Sekarang ini, semua orang berlomba-lomba untuk menemukan sebuah tenaga alternative dalam hal pemanfaatan
energi. Indonesia adalah Negara tropis yang hanya memiliki dua musim, yaitu musim hujan dan musim kemarau.
Pada musim kemarau terjadi peningkatan suhu, Dengan adanya pemanasan global mengakibatkan peningkatan
suhu di daerah tropis meningkat pesat. Untuk mengatasi peningkatan suhu tersebut, maka biasanya masyarakat
menggunakan AC (air conditioner) dan kipas angin untuk mendinginkan ruangan, karena AC dan kipas angin
membutuhkan energy lebih, sehingga dalam hal pendinginan ruangan hanya memanfaatkan energi di sekitarkita,
seperti dengan menggunakan metode system perpindahan panas pada lapisan tanah atau earth air heat exchanger
(EAHE).
Sistem perpindahan panas pada lapisan tanah adalah proses pendinginan udara yang menggunakan media
tanah sebagai penyerap panasnya. Udara disalurkan melalui pipa yang ditanam dalam tanah berubah menjadi
dingin karena panas dalam udara akan diabsorbsi oleh tanah, hal ini terjadi karena perbedaan suhu antara tanah
dan udara yang mengalir dalam pipa. Pemanfaatan metode system perpindahan panas pada lapisan tanah ini,
mengurangi penggunaan energi yang mana energi yang kita gunakan sehari – hari berasal dari bahan bakar fosil
yang jumlahnya makin hari semakin berkurang.
Upaya pengembangan metode sistem perpindahan panas pada lapisan tanah ini selain untuk pendinginan
ruangan yang berbiaya murah juga diharapkan dapat memperbaiki lingkungan dengan mengurangi kadar
CFC(Chloro-Fluoro-Carbon) dalam udara yang banyak digunakan mesin-mesin pendingin ruangan seperti AC
(air conditioner).
Penelitian ini dilakukan bertujuan untuk mengetahui temperature dan pengaruh kecepatan fluida terhadap
penurunan pada suhu keluar (Tout) pipa tanam yakni, yang terjadi secara eksperimen dan teoritis. Kemudian,
setelah menghitung dan membandingkan nilai efektivitas (𝜀) dari alat penukar kalor udara tanah hasil eksperimen
dan teoritis, termasuk mengetahui nilai COP (Coeficient of Performance) pada pipa tanam bawah tanah.
Penelitian ini difokuskan kepada beberapa hal agar hasil yang dicapai sesuai dengan maksud dan tujuan
penelitian. Pertama, sistem perpindahan panas pada lapisan tanah menggunakan siklus terbuka. Kedua, aliran
fluida diasumsikan turbulen. Ketiga, temperatur dalam pipa dianggap seragam dalam sumbu aksial, dan Keempat,
fluida penghantar panas yang digunakan adalah udara.
Jika dimensi dari sebuah sistem EAHE diketahui, perhitungan laju perpindahan panas dapat dihitung
menggunakan metode log mean temperature difference (LMTD) atau menggunakan metode bilangan NTU.
Dalam penelitian ini menggunakan metode e-NTU. Temperatur udara keluar ditentukan menggunakan rumus
keefektivitasan dari EAHE yang merupakan fungsi unit bilangan transfer (NTU). Nilai NTU terdiri dari tiga
parameter,yaitu : koefisien perpindahan panas konveksi (h), luas penampang dalam pipa (A), laju aliran massa
(ṁ) yang nilainya bervariasi.
