Anda di halaman 1dari 26

DEMOKRASI

MAKNA DAN HAKIKAT DEMOKRASI


Kata demokrasi terkesan sangat akrab dan seakan sudah dimengerti begitu saja.
Dalam banyak perbincangan – mulai dari yang serius sampai yang santai di meja
makan- kata demokrasi sering terlontar. Namun apa dan bagaimana sebenarnya makna
dan hakikat dan substansi demokrasi mungkin belum sepenuhnya dimengerti dan
dihayati, sehingga perbincangan tentang demokrasi bisa saja tidak menyentuh makna
dan hakikat substansi serta dilakukan secara tidak demokratis. Untuk itu bagian akan
menjelaskan tentang apa sebenarnya makna dan hakikat demokrasi.
Demokrasi sebagai suatu sistem telah dijadikan alternatif dalam berbagai
tatanan aktivitas bermasyarakat dan bernegara dibeberapa negara. Seperti diakui Moh.
Mahfud MD, ada dua alasan dipilihnya demokrasi sebagai sistem bermasyarakat dan
bernegara. Pertama, hampir semua negara di dunia ini telah menjadikan demokrasi
sebagai asas yang fundamental; kedua, demokrasi sebagai asas kenegaraan secara
esesial telah memberikan arah bagi peranan masyarakat untuk menyelenggarakan
negara sebagai organisasi tertingginya. Karena itu diperlukan pengetahuan dan
pemahaman yang benar pada warga masyarakat tentang demokrasi. Pertanyaan
sederhana yang patut dikemukakan adalah apakah yang dimaksud dengan makna dan
hakikat demokrasi itu? Untuk menjawab pertanyaan tersebut akan dikemukakan
beberapa pendapat para ahli tentang demokrasi.
Pengertian tentang demokrasi dapat dilihat dari tinjauan bahasa (etimologi) dan
istilah (terminologi). Secara etimologi “demokrasi” terdiri dari dua kata yang berasal
dari bahasa Yunani yaitu “demos” yang berarti rakyat atau penduduk suatu tempat dan
“cratein” atau “cratos” yang berarti kekuasaan atau kedaulatan. Jadi secara bahasa
demos-cratein atau demos-cratos (demokrasi) adalah keadaan negara di mana dalam
sistem pemerintahannya kedaulatan berada di tangan rakyat, kekuasaan tertinggi
berada dalam keputusan bersama rakyat, rakyat yang berkuasa, pemerintahan rakyat
dan kekuasaan oleh rakyat.
Sementara itu, pengertian demokrasi secara istilah sebagaimana dikemukakan
para ahli sebagai berikut : (a) Menurut Joseph. A. Schmeter, demokrasi merupakan
suatu perencanaan institusional untuk mencapai keputusan politik di mana individu-
individu memperoleh kekuasaan untuk memutuskan cara perjuangan kompetitif atas
suatu rakyat; (b) Sidney Hook berpendapat demokrasi adalah bentuk pemerintah di
mana keputusan-keputusan pemerintah yang penting secara langsung atau tidak
langsung didasarkan pada kespakatan mayoritas diberikan secara bebas dari rakyat
dewasa; (c) Phillippe C. Schmitter dan Terry Lynn Karl menyatakan demokrasi sebagai
suatu sistem pemerintahan di mana pemerintah dimintai tanggung jawab atas tindakan-
tindakan mereka di wilayah publik oleh warganegara, yang bertindak secara tidak
langsung melalui kompetisi dan kerjasama dengan para wakil mereka yang telah
terpilih; (d). Henry B. Mayo menyatakan demokrasi sebagai sistem politik merupakan
suatu sistem yang menunjukkan bahwa kebijakan umum ditentukan atas dasar
mayoritas oleh wakil-wakil yang diawasi secara efektif oleh rakyat dalam pemilihan-
pemilihan berkala yang didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan diselenggarakan
dalam suasana terjaminnya kebebasan politik. Affan Gaffar (2000) memaknai
demokrasi dalam dua bentuk yaitu pemaknaan secara normatif (demokrasi normatif)
dan empirik (demokrasi empirik). Demokrasi normatif adalah demokrasi yang secara
ideal hendak dilakukan oleh suatu negara. Sedangkan demokrasi empirik adalah
demokrasi perwujudan pada dunia politik praktis.
Dengan demikian makna demokrasi sebagai dasar hidup bermasyarakat dan
bernegara mengandung pengertian bahwa rakyatlah yang memberikan ketentuan-
ketentuan dalam masalah-masalah mengenai kehidupannya, termasuk dalam menilai
kebijakan negara, karena kebijakan tersebut akan menentukan kehidupan rakyat.
Dengan demikian negara yang menganut sistem demokrasi adalah negara yang
diselenggarakan berdasarkan kehendak dan kemauan rakyat. Dari sudut organisasi,
demokrasi berarti pengorganisasian negaa yang dilakukan oleh rakyat sendiri atau atas
persetujuan rakyat karena kedaulatan berada di tangan rakyat.
Dari beberapa pendapat di atas diperoleh kesimpulan bahwa hakikat demokrasi
sebagai suatu sistem bermasyarakat dan bernegara serta pemerintahan memebrikan
penekanan pada kebeadaan kekuasaan di tangan rakyat baik dalam penyelenggaraan
negara maupun pemerintahan. Kekuasaan pemerintah beada di tangan rakyat
mengandung pengertian tiga hal : pertama, pemerintah dari rakyat (government of the
people); kedua, pemerintahan oleh rakyat (government by people); ketiga,
pemerintahan untuk rakyat (government for people). Jadi hakikat suatu pemerintah
yang demokratis bila ketiga hal di atas dapat dijalankan dan ditegakkan dalam tata
pemerintahan.
Pertama, pemerintahan dari rakyat (government of the people) mengandung
pengertian yang berhubungan dengan pemerintahan yang sah dan diakui (legitimate
government) dan pemerintahan yang tidak sah dan tidak diakui (unlegilitimate
government) di mata rakyat. Pemerintahan yang sah dan diakui (legitimate
government) berarti suatu pemerintahan yang mendapat pengakuan dan dukungan
yang diberikan oleh rakyat. Sebaiknya pemerintahan yang tidak sah dan tidak diakui
(unligitimate government) berarti suatu pemerintahan yang sedang memegang kendali
kekuasaan tidak mendapat pengakuan dan dukungan dari rakyat. Legitimasi bagi suatu
pemerintah sangat penting karena dengan legitimasi tersebut, pemerintah dapat
menjalankan roda birokrasi dan program-programnya sebagai wujud dari amanat yang
diberikan oleh rakyat-rakyatya. Pemerintah dari rakyat memberikan gambaran bahwa
pemerintah yang sedang memegang kekuasaan dituntut kesadarannya bahwa
pemerintah tersebut diperoleh melalui pemilihan dari rakyat bukan dari pemberi
wangsit atau kekuasaan supranatural.
Kedua, pemerintah dari rakyat (government by the people). Pemerintahan oleh
rakyat berarti bahwa suatu pemerintahan menjalankan kekuasaan ats nama rakyat
bukan atas dorongan diri dan keinginannya sendiri. Selain itu juga mengandung
pengertian bahwa dalam menjalankan kekuasannnya, pemerintah berada dalam
pengawasan rakyatnya. Karena itu pemerintah harus tunduk kepada pengawasan
rakyat (social control). Pengawasan rakyat (social control) dapat dilakukan secara
langsung melalui perwakilannya di parlemen (DPR). Dengan adanya pengawasan oleh
rakyat (social control) akan menghilangkan ambisi otoriterianisme para penyelenggara
negara (pemerintah dan DPR).
Ketiga, pemerintah untuk rakyat (government for the people), mengundang
pengertian bahwa kekuasaan yang diberikan oleh rakyat kepada pemerintah itu
dijalankan untuk kepentingan rakyat. Kepentingan rakyat harus di dahulukan dan
diutamakan di atas segalanya. Untuk itu pemerintah harus mendengarkan dan
mengakomodasi aspirasi rakyat dalam merumuskan dan menjalankan kebijakan dan
program-programnya, bukan sebaliknya hanya menjalankan aspirasi keinginan diri,
keluarga dan kelompokya. Oleh karena itu pemerintah harus membuka kanal-kanal
(saluran) dan ruang kebebasan serta menjamin adanya kebebasan seluas-luasnya
kepada rakyat dalam menyampaikan aspirasinya baik melalui media pers maupun
secara langsung.

