DOSEN PENGAMPU:
DISUSUN OLEH:
HAIRATUNNISA
1810211120024
FAKULTAS HUKUM
BANJARMASIN
2020
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberi rahmat dan hidayah-Nya sehingga saya
dapat menyelesaikan makalah yang berjudul Pembuktian di Peradilan Agama ini tepat pada
waktunya.
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini untuk memenuhi tugas pengganti Ujian Tengah
Semester dari Ibu Dr. Rahmida Erliyani, S.H.,M.H. mata kuliah Hukum Acara Peradilan
Agama. Selain itu, makalah ini juga bertujuan menambah wawasan bagi para pembacanya
Saya mengucapkan terima kasih kepada ibu Dr. Rahmida Erliyani, S.H.,M.H. mata kuliah
Hukum Acara Peradilan Agama yang telah memberi tugas ini sehingga dapat menambah
pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi dengan studi yang ditekuni.
Saya menyadari, makalah yang saya tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu,
Hairatunnisa
2
DAFTAR ISI
JUDUL .............................................................................................................................. i
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
A. Kesimpulan ..................................................................................................... 15
B. Saran ............................................................................................................... 15
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Peradilan Agama merupakan salah satu dari peradilan Negara yang sah di
Indonesia, bersifat khusus yang berwenang didalam jenis perkara perdata Islam
kewenangan dan kedudukan yang sama dan sejajar dengan peradilan lain dalam
beragama Islam.
Hukum acara yang berlaku dilingkungan peradilan agama adalah hukum acara
Hukum acara yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan peradilan Agama
adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan
Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam Undang-undang ini.1
antara dua pihak yang berperkara sebenarnya dan seharusnya agar segala yang
1
Rahmida Erliyani, Hukum Pembuktian di Peradilan Agama cetakan ke-2, (Yogyakarta: K-Media, 2019) , hal.
2
4
Peradilan Agama dalam proses penegakan hukum dimasyarakat tidak terlepas
dari Hakim serta Advokat. Hakim dan Advokat merukapan dua elemen negara dan
masyarakat yang bergerak sebagai pratisi hukum. Profesi Hakim salah satu bagian
dari pratisi hukum yang sering kali digambarkan sebagai badan penegak hukum
sekaligus pemberi keadilan yang merupakan wujud perwakilan dari negara dalam
suatu sistem peradilan dalam negara hukum. Hal ini sedikit berbeda dengan profesi
advokat. Advokat juga profesi dibidang hukum yang mengemban tugas sebagai
penegak keadilan yang bertindak menjadi perantara serta berperan dalam mewakili
yang mewakili, mendampingi, membela, serta melakukan tindakan hukum lain untuk
kepentingan kliennya, baik perorangan, badan hukum, atau lembaga lain yang
menerima jasa hukum dari Advokat. Dalam proses persidangan, seorang Advokat
bertindak sebagai pembela kepentingan para pihak yang berperkara dalam melakukan
tindakan pembelaan atau penuntutan suatu hak yang dinyatakan dalam pembuktian.
Pembuktian dalam ilmu hukum adalah suatu proses, baik dalam acara perdata
maupun pidana, dimana dengan menggunakan alat-alat bukti yang sah, dilakukan
dengan tindakan prosedur khusus, untuk mengetahui suatu fakta atau pernyataan,
khusus fakta atau pernyataan yang dipersengketakan dipengadilan, yang diajukan dan
dinyatakan oleh salah satu pihak dalam proses pengadilan itu benar atau tidak seperti
merupakan suatu upaya para pihak untuk meyakinkan hakim kebenaran peristiwa atau
kejadian yang diajukan oleh para pihak-pihak yang bersengketa dalam persidangan
2
Ibid
3
Munir Fuady, Teori Hukum Pembuktian, (Bandung; PT Citra Aditya Bakti. 2006) Cet.hal.1
5
dipengadilan dengan alat-alat bukti yang ditentukan didalam peraturan perundang-
undangan.4 Dengan demikin, pembuktian menjadi bukti salah satu bagian yang
menduduki tempat dari beberapa meteri hukum acara perdata. Hal ini sebagaimana
diketahui bahwa hukum acara dan hukum formil bertujuan untuk memelihara dan
mempertahankan hukum materiil. Jadi secara formal hukum pembuktian itu mengatur
mengenai ketentuan dapat diterima atau tidak diterima pembuktian dengan alat-alat
bukti tertentu dipersidangan serta kekuatan pembuktian dari masing-masing alat bukti.
4
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di LingkunganPeradilan Agama, (Jakarta Putra Grafika,
2005) hal. 277
6
B. Rumusan Masalah
2. Apa yang dimaksud dengan Hukum Pembuktian Materiil dan Hukum Pembuktian
Formal?
