Anda di halaman 1dari 41

BAB III PAJAK PENGHASILAN

BAB II
PAJAK PENGHASILAN UMUM
Capaian Pembelajaran:
Setelah mempelajari bab ini pembaca diharapkan dapat:
1. Mengetahui definisi PPh
2. Mengetahui dan membedakan subyek pajak dan pengecualiannya
3. Memahami kewajiban pajak subyektif
4. Memahami dan membedakan obyek PPh dan non obyek PPh
5. Memahami dan membedakan pengurangan yang diperkenankan dan tidak
diperkenakan dari penghasilan bruto
6. Memahami sistem penilaian dalam PPh
7. Memahami dan menerapkan penghitungan PPh terutang 1 tahun
8. Memahami dan menerapkan penghitungan PPh akhir tahun

Pajak Penghasilan (PPh) di Indonesia dimulai dengan Pajak Pendapatan 1932


(Inkomsten belasting 1932), lalu diubah menjadi Ordonansi Pajak
Pendapatan1944. Pada awal kemerdekaan dan selama revolusi tidak ada
pemungutan pajak yang berarti walau ada kantor iuran negara yang menerima
pajak dari beberapa pedagang. Sesudah kedaulatan RI, peraturan perpajakan
Belanda digunakan kembali sambil dilakukan penataan dan perluasan (Tjahyono
&Husein, 2000).
Pembahasan PPh pada bab ini didasarkan pada UU No. 7 Tahun 1983
sebagaimana telah diubah tiga kali dengan , UU No. 10 Tahun 1994, Undang-
Undang Nomor 17 Tahun 2000 dan yang terakhir adalah Undang-Undang Nomor
36 Tahun 2008.

3.1 DEFINISI

Pasal 1 UU No 36 tahun 2008 menyatakan bahwa PPh adalah pajak yang


dikenakan terhadap subyek pajak atas penghasilan yang diterima atau
diperolehnya dalam suatu tahun pajak.Peraturan perundangan yang mengatur
Pajak Penghasilan di Indonesia adalah UU No.7 Tahun 1983 yang telah
disempurnakan dengan UU No.7 Tahun 1991, UU No.10 Tahun 1994, UU No.17
Tahun 2000, UU No.36 Tahun 2008, Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden,

53
BAB III PAJAK PENGHASILAN
Keputusan Menteri Keuangan, Keputusan Direktorat Jendral Pajak maupun Surat
Edaran Direktur Jendral Pajak.

3.2 SUBYEK PAJAK

Subyek PPh adalah segala sesuatu yang mempunyai potensi untuk memperoleh
penghasilan dan menjadi sasaran untuk dikenakan PPh. Jika subyek pajak telah
memenuhi kewajiban pajak secara obyektif maupun subyektif maka disebut wajib
pajak. Berdasarkan Pasal 2 ayat 1 UU No.36 Tahun 2008, subyek pajak
dikelompokan sebagai berikut:

1. Subyek Pajak orang pribadi.


Orang pribadi adalah Subyek pajak yang dapat bertempat tinggal atau berada
di Indonesia ataupun luar Indonesia.
2. Subyek Pajak warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan,
menggantikan yang berhak.Penunjukan warisan yang belum terbagi sebagai
subyek pajak pengganti dimaksudkan agar penggenaan pajak atas penghasilan
yang berasal dari warisan tersebut tetap dapat dilaksanakan.
3. Subyek Pajak Badan
Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan
baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang
meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan
usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam
bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan,
perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau
organisasi lainnya, lembaga, dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak
investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
4. Subyek Pajak Bentuk Usaha Tetap (BUT)
BUT adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak
bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak
lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, dan badan yang tidak
didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk menjalankan
usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia, yang dapat berupa:
a. Tempat kedudukan manajemen;

54
BAB III PAJAK PENGHASILAN
b. Cabang perusahaan;
c. Kantor perwakilan;
d. Gedung kantor;
e. Pabrik;
f. Bengkel;
g. Gudang;
h. Ruang untuk promosi dan penjualan;
i. Pertambangan dan penggalian sumber alam;
j. Wilayah kerja pertambangan minyak dan gas bumi;
k. Perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan, atau kehutanan;
l. Proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan;
m. Pemberian jasa dalam bentuk apapau oleh pegawai atau orang lain,
sepanjang dilakukan oleh lebih dari 60 (enam puluh) hari dalam jangka
waktu 12 (dua belas) bulan;
n. Orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak
bebas;
o. Agen atau pegawai dari perusahaan asuransi yang tidak didirikan dan tidak
bertempat tinggal di Indonesia yang menerima premi asuransi atau
menanggung resiko di Indonesia;
p. Komputer, agen elektronik atau peralatan otomatis yang dimiliki, disewa,
atau digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk
menjalankan kegiatan usaha melalui internet.

Subyek Pajak Dalam Negeri dan Subyek Pajak Luar Negeri


Pasal 2 ayat 2 UU No.36 Tahun 2008 mengelompokkan Subyek pajak
menjadi :
1. Subyek pajak dalam negeri, adalah:
a. Orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang
berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, atau
orang pribadi dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan
mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia.
b. Badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia
c. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang
berhak.
2. Subyek pajak luar negeri, adalah:
a. orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang
berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12
bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di
Indonesia, yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui
bentuk usaha tetap di Indonesia;

55
BAB III PAJAK PENGHASILAN
b. orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi
yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu
12bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat tinggal
kedudukan di Indonesia, yang dapat menerima atau memperoleh
penghasilan dari Indonesia tidak dari menjalankan usaha atau melakukan
kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.

Kewajiban Pajak Subyektif


Kewajiban pajak subyektif berarti bahwa kewajiaban pajak yang melekat
pada subyek dan tidak dapat dilimpahkan pada orang atau pihak lain. Pada
umumnya setiap orang yang bertempat tinggal di Indonesia memenuhi kewajiban
pajak subyektif. Sedangkan untuk orang yang bertempat tinggal di luar Indonesia
kewajiban pajak subyetifnya ada kalau mempunyai hubungan ekonomi dengan
Indonesia (Resmi, 2011).
Saat mulai dan berakhirnya kewajiban pajak subyektif untuk setiap subyek
pajak diuraikan dalam tabel berikut ini.
Jenis Subyek Kewajiban Pajak Kewajiban Pajak Subyektif
Pajak Subyektif Dimulai Berakhir
Dalam Negeri- • Saat dilahirkan • Saat meninggal
orang Pribadi • Saat berada di Indonesia• Saat meninggalkan
atau berniat bertempat Indonesia untuk selama
tinggal di Indonesia lamanya
Dalam Negeri- • Saat didirikan • Saat dibubarkan atau tidak
atau
Badan bertempat kedudukan di lagi bertempat kedudukan
Indonesia di Indonesia
Luar Negeri • Saat menjalankan usaha • Saat tidak lagi
melalui BUT atau melakukan kegiatan menjalankan usaha atau
melalui BUT di Indonesia melakukan kegiatan
melalui BUT di Indonesia
Luar Negeri Tidak • Saat menerima atau • Saat tidak lagi menerima
Melalui BUT memperoleh penghasilan atau memperoleh
dari Indonesia penghasilan dari Indonesia
Warisan Belum • Saat timbulnya warisan • Saat warisan selesai
Terbagi yang belum terbagi dibagikan

Tidak Termasuk Subyek Pajak


Yang tidak termasuk subyek pajak berdasarkan pasal 2 UU No. 36 Tahun
2008 adalah:

56
BAB III PAJAK PENGHASILAN
1. kantor perwakilan negara asing;
2. pejabat-pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat-pajabat lain
dari negara asing dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang
bekerja pada dan bertempat tinggal bersama-sama mereka dengan syarat
bukan warga Negara Indonesia dan di Indonesia tidak menerima atau
memperoleh penghasilan di luar jabatan atau pekerjaan tersebut serta negara
bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik;
3. organisasi-orgnisasi internasional dengan syarat Indonesia menjadi anggota
organisasi tersebut dan tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk
memperoleh penghasilan dari Indonesia selain memberikan pinjaman kepada
pemerintah yang datanya berasal dari iuran para anggota;
4. pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional sebagaimana dimaksud
pada nomor 3, dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan tidak
menjalankan usaha, kegiatan, atau pekerjaan lain untuk memperoleh
penghasilan dari Indonesia. Organisasi internasional yang tidak termasuk
subyek pajak sebagaimana dimaksud nomor 3 ditetapkan dengan Keputusan
Menteri Keuangan.
Perbedaan yang penting wajib pajak dalam negeri dan wajib pajak luar negari
terletak pada pemenuhan kewajiban pajaknya, antara lain:
1. wajib pajak dalam negeri dikenai pajak atas penghasilan baik yang diterima
atau diperoleh dari Indonesia maupun luar Indonesia, sedangkan Wajib Pajak
luar negeri dikenai pajak hanya atas penghasilan yang berasal dari sumber
penghasilan di Indonesia;
2. wajib pajak dalam negeri dikenai pajak berdasarkan penghasilan neto dengan
tarif umum, sedangkan wajib pajak luar negeri dikenai pajak berdasarkan
pengahasilan bruto dengan tarif pajak sendiri;
3. wajib pajak dalam negeri menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan sebagai sarana untuk menetapkan pajak yang terutang dalam
suatu tahun pajak, sedangkan wajib pajak luar negeri tidak wajib
menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan karena
kewajiaban pajaknya dipenuhi melalui pemotongan pajak yang sifatnya final;

57
BAB III PAJAK PENGHASILAN
4. bagi wajib pajak luar negeri yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan
melalui bentuk usaha tetap di Indonesia, pemenuhan kewajiban perpajakannya
dipersamakan dengan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak Badan
dalam negeri sebagaimana diatur dalam undang-undang yang mengatur
mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan.

3.3 OBYEK PAJAK PENGHASILAN

Obyek PPh adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis


yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia
maupun luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau menambah
kekayaaan. Dilihat dari mengalirnya tambahan kemampuan ekonomis kepada
Wajib Pajak, penghasilan dapat dikelompokan menjadi:
1. penghasilan dari pekerjaan dalam hubungan kerja dan pekerjaan bebas seperti
gaji, honorarium, penghasilan dari praktik dokter, notaris, aktuaris, akuntan,
pengacara, dan sebagainya;
2. penghasilan dari usaha dan kegiatan;
3. penghasilan dari modal yang berupa harta gerak maupun harta tak bergerak,
seperti bunga, deviden, royalti, sewa, dan keuntungan penjualan harta atau hak
yang tidak dipergunakan untuk usaha; dan
4. penghasilan lain-lain, seperti pembebasan hutang dan hadiah.

