1. Masalah-masalah dalam penindakan korupsi di bidang kesehatan
a. Anggaran kesehatan masih sangat rawan korupsi. b. Kasus korupsi kesehatan periode penindakan 2010-2016 sebanyak 219 kasus, 519 tersangka, dengan total kerugian negara: Rp890,1 miliar dan nilai suap: Rp1,6 miliar. c. Titik rawan terutama terjadi pada pengadaan alkes dan jaminan kesehatan. d. Pengadaan alkes rawan karena memiliki nilai anggaran yang tinggi dan memiliki spesifikasi teknis unik. e. Jaminan kesehatan juga rawan dikorupsi karena meningkatnya anggaran kesehatan untuk jaminan kesehatan paska diberlakukannya program JKN (Jaminan Kesehatan Nasional). f. Terkait penegakan hukum. Selama ini pertimbangan yang memperberat hukuman pelaku korupsi kesehatan hanya besaran kerugian negara dan aturan yang dilanggar, sedangkan dampak yang ditimbulkan dari praktik korupsi kerap diabaikan. Padahal, korupsi kesehatan secara langsung bisa mengancam nyawa masyarakat. Karena itu, agar timbul efek jera, dampak korupsi harus didorong menjadi bahan pertimbangan hakim dalam menjatuhkan vonis. g. Belum semua praktek korupsi kesehatan berhasil dijerat penegak hukum. h. Belum semua kasus korupsi kesehatan terutama yang sudah masuk tahap penyidikan di ungkap pada publik oleh penegak hukum. i. Persidangan perkara korupsi kerap kali hanya berpihak pada pelaku kejahatan, sejak tahun 2005 ICW melakukan pemantauan atas tren vonis pelaku korupsi, hasilnya selalu mengecewakan, rata-rata vonis terdakwa tak pernah lebih dari tiga tahun penjara. j. Potret disparitas pun tak jarang terlihat dalam setiap persidangan perkara korupsi. Mulai dari disparitas tuntutan sampai pada putusan Hakim. Padahal dari sisi Pasal yang digunakan dalam dakwaan, latar belakang terdakwa, sampai pada kerugian keuangan negara hampir serupa. 2. Upaya saudara mencegah adanya korupsi di bidang kesehatan a. Memulai dari kesadaran diri masing-masing, menanamkan kepada diri sendiri bahwa tidak boleh melakukan tindakan korupsi walaupun itu hanya tindakan sederhana, misalnya terlambat datang kerja, pulang cepat, tidak di tempat saat jam kerja melakukan urusan pribadi, mengunakan fasilitas kantor untuk kepentingan pribadi seperti mesin print/telpon kantor. b. Memberikan edukasi dan kampanye anti korupsi agar membangun perilaku dan budaya antikorupsi antar sesama pegawai dan juga pasien/ keluarga serta menghimbau agar ikut serta dalam berperan aktif dalam memberantas tindakan korupsi yang terjadi di sekitar lingkungan RS. c. Menyusun rencana anggaran biaya (RAB) dan Term of Reference (TOR) instalasi laboratorium secara jujur. d. Melakukan order dan pembayaran sebagaimana peraturan yang ada terhadap pemeriksaan laboratorium meskipun sampel yang diperiksa milik petugas laboratorium sendiri/ keluarga terdekat. e. Tidak memanfaatkan bmhp/ alat-alat laboratorium untuk kepentingan pribadi. f. Menjalankan proses pemilihan dan pembelian alat/ reagen laboratorium sesuai SPO yang ditentukan. 1) Tidak menerima gratifikasi dari vendor 2) Tidak menerima keuntungan pribadi/ komisi yang didapat dari pembelian alat/ reagen. 3) Memilih alat/ reagen murni karena spesifikasi alat/ reagen tersebut paling baik dan sesuai dengan tujuan dan manfaat yang diperlukan. g. Melakukan pelaporan rutin terhadap pemakaian dan sisa stok alat bmhp dan reagen setiap bulan, pelaporan dilakukan secara benar dan jujur. h. Melakukan pemeriksaan laboratorium dan mengeluarkan hasil sesuai SPO dan sumpah profesi. Tidak membeda-bedakan pasien dan menerima hadiah, uang pelicin atau tips dari pasien yang bersifat negatif (agar didahulukan tanpa antri, memanipulasi hasil lab). i. Tidak memberikan hadiah/ gratifikasi kepada atasan. j. Melapor kepada bagian yang berwenang seperti Satuan Pengawas Internal (SPI) bila menemukan bukti terjadinya korupsi di Laboratorium. k. Tidak melakukan manipulasi data pelaporan tindakan medis yang berdampak pada besarnya klaim pada asuransi kesehatan atau sejenisnya.