasitas infrastruktur dapat dilakukan
dengan cara menjaga kondisi infrastruktur dari jalan utama menuju lokasi
Taman Safari, sedangkan kapasitas manajemen dapat dilakukan dengan
meningkatkan pelayanan dengan cara meningkatkan kuantitas maupun
kualitas SDM dan meningkatkan pemeliharaan areal OTW Taman Safari
dengan cara menambah proporsi pemeliharaan pada alokasi anggaran.

2) Telaga Warna

Telaga Warna mempunyai nilai PCC dan RCC terkecil jika dibandingkan
dengan objek wisata lainnya yaitu masing-masing 2.400 dan 633 kunjungan
per hari, hal ini sesuai dengan luas areal wisata Telaga Warna yang memiliki
luas terkecil yaitu seluas 2 ha. Kapasitas daya dukung sebenarnya (RCC)
berkurang sekitar 3,8 kali dari kapasitas daya dukung fisik sebelum
meperhitungkan faktor pembatas curah hujan. Namun berbeda halnya
dengan nilai ECC yang ternyata tidak memiliki pola yang sama. Nilai ECC
Telaga Warna (600 kunjungan/hari) memiliki angka kunjungan yang lebih
tinggi dari Curug Cilember (423 kunjungan/hari), Curug Panjang (532
kunjungan/hari) dan Taman Wisata Matahari (591 kunjungan/hari). Daya
dukung Telaga Warna dipandang lebih efektif karena faktor jarak dan waktu
tempuh dari jalan raya ke lokasi yang lebih dekat dibandingkan Curug
Cilember, Curug Panjang dan Taman Wisata Matahari.
136

Nilai daya dukung efektif Telaga Warna kurang lebih sekitar 600 kunjungan
per hari, bila dibandingkan dengan data kunjungan wisatawan pada tahun
2009 sebesar 42 wisatawan, maka kondisi objek wisata Telaga Warna saat
ini masih dapat menampung kunjungan wisatawan karena belum melampaui
daya dukung efektifnya.

3) Agrowisata Gunung Mas

Luas areal Agrowisata Gunung Mas seluruhnya adalah 16,2 ha, namun luas
yang dapat dimanfaatkan untuk wisata adalah 8,1 Ha, sehingga nilai PCC
nya adalah 11.880 kunjungan/hari. Apabila diperhitungkan faktor koreksi
curah hujan sebagai penghambat kehadiran wisatawan di lokasi Gunung
Mas, maka nilai RCC nya berkurang menjadi 3.131 kunjungan/hari.

Berdasarkan data kunjungan wisata yang diterbitkan Dinas Kebudayaan dan


Pariwisata tahun 2009, wisatawan yang berkunjung ke Agrowisata Gunung
Mas sebanyak 754 orang/hari. Bila dibandingkan dengan nilai ECC sebesar
714 orang/hari, maka saat ini jumlah wisatawan yang berkunjung ke Gunung
Mas sudah melampaui daya dukung efektifnya. Jika pengunjung eksisting
dibandingkan dengan daya dukung sebenarnya (RCC) sebesar 3.131 maka
secara fisik walaupun sudah diperhitungkan faktor pembatas curah hujan
masih dapat menampung pengunjung namun kondisi ini perlu disikapi
dengan hati-hati.

Jika ingin meningkatkan kapasitas daya dukung efektif dari nilai 714
kunjungan/hari, maka pihak pengelola Gunung Mas harus memperbaiki
manajemen pengelolaan wisatanya dengan menambah jumlah pegawai dari
saat ini sekitar 100 Orang menjadi seperti yang ditargetkan yaitu 105 orang.
Demikian pula pelaksanaan diklat pegawai harus ditingkatkan dari 1
kali/tahun menjadi seperti yang ditargetkan yaitu 2 kali/tahun. Pemeliharaan
sarana dan prasarana wisata saat ini dianggarkan sekitar 15% dari total
anggaran. Pihak pengelola merasakan dengan proporsi ini masih dirasakan
kurang optimal sehingga kedepan akan dilakukan peningkatan proporsi
anggaran pemeliharaan menjadi 25%.

4) Curug Cilember

PCC dan RCC Curug Cilember mempunyai nilai masing-masing 6.000 dan
3.238 kunjungan per hari, hal ini sesuai dengan luas areal wisata Curug
137

Cilember yang hanya seluas 3 ha. Setelah memperhitungkan kapasitas


infrastruktur dan kapasitas manajemen, ternyata niilai daya dukung efektif
(ECC) Curug Cilember berada pada urutan nilai terkecil dibandingkan dengan
tempat objek wisata lainnya yaitu sebesar 424 orang/hari. Faktor utama yang
mengakibatkan kecilnya daya dukung efektif Curug Cilember adalah karena
kondisi infrastruktur yang jauh jaraknya dari jalan raya, dengan lebar jalan
yang sempit dan kualitas jalan yang kurang baik.

Nilai daya dukung efektif Curug Cilember bila dibandingkan dengan data
kunjungan wisatawan pada tahun 2009 sebesar 525 wisatawan, maka kondisi
objek wisata Curug Cilember saat ini sudah melampaui daya dukung
efektifnya.

5) Taman Melrimba

Daya dukung fisik (PCC) di Taman Melrimba mencukupi untuk menampung


8.750 kunjungan/hari. Hal ini sesuai dengan luas areal yang dapat
dimanfaatkan untuk kegiatan wisata yaitu seluas 3,5 ha dari total luas
seluruhnya yaitu 5 ha. Setelah dikoreksi dengan curah hujan yang terjadi di
sekitar wilayah objek wisata tersebut, maka nilai daya dukung sebenarnya
menjadi 695 pengunjung/hari. Kapasitas infrastruktur dan manajemen
Taman Melrimba relatif lebih baik dari tempat objek wisata lainnya mengingat
jarak lokasi Taman Melrimba sangat dekat dengan jalan raya. Jumlah
pegawai dan anggaran pemeliharaan pun dinyatakan cukup memadai oleh
para pengelola manajemen mengingat lokasi objek wisata yang tidak terlalu
luas dan jenis aktivitas wisata yang tidak banyak ragamnya. Kegiatan wisata
yang disediakan Taman Melrimba meliputi wahana flora, outbound dan
restoran. Dibandingkan dengan jumlah kunjungan wisata ke Taman
Melrimba pada tahun 2009 sebanyak 167 pengunjung/hari maka masih
belum melampaui nilai daya dukung efektif (ECC) sebanyak 1.811
pengunjung/hari atau sekitar 9,2%.

6) Curug Panjang

Berdasarkan luas areal tempat objek wisata Curug Panjang dan waktu rata-
rata lama pengunjung berada di lokasi tersebut, maka kapasitas daya dukung
fisik Curug Panjang dapat menampung sekitar 8.889 pengunjung/hari.
Setelah dipertimbangkan dengan faktor koreksi curah hujan yang menjadi
faktor penghambat kehadiran pengunjung di lokasi wisata, maka nilai daya
138

dukung sebenarnya (RCC) berkurang menjadi 5.252 pengunjung/hari. Nilai


RCC tersebut menjadi berkurang lagi manakala kapasitas manajemen dan
kapasitas infrastruktur diperhitungkan sebagai faktor yang mempengaruhi
kunjungan wisata. Jumlah wisatawan yang dapat berkunjung atau angka
kunjungan/hari berdasarkan daya dukung efektifnya adalah sebesar 532
pengunjung/hari. Bila membandingkan nilai daya dukung efektif (ECC)
dengan data kunjungan wisatawan ke Curug Panjang selama tahun 2009,
maka dapat diketahui apakah kondisi objek wisata Curug Panjang ini sudah
melampaui daya dukung atau tidak. Berdasarkan tabel 52 diperoleh data
ECC adalah 532 kunjungan/hari sedangkan jumlah wisatawan yang
mengunjungi Curug Panjang adalah 47 pengunjung/hari. Berdasarkan data
tersebut menunjukkan bahwa jumlah wisatawan yang berkunjung ke Curug
Panjang masih dapat ditampung secara fisik dan masih terlayani dengan baik
oleh pihak manajemen di Curug Panjang.

7) Taman Wisata Matahari (TWM)

Taman Wisata Matahari (TWM) merupakan tempat objek wisata yang relatif
masih baru, yaitu mulai operasional pada tahun 2007. Kehadiran TWM
menimbulkan kemacetan lalu lintas karena tingginya wisatawan yang
berkunjung ke lokasi tersebut disebabkan banyaknya wahana yang
ditawarkan dengan tarif yang relatif murah. Jumlah wisatawan yang
berkunjung setahun setelah dibuka sudah mencapai 110.504 wisatawan, dan
bertambah menjadi 113.819 wisatawan pada tahun 2009.