DEMOKRASI SEBAGAI PANDANGAN HIDUP


Demokratis tidak akan datang, tumbuh dan berkembang dengan sendirinya
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Karena itu demokrasi
memerlukan usaha nyata setiap wrga dan perangkat pendukungnya yaitu budaya yang
kondusif sebagia manifestasi dari suatu mind set (kerangka berpikir) dan setting social
(rancangan masyarakat). Bentuk kongkrit dari manifestasi tersebut adalah dijadikannya
demokrasi sebagai way of life (pandangan hidup) dalam seluk beluk sendi kehidupan
bernegara baik oleh rakyat (masyarakat) maupun oleh pemerintah.
Pemerintah demokratis membutuhkan kultur demokrasi untuk membuatnya
performed (eksis dan tegak). Kultur demokrasi itu berada dalam masyarakat itu sendiri.
Sebuah pemerintahan yang baik dapat tumbuh dan stabil bila masyarakat pada
umumnya punya sikap positif dan proaktif terhadap norma-norma dasar demokrasi.
Karena itu harus ada keyakinan yang luas di masyarakat bahwa demokrasi adalah
sistem pemerintahan yang terbaik dibanding dengan sistem lainnya (Saiful Mujani :
2002). Untuk itu, masyarakat harus menjadikan demokrasi sebagai way of life yang
menuntun tata kehidupan kemasyarakatan, kebangsaan, pemerintahan dan kenegaraan.
Menurut Nurcholish Madjid, demokrasi bukanlah kata benda, tetapi lebih
merupakan kata kerja yang mengandung makna sebagai proses dinamis. Karena itu
demokrasi harus diupayakan. Demokrasi dalam kerangka di atas sebuah proses
melaksanakan nilai-nilai civility (keadaan) dalam bernegara dan bermasyarakat.
Demokrasi adalah proses menuju dan menjaga civil society yang menghormati dan
berupaya merealisasikan nilai-nilai demokrasi (Sukron Kamil, 2002). Berikut ini adalah
daftar penting norma-norma dan pandangan hidup demokratis yang dikemukakan oleh
Nurcholish Madjid (Cak Nur). Menurut Nurcholish Madjid pandangan hidup demokratis
berdasarkan pada bahan-bahan telah berkembang, baik secara teoritis maupun
pengalaman praktis di negeri-negeri yang demokrasinya cukup mapan, paling tidak
mencakup tujuh norma. Ketujuh norma itu sebagia berikut :
Satu, pentingnya kesadaran akan pluralisme. Ini tidak saja sekedar pengakuan
(pasif) akan kenyataan masyarakat yang majemuk. Lebih dari itu, kesadaran akan
kemajemukan menghendaki tanggapan yang positif terhadap kemajemukan itu sendiri
secara aktif. Seseorang akan dapat menyesuaikan dirinya pada cara hidup demokratis
jika ia mampu mendisiplinkan dirinya ke arah jenis persatuan dan kesatuan yang
diperoleh melalui penggunaan prilaku kreatif dan dinamik serta memahami segi-segi
positif kemajemukan masyarakat. Masyarakat teguh berpegang pandangan hidup
demokratis harus dengan sendirinya teguh memelihara teguh berpegang pada
pandangan hidup demokratis harus dengan sendirinya teguh memelihara dan
melindungi lingkup keragaman yang luas. Pandangan hidup demokratis seperti ini
menuntut pribadi yang tinggi. Kesadaran akan pluralitas sangat penting dimiliki bagi
rakyat Indonesia sebagai bangsa yang sangat beragam dari sisi etnis, bahasa, budaya,
agama dan potensi alamnya.
Kedua, dalam peristilah politik dikenal istilah “musyawarah” (dalam bahasa
Arab, musyawarah, dengan makna asal sekitar “saling memberi isyarat”). Internalisasi
makna dan semangat musyawarah atau mengharuskan keinsyafan dan kedewasaan
untuk dengan tulus menerima kemungkinan kompromi atau bahkan “kalah suara”.
Semangat musyawarah menuntut agar setiap orang menerima kemungkinan terjadinya
“parial finctioning of ideals”, yaitu pandangan dasar bahwa belum tentu, dan tidak
harus, seluruh keinginan atau pikiran seseorang atau kelompok akan diterima dan
dilaksanakan sepenuhnya. Korelasi prinsip itu ialah kesediaan untuk kemungkinan
menerima bentuk-bentuk tertentu kompromi atau islah. Korelasinya yang lain ialah
seberapa jauh kita bisa bersikap dewasa dalam mengemukakan pendapat,
mendengarkan pendapat orang lain, menerima perbedaan pendapat, dan kemungkinan
mengambil pendapat yang lebih baik. Dalam masyarakat yang belum terlatih benar
untuk berdemokrasi, sering terjadi kejenuhan antara mengkritik yang sehat dan
bertanggung jawab, dan menghina merusak dan tanpa tanggung jawab.
Ketiga, ungkapan “tujuan menghalalkan cara” mengisyaratkan suatu kutukan
kepada orang yang berusaha meraih tujuannya dengan cara-cara yang tidak peduli
kepada pertimbangan moral. Pandangan hidup demokratis mewajibkan adanya
keyakinan bahwa haruslah sejalan dengan tujuan. Bahkan sesungguhnya klaim atas
suatu tujuan yang baik harus diabsahkan oleh kebaikan cara yang ditempuh untuk
meraihnya. Seperti dikatakan Albert Camus, “Indeed the end justified the means”. But
what justifies the end? The means!”. Maka antara keduanya tidak boleh ada
pertentangan. Setiap pertentangan antara cara dan tujuan, jika telah tumbuh
menggejala cukup luas, pasti akan mengunadng reaksi-reaksi yang dapat
menghancurkan demokrasi. Demokrasi tidak terbayang terwujud tanpa akhlak yang
tinggi. Dengan demikian pertimbangan moral (keluhuran akhlak) menjadi acuan dalam
berbuat dan mencapai tujuan.
Keempat, pemufakatan yang jujur dan sehat adalah hasil akhir musyawarah yang
jujur dan sehat. Suasana masyarakat demokratis dituntut untuk menguasai dan
menjalankan seni permusyawaratan yang jujur dan sehat. Pemufakatan yang dicapai
melalui “engeneering”, manipulasi atau taktik-taktik yang sesungguhnya hasil sebuah
konpirasi, bukan saja merupakan pemufakatan yang curang, cacat atau sakit, malah
dapat disebut sebagai penghianat pada nilai dan semangat demokrasi. Karena itu, faktor
ketulusan dalam usaha bersama mewujudkan tatanan sosial yang baik untuk semua
merupakan hal yang sangat pokok. Faktor ketulusan itu mengandung makna
pembebasan diri dari vested interest yang sempit. Prinsip itu pun terkait dengan paham
musyawarah seperti telah dikemukakan di atas. Musyawarah yang benar dan baik
hanya akan berlangsung jika masing-masing pribadi atau kelompok yang bersangkutan
mempunyai kesediaan psikologis untuk melihat kemungkinan orang lain benar dan diri
sendiri salah, dan bahwa orang pada dasarnya baik, berkecenderungan baik dan
beritikad baik.
Kelima, dari sekian banyak unsur kehidupan bersama ialah terpenuhinya
keperluan pokok, yaitu pangan, sandang dan papn. Ketiga hal itu menyangkut masalah
pemenuhan segi-segi ekonomi (seperti masalah mengapa kita makan nasi,
bersandangkan sarung, kopiah, kebaya serta berpapankan rumah joglo, misalnya) yang
dala pemenuhannya tidak lepas dari perencanaan sosial budaya. Warga masyarakat
demokratis ditantang untuk mampu menganut hidup dengan pemenuhan kebutuhan
secara berencana, dan harus memiliki kepastian bahwa rencana-rencana itu (dalam
wujud besarnya ialah GBHN) benar-benar sejalan dengan tujuan dan praktik demokrasi.
Dengan demikian rencana pemenuhan dan kebutuhan ekonomi harus
mempertimbangkan aspek keharmonisan dan keteraturan sosial.
Keenam, kerjasama antarwarga masyarakat dan sikap saling mempercayai
iktikad baik masing-masing, kemudian jalinan dukung mendukung serta fungsional
antara berbagai unsur kelembagaan kemasyarakatan yang ada, merupakan segi
penunjang efesiensi untuk demokrasi. Masyarakat yang terkotak-kotak dengan masing-
masing penuh curiga kepada lainnya bukan saja mengakibatkan tidak efesiennya cara
hidup demokratis, tapi juga dapat menjurus pada lahirnya pola tingkah laku yang
bertentangan dengan nilai-nilai asasi demokratis. Pengakuan akan kebebasan nurani
(freedom of conscience), persaman hak dan kewajiban bgi semua (egalitarianism) dan
tingkah laku penuh percaya pada itikad baik orang dan kelompok lain (trust attitude)
dan optimis. Pandangan kemanusiaan yang negatif dan pesimis akan dengan sendirinya
sulit menghindari perilaku curiga dan tidak percaya kepada sesama manusia, yang
kemudian ujungnya ialah keengganan bekerjasama.
Ketujuh, dalam keseharian, kita bisa berbicara tentang pentingnya pendidikan
demokrasi. Tapi karena pengalaman kita yang belum pernah dengan sungguh-sungguh
menyaksikan atau apalagi merasakan hidup berdemokrasi – ditambah lagi kenyataan
bahwa “demokrasi” dalam abad ini yang dimaksud adalah demokrasi modern – maka
bayangan kita tentang “pendidikan demokrasi” umumnya masih terbatas pada usaha
indoktrinasi dan penyuapan konsep-konsep secara verbalistik. Terjadinya diskrepansi
(jurng pemisah) antara das sein dan das sollen dalam konteks ini ialah akibat dari
kuatnya budaya “menggurui” (secara feodalistik) dalam masyarakat kita, sehingga
verbalisme yang dihasilkannya juga menghasilkan kepuasan tersendiri dan membuat
yang bersangkutan merasa telah berbuat sesuatu dalam penegakan demokrasi hanya
karena telah berbicara tanpa perilaku. Pandangan hidup demokrasi terlaksana dalam
abad kesadaran universal sekrang ini, maka nilai-nilai dan pengertian-pengertiannya
harus dijadikan unsur yang menyatu dengan sistem pendidikan kita. Tidak dalam arti
menjadikannya muatan kurikuler yang klise, tetapi diwujudkan dalam hidup nyata
(lived in) dalam sistem pendidikan kita. Kita harus mulai dengan sungguh-sungguh
memikirkan untuk membiasakan anak didik dan masyarakat umum siap menghadapi
perbedaan pendapat dan tradisi pemilihan demokrasi tidak saja dalam kajian konsep
verbalistik, melainkan telah membumi (menyatu) dalam interaksi dan pergaulan sosial
baik di kelas maupun diluar kelas.
Seperti sudah disinggung di atas, demokrasi bukanlah sesuatu yang akan
terwujud bagaikan benda yang jatuh dari langit secara sempurna, melainkan menyatu
dengan proses sejarah, pengalaman nyata dan eksperimentasi sosial sehari-hari dalam
tata kehidupan bermasyarakat dan bernegara termasuk dalam tata pemerintahan.
Karena itu tumbuh dan berkembangnya demokrasi dalam suatu negara memerlukan
ideologi yang terbuka, yaitu ideologi yang tidak dirumuskan “sekali dan untuk
selamanya” (once and for all), tidak dengan ideologi tertutup yaitu ideologi yang
konsepnya (presepts) dirumuskan “sekali dan untuk selamanya” sehingga cenderung
ketinggalan zaman (obsolete, seperti terbukti dengan ideologi komunisme).
Dalam konteks ini Pancasila – sebagai ideologi negara-harus ditatap dan
ditangkap sebagai ideologi terbuka, yaitu lepas dari kata literalnya dalam pembukaan
UUD 1945. Penjebaran dan perumusan presepts-nya harus dibiarkan terus berkembang
seiring denga dinamika masyarakat dan pertumbuhan kualitatifnya, tanpa membatasi
kewenangan penafsiran hanya pada suatu lembaga “resmi” seperti di negeri-negeri
komunis. Karena itu ideologi negara – pancasila – Indonesia dalam perjumpaannya
dengan konsep dan sistem demokrasi terbuka terhadap kemungkinan proses-proses
‘coba dan salah’ (Trial and error), dengan kemungkinan secara terbuka pula untuk terus
menerus melakukan koreksi dan perbaikan. Justru titik kuat suatu ideologi yang ada
pada suatu negara ketika berhadapan dengan demokrasi adalah adanya ruang
keterbukaan. Karena demokrasi, dengan segala kekurangannya, ialah kemampuannya
untuk mengoreksi dirinya sendiri melalui keterbukannya itu. Jadi bila demokrasi ingin
tumbuh dan berkembang dalam negara Indonesia yang mempunyai ideologi Pancasila
mensyaratkan ideologi tersebut sebagai ideologi terbuka.

UNSUR PENEGAK DEMOKRASI


Tegaknya demokrasi sebagai sebuah tata kehidupan sosial dan sistem politik
sangat bergantung kepada tegaknya unsur penopang demokrasi itu sendiri. Unsur-
unsur yang dapat menopang tegaknya demokrasi antara lain : 1. Negara Hukum, 2.
Masyarakat Madani, 3. Infrastruktur Politik (Parpol), dan 4. Pers yang Bebas dan
Bertanggung jawab.
1. NEGARA HUKUM
(RECHTSSTAAT DAN THE RULE OF LAW)
Dalam keputusan ilmu hukum di Indonesia istilah negara hukum sebagai
terjemahan dari rechtsstaat dan the rule of law. Konsepsi negara hukum mengandung
pengertian bahwa negara memberikan perlindungan hukum bagi warga negara melalui
perlembagaan peradilan yang bebas dan tidak memihak dan penjamin hak asasi
manusia. Istilah rechtsstaat dan the rule of law yang diterjemahkan menjadi negara
hukum menurut Moh. Mahfud MD pada hakikatnya mempunyai makna berbeda. Istilah
rechtsstaat banyak dianut di negara-negara Eropa Kontinental yang bertumpu pada
sistem civil law, sedangkan the rule of law banyak dikembangkan di negara-negara
anglo saxon yang bertumpu pada common law. Civic law menitikberatkan pada
administration law, sedangkan common law menitikberatkan pada judical.
Konsep rechtssaat mempunyai ciri-ciri sebagai berikut : 1. Adanya perlindungan
terhadap HAM; 2. Adanya pemisahan dan pembagian kekuasaan pada lembaga negara
untuk menjamin perlindungan HAM; 3. Pemerintah berdasarkan peraturan; 4. Adanya
peradilan administrasi. Adapun the rule of law dicirikan oleh : 1. Adanya supremasi
aturan-aturan hukum; 2. Adanya kesamaan kedudukan di depan hukum (equality
before the law); 3. Adanya jaminan perlindungan HAM. Dengan demikian konsep negara
hukum sebagai gabungan dari kedua konsep diatas dicirikan sebagai berikut : 1. Adanya
jaminan perlindungan terhdap HAM; 2. Adanya supremasi hukum dalam
penyelengaraan pemerintahan; 3. Adanya pemisahan dan pembagian kekuasaan
negara; 4. Adanya lembaga peradilan yang bebas dan mandiri.
Selanjutanya dalam konferensi internasional commission of jurists di Bangkok
seperti dikutip oleh Moh. Mahfud MD disebutkan bahwa ciri-ciri negara hukum adalah
sebagai berikut : 1. Perlindungan konstitusional, artinya selain menjamin hak-hak
individu, konstitusi harus pula menentukan cara prosedural untuk memperoleh atas
hak-hak yang dijamin (due process of law); 2. Adanya badan kehakiman yang bebas dan
tidak memihak; 3. Adanya pemilu yang bebas; 4. Adanya kebebasan menyatakan
pendapat; 5. Adanya kebebasan berserikat/berorganissi dan beroposisi; 6. Adanya
pendidikan kewarganegaraan.
Sementera itu istilah negara hukum di Indonesia dapat ditemukan dalam
penjelsan UUD 1945 yang berbunyi “Indonesia ialah negara yang berdasarkan atas
hukum (rechtsstaat)”. Penjelasan tersebut merupakan gambaran sistem pemerintahan
negara Indonesia. Dalam kaitan dengan istilah negara hukum Indonesia, Padmo
Wahyono menyatakan bahwa konsep negara hukum Indonesia yang menyebut
rechtsstaat dalam tanda kurung memberi arti bahwa negara hukum Indonesia
mengambil pola secara tidak menyimpang dari pengertian negara hukumpada
umumnya (genusbegrip) yang kemudian disesuaikan dengan keadaan Indonesia.
Jauh sebelum itu Moh. Yamin membuat penjelasan tentang konsepsi negara
hukum Indonesia bahwa kekuasaan yang dilakukan pemerintah Indonesia harus
berdasar dan berasal dari ketentuan undang-undang. Karena itu harus terhindar dari
kesewenang-wenangan. Negara hukum Indonesia juga memberikan pengertian bahwa
bukan polisi dan tentara (Alat negara) sebagai pemegang kekuasaan dan kesewenang-
wenangan negara terhadap rakyat, melainkan adanya kontrol dari rakyat terhadap
institusi negara dalam menjalankan kekuasaan dan kewenangan yang ada pada negara.
Dengan demikian berdasarkan penjelasan di atas, bahwa negara hukum-baik
dalam arti formal yaitu penegakan hukum yang dihasilkan oleh lembag legislatif dalam
penyelenggaraan negara, maupun negara hukum dalam arti material yaitu selain
menegakkan hukum, aspek keadilan juga harus diperhatikan menjadi persyarat
terwujudnya demokrasi dalam kehidupan bernegara dan berbangsa. Tanpa negara
hukum tersebut merupakan elemen pokok suasana demokratis sulit dibangun.