3.3.1 Penghasilan Yang Termasuk Obyek Pajak


Berdasarkan Pasal 4 UU Nomor 36 Tahun 2008, penghasilan yang termasuk
Obyek Pajak adalah:
1. penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima
atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus,
gratifikasi, uang pensiun, atau uang imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali
ditentukan lain dalam undang-undang ini;
2. hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan;
Dalam pengertian hadiah termasuk hadiah dari undian, pekerjaan dan
kegiatan, seperti hadiah undian tabungan, hadiah dari pertandingan olahraga
dan lain sebagainya. Yang dimaksud dengan penghargaan adalah imbalan

58
BAB III PAJAK PENGHASILAN
yang diberikan sehubungan dengan kegiatan tertentu, misal imbalan yang
diterima sehubungan dengan penemuan benda-benda purbakala.
3. laba usaha;
4. keuntungan karena penjualan atau pengalihan harta termasuk:
a. keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan
badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal;
b. keuntungan karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, atau
anggota yang diperoleh perseroan, persekutuan, dan badan lainnya;
c. keuntungan karena likuidasi, penggabunga, peleburan, pemekaran,
pemecahan, pengambilalihan usaha, atau reorganisasi dengan nama dan
dalam bentuk apapun;
d. keuntungan kaena pengalihan harta berupa hibah, bantuan, atau
sumbangan, kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis
keturunan lurus satu derajat dan badan keagaman, badan pendidikan,
badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang
menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur lebih lanjut
dalam Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan
usaha, kepemilikan, atau pengguasaan diantara pihak-pihak yang
bersangkutan; dan
e. keuntungan karena penjualan atau pengalihan sebagian atau seluruh hak
penambangan, tanda turut serta dalam pembiayaan, atau permodalan
dalam perusahaan pertambangan;
5. penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya
dan pembayaran tambahan pengembalian pajak;
6. bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan
pengembalian utang;
Premium terjadi apabila misalnya surat obligasi dijual diatas nilai nominalnya
sedangkan diskonto terjadi apabila surat obligasi dibeli dibawah nilai
nominalnya. Premium tersebut merupakan penghasilan bagi pihak yang
menerbitkan obligasi dan diskonto merupakan penghasilan bagi yang membeli
obligasi.
7. deviden, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk deviden dari
perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dengan pembagian sisa hasil
usaha kopersi;
Termasuk dalam pengertian deviden adalah:
a. pembagian hak baik secara langsung maupun tidak langsung dengan nama
dan dalam bentuk apapun;
b. pembayaran kembali karena likuidasi yang melebihi jumlah modal yang
disetor;

59
BAB III PAJAK PENGHASILAN
c. pemberian saham bonus yang dilakukan tanpa penyetoran termasuk saham
bonus yang berasal dari kapitalisasi agio saham;
d. pembagian laba dalam bentuk saham;
e. pencatatan tambahan modal yang dilakukan tanpa penyetoran;
f. jumlah yang melebihi jumlah setoran sahamnya yang diterima atau
diperoleh pemegang saham karena pembelian kembali saham-saham oleh
perseroan yang bersangkutan;
g. pembayaran kembali seluruhnya atau sebagian dari modal yang
disetorkan,jika dalam tahun-tahun yang lampau diperoleh keuntugan,
kecuali jika pembayaran kembali itu adalah akibat dari pengecilan modal
dasar (statuter) jika dilakukan secara sah;
h. pembayaran sehubungan dengan tanda-tanda laba, termasuk yang diterima
sebagai penebusan tanda-tanda laba tersebut;
i. bagian laba sehubungan dengan pemilikan obligasi;
j. bagian laba yang diterima oleh pemegang polis;
k. pembagian berupa sisa hasil usaha kepada anggota polis;
l. pengeluaran perusahaan untuk keperluan pribadi pemegang saham yang
dibebankan sebagai biaya perusahaan.
8. royalti atau imbalan atas penggunaan hak;
Royalti adalah suatu jumlah yang dibayarkan atau terutang dengan cara atau
perhitungan apapun, baik dilakukan secara berkala atau tidak, sebagai imbalan
atas:
a. penggunaan atau hak menggunakan hak cipta dibidang kasusastraan,
kesenian atau karya ilmiah, paten, desain atau model, rencana, formula
atau proses rahasia, merek dagang, atau bentuk hak kekayaan
intelektual/industrial atau hak serupa lainnya;
b. penggenaan atau hak menggunakan peralatan/perlengkapan industrial,
komersial, atau ilmiah;
c. pemberian pengetahuan atau informasi di bidang ilmiah, teknikal,
industrial, atau komersial;
d. pemberian bantuan tambahan atau pelengkap sehubungan dengan
penggunaan atau hak menggunakan hak-hak tersebut pada huruf a,
penggunaan atau hak menggunakan peralatan/perlengkapan tersebut pada
huruf b, atau pemberian pengetahuan atau informasi tersebut pada huruf c,
berupa:
1) penerimaan atau hak menggunakan rekaman gambar atau rekaman
suara atau keduanya, yang disalurkan kepada masyarakat melalui
satelit, kabel, serat optik, atau teknologi yang serupa;
2) penerimaan atau hak menggunakan rekaman gambar atau rekaman
suara atau keduanya, untuk siaran televisi atau radio yang
disiarkan/dipancarkan melalui satelit, kabel, serat optik, atau teknologi
yang serupa;
3) penggunaan atau hak menggunakan sebagian atau seluruh spektrum
radio komunikasi.

60
BAB III PAJAK PENGHASILAN
e. penggunaan atau hak menggunakan film gambar hidup (motion picture
films), film atau pita video untuk siaran televisi, atau pita suara untuk
siaran radio; dan
f. pelepasan seluruhnya atau sebagian hak yang berkenaan dengan
penggunaan atau pemberian hak kekayaan intelektual/industrial atau hak-
hak lainnya sebagaimana tersebut diatas.
9. sewa dan penghasilan lain karena penggunaan harta;
Dalam pengertian sewa termasuk imbalan yang diterima atau diperoleh
dengan nama dan dalam bentuk apapun sehungan dengan penggunaan harta
bergerak atau harta tak bergerak, misalnya sewa mobil, sewa kantor, sewa
rumah, dan sewa gudang.
10. penerimaan atau pembayaran berkala;
Penerimaan berupa pembayaran berkala, misalnya ”alimentasi” atau tunjangan
seumur hidup yang dibayar secara berulang-ulang dalam waktu tertentu.
11. keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu
yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah;
Pembebasan utang oleh pihak yang berpiutang dianggap sebagai penghasilan
bagi pihak yang semula berhutang, sedangkan bagi pihak yang berpiutang
dapat dibebankan sebagai biaya. Namun, dengan peraturan pemerintah dapat
ditetapkan sebagai pembebasan utang debitur kecil, misalnya Kredit Usaha
Prasejahtera (Kukesra), kredit usaha tani (KUT), kredit usaha rakyat (KUR),
kredit untuk perumahan sangat sederhana, serta kredit kecil lainnya sampai
jumlah tertentu dikecualikan sebagai obyek pajak.
12. keuntungan selisih kurs mata uang asing;
13. selisih lebih karena penilaian kembali aset;
14. premi asuransi;
15. iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri
dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas;
16. tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan
pajak;
17. penghasilan dari usaha berbasis syariah;
Kegiatan usaha berbasis syariah memiliki landasan filosofi yang berbeda
dengan kegiatan usaha yang bersifat konvensional. Namun, penghasilan yang

61
BAB III PAJAK PENGHASILAN
diterima atau diperoleh dari kegiatan usaha berbasis syariah tersebut tetap
merupakan Obyek Pajak menurut undang-undang ini.
18. imbalan bunga sebagaimana yang dimaksud dalam undang-undang yang
mengatur mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan;
19. surplus Bank Indonesia.

3.3.2 Penghasilan Tidak Temasuk Obyek Pajak


Bedasarkan Pasal 4 ayat 3 Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008,
terhadap penghasilan-penghasilan tertentu yang diterima atau diperoleh Wajib
Pajak dikecualikan dari penggenaan Pajak Penghasilan (bukan merupakan Obyek
Pajak). Penghasilan yang tidak termasuk obyek pajak menurut ketentuan tersebut
adalah:
1. a. Bantuan dan sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil
zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh
pemerintah dan yang diterima oleh penerima zakat yang berhak atau
sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang
diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk
dan disyahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima
sumbangan yang berhak, yang ketentuannya diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Pemerintah.
b. Harta hibahan yang diterima oleh keluarga dalam garis keturunan lurus satu
derajat dan badan keagaman, badan pendidikan, badan sosial termasuk
yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan
kecil, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, kepemilikan, atau
pengguasaan diantara pihak-pihak yang bersangkutan;
2. Warisan;
3. Harta termasetoran tunai yang diterima oleh badan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b UU PPh sebagai pengganti saham atau sebagai
pengganti penyertaan modal;
4. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang
diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dari Wajib

62
BAB III PAJAK PENGHASILAN
Pajak atau Pemerintah, kecuali yang diberikan oleh bukan Wajib Pajak, Wajib
Pajak yang dikenakan pajak secara final atau Wajib Pajak yang menggunakan
norma perhitungan khusus (deemed profit) sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 15 UU PPh;
Pengantian atau imbalan dalam bentuk natura atau kenikmatan berkenaan
dengan pekerjaan atau jasa merupakan tambahan kemampuan ekonomis yang
diterima bukan dalam bentuk uang. Pengantian atau imbalan dalam bentuk
natura seperti beras, gula, dan sebagainya, imbalan dalam bentuk kenikmatan,
seperti penggunaan mobil, rumah, fasilitas pengobatan bukan merupakan
Obyek Pajak. Apabila yang memberi imbalan berupa natura dan kenikmatan
tersebut bukan Wajib Pajak atau Wajib Pajak yang dikenai pajak penghasilan
yang bersifat final dan Wajib Pajak yang dikenai pajak penghasilan
berdasarkan norma khusus (deemed profit), imbalan dalam bentuk natura atau
kenikmatan tersebut merupakan penghasilan bagi yang menerima atau
memperolehnya. Misalnya, seorang penduduk Indonesia menjadi pegawai
pada suatu perwakilan diplomatik asing di Jakarta. Pegawai tersebut
memperoleh kenikmatan menikmati rumah yang disewa oleh perwakilan
diplomatik tersebut atau kenikmatan-kenikmatan lainnya. Kenikmatan-
kenikmatan tersebut merupakan penghasilan bagi pegawai tersebut sebab
perwakilan diplomatik yang bersangkutan bukan merupakan Wajib Pajak.
5. Pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan
dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi
dwiguna, dan asuransi beasiswa;
Penggantian atau santunan yang diterima oleh orang pribadi dari perusahaan
asuransi sehubungan dengan polis asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan,
asuransi jiwa, asuransi dwiguna, asuransi beasiswa, bukan merupakan Obyek
Pajak. Hal ini selaras dengan ketentuan dalam Pasal 9 ayat (1) huruf d, yaitu
bahwa premi asuransi yang dibayar oleh Wajib Pajak pribadi untu
kepentingan dirinya tidak boleh dikurangkan dalam perhitungan Penghasilan
Kena Pajak.
6. deviden atau bagaian dari laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas
sebagai Wajib Pajak dalam negeri, koperasi, dan badan usaha milik negara,

