Anda di halaman 1dari 9

Keadilan Vs Hukum

KEADILAN
A. Defenisi dan Teori keadilan

Kata keadilan sebenarnya berasal dari kata “adil”. Kata adil berasal dari bahasa Arab
“adl”yang berarti adil. Keadilan secara leksikal berarti sama atau menyamakan. Menurut
pandangan umum, keadilan yaitu menjaga hak-hak orang lain. Definisi keadilan ialah
memberikan hak kepada yang berhak menerimanya. Keadilan merupakan suatu ukuran 
keabsahan suatu tatanan kehidupan berbangsa bermasyarakat dan bernegara.  Perwujudan
keadilan perlu diupayakan dengan memberikan jaminan terhadap tegaknya keadilan.
 Menurut Aristoteles yang mengatakan bahwa keadilan adalah tindakan yang
terletak diantara memberikan terlalu banyak dan sedikit yang dapat diartikan
memberikan sesuatu kepada setiap orang sesuai dengan apa yang menjadi haknya.
 Menurut Notonegoro yang berpendapat bahwa keadilan adalah suatu keadaan
dikatakan adil jika sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
 Menurut Plato yang menyatakan bahwa pengertian keadilan adalah diluar
kemampuan manusia biasa dimana keadilan hanya dapat ada di dalam hukum dan
perundang-undangan yang dibuat oleh para ahli yang khususnya memikirkan hal
itu.
 Menurut definisi Imam Al-Khasim adalah mengambil hak dari orang yang wajib
memberikannya dan memberikannya kepada orang yang berhak menerimanya.

Keadilan sesungguhnya sudah muncul sejak masa Yunani kuno. Ada tiga fulsuf terkenal
yang berbicara tentang keadilan, yaitu Aristoles, Plato dan Thomas hobbes.      
Aristoles menyatakan bahwa keadilan berbeda dengan persamarataan. Keadilan bukan
berarti tiap-tiap orang memperolehbagian yang sama. Aristoles mengemukakan ada lima
jenis keadilan, yaitu:

 Keadilan komutatif, yakni perlakuan terhadap seseorang dengan tidak melihat jasa-
jasa yang telah diberikannya;
 Keadilan distributive, yakni perlakuan terhadap seseorang sesuai dengan jasa-jasa
yang diberikannya;
 Keadilan kodrat alam, yakni perbuatan yang memberi sesuatu sesuai dengan yang
diberikan oleh orang lain kepada kita;
 akaeadilan konvesional, yakni perbuatan apabila seorang warga negara telah
menaati peraturan perundang-undangan yang telah dikeluarkan.
 Keadilan perbaikan, yakni perbuatan apabila seseorang telah memulihkan nama
baik orang lainyangtercemar.
Plato menyebutkan ada dua teori keadilan, yaitu:
 Keadilan moral, yakni suatu perbuatan dapat dikatakan adil secara moral apabila
telah mampu memberikan perlakuan yang seimbang (selaras) antara hak dan
kewajiban;
 Keadilan prosedural, yakni suatu perbuatan dikatakan adil secara prosedural jika
seseorang telah mampu melaksanakan perbuatan adil berdasarkan tata cara yang
telah ditetapkan.

B. Macam macam keadilan

Secara umum macam macam keadilan terdiri dari :