Luas penampang bagian dalam pipa adalah fungsi dari diameter, D, dan panjang pipa dari alat penukar kalor
udara-tanah, rumusnya adalah sebagai berikut:
𝐴 = 𝜋𝐷𝐿 (4)
Koefisien perpindahan panas konveksi didalam pipa ditentukan dengan rumus :
ℎ= (5)
Sebuah sistem EAHE dapat diasumsikan bahwa permukaan dalam pipa yang digunakan dalam EAHE adalah
halus, hubungan bilangan Nu diberikan oleh De and Janssens (2003) dapat digunakan untuk mensimulasikan
performansi dari system, dengan menggunakan rumus:
/ ( )
𝑁𝑢 = (6)
. ( ⁄ )( )
Untuk aliran turbulen dengan bilangan Reynold 2300 < Re < 5 x 10-6 dan permukaan halus maka digunakan
persamaan berikut untuk menghitung koefisien gesek :
𝑓 = (1.82𝑙𝑜𝑔𝑅𝑒 − 1.64)-2 (7)
Sementara itu, bilangan Reynold berhubungan dengan rata-rata kecepatan udara dan diameter menggunakan
rumus :
𝑅𝑒 = (8)
µ
Total perpindahan panas dari udara ketika mengalir didalam pipa ditentukan melalui :
𝑄 = ṁ𝐶 (𝑇 −𝑇 ) (9)
Apabila disebabkan oleh konveksi antara aliran udara dengan dinding pipa, maka perpindahan panas dapat
ditentukan :
𝑄 = ℎ𝐴∆𝑇 (10)
dimana ∆𝑇 adalah logaritma dari perbedaan temperatur rata-rata, didapat melalui (𝑇 =𝑇 ):
∆𝑇 = (11)
Temperatur udara pada sisi keluar pipa sistem penukar kalor tanah-udara (𝑇 ) dapat ditentukan dalam bentuk
fungsi eksponensial dari temperatur dinding pipa (𝑇 )dan temperatur pada sisi masuk (𝑇 ) dengan
mengeliminasi 𝑄 dari pers. (4) dan (5).
𝑇 =𝑇 + (𝑇 − 𝑇 )𝑒 ṁ (12)
Jika dimisalkan pipa memiliki panjang yang tak terhingga (A = ∞), maka udara akan didinginkan serupa
dengan temperatur dinding dalam pipa. Maka rumus keefektivitasan dari alat penukar kalor udara-tanah adalah :
Ɛ= =1−𝑒 ṁ (13)
𝑁𝑇𝑈 = (14)
ṁ
sehingga
Ɛ= 1−𝑒 (15)
Keefektivitasan dari sebuah alat penukar kalor udara tanah ditentukan dengan bilangan NTU. Dengan
meningkatnya nilai NTU, maka nilai keefektivitasan akan semakin meningkat namun kurvanya akan semakin
rata. Pertambahan nilai keefektivitasan akan semakin kecil apabila nilai NTU lebih besar dari 3.
Koefisien performansi atau sering disingkat COP adalah rasio antara kapasitas pendinginan dari alat penukar
kalor udara-tanah 𝑄 dengan konsumsi daya listrik pada peralatan mekanis seperti blower, menggunakan rumus:
𝐶𝑂𝑃 = (16)
dimana 𝑃 adalah daya yang dibutuhkan oleh blower (Watt), 𝑄 adalah kapasitas pendinginan (Watt),
𝑄 = ṁ. 𝐶 (𝑇 − 𝑇 ) (17)
dimana ṁ adalah laju aliran massa (kg/s), 𝑎𝑑𝑎𝑙𝑎ℎ kapasitas panas spesifik udara (J/kgK), adalah temperatur
pada sisi masuk (K), dan 𝑇 adalah temperatur pada sisi keluar (K).
I. METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Alat dan Bahan
Untuk mendukung hasil penelitian yang maksimal sesuai denga tujuan yang ingin dicapai, maka didalam
melakukan eksperimen, peneliti menggunakan beberapa alat dan bahan, yaitu blower, inverter, pipa dan
sambungan pipa, instrumen pengukuran, Cole Palmer 18200-40, Termokopel, dan Anemometer.
Pipa yang digunakan adalah pipa dengan bahan mildstell. Pipa memiliki diameter dalam (𝐷 ) sebesar 0,0625
m. Panjang total keseluruhan pipa sebesar 5,92 m. Dimana panjang pipa yang ditanam horisontal pada kedalaman
2 m adalah 0,66 m.
Pipa kemudian akan ditanam pada kedalaman 2 m. Terlihat seperti gambar diatas. Ukuran lubang disiapkan 2
x 1 m dengan kedalaman 2 m. Tanah pada kedalaman 2 m berjenis tanah lempung yang padat dan keras.
Sementara itu, Gambar 9, menampilkan Grafik perbandingan 𝑇 teoritis dan eksperimental untuk 𝑉 =
2 𝑚/𝑠.
