Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH

PEMIKIRAN ILMU KALAM KONTEMPORER DI INDONESIA

Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ilmu Kalam

Dosen Pengampu : Siti Muslifah. S.H.I., M.S.I

Disusun Oleh:

Ayatullah Rohullah Rosyidin

NIM : 205102010011

UNIVERSITAS ISLAM NEGRI KH. AHMAD SHIDIQ JEMBER

PROGRAM STUDY HUKUM KELUARGA

FAKULTAS SYARIAH

2021
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ilmu kalam atau teologi sudah kita kenal sejak zaman Khulafaur Rasyidin,
menurut Harun Nasution kemunculan persoalan kalam dipicu oleh persoalan politik
yang menyangkut peristiwa pembunuhan Ustman bin Affan yang berbuntut pada
penolakan Muawiyah atas kekhalifahan Ali bin Abi Thalib. Ilmu kalam atau teologi
dari masa ke masa mengalami perkembangan yang cukup pesat, banyak tokoh-tokoh
pemikir ilmu kalam bermunculan. Dan memiliki argumentasi yang berbeda-beda,
sehingga persoalan-persoalan yang mengenai ilmu kalam atau teologi itu sendiri
semakin serius untuk dibahas. Karena dari permasalahan tersebut akan memicu
timbulnya pemikiran-pemikiran yang baru dan tanggapan dari berbagai tokoh-tokoh
ilmu kalam itu sendiri.
Dengan adanya permasalahan-permasalahan tentang ilmu kalam ini akan
menambah wawasan keilmuan bagi para tokoh pemikir itu sendiri maupun bagi
orang-orang yang terlibat dalam keilmuan tersebut. Banyaknya tokoh-tokoh yang
memiliki latar belakang yang berbeda, maka banyak pula pemikiran-pemikiran dari
mereka yang berbeda tentang permasalahan ilmu kalam ini. Sebagai contoh, di dalam
makalah ini insyaAllah akan di bahas teologi atau ilmu kalam yang mengacu pada dua
tokoh yaitu: H. M. Rasyidi dan Harun Nasution. Akan tetapi dalam makalah ini akan
di bahas hanya terkait dengan teologi atau ilmu kalam kontemporer saja dan hanya
terfokus pada teologi dua tokoh yaitu: H. M. Rasyidi dan Harun Nasution.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pemikiran kalam menurut Rosyidi?
2. Bagaimana pemikiran kalam menurut Harun Nasution?
3. Bagaimana pemikiran kalam menurut Nurkholis Majid?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pemikiran kalam menurut Rosyidi
2. Untuk mengetahui pemikiran kalam menurut Harun Nasution
3. Untuk mengetahui pemikiran kalam menurut Nurkholis Majid
BAB II

PEMBAHASAN

A. Mohammad Rasyidi

Mohamad Rasyidi (Kotagede, Yogyakarta, 20 Mei 1915 – 30 Januari 2001) adalah


mantan Menteri Agama Indonesia pada Kabinet Sjahrir I dan Kabinet Sjahrir II.Fakultas
Filsafat, Universitas Kairo, Mesir (1938) Universitas Sorbonne, Paris (Doktor, 1956) Guru
pada Islamitische Middelbaare School (Pesantren Luhur), Surakarta (1939-1941) Guru Besar
Fakultas Hukum UI Direktur kantor Rabitah Alam Islami, Jakarta.

Dalam konteks pertumbuhan akademik Islam di Indonesia, orang akan sulit


mngesampingkan kehadiran H.M. Rasyidi, lulusan lembaga pendidikan tinggi Islam di Mesir
yang mmelanjutkan ke Paris, dan kemudian memperoleh pengalaman mengajar di Kanada.
Lepas dari retorika-retorika anti-Baratnya, orang tak akan luput mendapati bahwa hamper
keseluruhan kontruksi akademiknya dibangun atas dasar unsure-unsur yang ia dapatkan dari
Barat. Maka tidak heran, kalau ia koreksi karya Dr. Harun Nasution tentang Islam ditinjau
dari berbagai aspeknya, Bulan Bintang, 1977, Strategi Kebudayaan dan Pembaharuan
Pendidikan Nasional, Media Dakwah, 1979. Kebebasan Beragama, Media Dakwah, 1979.
Janji-janji Islam, terjemahan dari Roger Garandy, Bulan Bintang, 1982.