2. MASYARAKAT MADANI (CIVIL SOCIETY)


Masyarakat madani (civil society) dicirikan dengan masyarakat terbuka,
masyarakat yang bebas dari pengaruh kekuasaan dan tekanan negara, masyarakat yang
kritis dan berpartisipasi aktif serta masyarakat egaliter. Masyarakat madani merupakan
elemen yang sangat signifikan dalam membangun demokrasi. Sebab salah satu syarat
penting bagi demokrasi dalah terciptanya partisipasi masyarakat dalam proses-proses
pengambilan keputusan yang dilakukan oleh negara atau pemerintahan.
Masyarakat madani (civil society) mensyaratkan adanya civic engagement yaitu
keterlibatan warga negara dalam asosiasi-asosiasi sosial. Civic engagement ini
kemungkinan tumbuhnya sikap terbuka, percaya, dan toleran antar satu dengan lain
yang sangat penting artinya bagi bangunan politik demokrasi (Saiful Mujani, 2001).
Masyarakat madani (civil society) dan demokrasi bagi Gallner merupakan dua kata
kunci yang tidak dapat dipisahkan. Demokrasi dapat dianggap sebagai hasil dinamika
masyarakat yang menghendaki adanya partisipasi. Selain itu demokrasi merupakan
pandangan mengenai masyarakat dalam kaitan dengan pengungkapan kehendak,
adanya perbedaan pandangan, adanya keragaman dan konsensus. Tatanan nilai-nilai
masyarakat tersebut ada dalam masyarakat madani. Karena itu demokrasi
membutuhkan tatanan nilai-nilai sosial yang ada pada masyarakat madani.
Lebih lanjut menurut Gellner, masyarakat madani (Civil Society) bukan hanya
merupakan syarat penting atau prakondisi bagi demokrasi semata, tetapi tatanan nilai
dalam masyarakat madani (civil society) seperti kebebasan dan kemandirian juga
merupakan sesuatu yang inheren baik secara internal (dalam hubungan horizontal
yaitu hubungan antar sesama warga negara) maupun secara eksternal (dalam
hubungan masyarakat atau sebaliknya). Sebagai perwujudan masyarakat madani secara
kongkrit dibentuk berbagai organisasi-organisasi diluar negara yang disebut dengan
nama NGO (non government organization) yang di Indonesia dikenal dengan nama
lembaga swadaya masyarakat (LSM) Masyarakat madani (Civil Society) dapat
menjalankan peran dan fungsinya sebagai mitra dan patner kerja lembaga eksekutif dan
legislatif serta yudikatif juga dapat melakukan kontrol sosial (social control) terhadap
pelaksanaan kerja lembaga tersebut. Dengan demikian masyarakat madani (Civil
Society) menjadi sangat penting keberadaannya dalam mewujudkan demokrasi.

3. INFRASTRUKTUR POLITIK
Komponen berikutnya yang dapat mendukung tegaknya demokrasi adalah
infrastruktur politik. Infrastruktur politik terdiri dari partai politik (political party),
kelompok gerakan (movement group) dan kelompok penekan atau kelompok
kepentingan (pressure/intrest group Partai politik merupakan struktur kelembagaan
politik yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai dan cita-cita yang
sama yaitu memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik dalam
mewujudkan kebijakan-kebijakannya. Kelompok gerakan yang lebih dikenal dengan
sebutan organisasi masyarakat merupakan sekumpulan orang-orang yang berhimpun
dalam satu wadah organisasi yang berorientasi pada pemberdayaan warganya seperti
Muhammadiyah, NU, Persis, Perti, Nahdatul Wathon, Al-Wasliyah, Al-Irsyad, Jamiatul
Khair dan sebagainya. Sedangkan kelompok penekan atau kelompok kepentingan
(pressure/intrest group) merupakan sekelompok orang dalam sebuah wadah
organisasi yang didasarkan pada kriteria profesionalitas dan keilmuan tertentu seperti
AIPI (Asosiasi Ilmuwan Politik Indonesia), IKADIN, KADIN, ICMI, PGRI, LIPI, PWI dan
sebagainya.
Menciptakan dan menegakkan demokrasi dalam tata kehidupan kenegaraan dan
pemerintahan, partai politik seperti dikatakan oleh Miriam Budiardjo, mengemban
beberapa fungsi: 1. Sebagai sarana komunikasi politik; 2. Sebagai sarana sosialisasi
politik; 3. Sebagai sarana rektrutme dan kader dan anggota politik; 4. Sebagai sarana
pengejawantahan konflik. Keempat fungsi partai politik tersebut merupakan
pengejawantahan dari nilai-nilai demokrasi yaitu adanya partisipasi, kontrol rakyat
melalui partai politik terhadap kehidupan kenegaraan dan pemerintahan serta adanya
pelatihan penyelesaian konflik secara damai (conflic resolution).
Begitu pula aktivitas yang dilakukan oleh kelompok gerakan dan kelompok
penekan yang merupakan perwujudan adanya kebebasan berorganisasi, kebebasan
menyampaikan pendapat dan melakukan oposisi terhadap negara dan pemerintah. Hal
itu merupakan indikator bagi tegaknya sebuah demokrasi. Kaum cendekiawan,
kalangan sivitas - akademika kampus, kalangan pers merupakan kelompok penekan
untuk mewujudkan sistem demokratis dalam penyelenggaran negara dan
pemerintahan. Begitu pula aktivitas yang dilakukan oleh kelompok gerakan merupakan
wujud keterlibatan dalam melakukan kontrol terhadap kebijakan yang diambil oleh
negara. Dengan demikian partai politik, kelompok gerakan dan kelompok penekan
sebagai infra struktur politik menjadi salah satu pilar tegaknya demokrasi.

MODEL-MODEL DEMOKRASI
Sklar mengajukan lima corak atau model demokrasi yaitu demokrasi liberal,
demokrasi terpimpin, demokrasi sosial/ demokrasi partisipasi dan demokrasi
konstitusional. Penjelasan kelima model demokrasi tersebut sebagai berikut :
1. Demokrasi liberal, yaitu pemerintahan yang dibatasi oleh undang-undang dan
pemilihan umum bebas yang diselenggarakan dalam waktu yang ajeg. Banyak
negara Afrika menerapkan model ini hanya sedikit yang bisa bertahan.
2. Demokrasi terpimpin. Para pemimpin percaya bahwâ semua tindakan mereka
dipercaya rakyat tetapi menolak pemilihan umum yang bersaing sebagai
kendaran untuk menduduki kekuasaan.
3. Demokrasi sosial adalah demokrasi yang menaruh kepedulian pada keadilan
sosial dan egalitarianisme bagi persyaratan untuk memperoleh kepercayaan
politik.
4. Demokrasi partisipasi, yang menekankan hubungan timbal balik antara
panguasa dan yang dikuasai.
5. Demokrasi consociational, yang menekankan proteksi khusus bagi kelompok-
kelompok budaya yang menekankan kerja sama yang erat di antara elit yang
mewakili bagian budaya masyarakat utama.
Selanjutnya pembagian demokrasi dilihat dari segi pelaksanaan menurut Inu
Kencana terdiri dari dua model yaitu demokrasi langsung (direct democracy) dan
demokrasi tidak langsung (indirect democracy). Demokrasi langsung terjadi bila rakyat
mewujudkan kedaulatannya pada suatu negara dilakukan secara langsung. Pada
demokrasi langsung lembaga legislatif hanya berfungsi sebagai lembaga pengawas
jalannya pemerintahan, sedangkan pemilihan pejabat eksekutif (presiden, wakil
presiden, gubernur, bupati dan walikota) dilakukan rakyat secara langsung melalui
pemilu. Begitu juga pemilihan anggota perlemen atau legislatif (DPR, DPD, DPRD)
dilakukan rakyat secara langsung.
Demokrasi tidak langsung terjadi bila untuk mewujudkan kedaulatannya rakyat
tidak secara langsung berhadapan dengan pihak eksekutif, melainkan melalui lembaga
perwakilan. Pada demokrasi tidak langsung, lembaga parlemen dituntut kepekaan
terhadap berbagai hal yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat dalam
hubungannya dengan pemerintah atau negara. Dengan demikian demokrasi tidak
langsung disebut juga dengan demokrasi perwakilan.