Gambar 10. Perbandingan 𝑇 Eksperimental dan Teoritis (𝑉 = 2𝑚/𝑠)
Gambar 10 menunjukkan Grafik perbandingan 𝑇 teoritis dan eksperimental untuk 𝑉 = 3 𝑚/𝑠.
Tabel 2 diatas menunjukkan bahwa nilai galat temperatur keluaran (𝑇 ) rata-rata yang diberikan untuk model
eksperimental terhadap model teoritis bervariasi antara 0,67% sampai 1,44 %. Temperatur udara keluaran rata-
rata dari alat penukar kalor semakin menurun seiring dengan semakin bertambahnya kecepatan udara masuk alat
penukar kalor udara-tanah. Rata-rata temperatur keluaran secara eksperimental lebih tinggi dibandingkan rata-
rata temperatur keluaran teoritis.
2. Secara Eskperimental
Untuk menentukan keefektivitasan alat penukar kalor (e) untuk data hasil eksperimental didapat dari persamaan
(13), sebagaimana ditunjukkan melalui Tabel 3 berikut.
Tabel 3. Efektivitas Eksperimental dari Alat Penukar Kalor Udara-Tanah
𝑉 Efektivitas (ε)
Statistik
(m/s) Eksperimental
Maksimum 0,954
1
Rata-rata 0,859
Maksimum 0,883
2
Rata-rata 0,816
Maksimum 0,923
3
Rata-rata 0,897
Dari Tabel 3 diatas, dapat dilihat bahwa efektivitas rata-rata alat penukar kalor udara tanah pada kecepatan
udara masuk 3m/s lebih tinggi dibandingkan dengan kecepatan udara masuk 1 m/s dan 2 m/s.Nilai tertinggi dari
efektivitas alat penukar kalor udara-tanah juga dicapai pada kecepatan udara masuk 1 m/s yaitu sebesar 0,954.
Dari Tabel 2 dan 3, maka dapat diketahui perbandigan Efektivitas Eksperimental dengan Efektivitas Teoritis
sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 4. Untuk mendapatkan nilai efektivitas alat penukar kalor udara-tanah
teoritis didapat dari fungsi hubungan antara NTU dan e, dengan menggunakan persamaan (15).
Konsumsi daya yang digunakan semakin meningkat seiring peningkatan beban blower untuk menghasilkan
kecepatan udara. Hal ini harus dipahami bahwa nilai konsumsi daya yang digunakan setidaknya harus lebih kecil
dari kapasitas pendingin yang dimiliki alat penukar kalor udara-tanah.
Dari Tabel 7, dapat dilihat bahwa dengan kenaikan kecepatan udara masuk (𝑉 ) dari 1 m/s ke 2 dan 3 m/s
nilai COP alat penukar kalor meningkat dari 0,85 menjadi 1,01 Nilai maksimum COP didapat dengan kecepatan
udara masuk 3 m/s sebesar 1,01. Maka nilai COP alat penukar kalor udara-tanah dari hasil eksperimental dapat
diketahui sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 7 sebagai berikut:
Tabel 7. COP Eksperimen
𝑉 (m/s) Statistik COP
Maks. 0,85
1
Rata-rata 0,63
Maks. 0,65
2
Rata-rata 0,54
Maks. 1,01
3
Rata-rata 0,75
Sementara itu, untuk hasil COP alat penukar kalor udara-tanah berdasarkan hasil perhitungan teoritis dapat
dilihat pada Tabel 8 berikut:
Tabel 8. Perbandingan Coefficient of Performance Teoritis dengan Eksperimental
COP COP Perbed
𝑉
Statistik Teoriti Eksperiment aan
(m/s)
s al (%)
1 8,786
Maks. 0,93 0,85
%
Rata- 13,81
0,73 0,63
rata %
2 17,53
Maks. 0,79 0,65
%
Rata- 18,18
0,66 0,54
rata %
3 Maks. 1,06 1,01 4,77%
Rata- 6,262
0,80 0,75
rata %
Nilai COP yang diberikan dari hasil teori juga menunjukkan gejala yang sama dengan hasil eksperimental.
Dimana COP meningkat dengan bertambahnya kecepatan aliran udara masuk dari 1 m/s ke 3 m/s. Dari data Tabel
8 diatas, diketahui bahwa kecepatan udara masuk 3 m/s menghasilkan nilai COP rata-rata yang paling tinggi. Hal
ini disebabkan karena konsumsi daya blower tinggi tidak disertai dengan Cooling Capacity yang tinggi.
