Anda di halaman 1dari 3

Setelah Peneliti menyadari betapa sukarnya melihat efek media massa pada orang, para peneliti

sekarang memperhatikan apa yang dilakukan orang terhadap media. Ada yang dinamakan dengan
pendekatan “uses and gratification”. Pendekatan ini pertama kali dinyatakan oleh Elihu Katz(1959)
sebagai reaksi terhadap Bernard Berelson yang menyatakan bahwa penelitian komunikasi mengenai
efek media masa sudah mati. Yang mulai hidup adalah penelititan tentang usaha untuk menjawab
pertanyaan : “What do people do with the media?” Karena penggunaan media adalah salah satu cara
untuk memperoleh pemenuhan kebutuhan, maka efek media sekarang didefinisikan sebagai situasi
ketika pemuasan kebutuhan tercapai. Model Uses and gratification boleh disebut sebagai model efek
moderat sebagai bandingan terhadap model efek terbatas dari Klapper. Model lain yang termasuk
model efek moderat adalah pendekatan agenda setting yang dikembangkan oleh Maxwell. E. McComb
dan Donald L.Shaw. Model agenda setting tampaknya memperbaharui kembali penelitian efek, yang
diabaikan oleh model uses and gratification. Perbedaannya yang utama dari model jarum hypodermis
adalah focus penelitian.Bila model yang disebut terakhir meletakkan perhatian pada efek media massa
terhadap sikap dan pendapat, agenda setting memusatkan perhatian pada efek media massa terhadap
pengetahuan. Dengan perkataan lain, fokuus perhatian bergeser dari efek afektif ke efek kognitif.
Menurut teori ini, media massa memang tidak dapat mempengaruhi orang untuk mengubah
sikap, tetapi media massa cukup berpengaruh terhadap apa yang dipikirkan orang. Contoh bila surat
kabar memuat acara besar-besaran pernikahan seorang ratu, maka pernikahan itu akan cenderung
dianggap tokoh yang penting. Bila televisi sering menampilkan adegan kekerasan, orang yang rajin
menontonnya akan menganggap dunia ini penuh dengan tindakan-tindakan kejahatan. Mungkin ucapan
Bernard Cohen, ahli ilmu politik, berhasil menyimpulkan mode agenda setting dengan dua kalimat
sebagai berikut : “It may not be successful much of the time in telling people what to think but it is
stunningly successful in telling its readers what to think about.”
Mendelsonn(1973) menunjukkan bagaimana kampanye CRS perihal keselamatan pengemudi
telah mendorong 35 ribu pemirsa mendaftarkan diri pada Kurusu latihan mengemudi. Di jerman,
Elisabeth Noelle-Neumann dapat dianggap sebagai sarjana yang menkankan pentingnya kembali kepada
konsep efek perkasa dari media massa. Menurut mereka penelitian terdahulu tidak sama dalam
membatasi persepsi yang selektif. Ketiga factor itu adalah Uhiquity, kumulasi pesan, dan keseragaman
wartawan.
Uhiquity artinya serba ada. Media massa mampu mendominasi lingkungan informasi dan berada
dimana mana. Karena sifatnya yang serba ada, agak sulit orang menghandiri pesan media massa.
Sementara itu,pesan-pesan media massa bersifat kumulatif. Berbagai pesan yang sepotong-sepotong
bergabung menjadi satu kesatuan setelah lewat waktu tertentu. Perulangan pesan yang berkali-kali dpat
memperkokoh media massa. Dampak ini diperkuat dengan keseragaman para wartawan. Siaran berita
cenderung sama, sehingga akhirnya tidak mempunyai alternative yang lain, sehingga mereka
membentuk persepsinya berdasarkan informasi yang diterimanya dari media massa.
Pada abad ini terjadi revolusi komunikasi. Ada yang menyebutnya bahkan “ledakan komunikasi”
(the communication explosion). Sekarang makin disadari-tanpa harus mengulangi kembali hipotesis
Tuffler tentang kaitan antara infosphere-sociosphere-psychosphere – teknologi komunikasi yang baru
tengah membentuk dan mengubah cara hidup kita.
Secara singkat kita telah melacak perkembangan penelitian efek komunikasi dari periode Perang
Dunia 1 Sampai sekarang—suatu pesiar dalam kapsul waktu yang berlansung kira kira hampir setengah
abad. Setengah abad memang tidak berarti apa apa daam sejarah peradaban manusia. Namun pada 50
tahun terakhir, dalam dunia komunikasi terjadi kemajuan komunikasi yang jauh lebih cepat daripada apa
yang terjadi selama puluhan ribu tahun sebelumnya. Mungkin orang memandang pesimistis pada
kebebasan manusia pada abad technetronic (teknologi elektronis) yang akan datang. Tetapi--- seperti
telah kita katakana pada bagian terdahulu --- manusia bukanlah robot yang pasif yang dikontrol
lingkungan. Setiap manusia mempunyai cara yang unik untuk mengalami lingkungan secara
fenomenologis. Karena itu, sebelum kita mengulas efek media massa, kita akan membicarakan dulu
factor-faktor yang mempengaruhi reaksi khalayak pada media massa.

FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI REAKSI KHALAYAK PADA KOMUNIKASI MASA

Seperti diuraikan di atas, model jarum hypodermis menunjukkan kekuatan media massa yang perkasa
untuk mengarahkan dan membentuk perilaku khalayak. Dalam kerangkan behaviorisme, media massa
adalah factor lingkungan yang mengubah perilaku khalayak melalui proses pelaziman klasik, pelaziman
operan, atau proses imitasi (belajar social). Khalayak sendiri dianggap sebagai kepalakosong yang siap
untuk menampung seluruh pesan komunikasi yang dicurahkan kepadanya. Pesan komunikasi dianggap
sebagai “benda” yang dilihat sama baik oleh komunikator maupun komunikate. Bila saya memberikan
buku pada anda, Anda akan menerima buku itu persis seperti yang saya berikan; bentuk buku itu tidak
berubah. Seperti itu jugalah pesan komunikasi. “Model peluru” mengasumsikan semua orang
memberikan reaksi yang sama terhadap pesan. Ini mirip dengan percobaan-percobaan kaum behavioris.
Bila setiap saat sesudah anda mendengar suara Ebiet, Anda menerima makanan yang enak : lama-
kelamaan suara Ebiet akan menitikkan air liur anda, tidak peduli apakah Anda tukang becak, gubernur,
sarjana, atau … seekor anjing.
Realitas tidaklah sesederhana dunia kaum behavioris. Efek lingkungan berlainan pada orang
yang berbeda. Munculnya psikologi kognitif yang memandang manusia sebagai organism yang aktif
mengorganisasikan stimuli, perkembangan teori kepribadian, dan meluasnya penelitian sikap(konsep
yang ditemukan oleh W.I. Thomas dan Florian Znaniecki) mengubah potret khalayak. W. Phillips Davison
menulis, “Khalayak bukanlah penerima yang pasif – tidak dapat dianggap sebagai sebongkah tanah liat
yang dapat dibentuk oleh jago propaganda. Khalayak terdiri dari individu-individu yang menuntut
sesuatu dari komunikasi yang menerpa mereka. Dengan kata lain, mereka harus memperoleh sesuatu
dari manipulator jika manipulator itu ingin memperoleh sesuatu dari mereka. Terjadilah tawar
menawar… Khalayak dapat membuat proses tawar-menawar berat”
Raymond A. Bauer juga mengkritik potret khalayak sebagai robot yang pasif. Ia bahkwan
menyebut khalayak yang kepala batu, yang baru mengikuti pesan bila pesan itu menguntungkan
mereka. Komunikasi tidak lagi bersifat linier (dengan peranan komunikator yang dominan), tetapi
merupakan transaksi. “each gives in order to get.” Kata Bauer. Media massa memang berpengaruh,
tetapi pengaruh ini disaring, diseleksi, bahkan mungkin ditolak sesuai dengan factor-faktor personal
yang memperngaruhi reaksi mereka. Adegan kekerasan dalam televise dapat mengilhami seorang yang
sedang dongkol untuk menyerang musuhnya tetapi adegan yang sama menimbulka semangat polisi
untuk membekuk penjahat; untuk kebanyakan orang, adengan kekerasan itu hanya dilihat sebagai
hiburan saja—tidak lebih! Kita akan melihat factor-faktor yang berpengaruh pada reaksi khalayak ini
dengan mengulas secara sepintas penjelasan Melvin DeFleur dan Sandra Ball-Rokeach tentang teori-
teori komunikasi dan pendekatan motivasional dari model uses and gratification.

Anda mungkin juga menyukai