PRINSIP PARAMETER DEMOKRASI


Suatu pemerintahan dikatakan demokratis bila dalam mekanisme pemerintahan
mewujudkan prinsip-prinsip demokrasi. Menurut Masykuri Abdillah (1999) prinsip-
prinsip demokrasi terdiri atas prinsip. persamaan, kebebasan, dan pluralisme.
Sedangkan dalam pandangan: Robert A. Dahl terdapat tujuh prinsip yang harus ada
dalam sistem demokrasi yaitu: kontrol atas keputusan pemerintah, pemilihan yang teliti
dan jujur, hak memilih dan dipilih, kebebasan menyatakan pendapat tanpa ancaman,
kebebasan mengakses informasi, kebebasan berserikat (Masykuri Abdillah, 1999).
Sementara itu Inu Kencana lebih memerinci lagi tentang prinsip-prinsip demokrasi
dengan a). Adanya pembagian kekuasaan; b). Adanya pemilihan umum yang bebas;
c. Adanya manajemen yang terbuka; d). Adanya kebebasan individu; e) Adanya
peradilan yang bebas; f). Adanya pengakuan hak minoritas Adanya pemerintahan yang
berdasarkan hukum; h). Adanya pers yang bebas; i). Adanya beberapa partai politik; j).
Adanya musyawarah; k). Adanya persetujuan parlemen; l). Adanya pemerintahan yang
konstitusional; m). Adanya ketentuan tentang pendemokrasian; n). Adanya pengawasan
terhadap administrasi publik; o). Adanya perlin dungan hak asasi; p). Adanya
pemerintahan yang bersih; q). Adanya persaingan keahlian; r). Adanya mekanisme
politik; s). Adanya kebijaksanaan negara; dan t). Adanya pemerintahan yang
mengutamakan tanggungjawab;
Suasana kehidupan yang demokratis merupakan dambaan bagi umat manusia
termasuk manusia Indonesia. Karena itu demokrasi tidak boleh menjadi gagasan yang
utopis dan berada dalam alam retorika semata, melainkan sebagai sesuatu yang
mendesak dan harus untuk diimplementasikan dalam interaksi sosial kemasyarakatan,
kebangsaan dan kenegaraan. Prinsip-prinsip negara demokrasi yang telah disebut di
atas kemudian dituangkan dalam konsep yang lebih praktis untuk dapat diukur dan
dicirikan. Ciri-ciri ini yang kernudian dijadikan parameter untuk mengukur tingkat
pelaksanaan demokrasi yang berjalan di suatu negara.Untuk mengukur suatu negara
atau pemerintah dalam menjalankan tata pemerintahannya dikatakan demokratis dapat
dilihat dari empat aspek.
Pertama, masalah pembentukan negara. Kita percaya bahwa proses
pembentukan kekuasaan akan sangat menentukan bagaimana kualitas, watak, dan pola
hubungan yang akan terbangun. Untuk sementara ini, pemilihan umum, dipercaya
sebagai salah satu instrumen penting guna memungkinkan berlangsungnya suatu
proses pembentukan pemerin tahan yang baik.
Kedua, dasar kekuasaan negara. Masalah ini menyangkut konsep legitimasi
kekuasaan serta pertanggungjawabannya langsung kepada rakyat. Ketiga, susunan
kekuasaan negara. Kekuasaan negara dijalankan secara distributif untuk menghindari
penumpukan kekuasaan dalam satu "tangan/wilayah". Penyelenggaraan kekuasaan
negara sendiri haruslah diatur dalam suatu tata aturan yang membatasi dan sekaligus
memberikan koridor dalam pelaksanaannya. Aturan yang ada patut memastikan
setidaknya dua hal utama, yakni :
1. memungkinkan terjadinya desentralisasi, untuk menghindari sentralisasi;
2. memungkinkan pembatasan, agar kekuasaan tidak menjadi tidak terbatas.
Ketiga, masalah kontrol rakyat. Apakah dengan berbagai koridor tersebut sudah
dengan sendirinya akan berjalan suatu proses yang memungkinkan terbangun sebuah
relasi yang baik, yakni suatu relasi kuasa yang simetris, memiliki sambungan yang jelas,
dan adanya mekanisme yang memungkinkan check and balance terhadap kekuasaan
yang dijalankan eksekutif dan legislatif.
Menurut Djuanda Widjaya kehidupan demokratis dalam suatu negara ditandai
oleh beberapa hal sebagai berikut : a) dinikmati dan dilaksanakan hak serta kewajiban
politik oleh masyarakat berdasarkan prinsip-prinsip dasar HAM yang menjamin adanya
kebebasan, kemerdekaan dan rasa merdeka; b) penegakan hukum yang mewujud pada
asas supremasi penegakan hukum (supremacy of law), kesamaan di depan hukum
(equality before the law) dan jaminan terhadap HAM; c) kesamaan hak dan kewajiban
anggota masyarakat; d) kebebasan pers dan pers yang bertanggung jawab; e)
pengakuan terhadap hak minoritas; f) pembuatan kebijakan negara yang berlandaskan
pada asas pelayanan, pemberdayaan, dan pencerdasan; g) sistem kerja yang kooperatif
dan kolaboratif; h) keseimbangan dan keharmonisan; i) tentara yang profesional
sebagai kekuatan pertahanan; dan j) lembaga peradilan yang independen.
Amien Rais menambahkan kriteria lain sebagai parameter demokrasi yaitu: a)
Adanya partisipasi dalam pembuatan keputusan; b) distribusi pendapatan secara adil;
c) Kesempatan memperoleh pendidikan; d) ketersediaan dan keterbukaan informasi; e)
mengindahkan fatsoen politik; f) Kebebasan individu; g). Semangat kerjasama; h) Hak
untuk protes.
Pendapat selanjutnya masih berkaitan dengan kriteria negara demokratis
berasal dari G. Bingham Powell Jr. Menurutnya kriteria negara demokrasi adalah: 1.
Pemerintah mengklaim mewakili hasrat para warganya; 2. Klaim itu berdasarkan pada
adanya pernilihan kompetitif secara berkala antara calon alternatif; 3. Partisipasi orang
dewasa sebagai pemilih dan calon yang dipilih; 4. Pemilihan bebas; 5. Warga negara
memiliki kebebasan-kebebasan dasar yaitu kebebasan berbicara, kebebasan pers,
kebebasan berkumpul dan berorganisasi serta membentuk partai politik.
Pendapat berikut dikemukakan oleh Sri Soemantri yang menyatakan bahwa
negara dikatakan demokratis bila: 1. Hukum ditetapkan dengan persetujuan wakil
rakyat yang dipilih secara bebas; 2. Hasil pemilu dapat mengakibatkan pergantian
orang-orang pemerintahan; 3. Pemerintahan harus terbuka; 4. Kepentingan minoritas
harus dipertimbangkan; Sedangkan menurut Franz Magnis Suseno kriteria negara
demokrasi adalah: 1. Negara terikat pada hukum; 2. Kontrol efektif terhadap
pemerintah oleh rakyat; 3. Pemilu yang bebas; 4. Prinsip mayoritas; 5. Adanya jaminan
terhadap hak-hak demokratis. W. Ross Yates mengajukan enam ciri demokrasi : 1.
Toleransi terhadap orang lain; 2. Perasaan fairplay; 3. Optimisme terhadap hakikat
manusia; 4. Persamaan kesempatan; 5. Orang yang terdidik; 6. Jaminan hidup,
kebebasan dan hak milik.
Selanjutnya Affan Gaffar (Pakar Politik UGM) menyebutkan sejumlah prasyarat
untuk mengamati apakah sebuah political order (pemerintahan) merupakan sistem
yang demokratik atau tidak melalui ukuran : 1. Akuntabilitas; 2. Rotasi kekuasaan; 3.
Rekruitmen politik; 4. pemilihan umum; 5. Adanya pengakuan dan perlindungan hak-
hak dasar. Kelima elemen tersebut berlaku secara universal di dalam melihat
demokratis tidaknya suatu rezim pemerintahan (political order).

SEJARAH DAN PERKEMBANGAN DEMOKRASI DIBARAT


Konsep demokrasi semula lahir dari pemikiran mengenai hubungan negara dan
hukum di Yunani Kuno dan dipraktekkan dalam hidup bernegara antara abad ke-6 SM
sampai abad ke-4 M. Demokrasi yang dipraktikkan pada masa itu berbentuk demokrasi
langsung (direct democracy) artinya hak rakyat untuk membuat keputusan politik
dijalankan secara langsung oleh seluruh warga negara berdasarkan prosedur
mayoritas. Sifat langsung itu berjalan secara efektif karena Negara Kota (City State)
Yunani Kuno berlangsung dalam kondisi sederhana dengan wilayah negara yang hanya
terbatas pada sebuah kota kecil dengan jumlah penduduk sekitar 300.000 orang. Selain
itu ketentuan-ketentuan menikmati hak demokrasi hanya berlaku untuk warga negara
yang resmi, sedangkan bagi warga negara yang berstatus budak belian, pedagang asing,
perempuan dan anak-anak tidak dapat menikmatinya.
Gagasan demokrasi Yunani Kuno berakhir pada abad pertengahan. Masyarakat
abad pertengahan dicirikan oleh struktur masyarakat yang feodal, kehidupan spritual
dikuasai oleh Paus dan pejabat agama, sedangkan kehidupan politiknya ditandai oleh
perebutan kekuasaan di antara para bangsawan. Dengan demikian kehidupan sosial
politik dan agama pada masa ini hanya ditentukan oleh elit-elit masyarakat yaitu kaum
bangsawan dan kaum agamawan. Karena itu demokrasi tidak muncul pada abad
pertengahan (abad kegelapan).
Namun demikian menjelang akhir abad pertengahan, tumbuh kembali keinginan
menghidupkan demokrasi. Lahirnya Magna Charta (Piagam Besar) sebagai suatu
piagam yang memuat perjanjian antara kaum bangsawan dan Raja John di Inggris
merupakan tonggak baru kemunculan demokrasi empirik. Dalam Magna Charta
ditegaskan bahwa Raja mengakui dan menjamin beberapa hak dan hak khusus
(preveleges) bawahannya. Selain itu piagam tersebut juga memuat dua prinsip yang
sangat mendasar: pertama, adanya pembatasan kekuasan raja; kedua, hak asasi
manusia lebih penting daripada kedaulatan raja.
Momentum Iainnya yang menandai kemunculan kembali demokrasi di dunia
Barat adalah gerakan renaissance dan reformasi. Renaissance merupakan gerakan yang
menghidupkan kembali minat pada sastra dan budaya Yunani Kuno. Gerakan ini lahir di
Barat karena adanya kontak dengan dunia Islam yang ketika itu sedang berada pada
puncak kejayaan peradaban ilmu pengetahuan. Para ilmuwan Islam pada masa itu
seperti Ibnu Khaldun, Al-Razi, Oemar Khayam, AlKhawarizmi dan sebagainya bukan
hanya berhasil mengasimilasikan pengetahuan Parsi Kuno dan warisan klasik (Yunani
Kuno), melainkan berhasil menyesuaikan berdasarkan kebutuhan-kebutuhan yang
sesuai dengan alam pikiran mereka sendiri. Karena itu seorang orientalis Philip K. Hitti
menyatakan bahwa dunia Islam telah memberikan sumbangan besar terhadap
kemajuan dan perkembangan Eropa melalu: terjemahan-terjemahan terhadap warisan
Parsi dan Yunani Kuno dan menyeberangkannya ke Eropa melalui Siria, Spanyol dan
Sisilia. Negara-negara tersebut merupakan arus penyebrangan ilmu pengetahuan dar
dunia Islam ke Barat.
Dengan kata Iain renaissance di Eropa yang bersumber dari tradisi keilmuan
Islam dan berintikan pada pemuliaan akal pikiran untuk selalu mencipta dan
mengembangkan ilmu pengetahuan telah mengilhami munculnya kembali gerakan
demokrasi. Pada masa renaissance orang mematahkan semua ikatan yang ada dan
menggantikannya dengar kebebasan bertindak seluas-seluasnya sepanjang sesuai
dengan yang dipikirkan.
Peristiwa lain yang mendorong timbulnya kembali gerakan demokrasi di Eropa
yang sempat tenggelam pada abad pertengahan adalah gerakan reformasi yaitu suatu
gerakan revolusi agama yang terjadi di Eropa pada abad ke-16 yang bertujuan untuk
memperbaiki keadaan dalam gereja Katolik. Hasil dari gerakan reformasi adalah adanya
peninjauan terhadap doktrin gereja katolik yang berkembang menjadi protestanisme.
Sebelum gerakan reformasi ini muncul kekuasaan gereja begitu dominan dalam
menentukan tindakan warga negara pada masa itu. Karena itu segala hal ditentukan
oleh gereja. Revolusi agama yang dimotori oleh Martin Luther menyulut api
pemberontakan terhadap dominasi gereja yang telah mengungkung kebebasan berpikir
dan bertindak.
Kecaman dan dobrakan terhadap absolutisme monarki dan gereja pada masa itu
didasarkan pada teori rasionalitas sebagai "social-contract" (perjanjian masyarakat)
yang salah satu asasnya menentukan bahwa dunia ini dikuasai oleh hukum yang timbul
dari alam (natural law) vang mengandung prinsip-prinsip keadilan yang universal,
berlaku untuk semua waktu dan semua orang, baik raja, bangsawan, maupun rakyat
jelata. Unsur universalisme yang mempersamakan berlakunya hukum alam (natural-
law) bagi semua orang dalam bidang politik telah melahirkan pendapat umum bahwa
hubungan antara raja dan rakyat didasarkan pada suatu perjanjian yang mengikat
kedua pihak.
Dengan demikian teori hukum alam merupakan usaha untuk mendobrak
pemerintahan absolut dan menetapkan hak-hak politik rakyat dalam satu asas yang
disebut demokrasi (pemerintahan rakyat). Dua filusuf besar yaitu John Locke dan
Montesquieu masing-masing dari Inggris dan Perancis telah memberikan sumbangan
yang besar bagi gagasan pemerintahan demokrasi. John locke (1632-1704)
mengemukakan bahwa hak-hak politik rakyat mencakup hak atas hidup, kebebasan dan
hak memiliki (live, liberal, property); Sedangkan Montesquieu (1689-1944)
mengungkapkan sistem pokok yang menurutnya dapat menjamin hak-hak politik
tersebut melalui "trias politica"-nya, yakni suatu sistem pemisahan kekuasaan dalam
negara menjadi tiga bentuk kekuasaan yaitu legislatif, eksekutif, dan yudikatif yang
masing-masing harus dipegang oleh organ sendiri secara merdeka.
Pada kemunculannya kembali di Eropa, hak-hak politik rakyat dan hak-hak asasi
manusia secara individu merupakan tema dasar dalam pemikiran politik
(ketatanegaraan). Untuk itu, timbullah gagasan tentang cara membatasi kekuasaan
pemerintah melalui pembuatan konstitusi baik yang tertulis maupun yang tidak
tertulis. Di atas konstitusi inilah bisa ditentukan batas-batas kekuasaan pemerintah dan
jaminan atas hak-hak politik rakyat, sehingga kekuasaan pemerintah diimbangi dengan
kekuasaan parlemen dan lembaga-lembaga hukum. Gagasan inilah yang kemudian
dinamakan konstitusionalisme dalam sistem ketatanegaraan.
Salah satu ciri penting pada negara yang menganut kanstitusionalisme
(demokrasi konstitusional) yang hidup pada abad ke-19 ini adalah sifat pemerintah
yang pasif, artinya, pemerintah hanya menjadi wasit atau pelaksana sebagai keinginan
rakyat yang dirumuskan oleh wakil rakyat di parlemen. Di sini peran negara lebih kecil
daripada peranan rakyat karena pemerintah hanya jadi pelaksana (tunduk pada)
keinginan-keinginan rakyat yang diperjuangkan secara liberal (individualisme) untuk
menjadi keputusan parlemen.
Carl J. Friedrick mengemukakan bahwa konstitusionalisme adalah gagasan yang
menyatakan bahwa pemerintah merupakan suatu kumpulan aktivitas yang
diselenggarakan atas nama rakyat, tetapi tunduk pada beberapa pembatasan yang
dimaksud untuk memberi jaminan bahwa kekuasaan yang diperlukan untuk
memerintah itü tidak disalahgunakan oleh mereka yang mendapat tugas untuk
memerintah.
Jika dibandingkan dengan Trias Politika Montesqiueu, tugas pemerintah dalam
konstitusionalisme ini hanya terbatas pada tugas eksekutif, yaitu melaksanakan
undang-undang yang telah dibuat oleh parlemen atas nama rakyat. Dengan demikian,
pemerintahan dalam demokrasi yang demikian mempunyai peranan yang terbatas pada
tugas eksekutif. Dalam konsep konstitusionalisme atau demokrasi konstitusional abad
ke-19 ini disebut Negara Hukum Formal (Klasik). Dalam klasifikasi yang oleh Arief
Budiman didasarkan pada kriteria kenetralan dan kemandirian negara, konsep
demokrasi konstitusional abad ke-19 atau negara hukum formal ini bisa disebut sebagai
negara Pluralisme, yaitu negara yang tidak mandiri yang hanya bertindak sebagai
penyaring berbagai keinginan dari interest-group dalam masyaraka+nva. Dalar negara
plü ralis yang berlangsung libertarian ini setiap kebujaksanaan yang dikeluarkan
bukanlah atas inisiatif yang timbul dari kemandirian negara melainkan lahir dari proses
penyerapan aspirasi masyarakat secara penuh melalui parlemen.
Konsep Negara Hukum Formal (Klasik) mulai digugat menjelang pertengahan
abad ke-20 tepatnya setelah Perang Dunia. Beberapa faktor yang mendorang lahirnya
kecaman atas Negara Hukum Formal yang pluralis liberal, seperti dikemukakan oleh
Mariam Budiadjo, antara lain adalah akses-akses dalam industrialisasi dan sistem
kapitalis, tersebarnya paham sosialisme yang menginginkan pembagian kekuasaan
secara merata serta kemenangan beberapa partai sosialis di Eropa. Gagasan bahwa
pemerintah dilarang campur tangan dalam urusan warga negara baik di bidang sosial
maupun di bidang ekonomi bergesar ke dalam gagasan baru bahwa pemerintah harus
bertanggujawab atas kesejahteraaan rakyat. Untuk itu, pemerintah tidak boleh bersifat
pasif atau berlaku sebagai panjaga malam melainkan harus aktif melaksankan upaya-
upaya untuk membangun kesejahteraan masyarakatnya dengan cara mengatur
kehidupan ekonomi dan sosial.
Demokrasi, dalam gagasan baru ini, harus meluas mencakup dimensi ekonomi
dengan sistem yang dapat menguasai kekuatan-kekuatan ekonomi dan berusaha
memperkecil perbedaan sosial dan ekonomi terutama harus mampu mengatasi
ketidakmerataan distribusi kekayaan di kalangan rakyat. Gagasan baru ini biasanya
disebut sebagai gagasan Welfare State atau "Negara Hukum Material" (Dinamis) dengan
ciri-ciri yang berbeda dengan dirumuskan dalam konsep Negara Hukum Klasik
(Formal). Pemerintah Welfare State diberi tugas membangun kesejahteraan umum
dalam berbagai lapangan (Bestuurzorg) dengan konsekuensi pernberian kemerdekaan
kepada adminstrasi negara dalam menjalankannya. Pernerintah dalam rangka
bestuurzorg ini diberikan kemerdekaan untuk bertindak atas inisiatifnya sendiri, tidak
hanya bertindak atas inisiatif parlemen. Itulah sebabnya kepada pemerintah diberikan
Fries Ermessen atau "Pouvoir discretionnair", yaitu kemerdekaan yang dimiliki oleh
pemerintah untuk turut serta dalam kehidupan sosial dan keleluasan untuk selalu
terikat pada produk legislasi parlemen (wakil rakyat).
Dalam gagasan Welfare State ini ternyata peranan negara direntang sedemikian
luas jauh melewati batas-batas yang pernah diatur dalam demokrasi konstitusional
abad ke-19 (Negara Hukum Formal). Dalam bidang legislasi, bahkan, Freies Ermessen
dalam Welfare State ini mempunyai tiga macam implikasi yaitu adanya hak inisiatif
(membuat peraturan yang sederajat dengan UU tanpa persetujuan lebih dahulu dari
parlemen, kehidupan berlakunya dibatasi oleh waktu tertentu). Hak legislasi (membuat
peraturan yang sederajat dai bawah UU) dan droit function (menafsirkan sendiri
aturan-aturan yang masih bersifat enunsiatif). Jadi dalam perkembangan terakhir,
demokrasi ala Welfare State juga mulai ditinjau ulang. Tentu saja konsep demokrasi di
Barat pun masih terus berjalan dan mengalami perubahan-perubahan signifikan.
Berdasarkan pernyataan di atas, sejarah dan perkembangan demokrasi di Barat
diawali berbentuk demokrasi langsung yang berakhir pada abad pertengahan.
Menjelang akhir abad pertengahan lahir Magna Charta dan dilanjutkan munculnya
gerakan renaissance reformasi yang menekankan pada adanya hak atas hidup, hak
kebebasan dan hak memiliki. Selanjutnya pada abad ke-19 muncul gerakan demokrasi
konstitusional. Dari demokrasi konstitusional melahirkan demokrasi welfare state.