Berdasarkan daya dukung fisik dengan mempertimbangkan luas lahan serta


rotasi pengunjung berdasarkan rata-rata waktu pemanfaatan maka diperoleh
angka PCC sebesar 15.833 pengunjung/hari. Setelah dikoreksi dengan faktor
curah hujan, maka kapasitas daya dukung nya berkurang menjadi 8.545
kunjungan per hari. Selanjutnya dilakukan perhitungan ECC yang
mempertimbangkan kapasitas pelayanan staf dan kemampuan anggaran
untuk pemeliharaan lokasi. Manajemen pengelolaan TWM saat ini sudah
cukup baik bila dilihat dari jumlah pegawai dan anggaran pemeliharaan.
Berdasarkan faktor-faktor tersebut maka nilai ECC Taman Wisata Matahari
adalah 591 pengunjung/hari. Bila dibandingkan dengan data kunjungan
wisatawan tahun 2009, maka jumlah wisatawan yang berkunjung ke TWM
tersebut belum melampaui ECC yang diperkenankan.
139

VI. ANALISIS KEBERLANJUTAN PARIWISATA KAWASAN PUNCAK

Analisis status keberlanjutan menggunakan metode penilaian cepat multi


disiplin (multi disiplinary rapid appraisal), yaitu Multy Dimensional Scaling (MDS)
dengan perangkat lunak rapfish. Data yang digunakan untuk analisis adalah
data primer dan sekunder. Data primer berupa data-data yang berkaitan dengan
kondisi objek wisata, wisatawan, kebijakan dan permasalahan yang berkaitan
dengan pengelolaan pariwisata. Sumber data primer terdiri atas: observasi
lapangan, kuesioner dan wawancara/diskusi dengan para pakar serta diambil
dari hasil analisis bab sebelumnya. Data sekunder berupa dokumen dari
berbagai instansi.

Ridwan (2006), melakukan analisis keberlanjutan dengan menggunakan


analisis MDS pada 6 dimensi yaitu dimensi ekonomi, ekologi, hukum,
kelembagaan, teknologi dan sosial budaya. Perbedaannya terletak pada analisis
yang dilakukan selanjutnya yaitu analisis input output antar wilayah. Sedangkan
Marhayudi (2006), meneliti keberlanjutan dalam pengelolaan sumber daya hutan
di wilayah perbatasan Kalimantan Barat dengan menggunakan analisis MDS
pada enam dimensi kemudian dilanjutkan dengan analisis sistem dinamik dan
prospektif. Thamrin (2009) meneliti keberlanjutan di Kalimantan Barat dengan
menggunakan MDS pada enam dimensi yang sama, namun dengan tambahan
analisis kesesuaian lahan, kelayakan finansial dan prospektif.

Penelitian keberlanjutan kawasan pariwisata Puncak Kabupaten Bogor,


dilakukan pada lima dimensi keberlanjutan, yaitu: (1) dimensi hukum dan
kelembagaan; (2) dimensi ekologi; (3) dimensi ekonomi; (4) dimensi sosial
budaya; dan (5) dimensi sarana prasarana, dengan atribut dan nilai scoring hasil
pendapat pakar dan data sekunder seperti pada lampiran hasil penelitian.
Terhadap semua dimensi tersebut telah dievaluasi dan ditetapkan atribut-atribut
penyusunnya. Hasil penetapan atribut dimensi keberlanjutan pariwisata Kawasan
Puncak diperoleh 45 atribut yaitu dimensi Hukum dan kelembagaan sebanyak 10
atribut, dimensi ekologi 10 atribut, dimensi ekonomi 9 atribut, dimensi sosial
budaya 8 atribut, dan dimensi sarana prasarana 8 atribut. Berdasarkan data
pada kondisi eksisting, setiap atribut pada masing-masing dimensi tersebut telah
dinilai dan dianalisis untuk menentukan nilai indeks keberlanjutan masing-masing
dimensi. Indeks keberlanjutan gabungan antar dimensi ditentukan melalui proses
140

pembobotan terhadap masing-masing dimensi. Pembobotan dilakukan oleh


stakeholders didasarkan pada scientific judgement sesuai dengan karakteristik
wilayah. Nilai keberlanjutan pada masing-masing dimensi adalah sebagai berikut:

6.1 Status Keberlanjutan Dimensi Hukum dan Kelembagaan

Atribut yang diperkirakan memberikan pengaruh terhadap tingkat


keberlanjutan pada dimensi hukum dan kelembagaan terdiri dari sepuluh atribut,
yaitu: (1) frekuensi sosialisasi kebijakan dan program tentang pariwisata dan
ruang; (2) kebijakan insentif dan disinsentif pengelolaan pariwisata Puncak; (3)
frekuensi koordinasi antara berbagai instansi/stakeholder dalam pengelolaan
pariwisata di Kawasan Puncak; (4) ketersediaan pedoman teknis dan
operasional dalam pengelolaan pariwisata Puncak; (5) jumlah bangunan tidak
berizin yang ditertibkan di kawasan Puncak; (6) ketersediaan lembaga yang
menangani pengelolaan pariwisata Puncak secara terintegrasi; (7) prosentase
jumlah sumber daya manusia yang bekerja di lingkup pariwisata yang telah
dilatih kepariwisataan; (8) jumlah kebijakan yang mengatur pariwisata di
kawasan Puncak; (9) jumlah lembaga yang terkait dengan pengelolaan
pariwisata di kawasan Puncak; dan (10) frekuensi pembinaan dan pengendalian
pemerintah kepada pengelola wisata di kawasan Puncak Kabupaten Bogor.

Hasil analisis MDS dengan rap-tourism Puncak menunjukkan indeks


keberlanjutan dimensi hukum dan kelembagaan pengelolaan pariwisata di
Kawasan Puncak Kabupaten Bogor sebesar 31,86 dengan status tidak
berkelanjutan, sebagaimana tertera pada gambar 23.

R A P -T O UR IS M P UNC A K
D imen s i H u ku m d an K elemb ag aan

60

UP
40
Other Distingishing Features

20

R eal V alue
0 B AD GOOD
R eferenc es
0 20 40 60 80 100 120
3 1 .8 6 A nc hors
-20

-40

DO WN
-60

N ilai Indikator K e be rlanjutan D ime ns i H uk um dan K e le mbag aan


R ap-T ou ris m P un c ak

Gambar 23. Indeks keberlanjutan dimensi hukum dan kelembagaan di kawasan


Puncak Kabupaten Bogor.
141

Status tidak berkelanjutan tersebut disebabkan karena terdapatnya lima


atribut yang bernilai rendah, yaitu kebijakan insentif dan disinsentif pengelolaan
pariwisata Puncak, frekuensi koordinasi antara berbagai instansi/stakeholder
dalam pengelolaan pariwisata di kawasan Puncak, jumlah bangunan tidak berizin
yang ditertibkan di kawasan Puncak, ketersediaan lembaga yang menangani
pengelolaan pariwisata Puncak secara terintegrasi serta prosentase jumlah SDM
yang bekerja di lingkup pariwisata yang telah dilatih kepariwisataan. Atribut yang
telah dilaksanakan dengan baik adalah frekuensi sosialisasi kebijakan dan
program tentang pariwisata dan ruang, ketersediaan pedoman teknis dan
operasional dalam pengelolaan pariwisata serta jumlah kebijakan dan
kelembagaan yang mengatur pariwisata di kawasan Puncak.
Guna melihat atribut-atribut yang sensitif memberikan pengaruh terhadap
nilai indeks keberlanjutan dimensi hukum dan kelembagaan, dilakukan analisis
leverage. Berdasarkan hasil analisis leverage diperoleh 7 atribut yang sensitif
terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi hukum dan kelembagaan yaitu:
ketersediaan lembaga yang menangani pengelolaan pariwisata Puncak secara
terintegrasi (8,57%), jumlah kebijakan yang mengatur pariwisata (8,35%),
ketersediaan pedoman teknis dan operasional dalam pengelolaan pariwisata
Puncak (8,28%), prosentase jumlah sumber daya manusia yang bekerja di
lingkup pariwisata yang telah dilatih kepariwisataan (7,63%), jumlah bangunan
tidak berizin yang ditertibkan di kawasan Puncak (7,46%), jumlah lembaga yang
terkait dengan pengelolaan pariwisata di kawasan Puncak (5,38%), dan
frekuensi koordinasi antara berbagai instansi/stakeholder dalam pengelolaan
pariwisata di Kawasan Puncak (4,72%).
Berdasarkan pendapat pakar dan praktisi serta hasil analisis leverage,
maka dapat diketahui pentingnya ketersediaan lembaga yang menangani
pengelolaan pariwisata Puncak secara terintegrasi untuk memaduserasikan
antara berbagai kebijakan dan kelembagaan yang cukup banyak berperan dan
mengatur pengelolaan kawasan Puncak. Demikian pula untuk meningkatkan
kinerja pengelolaan pariwisata sangat penting dikelola oleh lembaga secara
terintegratif serta didukung dengan ketersediaan pedoman teknis dan
operasional pengelolaan pariwisata di Kawasan Puncak yang komprehensif.
Hasil analisis leverage dapat dilihat pada gambar 24.
142

