Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

KEKUATAN HUKUM PEMBUKTIAN DI PERADILAN AGAMA

DOSEN PENGAMPU:

DR. RAHMIDA ERLIYANI,S.H.,M.H.

DISUSUN OLEH:

HAIRATUNNISA

1810211120024

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT

BANJARMASIN

2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberi rahmat dan hidayah-Nya sehingga saya

dapat menyelesaikan makalah yang berjudul Pembuktian di Peradilan Agama ini tepat pada

waktunya.

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini untuk memenuhi tugas pengganti Ujian Tengah

Semester dari Ibu Dr. Rahmida Erliyani, S.H.,M.H. mata kuliah Hukum Acara Peradilan

Agama. Selain itu, makalah ini juga bertujuan menambah wawasan bagi para pembacanya

dan juga bagi penulis.

Saya mengucapkan terima kasih kepada ibu Dr. Rahmida Erliyani, S.H.,M.H. mata kuliah

Hukum Acara Peradilan Agama yang telah memberi tugas ini sehingga dapat menambah

pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi dengan studi yang ditekuni.

Saya menyadari, makalah yang saya tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu,

kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan makalah ini.

Amuntai, 17 November 2020

Hairatunnisa

2
DAFTAR ISI

JUDUL .............................................................................................................................. i

KATA PENGANTAR .................................................................................................... 2

DAFTAR ISI .................................................................................................................... 3

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ................................................................................... 4

B. Rumusan Masalah ............................................................................................ 7

C. Metode Penelitian ............................................................................................ 8

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Pembuktian dan Dasar Hukum Pembuktian ................................... 9

B. Hukum Pembuktian Materiil dan Hukum Pembuktian Formal ....................... 12

C. Hukum Pembuktian Pada Peradilan Agama .................................................... 12

D. Kekuatan Hukum Alat Bukti ........................................................................... 13

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan ..................................................................................................... 15

B. Saran ............................................................................................................... 15

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................... 16

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Peradilan Agama merupakan salah satu dari peradilan Negara yang sah di

Indonesia, bersifat khusus yang berwenang didalam jenis perkara perdata Islam

tertentu, bagi orang-orang Islam di Indonesia. Peradilan Agama mempunyai

kewenangan dan kedudukan yang sama dan sejajar dengan peradilan lain dalam

tugasnya sebagai penyelenggara kekuasaan kehakiman. Pengadilan dalam lingkungan

badan Peradilan Agama mempunyai wewenang untuk menerima, memeriksa, dan

mengadili serta menyelesaikan perkara-perkara perdata khusus orang-orang yang

beragama Islam.

Hukum acara yang berlaku dilingkungan peradilan agama adalah hukum acara

yang bersifat unifikasi, karena berdasarkan Pasal 54 Undang-undang Nomor 7 Tahun

1989 tentang Peradilan Agama menentukan:

Hukum acara yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan peradilan Agama

adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan

Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam Undang-undang ini.1

Tujuan suatu proses dimuka pengadilan adalah untuk mendapatkan penentuan

bagaimanakan hukum penentuan sesuatu kasus, yaitu bagaimanakah hubungan hukum

antara dua pihak yang berperkara sebenarnya dan seharusnya agar segala yang

ditetapkan di pengadilan itu terealisir dengan pelaksanaan eksekusi (paksa). Demikian

hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang diberikan oleh hukum materiil yang

diputuskan dan ditetapkan oleh pengadilan dapat diwujudkan.

1
Rahmida Erliyani, Hukum Pembuktian di Peradilan Agama cetakan ke-2, (Yogyakarta: K-Media, 2019) , hal.
2

4
Peradilan Agama dalam proses penegakan hukum dimasyarakat tidak terlepas

dari Hakim serta Advokat. Hakim dan Advokat merukapan dua elemen negara dan

masyarakat yang bergerak sebagai pratisi hukum. Profesi Hakim salah satu bagian

dari pratisi hukum yang sering kali digambarkan sebagai badan penegak hukum

sekaligus pemberi keadilan yang merupakan wujud perwakilan dari negara dalam

suatu sistem peradilan dalam negara hukum. Hal ini sedikit berbeda dengan profesi

advokat. Advokat juga profesi dibidang hukum yang mengemban tugas sebagai

penegak keadilan yang bertindak menjadi perantara serta berperan dalam mewakili

kepentingan masyarakat ketika berhadapan dengan Negara.

