KEADILAN
A. Defenisi dan Teori keadilan
Kata keadilan sebenarnya berasal dari kata “adil”. Kata adil berasal dari bahasa Arab
“adl”yang berarti adil. Keadilan secara leksikal berarti sama atau menyamakan. Menurut
pandangan umum, keadilan yaitu menjaga hak-hak orang lain. Definisi keadilan ialah
memberikan hak kepada yang berhak menerimanya. Keadilan merupakan suatu ukuran
keabsahan suatu tatanan kehidupan berbangsa bermasyarakat dan bernegara. Perwujudan
keadilan perlu diupayakan dengan memberikan jaminan terhadap tegaknya keadilan.
Menurut Aristoteles yang mengatakan bahwa keadilan adalah tindakan yang
terletak diantara memberikan terlalu banyak dan sedikit yang dapat diartikan
memberikan sesuatu kepada setiap orang sesuai dengan apa yang menjadi haknya.
Menurut Notonegoro yang berpendapat bahwa keadilan adalah suatu keadaan
dikatakan adil jika sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
Menurut Plato yang menyatakan bahwa pengertian keadilan adalah diluar
kemampuan manusia biasa dimana keadilan hanya dapat ada di dalam hukum dan
perundang-undangan yang dibuat oleh para ahli yang khususnya memikirkan hal
itu.
Menurut definisi Imam Al-Khasim adalah mengambil hak dari orang yang wajib
memberikannya dan memberikannya kepada orang yang berhak menerimanya.
Keadilan sesungguhnya sudah muncul sejak masa Yunani kuno. Ada tiga fulsuf terkenal
yang berbicara tentang keadilan, yaitu Aristoles, Plato dan Thomas hobbes.
Aristoles menyatakan bahwa keadilan berbeda dengan persamarataan. Keadilan bukan
berarti tiap-tiap orang memperolehbagian yang sama. Aristoles mengemukakan ada lima
jenis keadilan, yaitu:
Keadilan komutatif, yakni perlakuan terhadap seseorang dengan tidak melihat jasa-
jasa yang telah diberikannya;
Keadilan distributive, yakni perlakuan terhadap seseorang sesuai dengan jasa-jasa
yang diberikannya;
Keadilan kodrat alam, yakni perbuatan yang memberi sesuatu sesuai dengan yang
diberikan oleh orang lain kepada kita;
akaeadilan konvesional, yakni perbuatan apabila seorang warga negara telah
menaati peraturan perundang-undangan yang telah dikeluarkan.
Keadilan perbaikan, yakni perbuatan apabila seseorang telah memulihkan nama
baik orang lainyangtercemar.
Plato menyebutkan ada dua teori keadilan, yaitu:
Keadilan moral, yakni suatu perbuatan dapat dikatakan adil secara moral apabila
telah mampu memberikan perlakuan yang seimbang (selaras) antara hak dan
kewajiban;
Keadilan prosedural, yakni suatu perbuatan dikatakan adil secara prosedural jika
seseorang telah mampu melaksanakan perbuatan adil berdasarkan tata cara yang
telah ditetapkan.
Perbuatan adil, tidak hanya merupakan idaman manusia, tetapi juga diperintah Tuhan
apapun agamanya. Bila suatu negara – terutama pemerintah, pejabat publik dan aparat
penegak hukumnya -- mampu memperlakukan warganya dengan “adil” dalam segala
bidang, niscaya kepedulian (sense of belonging) dan rasa tanggung jawab (sense of
responsbility) warga negara dalam rangka membangun negara serta memperkukuh
persatuan dan kesatuan dapat terwujud.
Keadilan pada umumnya relatif sulit diperoleh. Untuk memperoleh keadilan biasanya
diperlukan pihak ketiga sebagai penegak, dengan harapan pihak tersebut dapat bertindak
adil terhadap pokok-pokok yang berselisih. Oleh karena itu pihak ketiga tersebut harus
netral, tidak boleh menguntungkan salah satu pihak. Jadi adanya pihak ketiga dalam
rangka menghindari konfrontatif antara yang sedang berselisih.
Pelaksanaan jaminan keadilan sangat dituntut oleh penyelenggaraan negara (pemerintah
dan pejabat publik) yang baik, bersih dan transparan. Penyelenggaraan pemerintahan yang
baik tersebut didasarkan pada beberapa asas umum, di antaranya adalah;
· Asas meniadakan Akibat Suatu keputusan yang Batal. Dalam asas ini
dimaksudkan bahwa keputusanCentrale Raad van Beroep, 20 september 1920 tentang
seorang pegawai yang berdasarkan Peradilan kepegawaian (Amotenarengerecht) tingkat
pertama diberhentikan, tetapi oleh peradilan tingkat banding, putusan pemberhentian
dibatalkan. Di Indonesia, asas ini telah memperoleh pengaturannya dalam pasal 9 ayat 1
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970, yang berbunyi; “Seorang yang ditangkap,
ditahan, dituntut, ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang, atau
karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan, berhak menuntut ganti
kerugian dan rehabilitas”.