SEJARAH DAN PERKEMBANGAN DEMOKRASI DI INDONESIA


Perkembangan demokrasi di Indonesia mengalami pasang-surut (fluktuasi) dari
masa kemerdekaan sampai saat ini. Dalam perjalanan bangsa dan negara Indonesia,
masalah pokok yang dihadapi ialah bagaimana demokrasi mewujudkan dirinya dalam
berbagai Sisi kehidupan berbangsa dan bernegara. Perkembangan demokrasi di
Indonesia dapat dari segi waktu dibagi dalam empat periode yaitu, a. periode 1945-
1959; b. Periode 1959-1965; c. Periode 1965-1998; d. Periode 1998-sekarang.

A. DEMOKRASI PADA PERIODE 1945-1959


Demokrasi pada masa ini dikenal dengan ssebutan demokrasi parlementer.
Sistem perlementer yang mulai berlaku sebulan sesudah kemerdekaan diproklamirkan
dan kemudian diperkuat dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan 1950, ternyata kurang
cocok untuk Indonesia. Persatuan yang dapat digalang selama menghadapi musuh
bersama dan tidak dapat dibina menjadi kekuatan-kekuatan konstuktif sesudah
kemerdekaan tercapai. Karena lemahnya benih-benih demokrasi sistem parlementer
memberi peluang untuk dominasi partai-partai politik d Dewan Perwakilan Rakyat.
Undang-Undang Dasar 1950 menetapkan berlakunya sistem parlementer di
mana badan eksekutif terdiri dari Presiden sebagai kepala negara konstitusional
(constitutional head) beserta menteri-menterinya yang mempunyai tanggung jawab
politik. Karena fragmentasi partai-partai politik usia kabinet pada masa ini jarang dapat
bertahan cukup lama. Koalisi yang dibangun dengan sangat gampang pecah. Hal ini
mengakibatkan destabilisasi politik nasional.
Di samping itu ternyata ada beberapa kekuatan sosial dan politik yang tidak
memperoleh saluran dan tempat yang realisistis dalam konstelasi politik, padahal
merupakan kekuatan yang paling penting, yaitu seorang presiden yang tidak mau
bertindak sebagai "rubber Stamp president" (Presiden yang membubuhi capnya belaka)
dan tentara yang karena lahir dalam revolusi merasa bertanggung jawab untuk turut
menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapi oleh masyarakat Indonesia pada
umumnya.
Faktor-faktor semacam ini, ditambah dengan tidak mampunya anggota-anggota
partai-partai yang tergabung dalam konstituante untuk mencapai konsensus mengenai
dasar negara untuk undang-undang dasar baru, mendorong Ir. Soekarno sebagai
Presiden untuk mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli yang menentukan berlakunya
kembali Undang-ndang Dasar 1945. Dengan demikian masa demokrasi berdasarkan
sistem parlementer berakhir.