Dalam persidangan, seorang Advokat dapat bertindak sebagai kuasa hukum

yang mewakili, mendampingi, membela, serta melakukan tindakan hukum lain untuk

kepentingan kliennya, baik perorangan, badan hukum, atau lembaga lain yang

menerima jasa hukum dari Advokat. Dalam proses persidangan, seorang Advokat

bertindak sebagai pembela kepentingan para pihak yang berperkara dalam melakukan

tindakan pembelaan atau penuntutan suatu hak yang dinyatakan dalam pembuktian.

Pembuktian dalam ilmu hukum adalah suatu proses, baik dalam acara perdata

maupun pidana, dimana dengan menggunakan alat-alat bukti yang sah, dilakukan

dengan tindakan prosedur khusus, untuk mengetahui suatu fakta atau pernyataan,

khusus fakta atau pernyataan yang dipersengketakan dipengadilan, yang diajukan dan

dinyatakan oleh salah satu pihak dalam proses pengadilan itu benar atau tidak seperti

dinyatakan itu.2 Sedangkan hukum pembuktian diartikan sebagai seperangkat kaidah

hukum yang megatur tentang pembuktian.3 Pembuktian dalam suatu persidangan

merupakan suatu upaya para pihak untuk meyakinkan hakim kebenaran peristiwa atau

kejadian yang diajukan oleh para pihak-pihak yang bersengketa dalam persidangan

2
Ibid
3
Munir Fuady, Teori Hukum Pembuktian, (Bandung; PT Citra Aditya Bakti. 2006) Cet.hal.1

5
dipengadilan dengan alat-alat bukti yang ditentukan didalam peraturan perundang-

undangan.4 Dengan demikin, pembuktian menjadi bukti salah satu bagian yang

menduduki tempat dari beberapa meteri hukum acara perdata. Hal ini sebagaimana

diketahui bahwa hukum acara dan hukum formil bertujuan untuk memelihara dan

mempertahankan hukum materiil. Jadi secara formal hukum pembuktian itu mengatur

bagaimana cara melaksanakan pembuktian seperti terdapat didalam peraturan

perundang-undangan. Sedangkan secara materiil, hukum pembuktian mengatur

mengenai ketentuan dapat diterima atau tidak diterima pembuktian dengan alat-alat

bukti tertentu dipersidangan serta kekuatan pembuktian dari masing-masing alat bukti.

4
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di LingkunganPeradilan Agama, (Jakarta Putra Grafika,
2005) hal. 277

6
B. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian dan Dasar Hukum Pembuktian?

2. Apa yang dimaksud dengan Hukum Pembuktian Materiil dan Hukum Pembuktian

Formal?

3. Bagaimana Hukum Pembuktian Pada Peradilan Agama?

4. Bagaimana Kekuatan Hukum Alat Bukti?

7
C. Metode Penelitian

Penelitian hukum normatif tidak selalu berkonotasi sebagai penelitian norma

yuridis. Secara umum penelitian norma yuridisi dipahami hanya merupakan penelitian

hukum yang membatasi pada norma-norma yang ada di dalam peraturan perundang-

undangan. Sedangan penelitian hukum normatif lebih luas. Menurut Johnny Ibrahim,

penelitian hukum normative adalah suatu prosedur penelitian ilmiah untuk

menemupakan kebenaran berdasarkan logika keilmuan dari sisi normatifnya. Sisi

normatif disini tidak sebatas pada peraturan perundang-undangan saja. Hal tersebut

sebagaimana dikatakan oleh Peter Mahmud, penelitian hukum adalah penelitian

normatif namun bukan bukan hanya meneliti hukum positivis. Norma tidak hanya

diartikan sebagai hukum positif yaitu aturan yang dibuat oleh para politisi yang

memiliki kedudukan yang lebih tinggi sebagaimana dikemukakan oleh John Austin

atau pun aturan yang dibuat oleh penguasa sebagaimana dikemukakan oleh Hans

Kelsen. Berdasarkan pendapat tersebut penelitian hukum berupaya menemukan

kebenaran koherensi yaitu apakah aturan hukum sesuai dengan norma hukum dan

apakah norma hukum yang berisi mengenai kewajiban dan sanksi tersebut sesuai

dengan prinsip hukum apakah tindakan sesorang sesuai dengan norma hukum atau

prinsip hukum. Oleh karenanya norma juga diartikan sebagai pedoman perilaku.

8
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Pembuktian dan Dasar Hukum Pembuktian

Pembuktian (bewijs) bahasa Belanda dipergunakan dalam dua arti, adakalanya ia

diartikan sebagai perbuatan dengan mana diberikan suatu kepastian, adakalanya pula

sebagai akibat dari perbuatan tersebut yaitu terdapatnya suatu kepastian.

