Anda di halaman 1dari 33

Makalah Bahasan HIV

2.1 Konsep HIV/AIDS


2.1.1. Definisi
Acquired Immune Deficiency Syndrom (AIDS) adalah kumpulan gejala yang
disebabkan menurunnya kekebalan tubuh oleh Human Immunodeviciency Virus ( HIV).
Seseorang yang terinfeksi virus HIV atau mengidap AIDS disebut dengan Orang Dengan
HIV/AIDS ( ODHA )

2.1.2. Etiologi
HIV merupakan suatu Retrovirus manusia sitopatik diklasifikasikan dalam family
Retroviridae, subfamily Lentivirinae, dan genus Lentivirus. Berdasarkan strukturnya, HIV
termasuk family retrovirus dan tergolong dalam vrus RNA. Retrovirus mengubah asam
ribonukleat (RNA) menjadi asam deoksiribonukleat (DNA) setelah masuk keadalam sel
penjamu. HIV-1 dan HIV-2 adalah lentivirus sitopatik, dengan HIV-1 menjadi penyebab
utama AIDS diseluruh dunia.

2.1.3. Epidemiologi
Prevalensi HIV-2 lebih banyak di negara Afrika Barat, tapi HIV-1 merupakan
virus predominan di Afrika bagian tengah dan timur dan bagian dunia lainnya. Menurut
the Joint United Nations Program on HIV/AIDS (2000), diperkirakan bahwa 36,1 juta
orang terinfeksi oleh HIV dan AIDS pada akhir tahun 2000. Dari 36,1 jita kasus, 16,4 juta
adalah perempuan dan 600.000 adalah anak-anak berusia kurang dari 15 tahun. Infeksi
HIV telah menyebabkan kematian pada sekitar 21,8 juta orang sejak permulaan epidemi
pada akhir tahun 1970an sampai awal tahun 1980an. Dari tahun 1981 sampai 2000, di
Amerika Serikat dilaporkan 774.467 kasus AIDS secara kumulatif (CDC, 2000b). Sekitar
58% dari kasus-kasus ini diketahui sudah meninggal. Pada bulan Desembar 2000, CDC
melaporkan 127.286 orang dewasa dan anak-anak ( usia kurang 13 tahun ) hidup dengan
HIV dan 322.865 dengan penyakit AIDS.
2.1.4. Patofisiologi
HIV merupakan retrovirus obligat intraseluler dengan replikasi sepenuhnya di
dalam sel host. Transmisi HIV masuk ke dalam tubuh manusia melalui 3 cara, yaitu: (1)
secara vertikal dari ibu yang terinfeksi HIV ke anak (selama mengandung, persalinan, dan
menyusui); (2) secara transeksual (homoseksual maupun heteroseksual); (3) secara
horizontal yaitu kontak antar darah atau produk darah yang terinfeksi (asas sterilisasi
kurang diperhatikan terutama dalam pemakaian jarum suntik bersama-sama secara
bergantian, tato, tindik, tranfusi darah, transplantasi organ, tindakan hemodialisis dan
perawatan gigi). Perjalanan infeksi HIV di dalam tubuh manusia diawali dari interaksi
gp120 pada selubung HIV berikatan dengan reseptor spesifik CD4 yang terdapat pada
permukaan membran sel target (kebanyakan limfosit T-CD4).
1. HIV masuk ke dalam sel target
Sel yang menjadi sel target adalah sel yang mempu mengekpresikan reseptor CD4.
Agar bisa masuk ke dalam sel target, gp 120 HIV perlu berikatan dengan reseptor CD4
kemudian terjadi fusi membran HIV dengan membran sel target atas peran gp41 HIV
yang dilanjutkan dengan masuknya seluruh isi sitoplasma HIV termasuk enzim
reverse transcriptase dan inti masuk ke dalam sitoplasma sel target.
2. HIV melepaskan single strand RNA (ssRNA).
3. Enzim reverse trancriptase akan menggunakan RNA sebagai template untuk
mensintesis DNA
4. RNA dipindahkan oleh ribobuklease dan enzim reverse transcriptase untuk
mensintesis DNA lagi sehingga menjadi double strand DNA (provirus).
5. Provirus masuk ke dalam nukleus, menyatu dengan kromosom sel host dengan
perantara enzim integrase.
6. Enzim polymerase akan mentranskrip DNA menjadi RNA yang secara struktur
berfungsi sebagai RNA genomic dan mRNA.
7. RNA keluar dari nukleus, mRNA mengalami translasi menghasilkan polipeptida.
Kemudian bergabung dngan RNA menjadi inti virus baru.
8. Inti beserta perangkat lengkap virion baru ini membentuk tonjolan pada permukaan sel
host, kemudian polipeptida dipecah oleh enzim protease menjadi protein dan enzim
yang fungsional.
9. Virus yang sudah lengkap dan matang ini keluar dari sel, akan menginfeksi sel target
berikutnya. Dalam satu hari HIV mampu melakukan replikasi hingga mencapai 10 9
-1011 virus baru.
10. Secara perlahan tapi pasti, limfosit T penderita akan tertekan dan semakin menurun
dari waktu ke waktu. Kemudian diikuti kematian limfosit T.
11. Sifat istimewa HIV yang lain : merangsang replikasi HIV dalam sel penjamu ( host
cell ).