L ev erag e o f A ttrib u tes


D im en s i H u k u m d an K elem b ag a an
R ap -T o u ris m P u n c a k
F R E K UE NS I P E MB INA A N D A N P E NG E ND A L IA N 3 .9 7

J UML A H L E MB A G A Y G TE R K A IT P A R IW IS A TA 5 .3 8

J UML A H K E B IJ A K A N Y G ME NG A TUR P A R IW IS A TA 8 .3 5

P E R S E NTA S E S D M Y G TL H B E K E R J A Y G D IL A TIH
P A R IW IS A TA 7 .6 3

K E TE R S E D IA A N L E MB A G A Y G ME NA NG A NI S E C A R A
8 .5 7
Attribute

INTE G R A TIF

J ML B A NG UNA N TD K B E R IZ IN Y G D ITE R TIB K A N 7 .4 6

K E TE R S E D IA A N P E D O MA N TE K NIS O P E R A S IO NA L 8 .2 8

F R E K UE NS I K O O R D INA S I D L M P E NG E L O L A A N
P UNC A K 4 .7 2

K E B IJ A K A N INS E NTIF D A N D IS INS E NTIF 3 .4 6

F R E K UE NS I S O S IA L IS A S I K E B IJ A K A N 4 .1 6

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

R o o t Me a n S q u a re C h a n g e in O rd in a ti o n w h e n S e le c te d A ttri b u te R e m o v e d (o n
S u s ta i n a b i lity s c a l e 0 to 100)

Gambar 24. Atribut pengungkit dimensi hukum dan kelembagaan di kawasan


Puncak Kabupaten Bogor.

6.2 Status Keberlanjutan Dimensi Ekologi

Atribut yang diperkirakan memberikan pengaruh terhadap tingkat


keberlanjutan pada dimensi ekologi terdiri dari sepuluh atribut, yaitu: (1)
kandungan COD (mg/liter); (2) kepadatan penduduk (jiwa/km2); (3) kepadatan
lalu lintas (jumlah kendaraan/luas jalan); (4) luas tutupan lahan hutan (%); (5)
kadar total colliform (jumlah/100 ml); (6) jumlah timbulan sampah; (7) daya
dukung kawasan wisata; (8) tingkat kebisingan (dBA); (9) frekuensi kejadian
bencana alam; dan (10) luas lahan kritis di zona lindung (%).
Adapun nilai indeks keberlanjutan dimensi ekologi di kawasan pariwisata
Puncak Kabupaten Bogor sebesar 31,38 dengan status tidak berkelanjutan,
sebagaimana tertera pada gambar 25. Nilai indeks keberlanjutan kurang dari
50% ini menunjukkan buruknya kondisi ekologi wilayah. Kemampuan ekologi
untuk mendukung aktivitas di wilayah tersebut semakin berkurang. Bilamana
daya dukung ekologis ini dibiarkan maka akan berpengaruh terhadap
keberlanjutan dimensi lainnya.
143

R A P -T O UR IS M P UNC A K
D imen s i E ko lo g i
60

UP

40

Other Distingishing Features

20

R eal V alue
0 BAD G OOD
R eferenc es
0 20 40 60 80 100 120
A nc hors

-20

-40 31.38
DO W N

-60
N ila i In d ik ato r K eb erla n ju tan D im en s i E k o lo g i R a p -T o u ris m
P u n c ak

Gambar 25. Indeks keberlanjutan dimensi ekologi kawasan Puncak


Kabupaten Bogor.

Status tidak berkelanjutan tersebut disebabkan dari sepuluh atribut


dimensi ekologi yang dinilai, terdapat 6 atribut yang bernilai rendah (buruk) yaitu,
kandungan COD, kepadatan penduduk, kepadatan lalu lintas, luas tutupan lahan
hutan, kadar total colliform dan tingkat kebisingan. Sementara itu atribut yang
bernilai baik adalah daya dukung wisata, frekuensi kejadian bencana alam dan
luas lahan kritis di zona lindung.

Hasil pengukuran kualitas udara ambien yang diukur oleh Dinas Tata
Ruang dan Lingkungan Hidup pada tahun 2008 serta pengukuran oleh Badan
Lingkungan Hidup pada Bulan Desember 2009 di dua titik yang sama yaitu di
depan PT Honoris Kecamatan Ciawi dan perempatan Ciawi menunjukkan nilai
tingkat kebisingan yang melampaui ambang batas berdasarkan Keputusan
MENLH no. 48 tahun 1996. Hasil pengukuran kebisingan menunjukkan kisaran
angka 75,2 sampai 85,7 dBA sedangkan yang diperkenankan adalah sampai 70
dBA. Penurunan kualitas udara di Kawasan Puncak tidak didukung dengan
penambahan ruang terbuka hijau. Tutupan lahan hutan menurun dari 41,62%
pada tahun 1992 menjadi 29,55% pada tahun 2006 (Dewi 2010).

Analisis pengungkit (leverage) terhadap sepuluh atribut dimensi ekologi


menghasilkan 8 atribut yang sensitif bagi keberhasilan pengelolaan lingkungan
wisata di Kawasan Puncak yaitu: daya dukung kawasan wisata dengan nilai
perubahan RMS (10,29%), frekuensi kejadian bencana alam (7,88 %), luas lahan
144

kritis di zona lindung (6,09%), kandungan COD (mg/liter) (5,86%), kepadatan


penduduk (jiwa/km2) (5,85%), kepadatan lalu lintas (5,40%), kadar total colliform
(5,31%) dan luas tutupan lahan (5,22%). Perubahan terhadap ke-8 leverage
factor ini akan mudah berpengaruh terhadap kenaikan atau penurunan terhadap
nilai indeks keberlanjutan dimensi ekologi. Hasil analisis leverage dapat dilihat
pada gambar 26.

L ev erag e o f A ttrib u tes


D im en s i E k o lo g i R ap -T o u ris m P u n c ak
L UA S L A H A N K R IT IS D I Z O NA L IND UNG 6 .0 9

F R E K UE NS I K E J A D IA N B E N C A NA A L A M 7 .8 8

TING K A T K E B IS ING A N 2 .6 4

D A Y A D UK UNG K A W A S A N W IS A TA 1 0 .2 9
Attribute

J UML A H T IMB UL A N S A MP A H 4 .9 2

K A D A R TO T A L C O L L IF O R M 5 .3 1

L UA S TUT UP A N L A H A N 5 .2 2

K E P A D A T A N L A L U L INT A S 5 .4 0

K E P A D A TA N P E ND UD UK 5 .8 5

K A N D UNG A N C O D 5 .8 6
0 2 4 6 8 10 12

R o o t Me a n S q u a re C h a n g e i n O rd i n a ti o n w h e n S e l e c te d A ttri b u te
R e m o v e d (o n S u s ta i n a b i l i ty s c a l e 0 to 100)

Gambar 26. Atribut pengungkit dimensi ekologi di Kawasan Puncak


Kabupaten Bogor

Kepadatan penduduk di kecamatan Cisarua (1.724 jiwa/km2), Ciawi


(3.589 jiwa/km2) dan Megamendung (2.283 jiwa/km2) tergolong tinggi bila
dibandingkan dengan kepadatan rata-rata Kabupaten Bogor, yaitu 1.629 jiwa/km2
(BPS 2009). Demikian pula dengan kepadatan kendaraan di sepanjang jalur
menuju kawasan Puncak yang diamati oleh Dinas Perhubungan Kabupaten
Bogor pada tahun 2009 di pos pengamatan Ciawi, dengan jumlah kendaraan
yang melintas adalah sebanyak 39.564 kendaraan per hari atau 16 kendaraan
per jam.