Keadilan Komunikatif (Iustitia Communicativa) : Pengertian keadilan komunikatif adalah
keadilan yang memberikan kepada masing-masing orang terhadap apa yang menjadi
bagiannya dengan berdasarkan hak seseorang pada suatu objek tertentu. Contoh keadilan
komunikatif adalah Iwan membeli tas andri yang harganya 100 ribu maka iwan membayar
100 ribu juga seperti yang telah disepakati. 
Keadilan Distributif (Iustitia Distributiva) : Pengertian keadilan distributif adalah keadilan
yang memberikan kepada masing-masing terhadap apa yang menjadi hak pada suatu subjek
hak yaitu individu. Keadilan distributif adalah keadilan yang menilai dari proporsionalitas
atau kesebandingan berdasarkan jasa, kebutuhan, dan kecakapan. Contoh keadilan distributif
adalah karyawan yang telah bekerja selama 30 tahun, maka ia pantas mendapatkan kenaikan
jabatan atau pangkat.  
Keadilan Legal (Iustitia Legalis) : Pengertian keadilan legal adalah keadilan menurut
undang-undang dimana objeknya adalah masyarakat yang dilindungi UU untuk kebaikan
bersama atau banum commune. Contoh keadilan legal adalah Semua pengendara wajib
menaati rambu-rambu lalu lintas. 
Keadilan Vindikatif (Iustitia Vindicativa) : Pengertian keadilan vindikatif adalah keadilan
yang memberikan hukuman atau denda sesuai dengan pelanggaran atau kejatahannya. Contoh
keadilan vindikatif adalah pengedar narkoba pantas dihukum dengan seberat-beratnya. 
Keadilan Kreatif (Iustitia Creativa) : Pengertian keadilan kreatif adalah keadilan yang
memberikan masing-masing orang berdasarkan bagiannya yang berupa kebebasan untuk
menciptakan kreativitas yang dimilikinya pada berbagai bidang kehidupan. Contoh keadilan
kreatif adalah penyair diberikan kebebasan dalam menulis, bersyair tanpa interfensi atau
tekanan apapun. 
Keadilan Protektif (Iustitia Protektiva) : Pengertian keadilan protektif adalah keadilan
dengan memberikan penjagaan atau perlindungan kepada pribadi-pribadi dari tindak
sewenang-wenang oleh pihak lain. Contoh keadilan protektif adalah Polisi wajib menjaga
masyarakat dari para penjahat.
·         Keadilan Sosial : Pengertian keadilan sosial adalah keadilan yang
pelaksanaannyatergantung dari struktur proses eknomi, politik, sosial, budaya dan ideologis
dalam masyarakat.  Maka struktur sosial  adalah hal pokok dalam mewujudkan keadilan
sosial.  Keadilan sosial tidak hanya menyangkut upaya penegakan keadilan-keadilan tersebut
melainkan masalah kepatutan dan pemenuhan kebutuhan  hidup yang wajar bagi masyarakat.
C. Proses dan Manfaat terciptaannya keadilan
      Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara masalah keadilan menjadi masalah
penting dalam rangka memberikan jaminan rasa aman dalam melaksanakan aktivitas
sehari-hari, hak asasi manusia dan memperkukuh persatuan dan kesataun bangsa.
Keterbukaan dalam pengertian sikap dan perilaku yang dilakukan pemerintah dan pejabat
pulbik dewasa ini, merupakan tuntutan yang tidak dapat dihindari dengan cara apapun dan
oleh negara manapun terkait dengan derasnya arus informasi dalam berbagai bidang
kehidupan. Keterbukaan arus informasi di bidang hukum, telah menjadi bahan pemikiran
bagi setiap negara untuk dapat melaksanakan jaminan keadilan bagi warga negara sejalan
dengan tuntutan supremasi hukum , demokratisasi dan hak-hak asasi manusia.

Perbuatan adil, tidak hanya merupakan idaman manusia, tetapi juga diperintah Tuhan
apapun agamanya. Bila suatu negara – terutama pemerintah, pejabat publik dan aparat
penegak hukumnya -- mampu memperlakukan warganya dengan “adil” dalam segala
bidang, niscaya kepedulian (sense of belonging) dan rasa tanggung jawab (sense of
responsbility) warga negara dalam rangka membangun negara serta memperkukuh
persatuan dan kesatuan dapat terwujud.

Keadilan pada umumnya relatif sulit diperoleh. Untuk memperoleh keadilan biasanya
diperlukan pihak ketiga sebagai penegak, dengan harapan pihak tersebut dapat bertindak
adil terhadap pokok-pokok yang berselisih. Oleh karena itu pihak ketiga tersebut harus
netral, tidak boleh menguntungkan salah satu pihak. Jadi adanya pihak ketiga dalam
rangka menghindari konfrontatif antara yang sedang berselisih.
Pelaksanaan jaminan keadilan sangat dituntut oleh penyelenggaraan negara (pemerintah
dan pejabat publik) yang baik, bersih dan transparan. Penyelenggaraan pemerintahan yang
baik tersebut didasarkan pada beberapa asas umum, di antaranya adalah;

·         Asas Kepastian hukum (principle of legal security = Rechts zekerheid beginsed).