63
BAB III PAJAK PENGHASILAN
atau badan usaha milik daerah, dari penyertaan modal pada badan usaha yang
didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat:
a. deviden berasal dari cadangan laba yang ditahan; dan
b. bagi perseroan terbatas, badan usaha milik negara yang menerima deviden,
kepemilikan saham pada badan yang memberikan deviden paling rendah
25% (dua puluh lima persen) dari jumlah modal yang disetor;
7. Iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah
disahkan Menteri Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun
pegawai;
Dikecualikan dari Obyek Pajak adalah iuran yang diterima dari peserta
pensiun, baik atas beban sendiri maupun yang diberi pemberi kerja. Pada
dasarnya iuran yang diterima oleh dana pensiun tersebut merupakan dana
milik peserta pensiun, yang akan dibayarkan kembali kepada mereka pada
waktunya. Pengenaan pajak atas iuran tersebut berarti mengurangi hak para
peserta pensiun, dan oleh karena itu iuran tersebut dikecualikan sebagai
Obyek Pajak.
8. Penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun sebagaiman
dimaksud pada angka 7, dalam bidang-bidang tertentu yang ditetapkan dengan
Keputusan Menteri Keuangan;
9. Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer
yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan,
firma, kongsi, termasuk pemeganga unit kontrak investasi kolektif;
10. Penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa
bagian laba dari badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha
atau kegiatan di Indonesia, dengan syarat badan pasangan usaha tersebut:
a. merupakan perusahaan mikro, kecil, menengah, atau yang menjalankan
kegiatan dalam sektor-sektor usaha yang diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan; dan
b. sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia;
11. Beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu yang ketentuannya diatur lebih
lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;

64
BAB III PAJAK PENGHASILAN
12. Sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang
bergerak dalam bidang pendidikan dan/atau bidang penelitian dan
pengembangan, yang telah terdaftar pada instansi yang membidanginya, yang
ditanamkan kembali dalam bentuk sarana dan prasarana kegiatan pendidikan
dan/atau penelitian dan pengembangan, dalam jangka waktu paling lama 4
(empat) tahun sejak diperolehnya sisa lebih tersebut, yang ketentuannya diatur
lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;
13. Bantuan atau santunan yang dibayarkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial kepada Wajib Pajak tertentu, yang ketentuannya diatur lebih lanjut
dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

3.4 MENGHITUNG PAJAK PENGHASILAN


Besarnya PPh yang terutang dihitung dengan mengalikan tarif tertentu
dengan Penghasilan Kena Pajak (PKP). Dengan demikian PKP merupakan dasar
Pengenaan Pajak (DPP).
Tarif Pajak
Tarif Pajak merupakan persentase tertentu yang digunakan untuk
menghitung besarnya PPh. Tarif PPh yang berlaku di Indonesia dikelompokan
menjadi dua yaitu tarif umum sesuai dengan Pasal 17 UU No.7 Tahun 1983
(sebagaimana telah diubah beberapa kali dan yang terakhir adalah dalam UU No.
36 Tahun 2008) dan tarif lainnya.
a. Tarif PPh untuk Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri, yaitu:

Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak Tarif Pajak


Sampai dengan Rp 50.000.000 (lima puluh juta 5% (lima persen)
rupiah)
Diatas Rp 50.000.000 (lima puluh juta rupiah) sampai 15% (lima belas
dengan Rp 250.000.000 (dua ratus lima puluh juta persen)
rupiah)
Diatas Rp 250.000.000 (dua ratus lima puluh juta 25% (dua puluh lima
rupiah) sampai dengan Rp 500.000.000 (lima ratus juta persen)
rupiah)
Diatas Rp 500.000.000 (lima ratus juta rupiah) 30% (tiga puluh juta
rupiah)

65
BAB III PAJAK PENGHASILAN
Contoh:
a. Jumlah PKP Tuan Rahmad pada tahun 2011 adalah Rp 40.000.000.
PPh yang terutang: 5% × Rp 40.000.000 = Rp 2.000.000
b. Jumlah PKP Tuan Rayhan pada tahun 2011 adalah Rp 200.000.000
PPh yang terutang:
5% × Rp 50.000.000 Rp 2.250.000
15% × Rp 150.000.000 Rp 22.500.000 (+)
Rp 25.000.000
c. Jumlah PKP Tuan Radin pada tahun 2011 adalah Rp 500.000.000
Pajak Penghasilan yang terutang:
5% × Rp 50.000.000 Rp 2.250.000
15% × Rp 200.000.000 Rp 30.000.000
25% × Rp 250.000.000 Rp 62.500.000 (+)
Rp 95.000.000
d. Jumlah PKP Tuan Rashif pada tahun 2011 adalah Rp 600.000.000
Pajak Penghasilan yang terutang:
5% × Rp 50.000.000 Rp 2.250.000
15% × Rp 200.000.000 Rp 30.000.000
25% × Rp 250.000.000 Rp 62.500.000
30% × Rp 100.000.000 Rp 30.000.000 (+)
Rp 125.000.000
Untuk keperluan penerapan tarif pajak tersebut, jumlah penghasilan pajak
dibulatkan ke bawah dalam ribuan rupiah penuh.
Contoh:
a. PKP sebesar Rp 45.650.990, maka keperluan penerapan tarif Pajak
Penghasilan, PKP tersebut dibulatkan ke bawah menjadi Rp 45.650.000
b. PKP sebesar Rp 525.990.499, maka untuk keperluan penerapan tarif Pajak
Penghasilan, PKP tersebut dibulatkan ke bawah menjadi Rp 525.990.000

b. Tarif PPh untuk Wajib Pajak Badan Dalam Negeri dan Bentuk Usaha
Tetap adalah 28% (dua puluh delapan persen). Tarif tersebut menjadi
25% (dua puluh lima persen) mulai berlaku sejak tahun pajak 2010.
Contoh:
• Jumlah PKP PT Almas Bersaudara pada tahun 2009 adalah Rp
500.000.000. PPh yang terutang adalah sebesar 28% × Rp 500.000.000 =
Rp 140.000.000

66
BAB III PAJAK PENGHASILAN

• Jumlah PKP PT Triple “R” tahun 2010 adalah Rp 800.000.000.PPh yang


terutang adalah sebesar 25% × Rp 800.000.000 = Rp 200.000.000

Tarif pajak untuk WP Badan dalam negeri yang berbentuk Perseroan Terbuka
yang paling sedikit 40% dari jumlah keseluruhan saham yang disetor
diperdagangkan di bursa efek di Indonesia dan memenuhi persyaratan tertentu
lainny dapat memperoleh tarif sebesar 5% lebih rendah daripada tarif untuk WP
badan umumnya.
Berdasarkan Surat Edaran No. SE-66/PJ/2010 tentang penegasan atas pelaksanaan
pasal 31E ayat (1) UU No 36 tahun 2008, disebutkan bahwa:
a. WP Badan dalam negeri dengan peredaran bruto s.d Rp 50.000.000.000,00
mendapat fasilitas berupa pengurangan tarif 50% dari tarif sebagaimana
dijelaskan pada nomor 2 paragraf pertama (pasal 17 ayat (1) huruf b dan ayat
(2a) yang dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto
sampai dengan Rp 4.800.000,00
b. Fasilitas pengurangan tersebut dilaksanakan secara self assesment
pada saat penyampaian SPT Tahunan PPh WP badan, tidak perlu
menyampaikan permohonan untuk dapat memperoleh fasilitas tersebut.
c. Peredaran bruto tersebut adalah penghasilan yang diterima atau
diperoleh dari kegiatan usaha sebelum dikurangi biaya untuk mendapatkan,
menagih, dan memelihara penghasilan baikberasal dari Indonesia maupun dari
luar Indonesia, meliputi:
1) Penghasilan yang dikenai PPh bersifat final
2) Penghasilan yang dikenai PPh bersifat tidak final
3) Penghasilan yang dikecualikan dari obyek pajak
d. Fasilitas pengurangan tersebut bukan merupakan pilihan.

PKP yang digunakan sebagai dasar menghitung PPh tersebut dihitung dengan cara
yang berbeda tergantung pada jenis Subyek pajaknya, yang meliputi Subyek
Pajak Orang Pribadi, Subyek Pajak Warisan belum dibagi, Subyek Pajak Badan,
dan Subyek Pajak Orang Pribadi serta Subyek Pajak BUT. Untuk menghitung
besarnya pajak yang terutang, dari keempat subyek tersebut dapat dikelompokkan
menjadi dua, yaitu Subyek Pajak Badan termasuk BUT dan subyek pajak karena

67
BAB III PAJAK PENGHASILAN
pada hekekatnya warisan merupakan subyek pajak pengganti. Gambar berikut
adalah skema cara penghitungan PPh WP Badan dan WP OP yang mempunyai
usaha atau kegiatan bebas.

WP BADAN WP ORANG PRIBADI

PEMBUKUAN PEMBUKUAN Norma


Penghitungan

Penghasilan Penghasilan Peredaran Bruto


Bruto Bruto

Biaya-biaya yang Biaya-biaya yang


boleh dikurangkan =boleh dikurangkan % Norma

Penghasilan
Penghasilan neto Penghasilan neto Neto

PTKP
Kompensasi Kompensasi
Kerugian Kerugian

Penghasilan neto setelah Penghasilan neto setelah


KK KK

Penghasilan Kena PTKP


Pajak

Penghasilan Kena Penghasilan Kena


Pajak Pajak

Tarif pasal 17

PPh terutang

Berikut ini adalah penjelasan cara menghitung penghasilan neto, penghasilan kena
pajak dan cara menentukan besarnya pajak terutang.

68
BAB III PAJAK PENGHASILAN

3.4.1 Penghasilan Neto


Untuk menghitung pajak yang terutang maka harus dihitung terlebih dahulu
besarnya penghasilan neto. Pada dasarnya untuk menentukan penghasilan neto
ditentukan dengan cara pembukuan. Namun demikian, untuk WP orang pribadi
dengan persyaratan tertentu dapat menggunakan dua cara, yaitu pembukuan atau
norma penghitungan.
3.4.2 Penghasilan Neto bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang Menggunakan
Norma Penghitungan.