Grafik berikut ini menampilkan hubungan antara bilangan NTU dengan COP untuk tiap kecepatan udara
masuk. Grafik hubungan NTU dengan COP pada kecepatan udara masuk 2 m/s ditampilkan melalui Gambar 13,
sebagai berikut:
Gambar 12. Grafik NTU dengan COP dengan 𝑉 = 1 m/s
Dari grafik pada Gambar 12, dapat dilihat bahwa nilai COP teoritis lebih tinggi dibandingkan nilai COP
eksperimental.
Dari grafik pada Gambar 14 diatas, dapat dilihat bahwa nilai COP teoritis lebih tinggi dibandingkan nilai COP
eksperimental. Ketiga grafik menunjukkan gejala yang sama yaitu COP dari sebuah alat penukar kalor-udara tanah
semakin meningkat bila bilangan NTU aliran udara dalam pipa semakin besar. Semakin meningkatnya nilai COP
disebabkan temperatur udara yang tinggi masuk kedalam alat penukar kalor. Dimana temperatur yang semakin
tinggi , kapasitas kalor spesifik juga akan besar . Hal ini akan berpengaruh pada meningkatnya nilai cooling
capacity dari alat penukar kalor tersebut.
III. KESIMPULAN.
Pendinginan ruangan menggunakan metode sistem perpindahan panas pada lapisan tanah atau Earth Air Heat
Exchanger (EAHE). Dalam analisis alat penukar kalor, dikenal koefisien perpindahan panas menyeluruh
(Overall Heat Transfer Coefficient).
Heat exchanger tipe ini menggunakan tube pada desainnya. Kelemahan dari heat exchanger tipe tubular dan
plat adalah koefisien perpindahan panas yang relatif rendah, hanya mampu mencapai maksimal 60%. Sehingga
salah satu cara untuk meningkatkan efisiensi perpindahan panas adalah dengan jalan meningkatkan luas
permukaan dengan menggunakan sirip. Tujuan penelitian ini adalah untuk menghitung dan membandingkan
nilai efektivitas (ε) dari alat penukar kalor udara tanah hasil eksperimen dan teoritis, dan juga mengetahui nilai
Coeficient of Performance secara teoritis dan eksperimen. Hasil yang didapatkan yaitu nilai COP rata-rata
hasil eksperimen adalah 0,63 pada kecepatan 1 m/s, 0,54 pada kecepatan 2 m/s, dan 0,75 pada kecepatan 3
m/s, sedangkan secara teoritis diperoleh 0,73 pada kecepatan 1 m/s, 0,57 pada kecepatan 2m/s, 0,80 pada
kecepatan 3m/s. Untuk nilai keefektivitasan rata-rata dari hasil eksperimen diperoleh 0,85 pada kecepatan
1m/s, 0,93 pada kecepatan 2m/s dan 0,89 pada kecepatan 3 m/s, sedaangkan hasil secara teoritis diperoleh
0,995 pada kecepatan 1m/s, 0,997 pada kecepatan 2m/s dan 0,998 pada kecepatan 3m/s.
………………………………………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………………………………
D. STATUS LUARAN: Tuliskan jenis, identitas dan status ketercapaian setiap luaran wajib dan luaran
tambahan (jika ada) yang dijanjikan. Jenis luaran dapat berupa publikasi, perolehan kekayaan intelektual,
hasil pengujian atau luaran lainnya yang telah dijanjikan pada proposal. Uraian status luaran harus didukung
dengan bukti kemajuan ketercapaian luaran sesuai dengan luaran yang dijanjikan. Lengkapi isian jenis
luaran yang dijanjikan serta mengunggah bukti dokumen ketercapaian luaran wajib dan luaran tambahan
melalui Simlitabmas.