Gambar : Struktur Virus HIV Gambar : Komponen Virus HIV

2.1.5. HIV dan T-CD4


Bermacam-macam sel dalam tubuh kita yang bisa menjadi target infeksi HIV, akan
tetapi HIV virion cenderung menyerang linfosit T karena terdapat reseptor CD4 pada
permukaannya. Cluster of differentiation atau cluster digesnation (CD) merupakan
molekul permukaan dari limfosit dan terdiri dari beberapa cluster atau kelompok yang
mempunyai fungsi berbeda antara satu dengan yang lainnya. Terdapat sekitar 166 antigen
CD dan sebagian diantaranya dibagi lagi menjadi sub-kelompok yang mempunyai
determinan-determinan yang berbeda. Secara spesifik Sel CD4 merupakan jenis sel darah
putih atau limfosit. Sel ini merupakan bagian penting dari sistem kekebalan tubuh manusia.
Sel CD4 kadang kala disebut juga sebagai se-T. CD4 masing-masing diekspresikan pada
permukaan subset linfosit matang. Sebagian besar CD4 diekspresikan pada permukaan sel
Th, dan sebagian sangat kecil mungkin djumpai pada permukaan sel T-sitotoksik. Salah
satu interaksi dari CD4 adalah bekerja sebagai reseptor masukknya antigen kedalam
limfosit, khususnya HIV melalui gp120 yang terdapat pada permukaan HIV. Fungsi
molekul CD4 pada permukaan sel T adalah meningkatkan aviditas interaksi antar sel
dengan berikatan dengan MHC yang sesuai pada pemukaan sel sasaran. Nilai normal untuk
mayoritas laboratorium adalah rata-rata 800-1050 (sel/mm 3), dengan kisaran mewakili dua
standart deviation kurang lebih 500-1400.
HIV cenderung memilih memilih target limfosit T karena pada pemukaan linfosit T
terdapat reseptor CD4 yang merupakan pasangan ideal bagi gp120 permukaan (surface
glycoprotein 120) pada permukaan luar HIV (enveloped). Meskipun demikian kompleks
gp120 dan reseptor CD4 tersebut masih belum memungkinkan HIV masuk ke dalam
limfosit melalui proses internalisasi. Internalisasi limfosit T di tubuh host perlu dibantu
oleh peran coreseptor CCR5 dan CXCR4 yang juga berada di permukaan limfosit T.
Transmembrane glycoprotein 41 menjadi peran dalam proses fusi dengan membran plasma
limfosit T-CD4. Sedangkan inti (core) HIV selanjutnya masuk ke dalam limfosit T sambil
membawa enzim reverse transcriptase.
2.1.6. Gejala Klinis
AIDS memiliki beragam gejala klinis dalam bentuk keganasan dan infeksi
oportunistik yang khas. Adapun gejala klinis yang terjadi berdasarkan perjalanan penyakit
dari infeksius virus HIV tersebut. Biasanya terjadi penurunan antibody dalam waktu 6 –
12 minggu dengan gejala menyerupai mononukleosis infeksiosa dalam waktu beberapa
minggu, ruam-ruam, pembengkakan kelenjer getah bening dan rasa tidak enak badan yang
berlangsung selama 3 – 14 hari, dan sebagian besar gejala akan menghilang, meskipun
kelenjer getah bening tetap membesar.. Gejala klinis dari seseorang yang terinfeksi virus
HIV dikategorikan berdasarkan kategori Laboratorium dan Kategori Klinis.
1. Kategori Laboratorium
a. Kategori 1 : >500µl limfosit T CD4+/µl
b. Kategori 2 : 200 - 499µl limfosit T CD4 +/µl
c. Kategori 3 : < 200µl limfosit T CD4+/µl
2. Kategori Klinis
a. Kategori A : terdiri dari satu atau lebih penyakit berikut
1) Infeksi HIV asimptomatik
2) Limfadenopati generalisata persisten ( LPG )
3) Infeksi HIV akut ( primer ) disertai gejala penyakit atau riwayat infeksi HIV
akut
b. Kategori B : terdiri dari penyakit-penakit simptomatik yang terinfeksi HIV yang
tidak tercantum dalam kategori C dan memenuhi paling sedikit satu dari kriteria
berikut :
1) Penyakit yang disebabkan oleh infeksi HIV atau menunjukkan defek imunitas
seluler atau keduanya
2) Penyakit yang dianggab oleh dokter perjalanan atau penatalaksanaannya yang
dipersulit oleh infeksi HIV.
Contoh:
a) Meningitis, pneumonia, sepsis atau endokarditis bakterialis
b) Kandidiasis orofaring ( sariawan )
c) Displasia serviks,vulvovagina, persisten lebih dari 1 bulan
d) Gejala konstitusional seperti demam atau diare lebih dari 1 bulan
e) Leukoplakia berambut ( oral )
f) Herpes zoster ( shingles ) paling sedikit dua episode terpisah atau lebih
dari satu dermatom
g) Purpura trombositopenik idiopatik
h) Listeriosis
i) Infeksi TBC paru
j) Penyakit radang panggul
k) Neuropati perifer
c. Kategori C : Berkaitan erat dengan imunodefisiensi berat, sering terjadi pada pasien
yang terinfeksi oleh HIV dan menimbulkan morbiditas dan mortalitas yang serius.
Diklasifikasikan berdasarkan :
1) Hitung limfosit T CD4+ akurat yang terendah ( tidak harus yang terakhir )
2) Penyakit yang paling parah yang pernah dialami apapun kondisi klinis klien
sekarang.
Selain itu kalsifikasi manifestasi klinis berdasarkan tingkatan klinik infeksi HIV.
1. Tingkat klinik 1 ( asimptomatik )
a. Tanpa gejala sama sekali
b. Bervariasi untuk tiap klien, rata-rata 7 -10 tahun
c. Limpadenopati generalisata persisten ( LGP ) pembesaran kelenjer getah bening
dibeberapa tempat menetap
d. Klien belum punya keluhan, aktifitas normal
2. Tingkat klinik 2 ( Dini )
a. Penurunan barat badan
b. Keluhan mulut dan kulit ringan : dermatitis, infeksi jamur kuku, ulkus mulut
c. Herpes zoster yang timbul 5 tahun terakhir
d. Infeksi saluran nafas berulang
e. Gejala sudah terlihat, tapi klien masih bisa aktifitas
3. Tingkat Klinik 4 ( Menengah )
a. Penurunan BB > 10 %
b. Diare kronik > 1 bulan tanpa diketahu penyebab
c. Febris hilang timbul terus menerus ( > 38°c )
d. Kandidiasis mulut
e. Bercak putih dimulut
f. TB paru 1 tahun terakhir
g. Infeksi berat pneumonia
h. Klien terbaring ditempat tidur > 12 jam / hari Selama 6 bulan terakhir
4. Tingkat Klinik 4 ( Lanjut )
a. Badan kurus
b. Pneumonia
c. Toxoplasmosis otak gangguan neurologis
d. Herpes simpleks
e. Infeksi jamur
f. TB diluar paru
g. Sarkoma kaposi ( kanker kulit / mulut )
h. Limfoma
i. Enchelopati HIV

2.1.7. Pemeriksaan Diagnostik


Diagnosis HIV/AIDS ditegakkan berdasarkan manifestasi klinis dan hasil
pemeriksaan laboratorium. Adapun jenis pemeriksaan HIV/AIDS antara lain:
1. Rapid Test
Ada 2 uji khas yang digunakan untuk mendeteksi antibodi terhadap HIV :
a. ELISA ( Enzyme Linked Immunosorbent Assay ) bereaksi terhadap adanya antibody
dalam serum dengan memperlihatkan warna yang lebih jelas apabila terdeteksi
antibody virus dalam jumlah besar dilakukan tiga kali pemeriksaan untuk
mencegah hasil positif-palsu yang berdampak psikologis besar terhadap seseorang.
b. WESTERN BLOT dikomfirmasi dua kali. Uji ini lebih kecil kemungkinannya
memberi hasil positif-palsu atau negatif – palsu.
2. Test Viral Load. Melihat jumlah virus yang ada
3. Kultur Virus
Dengan melakukan biakan virus, pengukuran antigen 24 dan pengukuran DNA dan
RNA HIV dengan menggunakan reaksi berantai polimerase (PCR ) dan RNA HIV-1
Plasma.
4. Kadar Imonoglobulin
Akan meningkat teritama IgA, IgG dan IgM
5. RIPA ( Radio Immuno Precipitation Assay)
Mendeteksi protein pada antibody
6. Indirect Immunoflouresence
Pengganti pemeriksaan western blot untuk memastikan seropositifitas
2.1.8. Cara Penularan
Virus HIV dapat ditularkan melalui kontak langsung antara cairan tubuh yang
mengandung virus HIV. Tidak ada bukti bahwa HIV dapat menular melalui kontak sosial,
alat makan, kolam renang, udara ruangan. Cairan tubuh yang dapat menularkan virus HIV
dapat berupa cairan semen, sekresi serviks/vagina, limfosit, sel-sel dalam plasma bebas,
cairan serebrospinal, air mata, saliva, air seni, darah dan air susu. Namun tidak berarti
bahwa semua cairan tersebut dapat menjalarkan infeksi karena konsentrasi virus dalam
cairan tersebut sangat bervariasi. Sampai saat ini cairan semen, sekresi cerviks/vagina,
darah dan ASI yang dapat menularkan virus HIV. Karena itu HIV dapat menular mealalui
kegiatan hubungan seks baik homoseks maupun heteroseks, penggunaan jarum suntik
secara bersamaan pada penyalahgunaan NAPZA, kecelakaan kerja di bidang kesehatan
seperti tertusuk jarum atau alat medis yang tercemar, transfusi darah dengan darah
terkontaminasi HIV, pemberian ASI dari ibu mengandung HIV kepada bayinya.
Pencegahan Penularan AIDS dapat juga dilakukan dengan istilah ABCD yaitu :
1. A: Abstainen, jauihi hubungan seks berganti - ganti pasangan
2. B: Befaithful, bersikap saling setia dengan pasangan
3. C: Condom use, cegah penularan dengan menggunakan kondom
4. D: Drugs, hindari pemakaian jarum suntik secara berulang dan jauhi NAPZA
2.1.9. Penatalaksanaan
Sampai saat ini belum ditemukan penyembuhan untuk AIDS, jadi perlu dilakukan
pencegahan terpajannya dari virus HIV yaitu :
1. Melakukan abstinensi seks / melakukan hubungan kelamin dengan pasangan yang
tidak teinfeksi
2. Memeriksa kan adanya virus paling lambat 6 bulan setelah hubungan seks terakhir
yang tidak terlindungi
3. Menggunakan pelindung jika berhubungan dengan orang yang tidak jelas status
human imunodeficiency virus (HIV )
4. Tidak bertuka jarum suntik, jarum tato, dan sebagainya
5. Mencegah infeksi ke janin / bayi baru lahirnya
Apabila terinfeksi oleh HIV, maka tindakan yang harus dilakukan adalah :
1. Pengendalian infeksi oportunisik
Bertujuan untuk menghilangkan, mengendalikan dan memulihkan infeksi oportunistik,
nosokomial atau sepsis. Tindakan pengendalian infeksi yang aman untuk mencegah
ktaminasi bakteri dan komplikasi penyebab sepsis bagi pasien dilingkungan
perawatan.
2. Terapi AZT ( azidotimidin )
Merupakan antiviral yang efektif terhadap AIDS, dimana menghambat replikasi
antiviral HIV dengan menghambat enzym pembalik transkriptase. Ini diberikan pada
pasien AIDS yang jumlah sel T4 nya < 3. AZT tersedia untuk pasien dengan HIV
positif asimptomatik dan sel T4>500 mm3
3. Terapi antiviral baru
Ada beberapa antiviral ang digunakanyang bertujuan memutus rantai reproduksi virus
pada prosesnya seperti : Didanosine, Ribavirin, Diedoycytidine
4. Pendidikan
Untuk menghindari gaya hidup terhadap alkohol, obat-obat terlarang, makanan sehat
dan obat-obat yang dapat mengganggu fungsi imun.
5. Menghindari infeksi lain, karena infeksi tersebut dapat mengaktifkan sel T dan
mempercepat replikasi HIV
2.1.10. Voluntary Counseling and Testing (VCT)
1. Definisi VCT
Voluntary Counseling and Testing (VCT) merupakan suatu pembinaan dua arah
atau dialog yang berlangsung tanpa terputus antara konselor dan klien. VCT merupakan
entry point untuk memberikan perawatan, dukungan dan pengobatan bagi ODHA. VCT
juga merupakan salah satu model untuk memberikan informasi secara menyeluruh dan
dukungan untuk merubah perilaku berisiko serta mencegah penularan HIV/AIDS. Jadi,
dalam pelaksanaan VICT harus mengutamakan kenyamanan dan kerahasiaan klien.
Sedangkan konseling HIV/AIDS dapat diartikan sebagai suatu komunikasi yang bersifat
rahasia antara klien-konselor, bertujuan untuk meningkatkan kemampuan menghadapi
stres dan mengambil keputusan yang berkaitan dengan HIV/AIDS.