Pembuktian adalah perbuatan membuktikan. Membuktikan berarti  memberikan atau

memperlihatkan bukti, melakukan sesuatu kebenaran, melaksanakan, menandakan

menyaksikan dan meyakinkan.

Tujuan dan guna pembuktian bagi para pihak yang terlibat dalam proses pemeriksaan

persidangan adalah sebagai berikut :

1. Bagi Penuntut umum,Pembuktian adalah merupakan usaha untuk meyakinkan Hakim

yakni berdasarkan alat bukti yang ada,agar menyatakan seseorang terdakwa bersalah

sesuai surat atau cacatan dakwaan

2. Bagi terdakwa atau penasehat hukum, pembuktian merupakan usaha sebaliknya untuk

meyakinkan hakim  yakni berdasarkan alat bukti yang ada, agar menyatakan terdakwa

dibebaskan atau dilepas dari tuntutan hukum atau meringankan pidananya.Untuk itu

terdakwa atau penasehat hukum jika mungkin harus mengajukan alat alat bukti yang

menguntungkan atau meringankan pihaknya, Biasanya bukti tersebut disebut

kebalikannya.

3. Bagi Hakim atas dasar pembuktian tersebut yakni dengan adanya alat-alat bukti yang

ada dalam persidangan baik yang berasal dari penuntut umum atau penasehat

hukum/terdakwa dibuat dasar untuk membuat keputusan.

9
Membuktikan dalam arti yuridis tidak lain berarti memberikan dasar-dasar yang

cukup kepada hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan guna memberikan

kepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukan.5

Hukum pembuktian di Indonesia adalah serangkaian kaidah, aturan, dan tata cara

pelaksanaan pembuktian pada persidangan pidana, perdata, maupun tata usaha negara pada

pengadilan-pengadilan yang berwenang di Indonesia.6

Dasar hukum pembuktian, peraturan perundang-undangan Hukum Acara Perdata

yang ada dan berlaku sampai saat ini tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan,

baik peraturan perundang-undangan peninggalan pemerintah Hindia Belanda maupun

peraturan perundang-undangan produk Negara Kesatuan Republik Indonesia yaitu antara lain

terdapat dalam:

1. Het Herziene Indonesisch Reglemen (HIR);

2. Het Rechtsregkement voor de Burgelijke (RBg);

3. Reglement op de Burgerlijk Rechtvordering voor Europeanen (RV);

4. Buku IV Burgerlijke Wetboek (BW) tentang pembuktian dan daluwarsa;

5. Reglement op het houden der Registers van den Burgerlijke stand voor Europeanen;

6. Reglement Burgerlijke Stand Christen Indonesisch;

7. Reglement op het houden der Register van den Burgerlijke stand voor de Chineeezen;

8. Undang-undang nomor 20 Tahun 1947 Tentang Peradilan Ulang di Jawa dan Madura;

9. Undang-undang nomor 1 Tahun 1947 Tentang Perkawinan;

5
Rahmida Erliyani, Hukum Pembuktian di Peradilan Agama cetakan ke-2, (Yogyakarta: K-Media, 2019) , hal.
16
6
https://id.wikipedia.org/wiki/Hukum_pembuktian_Indonesia

10
10. Undang-undang nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah

diubah dengan Undang-undang nomor 5 Tahun 2004 dan terakhir Undang-undang

nomor 3 Tahun 2009;

11. Undang-undang nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum sebagaimana telah

diubah dengan Undang-undang nomor 8 Tahun 2004 dan terkhir Undang-undang

nomor 49 Tahun 2009;

12. Undang-undang nomor 14 Tahun 1970 tentang kekuasaan kehakiman sebagaimana

telah diubah dengan Undang-undang nomor 4 Tahun 2004 dan terakhir Undang-

undang nomor 48 Tahun 2009.

Ketentuan pembuktian untuk acara perdata diatur dalam ketentuan hukum acara

perdata yang selama ini tersebar didalam berbagai peraturan hukum, berbeda dengan

hukum pembuktian perkara pidana yang secara umumnya sudah diatur dalam sebuah

kitan undang-undang yakni dalam KUHAP (UU No. 8 Tahun 1981), selain secara khusus

diatur dalam UU untuk berbagai tindak pidana khusus.