7
C. Metode Penelitian
yuridis. Secara umum penelitian norma yuridisi dipahami hanya merupakan penelitian
hukum yang membatasi pada norma-norma yang ada di dalam peraturan perundang-
undangan. Sedangan penelitian hukum normatif lebih luas. Menurut Johnny Ibrahim,
normatif disini tidak sebatas pada peraturan perundang-undangan saja. Hal tersebut
normatif namun bukan bukan hanya meneliti hukum positivis. Norma tidak hanya
diartikan sebagai hukum positif yaitu aturan yang dibuat oleh para politisi yang
memiliki kedudukan yang lebih tinggi sebagaimana dikemukakan oleh John Austin
atau pun aturan yang dibuat oleh penguasa sebagaimana dikemukakan oleh Hans
kebenaran koherensi yaitu apakah aturan hukum sesuai dengan norma hukum dan
apakah norma hukum yang berisi mengenai kewajiban dan sanksi tersebut sesuai
dengan prinsip hukum apakah tindakan sesorang sesuai dengan norma hukum atau
prinsip hukum. Oleh karenanya norma juga diartikan sebagai pedoman perilaku.
8
BAB II
PEMBAHASAN
diartikan sebagai perbuatan dengan mana diberikan suatu kepastian, adakalanya pula
Tujuan dan guna pembuktian bagi para pihak yang terlibat dalam proses pemeriksaan
yakni berdasarkan alat bukti yang ada,agar menyatakan seseorang terdakwa bersalah
2. Bagi terdakwa atau penasehat hukum, pembuktian merupakan usaha sebaliknya untuk
meyakinkan hakim yakni berdasarkan alat bukti yang ada, agar menyatakan terdakwa
dibebaskan atau dilepas dari tuntutan hukum atau meringankan pidananya.Untuk itu
terdakwa atau penasehat hukum jika mungkin harus mengajukan alat alat bukti yang
kebalikannya.
3. Bagi Hakim atas dasar pembuktian tersebut yakni dengan adanya alat-alat bukti yang
ada dalam persidangan baik yang berasal dari penuntut umum atau penasehat
9
Membuktikan dalam arti yuridis tidak lain berarti memberikan dasar-dasar yang
cukup kepada hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan guna memberikan
yang ada dan berlaku sampai saat ini tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan,
peraturan perundang-undangan produk Negara Kesatuan Republik Indonesia yaitu antara lain
terdapat dalam:
5. Reglement op het houden der Registers van den Burgerlijke stand voor Europeanen;
7. Reglement op het houden der Register van den Burgerlijke stand voor de Chineeezen;
8. Undang-undang nomor 20 Tahun 1947 Tentang Peradilan Ulang di Jawa dan Madura;
5
Rahmida Erliyani, Hukum Pembuktian di Peradilan Agama cetakan ke-2, (Yogyakarta: K-Media, 2019) , hal.
16
6
https://id.wikipedia.org/wiki/Hukum_pembuktian_Indonesia
10
10. Undang-undang nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah
11. Undang-undang nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum sebagaimana telah
telah diubah dengan Undang-undang nomor 4 Tahun 2004 dan terakhir Undang-
Ketentuan pembuktian untuk acara perdata diatur dalam ketentuan hukum acara
perdata yang selama ini tersebar didalam berbagai peraturan hukum, berbeda dengan
hukum pembuktian perkara pidana yang secara umumnya sudah diatur dalam sebuah
kitan undang-undang yakni dalam KUHAP (UU No. 8 Tahun 1981), selain secara khusus
Hukum pembuktian perkara perdata diatur dalam HIR dan RBg juga dalam RV dan
Tahun 1989 yang diperbaharui dengan UU No. 3 Tahun 2006 dan revisi kedua UU No.50
Tahun 2009. Namun sepanjang tidak diatur dalam UU tersebut maka hukum acara nya
mengacu pada ketentuan peraturan hukum acara yang berlaku secara umum.7
7
Rahmida Erliyani, Hukum Pembuktian di Peradilan Agama cetakan ke-2, (Yogyakarta: K-Media, 2019) , hal.