2. Tujuan VCT
a. Upaya pencegahan HIV/AIDS
b. Upaya untuk mengurangi kegelisahan, meningkatkan persepsi/pengetahuan
mereka tentang faktor-faktor risiko penyebab seseorang terinfeksi HIV
c. Upaya pengembangan perubahan perilaku, sehingga secara dini mengarahkan
mereka menuju ke program pelayanan dan dukungan termasuk akses terapi
antiretroviral, serta membantu mengurangi stigma dalam masyarakat.

3. Tahap VCT
a. Pra-konseling (sebelum deteksi HIV)
Pra-konseling atau konseling pencegahan memuat dua hal penting di dalamnya,
yaitu aplikasi perilaku klien yang dapat menyebabkan atau klien berisiko tinggi
terinfeksi HIV/AIDS serta apakah klien mengetahui tentang HIV/AIDS dengan
benar.
Konselor harus lebih berhati-hati pada klien dengan perilaku berisiko tinggi. Hal
ini dikarenakan harus diteruskan dengan rinci tentang akibat yag akan timbul bila
hasil tesnya sudah keluar. Tujuan dari konseling ini adalah untuk mengubah
perilaku klien. Konselor juga harus menyampaikan terjaminnya kerahasiaan
tentang informasi yang diberikan serta klien harus membubuhkan tanda tangan
pada surat persetujuan diperiksa. Konselor juga harus mampu menjadi pendamping
dan pendukung moral kepada klien.
Tujuan Konseling pra-tes HIV/AIDS:
1. Klien dapat memahami benar kegunaan tes HIV/AIDS
2. Klien dapat menilai risiko dan mengerti persoalan dirinya
3. Klien dapat menurunkan rasa kecemasannya
4. Klien dapat membuat rencana penyesuaian diri dalam kehidupan
5. Klien memilih dan memahami apakah ia akan melakukan tes darah HIV/AIDS
atau tidak.
Lima prinsip praktis konseling pra-tes HIV
1. Motif klien dari klien HIV/AIDS
Klien secara sukarela (voluntary) dan secara paksa (compulsory) mempunyai
perasaan yang berbeda dalam menghadapi segala kemungkinan, baik pra-tes
atau pasca-tes
2. Interpretasi hasil pemeriksaan
a. Uji saring atau skrining dan tes konfirmasi
b. Asimtomatik atau gejala nyata (full bown symptom)
c. HIV tidak dapat disembuhkan tetapi masih dapat diobati (infeksi sekunder)
3. Estimasi hasil
a. Pengkajian risiko bukan hasil yang maksimal
b. Masa jendela
4. Rencana ketika hasil diperoleh
Apa yang harus dilakukan klien setalah mengetahui hasil pemeriksaan, baik
positif maupun negatif.
5. Pembuatan keputusan
Klien dapat memutuskan untuk mau dan tidak mau diambil darahnya guna
dilakukan pemeriksaan HIV.
b. Deteksi HIV (Sesuai keinginan dan setelah klien menandatangani lembar
persetujuan/informed consent)
Tes HIV digunakan untuk memastikan apakah seseorang sudah positif terinfeksi
HIV atau belum dengan pemeriksaan darah. Hal ini dilakukan agar seseorang bisa
mengetahui secara pasti status kesehatan dirinya, terutama status kesehatan yang
menyangkut risiko dari perilakunya selama ini.
Tes HIV harus bersifat:
a. Sukarela
Berdasarkan kesadaran sendiri, bukan atas paksaan atau tekanan dari orang
lain.
b. Rahasia
Hasil positif maupun negatif dari tes yang telah dilakukan hanya boleh
diberitahu langsung kepada orang yang bersangkutan.
c. Tidak boleh diwakilkan kepada orang lain, siapapun itu.
d. Pascakonseling: Konseling setelah deteksi HIV
Pasca konseling merupakan kegiatan konseling yang harus diberikan setelah hasil
tes diketahui, baik hasilnya positif maupun negatif. Konseling pasca-tes sangat
penting untuk membantu mereka yang hasil HIV nya positif agar dapat
mengetahui cara menghindarkan penularan HIV ke orang lain. Bagi yang hasilnya
negatif, hasil tes dapat dapat bermanfaat untuk mencegah infeksi HIV di masa
mendatang.
Tujuan konseling pasca tes:
a. Hasil negatif
1) Klien dapat memahami arti periode jendela
2) Klien dapat membuat keputusan akan tes ulang atau tidak, kapan waktu
tepat untuk datang.
3) Klien dapat mengembangkan pedoman praktis bagi dirinya untuk
mengurangi risiko melalui perilakunya.
b. Hasil positif
1) Klien dapat memahami dan menerima hasil tes secara tepat
2) Klien dapat menurunkan masalah psikologis dan emosi karena hasil tes
3) Klien dapat menyesuaikan kondisi dirinya dengan infeksi dan menyusun
pemecaham masalah serta dapat menikmati hidup
4) Klien dapat mengembangkan pedoman prakis bagi dirinya untuk
mengurangi risiko melalui perilakunya.
2.1.11. HIV, Stres, Stresor dan Adaptasi (Respons Hypotalamo-Pituitary-Adrenal
Axis/HPA Axis)
Istilah stres dapat digunakan untuk menamakan lingkungan yang merusak, kondisi
psikologis yang terancam, dan respons biologis terhadap stresor. Stresor dapat berupa
psikis, fisik maupun lingkungan. Selye (1983) , mengemukakan bahwa stres berfokus pada
reaksi seseorang terhadap stresor dan menggambarkan stres sebagai suatu respons. Respon
yang dialamu tersubut mengandung dua komponen yaitu, komponen psikologis (meliputi
perilaku, pola pikir, emosi, dan perasaan stres) dan komponen fisiologis (rangsangan-
rangsangan fisik yang meningkat). Selye (1983) mengemukakan respons tubuh terhadap
stres tersebut sebagai sindrom stres (stress syndrome) atau sindrom adaptasi umum
(general adaptation syndrome/GAS) yang merupakan respons umum dari tubuh. GAS
menurut Selye terjadi saat organisme mengalami stres yang panjang atau lama sehingga
organ tubuh yang lain juga ikut terpengaruh oleh kondisi stres tersebut. Tahap dari GAS
adalah sebagai berikut:
1. Tahap peringatan (Alarm Stage)
Tahap ini merupakan tahap reaksi awal tubuh dalam menghadapi berbagai stresor.
Reaksi ini mirip dengan fight or flight response (menghadapi atau lari dari stres).
Tubuh tidak dapat bertahan pada tahapan ini dalam jangka waktu lama.
2. Tahap adaptasi atau Eustres (Adaptation Stage)
Tahap ini dimana tubuh mulai beradaptasi dengan adanya stres dan berusaha
mengatasi serta membatasi stresor. Ketidakmampuan beradaptasi mengakibatkan
tubuh menjadi lebih rentan terhadap penyakit (penyakit adaptasi)
3. Tahap kelelahan atau Distres (Exhaustion Stress)
Tahap ini merupakan tahap dimana adaptasi tidak bisa dipertahankan karena stres
yang berulang atau berkepanjangan sehingga berdampak pada seluruh tubuh.
Sehubungan dengan HIV, akan terkait dengan tiga buah stresor, yaitu (1) stres biologis
akibat HIV itu sendiri; (2) stres psikologis akibat dinyatakan terinfeksi HIV terutama bila
tidak atau kurang dilengkapi dengan konseling dan atau penyampain pernyataan terinfeksi
HIV jelas; (3) stresor psikososial akibat stigma dan diskriminasi yang tumbuh dan
berkembang di keluarga maupun masyarakat. Stres tidak hanya terjadi pada manusia, stres
juga bisa terjadi pada tingkat sel (stress cell) dimana terjadi stres protein yang berfungsi
sebagai bahan yang mengisyaratkan stres (stress signaling substances) yang berakhir pada
kelelahan yang berupa nekrosis dan apoptosis. Pada infeksi HIV,kelelahan diformulasikan
dengan munculnya apoptosis sel yang patologis, difus, luas terutama mengenai limfosit T
sehingga jumlah limfosit total dan atau CD4 berangsur menurun.
Respons psikologis hingga menimbulkan suatu adaptasi psikologis yang nantinya akan
berpengaruh terhadap stres dan kualitas imunitas tergantung pada 3 faktor penting,
diantaranya; (1) faktor medis (gejala-gejala, perjalanan penyakit, komplikasi terutama pada
sistem saraf pusat; (2) faktor psikologis (kepribadian dan kemampuan dalam koping,
dukungan interpersonal); (3) faktor sosiokultural (stigma dan diskriminasi).
Masuknya HIV ke dalam tubuh merupakan stresor biologis yang berdampak luas. HIV
dapat mempengaruhi seluruh organ tubuh termasuk otak, sistem imun, organ-organ visera.
Stresor HIV akan direspon oleh sistem saraf pusat yang melibatkan otak, hipotalamus,
batang otak, hipofisis, serta saraf perifer. Dampak stresor biologis HIV tersebut akan
menstimulasi sel-sel otak untuk memproduksi dan sekresi berbagai molekul signal seperti
neurotransmitter, neuropeptida, neurohormon, maupun neuroendokrin molekul efektor.
Alur dari pengaruh stresor biologis HIV terhadap respon imun adalah sebagai berikut:
1. Stresor biologis HIV tersebut akan meningkatkan aktivitas aksis hipotalamus-pituitari-
adrenal (HPA) melalui corticotrophin releasing factor (CRF). Dampaknya akan
dialami berbagai sel tubuh termasuk astrosit, mikroglia. Astrosit dan mikroglia
menjadi aktif memproduksi/sekresi sitokin proinflamatori (IL-1β, IL-6, TNF-α),
produksi reactive oxygen species (ROS).
2. Sitokin proinflamatori bersama serotonin, noreponeprin, dan asetikholin,
memengaruhi paraventriculer nucleus (PVN) di hipotalamus dan kemudian
memproduksi molekul sinyal CRF yang bertindak sebagai coordinator respon stres. .
3. Dalam hitungan menit sejak munculnya stres akan meningkatkan mRNA CRF, disusul
meningkatnya kadar CRF pada PVN.
4. CRF dilepaskan di penghijung pembuluh darah kapiler dalam pleksus venous
hipofisialportal yang merupakan muara kelenjar hipofisis anterior.
5. CRF kemudian mengaktifkan reseptor basofil pada hipofisis anterior , menginduksi
poliprotein proopiomelanocortin (PMOC) yang pasca translasi memproduksi ACTH,
α, β, γ melanodit stimulating hormone (MSH), dan β endorphin.
6. ACTH menstimulasi spongiosa pada zona fasikulata korteks adrenal untuk
memproduksi kortisol sebagai hormon stres. Kemudian mengikuti aliran darah
sistemik dan mempengaruhi spongiosit (sel zone fasikulata korteks) adrenal sehingga
memicu peningkatan kortisol.
7. Peningkatan kadar CRF, kortisol, ketokolamin pada keadaan stres juga diikuti
peningkatan anrgininvasopresin (AVP) di hipotalamus yang bekerja sinergis dengan
CRF untuk menginduksi ekspresi poliprotein atau gen POMC dan ekspresi
norepineprin dari locus ceruleus. CRF juga menginduksi sekresi somatostatin dan
dopamin oleh hipotalamus.
8. Pengaruh kortisol yang meningkat terhadap respon imun selama stres berlangsung
mengakibatkan efek imunosupresif pada sistem lomforetikuler. Kortisol menghambat
fungsi limfosit, makrofag, dan leukosit serta efek pada tempat infeksi. Kortisol
mempunyai kemampuan menekan produksi sitokin dan mediator inflamasi.
Dapat difahami bahwa peran otak melalui produksi dan sekresi mediator, ROS, dan
sitokin dalam merespon stres begitu hebat dan salah satu responnya berakibat pada
peningkatan kadar kokrtisol. Bedasarkan hasil pemeriksaan bahwa peningkatan kortisol
secara signifikan pada hari ketujuh setelah dinyatakan terinfeksi HIV dan mulai berangsur
turun pada hari ke tiga puluh satu akibat mekanisme koping yang semakin efektif.