· Asas Penyelenggaraan Kepentingan Umum. Dalam asas ini bahwa tindakan aktif
dan positif dari pejabat administrasi negara adalah penyelenggaraan kepentingan umum.
Kepentingan umum meliputi kepentingan nasional, yaitu kepentingan bangsa, masyarakat,
dan negara. Berdasarkan asas ini, kepentingan umum harus lebih didahulukan daripada
kepentingan individu, yaitu memberikan hak mutlak pada hak-hak pribadi.
HUKUM
Pengertian Hukum Keadilan
Hukum keadilan adalah sistem yang terpenting dalam pelaksanaan atas rangkaian
kekuasaan kelembagaan. dari bentuk penyalahgunaan kekuasaan dalam bidang politik,
ekonomi dan masyarakat dalam berbagai cara dan bertindak, sebagai perantara utama dalam
hubungan sosial antar masyarakat terhadap kriminalisasi dalam hukum pidana, hukum pidana
yang berupayakan cara negara dapat menuntut pelaku dalam konstitusi hukum menyediakan
kerangka kerja bagi penciptaan hukum, perlindungan hak asasi manusia dan memperluas
kekuasaan politik serta cara perwakilan di mana mereka yang akan dipilih. Administratif
hukum digunakan untuk meninjau kembali keputusan dari pemerintah, sementara hukum
internasional mengatur persoalan antara berdaulat negara dalam kegiatan mulai dari
perdagangan lingkungan peraturan atau tindakan militer.
Sementara itu L.M. Friedman mengungkapkan tiga komponen dari sistem hukum. Ketiga komponen
dimaksud adalah: (1) struktur, (2) substansi, dan (3) kultur atau budaya. Pertama, sistem hukum
mempunyai struktur, yaitu kerangka bentuk yang permanen dari sistem hukum yang menjaga proses
tetap berada di dalam batas-batasnya. Struktur terdiri atas: jumlah serta ukuran pengadilan,
jurisdiksinya (jenis perkara yang diperiksa serta hukum acara yang digunakan), termasuk di dalam
struktur ini juga mengenai penataan badan legislatif. Kedua, substansi, yaitu aturan, norma, dan pola
perilaku nyata manusia yang berada dalam sistem itu.
Termasuk ke dalam pengertian substansi ini juga “produk” yang dihasilkan oleh orang yang
berada di dalam sistem hukum itu keputusan yang mereka keluarkan, aturan baru yang
mereka susun. Ketiga, adalah kultur atau budaya hukum, yaitu sikap manusia terhadap
hukum dan sistem hukum–kepercayaan, nilai, pemikiran, serta harapannya. Budaya hukum
ini pun dimaknai sebagai suasana pikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan
bagaimana hukum digunakan, dihindari, atau disalahgunakan.
Selanjutnya Friedman merumuskan budaya hukum sebagai sikapsikap dan nilai-nilai yang ada
hubungan dengan hukum dan sistem hukum, berikut sikap-sikap dan nilai-nilai yang memberikan
pengaruh baik positif maupun negatif kepada tingkah laku yang berkaitan dengan hukum.
Demikian juga kesenangan atau ketidak senangan untuk berperkara adalah bagian dari budaya
hukum. Oleh karena itu, apa yang disebut dengan budaya hukum itu tidak lain dari keseluruhan faktor
yang menentukan bagaimana sistem hukum memperoleh tempatnya yang logis dalam kerangka
budaya milik masyarakat umum. Maka secara singkat dapat dikatakan bahwa yang disebut budaya
hukum adalah keseluruhan sikap dari warga masyarakat dan sistem nilai yang ada dalam masyarakat
yang akan menentukan bagaimana seharusnya hukum itu berlaku dalam masyarakat yang
bersangkutan.
Friedman juga membedakan budaya hukum menjadi external and internal legal culture. Esmi
Warassih Pujirahayu mengelaborasi hal ini lebih lanjut yaitu bahwa, budaya hukum seorang hakim
(internal legal culture) akan berbeda dengan budaya hukum masyarakat (external legal culture).
Bahkan perbedaan pendidikan, jenis kelamin, suku, kebangsaan, pendapatan, dan lain-lain dapat
merupakan faktor yang mempengaruhi budaya hukum seseorang. Budaya hukum merupakan kunci
untuk memahami perbedaan-perbedaan yang terdapat di dalam sistem hukum yang lain. Selanjutnya
dikemukakan bahwa, “penerapan suatu sistem hukum yang tidak berasal atau ditumbuhkan dari
kandungan masyarakat merupakan masalah, khususnya di negara-negara yang sedang berubah
karena terjadi ketidakcocokan antara nilai-nilai yang menjadi pendukung sistem hukum dari negara
lain dengan nilai yang dihayati oleh anggota masyarakat itu sendiri.”