Asas ini menghendaki agar sikap dan keputusan pejabat administrasi negara yang mana
pun tidak boleh menimbulkan keguncangan hukum atau status hukum. Dalam menjamin
adanya kepastian hukum, pejabat administrasi negara wajib menentukan masa peralihan
untuk menetapkan peraturan baru atau perubahan status hukum suatu peraturan. Tanpa
masa peralihan, suatu keputusan administrasi negara yang sah (legal) secara mendadak
(tanpa masa peralihan) menjadi tidak sah sehingga dapat merugikan masyarakat. Keadaan
tersebut akan menimbulkan ketidakpastian hukum dan dapat mengurangi kepercayaan
masyarakat kepada hukum, peraturan-peraturan serta wibawa pejabat administrasi negara.
·         Asas Keseimbangan. Asas ini menyatakan bahwa tindakan disiplin yang
dijatuhkan oleh pejabat administrasi negara harus seimbang dengan kesalahan yang
dibuatnya. Hal ini diatur dalam undang-undang kepegawaian dan peraturan tentang
pegawai negeri umum (Ambtenarenwet juncto algemene rijksambte narenreglement).
Dalam undang-undang ini terdapat banyak cara untuk menjatuhkan putusan terhadap suatu
kelalaian, tetapi harus diingat tindakan yang dijatuhkan harus seimbang/sebanding dengan
kelalaian yang dibuat.
·         Asas Kesamaan. Dalam asas ini dinyatakan bahwa pejabat administrasi negara
dalam        menjatuhkan keputusan tanpa pandang bulu. Sebelum keputusan diambil, harus
dipikirkan dulu secara masak-masak agar untuk kasus yang sama dapat diambil keputusan
yang sama pula. Pejabat Administrasi negara tidak boleh melakukan diskriminasi dalam
mengambil keputusan. Jika beberapa orang dalam situasi dan kondisi hukum yang sama
mengajukan suatu permohonan, mereka harus mendapatkan keputusan dikenai syarat-
syarat tambahan yang subjektif. Misalnya, karena mereka mendapat masalah pribadi
sehingga keputusannya lebih berat. Hal demikian sangat terlarang karena selain akan
merusak tujuan hukum objektif juga akan merongrong hukum dan menurunkan wibawa
pejabat administrasi negara.
·         Asas Larangan Kesewenang-wenangan. Bahwa keputusan sewenang-wenangan
adalah keputusan yang tidak mempertimbangkan semua faktor yang relevan secara
lengkap dan wajar sehingga secara akal kurang sesuai. Contohnya, sikap sewenang-
wenang pejabat administrasi negara ialah menolak meninjau kembali keputusannya yang
dianggap kurang wajar oleh masyarakat. Pada prinsipnya, keputusan yang sewenang-
wenang adalah dilarang dan keputusan semacam itu dapat digugat melalui pengadilan
Perdata (pasal 1365 KUH Perdata).
·         Asas larangan Penyalahgunaan wewenang (detoumement de pouvoir). Asas ini
menyatakan bahwa penyalahgunaan wewenang adalah bilamana suatu wewenang oleh
pejabat yang bersangkutan dipergunakan untuk tujuan yang bertentangan atau
menyimpang dari apa yang telah ditetapkan semula oleh undang-undang.
·         Asas Bertindak Cermat. Jika pejabat administrrasi negara telah mengambil
keputusan dengan kurang hati-hati sehingga menimbulkan kerugian bagi masyarakat,
keputusan tersebut secara otomatis menjadi berat. Jika terjadi tanpa menunggu instruksi
atasan atau pejabat, yang bersangkutan wajib memperbaiki keputusannya dengan
menerbitkan keputusan baru.
·         Asas Perlakukan yang Jujur. Asas ini menghendaki adanya pemberian kebebasan
yang seluas-luasanya kepada  warga masyarakat untuk kebenaran. Asas ini memberikan
penghargaan yang lebih pada masyarakat dalam mencari kebenaran tersebut melalui
instansi banding. Pengajuan banding ini dapat dilakukan pada pejabat administrasi negara
yang lebih tinggi tingkatannya (administratief beroep) atau kepada badan-badan peradilan
(judicial review). Asas ini penting untuk diketahui masyarakat karena pejabat administrasi
negara diberikan kebebasan untuk bertindak. Dengan adanya asas ini berarti masyarakat
dapat melakukan banding.