Hukum pembuktian perkara perdata diatur dalam HIR dan RBg juga dalam RV dan

dalam BW (KUHPerdata). Untuk lingkungan peradilan agama diatur dalam UU No.7

Tahun 1989 yang diperbaharui dengan UU No. 3 Tahun 2006 dan revisi kedua UU No.50

Tahun 2009. Namun sepanjang tidak diatur dalam UU tersebut maka hukum acara nya

mengacu pada ketentuan peraturan hukum acara yang berlaku secara umum.7

7
Rahmida Erliyani, Hukum Pembuktian di Peradilan Agama cetakan ke-2, (Yogyakarta: K-Media, 2019) , hal.
22-23

11
B. Hukum Pembuktian Materiil dan Hukum Pembuktian Formal

Hukum pembuktian materiil mengatur tentang dapat atau tidak diterimanya alat-alat

bukti tertentu di persidangan serta mengatur tentang kekuatan pembuktian suatu alat

bukti. Sedangkan hukum pembuktian formil mengatur tentang cara menerapkan alat

bukti. al-hal yang harus dibuktikan oleh pihak yang berperkara adalah peristiwanya atau

kejadian-kejadian yang menjadi pokok sengketa, bukan hukumnya, sebab yang

menentukan hukumnya adalah Hakim. Dari peristiwa yang harus dibuktikan adalah

kebenarannya, kebenaran yang harus dicari dalam hukum acara perdata adalah kebenaran

formil, sedangkan dalam hukum acara pidana adalah kebenaran materiil. Upaya mencari

kebenaran formil, berarti hakim hanya mengabulkan apa yang digugat serta dilarang

mengabulkan lebih dari yang dimintakan dalam petitum (vide-pasal 178 HIR/189 ayat (3)

RBG). Hakim hanya cukup membuktikan dengan memutus berdasarkan bukti yang

cukup. Dalam memeriksa suatu perkara perdata hakim setidaknya harus melakukan tiga

tindakan secara bertahap yakni mengkonstantir yakni melihat benar tidaknya peristiwa

yang diajukan sebagai dasar gugatan, mengkualifisir peristiwa, mengkonstituir yakni

memberi hukumnya.

C. Hukum Pembuktian Pada Peradilan Agama

Hukum Acara Peradilan Agama adalah rangkaian peraturan-peraturan yang memuat

cara bagaimanakah orang harus bertindak dimuka pengadilan yang terdiri dari cara

mengajukan tuntutan dan mempertahankan hak, cara bagaimana pengadilan harus

bertindak untuk memeriksa serta memutus perkara dan cara bagaimana melaksanakan

putusan tersebut di Lingkungan Peradilan Agama. Sedangkan Hukum Pembuktian adalah

seperangkat kaidah hukum yang mengatur mengenai pembuktian, yakni sebagai suatu

proses untuk membuktikan suatu hubungan hukum atau peristiwa hukum atau peristiwa

12
hukum dengan menggunakan alat-alat bukti yang yang sah menurut hukum. Proses

pembuktian ini dilakukan dengan berbagai tindakan sebagai bagian dari prosedur

pemeriksaan perkara. Berbagai tindakan itu bertujuan untuk mengetahui fakta-fakta

yuridis didalam persidangan pada suatu perkara.8

Proses permbuktian perkara menempuh berbagai tindakan diantaranya tindakan para

pihak untuk saling membuktikan dalil-dalil mereka dengan cara mengajukan berbagai

bukti yang sah menurut hukum dan alat bukti yang mempunyai nilai pembuktian untuk

perkara tersebut guna menguatkan dalil-dalil para pihak yang berperkara. Setelah para

pihak diberikan beban pembuktian dan mereka menggunakan hak-hak mereka untuk

mengajukan alat bukti, maka hakim yang memeriksa perkara yang akan menilai kekuatan

pembuktian dari macam-macam alat bukti tersebut, kemudian hakim memberikan

putusan.

Sebagai pedoman, dijelaskan oleh pasal 1865 BW, bahwa: “Barang siapa

mengajukan peristiwa-peristiwa atas anma dia mendasarkan suatu hak, diwajibkan

membuktikan peristiwa-peristiwa itu; sebaliknya barang siapa yang mengajukan

peristiwa-peristiwa guna membantah hak orang lain, diwajibkan juga membuktikan

peristiwa-peristiwa itu.”9

D. Kekuatan Hukum Alat Bukti

Kekuatan hukum alat bukti ada beberapa teori:

1. Teori vrijbewijs, teori ini memberikan kebebasan kepada hakim untuk menilai alat

bukti.

