Anda di halaman 1dari 6

1.

Pendahuluan
1.1. Sejarah pembentukan
Pembentukan lembaga pengawas peradilan sebenarnya sempat
digagas sebelum terbentuknya Komisi Yudisial. Contohnya, Majelis
Pertimbangan Penelitian Hakim (MPPH) dan Dewan Kehormatan
Hakim (DKH).
MPPH diwacanakan tahun 1968 dengan fungsi memberi
pertimbangan dan mengambil keputusan terakhir mengenai saran-saran
dan atau usul-usul yang berkenaan dengan pengangkatan, promosi,
kepindahan, pemberhentian, dan tindakan atau hukuman jabatan para
hakim yang diajukan oleh MA ataupun Kementerian Kehakiman.
Namun, ide tersebut gagal dan tidak berhasil menjadi materi muatan
UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman.
DKH tetuang dalam UU No. 35 Tahun 1999 dengan wewenang
mengawasi perilaku hakim, memberikan rekomendasi mengenai
perekrutan, promosi dan mutasi hakim, dan menyusun kode etik bagi
para hakim.
Pada amandemen UUD 1945 yang ketiga tahun 2001, disepakati
pembentukan Komisi Yudisial yang diatur dalam Pasal 24E UUD
1945 dengan dasar keprihatinan mendalam mengenai konsisi wajah
peradilan yang muram dan keadilan di Indonesia yang tak kunjung
tegak.
KY dibentuk dengan 2 wewenang konstitutif yaitu mengusulkan
pengangkatan hakim agung dn mempunyai wewenang lain dalam
rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran, martabat
serta perilaku hakim. Untuk mengoperasionalkan KY, maka dibentuk
UU No 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial yang sahkan tanggal
13 Agustus 2004 di Jakarta.
Meskipun sudah terdapat UU tentang KY, namun kiprah KY
dimulai tanggal 2 Agustu 2005 dengan pengucapan sumpah tujuh
Anggo Komisi Yudisial periode 2005-2010 di hadapan Presiden saat
itu.
1.2. Tujuan Pembentukan
Tujuan Pembentukan KY adalah:
a) Mendukung terwujudnya kekuasaan kehakiman yang mandiri 
untuk menegakkan hukum dan keadilan.
b) Meningkatkan integritas, kapasitas, dan profesionalitas hakim
sesuai dengan kode etik dan pedoman perilaku hakim dalam
menjalankan kewenangan dan tugasnya.
Namun menurut A. Ahsin Thohari dalam bukunya Komisi Yudisial &
Reformasi Peradilan, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), KY
muncul karena:
a) Lemahnya pengawasan secara intensif terhadap kekuasaan
kehakiman, karena pengawasan hanya dilakukan secara internal
saja.
b) Tidak adanya lembaga yang menjadi penghubung antara
kekuasaan pemerintah (executive power) –dalam hal ini
Departemen Kehakiman– dan kekuasaan kehakiman(judicial
power).
c) Kekuasaan kehakiman dianggap tidak mempunyai efisiensi dan
efektivitas yang memadai dalam menjalankan tugasnya apabila
masih disibukkan dengan persoalanpersoalan teknis non-hukum.
d) Tidak adanya konsistensi putusan lembaga peradilan, karena
setiap putusan kurang memperoleh penilaian dan pengawasan
yang ketat dari sebuah lembaga khusus.
e) Pola rekruitmen hakim selama ini dianggap terlalu bias dengan
masalah politik, karena lembaga yang mengusulkan dan
merekrutnya adalah lembaga-lembaga politik, yaitu presiden atau
parlemen.
Sedangkan tujuan pembentukan Komisi Yudisial menurut A. Ahsin
Thohari adalah:
a) Melakukan monitoring yang intensif terhadap lembaga peradilan
dengan cara melibatkan unsur-unsur masyarakat dalam spektrum
yang seluas-luasnya dan bukan hanya monitoring secara internal
saja. Monitoring secara internal dikhawatirkanmenimbulkan
semangat korps (l’esprit de corps), sehingga objektivitasnya
sangat diragukan.
b) Menjadi perantara (mediator) antara lembaga peradilan dengan
Departemen Kehakiman. Dengan demikian, lembaga peradilan
tidak perlu lagi mengurus persoalan-persoalan teknis non-hukum,
karena semuanya telah ditangani oleh Komisi Yudisial.
Sebelumnya, lembaga peradilan harus melakukan sendiri
hubungan tersebut, sehingga hal ini mengakibatkan adanya
hubungan pertanggungjawaban dari lembaga peradilan kepada
Departemen Kehakiman. Hubungan pertanggungjawaban ini
menempatkan lembaga peradilan sebagai subordinasi Departemen
Kehakiman yang membahayakan independensinya.
c) Meningkatkan efisiensi dan efektivitas lembaga peradilan dalam
banyak aspek, karena tidak lagi disibukkan dengan hal-hal yang
tidak berkaitan langsung dengan aspek hukum seperti rekruitmen
dan monitoring hakim serta pengelolaan keuangan lembaga
peradilan. Dengan demikian, lembaga peradilan dapat lebih
berkonsentrasi untuk meningkatkan kemampuan
intelektualitasnya yang diperlukan untuk memutus suatu perkara.
d) Menjaga kualitas dan konsistensi putusan lembaga peradilan,
karena senantiasa diawasi secara intensif oleh lembaga yang
benar-benar independen. Di sini diharapkan inkonsistensi putusan
lembaga peradilan tidak terjadi lagi, karena setiap putusan akan
memperoleh penilaian dan pengawasan yang ketat dari Komisi
Yudisial. Dengan demikian, putusan-putusan yang dianggap
kontroversial dan mencederai rasa keadilan masyarakat dapat
diminimalisasi kalau bukan dieliminasi.
e) Meminimalisasi terjadinya politisasi terhadap rekruitmen hakim,
karena lembaga yang mengusulkan adalah lembaga hukum yang
bersifat mandiri dan bebas dari pengaruh kekuasaan lain, bukan
lembaga politik lagi, sehingga diidealkan kepentingan-
kepentingan politik tidak lagi ikut menentukan rekrutmen hakim
yang ada.