2.1.12. Proses adaptasi dalam memodulasi sistem imun


Stres berfokus pada pada reaksi seseorang terhadap stresor dan menggambarkan
stres sebagi suatu respon. Respon yang dialami tersebut mengandung dua komponen, yaitu
komponen psikologis (perilaku, pola pikir, emosi dan perasaan stres) dan komponen
fisiologis (berupa rangsangan fisik yang meningkat). Terdapat tiga jenis stresor yang
menimbulkan proses pembelajaran dan memodulasi imunitas, yaitu stimulus, stres dan
stresor. Regulasi sistem imun atau imunoregulasi yang semula diyakini merupakan proses
yang otonom, terbukti dipengaruhi oleh kinerja sistem saraf, setidak-tidaknya dipengaruhi
oleh proses pembelajaran yang terjadi di Central Nervous System (CNS). Dengan
demikian, imunoregulasi terbukti tidak otonom. Keterlibatan sistem saraf dalam
imunoregulasi adalah pada kinerja sistem saraf yang menghasilkan proses pembelajaran
yang selanjutnya menghasilkan kognisi tertentu yang mampu memodulasi sistem imun.
Stresor akan direspon oleh otak berupa persepsi stres (stress perception), kemudian
direspon oleh sistem lain termasuk sistem imun, sehingga muncul persepsi stres (stress
perception) berupa modulasi sistem imun.
Pasien yang didiagnosa HIV biasanya akan mengalami stres persepsi (penerimaan
diri, sosial dan spiritual). Melalui sistem limbik dan kortek serebri diharapkan pasien akan
mempunyai respon adaptif yang positif. Dari respon penerimaan diri, setelah mengalami
proses pembelajaran maka persepsi pasien akan menjadi positif, koping positif, dan
akhirnya perilaku pasien terhadap perawatan akan positif. Respon kognisi yang positif
tersebut, melalui jalur HPA-Axis, khususnya pada jalur hipotalamus akan menurunkan
sekresi CRF pada basofil yang akan memacu kerja pituitary untuk menurunkan ACTH.
Penurunan ACTH akan menstimulasi penurunan produksi kortisol pada jalur adrenal
kortek. Penurunan kortisol akan memodulasi respon imun pasien HIV, khususnya T-
helper, yaitu meningkatnya kadar CD4, aktivasi IL-2, IFN-γ untuk menghasilkan sel
plasma dan akhirnya akan meningkatkan Antibodi HIV untuk melawan kuman HIV. IFN-γ
juga berperan dalam aktivasi NK-cell dan CTL serta resistensi sel yang belum teraktivasi.