8
Rahmida Erliyani, Hukum Pembuktian di Peradilan Agama cetakan ke-2, (Yogyakarta: K-Media, 2019) , hal.
20
9
Rahmida Erliyani, Hukum Pembuktian di Peradilan Agama cetakan ke-2, (Yogyakarta: K-Media, 2019) , hal.
21

13
2. Teori verplichtbewijs, teori ini menyatakan bahwa hakim terikat oleh alat-alat

bukti.10

Sudikno Mertokusumo dalam Rasyid11, tentang soal penilaian pembuktian

mengemukakan pendapatnya sebagai berikut: “pada umumnya, sepanjang UU tidak

mengatur sebaliknya, hakim bebas untuk menilai pembuktian”. Berhubung hakim

dalam menilai pembuktian dapat bertindak bebas atau diikat oleh UU maka tentang

hal tersebut timbul tiga teori, yakni:

1. Teori pembuktian bebas, Teori ini menghendaki seorang hakim bebas dalam

menilai alat bukti yang diajukan. Misalnya untuk menilai keterangan saksi, hakim

bebas untuk menilainya sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 172 HIR atau

Pasal 308 RBg dan 1908 KUH Perdata.

2. Teori pembuktian negatif, dalam menilai pembuktian harus ada

ketentuanketentuan bersifat negatif yang mengikat dan membatasi hakim dan

melarang hakim untuk melakukan sesuatu yang berhubungan dengan pembuktian.

Misalnya ketentuan Pasal 169 HIR atau Pasal 306 RBg dan 1906 KUH Perdata

bahwa keterangan seorang saksi saja tidak boleh dipercaya oleh hakim (unus testis

nullus testis).

3. Teori pembuktian positif, disamping adanya larangan bagi hakim, juga

mengharuskan adanya perintah kepada seorang hakim untuk tidak menilai lain

selain apa yang dikemukakan pihak. Misalnya ketentuan Pasal 165 HIR atau Pasal

285 RBg dan Pasal 1870 KUH Perdata, bahwa pembuktian dengan surat akta

otentik dianggap bukti yang sempurna yang harus diterima.

BAB III
10
Rubini dan Chidir Ali, Pengantar Hukum Acara Perdata, (Bandung: Alumni, 1974), hal.86
11
Roihan Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, cet. ke-2, (Jakarta: Rajawali Pres, 1991)

14
PENUTUP

A. Kesimpulan

Peradilan Agama merupakan salah satu dari peradilan Negara yang sah di Indonesia,

bersifat khusus yang berwenang didalam jenis perkara perdata Islam tertentu, bagi orang-

orang Islam di Indonesia. Peradilan Agama mempunyai kewenangan dan kedudukan yang

sama dan sejajar dengan peradilan lain dalam tugasnya sebagai penyelenggara kekuasaan

kehakiman. Pengadilan dalam lingkungan badan Peradilan Agama mempunyai wewenang

untuk menerima, memeriksa, dan mengadili serta menyelesaikan perkara-perkara perdata

khusus orang-orang yang beragama Islam.

B. Saran

Demikian makalah yang saya buat, semoga dapat bermanfaat, apabila ada saran atau

kritik yang ingin disampaikan, silahkan sampaikan kepada saya.

Apabila terdapat kesalahan mohon dimaafkan dan memakluminya, karena

kesempurnaan hanya milik Allah SWT.

15
DAFTAR PUSTAKA

Rahmida Erliyani, Hukum Pembuktian di Peradilan Agama cetakan ke-2, (Yogyakarta: K-

Media, 2019) , hal. 2

Ibid

Munir Fuady, Teori Hukum Pembuktian, (Bandung; PT Citra Aditya Bakti. 2006) Cet.hal.1

Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di LingkunganPeradilan Agama, (Jakarta

Putra Grafika, 2005) hal. 277

Rahmida Erliyani, Hukum Pembuktian di Peradilan Agama cetakan ke-2, (Yogyakarta: K-

Media, 2019) , hal. 16

https://id.wikipedia.org/wiki/Hukum_pembuktian_Indonesia

Rahmida Erliyani, Hukum Pembuktian di Peradilan Agama cetakan ke-2, (Yogyakarta: K-

Media, 2019) , hal. 22-23

Rahmida Erliyani, Hukum Pembuktian di Peradilan Agama cetakan ke-2, (Yogyakarta: K-

Media, 2019) , hal. 20

Rahmida Erliyani, Hukum Pembuktian di Peradilan Agama cetakan ke-2, (Yogyakarta: K-

Media, 2019) , hal. 21

Rubini dan Chidir Ali, Pengantar Hukum Acara Perdata, (Bandung: Alumni, 1974), hal.86

Roihan Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, cet. ke-2, (Jakarta: Rajawali Pres, 1991)

16

Anda mungkin juga menyukai