1. Pemikiran Kalam H.M Rasyidi

Pemikiran kalam beliau banyak yang berbeda dari beberapa tokoh seangkatannya. Hal
ini dilihat dari keritikan beliau terhadap Harun Nasution, dan Nurcholis Majid. Secara garis
besar pemikiran kalamnya dapat dikemukakan sebagai berikut:

2. Perbedaan ilmu kalam dan teologi.

Rasyidi menolak pandangan Harun Nasution yang menyamakan pengertian ilmu


kalam dan teologi. Untuk itu Rasyidi berkata, “Ada kesan bahwa ilmu kalam adalah teologi
Islam dan teologi adalah ilmu kalam Kristen.” Selanjutnya Rasyidi menelurusi sejarah
kemunculan teologi. Menurutnya, orang Barat memakai istilah teologi untuk menunjukkan
tauhid atau kalam karena mereka tak memiliki istilah lain. Teologi terdiri dari dua perkataa,
yaitu teo (theos) artinya Tuhan, dan logos, artinya ilmu. Jadi teologi berarti ilmu
ketuhanan.adapun sebab timbulnya teologi dalam Kristen adalah ketuhananNabi Isa, sebagai
salah satu dari tri-tunggal atau trinitas. Namun kata teologi kemudian mengandung beberapa
aspek agama Kristen, yang di luar kepercayaan (yang benar), sehingga teologi dalam Kristen
tidak sama dengan tauhid atau ilmu kalam.

3. Tema-tema ilmu kalam

Salah satu tema ilmu kalam Harun Nasution yang dikritik oleh Rasyidi adalah
deskripsi aliran-aliran kalam yang sudah tidak relevan lagi dengan kondisi umat Islam
sekarang, khususnya di Indonesia. Untuk itu, Rasyidi berpendapat bahwa menonjolnya
perbedaan pendapat antara Asy’ariyah dan Mu’tazilah, sebagaimana dilakukan Harun
Nasution, akan melemahkan iman para mahasiswa. Memang tidak ada agama yang
mengagungkan akal seperti Islam, tetapi dengan menggambarkan bahwa akal dapat
mengetahui baik dan buruk, sedangkan wahyu hanya membuat nilai yang dihasilkan pikiran
manusia bersifat absolute-universal, berarti meremehkan ayat-ayat al-Qur’an seperti:

َ‫َوهَّللا ُ يَ ْعلَ ُم َوأَ ْنتُ ْم ال تَ ْعلَ ُمون‬

Artinya; “Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. (Q.S. Al-Baqarah: 232)

Rasyid kemudian menegaskan pada saat ini, di Barat sudah dirasakan bahwa akal
tidak mampu mengetahui baik dan buruk. Buktinya adalah kemunculan eksistensialisme
sebagai reaksi terhadap aliran rasionalisme. Rasyidi mengakui bahwa soal-soal yang pernah
diperbincangkan pada dua belas abad yang lalu, masih ada yang relevan untuk masa
sekarang, tetapi ada pula yang sudah tidak relevan. Pada waktu sekarang, demikian Rasyidi
menguraikan, yang masih dirasakanlah oleh umat Islam pada umumnya adalah keberadaan
Syi’ah.

B. Harun Nasution

Harun Nasution lahir pada hari Selasa 23 September 1919 di Sumatera. Ayahnya,
Jabar Ahmad adalah seorang ulama yang mengetahui kitab-kitab Jawi. Pendidikan formalnya
dimulai dari sekolah Belanda HIS. Setelah tujuh tahun di HIS. Selama tujuh tahun, Harun
belajar bahasa Belanda dan ilmu pengetahuan umum di HIS itu, dia berada dalam lingkungan
disiplin yang ketat. Di lingkungan keluarga, harun memulai pendidikan Agama dari
lingkungan keluarganya dengan belajar mengaji, shalat dan ibadah lainnya. beliau
meneruskan ke MIK (Modern Islamietishe Kweekschool) di Bukittinggi pada tahun 1934.
pendidikannya lalu diteruskan ke Universitas Al-Azhar, Mesir. Sambil kuliah di Al-Azhar
beliau kuliah juga di Universitas amerika di Mesir. Pendidikannya lalu dilanjutkan ke Mc.
Gill, Kanada pada tahun 1962.