Daya dukung kawasan wisata diukur melalui analisis daya dukung wisata
di tujuh objek tempat wisata yaitu Taman Safari Indonesia (TSI), Taman Wisata
Matahari (TWM), Taman Melrimba, Agrowisata Gunung Mas, Curug Cilember,
Curug Panjang, dan Telaga Warna. Sesuai hasil analisis daya dukung obyek
wisata pada bab IV, diperoleh hasil bahwa kunjungan wisatawan ke lokasi Curug
Cilember dan Agrowisata Gunung Mas telah melampaui daya dukung efektif
(ECC) yang dimiliki oleh kedua lokasi wisata tersebut. Berdasarkan data
145

kunjungan wisata yang diterbitkan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Tahun


2009, wisatawan yang berkunjung ke Agrowisata Gunung Mas sebanyak 754
orang/hari, bila dibandingkan dengan nilai ECC sebesar 714 orang/hari, maka
saat ini jumlah wisatawan yang berkunjung ke Gunung Mas sudah melampaui
daya dukung efektifnya. Demikian pula wisatawan yang berkunjung ke Curug
Cilember adalah 525 orang/hari sedangkan kapasitas daya dukung efektifnya
adalah 424 orang per hari. Terlampauinya kapasitas daya dukung kedua obyek
tempat wisata tersebut dibandingkan obyek tempat wisata lainnya adalah karena
faktor pemeliharaan dan pelayanan wisata yang belum optimal.

Hasil pengujian kualitas air oleh Badan Lingkungan Hidup Kabupaten


Bogor pada bulan Desember 2009 yang dilakukan di Sungai Ciliwung pada lima
titik yaitu Masjid Atta’awun (Cisarua), Jembatan Katulampa (Ciawi), Jembatan
Gadog (Megamendung), Jembatan Leuwimalang (Cisarua) dan Hotel Ever
Green (Cisarua) menunjukkan tingginya kandungan COD, dan kadar total
colliform. Kandungan COD tertinggi terdapat di sekitar Jembatan Kalimalang
sebesar 221 mg/l sedangkan yang diperkenankan berdasarkan kriteria mutu air
PPRI no 82 tahun 2001 adalah sebesar 10 dan 25 mg/l. Demikian pula dengan
kadar total colliform yang diperkenankan adalah sebesar 1.000 dan 5.000
jml/100 ml sedangkan hasil pengukuran di kelima titik tersebut diperoleh nilai
terendah 17.500 jml/100 ml dan tertinggi 34.100 jml/100 ml yang terdeteksi di
lokasi sekitar Jembatan Gadog dan Jembatan Leuwimalang. Kualitas air Sungai
Ciliwung hulu dengan menggunakan metode Storet, Sistem Penilaian
Environmental Protection Agency (EPA US) dan kriteria lingkungan hidup (PP
No. 82 tahun 2001 tentang kualitas air dan perlindungan pencemaran air),
bahwa kualitas air Sungai Ciliwung sudah tidak dapat dimanfaatkan secara
langsung sebagai air minum (kelas I) karena tergolong sudah tercemar berat
(kualitas buruk). Air tercemar berat karena adanya pembatas utama
pencemaran ini adalah tingginya kadar BOD (Biological Oxiygen Demand) antara
16-23 mg/lt dan kadar COD (Chemical Oxygen Demand) sebesar 42-47 mg/lt
(SLHD Bogor 2010 dalam Suwarno 2011).

Lahan kritis yang tersebar di Kecamatan Ciawi, Cisarua dan


Megamendung adalah seluas 2.394,53 ha, sebagian besar adalah dalam
kategori mulai kritis. Angka tersebut diperoleh berdasarkan perbedaan indeks
konservasi alami (Ika) dan indeks konservasi aktual (Ikc) yang menunjukkan
kondisi hidrologi/tingkat kekritisan lahan berdasarkan kemampuan meresapkan
146

air hujan ke dalam tanah, bukan berdasarkan besarnya erosi tanah yang terjadi
(Departemen PU 2010). Berdasarkan hasil perhitungan indeks konservasi,
maka didapatkan luas lahan yang dikategorikan normal – kritis pada tabel
dibawah ini. Data luas lahan kritis dapat dilihat pada tabel 52 berikut.

Tabel 52. Luas dan presentase Lahan Kritis di Kecamatan Ciawi,Cisarua


dan Megamendung

Kondisi Ciawi Cisarua Megamendung


% % %
Lahan (Ha) (ha) (ha)

Normal 1.714,61 36,97 3.680,65 50,37 2.448,11 39,39

Mulai Kritis 1.963,20 42,33 1.993,66 27,28 2.848,97 45,83

Agak Kritis 272,65 5,9 584,69 0,8 260,02 4,2

Kritis 687,82 14,83 1.048,55 14,34 658,16 10,59

Jumlah 4.638,28 7.307,55 6.215,26


Sumber : Departemen PU 2008

Kejadian bencana alam di Kawasan Puncak didominasi oleh kejadian


longsor. Pada tahun 2007 bencana tanah longsor terjadi di 2 desa di Kecamatan
Ciawi, 12 desa di Kecamatan Megamendung, serta 6 desa di Kecamatan
Cisarua. Sementara data bencana tanah longsor tahun 2008 sampai dengan
bulan juni terjadi di 2 desa di Kecamatan Cisarua dan 4 desa di Kecamatan
Megamendung. Data bencana tanah longsor yang terjadi di Kawasan Puncak
dapat dilihat pada tabel 53 berikut ini.

Tabel 53. Bencana Longsor di Kecamatan Ciawi, Cisarua dan Megamendung

Tahun 2007 Tahun 2008

Jumlah Jumlah Jumlah


No Kecamatan Jumlah Desa Terjadi Desa Terjadi
Terkena Longsor Bencana Terkena Bencana
Longsor Longsor Longsor

1 Ciawi 2 2 - -

2 Cisarua 6 3 2 4

3 Megamendung 12 11 4 3

Sumber : Dinas Cipta Karya Kabupaten Bogor, 2007 – 2008.

Secara umum Kabupaten Bogor memiliki daerah-daerah kerentanan


tanah, yang dapat diklasifikasikan menjadi 4 jenis yaitu kerentanan tanah tinggi,
menengah, rendah dan sangat rendah. Sementara untuk kerentanan tanah di
147

Kawasan Puncak dapat diklasifikasikan kedalam 3 jenis, yaitu kerentanan tanah


tinggi, kerentanan tanah menengah dan kerentanan tanah rendah. Secara umum
kerentanan tanah di Kawasan Puncak didominasi oleh kerentanan tanah
menengah (50,59 %) dan kerentanan tanah rendah (48,64%). Data kerentanan
tanah yang terdapat di Kawasan Puncak dapat dilihat pada tabel 54 berikut ini.

Tabel 54. Luas Kerentanan Tanah di Kecamatan Ciawi, Cisarua dan


Megamendung

Kerentanan Tanah
Luas
Sungai/Danau/ (Ha)
No Kecamatan Rendah Menengah Tinggi
Setu/Waduk

Ha % Ha % Ha % Ha %

1 Ciawi 3306,68 70,11 1404,17 29,77 5,78 0,12 4716,62

2 Cisarua 3.992,92 54,00 3.389,71 45,84 11,63 0,16 7.394,26

3 Megamendung 1916,81 30,70 4278,08 68,53 21,17 0,34 26,82 0,43 6242,87

Sumber : Departemen PU, 2008

6.3 Status Keberlanjutan Dimensi Ekonomi

Atribut yang diperkirakan memberikan pengaruh terhadap tingkat


keberlanjutan pada dimensi ekonomi terdiri dari sepuluh atribut, yaitu: (1) daya
saing wisata; (2) perkembangan kontribusi PAD dari sektor pariwisata terhadap
total PAD; (3) rata-rata biaya perjalanan wisata; (4) status kawasan; (5)
purchasing power parity; (6) rata-rata pengeluaran wisatawan puncak terhadap
PAD pariwisata; (7) jumlah KUKM di kawasan Puncak; (8) jumlah kunjungan
wisata di kawasan Puncak; dan (9) jumlah industri besar dan sedang; (10) jumlah
keluarga sejahtera (KS II, III dan III plus).

Hasil analisis MDS dengan menggunakan rap-tourism Puncak


menunjukkan nilai indeks keberlanjutan dimensi ekonomi di kawasan pariwisata
Puncak Kabupaten Bogor sebesar 67,87. Berdasarkan klasifikasi status
keberlanjutan angka tersebut menunjukkan bahwa kondisi ekonomi di kawasan
Puncak memiliki status berkelanjutan, sebagaimana tertera pada gambar 27.