B. DEMOKRASI PADA PERIODE 1959-1965


Ciri-ciri Periode ini adalah dominasi dari Presiden, terbatasnya peranan partai
politik, berkembangnya pengaruh komunis dan meluasnya peranan ABRI sebagai unsur
sosial politik. Dekrit Presiden 5 Juli dapat dipandang sebagai suatu usaha untuk mencari
jalan keluar dari kemacetan politik melalui pembentukan kepemimpinan yang kuat.
Undang-Undang Dasar 1945 membuka kesempatan bagai seorang Presiden untuk
bertahan selama sekurang-kurangnya lima tahun. Akan tetapi ketetapan MPRS No.
III/1963 yang mengangkat Ir. Soekarno sebagai Presiden seumur hidup telah
"membatalkan pembatasan waktu lima tahun ini” (Undang-Undang Dasar
memungkinkan seorang Presiden untuk dipilih kembali) yang ditentukan oleh Undang-
Undang Dasar. Selain dari pada itu banyak lagi tindakan yang menyimpang dari atau
menyeleweng terhadap ketentuan-ketentuan Undang-Undang Dasar. Misalnya dalam
tahun 1960 Ir. Soekarno sebagai Presiden membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat
hasil pemilihan umum, padahal dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 secara
eksplisit ditentukan bahwa Presiden tidak mempunyai wewenang untuk berbuat
demikian.
Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royang yang mengganti Dewan Perwakilan
Rakyat hasil pemilihan umum ditonjolkan peranannya sebagai pembantu pemerintah
sedangkan fungsi kontrol ditiadakan. Lagi pula pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat
dijadikan menteri dan dengan demikian ditekankan fungsi mereka sebagai pembantu
Presiden disamping fungsi sebagai wakil rakyat. Hal terakhir ini mencerminkan telah
ditinggalkannya doktrin trias politika. Dalam rangka ini harus pula dilihat beberapa
ketentuan lain dari pada bidang eksekutif. Misalnya presiden diberi wewenang untuk
campur tangan di bidang yudikatif berdasarkan Undang-Undang No. 19/1964, dan di
legislatif berdasarkan peraturan tata tertib Peraturan Presiden No. 14/1960 dalam hal
anggota Dewan Perwakilan Rakyat tidak mencapai manfaat.
Selain dari itu terjadi penyelewengan di bidang perundang-undangan di mana
pelbagai tindakan pemerintah dilaksanakan melalui, Penetapan Presiden (Penpres)
yang memakai Dekrit 5 Juli sebagai sumber hukum. Lagi pula didirikan badan-badan
ekstra konstitusionil seperti Fron Nasional yang ternyata dipakai oleh pihak komunis
sebagai arena kegiatan, sesuai dengan taktik Komunisme Internasional yang
menggariskan pembentukan Fron Nasional sebagai persiapan ke arah terbentuknya
demokrasi rakyat. Partai politik dan pers yang sedikit menyimpang dari “rel revolusi"
tidak dibenarkan dan dibredel sedangkan politik mercusuar di bidang hubungan luar
negeri dan ekonomi dalam negeri telah menyebabkan keadaan ekonomi menjdi tambah
seram. G. 30 S/PKI telah mengakhiri periode ini dan membuka peluang untuk
dimulainya masa demokrasi Pancasila.
Satu pertanyaan yang patut dikedepankan adalah bagaimana rumusan
demokrasi terpimpin dan apakah butir-butir pokok Demokrasi Terpimpin? Demokrasi
terpimpin seperti dikemukakan oleh Soekarno seperti dikutip oleh A. Syafi'i Ma'arif
adalah demokrasi yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/
perwakilan. Dalam kesempatan lain dikatakan bahwa demokrasi terpimpin adalah
demokrasi kekeluargaan tanpa anarkisme, liberalisme dan diktator. Demokrasi
kekeluargaan ialah demokrasi yang mendasarkan sistem pemerintahannya kepada
musyawarah dan mufakat dengan pimpinan satu kekuasaan sentral yang sepuh,
seorang tetua dan mengayomi. Selanjutnya dalam pidatonya pada tanggal 17 Agustus
dengan judul "Penemuan kembali Revolusi kita”, Presiden Soekarno mengatakan bahwa
prinsip-prinsip dasar demokrasi terpimpin ialah : 1. Tiap-tiap orang diwajibkan untuk
berbakti kepada kepentingan umum, masyarakat, bangsa dan negara; 2. Tiap-tiap orang
berhak mendapat penghidupan layak dalam masyarakat, bangsa dan negara.
Dalam pandangan A. Syafi'i Ma'arif demokrasi terpimpin sebenarnya ingin
menempatkan Soekarno sebagai Ayah dalam famili besar yang bernama Indonesia
dengan kekuasan terpusat berada ditangannya. Dengan demikian kekeliruan yang
sangat besar dalam demokrasi terpimpin Soekarno adalah adanya pengingkaran
terhadap nilai-nilai demokrasi yaitu absolutisme dan terpusatnya kekuasaan hanya
pada diri pemimpin, sehingga tidak ada ruang kontrol sosial dan chek and balance dari
legislatif terhadap eksekutif.
C. DEMOKRASI PADA PERIODE 1965-1998
Landasan formil dari periode ini adalah Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945
serta ketetapan-ketetapan MPRS. Dalam usaha untuk meluruskan kembali
penyelewengan terhadap Undang-Undang Dasar yang telah terjadi dalam masa
demokrasi terpimpin, kita telah mengadakan tindakan korektif. Ketetapan MPRS No.
III/1963 yang menetapkan masa jabatan seumur hidup untuk Ir. Soekarno telah
dibatalkan dan jabatan presiden kembali menjadi jabatan elektif setiap lima tahun.
Ketetapan MPRS No. XIX/1966 telah menentukan ditinjaunya kembali produk-produk
legislatif dari masa Demokrasi Terpimpin dan atas dasar itu Undang-Undang No. 19/
1964 telah diganti dengan suatu undang-undang baru (No. 14/1970) yang menetapkan
kembali azas "kebebasan badan-badan pengadilan". Dewan Perwakilan Rakyat-Gotong
Royong diberi beberapa hak kontrol, di samping ia tetap mempunyai fungsi untuk
membantu pemerintah. Pimpinannya tidak lagi mempunyai status menteri.
Begitu pula tata tertib meniadakan pasal yang memberi wewenang kepada
Presiden untuk memutuskan permasalahkan yang tidak dapat dicapai mufakat antara
badan legislatif. Golongan Karya, di mana anggota ABRI memainkan peran penting,
diberi landasan konstitusionil yang lebih formil. Selain dari itu beberapa hak asasi
diusahakan supaya diselenggarakan secara lebih penuh dengan memberi kebebasan
lebuh luas kepada pers untuk menyatakan pendapat, dan kepala partai-partai olitik
untuk bergerak dan menyusun kekuatannya, terutama menjelang pemilihan umumu
1971. Dengan demikian diharapkan terbinanya partisipasi golongan-golongan dalam
masyarakat di samping diadakan pembangunan ekonomi secara teratur.
Bagaimana perkembangan Demokrasi Pancasila selanjutnya? Tidak ada orang
yang dapat menjawab pertanyaan itu. Tetapi yang sudah dapat dipastikan ialah bahwa
perkembangan demokrasi di negara kita ditentukan batas-batasnya tidak hanya oleh
keadaan sosial, geografis dan ekonomi, tetapi juga oleh penilaian kita pengalaman kita
pada masa yang lampau. Kita telah sampai pada titik dimana disadari bahwa badan
eksekutif yang tidak kuat dan tidak kontinyu tidak akan memerintah secara efektif
sekalipun program ekonominya teratur dan sehat. Tetapi kita menyadari pula bahwa
eksekutif yang kuat tetapi tidak "committed" kepada suatu program pembangunan
malahan dapat membawa kebobrokan ekonomi oleh karena kekuasaan yang
dimilikinya disia-siakan untuk tujuan yang pada hakekatnya merugikan rakyat. Akibat-
akibatnya akan lebih merugikan lagi kalau ia terpanggil untuk melampaui batas-batas
kekuasaan formil ia akan membungkam suara-suara kritis dan cenderung menuju
kultus individu dan otokrasi sehingga rakyat jauh dari hidup demokratis.
Beberapa perumusan tentang demokrasi Pancasila sebagai berikut : a.
Demokrasi dalam bidang politik pada hakekatnya adalah menegakkan kembali azas-
azas negara hukum dan kepastian hukum; b. Demokrasi dalam bidang ekonomi pada
hakekatnya adalah kehidupan yang layak bagi semua warga negara. c. Demokrasi dlam
bidang hukum pada hakekatnyabahwa pengakuan dan perlindungan HAM, peradilan
yang bebas yang tidak memihak.
Dengan demikian secara umum dapat dijelaskan bahwa watak demokrasi
Pancasila tidak berbeda dengan demokrasi pada umumnya. Karena demokrasi
Pancasila memandang kedaulatan rakyat sebagai inti dari sistem demokrasi. Karenanya
rakyat mempunyai hak yang sama untuk menentukan dirinya sendiri. Begitu pula
partisipasi politik yang sama semua rakyat. Untuk itu pemerintah patut memberikan
perlindungan dan jaminan bagi warga negara dalam menjalankan hak politik.
Namun demikian "Demokrasi Pancasila" dalam rezim Orde Baru hanya sebagai
retorika dan gagasan belum sampai pada tataran praksis atau penerapan. Karena dalam
praktik kenegaraan dan pemerintahan, rezim ini sangat tidak memberikan ruang bagi
kehidupan berdemokrasi. Seperti dikatakan oleh M. Rusli Karim rezim Orde Baru
ditandai oleh : 1. Dominannya peranan ABRI; 2. Birokratisasi dan sentralisasi
pengambilan keputusan politik; 3. Pengebirian peran dan fungsi partai politik; 4.
Campur tangan pemerintah dalam berbagai urusan partai politik dan publik; 5. Masa
mengambang; 6. Monolitisasi ideologi negara; 7. Inkorporasi lembaga non pemerintah.
Tujuh Ciri tersebut hubungan negara versus masyarakat secara berhadap-hadapan dan
subordinat, di mana negara atau pemerintah sangat mendominasi. Dengan demikian
nilai-nilai demokrasi juga belum ditegakkan dalam demokrasi Pancasila Soeharto.