Setiba di tanah air pada tahun 1969 beliau langsung terjun dalam bidang akademisi,
yakni menjadi dosen di IAIN Jakarta, IKIP Jakarta, dan kemudian juga pada Universitas
Nasional. Harun Nasution adalah figur sentral dalam semacam jaringan intelektual yang
terbentuk dikawasan IAIN Ciputat semenjak paruh kedua dasawarsa 70-an. Sentralitas Harun
Nasution di dalam jaringan itu tentu saja banyak ditopang kapasitas intelektualnya, dan
kemudian kedudukan formalnya sebagai rektor sekalibus salah seorang pengajar di IAIN.

1. Pemikiran Harun Nasution

Bukanlah secara kebetulan bila Harun Nasution memilih problematika akal dalam
system teologi Muhammad Abduh sebagai bahan kajian disertasinya di Universitas Mogill,
Mentreal, Kanada. Besar kecilnya peranan akal dalam system teologi suatau aliran sangat
menentukan dinamis atau tidaknya pemahaman seseorang tentang ajaran Islam. Berkenaan
dengan akal ini, Harun Nasution menulis demikian: “Akal melambangkan kekuatan
manusia”.

Karena akal manusia mempunyai kesanggupan untuk menaklukkan kekuatan makhluk


lain disekitarnya. Bertambah tinggi akal manusia, bertambah tinggi pula kesanggupannya
untuk mengalahkan makhluk lain. Bertambah lemah kekuatan akal manusia, bertambah
lemah pulalah kesanggupannya untuk menghadapi kekuatan-kekuatan lain tersebut.

Dalam sejarah Islam, akal mempunyai kedudukan tinggi dan banyak dipakai, bukan
dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan saja, akan tetapi dalam
perkembangan ajaran-ajaran keagamaan Islam sendiri. Pemikiran akal dalam Islam
diperintahkan Al-Qur’an sendiri. Bukanlah tidak ada dasarnya apabila ada penulis-penulis,
baik di kalangan Islam sendiri maupun di kalangan non-Islam, yang berpendapat bahwa
Islam adalah agama rasional.
2. Pembaharuan Teologi

Pembaharuan teologi yang menjadi predikat Harun Nasution. Pada dasarnya dibangun
atas asumsi bahwa keterbelakangan dan kemunduran umat Islam Indonesia (juga di mana
saja) adalah disebabkan “ada yang salah” dalam teologi mereka. Pandangan ini serupa
dengan pandangan kaum modernis lain pendahulunya (Muhammad Abduh, Rasyid Ridha Al-
Afghani, Sayid Amer Ali, dan lain-lain) yang memandang perlu untuk kembali kepada
teologi Islam yang sejati. Retorika ini mengandung pengertian bahwa umat Islam dengan
teologi fatalistic, irasional, predeterminisme serta penyerahan nasib telah membawa nasib
mereka menuju kesengsaraan dan keterbelakangan. Dengan demikian, jika hendak mengubah
nasib umat Islam. Menurut Harun Nasution, umat Islam hendaklah mengubah teologi yang
berwatak free-will rasional, serta mandiri. Tidak heran jika teori modernisasi ini selanjutnya
menemukan teologi dalam khazanah Islam klasik sendiri yakni teologi Mu’tazilah.

3. Hubungan akal dan wahyu

Salah satu focus pemikiran Harun Nasution adalah hubungan akal dan wahyu. Ia
menjelaskan bahwa hubungan akal dan wahyu memang menimbulkan pertanyaan, tetapi
keduanya tidak bertentangan. Akal mempunyai kedudukan yang tinggi dalam Al-Qur’an.
Orang yang beriman tidak perlu menerima bahwa wahyu sudah mengandung segala-galanya.
Wahyu bahkan tidak menjelaskan semua permasalahan keagamaan.Dalam pemikiran Islam,
baik di bidang filsafat dan ilmu kalam, apalagi di bidang ilmu fiqih, akal tidak pernah
membatalkan wahyu. Akal tetap tunduk kepada teks wahyu. Teks wahyu tetap dianggap
benar. Akal dipakai untuk memahami teks wahu dan tidak untuk menentang wahyu. Akal
hanya memberi interpretasi terhadap teks wahyu sesuai dengan kecenderungan dan
kesanggupan pemberi interpretasi. Yang dipertentangkan dalam sejarah pemikiran Islam
sebenarnya bukan akal dan wahyu, tetapi penafsiran tertentu dari teks wahyu dengan lain dari
teks wahyu itu juga. Jadi, yang bertentangan sebenarnya dalam Islam adalah pendapat akal
ulama tertentu dengan pendapat akal ulama lain.