Status berkelanjutan tersebut disebabkan dari delapan atribut pendukung


dimensi ekonomi yang diamati terdapat lima atribut termasuk kategori baik, yaitu
atribut perkembangan kontribusi PAD dari sektor pariwisata terhadap total PAD,
rata-rata biaya perjalanan wisata di Puncak, status kawasan, purchasing power
parity dan jumlah kunjungan wisata di kawasan Puncak. Sementara itu atribut
148

yang termasuk kategori buruk (rendah) adalah daya saing wisata, jumlah KUKM
di Kawasan Puncak, jumlah industri besar dan sedang serta jumlah keluarga
sejahtera (KS II, III dan III +).

R A P -T OUR IS M P UNC A K
D imen s i E ko n o mi
80

60

UP
Other Distingishing Features

40

67.87
20
R eal V alue
R eferenc es
BAD
0 GOOD A nc hors
0 20 40 60 80 100 120

-20

-40

DO W N

-60
N ilai In d ik ato r K eb erlan ju tan D imen s i E k o n o mi
R a p -T o u ris m P u n c ak

Gambar 27. Indeks keberlanjutan dimensi ekonomi kawasan Puncak


Kabupaten Bogor.
Kawasan wisata alam pegunungan Puncak dalam perwilayahan
pariwisata Provinsi Jawa Barat ditetapkan sebagai wilayah yang termasuk dalam
satu dari sembilan kawasan wisata unggulan Provinsi Jawa Barat. Kondisi ini
memicu peningkatan ekonomi wilayah yang terlihat dari peningkatan penerimaan
daerah dari sektor pariwisata terhadap pendapatan asli daerah (PAD).
Penerimaan daerah dari sektor pariwisata berasal dari pajak dan retribusi yang
berkaitan dengan aktivitas pariwisata seperti kegiatan hotel, restoran dan tempat
hiburan. Jumlah penerimaan pariwisata mengalami peningkatan yang signifikan
dari tahun 2006 sebesar Rp 21.395.077.363 meningkat menjadi Rp
35.509.323.990 pada tahun 2009.

Selain penerimaan dari sektor pariwisata yang dipungut oleh pemerintah


melalui pajak dan retribusi, terdapat pengeluaran langsung wisatawan dalam
bentuk biaya perjalanan wisata. Berdasarkan hasil survey dan analisis biaya
perjalanan yang telah diuraikan pada bab sebelumnya, diperoleh rata-rata biaya
perjalanan wisatawan di kawasan Puncak adalah Rp. 844.989 dan bila dikalikan
jumlah wisatawan serta rata-rata lama tinggal di kawasan Puncak dalam satu
149

tahun, maka total dana yang dikeluarkan wisatawan dan beredar di kawasan
Puncak atau purchasing power parity pariwisata adalah Rp. 1.935.695.900.264.

Guna melihat atribut-atribut yang sensitif memberikan pengaruh terhadap


nilai indeks keberlanjutan dimensi ekonomi, dilakukan analisis leverage.
Berdasarkan hasil analisis leverage diperoleh 6 atribut yang sensitif terhadap
nilai indeks keberlanjutan dimensi ekonomi yaitu: jumlah KUKM di kawasan
Puncak (10,65%), jumlah industri besar dan sedang (6,83%), purchasing power
parity pariwisata (5,86%), rata-rata pengeluaran wisatawan puncak terhadap
PAD pariwisata (5,79%), daya saing wisata (5,37%) dan rata-rata biaya
perjalanan wisata (5,36%). Hasil analisis leverage dapat dilihat pada gambar 28.
Berdasarkan data-data sekunder dan hasil analisis, penilaian untuk atribut jumlah
KUKM dan jumlah industri menunjukkan nilai rendah, sehingga perlu dilakukan
upaya-upaya perbaikan agar secara ekonomi perkembangan di wilayah puncak
akan semakin baik. Data KUKM yang diperoleh dari Dinas Koperasi,
Perdagangan dan Industri Kabupaten Bogor tahun 2010 tertera pada tabel 55.

Tabel 55. Rasio KUKM berdasarkan data KUKM (Koperasi, UMKM dan IKM)
dan jumlah penduduk

Jumlah Rasio
No. Kecamatan Koperasi UMKM IKM KUKM
Penduduk KUKM:pddk

1. Ciawi 36 259 23 318 92.642 0,0034

2. Cisarua 33 178 51 262 109.882 0,0024

3. Megamendung 17 176 14 207 91.036 0,0023

4 Kab.Bogor 645 8.700 1.910 11.255 4.340.520 0,0026

5. Rata-rata Kab 23 217 48 288 108.513 0,0027


Bogor

Jumlah KUKM (Koperasi dan Usaha Kecil Menengah) yang ada di setiap
wilayah dapat dijadikan salah satu indikator pertumbuhan dan pemerataan
kegiatan ekonomi di masyarakat. Walaupun aktivitas pariwisata baik di
Kecamatan Ciawi, Cisarua dan Megamendung berperan sebagai sektor
unggulan dan memberikan kontribusi yang selalu meningkat tiap tahunnya
terhadap PAD dan PDRB, namun dilihat dari aktivitas masyarakat setempat
untuk berusaha di koperasi dan UKM masih kurang. Hal ini terlihat dari jumlah
KUKM dan rasio KUKM terhadap penduduk.
150

Jumlah KUKM di Kecamatan Cisarua dan Megamendung dibawah rata-


rata jumlah KUKM di tingkat Kabupaten, sedangkan jumlah KUKM di Ciawi lebih
banyak dari jumlah rata-rata tingkat kabupaten, atau jika dibuat rata-rata tiga
kecamatan tersebut maka jumlah KUKM di Kawasan Puncak (262 buah) masih
lebih rendah dari rata-rata kabupaten (288 buah). Jika diamati dari rasio jumlah
KUKM terhadap jumlah penduduk setempat, maka keberadaan KUKM masih
dirasakan sangat kurang. Rasio KUKM di Kecamatan Ciawi, Cisarua dan
Megamendung masing-masing adalah 3,4 permil, 2,4 permil dan 2,3 permil
artinya dari seribu jumlah penduduk baru terdapat atau dilayani oleh 2-3 KUKM.
Keberadaan atribut KUKM, industri dan purchasing power parity
pariwisata (tourist expenditure) menjadi atribut yang sangat sensitif yang dapat
mempengaruhi kinerja ekonomi secara keseluruhan di Kawasan Puncak.
Sumbangan pendapatan sektor pariwisata yang tinggi baik berasal dari retribusi,
pajak maupun belanja wisatawan (purchasing power parity) akan semakin
dirasakan manfaatnya jika ditunjang dengan peningkatan pertumbuhan ekonomi
rakyat dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Berdasarkan data yang
diterbitkan oleh BPS tahun 2009, jumlah Keluarga Sejahtera di tiga kecamatan
pada Kawasan Puncak terdapat sebanyak 9.675 keluarga masih lebih rendah
daripada rata-rata keluarga sejahtera di tingkat Kabupaten yaitu 12.974 keluarga.
Hal ini mengindikasikan perlunya dilakukan program-program pemberdayaan
masyarakat melalui KUKM yang dikaitkan dengan pertumbuhan aktivitas wisata
di Kawasan Puncak.
L ev erag e o f A ttrib u tes
D imen s i E ko n o mi R ap -T o u ris m P u n c ak
J UML A H K E L U A R G A S E J A H TE R A (K S II, III, III+ ) 4 .4 5

J UML A H IND US TR I B E S A R D A N S E D A NG 6 .8 3

J UML A H K U NJ UNG A N W IS A TA D I K A W A S A N P U NC A K 4 .8 4

J UML A H K UK M D I K A W A S A N P U NC A K 1 0 .6 5
R A TA -R A TA P E NG E L UA R A N W IS A TA W A N P U NC A K
Attribute

TH D P P A D P A R IW IS A T A 5 .7 9

P U R C H A S IN G P O W E R P A R IT Y P A R IW IS A TA 5 .8 6

S TA T US K A W A S A N 5 .3 0

R A TA -R A TA B IA Y A P E R J A L A NA N W IS A TA 5 .3 6
P E R K E MB A N G A N K O NTR IB US I P A D P A R IW IS A T A TH D
TO TA L P A D 4 .5 1

D A Y A S A ING W IS A TA 5 .3 7
0 2 4 6 8 10 12

R o o t Me a n S q u a re C h a n g e in O rd in a tio n w h e n S e le c te d A ttrib u te R e m o v e d (o n
S u sta in a b ility sc a le 0 to 100)

Gambar 28. Atribut pengungkit dimensi ekonomi di Kawasan Puncak


Kabupaten Bogor.
151

6.4 Status Keberlanjutan Dimensi Sosial Budaya

Atribut yang diperkirakan memberikan pengaruh terhadap tingkat


keberlanjutan pada dimensi sosial budaya terdiri dari delapan atribut, yaitu: (1)
jumlah penduduk miskin (pra KS); (2) tingkat pendidikan rata-rata masyarakat;
(3) jumlah kunjungan masyarakat ke tempat pelayanan kesehatan; (4) laju
pertumbuhan penduduk; (5) jumlah tenaga kerja di sektor pariwisata; (6) lama
masa tinggal wisatawan; (7) gangguan kriminalitas; dan (8) jumlah seni
tradisional.