Tidak semua Wajib Pajak mampu menyelenggarakan pembukuan. Semua


Wajib Pajak badan dan Bentuk Usaha Tetap diwajibkan menyelenggarkan
pembukuan. Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau melakukan
pekerjaan bebas dengan jumlah peredaran bruto tertentu tidak diwajibkan untuk
menyelenggarkan pembukuan. Untuk memberikan kemudahan dalam menghitung
besarnya penghasilan neto bagi Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan
usaha atau pekerjaan bebas dengan peredaran bruto tertentu, Dirjen Pajak
menerbitkan norma penghitungan.
Norma penghitungan adalah pedoman untuk menentukan besarnya
penghasilan neto yang diterbitkan oleh Dirjen Pajak dan disempurnakan terus-
menerus. Penggunaan norma penghitungan tersebut pada dasarnya dilakukan
dalam hal-hal:
a. tidak terdapat dasar penghitungan yang lebih baik, yaitu pembukuan yang
lengkap, atau
b. pembukuan atau catatan peredaran bruto Wajib Pajak ternyata
diselenggarakan secara tidak benar.
Norma penghitungan disusun sedemikian rupa berdasarkan hasil penelitian atau
data lain, dan dengan memperhatikan kewajaran. Norma penghitungan akan
sangat membantu wajib pajak yang belum mampu menyelenggarkan pembukuan
untuk menghitung penghasilan neto. Norma penghitungan penghasilan neto hanya
boleh digunakan dengan syarat sebagi berikut:

69
BAB III PAJAK PENGHASILAN
a. Wajib pajak orang pribadi melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas
yang peredaran brutonya kurang dari jumlah Rp 4.800.000.000 (empat miliar
delapan ratus juta rupiah);
b. Wajib pajak orang pribadi harus memberitahukan kepada Dirjen Pajak dalam
jangka waktu 3 (tiga) bulan pertama dari tahun pajak yang bersangkutan;
c. Wajib Pajak wajib menyelenggarakan pencatatan tentang peredaran brutonya
sebagaimana diatur dalam undang-undang yang mengatur mengenai ketentuan
umum dan tata cara perpajakan.
Apabila wajib pajak orang pribadi yang berhak bermaksud untuk menggunakan
norma perhitungan penghasilan neto, tetapi tidak memberitahukannya kepada
Dirjen Pajak dalam jangka waktu yang ditentukan, Wajib pajak tersebut dianggap
menyelenggarakan pembukuan.

3.4.3 Penghasilan neto bagi Wajib Pajak yang menyelenggarakan


Pembukuan.

Penghasilan neto WP badan dan WP orang pribadi dihitung dengan


mengurangkan penghasilan bruto dengan pengurangan-pengurangan yang
diperkenankan menurut UU PPh. Penghasilan bruto uang dimaksud di sini adalah
penghasilan seperti yang tercantum dalam pasal 4 ayat 1 UU No 36 tahun 2008
dengan memperhatikan beberapa jenis obyek pajak yang dikecualikan seperti
tercantum dalam pasal 4 ayat 3. Sedangkan pengurangan-pengurangan yang
diperkenankan menurut UU PPh adalah pengurangan menurut pasal 6 ayat 1
dengan memperhatikan pengeluaran yang tidak dapat dikurangkan seperti
tercantum dalam pasal 9 ayat 1 UU PPh.

3.5 PENGURANGAN PENGHASILAN


PKP bagi Wajib Pajak dalam negeri dan BUT ditentukan berdasarkan
penghasilan bruto dikurangi dengan pengurang atau pengeluaran tertentu.
Pengeluaran tersebut dinamakan biaya atau beban. Pengeluaran/beban/biaya
dalam perpajakan tidak sepenuhnya sama dengan menurut akuntansi komersial.
Dalam perpajakan, pengeluaran/beban/biaya dibebankan menjadi dua, yaitu:

70
BAB III PAJAK PENGHASILAN
1. Pengeluaran/beban/biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto
(deductible expense). Adalah pengeluaran/beban/biaya yang mempunyai
hubungan langsung dengan usaha atau kegiatan untuk mendapatkan, menagih,
dan memelihara penghasilan yang merupakan Obyek Pajak yang
pembebanannya dapat dilakukan dalam tahun pengeluaran atau selama masa
manfaat atas pengeluaran tersebut.
2. Pengeluaran/beban/biaya yang tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto
(non deductible expense). Adalah pengeluaran/beban/biaya yang tidak
mempunyai hubungan langsung dengan usaha atau kegiatan untuk
mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang bukan merupakan
Obyek Pajak atau pengeluaran dilakukan tidak dalam batas-batas wajar sesuai
dengan adat kebiasaan pedagang yang baik. Oleh karena itu, pengeluaran yang
melampaui batas kewajaran yang dipengaruhi oleh hubungan istemewa tidak
boleh dikurangkan dari penghasilan bruto.
3.5.1 Biaya yang Diperkenankan sebagai Pengurang (Deductible Expense)
Berdasarkan Pasal 6 Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008, besarnya PKP
bagi Wajib Pajak dalam negeri dan BUT ditentukan berdasarkan penghasilan
bruto dikurangi biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan
termasuk;
1. biaya yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan
kegiatan usaha, antara lain:
a. biaya pembelian bahan;
b. biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa termasuk upah, gaji,
honorarium, bonus, gratifikasi, dan tunjangan yang diberikan dalam
bentuk uang;
c. bunga, sewa, dan royalti;
d. biaya perjalanan;
e. biaya pengolahan limbah;
f. premi asuransi;
g. biaya promosi dan penjualan yang diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan;
h. biaya administrasi;
i. pajak kecuali Pajak Penghasilan.
2. penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan
amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak dan atas biaya lain
yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun;

71
BAB III PAJAK PENGHASILAN
3. iuran kepada dana pensiun yang pendirinya telah disahkan oleh Menteri
Keuangan;
4. kerugiaan karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan
digunakan dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan,
menagih, dan memelihara penghasilan;
Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki tetapi tidak
digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, tidak
boleh dikurangkan dari penghasilan bruto.
5. kerugian selisih kurs mata uang asing;
6. biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di
Indonesia;
7. biaya beasiswa, magang, dan pelatihan;
8. piutang yang nyata tidak dapat ditagih, dengan syarat:
a. telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial;
b. Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih
kepada Direktorat Jendral Pajak; dan
c. telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau
instansi pemerintah yang menangani piutang negara; atau adanya
perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang/pembebasan utang
antara kreditur dan debitur yang bersangkuta; atau telah dipublikasikan
dalam penerbitan umum atau khusus; atau adanya pengakuan dari debitur
bahwa utangnya telah dihapuskan untuk jumlah utang tertentu;
d. syarat pada huruf c tidak berlaku untuk menghapuskan piutang tak tertagih
debitur kecil;yang pelaksanaannya diatur lebih lanjut dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri keuangan;
9. sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana nasional yang
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah;
10. sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan yang dilakukan
di Indonesia yang ketetuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah;
11. biaya pembangunan infrastruktur sosial yang ketentuannya diatur
dengan Peraturan Pemerintah;
12. sumbangan fasilitas pendidikan yang ketentuannya diatur dengan
Peraturan Pemerintah;
13. sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga yang ketentuannya diatur
dalam Peraturan Pemerintah;

72
BAB III PAJAK PENGHASILAN

Biaya yang Tidak Deperkenankan sebagai Pengurang (Non-Deductible


Expense)
Pengeluaran yang tidak boleh dikurangkan dalam penghasilan bruto (non-
deductible expense) meliputi pengeluaran yang sifatnya sebagai pemakaian
penghasilan, atau yang jumlahnya melebihi kewajaran. Pengeluaran yang tidak
diperkenankan dalam penghasilan bruto bagi wajib pajak dalam negeri dan bentuk
usaha tetap, sesuai dengan Pasal 9 ayat (1) UU Nomor 36 Tahun 2008 adalah:
1. pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun seperti deviden,
termasuk deviden yang dibayarkan oleh perusahaan asuransi kepada
pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi.

Pembagian laba ini tidak boleh dikurangkan dari penghasilan badan yang
membagikannya karena pembagian laba tersebut merupakan bagian dari
penghasilan badan yang akan dikenakan pajak (Resmi, 2011).
2. biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi
pemegang saham, sekutu, atau anggota.

Contoh biaya ini adalah perbaikan rumah pribadi, biaya perjalanan, biaya
premi asuransi yang dibayar oleh perusahaan untuk kepentingan pribadi para
pemegang saham atau keluarganya (Resmi, 2011).
3. Pembentukan atau penumpukan dana cadangan, kecuali:
a. cadangan piutang tak tertagih untuk usaha bank dan badan usaha lain yang
menyalurkan kredit, sewa guna usaha dengan hak opsi, perusahaan
pembayaran konsumen, dan perusahaan anjak piutang;
b. cadangan untuk usaha asuransi termasuk cadangan bantuan social yang
dibentuk oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial;
c. cadangan penjaminan untuk lembaga penjamin simpanan;
d. cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan;
e. cadangan biaya penanaman kembali untuk usaha kehutanan; dan
f. cadangan biaya penutupan dan pemeliharaan tempat pembuangan limbah
industry untuk usaha pengolahaan limbah industry, yang ketentuan dan
syarat-syaratnya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan.
4. Premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi
dwiguna, dan asuransi beasiswa, yang dibayar oleh Wajib Pajak orang
pribadi, kecuali jika dibayar oleh pemberi kerja dan premi tersebut
dihitung sebagai penghasilan bagi Wajib Pajak yang bersangkutan.
5. Penggantian atau imbalan sehubunggan dengan pekerjaan atau jasa yang
diberikan dalam bentuk netura atau keselamatan, kecuali penyediaan
makanan dan minuman bagi seluruh pegawai serta penggantian atau