2.2 Konsep Teori Model Adaptasi Roy


2.2.1. Sejarah Sister Callista Roy
Roy lahir pada tanggal 14 Oktober 1939 di Los Angeles, California. Roy
menyelesaikan pendidikan Diploma Keperawatan pada tahun 1963 di Mount Saint Mary’s
College, Los Angeles dan menyelesaikan Master Keperawatan di California University
pada tahun 1966. Roy menyelesaikan PhD Sosiologi pada tahun 1977 di Universitas yang
sama. Roy bersama Dorothy E. Johnson mengembangkan teori model konseptual
keperawatan. Ketika bekerja sebagai perawat anak, Roy melihat suatu perubahan besar
pada anak dan mereka berkemampuan untuk beradaptasi dalam respon yang lebih besar
terhadap perubahan fisik dan psikologis. Roy mengembangkan dasar konsep
keperawatannya pada tahun 1964-1966 dan baru dioperasionalkan pada tahun 1968. Pada
saat itu Mount Saint Mary’s College mengadopsi teori adaptasi sebagai dasar filosofi
kurukulum keperawatannya. Roy menjabat sebagai asisten Professor pada Departemen
Nursing di Mount Saint Mary’s College pada tahun 1982.

2.2.2. Sumber Teori Roy


Model adaptasi Roy dalam keperawatan berasal dari kutipan Harry Helson dalam
psychophysics yang diperluas dari ilmu sosial dan ilmu perilaku. Dalam teori adaptasi
Helson, respon adaptif merupakan fungsi dari stimulus yang diterima dan level adaptasi.
Simulus merupakan faktor yang menimbulkan respon yang mungkin muncul dari
lingkungan internal dan eksternal (Roy, 1984 dalam Tomey & Alligood 2010).
2.2.3. Konsep Model Adaptasi Roy
Menurut Tomey & Alligood, 2010, terdapat beberapa konsep utama dalam teori
adaptasi Roy, diantaranya adalah:
1. Sistem
Sistem merupakan ”satu set bagian yang terhubung ke fungsinya sebagai keseluruhan
untuk tujuan yang sama dan dalam pelaksanannya saling ketergantungan antar
bagiannya”. Selain memiliki bagian yang utuh dan terkait, sistem juga memiliki input,
output dan proses kontrol dan umpan balik (feed back).
2. Level adaptasi (adaptation level)
Level adaptasi menggambarkan kondisi dari proses hidup yang dijabarkan dalam tiga
tingkatan yaitu integrasi, kompensasi dan kompromi. Tingkat adaptasi seseorang dapat
berubah-ubah tergantung dari stimulus fokal, kontekstual dan residual.
3. Masalah adaptasi (adaptation problems)
Masalah adaptasi merupakan wilayah luas yang menjadi perhatian terkait dengan
proses adaptasi. Hal ini terjadi berkaitan dengan sulitnya menentukan indikator
adaptasi yang positif.
4. Fokal stimulus (focal stimulus)
Stimulus fokal adalah stimulus internal maupun eksternal yang secara langsung
menyebabkan gangguan pada sistem tubuh manusia.
5. Kontekstual stimulus (contextual Stimuli)
Stimulus kontekstual merupakan semua rangasangan yang lain yang datang dalam
situasi yang memberikan efek dari stimulus fokal. Dengan kata lain, stimulus yang
dapat menunjang terjadinya sakit (faktor pencetus)/ keadaan tidak sehat. Keaadaan ini
tidak terlihat langsung pada saat ini. Misalnya daya tahan tubuh yang menurun,
lingkungan yang tidak sehat.
6. Stimulus residual (residual stimuli)
Stimulus residual adalah faktor internal maupun eksternal manusia dengan efek pada
situasi saat ini yang tidak jelas. Merupakan keyakinan dan pemahaman individu yang
dapat mempengaruhi terjadinya keadaan tidak sehat atau disebut dengan faktor
predisposisi sehingga terjadi kondisi fokal. Misalnya persepsi klien tentang penyakit,
gaya hidup, peran dan fungsi.
7. Proses koping (coping processes)
Cara berinteraksi dengan perubahan lingkungan yang didapat secara bawaan maupun
dipelajari.
8. Mekanisme koping bawaan (innate coping mechanism)
Merupakan proses autonom yang diperoleh secara genetik yang tidak memerlukan
proses berpikir atau secara tanpa disadari.
9. Mekanisme koping yang dipelajari (acquired coping mecanism)
Merupakan strategi beradaptasi yang didapatkan dengan dipelajari. Pengalaman hidup
berkontribusi terhadap cara individu menghadapi stimulus.
10. Regulator subsistem (regulator subsystem)
Regulator merupakan proses koping secara keseluruhan yang melibatkan sistem
syaraf, kimia, dan endokrin.
11. Kognator subsistem (cognator subsystem)
Kognator subsistem merupakan proses koping secara keseluruhan yang melibatkan
empat bagian dari kognitif emosi yaitu persepsi dan proses informasi, belajar,
pertimbangan dan emosi.
12. Respon adaptif (adaptive rsponses)
Merupakan segala sesuatu yang mendukung integritas yang merupakan tujuan dari
sistem tubuh.
13. Respon inefektif (inefective responses)
Respon inefektif merupakan segala sesuatu yang tidak mendukung integritas yang
merupakan tujuan dari sistem tubuh.
14. Proses integrasi hidup (integrated life process)
Merupakan tingkat adaptasi dengan melibatkan struktur dan fungsi dari proses
kehidupan bekerja secara keseluruhan untuk memenuhi kebutuhan manusia.
15. Mode fisiologi dan fisik (physiological-physical mode)
Berkaitan dengan proses fisik dan kimia yang terlibat dalam fungsi dan aktivitas hidup
seseorang. Kebutuhan fisiologis diidentifikasi atas lima hal yaitu oksigenasi, nutrisi,
eliminasi, aktivitas dan istirahat, dan pelindungan. Terjadi proses yang komplek yaitu:
cairan, elektrolit, keseimbangan asam basa, fungsi neurologis, fungsi endokrin yang
berpengaruh pada adaptasi fisiologis.
16. Mode identitas diri, konsep dan grup (self-consept-group identity
mode)
Merupakan salah satu dari tiga mode psikososial yang berfokus pada aspek psikologis
dan spritual dari sistem manusia. Konsep diri didefinisikan sebagai gabungan antara
keyakinan dan perasaan seseorang terhadap dirinya yang dibentuk dari persepsi sendiri
maupun orang lain. Komponenya meliputi: (1) fisik diri, yang melibatkan sensasi dan
gambaran diri, serta (2) diri pribadi yang dibentuk dari konseistensi diri, ideal diri atau
harapan dan moral-etik-spiritual diri.
17. Mode perubahan fungsi (role function mode).
Merupakan salah satu dari dua mode sosial dan berfokus pada peran seseorang di
lingkungan sosial. Peran tersebut ditampilkan dalam 3 tingkatan yaitu peran primer,
sekunder dan tersier. Peran-peran ini dilakukan dengan perilaku baik instrumental
maupun ekspresif. Perilaku instrumental merupakan perilaku penampilan fisik secara
nyata. Sedangkan perilaku ekspresif meliputi perasaan, sikap, suka atau tidak suka dari
seseorang tentang penampilan atau tentang penampilan dari peran. Peran primer
didefinisikan sebagai perilaku seseorang yang merupakan kebiasaan dalam kehidupan
sehari-hari seperti peran yang berkaitan dengan usia, jenis kelamin dan tahap
perkembangan. Peran sekunder merupakan peran yang diartikan oleh individu untuk
memenuhi tugas pada tahap perkembangan dan peran primer. Peran tersier berkaitan
dengan peran primer dan sekunder dan cara yang ditampilkan oleh individu untuk
memenuhi kewajibannya. Contohnya; peran primer: peran sebagai perempuan dewasa,
peran sekunder: peran sebagai istri dan peran tersier: peran sebagai ibu dan sebagai
wanita bekerja.
18. Mode interdependen (interdependence mode)
Berfokus pada hubungan dengan orang lain (individu maupun kelompok), berkaitan
dengan kemampuan untuk memberi cinta, penghargaan, nilai-nilai, bimbingan,
pengetahuan, skills, komitmen, kepemilikan materi, waktu dan bakat/talenta. Dua area