Adapun nilai indeks keberlanjutan dimensi sosial budaya di kawasan


pariwisata Puncak Kabupaten Bogor sebesar 32,43 dengan status tidak
berkelanjutan, sebagaimana tertera pada gambar 29. Status tidak berkelanjutan
tersebut disebabkan dari delapan atribut pendukung dimensi ekonomi yang
diamati terdapat empat atribut dengan kategori buruk yaitu: jumlah penduduk
miskin (pra KS), jumlah kunjungan masyarakat ke tempat pelayanan kesehatan,
laju pertumbuhan penduduk dan gangguan keamanan ketertiban masyarakat.
Sedangkan empat atribut lainnya termasuk kategori sedang, yaitu: tingkat
pendidikan rata-rata masyarakat, jumlah tenaga kerja di sektor pariwisata, lama
masa tinggal wisatawan dan jumlah seni tradisional.

Gambar 29. Indeks keberlanjutan dimensi sosial budaya kawasan Puncak


Kabupaten Bogor.
Guna melihat atribut-atribut yang sensitif memberikan pengaruh terhadap
nilai indeks keberlanjutan dimensi sosial budaya, dilakukan analisis leverage.
Berdasarkan hasil analisis leverage diperoleh 5 atribut yang sensitif terhadap
nilai indeks keberlanjutan dimensi sosial budaya, yaitu: jumlah tenaga kerja di
152

sektor pariwisata (5,63%), laju pertumbuhan penduduk (5,40%) dan lama masa
tinggal wisatawan (5,18%), jumlah kunjungan masyarakat ke tempat pelayanan
kesehatan (4,89%) dan jumlah seni tradisional (3,18%). Guna meningkatkan
indeks keberlanjutan sosial budaya dalam pengelolaan pariwisata di Kawasan
Puncak maka diperlukan upaya meningkatkan cakupan tenaga kerja di sektor
pariwisata, menurunkan laju pertumbuhan penduduk, meningkatkan lama masa
tinggal wisatawan, meningkatkan kesehatan masyarakat dan meningkatkan
pembinaan seni tradisional. Hasil analisis leverage dapat dilihat pada
gambar 30.

Gambar 30. Atribut pengungkit dimensi sosial budaya di Kawasan Puncak


Kabupaten Bogor.

Kondisi sosial budaya masyarakat merupakan persyaratan penting bagi


terciptanya iklim pariwisata yang kondusif. Kondisi destinasi wisata yang aman
dan nyaman menjadi pertimbangan utama para wisatawan untuk berkunjung ke
suatu tempat wisata. Penanganan yang kurang baik terhadap ketiga atribut yaitu
laju pertumbuhan penduduk, jumlah tenaga kerja di sektor pariwisata dan lama
masa tinggal wisatawan dapat menjadi pemicu penurunan kualitas pariwisata di
Kawasan Puncak.
Rata-rata lama tinggal wisatawan di suatu tempat destinasi merupakan
salah satu indikator kualitas destinasi, baik dari segi kualitas lingkungan,
keamanan, keramah-tamahan dalam pelayanan wisata dan sebagainya. Rata-
rata lama tinggal wisatawan baik wisatawan mancanegara maupun nusantara di
Kawasan Pariwisata Puncak berada pada angka 1,8 hari. Jika diamati
berdasarkan asal daerah, wisatawan yang berasal dari Jakarta, Kota Bogor,
153

Tangerang dan Bekasi pada umumnya tidak menginap atau kurang dari satu
hari. Namun untuk wisatawan mancanegara pada umumnya menginap lebih dari
5 hari. Angka rata-rata lama tinggal di Kawasan Puncak sebesar 1,8 hari masih
lebih rendah dibandingkan dengan Lembang Kabupaten Bandung sebanyak 2,1
hari dan Yogyakarta sebanyak 2,4 hari (Trisnawati et al., 2008). Berdasarkan
hasil penelitian STIPAR (2006), wisatawan yang menginap pada umumnya
memiliki pendapatan yang cukup tinggi dan termasuk pada wisatawan kalangan
menengah ke atas namun jumlahnya tidak terlalu besar. Berdasarkan fakta
tersebut maka dapat menjadi peluang bagi Kabupaten Bogor dalam program
pemasaran pariwisata agar diarahkan kepada segmen wisatawan tersebut.

Jumlah penduduk di tiga kecamatan di Kawasan Puncak adalah sebesar


298.014 jiwa dengan rincian 92.569 jiwa di Kecamatan Ciawi, 114.385 jiwa di
Kecamatan Cisarua dan 91.060 jiwa di Kecamatan Megamendung. Rata-rata
jumlah penduduk per kecamatan di Kabupaten Bogor adalah 108.513 jiwa.
Jumlah penduduk di Kecamatan Ciawi melebihi rata-rata jumlah penduduk di
Kabupaten Bogor, sedangkan Kecamatan Cisarua dan Megamendung masih
berada dibawah rata-rata Kabupaten Bogor. Walaupun jumlah penduduk di
Kecamatan Cisarua dan Megamendung masih lebih rendah dari rata-rata jumlah
penduduk per kecamatan di Kabupaten Bogor, tetap harus diwaspadai karena
berdasarkan luas wilayah, kepadatan penduduk di tiga kecamatan termasuk
padat yaitu 3.589 jiwa/km2 di Kecamatan Ciawi, 1.724 jiwa/km2 di Kecamatan
Cisarua dan 2.283 jiwa/km2 di Kecamatan Megamendung. Sedangkan
kepadatan penduduk di Kabupaten Bogor adalah 1.629 jiwa/km2. Jika tidak
dikendalikan maka pertambahan penduduk akan menjadi beban yang berat bagi
lingkungan dan dapat mengakibatkan degradasi lingkungan yang pada akhirnya
akan menurunkan daya tarik bagi para wisatawan untuk berkunjung ke Kawasan
Puncak.

Pertambahan jumlah penduduk yang tidak diikuti dengan penyediaan


lapangan pekerjaan maka akan memperbesar jumlah atau angka pengangguran.
Jumlah tenaga kerja di sektor pariwisata pada tahun 2008 berjumlah 14.292
orang atau sekitar 0,9% dari jumlah penduduk yang termasuk angkatan kerja
(1.653.203 orang). Prosentase tenaga kerja yang terserap di sektor pariwisata
masih sangat kecil jika dibandingkan dengan jumlah angkatan kerja yang
tersedia. Oleh karenanya perlu peningkatan penyediaan lapangan pekerjaan
yang didukung dengan penyiapan tenaga kerja yang berkualitas dan memenuhi
154

kompetensi yang dibutuhkan. Berdasarkan komposisi penduduk menurut struktur


usia, rasio ketergantungan antara jumlah penduduk usia produktif dengan jumlah
penduduk non produktif di tiga kecamatan yang diamati, adalah 1 : 0,56 (Asumsi
yang digunakan adalah usia angkatan kerja antara 15 tahun hingga 64 tahun).
Angka ini menunjukkan bahwa 1 orang usia produktif hanya menanggung kurang
dari 2 jiwa usia non produktif atau tiap tenaga kerja produktif hanya mencari
nafkah untuk kurang dari 3 jiwa termasuk dirinya sendiri. Adapun variasi rasio
ketergantungan ini tidak terlalu signifikan perbedaannya antar Kecamatan Ciawi
(1 : 0,52), Kecamatan Cisarua (1 : 0,57) dan Kecamatan Megamendung (1 :
0,59).

6.5 Status Keberlanjutan Dimensi Sarana Prasarana

Atribut yang digunakan untuk menganalisis dimensi sarana prasarana


adalah: (1) jumlah sarana pendidikan SD, SLTP dan SLTA; (2) penambahan
panjang jalan (km); (3) ketersediaan angkutan umum (smp); (4) ketersediaan
fasilitas ibadah di kawasan puncak; (5) jumlah rumah tangga pelanggan air
bersih dari PDAM; (6) ketersediaan fasilitas penanganan persampahan; (7)
jumlah fasilitas akomodasi wisata (hotel); (8) jumlah sarana kesehatan (RS,
Puskesmas, Pustu).