·         Asas meniadakan Akibat Suatu keputusan yang Batal. Dalam asas ini
dimaksudkan bahwa keputusanCentrale Raad van Beroep, 20 september 1920 tentang
seorang pegawai yang berdasarkan Peradilan kepegawaian (Amotenarengerecht) tingkat
pertama diberhentikan, tetapi oleh  peradilan tingkat banding, putusan pemberhentian
dibatalkan. Di Indonesia, asas ini telah memperoleh pengaturannya dalam pasal 9 ayat 1
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970, yang berbunyi; “Seorang yang ditangkap,
ditahan, dituntut, ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang, atau
karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan, berhak menuntut ganti
kerugian dan rehabilitas”.

·         Asas Penyelenggaraan Kepentingan Umum. Dalam asas ini bahwa tindakan aktif
dan positif dari pejabat administrasi negara adalah penyelenggaraan kepentingan umum.
Kepentingan umum meliputi kepentingan nasional, yaitu kepentingan bangsa, masyarakat,
dan negara. Berdasarkan asas ini, kepentingan umum harus lebih didahulukan daripada
kepentingan individu, yaitu memberikan hak mutlak pada hak-hak pribadi.

Di Indonesia, jaminan keadilan telah tercantum dalam beberapa peraturan sebagai


berikut
·                Pancasila
1)      Sila kedua berbunyi “Kemanusiaan yang adil dan beradab”
2)      Sila kelima berbunyi “Kadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia”
·         Pembukaan UUD 1945
1)      Alenia II yang berbunyi, “… negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat,
adil, dan makmur”.
2)      Alenia IV yang berbunyi, ” … ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial”.
Dua landasan jaminan keadilan di atas merupakan landasan utama bagi bangsa
Indonesia dalam membangun masa depan bangsa sesuai dengan cita-cita proklamasi dan
tujuan Negara. Namun, dalam pelaksanaannya masih banyak orang yang belum mendapat
keadilan. Bahkan, keadilan semakin jarang atau sulit dirasakan oleh golongan masyarakat
miskin/rendah. Keadilan sering menjadi alat bagi golongan penguasa/kaya untuk bertindak
sewenag-wenag atau memaksakan kehendak. Untuk itulah, diperlukan upaya peningkatan
jaminan keadilan yang merata bagi semua golongan.
Jaminan keadilan bagi warga negara, dapat ditemukan dalam beberapa contoh
peraturuan perundang-undangan antara lain sebagai berikut :
·             Undang-Undang Dasar 1945 :
1)      Bidang Hukum dan Pemerintahan (Pasal 27);
2)      Bidang Politik (Pasal 28);
3)      Bidang Hak Asasi Manusia (Pasal 28A – 28J);
4)      Bidang Keagamaan (Pasal 29);
5)      Bidang Pertahanan Negara (Pasal 30);
·         Undang-Undang :
1)      Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung.
2)      Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
3)      Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak-hak Asasi Manusia.
4)      Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
5)      Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 Tentang Partai Politik.
6)      Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2003 Tentang Pertahanan Negara.
7)  Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional
            Dampak dari adanya keadilan:
·         Warga negara hidup damai, sejahtera, dan tentram.
1)      Tidak adanya kecemburuan antara masyarakat dengan pejabat/pemerintah
2)      Tidak adanya pertentangan antara masyarakat dan pemerintah di dalam
menerapkan dan melaksanakan kebijakan publik,
3)      Tidak adanya kesenjangan sosial dan disintegrasi bangsa.

Keadilan Bagi Masyarakat 


Secara teori Keadilan adalah kondisi kebenaran ideal secara moral mengenai sesuatu hal,
baik menyangkut benda atau orang. Menurut sebagian besar teori keadilan memiliki tingkat
kepentingan yang besar.
JohnRawls, filsuf Amerika Serikat yang dianggap salah satu filsuf politik terkemuka abad ke-20,
menyatakan bahwa  “Keadilan adalah kelebihan (virtue) pertama dari institusi sosial, sebagaimana
halnya kebenaran pada sistem pemikiran”
Keadilan juga dapat diartikan sebagai makin sempitnya kesenjangan yang terjadi. Maka keadilan
dalam masyarakat adalah terciptanya keseimbangan dan makin sempitnya kesenjangan yang terjadi
dalam kehidupan. Jika makin sempitnya kesenjangan yang terjadi adalah kesejahteraan bersama.
Ketenangan, ketentraman dan kebahagiaan dalam kehidupan setiap insan.