Mengacu pada pendapat tersebut, tidak ada keraguan kalau penggunaan lembaga pengadilan
sebagai tempat menyelesaikan sengketa sesungguhnya tidak cocok dengan nilai-nilai yang hidup dan
dihayati masyarakat pribumi Indonesia. Masalahnya, seperti telah diungkapkan di muka dilihat dari
optik sosio kultural, hukum modern yang digunakan dewasa ini merupakan hasil transplantasi sistem
hukum asing (Eropa) ke tengah tata hukum (legal order) masyarakat pribumi Indonesia, sehingga
sangat wajar apabila lembaga pengadilan yang merupakan bagian sekaligus penyangga dari sistem
hukum modern itu meski telah dintroduksikan ke dalam sistem hukum Indonesia selama enam
dekade sejak tahun 1942, namun tetap saja merupakan semacam “benda asing dalam tubuh kita.”
Pada akhir Juni 2006 yang lalu, hakim Herman Alositandi dijatuhi hukuman 4,5 tahun
penjara oleh pengadilan karena terbukti ia menyuruh seorang panitera untuk memeras
seorang saksi kasus Jamsostek dengan ancaman saksi tersebut akan dijadikan tersangka. Pada
pekan yang sama, mantan Hakim Tinggi, Harini Wijoso, juga divonis 4 tahun penjara karena
terbukti berusaha menyuap majelis Hakim Agung (Moh. Mahfud MD, 2010:166).
Harini Wijoso terbukti melakukan permufakatan jahat dengan melakukan percobaan suap
terhadap hakim agung di MA untuk memengaruhi putusan kasasi kasus Probosutedjo. Harini
dikenai Pasal 6 ayat 1 huruf a UU Nomor 31/1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor
20/2001 tentang Tipikor. Selain itu, Harini juga dijerat dengan Pasal 15 dan 13 undang-
undang tersebut karena telah berusaha memengaruhi para penyelenggara negara dengan cara
memberi hadiah kepada para pejabat atau penyelenggara negara tersebut (Ramli dalam Deni
Setyawati, 2008:75)
Tak ada yang membantah tentang bobroknya dunia peradilan sekarang ini. Padahal
lembaga peradilan adalah harapan utama untuk tampil sebagai leading sector dalam
pemberantasan KKN, dengan logikanya: Indonesia hancur atau terperosok ke dalam krisis
karena korupsi, korupsi subur dan sulit diberantas karena lembaga peradilan juga korupsi.
Dengan demikian, salah satu persoalan utama terletak di korupnya dunia peradilan. Karena
korupnya lembaga kekuasaan kehakiman, maka lembaga-lembaga penegak hukum yang lain
seperti kejaksaan, kepolisian, dan pengacara juga menjadi semakin korup. Misalnya, banyak
pengacara yang lebih mengandalkan lobi dalam menangani kasus, bukan mengandalkan
kelihaian dalam membangun argumen yuridis untuk memenangkan perkara. Bahkan untuk
kasus-kasus yang melibatkan orang penting, tim pengacaranya dilengkapi juga dengan tim
lobi yang mencari peluang-peluang untuk memenangkan perkara secara manipulatif. Lebih
buruk lagi, ditengara bahwa sekarang ini saksi ahli pun bisa dipesan untuk mengatakan hal
tertentu dengan tarif imbalan tertentu pula (Moh. Mahfud MD, 2010:166).
Beberapa contoh di atas, yang menunjukkan bahwa berbagai peraturan selalu bisa diakali,
memperkuat pendapat yang mengatakan bahwa korupsi di Indonesia adalah budaya. Namun,
Sabastian Pompe, penulis buku The Indonesian Supreme Court, A Study of Institutional
Collapse, mengatakan “nonsens” menyebut korupsi sebagai budaya bangsa Indonesia. Dalam
kaitannya dengan dunia peradilan, menurut Pompe, judicial corruption baru muncul setelah
peristiwa Malari tahun 1974 ketika lembaga peradilan dibina dengan sistem (dan mulai
dimasuki oleh) kepemimpinan militer. Itu terjadi ketika Soeharto mulai melangkah unuk
mengokohkan kekuasaannya dengan mengkooptasi kekuasaan kehakiman. Sejak itu, kata
Pompe, terjadilah kebiasaan melayani (pemberian amplop atau upeti) di kalangan hakim
(Sebastian Pompe dalam Moh. Mahfud MD, 2010).
Pendapat Pompe itu sejalan dengan hasil studi yang pernah penulis (Moh. Mahfud MD)
lakukan yang menunjukkan bahwa dalam periode tertentu sejarah Indonesia, tepatnya pada
tahun 1950-an, ternyata hukum dapat ditegakkan dengan baik melalui pimpinan yang tegas
dan penuh integritas dalam menegakkab hukum. Pada masa itu, tercatat nama harum Jaksa
Agung, Soeprapto, yang tegas mengajukan siapapun, termasuk menteri, ke pengadilan karena
tindak pelanggaran hukum. Selain itu, pada saat itu muncul hakim-hakim yang jujur dan
berani menghukum pejabat yang terbukti melakukan tindak pidana.
Dengan demikian, pandangan bahwa korupsi adalah budaya bangsa tidak dapat diterima
atas dasar dua hal. Pertama, pandangan itu bertentangan dengan fakta sejarah. Kedua,
mempercayai pandangan itu berarti percaya pula bahwa apa pun yang akan mengalami
kegagalan mengingat budaya itu sangat sulit untuk diubah.