utama dari perilaku interdependen: perilaku resptif (cepat memahami) dan perilaku
kontributif.
19. Persepsi
Persepsi merupakan interpretasi terhadap stimulus dan bagaimana cara
menghadapinya. Persepsi berhubungan dengan mode kognator dan mode adaptif.
Empat konsep sentral dari konsep model adaptasi Roy yang meliputi, manusia,
lingkungan, sehat dan keperawatan.
1. Manusia
Sistem manusia termasuk manusia seperti individu atau dalam kelompok,
keluarga, organisasi, kamunitas, dan masyarakat secara keseluruhan (Roy & Andrews,
1999 dalam Tomey & Alligood, 2010). Sistem manusia mempunyai kapasitas pikiran
dan perasaan, berakar pada kesadaran dan pengertian, dimana mereka menyesuaikan
diri secara efektif terhadap perubahan lingkungan dan efek dari lingkungan. Roy (Roy
& Andrew, 1999 dalam Tomey & Alligood) mendefinisikan manusia merupakan
fokus utama dalam keperawatan, penerima asuhan keperawatan, sesuatu yang hidup,
menyeluruh (komplek), sistem adaptif dengan proses internal (kognator dan regulator)
yang aplikasinya dibagi dalam empat mode adaptasi (fisiologi, konsep diri, fungsi
peran dan interdependensi).
2. Lingkungan
Roy menyatakan bahwa, lingkungan merupakan semua kondisi, keadaan,
pengaruh sekitarnya dan mempengaruhi perkembangan serta perilaku seseorang atau
kelompok, dengan suatu pertimbangan khusus dari mutualitas sember daya manusia
dan sumber daya alam yang mencakup stimulus fokal, kontekstual dan residual (Roy
& Andrew, 1999; Tomey & Alligood, 2010). Lingkungan merupakan masukan (input)
bagi manusia sebagai sistem yang adaptif sama halnya lingkungan sebagai stimulus
internal dan eksternal. Faktor lingkungan dapat mempengaruhi seseorang dan dapat
dikategorikan dalam stimulus fokal, kontekstual dan residual.
Lingkungan secara umum didefinisikan sebagai segala kondisi, keadaan
disekitar, dan mempengaruhi keadaan, perkembangan dan perilaku manusia sebagai
individu atau kelompok. Hubungan antara empat mode adaptasi berlangsung ketika
stimulus internal dan eksternal mempengaruhi lebih dari satu mode, terjadi perilaku
destruktif lebih dari satu mode, atau ketika satu mode menjadi stimulus fokal,
kontekstual atau residual untuk mode yang lain (Brower & Baker, 1976; Chin &
Kramer, 2008; Tomey & Alligood, 2010).
3. Sehat
Kesehatan dipandang sebagai keadaan dan proses menjadi manusia secara utuh
dan integrasi secara keseluruhan. Sehat merupakan cermin dari adaptasi, yang
merupakan interaksi manusia dengan lingkungan ( Andrew &Roy, 1991; Tomey &
Alligood, 2010). Definsi kesehatan ini lebih dari tidak adanya sakit tapi termasuk
penekanan pada kondisi baik. Sehat bukan berarti tidak terhindarkan dari kematian,
penyakit, ketidakbahagiaan dan stres akan tetapi merupakan kemampuan untuk
mengatasi masalah tersebut dengan baik.
Proses adaptasi termasuk fungsi holistik (bio-psiko-sosio-spiritual) untuk
mempengaruhi kesehatan secara positif dan itu meningkatkan integritas. Proses
adaptasi termasuk semua interaksi manusia dan lingkungan dua bagian proses. Bagian
pertama dari proses ini dimulai dengan perubahan dalam lingkungan internal dan
eksternal yang membutuhkan sebuah respon. Perubahan-perubahan tersebut adalah
stresor-stresor atau stimulus fokal dan ditengahi oleh faktor-faktor kontekstual dan
residual. Bagian-bagian stresor menghasilkan interaksi yang biasanya disebut stres,
bagian kedua dari stres adalah mekanisme koping yang merangsang menghasilkan
respon adaptif dan inefektif.
Melalui adaptasi energi individu dibebaskan dari upaya-upaya koping yang
tidak efektif dan dapat digunakan untuk meningkatkan integritas, penyembuhan dan
meningkatkan kesehatan. Integritas menunjukkan hal-hal yang masuk akal yang
mengarah pada kesempurnaan atau keutuhan.
4. Keperawatan
Keperawatan dianggap sebagai ilmu dan praktik yang meningkatkan adapatasi
agar individu dapat berfungsi secara holistic melalui aplikasi proses keperawatan
untuk memperngaruhi kesehatan secara positif. Tujuan keperawatan adalah
meningkatkan respon adaptif individu dengan mengurangi energi yang diperlukan
untuk megatasi situasi tertentu sehingga tersedia lebih banyak energi untuk proses
manusia lainnya. Keperawatan meningkatkan adaptasi dalam empat model, yang
berperan pada kesehatan,kuaitas hidup, dan meninggal dengan tenang.
Control Physiologi
Effecto
Input process
Coping cal Output
r Adapti
es
Mechani function
Stimuli ve and
sms Self-
Adapta ineffec
Regulato concept
tion tive
r Role
Level respon
Cognato Feedba function
ses
r ck interdeen
dence
Gambar 2.1 Introduction to nursing: An adaptation model (Roy & Andrews,
1999)
Menurut Roy, manusia adalah mahkluk holistic dan merupakan sistem adaptif.
Sistem terdiri dari proses input, output, kontrol dan umpan balik ( Roy & Andrew, 1999),
dengan penjelasan sebagai berikut :
1. Input
Menurut Roy input adalah sebagai stimulus yang merupakan kesatuan informasi,
bahan-bahan atau energi dari lingkungan yang dapat menimbulkan respon. Selain itu
sebagai suatu sistem yang dapat menyesuaikan diri dengan menerima masukan dari
lingkungan dalam individu itu sendiri, dimana dibagi dalam tiga tingkatan yaitu
stimulus fokal, kontekstual, dan stimulus residual.
2. Kontrol
Menurut Roy proses kontrol seseorang adalah bentuk mekanisme koping yang
digunakan. Mekanisme kontrol ini terdiri dari regulator dan kognator yang merupakan
subsistem.
a. Subsistem regulator mempunyai komponen : input-proses, dan output. Input
stimulus berupa internal atau eksternal. Transmitter regulator system adalah
kimia, neural atau endokrin. Terjadinya refleks otonom merupakan output
perilaku yang dihasilkan dari regulator sistem, banyak sistem fisiologis yang
dapat dinilai sebagai perilaku subsistem regulator.
b. Subsistem kognator, merupakan stimulus yang berupa ekternal maupun internal.
Output perilaku dari subsistem regulator dapat menjadi stimulus umpan balik
untuk subsistem kognator. Proses kontrol subsistem kognator berhubungan
dengan fungsi otak dalam memproses informasi, penilaian, dan emosi. Persepsi
atau proses informasi berhubungan dengan proses internal dalam memilih
perhatian, mencatat dan mengingat.
3. Output
Output dari suatu sistem adalah perilaku yang dapat diamati, diukur atau secara
subjektif dapat dilaporkan baik berasal dari dalam maupun dari luar. Perilaku ini
merupakan umpan balik dari sistem. Roy mengidentifikasi output sistem sebagai
respon yang adaptif atau respon yang mal adaptif. Respon adaptif dapat meningkatkan
integritas seseorang yang secara keseluruhan dapat terlihat bila seseorang mampu
memenuhi tujuan hidup, berupa kelangsungan hidup, perkembangan, reproduksi, dan
menjadi manusia yang berkualitas. Sedangkan respon yang mal adaptif merupakan
perilaku yang tidak mendukung tujuan seseorang.
4. Effektor
Roy mengembangkan proses internal seseorang sebagai sistem adaptasi dengan
menetapkan sistem efektor, yaitu empat model adaptasi meliputi fungsi fisiologis,
konsep diri, fungsi peran, dan interdependensi.

2.2.4. Proses Keperawatan Menurut Model Adaptasi Roy


Proses keperawatan yang telah dipaparkan oleh Roy terkait secara langsung dengan
melihat manusia sebagai sistem adaptif. Terdapat 6 tahap dalam proses keperawatan
menurut model adaptasi Roy.