73
BAB III PAJAK PENGHASILAN
imbalan dalan bentuk natura atau kenikmatan di daerah tertentu dan
yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan yang ditetapkan dengan
Keputusan Menteri Keuangan.
Sebagimana telah diuraikan dalam penjelasan Pasal 4 ayat (3) huruf d UU
PPh, penggantian atau imbalan dalam bentuk natura atau kenikmatan
dianggap bukan merupakan obyek pajak. Selaras dengan hal itu, dalam
ketentuan ini penggantian atau imbalan dimaksud dianggap bukan merupakan
pengeluaran yang dapat dibebankan sebagai biaya bagi pemberi kerja. Namun,
dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan, pemberi natura atau
kenikmatan berikut ini dapat dikurangkan dari penghasilan bruto pemberi
kerja dan merupakan penghasilan pegawai yang menerimanya:
a. penggantian atau imbalan dalam bentuk natura atau kenikmatan yang
diberikan berkenaan dengan pelaksanaan pekerjaan di daerah tersebut
dalam rangka menunjang kebijakan pemerintah untuk mendorong
pembangunan di daerah terpencil;
b. pemberian natura atau kenikmatan yang merupakan keharusan dalam
pelaksanaan pekerjaan sebagai sarana kesalamatan kerja atau karena sifat
pekerjaan tersebut mengharuskannya, seperti pakaian dan peralatan untuk
keselamatan kerja, pakaian seragam petugas keamanan (satpam), antar
jemput karyawan, serta penginapan untuk awak kapal dan yang
sejenisnya;dan
c. pemberian atau penyediaan makanan atau minuman bagi seluruh pegawai
yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan.
6. Jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang
saham atau kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagai
imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan.
Dalam hubungan pekerjaan, kemungkinan dapat terjadi pembayaran imbalan
yang diberikan kepada pegawai yang juga pemegang saham. Oleh karena pada
dasarnya pengeluaran untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
penghasilan yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto adalah
pengeluaran yang jumlahnya wajar sesuai dengan kelaziman usaha,
berdasarkan ketentuan ini jumlah yang melebihi kewajaran tidak boleh
dibebankan sebagai biaya. Misalnya, seorang tenaga ahli yang merupakan
pemeganga saham dari suatu badan memberikan jasa kepada badan tersebut

74
BAB III PAJAK PENGHASILAN
dengan memperoleh imbalan sebesar Rp 50.000.000 (lima puluh juta rupiah).
Apabila untuk jasa yang sama diberikan oleh tenaga ahli lainnya yang setara
hanya dibayar Rp 20.000.000 (lima puluh juta rupiah), jumlah sebesar Rp
30.000.000 (tiga puluh juta rupiah) tidak boleh dibebankan sebagai biaya.
Bagi tenaga ahli juga pemegang saham tersebut jumlah sebesar Rp 30.000.000
(tiga puluh juta rupiah) dimasukan ke dalam deviden (Resmi, 2011).
7. Harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, dan warisan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan b UU PPh,
kecuali sumbangan sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 6 ayat (1)
huruf i sampai m UU PPh serta zakat yang diterima oleh badan amil
zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk dan disyahkan oleh
pemerintah atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi
pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga
keagamaan yang diterima dan disyahkan oleh pemerintah, yang
ketentuannya diatur atau berdasarkan peraturan pemerintah.
8. Pajak penghasilan
Pajak penghasilan yang dimaksud adalah pajak penghasilan yang terutang
oleh Wajib Pajak. Contoh, PT Perdana selama tahun 2008 telah membayar
angsuran PPh Pasal 25 sebesar Rp 12.000.000, jumlah ini tidak boleh
dikurangkan dari penghasilan bruto tahun 2008 (Resmi, 2011).
9. Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi
Wajib Pajak atau orang yang menjadi tanggungannya.

Biaya untuk keperluan pribadi atau Wajib Pajak atau orang pribadi yang
menjadi tanggungan pada hakitatnya merupakan penggunaan penghasilan oleh
Wajib Pajak yang bersangkutan
10. Gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma, atau
perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham.
Anggota firma, pesekutuan, dan perseroan komanditer yang modalnya tidak
terbagi atas saham diperlakukan sebagai satu kesatuan, sehingga tidak ada
imbalan sebagai gaji.
11. Sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi
pidana berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaan perundang-
undangan di bidang perpajakan.

75
BAB III PAJAK PENGHASILAN
3.5.2 Kompensasi kerugian.
Apabila penghasilan bruto setelah pengurangan biaya-biaya tersebut didapat
kerugian, kerugian tersebut dikompensasikan dengan penghasilan mulai tahun
pajak berikutnya berturut-turut sampai dengan 5 (lima) tahun.
Contoh :
PT Almas Bersaudara (AB) dalam tahun 2009 menderita kerugian fiskal sebesar
Rp 1.300.000.000. Dalam 5 (lima) tahun berikutnya laba rugi fiskal PT AB
sebagai berikut:
2010 : laba fiskal Rp 200.000.000
2011 : laba fiskal Rp (300.000.000)
2012 : laba fiskal Rp NIHIL
2013 : laba fiskal Rp 100.000.000
2014 : laba fiskal Rp 800.000.000
Kompensasi kerugian dilakukan sebagai berikut:
Rugi fiskal tahun 2009 (Rp 1.300.000.000)
Laba fiskal tahun 2010 Rp 200.000.000 (+)
Sisa rugi fiskal tahun 2009 (Rp 1.100.000.000)
Rugi fiskal tahun 2011 (Rp 300.000.000)
Sisa rugi fiskal tahun 2009 Rp 1.100.000.000
Laba fiskal tahun 2012 Rp N I H I L (+)
Sisa rugi fiskal tahun 2009 (Rp 1.100.000.000)
Laba fiskal tahun 2013 Rp 100.000.000 (+)
Sisa rugi fiskal tahun 2009 (Rp 1.000.000.000)
Laba fiskal tahun 2014 Rp 800.000.000 (+)
Sisa rugi fiskal tahun 2009 Rp 200.000.000
Rugi fiskal tahun 2009 sebesar Rp 200.000.000 yang masih tersisa pada akhir
tahun 2014 tidak boleh dikompensasin lagi dengan laba fiskal tahun 2015,
sedangkan rugi fiskal tahun 2011 sebesar Rp 300.000.000 (tiga ratus juta rupiah)
hanya boleh dikompensasikan dengan laba fiskal 2015 dan tahun 2016, karena
jangka waktu lima tahun yang dimulai sejak tahun 2012 berakhir pada tahun
2016.

76
BAB III PAJAK PENGHASILAN
3.5.3 Penghasilan Tidak Kena Pajak PTKP)
PTKP merupakan jumlah penghasilan tertentu yang tidak dikenakan pajak.
Untuk menghitung besarnya PKP Wajib Pajak OP dalam negeri, penghasilan
netonya dikurangi dengan jumlah Penghasilan Tidak Kena Pajak. PTKP yang
ditetapkan dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008
mengalami beberapa perubahan seiring dengan perkembangan ekonomi dan
moneter serta perkembangan harga kebutuhan pokok setiap tahunnya. Sampai
dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 perubahan PTKP
dapat dilihat pada tabel berikut (Resmi, 2011).
Pasal 7 UU
PMK Pasal 7 UU
No.17 PMK No.137/
No.564/ No.17 Tahun
Tahun 2000 PMK.03/2005
Keterangan KMK03/2004 2008
(berlaku 1 (berlaku 1
(berlaku 1 (berlaku 1
Januari Januari 2006)
Januari 2005) Januari2009)
2001)
1. diri WP 2.880.000 12.000.000 13.200.000 15.840.000
2. tambahan
untuk WP
1.440.000 1.200.000 1.200.000 1.320.000
yang sudah
kawin
3. tambahan
untuk seorang
istri yang
menerima atau
memperoleh
2.880.000 12.000.000 13.200.000 15.840.000
penghasilan
yang digabung
dengan
penghasilan
suami
4. tambahan
untuk setiap
anggota
keluarga
sedarah
semenda
1.440.000 1.200.000 1.200.000 1.320.000
dalam garis
keturunan
lurus yang
menjadi
tanggungannya
(maksimal 3)

77
BAB III PAJAK PENGHASILAN
Wajib pajak yang mempunyai anggota keluarga sedarah dan semenda dalam garis
keturunan lurus yang menjadi tanggungan sepenuhnya, misalnya orang tua,
mertua, anak kandung, atau anak angakat diberi tambahan Penghasilan Tidak
Kena Pajak untuk paling banyak 3 (tiga) orang. Anggota keluarga tersebut dapat
menjadi tanggungan sepenuhnya apabila tidak mempunyai penghasilan dan
seluruh biaya hidupnnya ditanggung oleh Wajib Pajak.
Contoh (Resmi, 2011):
Wajib pajak A mempunyai seorang istri dengan tanggungan 4 (empat)
orang anak. Apabila istrinya memperoleh penghasilan dari satu pemberi kerja
yang sudah dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21 dan pekerjaan tersebut tidak ada
hubungannya dengan usaha suami atau anggota keluarga lainnya, besarnya
penghasilan tidak kena pajak yang diberikan kepada Wajib Pajak A adalah Rp
21.120.000 {yaitu Rp 15.840.000 + Rp 1.320.000 + (3 x Rp 1.320.000)},
sedangkan untuk istrinya, pada saat pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 oleh
pemberi kerja diberikan Penghasilan Tidak Kena Pajak sebesar Rp 15.840.000.
Apabila penghasilan istri harus digabung dengan panghasilan suami, besarnya
Penghasilan Tidak Kena Pajak yang diberikan kepada Wajib Pajak A adalah
sebesar Rp 36.960.000 (yaitu Rp 21.120.000 + Rp 15.840.000).
Perhitungan besanya pajak penghasilan tidak kena pajak di atas ditentukan
menurut keadaan Wajib pajak pada awal tahun pajak atau pada awal bagian
tahun pajak. Misalnya, pada tanggal 1 Januari 2009 Wajib pajak B berstatus
kawin dengan tanggungan 1 (satu) orang anak. Apabila anak kedua lahir setelah
tanggal 1 Januari 2009, besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak yang diberikan
kepada Wajib Pajak B untuk tahun 2009 tetap dihitung berdasarkan status kawin
dengan 1 (satu) orang anak.
PTKP bagi Wanita.
Terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam menentukan besarnya PTKP
untuk Wajib Pajak wanita.
1. Dalam hal wajib pajak adalah wanita kawin dan suami menerima atau
memperoleh penghasilan, maka besarnya PTKP setahun adalah untuk dirinya
sendiri, yaitu Rp 15.840.000.
Contoh: WP Adisti berstatus kawin (suami berpenghasilan), anak kandung 2.