Hasil nilai MDS dengan menggunakan Rap-Tourism Puncak


menunjukkan indeks keberlanjutan dimensi sarana prasarana untuk pengelolaan
pariwisata di Kawasan Puncak adalah 27,73. Berdasarkan klasifikasi status
keberlanjutan, angka tersebut menunjukkan bahwa kondisi sarana prasarana
untuk pengelolaan pariwisata di kawasan Puncak menunjukkan status tidak
berkelanjutan.

Gambar 31. Indeks keberlanjutan dimensi sarana prasarana di Kawasan


Puncak Kabupaten Bogor.
155

Status tidak berkelanjutan tersebut disebabkan karena terdapatnya lima


atribut yang bernilai rendah, yaitu: jumlah sarana pendidikan SD, SLTP dan
SLTA, ketersediaan fasilitas ibadah di kawasan Puncak, jumlah rumah tangga
pelanggan air bersih dari PDAM, jumlah fasilitas akomodasi dan jumlah sarana
kesehatan (RS, Puskesmas dan Pustu). Sedangkan atribut yang memperoleh
nilai sedang ada tiga, yaitu ketersediaan angkutan umum, penambahan panjang
jalan dan ketersediaan fasilitas penanganan sampah.

Guna melihat atribut-atribut yang sensitif memberikan pengaruh terhadap


nilai indeks keberlanjutan dimensi sarana prasarana, dilakukan analisis leverage.
Berdasarkan hasil analisis leverage diperoleh 5 atribut yang sensitif terhadap
nilai indeks keberlanjutan dimensi sarana prasarana, yaitu: ketersediaan fasilitas
penanganan persampahan (7,22%), penambahan panjang jalan (6,23%), jumlah
rumah tangga pelanggan air bersih dari PDAM (5,29%), ketersediaan fasilitas
ibadah di kawasan Puncak, dan ketersediaan angkutan umum (4,37%) . Hasil
analisis leverage dapat dilihat pada gambar 32.

Gambar 32 Atribut pengungkit dimensi sarana prasarana pariwisata di


kawasan Puncak Kabupaten Bogor.
Secara umum penyediaan air bersih di Kabupaten Bogor dilayani sistem
perpipaan dan non perpipaan. Penyediaan air bersih sistem perpipaan yang
dilayani oleh PDAM Tirta Kahuripan Kabupaten Bogor dengan cakupan
pelayanan meliputi 25 Kecamatan. Cakupan pelayanan PDAM Tirta Kahuripan di
daerah pelayanan Kabupaten Bogor, baru mencapai sekitar 15% penduduk.
Angka ini masih jauh dari yang diharapkan, apalagi jika berpegang pada target
perkotaan 80% cakupan pelayanan. Namun demikian, alternatif pengganti
156

sumber air terutama air tanah masih layak digunakan, karena pada umumnya
kondisi air tanah di Kabupaten Bogor relatif masih baik. Berdasarkan data dari
BPS tahun 2009 jumlah rumah tangga pelanggan air minum dan pemakaian air
minum dari PDAM disajikan pada tabel 56.

Tabel 56. Rumah tangga pelanggan dan pemakaian air minum dari
PDAM di lokasi penelitian dari tahun 2005 s.d 2008
Ciawi Cisarua Megamendung
Tahun
Pelanggan Pemakaian Pelanggan Pemakaian Pelanggan Pemakaian
3 3 3
(RT) (M ) (RT) (M ) (RT) (M )

2005 871 288.035 1.174 426.545 139 439.710

2006 947 313.304 1.196 408.462 141 435.516

2007 1.051 340.275 1.211 410.959 141 433.332

2008 1.165 407.335 1.264 427.454 142 997.657

Pada tahun 2008, rumah tangga pelanggan air minum yang terbesar
adalah di Kecamatan Cisarua sebanyak 1.264 Rumah Tangga, sedangkan yang
terkecil adalah di Kecamatan Megamendung sebanyak 142 Rumah Tangga.
Penambahan jumlah rumah tangga pelanggan air minum setiap tahunnya baik di
Kecamatan Ciawi, Cisarua maupun Megamendung cenderung konstan.
Demikian pula untuk pemakaian air bersih dari tahun 2005 sampai dengan 2008
di tiga kecamatan tersebut cenderung konstan, kecuali di Megamendung terjadi
peningkatan pemakaian hampir dua kali lipat dari 433.332 m3 pada tahun 2007
menjadi 997.657 m3 pada tahun 2008. Jumlah rumah tangga pelanggan air
minum di Kecamatan Ciawi, Cisarua dan Megamendung menunjukkan
peningkatan setiap tahunnya, sebagaimana dapat dilihat pada tabel 57.

Tabel 57. Jumlah rumah tangga pelanggan air minum tahun 2005-2008

No. KECAMATAN Pelanggan Pelanggan Pelanggan Pelanggan Jumlah % Terla-


Th. 2005 Th. 2006 Th. 2007 Th.2008 Rumah yani
Tangga

1. Ciawi 871 947 1.051 1.165 21.595 5,4

2. Cisarua 1.174 1.196 1.211 1.211 26.358 4,6

3. Mega 139 141 141 142 21.864 0,6


mendung

Kab. Bogor 44.854 47.557 53.972 57.739 1.026.816 5,6


Sumber : KBDA (2009)
157

Sumber timbulan sampah yang ada pada umumnya berasal dari rumah
tangga, perdagangan, pariwisata, perkantoran dan industri rumah tangga.
Pengelolaan sampah di wilayah tiga kecamatan tersebut, sebagian kecil sudah
dilayani pemerintah daerah dalam hal ini dikelola oleh dinas kebersihan dan
pertamanan untuk sampah-sampah di rumah dan fasilitas umum serta PD Pasar
Tohaga untuk sampah pasar. Namun demikian wilayah pelayanannya baru
menjangkau daerah sekitar kawasan perdagangan. Sebagian besar pengelolaan
dilakukan secara individual dengan membakar atau menimbun disekitar
pekarangan rumah, bahkan sebagian masyarakat masih membuang sampah ke
aliran sungai atau lahan-lahan kosong (Departemen PU 2008). Pada saat ini
pengelolaan sampah belum dapat dikelola dengan baik, dalam arti bahwa
ketersediaan prasarana belum dapat memenuhi kebutuhan penduduk. Tetapi
untuk kawasan yang berada di sepanjang jalan jalur regional, sistem pengelolaan
sampah sudah cukup baik, dimana di sepanjang permukiman penduduk telah
terdapat bak-bak sampah di setiap rumah. Data timbulan sampah berdasarkan
pengolahan sampah dapat dilihat pada tabel 58.

Tabel 58 Timbulan sampah berdasarkan pengolahan sampah

Timbulan Sampah Dibakar/ditimbun Diangkut petugas


No Kecamatan
(m3/hari) (m3/hari) (m3/hari)

1 Cisarua 245 146 99

2 Ciawi 190 142 48

3 Megamendung 200 182 18

Sumber : Departemen PU 2008

Fasilitas peribadatan di Kawasan Puncak didominasi oleh masjid dan


surau/langgar, karena jumlah muslim lebih banyak daripada non muslim. Jumlah
gereja kristen sebanyak 3 unit, dan vihara 2 unit. Jumlah fasilitas peribadatan
dapat dilihat pada tabel 59.
158

Tabel 59. Jumlah Fasilitas Peribadatan Kecamatan Ciawi, Cisarua,


Megamendung Tahun 2009

No Kecamatan Mesjid Mushola Gereja Kristen Pura Vihara

1 Cisarua 148 597 1 0 0

2 Ciawi 113 224 1 0 1

3 Megamendung 129 324 1 0 1

Total 390 1145 3 0 2

Sumber : KBDA 2010

6.6 Analisis Multi Dimensi Satus Keberlanjutan

Analisis multi dimensi terhadap status keberlanjutan Kawasan Puncak


untuk pengembangan pariwisata menunjukkan nilai indeks keberlanjutan sebesar
34,74 yang berarti status Kawasan Puncak untuk pengembangan pariwisata
adalah tidak berkelanjutan. Status tidak berkelanjutan tersebut dicerminkan oleh
nilai indeks keberlanjutan pada setiap dimensi yaitu untuk dimensi hukum dan
kelembagaan sebesar 31,86 dengan status tidak berkelanjutan, dimensi ekologi
sebesar 31,38 dengan status tidak berkelanjutan, dimensi ekonomi sebesar
67,87 dengan status berkelanjutan, dimensi sosial budaya sebesar 32,43 dengan
status tidak berkelanjutan dan dimensi sarana prasarana sebesar 27,73 dengan
status tidak berkelanjutan. Nilai indeks berkelanjutan seperti tercantum dalam
tabel 60 berikut.