Luaran Wajib : Dokumentasi hasil uji coba produk : ALAT PENUKAR KALOR UDARA-TANAH
(EAHE)
:
………………………………………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………………………………………
…Luaran Tambahan : Jurnal ROTASI (Sinta 3) :
………………………………………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………………
E. PERAN MITRA: Tuliskan realisasi kerjasama dan kontribusi Mitra baik in-kind maupun in-cash (untuk
Penelitian Terapan, Penelitian Pengembangan, PTUPT, PPUPT serta KRUPT). Bukti pendukung realisasi
kerjasama dan realisasi kontribusi mitra dilaporkan sesuai dengan kondisi yang sebenarnya. Bukti dokumen
realisasi kerjasama dengan Mitra diunggah melalui Simlitabmas.
Penelitian Terapan, Penelitian Pengembangan bekersama sama dengan Dian Morfin Nasution, ST
Alamat Surel : dianmorfinnasutionfi@email.com
Institusi : Universitas Sumatera Utara
Alamat lnstitusi : Jl. Dr. Mansyur No, 8, Kampus USU
- - - - -
………………………………………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………………………………
F. KENDALA PELAKSANAAN PENELITIAN: Tuliskan kesulitan atau hambatan yang dihadapi selama
melakukan penelitian dan mencapai luaran yang dijanjikan, termasuk penjelasan jika pelaksanaan penelitian
dan luaran penelitian tidak sesuai dengan yang direncanakan atau dijanjikan.
H. DAFTAR PUSTAKA: Penyusunan Daftar Pustaka berdasarkan sistem nomor sesuai dengan urutan
pengutipan. Hanya pustaka yang disitasi pada laporan kemajuan yang dicantumkan dalam Daftar Pustaka.
[1] Cengel, Yunus .A. (2003). Heat Transfer : A Practical Approach, 2nd ed. New York: Mc Graw-Hill.
[2] Incropera, Franks. P dan David P Dewitt. (2011). Introduction to Heat Transfer. 7th Edition. New
York : John Wiley & Sons.
[3] Belatrache D,Bentouba S, Bourpuis M. (2015) Numerical Analysis of Earth Air Heat Exchanger at Operating
Conditions In arid Climates. Geothermal Energy.
[4] Ben Jmaa Derbel H, Kanoun O. (2010) Investigation of the Ground Thermal Potential In Tunisia Focused
Towards Heating and Cooling Applications. Aplied Thermal Engineering.
[5] Bisoniya,TS. (2015). Design of earth-air heat exchanger. Geothermal Energy.
[6] Bulut H, Demirtas Y, Karadag R, Hilali I. (2014). Experimenttal Analysis of An Earth Tube Ventilation
System Under Hot and Dry Climatic Conditions.
[7] Pfafferott J. (2013). Evaluation of earth to air heat exchanger with a standarised method to calculate energy
efficiency. Energy and Buildings.
[8] Vaz J, Sattler M A,Brum R da, dos Santos E, Isoldi L A. (2013). An Experimental Study On The Use of
Earth-Air Heat Exchanger (EAHE). Energy and Buildings.
[9] Wu H, Wang S, Zhu D. (2007). Modelling and Evaluation Of Cooling Capacity of Earth-Air Pipe Systems.
Energy Conversion & Management.
[10] Yang D, Guo Y, Zhang J. (2015). Evaluation of The Termal Performance of An Earth to Air Heat Exchanger
(Eahe) In A Harmonic Thermal Environtment. Energy Conversion and Management.
[11] P. Holmuller, B. Lachal. (2014). Air-Soil Heat Exchanger for Heating and Cooling of Buildings Design
Guidelines, Potential and Constraints, System Integration and Global Energy Balance.Swiss.
Jurnal Renewable Energy vol 476-479.
[12] Holman, J.P. (1997). Perpindahan Kalor, Edisi ke-2.Jakarta :Erlangga
[13] Kreith, Frank. 1877. Principles Of Heat Transfer, 4th ed. New York : Harper and Row.
[14] Rakesh Kumar, A.R. Sinha. (2008). A Design Optimization Tool of Earth-to Air Heat Exchanger. India.
Jurnal Renewable Energy.
[15] Nasreddine Sakhri, Younes Menni, Houari Ameur,2020, “Experimental investigation of the performance
of earth-to-air heat exchangers in arid environments”, Journal of Arid Environments.
[16] T.U.H.S. Ginting Manik, T. B. Sitorus, J. Pasaribu, N. Pratama, W. Boer, 2020, “ The simulation
performance analysis of the EAHEJournal of Arid Environments open system with finned iron pipe”, 3rd
NICTE,IOP