78
BAB III PAJAK PENGHASILAN
Besarnya PTKP untuk Adisti adalah Rp 15.840.000 (untuk diri Wajib Pajak).
2. Dalam hal Wajib Pajak adalah wanita yang menunjukan keterangan tertulis
dari pemerintah daerah setempat (serendah-rendahnya Kecamatan) bahwa
suaminya tidak menerima atau memperoleh penghasilan, maka besarnya
PTKP setahun disamping untuk diri sendiri (sebesar Rp 1.320.000 setahun)
ditambah PTKP untuk keluarga yang menjadi tanggungan sepenuhnya paling
banyak tiga orang masing-masing sebesar Rp 1.320.000 setahun.
Contoh:
Wajib pajak Anita, berstatus kawin (suami tidak berpenghasilan),anak 3.
Besarnya PTKP untuk Anita adalah Rp 21.120.000, yang terdiri atas:
• Rp 15.840.000 untuk Wajib Pajak,
• Rp 1.320.000 tambahan untuk Wajib Pajak kawin,
• 3 x Rp 1.320.000 tambahan untuk tanggungan maksimal 3.
3. Dalam hal wajib pajak tidak kawin, maka besarnya PTKP setahun disamping
untuk diri sendiri (sebesar Rp 15.840.000 setahun) ditambah untuk PTKP
status kawin (sebesar Rp 1.320.000 setahun) dan PTKP untuk keluarga yang
menjadi tanggungan sepenuhnya paling banyak tiga orang masing-masing
sebesar Rp 1.320.000 setahun.
Contoh:
Wajib Pajak Agustina, berstatus tidak kawin dengan tanggungan 2 orang
tua kandung.
Besarnya PTKP untuk Agustina adalah Rp 18.480.000, terdiri atas:
• Rp 15.840.000 untuk Wajib Pajak,
• 2 x Rp 1.320.000 tambahan untuk tanggungan.
Sistem pengenaan pajak bedasarkan undang-undang ini menempatkan
keluarga sebagai satu kesatuan ekonomis, artinya pengahasilan atau kerugian dari
seluruh anggota keluarga digabungkan sebagai satu kesatuanyang dikenai
pajakdan pemenuhan kewajiban pajaknya dilakukan oleh kepada keluarga.
Namun, dalam hal-hal tertentu pemenuhan kewajiban pajak tersebut dilakukan
secara terpisah.
Penghasilan atau kerugian bagi wanita yang telah kawin pada awal tahun
pajak atau pada awal bagian tahun pajak dianggap sebagai penghasilan atau

79
BAB III PAJAK PENGHASILAN
kerugian suaminya dan dikenai pajak sebagai satu kesatuan. Penggabungan
tersebut tidak dilakukan dalam hal penghasilan istri diperoleh dari pekerjaan
sebagai pegawai yang telah dipotong pajak oleh pemberi kerja, dengan ketetuan
bahwa:
1. penghasilan istri tersebut semat-mata diperoleh dari satu pemberi kerja;
2. penghasilan istri tersebut berasal dari pekerjaan yang tidak ada hubungannya
dengan usaha atau pekerjaan bebas suami atau anggota keluarga lainnya.
Contoh (Resmi, 2011):
Wajib Pajak A yang memperoleh penghsilan neto dari usaha sebesar Rp
100.000.000 (seratus juta rupiah) mempunyai seorang istri menjadi pegawai
dengan penghasilan neto sebesar Rp 70.000.000 (tujuh puluh juta rupiah).
Apabila penghasilan istri tersebut diperoleh dari satu pemberi kerja dan telah
dipotong pajak oleh pemberi kerja dan pekerjaan tersebut tidak ada
hubungannya dengan usaha suami atau anggota keluarga lainnya,
penghasilan neto sebesar Rp 70.000.000 (tujuh puluh juta rupiah) tidak
digabung dengan penghasilan A dan pengenaan pajak atas penghasilan istri
tersebut bersifat final. Apabila selain menjadi pegawai, istri A juga
menjalankan usaha, misalnya salon kencantikan dengan penghasilan neto
sebesar Rp 80.000.000 (delapan puluh juta rupiah), seluruh penghasilan istri
sebesar Rp 150.000.000 (Rp 70.000.000 + Rp 80.000.000) digabungkan
dengan penghasilan A. Dengan penggabungan tersebut, A dikenai pajak atas
penghasilan neto sebesar Rp 250.000.000 (Rp 100.000.000 + Rp 70.000.000
+ Rp 80.000.000). Potongan pajak atas penghasilan istri tidak bersifat final,
artinya dapat dikreditkan terhadap pajak terutang atas penghasilan sebesar Rp
250.000.000 (dua ratus lima puluh juta rupiah) tersebut yang dilaporkan
dalam Surat Pemberithuan Tahunan Pajak Penghasilan.

Dalam hal suami-istri telah hidup berpisah berdasarkan keputusan hakim,


perhitungan Penghasilan Kena Pajak dan pengenaan pajaknya dilakukan sendiri-
sendiri. Apabila sumi-istri mengadakan perjanjian pemisahan harta dan
penghasilan secara tertulis atau jika istri menghendaki untuk menjalankan hak dan
kewajiban perpajakannya sendiri, perhitungan perpajakannya dilakukan
berdasarkan penjumlahan penghasilan neto suami-istridan masing-masing
memikul beban pajak sebanding dengan besarnya penghasilan neto.
Contoh (Resmi, 2011):
Perhitungan pajak suami-istri yang mengadakan perjanjian pemisahan
penghasilan secara tertulis atau jika istri menghendaki untuk menjalankan
hak dan kewajiban perpajakan sendiri adalah sebagai berikut.
Wajib Pajak A pada contoh sebelumnya, istri Wajib Pajak A menjalankan
usaha salon kencantikan, pengenaan pajaknya dihitung berdasarkan jumlah

80
BAB III PAJAK PENGHASILAN
penghasilan sebesar Rp 250.000.000 (dua ratus lima puluh juta rupiah).
Misalnya, pajak yang terutang atas jumlah penghasilan tersebut adalah
sebesar Rp 27.550.000 (dua puluh juta lima ratus lima puluh ribu rupiah)
maka untuk masing-masing suami-istri pengenaan pajaknya dihitung sebagai
berikut:

− Suami :

− Istri :

Penghasilan anak yang belum dewasa dari mana pun sumber penghasilannya dan
apapun sifat pekerjaannya digabung dengan penghasilan orang tuanya dalam
tahun pajak yang sama. Dalam perpajakan, anak yang belum dewasa adalah anak
yang berumur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah menikah. Apabila
seorang anak belum dewasa, yang orang tuanya berpisah, menerima atau
memperoleh penghasilan, pengenaan pajaknya digabung dengan ayah atau ibunya
berdasarkan keadaan yang sebenarnya.

3.6 PENGHASILAN KENA PAJAK (PKP)


3.6.1 PKP bagi Wajib Pajak Badan.
WP badan diwajibkan untuk melakukan pembukuan dengan cara-cara
yang telah ditetapkan dalam KUP. Penghitungan PKP dapat diformulasikan
sebagai berikut (Resmi, 2011):

PKP = Penghasilan neto


= (Penghasilan bruto − Pengurang /biaya diperkenankan sesuai
UU PPh)

Contoh 1:
Penjualan bruto 6.100.000.000
Retur Penjualan 60.000.000
Potongan Penjualan 40.000.000 (+)
100.000.000 (−)
Penjualan neto 6.000.000.000
Biaya untuk mendapatkan, menagih,
dan memelihara penghasilan 5.400.000.000 (−)
Laba usaha (penghasilan neto usaha) 600.000.000
Penghasilan di luar usaha 50.000.000
Biaya-biaya di luar usaha 30.000.000 (−)
Penghasilan neto di luar usaha 20.000.000 (+)
Total penghasilan neto 620.000.000

81
BAB III PAJAK PENGHASILAN

Dalam hal terdapat rugi tahun sebelumnya masih dapat dikompensasikan, maka:

PKP = Penghasilan neto − kompensasi kerugian


= (Penghasilan bruto − Pengurang /biaya diperkenankan sesuai UU
PPh) − kompensasi kerugian

Contoh 2:
Seperti pada contoh 1 jika terdapat sisa kerugian tahun sebelumnya yang masih
dapat dikompensasikan sebesar Rp 10.000.000, PKP-nya menjadi:
Penghasilan neto 620.000.000
Kompensasi kerugian 10.000.000 (−)
Penghasilan Kena Pajak 610.000.000

3.6.2 PKP bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang menyelenggarakan


Pembukuan
Penghitungan PKP untuk WP orang pribadi yang menyelenggarakan pembukuan
sama dengan WP badan tetapi dikurangi lagi dengan PTKP. Penghitungan PKP
tersebut dapat diformulasikan sebagai berikut (Resmi, 2011):

PKP = Penghasilan neto − PTKP


= (Penghasilan bruto − pengurang/biaya diperkenankan
sesuai UU PPh) −PTKP

Contoh 3:
Peredaran usaha 5.000.000.000
Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan
memelihara penghasilan 4.500.000.000 (−)
Penghasilan neto dari usaha 500.000.000
Penghasilan dari pekerjaan 120.000.000
Biaya untuk mendapatkan, menagih,
dan memelihara penghasilan 7.296.000 (−)
112.704.000
Penghasilan di luar usaha 50.000.000
Biaya-biaya di luar usaha 30.000.000 (−)
Penghasilan neto di luar usaha 20.000.000
Jumlah penghasilan neto 632.704.000
PTKP (K/2):
− Diri WP Rp 15.840.000
− tambahan kawin Rp 1.320.000
− tanggungan 2 Rp 2.640.000 (+) 19.800.000
Penghasilan Kena Pajak 613.004.000

82
BAB III PAJAK PENGHASILAN
Bagi wajib pajak orang pribadi muslim yang membayar zakat atas penghasilan
kepada badan amil zakat (BAZIS), jumlah zakat yang dibayarkan tersebut dapat
dikurangkan dari penghasilan neto sebelum dikenakan pajak. Perhitungan PKP
selanjutnya diformulasikan sebagai berikut:

PKP = Penghasilan neto − zakat atas penghasilan − PTKP


= (Penghasilan bruto − pengurang/biaya diperkenankan sesuai
dengan UU PPh) − PTKP

Contoh 4:
Seperti pada contoh 1 jika wajib pajak membayar zakat atas penghasilan sebesar
Rp 10.000.000 sesuai dengan ketetentuan yang ada, maka besarnya PKP-nya
menjadi Rp 603.004.000 (=Rp 613.004.000 − Rp 10.000.000).
Dalam hal wajib pajak membayar zakat atas penghasilan dan terdapat rugi tahun
sebelumnya yang masih dapat dikompensasikan, maka penghitungan PKP
selanjutnya diformulasikan sebagai berikut:

PKP = Penghasilan neto − zakat atas penghasilan − kompensasi kerugian


− PTKP
= (Penghasilan bruto − pengurang/biaya diperkenankan sesuai
dengan UU PPh) − zakat atas penghasilan − PTKP

Contoh 5:
Seperti pada contoh 2 jika terdapat sisa kerugian yang dapat dikompensasikan
sebesar Rp 20.000.000, maka besarnya PKP-nya menjadi Rp 583.004.000 (=Rp
613.004.000 − Rp 10.000.000 − Rp 20.000.000).