22-23
11
B. Hukum Pembuktian Materiil dan Hukum Pembuktian Formal
Hukum pembuktian materiil mengatur tentang dapat atau tidak diterimanya alat-alat
bukti tertentu di persidangan serta mengatur tentang kekuatan pembuktian suatu alat
bukti. Sedangkan hukum pembuktian formil mengatur tentang cara menerapkan alat
bukti. al-hal yang harus dibuktikan oleh pihak yang berperkara adalah peristiwanya atau
menentukan hukumnya adalah Hakim. Dari peristiwa yang harus dibuktikan adalah
kebenarannya, kebenaran yang harus dicari dalam hukum acara perdata adalah kebenaran
formil, sedangkan dalam hukum acara pidana adalah kebenaran materiil. Upaya mencari
kebenaran formil, berarti hakim hanya mengabulkan apa yang digugat serta dilarang
mengabulkan lebih dari yang dimintakan dalam petitum (vide-pasal 178 HIR/189 ayat (3)
RBG). Hakim hanya cukup membuktikan dengan memutus berdasarkan bukti yang
cukup. Dalam memeriksa suatu perkara perdata hakim setidaknya harus melakukan tiga
memberi hukumnya.
cara bagaimanakah orang harus bertindak dimuka pengadilan yang terdiri dari cara
bertindak untuk memeriksa serta memutus perkara dan cara bagaimana melaksanakan
seperangkat kaidah hukum yang mengatur mengenai pembuktian, yakni sebagai suatu
proses untuk membuktikan suatu hubungan hukum atau peristiwa hukum atau peristiwa
12
hukum dengan menggunakan alat-alat bukti yang yang sah menurut hukum. Proses
pembuktian ini dilakukan dengan berbagai tindakan sebagai bagian dari prosedur
pihak untuk saling membuktikan dalil-dalil mereka dengan cara mengajukan berbagai
bukti yang sah menurut hukum dan alat bukti yang mempunyai nilai pembuktian untuk
perkara tersebut guna menguatkan dalil-dalil para pihak yang berperkara. Setelah para
pihak diberikan beban pembuktian dan mereka menggunakan hak-hak mereka untuk
mengajukan alat bukti, maka hakim yang memeriksa perkara yang akan menilai kekuatan
putusan.
Sebagai pedoman, dijelaskan oleh pasal 1865 BW, bahwa: “Barang siapa
peristiwa-peristiwa itu.”9
1. Teori vrijbewijs, teori ini memberikan kebebasan kepada hakim untuk menilai alat
bukti.
8
Rahmida Erliyani, Hukum Pembuktian di Peradilan Agama cetakan ke-2, (Yogyakarta: K-Media, 2019) , hal.
20
9
Rahmida Erliyani, Hukum Pembuktian di Peradilan Agama cetakan ke-2, (Yogyakarta: K-Media, 2019) , hal.
21
13
2. Teori verplichtbewijs, teori ini menyatakan bahwa hakim terikat oleh alat-alat
bukti.10
dalam menilai pembuktian dapat bertindak bebas atau diikat oleh UU maka tentang
1. Teori pembuktian bebas, Teori ini menghendaki seorang hakim bebas dalam
menilai alat bukti yang diajukan. Misalnya untuk menilai keterangan saksi, hakim
bebas untuk menilainya sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 172 HIR atau
Misalnya ketentuan Pasal 169 HIR atau Pasal 306 RBg dan 1906 KUH Perdata
bahwa keterangan seorang saksi saja tidak boleh dipercaya oleh hakim (unus testis
nullus testis).
mengharuskan adanya perintah kepada seorang hakim untuk tidak menilai lain
selain apa yang dikemukakan pihak. Misalnya ketentuan Pasal 165 HIR atau Pasal
285 RBg dan Pasal 1870 KUH Perdata, bahwa pembuktian dengan surat akta
BAB III
10
Rubini dan Chidir Ali, Pengantar Hukum Acara Perdata, (Bandung: Alumni, 1974), hal.86
11
Roihan Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, cet. ke-2, (Jakarta: Rajawali Pres, 1991)
14
PENUTUP
A. Kesimpulan
Peradilan Agama merupakan salah satu dari peradilan Negara yang sah di Indonesia,
bersifat khusus yang berwenang didalam jenis perkara perdata Islam tertentu, bagi orang-
orang Islam di Indonesia. Peradilan Agama mempunyai kewenangan dan kedudukan yang
sama dan sejajar dengan peradilan lain dalam tugasnya sebagai penyelenggara kekuasaan
B. Saran
Demikian makalah yang saya buat, semoga dapat bermanfaat, apabila ada saran atau
15
DAFTAR PUSTAKA
Ibid
Munir Fuady, Teori Hukum Pembuktian, (Bandung; PT Citra Aditya Bakti. 2006) Cet.hal.1
https://id.wikipedia.org/wiki/Hukum_pembuktian_Indonesia
Rubini dan Chidir Ali, Pengantar Hukum Acara Perdata, (Bandung: Alumni, 1974), hal.86
Roihan Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, cet. ke-2, (Jakarta: Rajawali Pres, 1991)
16