C. Nurkholis Madjid

Nurcholish Madjid (Cak Nur), lahir pada 17 Maret 1939/ 26 Muharram 1358 H., di
desa Mojoanyar, Jombang, Jawa Timur, sebuah kota tempat kelahiran organisasi Nahdlatul
Ulama (NU), dan ulama serta tokoh-tokoh NU. Pendidikan dasarnya diperoleh melalui
pendidikan-pendidikan tradisional NU, yang sangat memungkinkan baginya untuk
mengintensifkan kedalamannya dengan literatur-literatur klasik. Sementara pada masa
remajanya, ia disekolahkan di Pesantren Gontor, sebuah pesantren yang bersemangat
modernis. Di pesantren ini, Nurcholish mulai berkenalan dengan ide-ide modernis

1. Pemikiran Kalam

Dari keseluruhan pembaruan pemikiran Islam Nurcholish di atas, apabila ditelusuri


dari sumbernya yang dalam, ia selalu berangkat dari konsep tawhîd, yang menurutnya
mempunyai efek pembebasan. Tawhîd dalam pemikiran Nurcholish, merupakan sentral dan
dari konsep itu ia transformasikan dalam bentuk pemikiran yang lebih praktis dan aplikatif
dalam kehidupan sosial umat Islam.

Kalimat tauhid (‫ )الاله االهللا‬mengandung dua ungkapan : peniadaaan (nafyu; negation)


dan pengukuhan (itsbat; affirmation), yakni “tiada tuhan selain tuhan”. Perkataan “tidak ada
tuhan” (dengan “t” kecil) adalah peniadaan , dan perkataan “melainkan Tuhan” (dengan “T”
besar) adalah pengukuhan. Pada yang pertama, berarti pembebasan manusia dari objek-objek
palsu dan mitologis, yaitu sikap menuhankan kepada selain Allah, maka setelah kebebasan itu
diperoleh, harus diisi dengan kepercayaan yang benar, yakni ketundukan manusia kepada
Tuhan atau Allah.

Dalam posisi pemikiran seperti ini, pembaruan Nurcholish dapat dipandang sebagai
“purifikasi” (pemurnian kepercayaan kepada Tuhan). Purifikasi itu akan tampak dari dua hal:
(1) melepaskan diri dari kepercayaan palsu; (2) pemusatan kepercayaan hanya kepada Yang
Benar (Allah) yang memiliki dimensi absolutisme.

Efek pembebasan tauhid di atas, dari pembebasan yang bersifat individual, kemudian
akan mengalir kepada pembebasan sosial yang bersifat egalitarian. Dalam perpektif inilah, ia
membangun pandangannya tentang demokrasi dan keadilan sosial di Indonesia. Lebih lanjut,
untuk menerapkan ajaran tauhid, Nurcholish melakukan sosialisasi gagasannya dengan
mengutip bukan saja tokoh Islam seperti Muhammad Iqbal, tetapi juga mengambil pikiran
Karl Marx. Cara kerja semacam itu , bertujuan agar setiap orang tahu bahwa tidak ada
sesuatupun yang pantas disucikan selain Allah. Akibat dari tawhîd ini, papar Nurcholish,
adalah “Bolshevisme plus Allah”, artinya bahwa pandangan Islam terhadap dunia ini dan
masalah-masalahnya adalah sama dengan kaum Komunis (realistis, dilihat menurut apa
adanya, tidak mengadakan penilaian lebih dari apa yang sewajarnya dipunyai oleh obyek itu),
hanya saja Islam mengatakan adanya pandangan dunia (wtltanschaung) dalam hubungan
antara alam dan Tuhan itu sedemikian rupa, sehingga wajar bagaikan badan dengan kepala di
atas dan kaki di bawah (istilah Marx), artinya kepercayaan kepada Tuhan mendasari
pandangan pada alam, dan tidak sebaliknya, seperti pada ajaran materialisme dialektika.