2. Latar Belakang
2.1. Dasar Hukum Dibentuknya Komisi Yudisial
a) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
a. Pasal 24A ayat (3):
Calon hakim agung diusulkan Komisi Yudisial kepada Dewan
Perwakilan Rakyat untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya
ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden.
b. Pasal 24B:
(1) Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan
pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam
rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran
martabat,serta perilaku hakim.
(2) Anggota Komisi Yudisial harus mempunyai pengetahuan dan
pengalaman di bidang hukum serta memiliki integritas dan
kepribadian yang tidak tercela.
(3) Anggota Komisi Yudisial diangkat dan diberhentikan oleh
Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
(4) Susunan, kedudukan, dan keanggotaan Komisi Yudisial diatur
dengan undang-undang. 
b) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial.
c) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2009 Tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985
Tentang Mahkamah Agung.
d) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009
Tentang Kekuasaan Hakim.
e) Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua
Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan
Umum.
f) Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua
Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama.
g) Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua
Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1985 tentang Peradilan Tata
Usaha Negara.
h) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial.
2.2. Tujuan
a) Melakukan Pendaftaran Calon Hakim Agung
Dalam melakukan pendaftaran calon hakim agung, keterlibatan
perguruan tinggi juga sangat diperlukan begitu pula organisasi
dalam masyarakat. Ini diperlukan untuk memberikan info terhadap
calon hakim agung juga bertujuan mengurangi dampak
ketimpangan social dalamIni diperlukan untuk memberikan info
terhadap calon hakim agung juga bertujuan mengurangi dampak
ketimpangan social dalam masyarakat dan pemerintah dalam
menetapkan hakim agung.
Dasarnya adalah Pasal 17 ayat 3 UU No. 22 tahun 2004.
b) Melakukan Seleksi Terhadap Calon Hakim Agung
Panitia seleksi haru memenuhi beberapa prinsip prosedur seleksi
yaitu:
a. Transparan
Kriteria dan proses seleksi haru terbuka.
b. Akuntabel
Panitia seleksi harus metode dan teksni seleksi yang bisa
dipertanggungjawabkan.
c. Fair dan Bersih
Semua kadidat harus melewati semua proses yang sama dan
mendapatkan perlakuan baik dlam memenuhi syarat
administrasi ataupun pada tahap memenuhi persyaratan
yang lain.
c) Menetapkan Calon Hakim Agung
Setelah seleksi, KY menetapkan dan mengajukan tiga orang nama
calon Hakim Agung kepada DPR. Penetapan calon Hakim Agung
dilakukan dengan pengambilan keputusan oleh KY dengan
Musyawarah untuk Mencapai mufakat dengan dihadiri oleh
seluruh anggota KY dalam rapat pleno.
d) Mengajukan Calon Hakim Agung kepada DPR
KY mengajukan tiga orang nama dari calon hakim agung kepada
DPR untuk setiap satu lowongan setiap Hakim Agung dengan
tembusan disampaikan kepada Presiden. DPR akan melakukan
proses fit and propert test untuk memilih dan menetapkan Hakim
Agung terpilih. Proses ini paling lama tiga puluh hari sejak nama
diserahkan oleh KY. Setelah terpilih Presiden akan mengangkat
paling lama empat belas hari sejak nama calon diajukan ke DPR.
e) Melakukan Pengawasan Terhadap Perilaku Hakim
Dalam aspek profesionalitas tugas hakim dalam menjalankan
tugasnya juga akan diawasi KY. Sesuai dalam UU No. 18 tahun
2011 maka pemantauan berdasarkan:
a. Mengenai tugas dan fungsi hakim agung.
b. Menenerima laporan masyarakat berkaitan dengan
pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim.
c. Melakukan verifikasi klasifikasi dan investigasi terhadap
laporan dugaan pelanggaran kode etik dan atau pedoman
perilaku hakim secara tertutup dimana hal ini bertujuan untuk
mengurangi penyebab terjadinya tindakan penyalahgunaan
kewenangan.
d. Memutuskan benar tidaknya laporan dugaan pelanggaran
kode etik danatau pedoman perilaku hakim.
e. Mengambil langkah hukum dan atau langkah lain terhadap
orang perseorangan, kelompok orang atau badan huku yang
merendahkan kehormatan dan keluhuran martabat hakim.
2.3. Wewenang
Sesuai Pasal 13 UU No 18 Tahun 2011, KY mempunyai wewenang:
a. Mengusulkan pengangkatan hakim agung dan hakim ad hoc di MA
kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan
b. Menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta
perilaku hakim
c. Menetapkan kode etik dan atau pedoman perilaku hakim (KEPPH)
bersama-sama dengan MA
d. Menjaga dan menegakkan pelaksanaan kode etik dan atau
pedoman perilaku hakim (KEPPH)

Anda mungkin juga menyukai