D. DEMOKRASI PADA PERIODE 1998 - SEKARANG


Runtuhnya rezim otoriter Orde Baru telah membawa harapan baru bagi
tumbuhnya demokrasi di Indonesia. Bergulirnya reformasi yang mengiringi
keruntuhan rezim tersebut menandakan tahap awal bagi transisi demokrasi Indonesia.
Transisi demokrasi merupakan fase krusial yang kritis, karena dalam fase ini akan
ditentukan ke mana arah demokrasi yang akan dibangun. Selain itu dalam fase ini pula
bisa saja terjadi pembalikan arah perjalanan bangsa dan negara yang akan menghantar
Indonesia kembali memasuki masa otoriter sebagaimana yang terjadi pada periode
orde lama dan orde baru.
Sukses atau gagalnya suatu transisi demokrasi sangat bergantung pada empat
faktor kunci: yakni, (1) komposisi elite politik, (2) desain institusi politik, (3) kultur
politik atau perubahan sikap terhadap politik dikalangan elite dan non elite, dan (4)
peran civil society (masyarakat madani). Keempat faktor itu harus jalan secara sinergis
dan berkelindan sebagai modal untuk mengonsolidasikan demokrasi. Karena itu seperti
dikemukakan Oleh Azyumardi Azra langkah yang harus dilakukan dalam transisi
Indonesia menuju demokrasi sekurang-kurangnya mencakup reformasi dalam tiga
bidang besar (Azyumardi Azra, 2002). Pertama, reformasi sistem (constitutional
reform) yang menyangkut perumusan kembali falsafah, kerangka dasar, dan perangkat
legal sistem politik. Kedua, reformasi kelembagaan (institutional reform and
empowerment) yang menyangkut pengembangan dan pemberdayaan lembagalembaga
politik. Ketiga, pengembangan kultur atau budaya politik (political culture) yang lebih
demokratis.
Kenapa kapabilitas dan perilaku elite politik penting? Karena dalam demokrasi
modern dengan bentuknya demokrasi perwakilan rakyat mendelegasikan kedaulatan
dan kekuasaannya kepada para elite politik. Merekalah (para elite politik) yang
mendesain institusi pemerintahan, menjadikan satu dengan yang Iain
bertanggungjawab, melakukan tawar-menawar, memobilisasi dukungan, dan merespon
opini publik. Dalam bahasa Larry Diamond, "di balik transisi, elite politik memiliki
pengaruh besar dalam menentukan apakah demokrasi baru menjadi stabil, efektif dan
terkonsolidasi". Perilaku para elite politik menjadi contoh bagi non-elite dalam
membentuk kultur politik. Dalarn sebuah demokrasi yang terkonsolidasi, para elite
mengakui sistem legitimasi dan memperlihatkan kepercayaan mereka terhadap
demokrasi dengan cara bekerja untuk memajukan agenda-agenda politik dalam
kerangka institusi-institusi demokrasi. Mereka menerima kekalahan tanpa mengutak-
atik legitimasi institusi-institusi tersebut. Para elite yang tidak menghormati institusi
demokrasi, harus disingkirkan agar demokrasi betul-betul terkonsolidasi.
Kultur politik mengacu pada sikap terhadap sistem politik. Kultur politik
sebagaimana dinyatakan oleh Sidney Verba adalah "pola-pola tertentu yang
mengarahkan dan membentuk tindakan-tindakan politik" (Azyumardi Azra, 2002).
Gabriel A. Almond dan Sidney Verba membedakan antara kultur politik partisipan dan
rakyat biasa. Dalam demokrasi yang sehat, kultur politik partisipan terbentuk dimana
warga negara percaya akan kemampuan mereka untuk mempengaruhi proses politik
Sebaliknya, rakyat biasa merasa tidak punya kekuasaan (powerless) dalam arena
politik. Masyarakat harus mengembangkan sikap baru agar institusi-institusi demokrasi
berfungsi sebagaimana mestinya. Karena itu pembentukkan kultur politik baru harus
terarah dan komprehensif dengan melibatkan perubahan pola pikir aktor dan elit
politik serta ingatan kolektif (collective memory) masyarakat secara keseluruhan
(Azyumardi Azra, 2002).
Pengalaman negara-negara demokrasi yang sudah established memperlihatkan
bahwa institusi-institusi demokrasi bisa tetap berfungsi walaupun jumlah pemilihanya
kecil. Karena itu, untuk mengukur tingkat kepercayaan publik terhadap institusi
demokrasi tidak terletakkan pada seberapa besar partisipasi politik warga. Yang bisa
dijadikan indikasi bahwa masyarakat memiliki kepercayaan terhadap institusi-institusi
demokrasi adalah apakah partisipasi politik mereka itu dilakukan secara suka rela atau
dibayar dan digerakkan. Mencermati perilaku para elite saat ini yang hanya masygul
berebut kekuasaan, rasanya terlalu jauh panggang dari api kalau kita berharap bahwa
semua itu akan mewariskan kultur politik yang menyokong sentimen demokrasi. Yang
terjadi justru sebaliknya: radikalisasi massa.
Harapan Iain dalam suksesnya transisi demokrasi Indonesia mungkin adalah
pada peran civil society (masyarakat madani) untuk mengurangi polarisasi politik dan
menciptakan kultur toleransi. penelitian Seymour Martin Lipset membuktikan civil
society (masyarakat madani) juga dapat berpengaruh secara benefisial terhadap kultur
politik. Ada dimensi edukasi dalam civil society (masyarakat madani). partisipasirdalam
civil society dapat mengajarkan keterampilan dan nilainilai demokrasi, seperti
moderasi, Sikap kompromi dan menghargai pandangan yang berbeda. Makanya akan
sangat memprihatinkan —jika benar- bahwa sekarang mulai muncul kecenderungan
kantong-kantong civil society larut ke dalam arus permainan politik. Sebab hal itu
bukan hanya mengancam kemandirian civil society, tetapi juga semakin menguras
modal demokrasi yang kita miliki.
Transisi ini yang sekarang dialamai bukan pengalaman khas Yang hanya dilalui
oleh Indonesia. Beberapa negara Amerika Latin pada dekade 80-an, dan juga negara-
negara Asia Tenggara seperti Thailand dan Filipina pernah mengalami proses serupa.
Transisi demokrasi selalu dimulai dengan jatuhnya pernerintahan otoriter. Sedangkan
panjang pendeknya masa transisi tergantung pada kemampuan rezim demokrasi baru
mengatasi problem transisional yang menghadang. Problem paling mendasar yang
dihadapi negara-negara yang sedang mengalami transisi menuju demokrasi adalah
ketidakmampuan membentuk tatapemerintahan baru yang bersih, trasparan dan
akuntabel. Akibatnya, legitimasi demokrasi menjadi lemah. Tanpa legitimasi yang kuat,
rezim demokrasi baru akan kehilangan daya tariknya. Teori "hilangnya legitimasi" ini
juga dapat menjelaskan asal-muasal keruntuhan rezimrezim otoritarian. Hal itu
disebabkan setiap rezim membutuhkan "legitimasi", "dukungan" atau paling tidak
"persetujuan tanpa protes" agar dapat bertahan. Bila rezim kehilangan legitimasi, ia
harus mereproduksinya atau ia akan jatuh. Dari sudut pandang empiris, teori ini
meramalkan hadirnya kekacauan massa atau paling tidak ketidakpatuhan massa
sebelum lahirnya setiap liberalisasi.
Secara historis, semakin berhasil suatu rezim dalam menyediakan apa yang
diinginkan rakyat, semakin mengakar kuat dan dalam keyakinan mereka terhadap
legitimasi demokrasi. Pada saat yang sama, legitimasi juga merupakan independent
rezim. Semakin kuat keyakinan terhadap legitimasi demokrasi dan komitmen untuk
mematuhi aturan main sistem demokrasi, semakin manjur rezim dalam merumuskan
kebijakan untuk merespon persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakat. Sebab para
politisi merasa lebih legowo bekerja sama satu dengan yang lain. Tingkat legitimasi
yang tinggi juga akan memfasilitasi kesabaran dan dukungan publik terhadap
pemerintahan dalam menghadapi problem-problem yang akut. Demikianlah hubungan
resiprokal antara legitimasi, efektivitas dan stabilitas demokrasi. Konsolidasi demokrasi
merupakan hasil dari lingkaran itu. Dengan demikian, selain performance rezim
demokrasi dari waktu ke waktu legitimasi demokrasi juga bisa dipengaruhi oleh
bagaimana institusi-institusi demokrasi tertentu mengartikulasikan bentuk-bentuk
otoritas yang terlegitimasi dan kemudian melakukan sosialisasi, penyebaran
pendidikan dan perubahan kultur sosial. Performance rezim bukan hanya dinilai dari
perkembangkan reformasi sosial, melainkan juga meliputi dimensi-dimensi politik
krusial lain, seperti kemampuan untuk mewujudkan ketertiban, memerintah secara
transparan, menegakkan hukum (rule of law), dan menghargai serta mempertahankan
aturan main demokrasi.
Di atas segala-segalanya, yang juga dibutuhkan oleh demokrasi-demokrasi yang
baru tumbuh seperti di negeri kita adalah pengelolaan yang efektif di bidang ekonomi,
selain di bidang pemerintahan. Dengan demikian penerapan demokrasi tidak saja dalam
area politik, melainkan dalam bidang ekonomi, sosial budaya dan sebagainya. Jika
demokrasi demokrasi yang baru tumbuh dapat mengelola pernbangunan ekonomi
secara efektif, maka mereka juga dapat menata rumah tangga politik mereka dengan
baik. Tapi ketegangan-ketegangan yang segera timbul akibat pertumbuhan ekonomi
bisa jadi juga menggerogoti stabilitas demokrasi dalam jangka panjang.
Bisa saja kita telah memilih desain institusional yang memadal, seperti desai
struktural, kultural, dan kelembagaan yang dapat mengantarkan kita kepada demokrasi,
tetapi hasil akhirnya tetap saja tergantung pada konteks-konteks tertentu: misalnya
apakah sistem pemilihan umum dan lembaga-lembaga politik lainnya sudah cukup
memadai untuk mengatasi ketegangan-ketegangan etnik atau lainnya. Karena itu,
keadaan ekonomi dan kernampuan serta taktik yang dimainkan aktor-aktor politik
turut memainkan peran penting. Berbagai kekuatan pro dan kontra mempengaruhi
beragam kemungkinan ke arah demokratisasi. Tetapi semuanya itu tidak dapat
menentukan hasil-hasil akhirnya. Apakah demokrasi berhasil atau gagal, sebagian
besarnya tetap saja tergantung pada pilihan-piliham dan perilaku para pemimpir dan
elite politik.
Di negara-negara sedang berkembang termasuk Indonesia, perkembangan
demokrasi tersendat-sendat, bahkan ada yang tidak bisa muncul sama sekali. Seperti
disinyalir oleh Samuel P. Huntington, bahwa kawasan ini disebut sebagai penganut
sistem politik tradisional. Ada dua corak sistem politik yang dominan pada negara
berkembang yaitu: sistem feodal dan birokratis. Di dalam kedua corak sistem politik itü
ditandai olein pemusatan kekuasaan. Karena itil, peluang untuk berkembang suburnya
demokrasi adalah kecil sekali. Pandangan pesimisme Huntington sangat sesuai dengan
gambaran sistem politik Indonesia sebelum era reformasi yang sebagian ahli menyebut
sebagai era transisi menuju demokrasi. Dengan kata lain harapan akan terwujudnya
demokrasi di Indonesia pada era reformasi masih harus dibuktikan.
Azyumardi Azra menyatakan bahwa demokratisasi di Indonesia agaknya tidak
bisa dimundurkan lagi. Proses suksesi kepresidenan dengan jelas menandai
berlangsungnya proses transisi ke arah demokrasi, setelah demokrasi terpenjarakan
sekitar 32 tahtın pada rezim Soeharto dengan "demokrasi Pancasila"—nya dan 10
tahun pada masa rezim Soekarno dengan "demokrasi terpimpinnya"-nya. Dengan
demikian secara empirik demokrasi yang sesungguhnya di Indonesia belum dapat
terwujud. Karena itü membangun demokrasi merupakan pekerjaan rumah (PR) dan
agenda yang sangat berat bagi pemerintah.
Dalam kerangka itu upaya membangun demokrasi (Indonesia) menurut M. Rusli
Karim dapat terwujud dalam tatanan negara dan pemerintahan Indonesia bila tersedia
delapan faktor pendukung : 1. Keterbukaan sistem politik; 2. Budaya politik partisipatif
egalitarian; 3. Kepemimpinan politik yang berorientasi kerakyatan; 4. Rakyat yang
terdidik, cerdas dan berkepedulian; 5. Partai politik yang tumbuh dari bawah; 6.
Perhargaan terhadap hu kum; 7. Masyarakat sipil (masyarakat madani) yang tanggap
dan bertanggung jawab; 8. Dukungan dari pihak asing dan pemihakan pada golongan
mayoritas.
Sementara itu menurut Azyumardi, setidaknya ada empat prasyarat yang dapat
membuat pertumbuhan demokrasi menjadi lebih memberi harapan. Pertama,
peningkatan kesejahteran ekonomi rakyat secara keseluruhan. Semakin sejahtera
ekonomi sebuah bangsa, maka semakin besar peluangnya untuk mengembangkan dan
mempertahankan demokrasi. Kedua, pemberdayaan dan pengembangan kelompok-
kelompok masyarakat yang favourable bagi pertumbuhan demokrasi seperti "kelas
menengah", LSM/ para pekerja dan sebagainya. Pemberdayaan dan pengembangan
kelompok masyarakat tersebut pada gilirannya membuat hubungan antara negara dan
masyarakat (state and society) berimbang. Ketiga, hubungan internasional yang lebih
adil dan seimbang. Sebagai negara yang tengah menuju demokrasi, upaya
demokratisasi membutuhkan dunia internasional. Dukungan dunia internasional
dilandasi oleh semangat keadilan dan pengakuan kemandirian untuk dapat
menciptakan demokrasi. Bantuan ekonomi dunia internasional jangan menjadi
keadaan yang kontraproduktif bagi transisi menuju demokrasi. Keempat, sosialisasi
pendidikan kewargaan (civic education). Pembentukkan warga negara yang memiliki
keadaban demokratis dan demokrasi berkeadaban bisa dilakukan secara efektif hanya
melalui pendidikan kewargaan. Prints seperti dikutip Azyumardi menyakini bahwa
negara-negara demokrasi baru (newly emerging democracies) memerlukan sarana
pendidikan yang memungkinkan generasi muda mengetahui tentang pengetahuan,
nilai-nilai dan keahlian yang diperlukan dalam untuk melestarikan demokrasi. Melalui
sosialisasi pendidikan kewargaan dapat dihasilkan kewargaan demokratis (democratic
citizenship) yang pada gilirannya menjadi tulang punggung penting bagi Indonesia yang
benar-benar demokratis.
Menurut Sorensen transisi bentuk pemerintahan (rezim) non demokratis
menjadi demokratis –seperti yang tengah terjadi di Indonesia dalam tiga tahun
terakhir- merupakan proses yang sangat lama dan kompleks karena melibatkan
beberapa tahap. Pertama, tahap persiapan (preparatory phase) yang ditandai dengan
pergulatan dan pergolakan politik yang berakhir dengan jatuhnya rezim non
demokratis. Kedua, tahap penentuan (decision phase), di mana unsur-unsur penegak
demokrasi dibangun dan dikembangkan. Ketiga, tahap konsolidasi (consolidation
phase), di má na demokrasi baru dikembangkan lebih lanjut sehingga praktik-praktik
demokrasi menjadi bagian yang mapan dari budaya politik. Dalam kaitan dengan
transisi menuju demokrasi, Indonesia saat ini tengan berada dalam pase kedua dan
ketiga.
Indikasi ke arah terwujudnya kehidupan demokratis dalam era transisi menuju
demokrasi di Indonesia antara lain adanya reposisi dan redefinisi TNI da]am kaitannya
dengan keberadaanya pada sebuah negara demokrasi, diamandemennya pasal-pasal
dalam konstitusi negara RI (amandemen I-IV), adanya kebebasan pers, dijalankannya
kebijakan otonomi daerah, dan sebagainya. Akan tetapi sampai saat ini pun masih
dijumpai indikas-indikasi kembalinya kekuasaan status quo yang ingin
memutarbalikkan arah demokrasi Indonesia kembali ke periode sebelum orde
reformasi. Oleh sebab itu, kondisi transisi demokrasi Indonesia untuk saat ini masih
berada di persimpangan jalan yang belum jelas ke mana arah pelabuhannya. Perubahan
sistem politik melalui paket amandemen konstitusi (amandemen 1-1V) dan pembuatan
paket perundang-undangan politik (LTU Partai Politik, LJU Pemilu, LJU pemilihan
Presiden dan Wakil Presiden, LJU Susunan dan Kedudukan DPR, DPRD dan DPD)
mampu mengawal transisi menuju demokrasi, masih menjadi pertanyaan besar.