Tabel 60. Nilai indeks keberlanjutan kawasan puncak Kabupaten Bogor tahun
2010
No Dimensi Keberlanjutan Nilai Indeks INDIKATOR

1 HUKUM KELEMBAGAAN 31,86 TIDAK BERKELANJUTAN

2 EKOLOGI 31,38 TIDAK BERKELANJUTAN

3 EKONOMI 67,87 BERKELANJUTAN

4 SOSIAL BUDAYA 32,43 TIDAK BERKELANJUTAN

5 SARANA PRASARANA 27,73 TIDAK BERKELANJUTAN

Agar nilai indeks ini dimasa yang akan datang dapat terus meningkat
sampai mencapai status berkelanjutan perlu perbaikan-perbaikan terhadap
atribut-atribut yang sensitif berpengaruh terhadap nilai indeks dimensi hukum
dan kelembagaan, ekologi, ekonomi, sosial budaya dan sarana prasarana.
159

Atribut-atribut yang dinilai oleh para pakar didasarkan pada kondisi eksisting
wilayah.
Adapun gambar diagram layang-layang hasil analisis keberlanjutan
seperti pada gambar 33.

Gambar 33. Diagram layang-layang nilai keberlanjutan kawasan Puncak.

Hasil analisis monte carlo menunjukkan bahwa nilai indeks keberlanjutan


kawasan pariwisata Puncak Kabupaten Bogor pada taraf kepercayaan 95%,
memperlihatkan hasil yang tidak banyak mengalami perbedaan dengan hasil
analisis rap-tourism (Multy Dimensional Scaling = MDS). Hal ini berarti bahwa
kesalahan dalam analisis dapat diperkecil baik dalam hal pemberian skoring
setiap atribut, variasi pemberian scoring karena perbedaan opini relatif kecil
(dibawah 2,5 poin) dan proses analisis data yang dilakukan secara berulang-
ulang stabil serta kesalahan dalam menginput data dan data hilang dapat
dihindari. Perbedaan nilai indeks keberlanjutan analisis MDS dan Monte Carlo
seperti pada tabel 61.

Tabel 61. Perbedaan nilai indeks keberlanjutan analisis Monte Carlo dengan
analisis Rap-Tourism Kawasan Puncak
Nilai Indeks Keberlanjutan (%)
Dimensi Keberlanjutan Perbedaan
MDS Monte Carlo

HUKUM DAN KELEMBAGAAN 31,86 34,10 2,24

EKOLOGI 31,38 32,09 0,71

EKONOMI 67,87 65,90 1,93

SOSIAL BUDAYA 32,43 34,12 1,69

SARANA PRASARANA 27,73 29,12 1,39


160

Hasil analisis rap tourism menunjukkan bahwa semua atribut yang dikaji
terhadap status keberlanjutan untuk kawasan pariwisata Puncak Kabupaten
Bogor, cukup akurat sehingga memberikan hasil analisis yang semakin baik dan
dapat dipertanggungjawabkan. Ini terlihat dari nilai stress yang hanya berkisar
antara 13% sampai 14% dan nilai koefisien determinasi (R2) yang diperoleh
berkisar antara 0,92 dan 0,95. Hasil analisis cukup memadai apabila nilai stress
lebih kecil dari nilai 0,25 (25%) dan nilai koefisien determinasi (R2) mendekati
nilai 1,0. Adapun nilai stress dan koefisien determinasi seperti tabel 62.
Atribut-atribut yang sensitif memberikan kontribusi terhadap nilai indeks
keberlanjutan multidimensi berdasarkan hasil analisis leverage masing-masing
dimensi sebanyak 29 atribut. Atribut-atribut tersebut perlu diperbaiki dengan
tujuan untuk meningkatkan status keberlanjutan pariwisata di Kawasan Puncak.
Perbaikan dapat dilakukan melalui peningkatan kapasitas atribut yang
mempunyai dampak positif terhadap peningkatan nilai atau status keberlanjutan,
sedangkan untuk atribut yang menimbulkan permasalahan bagi keberlanjutan
suatu dimensi, maka dapat diupayakan semaksimal mungkin dengan cara
memperbaiki kinerja atribut tersebut. Selanjutnya dari 29 atribut tersebut akan
menjadi masukan atau input dalam penyusunan suatu sistem pengelolaan
pariwisata yang berdaya saing dan berkelanjutan di Kawasan Puncak.
Tabel 62. Hasil Analisis RAP-TOURISM untuk nilai stress dan koefisien
determinasi (R2)

Dimensi Keberlanjutan
Parameter
A B C D E

Stress 0,1336 0,1310 0,1305 0,1390 0,1352


2
R 93,73% 95,08 % 94,27 % 95,10 % 94,92 %
Keterangan : A = Dimensi Hukum dan Kelembagaan, B = Dimensi Ekologi,
C = Dimensi Ekonomi, D= Dimensi Sosial-Budaya dan E = Dimensi Sarana
Prasarana

Faktor pengungkit (leverage factor) perubahannya dapat mempengaruhi


secara sensitif terhadap peningkatan indeks tingkat keberlanjutan dari masing-
masing dimensi keberlanjutan. Faktor pengungkit yang diperoleh sebanyak 29
faktor. Ke-29 faktor ini berasal dari dimensi hukum dan kelembagaan 7 faktor,
ekologi 8 faktor, Ekonomi 6 faktor, Sosial Budaya 5 faktor serta Sarana dan
Prasarana 5 faktor. Terhadap 29 faktor pengungkit tersebut dapat ditingkatkan
kinerjanya dan atau dipertahankan kestabilannya guna meningkatkan indeks
161

keberlanjutan pariwisata Kawasan Puncak . Faktor pengungkit tersebut adalah


disajikan pada tabel 63.
Tabel 63. Faktor pengungkit per-dimensi keberlanjutan Kawasan Puncak

No. Dimensi Faktor Pengungkit (leverage factor) RMS


1 Hukum dan 1. Ketersediaan lembaga yang menangani pengelolaan 8,57
Kelembagaan (7) pariwisata Puncak secara terintegrasi
2. jumlah kebijakan yang mengatur pariwisata 8,35
3. ketersediaan pedoman teknis dan operasional dalam 8,28
pengelolaan pariwisata Puncak
4. prosentase jumlah sumber daya manusia yang 7,63
bekerja di lingkup pariwisata yang telah dilatih
kepariwisataan
5. jumlah bangunan tidak berizin yang ditertibkan di
kawasan Puncak 7,46
6. jumlah lembaga yang terkait dengan pengelolaan
pariwisata di kawasan Puncak 5,38
7. frekuensi koordinasi antara berbagai instansi/stake
holder dalam pengelolaan pariwisata di Kawasan 4,72
Puncak.
2 Ekologi (8) 1. daya dukung kawasan wisata 10,29
2. frekuensi kejadian bencana alam 7,88
3. luas lahan kritis di zona lindung 6,09
4. kandungan COD 5,86
5. kepadatan penduduk 5,85
6. kepadatan lalu lintas 5,40
7. kadar total colliform 5,31
8. luas tutupan lahan 5,22
3 Ekonomi (6) 1. jumlah KUKM di kawasan Puncak 10,65
2. jumlah industri besar dan sedang 6,83
3. purchasing power parity pariwisata 5,86
4. rata-rata pengeluaran wisatawan puncak terhadap 5,79
PAD pariwisata
5. daya saing wisata 5,37
6. rata-rata biaya perjalanan wisata 5,36
4 Sosial Budaya (5) 1. jumlah tenaga kerja di sektor pariwisata 5,63
2. laju pertumbuhan penduduk 5,40
3. lama masa tinggal wisatawan 5,18
4. jumlah kunjungan masyarakat ke tempat pelayanan
kesehatan 4,89
5. jumlah seni tradisional 3,18
5 Sarana dan 1. ketersediaan fasilitas penanganan persampahan 7,22
Prasarana (5) 2. penambahan panjang jalan 6,23
3. jumlah rumah tangga pelanggan air bersih dari PDAM 5,29
4. ketersediaan fasilitas ibadah di kawasan Puncak
5. ketersediaan angkutan umum 4,37

Anda mungkin juga menyukai