Pandangannya tentang tawhîd juga menjadi landasannya tentang kemungkinan


pengembangan etos kerja dari sudut Islam. Etos kerja dan disiplin tinggi harus berdasarkan
pada “dasar nilai kerja”, yang oleh Nurcholish disebut dengan “niat” (komitmen), yang
berkaitan erat dengan sistem nilai (value system).

Bagi seorang muslim, niat atau komitmen kerja itu harus selalu ditransendenkan pada
Allah, sehingga mengerjakan sesuatu demi mencari ridla Allah, dengan sendirinya
berimplikasi bahwa kita tidak boleh melakukannya dengan sembrono, seenaknya, dan tidak
terprogram. Kerja harus diniati dengan ikhlas dan ikhsan (mengerjakan secara optimal).19
Inilah, kata Nurcholish, etos kerja yang perlu tumbuh bagi kaum Muslim, agar Indonesia
menjadi bangsa yang maju dan memiliki kualitas SDM yang tinggi di masa depan. Baginya,
apabila umat Islam Indonesia maju, berarti Indonesia juga akan maju, begitu pula sebaliknya.
Maka, ia sangat yakin bahwa maju mundurnya Indonesia sangat tergantung pada umat Islam
itu sendiri.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa H.M. Rasyidi berpandangan bahwa
ilmu kalam sama sekali berbeda dengan teologi. Beliau tidak sependapat dengan Harun yang
sangat mengagungkan akal yang dapat mengetahui baik dan buruk dilihat dari perkembangan
zaman.Tentang iman, Rasyidi mengatakan bahwa iman bukan sekedar bersatunya manusia
dengan Tuhan, tetapi dapat dilihat dalam dimensi konsekuensial atau hubungan manusia
dengan manusia,yakni hidup dalam masyarakat. Jadi, yang lebih penting dari aspek
penyatuan itu adalah kepercayaan, ibadah, dan kemasyarakatan.

Sementara, Harun Nasution adalah seorang tokoh pemikir ilmu kalam/teologi di mana
beliau memilki beberapa pemikiran-pemikiran terkait dengan masalah ini, di antaranya yaitu:
beliau pernah menulis bahwa Akal Melambangkan Kekuatan Manusia, hal ini mengartikan
bahwa dengan akal lah manusia dapat melakukan berbagai aktivitas yang berkaitan dengan
keperluan hidupnya. Dengan akal manusia dapat mengalahkan makhluk lain, dan bertambah
tingginya akal manusia maka bertambah tinggi pula kesanggupannya untuk mengalahkan
makhluk lain. Bertambah lemah kekuatan akal manusia, bertambah lemah pulalah
kesanggupannya untuk menghadapi kekuatan-kekuatan lain tersebut.

Beliau juga berpendapat bahwa keterbelakangan dan kemunduran umat Islam


Indonesia (juga di mana saja) adalah disebabkan “ada yang salah” dalam teologi mereka,
maka dari itu beliau memiliki pemikiran tentang pembaharuan teologi. Beliaupun
berpendapat bahwa ada hubungan antara akal dan wahyu. Akal mempunyai kedudukan yang
tinggi dalam Al-Qur’an, orang yang beriman tidak perlu menerima bahwa wahyu sudah
mengandung segala-galanya. Wahyu bahkan tidak menjelaskan semua permasalahan
keagamaan.

B. Saran

Demikianlah pembahasan makalah mengenai pemikiran kalam di Indonesia menurut


HM. Rosyidi, harun Nasution, Nurkholis Majid. Semoga dapat bermanfaat dan menambah
wawasan.
DAFTAR PUSTAKA

Anwar, Rosihan dan Abdul Razak. 2003. Ilmu Kalam. Bandung: CV. Pustaka Setia.

Madjid, Nurcholis. 1997. Kaki Langit Peradaban Islam. Jakarta: Paramadina.

Rasjidi. 1972. Koreksi Terhadap Drs. Nurcholish Madjid tentang Sekularisasi.


Jakarta : Bulan Bintang.

Anda mungkin juga menyukai