ISLAM DAN DEMOKRASI


Salah satu isu yang paling populer sejak dasawarsa abad kedua puluh yang baru
lalu adalah isu demokratisasi. Di antara indikator paling jelas dari kepopuleran tersebut
adalah berlipat gandanya jumlah negara y ang menganut sistem pemerintahan
demokratis. Namun demikian di tengah gemuruh proses demokratisasi yang terjadi di
belahan dunia, dunia Islam sebagaimana dinyatakan Oleh para pakar seperti Larry
Diamond, Juan J. Linze, Seymour Martin Lipset tidak mempunyai prospek untuk menjadi
demokratis serta tidak mempunyai pengalaman demokrasi yang cukup. Hal senada juga
dikemukakan oleh Samuel P. Huntington yang meragukan ajaran Islam sesuai dengan
prinsip-prinsip demokrasi (Bahtiar Effendy, Kata Pengantar, 2002). Karena itu dunia
Islam dipandang tidak menjadi bagian dari gemuruhnya proses demokratisasi dunia.
Dalam bahasa Abdelwahab Efendi (pemikir Sudan) "angin demokratisasi memang
berhembus ke seluruh penjuru dunia, namun tak ada satupun daun yang dihembusnya
sampai ke dunia muslim" (Mun'im A. Sirry, 2002). Dengan demikian terdapat
pesimisme berkaitan pertumbuhan dan perkembangan demokrasi di dunia Islam.
Perdebatan (diskursus) dan wacana tentang hubungan antara Islam dan
demokrasi sebagaimana diakui Oleh Mun'im A. Sirry memang masih menjadi tema
perdebatan dan wacana yang menarik dan belum tuntas. Karena itu kesimpulan yang
diberikan Oleh para pakar di atas (Larry Diamond, Juan J. Linze, Seymour Martin Lipset
dan Samuel P. Huntington) bahwa Islam tidak sesuai dengan demokrasi hanyalah
bagian dari wacana yang berkembang di kalangan para pakar politik Islam ketika
mereka mengkaji hubungan Islam dan demokrasi. Berdasarkan pemetaan yang
dikembangkan oleh John L. Esposito dan James P. Piscatory (Sukron Kamil, 2002) secara
urnum dapat dikelom pokkan dalam tiga kelompok pemikiran (Mun'in A. Sirry, 2002).
Pertama, Islam dan demokrasi adalah dua sistem politik yang berbeda. Islam
tidak bisa disubordinatkan dengan demokrasi. Islam merupakan sistem politik yang
self-sufficiellf. Hubungan keduanya bersifat mutually exclusive. Islam dipandang
sebagai sistem politk alternatif terhadap demokrasi. Dengan demikian Islam dan
demokrasi adalah dua hal yang berbeda, karena itu demokrasi sebagai konsep Barat
tidak tepat untuk dijadikan sebagai acuan dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara. Sementara Islam sebagai agama yang kaffah (sempurna) yang tidak saja
mengatur persoalan teoligi (akidah), dan iabadah, melainkan mengatur segala aspek
kehidupan umat manusia. Ini diungkapkan misalnya oleh elit Kerajaan Arab Saudi dan
elit politik Iran pada masa awal revolusi fran, Syekh Fadhallah Nuri, Sayyid Qutb,
Thabathabai, al-Sya'rawi dan Ali Benhadj.
Kedua, Islam berbeda dengan demokrasi apabila demokrasií didefinisikan
secara prosedural seperti dipahami dan dipraktikkan di negara-negara maju (Barat),
sedangkan Islam merupakan sistem politik demokratis kalau demokrasi didefinisikan
secara substantif, yakni kedaulatan di tangan rakyat dan negara merupakan terjemahan
dari kedaulatan rakyat ini. Dengan demikian dalam pandangan kelompok ini demokrasi
adalah konsep yang sejalan dengan Islam setelah diadakan penyesuaian penafsiran
terhadap konsep demokrasi itu sendiri. Diantara tokoh dari kelompok ini adalah al-
Maududi, Rasyid al-Ghanaoushi, Abdul Fattah Morou dan Taufiq asy-Syawi. Di Indonesia
diwakili oleh Moh. Natsir dan Jalaluddin Rahmat.
Ketiga, Islam adalah sistem nilai yang membenarkan dan mendukung sistem
politik demokrasi seperti yang dipraktikkan negaranegara maju. Di Indonesia,
pandangan yang ketiga tampaknya yang lebih dominan karena demokrasi sudah
menjadi bagian integral sistem pemerintahan Indonesia dan Negara-negara muslim
lainnya (R. William Liddle dan Saiful Mujani: 2000). Diantara tokoh dalam kelompok ini
Fahmi Huwaidi, al-'Aqqad, M. Husain Haekal, Zakaria Abdul Mun'im Ibrahim, Robert N.
Bellah dan sebagainya. Di Indonesia diwakili oleh Nurcholish Madjid (Cak Nur), Amien
Rais, Munawir Syadzali, A. Syafi'i Ma'arif dan Abdurrahman Wahid.
Penerimaan Negara-negara muslim (dunia Islam) terhadap demokrasi
sebagaimana yang dikemukakan oleh kelompok ketiga tidak berarti bahwa demokrasi
dapat tumbuh dan berkembang di negara muslim secara otomatis dan cepat. Belum
tumbuh dan berkembangnya demokrasi di dunia Islam (bahkan yang terjadi adalah
sebaliknya dimana negara-negara muslim justru merupakan negara yang langka dalam
menerapkan demokrasi, sementara rezim otoriter menjadi trend dan dominan). Ada
beberapa alasan teoritis yang bisa menjelaskan tentang Iambannya pertumbuhan dan
perkembangan demokrasi (demokratisasi) di«dunia Islam. Pertama, pemahaman
doktrinal menghambat praktek demokrasi. Teori ini dikembangkan oleh Elie Khudourie
bahwa "gagasan demokrasi masih cukup asing dalam mind-set Islam." Hal ini
disebabkan Oleh kebanyakan kaum muslim yang cenderung memahami demokrasi
sebagai sesuatu yang bertentangan dengan Islam. Untuk mengatasi hal itu perlu
dikembangkan upaya liberalisasi pemahaman keagamaan dalam rangka mencari
konsensus dan sintesis antara pemahaman doktrin Islam dengan teori-teori moderen
seperti demokrasi dan kebebasan.
Kedua, persoalan kultur. Demokrasi sebenarnya telah dicoba di negara-negara
muslim sejak paruh pertama abad dua puluh tapi gagal. Tampakya ia tidak akan sukses
pada masa-masa mendatang, karena warisan kultural masyarakat (komunitas) muslim
sudah terbiasa dengan otokrasi dan ketaatan pasif. Teori ini dikembangkan Oleh
Bernard Lewis dan Ajami. Karena itu, langkah yang sangat diperlukan adalah penjelasan
kultural kenapa demokrasi tumbuh subur di Eropa, tetapi di wilayah dunia Islam malah
otoritarianisme yang tumbuh dan berkembang. Sejauh ini, persoalan kultur politik
(political culture) ditenggarai sebagai yang paling bertanggungjawab kenapa sulit
membangun demokrasi di negara-negara muslim, termasuk Indonesia. Sebab, ditilik
secara doktrinal, pada dasarnya hampir tidak dijumpai hambatan teologis di kalang-an
tokoh-tokoh partai, ormas ataupun gerakan Islam yang memperhadapkan demokrasi
vis a vis Islam. Bahkan, ada kecenderungan untuk merambah tugas (misi) baru yaitu
merekonsiliasi perbedaanperbedaan antara berbagai teori politik moderen dengan
doktrin Islam. Oleh karena itu, fokus perdebatannya tidak lagi "apakah Islam compatible
dengan demokrasi", melainkan bagaimana keduanya saling memperkuat (mutually
reinforcing).
Ketiga, lambannya pertumbuhan demokrasi di dunia Islam tak ada hubungan
dengan teologi maupun kultur, melainkan lebih terkait dengan sifat alamiah demokrasi
itu sendiri. Untuk membangun demokrasi diperlukan kesungguhan, kesabaran dan di
atas segalanya adalah waktu. John Esposito dan O. Voll adalah tokoh yang tetap optimis
terhadap masa depan demokrasi di dunia Islam. Terlepas dari itu semua, tak diragukan
lagi, pengalaman empirik demokrasi dalam sejarah Islam memang sangat terbatas.
Dengan mempergunakan parameter yang sangat sederhana, pengalaman empirik
demokrasi hanya bisa ditemukan selama pemerintahan Rasulullah sendiri yang
kemudian dilanjutkan olein empat sahabatnya, yaitu Abu Bakar, Umar, Usman, dan Ali
bin Abi Thalib, yang dikenal dengan zaman Khulafa al Rasyidin. Setelah pemerintahan
keempat sahabat tersebut menurut catatan sejarah sangat sulit kita menemukan
demokrasi di dunia Islam secara empirik sampai sekarang ini.
DAFTAR RUJUKAN

Abdillah, Masykuri, Demokrasi di Persimpangan Makna: Respon Intelektual Muslim


Indonesia terhadap Konsep Dcmokrasi (1966-1993), Yogyakarta: Tiara Wacana,
1999.
Amin, M. Masyhur dan Mohammad Nadjib, Agama, Demokrasi dan Transformasi Sosial,
Yogyakarta: LKPSM, 1993.
A. Sirry, Mun'im, Dilema Islam Dilema Demokrasi: Pengalaman Baru Muslim dalam
Transisi Indonesia, Bekasi: Gugus Press, 2002.
Asshiddiqie, Jimly, Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya di
Indonesia, Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1994.
Azhar, Ipong. S, "Demokrasi, Hukum dan Perlindungan HAM", Media Indonesia, 9
Desember 1996.
Azra, Azyumardi, "Membangun Keadaban Demokratis", Kompas, 28 Juni 2000.
________________, Paradigma Baru Pendidikan Nasional: Rekonstruksi dan Demokratisasi,
Jakarta: Kompas, 2002
________________, Reposisi Hubungan Agama dan Negara : Merajut Kerukunan Antar Umat,
Jakarta: Kompas, 2002
Budiardjo, Miriam, Demokrasi di Indonesia: Demokrasi Parlementer dan Demokrasi
Pancasila, Jakarta: Gramedia, 1996.
________________, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta, Gramedia, 1976
Culla, Adi Suryadi, Masyarakat Madani: Pernikiran, Teori dan Relevansinya dengan Cita-
Cita Reformasi, Jakarta: Raja Grafindo, 1999.
Effendy, Bahtiar, Islam, Demokrasi dan HAM dalam Ahmad Suaedy, Pergulatan Pesantren
dan Demokratisasi, Yogyakarta: 2000.
________________, "Demokrasi dan Agama: Eksistensi Agama dalam Politik Indonesia", dalam
M. Deden Ridwan dan Asep Gunawan, Demokratisasi Kekuasaan, Jakarta: LSAF-
TAF, 1999.
________________, "Islam, Demokrasi dan Modal Sosial", (Kata Pengantar) dalam buku
Mun'im A. Sirry, Dilema Islam Dilema Demokrasi : Pengalaman Baru Muslim
dalam Transisi Indonesia, Jakarta: Gugus Press, 2002
Gaffar, Affan, Demokrasi Politik, makalah seminar "Perkembangan Demokrasi di
Indonesia Sejak 1945", Widyagraha, LIPI, Jakarta, 1993.
________________, Politik Indonesia : Transisi Menuju Demokrasi, Yogyakarta: Pustaka
Pelajat,u 2000
Hasbi, Artani, Musyawarah dan Demokrasi: Analisa Konseptual Aplikatifdalam Lintasan
Sejarah Pemikiran Politik Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001.
Hidayat, Komaruddin, "Tiga Model Hubungan Agama dan Demokrasi " dalam Elza Peldi
Taher, Demokratisasi Politik, Budaya dan Ekonomi, Jakarta: 1994.
Kaelani, Pendidikan Pancasila, Yuridis Kenegaraan, Yogyakarta: Paradigma, 1999.
Kamil, Sukron, Islam dan Demokrasi: Telaah Konseptual dan Historis, Jakarta, Gaya Media
Pratama, 2002.
Karim, M. Rusli, Peluang dan Hambatan Demokratisasi, dalam Jurnal CSIS, Jakarta,
Januari-Maret 1998.
Kleden, Ignas, "Melacak Akar Konsep Demokrasi: Suatu Kajian Kritis", dalam Ahmad
Suaedy, Pergulatan Pesantren dan Demokratisasi, Yogyakarta: 2000.
Liddle, William, R. dan Saiful Mujani, "Islam, Kultur Politik, dan Demokratisasi", Jurnal
Demokrasi dan HAM, Vol. 1, No.l, Mei-Agustus 2000.
Madjid, Nurcholish, Membangun Oposisi Menjaga Momentum Demokratisasi, Jakarta:
Voice Center Indonesia, 2000.
Mahfud MD, Moh., Hukum dan Pilar-pilar Demokrasi, Yogyakarta: Gema Media, 1999.
________________, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, Yogyakarta: Liberty, 1993.
Masdar, Umaruddin, dkk., Mengasah Naluri Publik Memaharni Nalar Politik, Yogyakarta
LKiS, 1999.
Mu'is, Abdul, Titian Jalan Demokrasi, Peranan Kebebasan Pers untuk Budaya Komunikasi
Politik, Jakarta: Kompas, 2000.
Rasyid, Muhammad Ryaas, Kajian Awal Birokrasi Pemerintahan dan Politik Orde Baru,
Jakarta: Yayasan Watampone, 1997.
Siagian, Faisal, "Menangkap Peluang Demokratisasi di Indonesia", dalam Jurnal CSF
Januari-Pebruari, 1994.
Suseno, Fran Magnis, Mencari Sosok Demokrasi, Sebuah Telaah Filosofis, Jakarta: Gram
Pustaka Utama, 1997.

Anda mungkin juga menyukai