3.6.3 PKP bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang Menggunakan Norma
Penghitungan
PKP bagi Wajib Pajak orang pribadi yang menggunakan norma sama dengan
penghasilan neto dikurangi dengan PTKP. Penghasilan neto sama dengan jumlah
peredaran usaha atau penerimaan bruto dari usaha atau pekerjaan bebas dikalikan
dengan presentase Norma Penghitungan Penghasilan Neto (NPPN). Oleh karena
tidak menyelenggarakan pembukuan (menggunakan norma penghitungan yang
dasarnya adalah peredaran usaha) maka tidak ada rugi bagi wajib pajak tersebut,
sehingga tidak ada pengakuan terhadap kompensasi kerugian dalam menghitung
PKP. Penghitungan PKP tersebut dapat diformulasikan sebagai berikut:

83
BAB III PAJAK PENGHASILAN

PKP = Penghasilan neto − PTKP


= (Peredaran usaha × % NPPN) − PTKP
Contoh 6:
Peredaran bruto Rp 4.000.000.000
Penghasilan neto (menurut norma penghitungan)
missal 20% × Rp 4.000.000.000 Rp 800.000.000
Penghasilan neto lainnya Rp 5.000.000 (+)
Jumlah seluruh penghasilan neto Rp 805.000.000
Penghasilan Tidak Kena Pajak (K/3)
− Diri WP Rp 15.840.000
− tambahan kawin Rp 1.320.000
− tanggungan 3 RP 3.960.000 (+) Rp 21.120.000 (−)
Penghasilan kena pajak Rp 783.880.000

Bagi wajib pajak orang pribadi muslim yang membayar zakat atas penghasilan
kepada Badan Amil Zakat (BAZIS), jumlah zakat yang dibayarkan tesebut dapat
dikurangkan dari penghasilan neto sebelum dikenakan pajak. Penghitungan PKP
selanjutnya diformulaiskan sebagai berikut:

PKP = Penghasilan neto − zakat atas penghasilan − PTKP


= (Peredaran usaha × % NPPN) − zakat atas penghasilan − PTKP

Contoh 7:
Seperti pada contoh 3.1 jika wajib pajak membayar zakat atas penghasilan
sebesar Rp 20.000.000 sesuai dengan ketentuan yang ada, maka PKP-nya
menjadi Rp 763.880.000 (=Rp 783.880.000 − Rp 20.000.000).

3.7 PPh TERUTANG


Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa pajak penghasilan dapat
dihitung dari tariff dikalikan dengan penghasilan kena pajak. Pajak penghasilan
yang terutang atas contoh-contoh sebelumnya dihitung sebagai berikut (Resmi,
2011):

Kasus PKP PPh yang terutang


Contoh 1 Rp 620.000.000 25% × Rp 620.000.000 = Rp 155.000.000
(WP Badan)

84
BAB III PAJAK PENGHASILAN

Contoh 2 Rp 610.000.000 25% × Rp 610.000.000 = Rp 152.500.000


(WP Badan)
Contoh 3 Rp 613.004.000 5% × Rp 50.000.000 = Rp 2.500.000
(WP OP) 15% × Rp 200.000.000 = Rp 30.000.000
25% × Rp 250.000.000 = Rp 62.500.000
30% × Rp 113.004.000 = Rp 33.901.200
Rp 128.901.200

Contoh 4 Rp 603.004.000 5% × Rp 50.000.000 = Rp 2.500.000


(WP OP) 15% × Rp 200.000.000 = Rp 30.000.000
25% × Rp 250.000.000 = Rp 62.500.000
30% × Rp 103.004.000 = Rp 30.901.200
Rp 125.901.200

Contoh 5 Rp 584.004.000 5% × Rp 50.000.000 = Rp 2.500.000


(WP OP) 15% × Rp 200.000.000 = Rp 30.000.000
25% × Rp 250.000.000 = Rp 62.500.000
30% × Rp 83.004.000 = Rp 24.901.200
Rp 129.901.200

Contoh 6 Rp 783.880.000 5% × Rp 50.000.000 = Rp 2.500.000


(WP OP) 15% × Rp 200.000.000 = Rp 30.000.000
25% × Rp 250.000.000 = Rp 62.500.000
30% × Rp 283.880.000 = Rp 85.164.000
Rp 180.164.000

Contoh 7 Rp 763.880.000 5% × Rp 50.000.000 = Rp 2.500.000


(WP OP) 15% × Rp 200.000.000 = Rp 30.000.000
25% × Rp 250.000.000 = Rp 62.500.000
30% × Rp 263.880.000 = Rp 79.164.000
Rp 174.164.000

3.8. PELUNASAN PAJAK PENGHASILAN


Wajib Pajak mempunyai kewajiban untuk membayar atau melunasi pajak
terutang yang telah dihitung. Pelunasan pajak penghasilan dalam tahun berjalan
dapat dilakukan dengan dua cara yaitu pelunasan pajak melalui pihak lain dan
oleh Wajib Pajak Sendiri. Pelunasan pajak penghasilan pada tahun berjalan diatur
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 138 Tahun 2000. Dalam hal pelunasan pajak
dilakukan oleh pihak lain, penghitungan, pemotongan, penyetoran, dan pelaporan
dilakukan oleh pihak yang memberikan membayarkan penghasilan. Pelunasan
pajak juga bisa dilakukan tidak dalam tahun berjalan (sesudah tahun pajak
berakhir).

85
BAB III PAJAK PENGHASILAN
3.8.1 Pelunasan Pajak dalam Tahun Berjalan Melalui Pihak Lain
Pelunasan pajak dalam tahun berjalan melalui pihak lain (pemberi
penghasilan/pemotong pajak) dikelompokan sebagai berikut:
1. Pemotongan pajak penghasilan oleh pihak lain atas penghasilan berupa gaji,
upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dan dalam
bentuk apa pun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan
yang dilakukan oleh wajib pajak orang pribadi dalam negeri sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) undang-undang pajak penghasilan terutang
pada akhir bulan dilakukannya pembayaran atau pada akhir bulan terutangnya
penghasilan yang bersangkutan, tergantung peristiwa yang terjadi terlebih
dahulu.
2. Pemungut pajak penghasilan oleh pihak badan pemerintahan berkenaan
dengan pembayaran atas penyerahan barang dan badan-badan tertentu baik
badan pemerintah maupun swasata berkenaan dengan kegiatan di bidang
impor atau kegiatan usaha di bidang lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal
22 ayat (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan, terutang pada saat
pembayaran, kecuali ditetapkan lain oleh Menteri Keuangan.
3. Pemotongan pajak penghasilan oleh pihak lain atas penghasilan berupa
deviden, bunga, royalty, penghargaan, hadiah, bonus, dan lain-lain yang
diterima oleh wajib pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap, sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 23 Undang-Undang Pajak Penghasilan, terutang pada
akhir bulan dilakukannya pembayaran atau pada akhir bulan terutangnya
penghasilan yang bersangkutan, tergantung peristiwa yang terjadi terlebih
dahulu.
4. Pemotongan pajak atas penghasilan yang diterima oleh Wajib Pajak luar
negeri selain bentuk usaha tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat
(1) dan ayat (2) Undang-Undang Pajak Penghasilan, terutang pada akhir bulan
dilakukannya pembayaran atau pada akhir bulan terutangnya penghasilan yang
bersangkutan, tergantung peristiwa yang terjadi terlebih dahulu.
5. Pelunasan pajak atas penghasilan-penghasilan tertentu (bunga, deposito, dan
simpanan lain di bank, hadiah undian, transaksi saham dan sekuritas lain, dan

86
BAB III PAJAK PENGHASILAN
lain-lain) yang diatur tersendiri dengan Peraturan Pemerintah, sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Pajak.
3.8.2 Pelunasan Pajak dalam Tahun Berjalan oleh Wajib Pajak Sendiri
Disamping melalui pihak lain, pelunasan pajak dapat dilakukan sendiri oleh wajib
pajak dengan cara sebagai berikut:
1. Wajib pajak orang pribadi dalam negeri yang menerima penghasilan
sehubungan dengan pekerjaan dari badan-badan yang tidak wajib melakukan
pemotongan, penyetoran dan pelaporan pajak sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 21 ayat (2) Undang-Undang Pajak Penghasilan, wajib memiliki NPWP
dan melaksanakan sendiri penghitungan dan pembayaran pajak penghasilan
yang terutang dalam tahun berjalan serta melaporakan dalam Surat
Pemberitahuan Tahunan.
2. Wajib pajak membayar sendiri pajak atas penghasilan yang diperoleh atau
diterima melalui angsuran Pajak Penghasilan dalam Tahun Pajak Berjalan
(PPh 25).
3.8.3 Pelunasan Pajak Saat Sesudah Akhir Tahun Pajak
Pelunasan pajak sesudah Tahun Pajak berakhir dilakukan dengan:
1. Membayar pajak yang kurang disetor dengan menghitung sendiri jumlah PPh
yang terutang untuk satu tahun pajak dikurangi dengan jumlah kredit pajak
tahun yang bersangkutan sebagaimana diatur dalam Pasal 29 UU PPh.
2. Membayar pajak yang kurang disetor karena menerima surat ketetapan pajak
(SKPKB atau SKPKBT) atau surat tagihan pajak diterbitkan oleh Dirjen
Pajak.