1. Pengkajian perilaku
2. Pengkajian stimuli
3. Diagnosa keperawatan
4. Penetapan tujuan
5. Intervensi
6. Evaluasi (Roy & Andrews, 1999)
Berikut ini merupakan penjelasan dari tiap-tiap tahap pengkajian keperawatan
menurut model adaptasi Roy:
1. Tahap Pertama (Pengkajian Perilaku)
Perilaku dapat didefinisikan sebagai aksi dan reaksi manusia dalam keadaan tertentu.
Hasil dari pengkajian perilaku yang merupakan respon perilaku adaptif maupun
perilaku inefektif. Perilaku adaptif menunjukkan kualitas dari sistem adaptif manusia
dengan tujuan untuk kelangsungan hidup, repoduksi, penguasaan, dan tranformasi
manusia dan lingkungan. Perilaku inefektif artinya mengganggu atau tidak
memberikan kontribusi terhadap integritas (keutuhan).
2. Tahap Kedua (Pengkajian Stimuli)
Secara umum, kompenen yang mempengaruhi stimuli diantaranya adalah:
a. Budaya, sosial ekonomi, etnis, kepercayaan
b. Keluarga (struktur dan tugas)
c. Tingakat perkembangan (usia, sex, tugas, keturunan, faktor genetik, usia, visi.
d. Integritas dari mode adaptif. Psikologi (patologi penyakit), fisik ( sumber daya),
identitas diri, konsep diri; fungsi peran; mode interdependensi)
e. Level adaptasi
f. Efektivitas cognator dan innovator
g. Pertimbangan lingkungan.
Selain hal-hal yang disebutkan diatas, pengkajian stimuli juga meliputi identifikasi
dari stimulus fokal, kontekstual dan residual.
3. Tahap Ketiga (Diagnosa Keperawatan)
Diagnosa keperawatan didefinisikan dalam Model Adaptasi Roy sebagai proses
judgment yang dihasilkan dalam bentuk laporan yang menyampaikan status adaptasi
dari individu maupun kelompok. Diagnosa keperawatan merupakan pernyataan
interpretatif tentang sistem adaptif manusia. Dalam model adaptasi Roy, diagnosa
keperawatan sebagai proses penilaian yang didapatkan dari kesimpulan status adaptasi
dari sistem adaptif manusia. Konsep dari diagnosa keperawatan dapat diaplikasikan
oleh perawat dalam memberikan asuhan keperawatan kepada klien. Diagnosa
keperawatan merupakan pernyataan yang interpretasinya tentang sistem adaptasi
manusi (Roy, 2009)
4. Tahap Keempat (Penetapan Tujuan)
Penetapan tujuan merupakan pembentukan pernyataan yang jelas dari outcome
perilaku dalam asuhan keperawatan. Merupakan tujuan umum dari intervensi
keperawatan yaitu mempertahankan dan meningkatkan perilaku adaptif dan merubah
perilaku inefekif.
5. Tahap Kelima (Intervensi)
Intervensi merupakan proses seleksi dari pendekatan keperawatan untuk meningkatkan
adaptasi dengan merubah stimuli atau penguatan dari proses adaptif.
6. Tahap Keenam (Evaluasi)
Evaluasi merupakan proses penilaian efektivitas dari intervensi keperawatan dalam
hubungannya dengan perilaku dari sistem manusia baik individu maupun kelompok.