Fenomena Keadilan di Indonesia


Setiap manusia berhak memperoleh keadilan, baik itu dari masyarakat maupun dari
negara. Seperti yang tercantum dalam pancasila, sila ke-5 yang berbunyi : “keadlian bagi
seluruh rakyat Indonesia”. Hal ini sangat jelas bahwa seluruh rakyat indonesia berhak
mendapat keadilan tanpa terkecuali. Tidak pandang bulu, entah itu pejabat, rakyat kecil,
orang kaya atau miskin. Semua berhak mendapat keadilan yang merata, maka dari itu
keadilan sangat berkaitan dengan Hak Asasi Manusia (HAM). Hak asasi manusia dianggap
sebagai hak dasar yang sangat penting untuk dilindungi dan dilaksanakan dalam kehidupan
sehari-hari. Agar terwujud dengan baik, maka perlu diberlakukan sanksi bagi siapa saja yang
telah melanggar hak asasi manusia dan di sinilah peran hukum sangat dibutuhkan.

HUKUM
 Pengertian Hukum Keadilan
Hukum keadilan adalah sistem yang terpenting dalam pelaksanaan atas rangkaian
kekuasaan kelembagaan. dari bentuk penyalahgunaan kekuasaan dalam bidang politik,
ekonomi dan masyarakat dalam berbagai cara dan bertindak, sebagai perantara utama dalam
hubungan sosial antar masyarakat terhadap kriminalisasi dalam hukum pidana, hukum pidana
yang berupayakan cara negara dapat menuntut pelaku dalam konstitusi hukum menyediakan
kerangka kerja bagi penciptaan hukum, perlindungan hak asasi manusia dan memperluas
kekuasaan politik serta cara perwakilan di mana mereka yang akan dipilih. Administratif
hukum digunakan untuk meninjau kembali keputusan dari pemerintah, sementara hukum
internasional mengatur persoalan antara berdaulat negara dalam kegiatan mulai dari
perdagangan lingkungan peraturan atau tindakan militer.

 Budaya Hukum dan Perolehan Keadilan


Membicarakan mengenai perilaku hukum dan budaya hukum tentu tidak dapat menghidarkan
diri dari pembicaraan tentang sistem hukum, karena perilaku dan budaya hukum keduanya
merupakan unsur dari sistem hukum. Di samping kedua unsur tersebut, Kees Schuit menguraikan
unsur-unsur yang termasuk dalam suatu sistem hukum, yaitu:
1. Unsur idiil. Unsur ini terbentuk oleh sistem makna dari hukum, yang terdiri atas aturan-aturan,
kaidah-kaidah, dan asas-asas. Unsur inilah yang oleh para yuris disebut “sistem hukum.”
2. Unsur operasional. Unsur ini terdiri atas keseluruhan organisasiorganisasi dan lembaga-lembaga,
yang didirikan dalam suatu sistem hukum. Yang termasuk ke dalamnya adalah juga para pengemban
jabatan (ambtsdrager), yang berfungsi dalam kerangka suatu organisasi atau lembaga.
3. Unsur aktual. Unsur ini adalah keseluruhan putusan-putusan dan perbuatan-perbuatan konkret
yang berkaitan dengan sistem makna dari hukum, baik dari para pengemban jabatan maupun dari
para warga masyarakat, yang di dalamnya terdapat sistem hukum itu.