3.9 PEMBAHASAN KHUSUS TENTANG PENYUSUTAN, AMORTISASI


DAN PENILAIAN PERSEDIAAN
3.9.1 Penyusutan (Depresiasi).
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam menentukan besarnya biaya
penyusutan adalah saat dimulainya penyusutan, metode penyusutan, kelompok
masa manfaat, tarif penyusutan, dan harga perolehan.
Saat Dimulainya Penyusutan
Penyusutan harta berwujud dimulai pada bulan dilakukannya pengeluaran, atau
pada bulan selesainya pengerajaan suatu barang sehingga penyusutan pada tahun

87
BAB III PAJAK PENGHASILAN
pertama dihitung secara prorata. Namun berdasarkan persetujuan Direktur Jendral
Pajak, saat dimulainya penyusutan dapat dilakukan pada bulan harta tersebut
digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan atau pada
bulan harta tersebut mulai menghasilkan (saat mulai berproduksi dan tidak
dikaitkan dengan saat diterimanya atau diperolehnya penghasilan) (Resmi, 2011).
Contoh 1: Pengeluaran untuk pembangunan suatu gedung sebesar Rp
100.000.000. Pembangunan dimulai pada bulan Oktober 2008. Bangunan tersebut
selesai dan siap digunakan pada bulan Maret 2009. Penyusutan atas harga
perolehan bangunan gedung tersebut dimulai pada bulan Maret 2009.
Contoh 2:Sebuah mesin dibeli dan ditempatkan pada bulan Juli 2009 dengan
harga perolehan Rp 100.000.000, masa manfaat mesin adalah 4 (empat) tahun,
tarif penyusutan 50% (lima puluh persen). Penyusutan atas harga perolehan mesin
tersebut dimulai pada bulan Juli 2009.
Contoh 3: PT X yang bergerak di bidang perkebunan membeli traktor pada tahun
2008. Perkebunan tersebut diperkirakan mulai menghasilkan (panen) pada tahun
2009. Penyusutan traktor tersebut dimulai pada tahun 2009. Akan tetapi dengan
persetujuan Direktur Jendral Pajak, penyusutan traktor tersebut dapat dilakukan
mulai tahun 2008.
Metode Penyusutan
Metode penyusutan yang diperbolehkan untuk kelompok harta berwujud
dikelompokan menjadi dua, yaitu penyusutan harta berwujud bangunan dan harta
berwujud selain (bukan) bangunan. Untuk harta berwujud selain (bukan)
bangunan, Wajib Pajak diperbolehkan memilih metode penyusutan, yaitu metode
garis lurus (straight-line method) atau saldo menurun (declining balanced
method) dimana pada akhir masa manfaat nilai sisa buku disusutkan sekaligus
(closed method). Untuk harta berwujud bangunan, Wajib Pajak hanya dapat
menggunakan metode garis lurus.Perhitungan penyusutan setiap tahun untuk
metode garis lurus adalah harga perolehan dibagi masa manfaat. Jika terdapat nilai
residu maka tidak boleh dikurangkan dar harga perolehan. Perhitungan
penyusutan setiap tahun untuk metode saldo menurun adalah tarif penyusutan
dikalikan nilai sisa buku.

88
BAB III PAJAK PENGHASILAN
Kelompok Masa Manfaat Harta dan Tarif Penyusutan
Untuk memberikan kepastian hukum bagi Wajib Pajak dalam melakukan
penyusutan atas pengeluaran harta berwujud, pasal 11 UU No. 36 Tahun 2008
mengatur masa manfaat harta berwujud dan tarif penyusutan, baik menurut
metode garis lurus maupun metode saldo menurun. Jenis harta yang termasuk
dalam kelompok harta berwujud bukan bangunan untuk keperluan penyusutan
bisa dilihat pada Kep. Men Keu No 96/PMK.03/2009. Masa manfaat dan tarif
penyusutan harta berwujud diatur sebagai berikut:

Tarif Penyusutan
Kelompok Harta Berwujud Masa Manfaat
Garis Lurus Saldo Menurun
I. Bukan Bangunan:
• Kelompok I 4 tahun 25% 50%
• Kelompok II 8 tahun 12,5% 25%
• Kelompok III 16 tahun 6,25% 12,5%
• Kelompok IV 20 tahun 5% 10%
II. Bangunan
• Permanen 20 tahun 5% -
• Tidak permanen 10 tahun 10% -

Bangunan tidak pemanen adalah bangunan yang bersifat sementara dan terbuat
dari bahan yang tidak tahan lama atau bangunan yang dapat dipindah-pindahkan,
yang masa manfaatnya tidak lebih dari 10 (sepuluh) tahun, misalnya barak atau
asrama yang terbuat dari kayu.
3.9.2 Amortisasi.
Pengeluaran-pengeluaran untuk memproleh harta tak berwujud dan
pengeluaran lainnya termasuk perpanjangan hak-hak atas tanah yang mempunyai
masa manfaat lebih dari satu tahun, diamortisasi dengan metode garis lurus
(straight method) maupun metode saldo menurun (declining balanced method).
Dalam metode saldo menurun, nilai buku harta tak berwujud, atau hak-hak
tersebut diamortisasi dapat dilihat pada table berikut ini (Resmi, 2011):
Tarif Penyusutan
Kelompok Harta Berwujud Masa Manfaat Saldo
Garis Lurus
Menurun
• Kelompok I 4 tahun 25% 50%
• Kelompok II 8 tahun 12,5% 25%
• Kelompok III 16 tahun 6,25% 12,5%
• Kelompok IV 20 tahun 5% 10%

89
BAB III PAJAK PENGHASILAN
Pengeluaran-pengeluaran berikut ini juga akan diamortisasi sesuai dengan
ketentuan kelompok harta tak berwujud, masa manfaat, dan tarifa amortisasi
seperti table di atas:
• Pengeluaran untuk biaya pendirian dan biaya perluasan modal suatu
perusahaan yang dibebankan dalam tahun terjadinya pengeluaran.
• Pengeluaran yang dilakukan sebelum operasi komersial yang mempunyai
masa manfaat lebih dari satu tahun, seperti biaya studi kelayakan dan
biaya produksi percobaan, sedangkan biaya operasional yang bersifat rutin
seperti rekening listrik dan telepon, gaji pegawai, dan biaya kantor lainnya
tidak boleh dikapitalisasi tetapi dibebankan sekaligus pada tahun
pengeluaran (tidak diamortisasi).
Seperti halnya dalam penyusutan, amortisasi harta tak berwujud dan pengeluaran
tersebut jika menggunakan metode saldo menurun, nilai sisa buku pada tahun
terakhir masa manfaat akan diamortisasi sekaligus dengan syarat dilakukan secara
taat asas. Untuk harta tidak berwujud yang masa manfaatnya tidak tercantum pada
kelompok masa manfaat yang ada, maka Wajib Pajak menggunkan masa manfaat
terdekat. Misalnya masa manfaat yang sebenarnya enam tahun, maka dapat
menggunakan kelompok masa manfaat delapan tahun atau empat tahun.
Sedangkan jika masa manfaat harta tak berwujud sebenarnya adalah lima tahun,
maka harta tak berwujud tersebut diamortisasi dengan menggunakan masa
manfaat empat tahun. Amortisasi dimulai pada bulan dilakukannya pengeluaran,
kecuali untuk bidang usaha tertentu diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan.
Contoh (Resmi, 2011):
PT Alfiano pada tanggal 2 Januari 2008 mengeluarkan uang sebesar Rp
200.000.000 untuk memperoleh waralaba dari Kentucky Fried Chicken (KFC)
selama 4 tahun untuk memproduksi ayam goreng KFC. Perhitungan amortisasi
untuk setiap metode yang diperbolehkan untuk dipilih sebagai berikut:

Metode Garis Lurus Metode Saldo Menurun


Tahun Nilai sisa Nilai sisa
Amortisasi Amortisasi
Buku Buku
2008 25% × Rp
Rp 50% × Rp 200.000.000 Rp
200.000.000
150.000.000 = Rp 100.000.000 100.000.000
= Rp 50.000.000
2009 25% × Rp Rp 50% × Rp 100.000.000 Rp 50.000.000

90
BAB III PAJAK PENGHASILAN
200.000.000 100.000.000 = Rp 50.000.000
= Rp 50.000.000
2010 25% × Rp
50% × Rp 50.000.000
200.000.000 Rp 50.000.000 Rp 25.000.000
= Rp 25.000.000
= Rp 50.000.000
2011 25% × Rp Rp 25.000.000 Rp 0
200.000.000 Rp 0 (= nilai sisa buku akhir (diamortisasi
= Rp 50.000.000 tahun 2010 ) sekaligus)

3.9.3 Penilaian Persediaan dan Harga Pokok Penjualan (HPP).


HPP merupakan salah satu biaya langsung yang berkaitan dengan usaha
terutama usaha dagang dan manufaktur. Pada perusahaan dagang terdapat
persediaan barang dagang sedangkan pada usaha manufaktur terdapat 3 jenis
persediaan, yaitu persediaan bahan baku dan bahan penolong, persediaan barang
jadi, dan persediaan barang dalam proses produksi. Persediaan perlengakapan dan
bahan habis pakai tidak termasuk dalam pembahasan ini. Penilaian persediaan
barang dagang bedasarkan harga perolehan. Penilaian pemakaian persediaan
untuk harga pokok penjualan hanya boleh dilakukan dengan dua cara, yaitu:
• metode rata-rata (average), atau
• metode masuk pertama keluar pertama (first in first out - FIFO)
Contoh:
1. Persediaan awal 100 unit @ Rp 9
2. Pembelian 100 unit @ Rp 12
3. Pembelian 100 unit @ Rp 11,25
4. Penjualan/dipakai 100 unit
5. Penjualan/dipakai 100 unit

Perhitungan harga pokok penjualan dan nilai persediaan jika digunakan metode
rata-rata:
No. Didapat/dibeli Dipakai/dijual Sisa/persediaan
1 100 @Rp 9 = Rp 900
2 100 @ Rp 12 = 200 @Rp 10,50 = Rp
Rp 1.200 2.100
3 100 @ Rp 11,25 300 @Rp 10,75 = Rp
= Rp 1.125 3.225
4 100 @ Rp 10,75 = Rp 200 @Rp 10,75 = Rp
1.075 2.150
5 100 @ Rp 10,75 = Rp 100 @Rp 10,75 = Rp
1.075 1.075

91
BAB III PAJAK PENGHASILAN
Besarnya harga pokok penjualan dengan menggunakan metode rata-rata
adalah sebesar Rp 2.150.000, sedangkan untuk nilai persediaan adalah Rp
1.075.000.
Perhitungan harga pokok penjualan dan nilai persediaan jika digunakan
metode FIFO:
No. Didapat/dibeli Dipakai/dijual Sisa/persediaan
1 100 @Rp 9 = Rp 900
2 100 @ Rp 12 = Rp 100 @Rp 9 = Rp 900
1.200 100 @Rp 12 = Rp
1.200
3 100 @ Rp 11,25 = 100 @Rp 9 = Rp 900
Rp 1.125 100 @Rp 12 = Rp
1.200
100 @Rp 11,25 = Rp
1.125
4 100 @Rp 9 = Rp 900 100 @Rp 12 = Rp
1.200
100 @Rp 11,25 = Rp
1.125
5 100 @ Rp 12 = Rp 100 @ Rp 11,25 = Rp
1.200 1.125

Besarnya harga pokok penjualan dengan menggunakan metode FIFO adalah


sebesar Rp 2.100.000, sedangkan untuk nilai persediaan adalah Rp 1.125.000.
Wajib Pajak diperbolehkan memilih salah satu metode tersebut sepanjang
dilakukan secara taat asas, artinya sekali Wajib Pajak memilih salah satu cara
penilaian pemakaian persediaan untuk perhitungan harga pokok penjualan, maka
untuk tahun-tahun selanjutnya harus digunakan cara yang sama (Resmi, 2011).

__________________________________________________________________

92
BAB III PAJAK PENGHASILAN

93

Anda mungkin juga menyukai