Sementara itu L.M. Friedman mengungkapkan tiga komponen dari sistem hukum. Ketiga komponen
dimaksud adalah: (1) struktur, (2) substansi, dan (3) kultur atau budaya. Pertama, sistem hukum
mempunyai struktur, yaitu kerangka bentuk yang permanen dari sistem hukum yang menjaga proses
tetap berada di dalam batas-batasnya. Struktur terdiri atas: jumlah serta ukuran pengadilan,
jurisdiksinya (jenis perkara yang diperiksa serta hukum acara yang digunakan), termasuk di dalam
struktur ini juga mengenai penataan badan legislatif. Kedua, substansi, yaitu aturan, norma, dan pola
perilaku nyata manusia yang berada dalam sistem itu.
Termasuk ke dalam pengertian substansi ini juga “produk” yang dihasilkan oleh orang yang
berada di dalam sistem hukum itu keputusan yang mereka keluarkan, aturan baru yang
mereka susun. Ketiga, adalah kultur atau budaya hukum, yaitu sikap manusia terhadap
hukum dan sistem hukum–kepercayaan, nilai, pemikiran, serta harapannya. Budaya hukum
ini pun dimaknai sebagai suasana pikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan
bagaimana hukum digunakan, dihindari, atau disalahgunakan.
Selanjutnya Friedman merumuskan budaya hukum sebagai sikapsikap dan nilai-nilai yang ada
hubungan dengan hukum dan sistem hukum, berikut sikap-sikap dan nilai-nilai yang memberikan
pengaruh baik positif maupun negatif kepada tingkah laku yang berkaitan dengan hukum.
Demikian juga kesenangan atau ketidak senangan untuk berperkara adalah bagian dari budaya
hukum. Oleh karena itu, apa yang disebut dengan budaya hukum itu tidak lain dari keseluruhan faktor
yang menentukan bagaimana sistem hukum memperoleh tempatnya yang logis dalam kerangka
budaya milik masyarakat umum. Maka secara singkat dapat dikatakan bahwa yang disebut budaya
hukum adalah keseluruhan sikap dari warga masyarakat dan sistem nilai yang ada dalam masyarakat
yang akan menentukan bagaimana seharusnya hukum itu berlaku dalam masyarakat yang
bersangkutan.
Friedman juga membedakan budaya hukum menjadi external and internal legal culture. Esmi
Warassih Pujirahayu mengelaborasi hal ini lebih lanjut yaitu bahwa, budaya hukum seorang hakim
(internal legal culture) akan berbeda dengan budaya hukum masyarakat (external legal culture).
Bahkan perbedaan pendidikan, jenis kelamin, suku, kebangsaan, pendapatan, dan lain-lain dapat
merupakan faktor yang mempengaruhi budaya hukum seseorang. Budaya hukum merupakan kunci
untuk memahami perbedaan-perbedaan yang terdapat di dalam sistem hukum yang lain. Selanjutnya
dikemukakan bahwa, “penerapan suatu sistem hukum yang tidak berasal atau ditumbuhkan dari
kandungan masyarakat merupakan masalah, khususnya di negara-negara yang sedang berubah
karena terjadi ketidakcocokan antara nilai-nilai yang menjadi pendukung sistem hukum dari negara
lain dengan nilai yang dihayati oleh anggota masyarakat itu sendiri.”
Mengacu pada pendapat tersebut, tidak ada keraguan kalau penggunaan lembaga pengadilan
sebagai tempat menyelesaikan sengketa sesungguhnya tidak cocok dengan nilai-nilai yang hidup dan
dihayati masyarakat pribumi Indonesia. Masalahnya, seperti telah diungkapkan di muka dilihat dari
optik sosio kultural, hukum modern yang digunakan dewasa ini merupakan hasil transplantasi sistem
hukum asing (Eropa) ke tengah tata hukum (legal order) masyarakat pribumi Indonesia, sehingga
sangat wajar apabila lembaga pengadilan yang merupakan bagian sekaligus penyangga dari sistem
hukum modern itu meski telah dintroduksikan ke dalam sistem hukum Indonesia selama enam
dekade sejak tahun 1942, namun tetap saja merupakan semacam “benda asing dalam tubuh kita.”

Kondisi Hukum Keadilan


     Di era reformasi ini, kekuasaan kehakiman (lembaga yudikatif), yang sudah lebih
dimandirikan berdasarkan UU Nomor 35 Tahun 1999, justru menjadi lebih korup
dibandingkan dengan lembaga eksekutif dan legislatif. Kebebasan lebih luas yang oleh UU
kepada para hakim untuk bebas melakukan korupsi peradilan dengan berbagai variasinya
(Moh. Mahfud MD, 2010:166).

     Pada akhir Juni 2006 yang lalu, hakim Herman Alositandi dijatuhi hukuman 4,5 tahun
penjara oleh pengadilan karena terbukti ia menyuruh seorang panitera untuk memeras
seorang saksi kasus Jamsostek dengan ancaman saksi tersebut akan dijadikan tersangka. Pada
pekan yang sama, mantan Hakim Tinggi, Harini Wijoso, juga divonis 4 tahun penjara karena
terbukti berusaha menyuap majelis Hakim Agung (Moh. Mahfud MD, 2010:166).

     Harini Wijoso terbukti melakukan permufakatan jahat dengan melakukan percobaan suap
terhadap hakim agung di MA untuk memengaruhi putusan kasasi kasus Probosutedjo. Harini
dikenai Pasal 6 ayat 1 huruf a UU Nomor 31/1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor
20/2001 tentang Tipikor. Selain itu, Harini juga dijerat dengan Pasal 15 dan 13 undang-
undang tersebut karena telah berusaha memengaruhi para penyelenggara negara dengan cara
memberi hadiah kepada para pejabat atau penyelenggara negara tersebut (Ramli dalam Deni
Setyawati, 2008:75)

     Tak ada yang membantah tentang bobroknya dunia peradilan sekarang ini. Padahal
lembaga peradilan adalah harapan utama untuk tampil sebagai leading sector dalam
pemberantasan KKN, dengan logikanya: Indonesia hancur atau terperosok ke dalam krisis
karena korupsi, korupsi subur dan sulit diberantas karena lembaga peradilan juga korupsi.
Dengan demikian, salah satu persoalan utama terletak di korupnya dunia peradilan. Karena
korupnya lembaga kekuasaan kehakiman, maka lembaga-lembaga penegak hukum yang lain
seperti kejaksaan, kepolisian, dan pengacara juga menjadi semakin korup. Misalnya, banyak
pengacara yang lebih mengandalkan lobi dalam menangani kasus, bukan mengandalkan
kelihaian dalam membangun argumen yuridis untuk memenangkan perkara. Bahkan untuk
kasus-kasus yang melibatkan orang penting, tim pengacaranya dilengkapi juga dengan tim
lobi yang mencari peluang-peluang untuk memenangkan perkara secara manipulatif. Lebih
buruk lagi, ditengara bahwa sekarang ini saksi ahli pun bisa dipesan untuk mengatakan hal
tertentu dengan tarif imbalan tertentu pula (Moh. Mahfud MD, 2010:166).

     Beberapa contoh di atas, yang menunjukkan bahwa berbagai peraturan selalu bisa diakali,
memperkuat pendapat yang mengatakan bahwa korupsi di Indonesia adalah budaya. Namun,
Sabastian Pompe, penulis buku The Indonesian Supreme Court, A Study of Institutional
Collapse, mengatakan “nonsens” menyebut korupsi sebagai budaya bangsa Indonesia. Dalam
kaitannya dengan dunia peradilan, menurut Pompe, judicial corruption baru muncul setelah
peristiwa Malari tahun 1974 ketika lembaga peradilan dibina dengan sistem (dan mulai
dimasuki oleh) kepemimpinan militer. Itu terjadi ketika Soeharto mulai melangkah unuk
mengokohkan kekuasaannya dengan mengkooptasi kekuasaan kehakiman. Sejak itu, kata
Pompe, terjadilah kebiasaan melayani (pemberian amplop atau upeti) di kalangan hakim
(Sebastian Pompe dalam Moh. Mahfud MD, 2010).

     Pendapat Pompe itu sejalan dengan hasil studi yang pernah penulis (Moh. Mahfud MD)
lakukan yang menunjukkan bahwa dalam periode tertentu sejarah Indonesia, tepatnya pada
tahun 1950-an, ternyata hukum dapat ditegakkan dengan baik melalui pimpinan yang tegas
dan penuh integritas dalam menegakkab hukum. Pada masa itu, tercatat nama harum Jaksa
Agung, Soeprapto, yang tegas mengajukan siapapun, termasuk menteri, ke pengadilan karena
tindak pelanggaran hukum. Selain itu, pada saat itu muncul hakim-hakim yang jujur dan
berani menghukum pejabat yang terbukti melakukan tindak pidana.

     Dengan demikian, pandangan bahwa korupsi adalah budaya bangsa tidak dapat diterima
atas dasar dua hal. Pertama, pandangan itu bertentangan dengan fakta sejarah. Kedua,
mempercayai pandangan itu berarti percaya pula bahwa apa pun yang akan mengalami
kegagalan mengingat budaya itu sangat sulit untuk diubah.

Anda mungkin juga menyukai