2.2.5. Pengkajian Keperawatan dengan Aplikasi Model Konseptual Adaptasi Roy


Proses pengkajian keperawatan dengan aplikasi model adaptasi Roy terdapat
empat mode adaptasi. Keempat mode adaptasi tersebut menentukan apakah adaptasi
merupakan respons yang efektif atau tidak efektif terhadap stimulus.
1. Fungsi fisiologis
Mode fisiologis merupakan hubungan antara proses fisik dan kimia yang
melibatkan fungsi dan aktivitas mahkluk hidup. Inti utamanya adalah pemahaman
tentang anatomi dan fisiologi tubuh manusia dan juga patofisiologi dasar dari
proses penyakit. Lima kebutuhan diidentifikasi dalam modus relatif fisiologis
sampai keutuhan fungsi fisiologis: oksigenasi, eliminasi, aktivitas dan istirahat,
dan proteksi. Masing-masing dari kebutuhan fisiologis melibatkan proses yang
terintegrasi.
a. Oksigenasi
Perlu melibatkan kebutuhan tubuh terhadap oksigen dan proses kehidupan
dasar terhadap ventilasi, pertukaran gas, dan transportasi udara. Oksigenasi
mengacu pada proses mempertahankan suplai oksigen dalam sel tubuh (Roy &
Andrew, 1991; Vario, 1984; Roy, 1999).
1) Ventilasi
Ventilasi merupakan proses yang komplek dari pernafasan, terjadi
pertukaran udara paru-paru dengan udara bebas. Pengkajian perilaku yang
perlu dikaji adalah pola ventilasi, suara nafas dan pengalaman subyektif
yang berhubungan dengan pernafasan. Sedangkan pengkajian stimuli yang
perlu dikaji adalah struktur integritas, ada atau tidaknya trauma, dan
pengobatan.
2) Pertukaran gas
Terjadinya pertukaran antara oksigen dan karbondioksidan di dalam
membral kapiler alveoli. Pengkajian perilaku yang perlu dikaji adalah
konsentrasi oksigen. Pengkajian stimuli yang harus dikaji adalah oksigen
atmosfer dan patologi panyakit.
3) Transport udara
Setelah terjadinya difusi yang melewati membrane capiler aveoli, oksigen
kemudian ditransfer ke jaringan untuk diserap. Pengkajian perilaku yang
harus dikaji adalah nadi, tekanan darah tes diaknostik, indikator fisiologis.
Sedangkan pengkajian stimuli yang harus dikaji adalah fungsi jantung,
hasil tes laboratorium, hasil pemeriksaan radiologi, pemeriksaan ECG,
condisi lingkungan dan faktor-faktor lainnya.
4) Proses kompensasi adaptif
Beruhubungan dengan sistem adaptasi seseorang ketika terjadi perubahan
lingkungan.
5) Hal-hal lain yang perlu dikaji adalah kaitannya dengan proses yang
membahayakan yang beruhungan dengan oksigenasi diantaranya adalah
hipoksia dan shock.
b. Nutrisi
Kebutuhan ini melibatkan rangkaian proses yang terintegrasi dan saling
berhubungan dengan pencernaan (proses menelan dan asimilasi) dan
metabolisme (persediaan energi, pembangunan jaringan dan pengaturan
metabolism tubuh). (Roy & Andrew, 1991; Servonsky, 1984a; Roy, 1999).
Perhatian utama dari pengkajian nutrisi adalah komposisi makanan yang
dikonsumsi dan bagaimanya metabolisme dalam tubuh.
1) Pencernaan
Pencernaan dapat didefinisikan dalam istilah umum sebagai suatu
rangkaian proses mekanik dan kimia mulai dari makanan masuk ke dalam
tubuh dan dipersiapkan untuk diabsorbsi. Pengkajian perilaku yang
berhubungan dengan pencernaan adalah pola makan, sensasi rasa dan bau,
alergi makanan, nyeri (nyeri telan), perubahan proses menelan. Sedangkan
pengkajian stimulus yang perlu dikaji adalah keutuhan dari struktur dan
fungsi, pengobatan, isyarat untuk menelan.
2) Proses metabolisme
Williams (1995) dalam Roy & Andrew (1999) mendeskripsikan
metabolisme sebagai suatu keseluruhan proses tubuh yang mencakup 3 hal
dasar yang harus dicapai yaitu: penyediaan sumber energy, membangun
jaringan, dan regulasi dari proses metabolism. Pengkajian perilaku dalam
proses metabolisme meliputi berat dan tinggi badan, nafsu makan dan rasa
harus, gambaran nutrisi, kondisi rongga mulut, dan indikator laboratorium
yang berhubungan. Sedangkan pengkajian stimuli yang perlu dikaji adalah
kebutuhan nutrisi, efeksititas sistem kognator, ketersediaan dari makanan,
budaya, kesadaran akan berat badan.
3) Kompensasi proses adaptif
4) Hal-hal yang membahayakan yang berhubungan dengan nutrisi diantaranya
obesitas, anoreksia.
c. Eliminasi
Kebutuhan eliminasi termasuk dalam proses fisiologis yang terlibat dalam
ekskresi sisa metabolisme terutama melalui usus dan ginjal (Roy & Andrew,
1991; Servonsky, 1984b; Roy, 1999).
1) Eliminasi usus
Perawatan yang adekuat dari saluran intestinal membutuhkan suatu fungsi
dari gastrointestinal yang baik. Hal-hal yang perlu diperhatikan adalah
peristaltic usus dan proses defekasi. Pengkajian perilaku yang berhubungan
dengan eliminasi usus meliputi karakteristik feses, bising usus, nyeri, hasil
laboratorium. Sedangkan pengkajian stimuli meliputi proses homeostasis
yang sempurna, datangnya penyakit, diet, intake cairan, lingkungan,
pengobatan dan penalataksanaan, kondisi yang menyakitkan (nyeri),
kebiasaan dalam eliminasi alvi, stres, keluarga dan budaya, tahap
perkembangan.
2) Eliminasi uri
Berhubungan dengan fungsi ginjal, ureter, kandung kemih dan uretra.
Fungsi dari sistem tersebut sangat penting untuk keseimbangan cairan dan
elektrolit. Pengkajian perilaku yang berhubungan dengan eliminasi uri
adalah jumlah dan karakteristik urin, frakuensi dan urgensi, nyeri, temuan
laboratorium. Sedangkan pengkajian stimuli terdiri dari
datangnyapenyakit, keseimbangan cairan, faktor lingkungan secara
langsung, pengobatan, nyeri dan koping, pola eliminasi sehari-hari, stres,
keluarga dan budaya, tahap perkembangan.
3) Kompensasi proses adaptif
Kemampuan dalam melakukan kompensasi terhadap respon kebutuhan
eliminasi termasuk fungsi homeostatis secara otomatis dari regulator dan
volunteer, kesadaran, aktivitas kognator.
4) Hal-hal yang harus mendapat perhatian lebih adalah konstipasi dan retensi
urin.
d. Aktivitas dan istirahat
Kebutuhan akan keseimbangan dalam mobilitas dan tidur memberikan fungsi
fisilogis yang optimal dari semua komponen tubuh dan masa pemulihan dan
perbaikan. Aktivitas mengacu pada pergerakan tubh dan melayani berbagai
kebutuhan seperti melaksanakan aktivitas atau sehari-hari dan melindingi diri
sendiri dari kecelakaan tubuh. Tidur merupakan proses hidup dasar untuk
istirahat dimana sebagian besar kegiatan fisiologis tubuh melambat dan untuk
memungkinkan pembaharuan energy yang akan digunakan dalam aktivitas
selanjutnya.
1) Mobilitas: proses dan pengkajian
Mobilitas merupakan proses dimana seorang bergerak atau dipindahkan,
terjadi perubahan lokasi atau posisi. Pengkajian perilaku yang berhubungan
dengan mobilitas adalah aktivitas fisik, fungsi motorik, pengkajian
fungsional, masa dan tonus otot, kekeuatan otot, mobilitas persendian dan
postur tubuh. Sedangkan pengkajian stimulus yang perlu dikaji adalah
kondisi fisik, kondisi psikologis, lingkungan sekitar dan kebiasaan diri.
2) Tidur: proses dan pengkajian
Istirahat secara umum merupakan terjadi perubahan aktivitas yang
membutuhkan energy minimal. Pengkajian perilaku yang berhubungan
degan proses tidur adalah kulaitas dan kuantitas istirahat sehari-hari, pola
tidur, tanda-tanda kurang tidur. Sedangkan pengkajian stimulus yang perlu
dikaji adalah faktor lingkungan, stres fisik, tahap perkembangan, kondisi
fisiologis, lingkungan segera, penggunaan narkoba.
3) Kompensasi proses adaptif
Banyak strategi kompensasi untuk aktivitas dan istirahat diantaranya
pemahaman tentang mibilitas, proses istirahat dan tidur. Hal-hal yang perlu
diperhatikan adalah menggunakan umpan balik dalam gerakan, belajar
respon relaksasi.
4) Hal-hal yang harus mendapat perhatian lebih adalah disus sindrom dan
gangguan pola tidur.
e. Proteksi
Kebutuhan untuk perlindungan termasuk dua dasar proses kehidupan, proses
pertahanan nonspesifik dan proses pertahanan spesifik yang keduanya secara
bersama-sama dalam memberikan perlindungan tubuh dari substansi-substansi
luar seperti bakteri, virus, sel abnormal dalam tubuh dan transplantasi jaringan.
1) Pertahanan non spesifik: proses dan pengkajian
Komponen pertahanan non spesifik termasuk di dalamnya menjelaskan
proses dari pertahanan tersebut, surface membrane barriers, pertahanan
celuler dan kimia. Pengkajian perilaku yang berhubungan dengan proteksi
adalah riwayat, integritas kulit, rasa nyeri dan kondisi kulit yang terkait
dengan adanya luka operasi, rambut dan kuku, keringat dan suhu tubuh,
membrane mukosa, respons inflamasi, hasil laboratorium, sensitifitas untuk
nyeri dan suhu. Sedangkan pengkajian stimulus yang berhubungan dengan
proteksi adalah faktor lingkungan, integritas mode, efektivitas kognator,
tahap perkembangan.
2) Pertahanan spesifik: proses dan pengkajian
Pengkajian perilaku yang berhubungan dengan pertahanan spesifik adalah
indikasi respon imun, status imunologis, hasil laboratorium. Sedangkan
pengkajian stimulus yang berhubungan dengan pertahanan spesifik adalah
integrity of mode, tahap perkembangan, faktor lingkungan efektivitas
kognator.
Serta, adaptasi fisiologis proses komplek yang termasuk perasaan: cairan, elektrolit,
keseimbangan asam basa, fungsi neurologis dan fungsi endokrin.
1. Penginderaan
Meliputi pandangan, pendengaran, sentuhan, rasa dan bau memungkinkan
seseorang untuk berinteraksi dengan lingkungan, termasuk sensasi nyeri
(Discroll, 1984; Roy & Andrews, 1991; Roy, 1999). Sensasi termasuk proses
dimana energy, seperti cahaya, suara, panas, getaran mekanik, dan tekanan,
ditransduksi menjadi aktivitas saraf yang menjadi persepsi.
a. Penglihatan: proses dan pengkajian
Penglihatan merupakan proses yang komplek yang melibatkan struktur
perifer mata, jalur neuro visual, dan area visual dari kortek serebri dalam
lobus okspital otak. Pengkajian perilaku yang berhubungan dengan
penglihatan adalah tes visual, pemeriksaan fungsi visual, pemeriksaan
internal. Pengkajian stimulus yang perlu dikaji berkaitan dengan
neuropatologis.
b. Pendengaran
Pendengaran dapat didefinisikan sama seperti sebuah proses yang komplek
dimana gelombang suara dapat dideteksi, ditransmisikan dan
diinterpretasikan. Pengkajian perilaku yang berhubungan dengan
pendengaran adalah audiometric dan tes diagnostik yang lain. Sedangkan
pengkajian stimulus pada situasi terjadinya gangguan atau kelemahan,
perawat mengkaji pengalaman tentang kehilangan atau terjadinya
penurunan gangguan pendengaran
c. Perasaan
Perasaan merupakan istilah umum yang diberikan kepada sebuah proses
yang komplek dimana sensasi dari sistem somatosensori dideteksi,
ditransmisikan, dan diinterpretasikan. Pengkajian perilaku yang
berhubungan dengan perasaan adalah sensasi dan simetri. Sedangkan
pengkajian stimulusnya adalah terjadinya penurunan atau gangguan
sementara atau permanen, gangguan yang baru didapat atau sudah lama,
gangguan lebih dari satu, pandangan seseorang tentang kehilangan fungsi
tersebut, efek pada lingkungan saat ini, tingkat dan kebutuhan pengetahuan
dan kesediaan untuk pengajaran.
2. Cairan, elektrolit dan keseimbangan asam basa
Proses secara menyeluruh yang berhubungan dengan cairan, elektrolit, dan
keseimbangan asam basa sangat diperlukan oleh sel, ekstraseluler dan fungsi
sistemik (Perley, 1984; Roy & Andrews, 1991; Roy, 1999). Komponennya
asam basa terdiri dari keseimbangan cairan, keseimbangan elektrolit dan asam
basa. Pengkajian perilaku yang berhubungan dengan cairan, elektrolit dan asam
basa adalah oksigenasi, nutrisi, eliminasi, aktivitas dan istirahat, proteksi, fungsi
neurologis, hasil laboratorium. Sedangkan pengkajian stimulus terdiri dari
integritas mode fisiologis, intervensi medis, efektivitas kognator, tahap
perkembangan dan faktor lingkungan.
3. Fungsi neurologis
Saluran neurologis merupakan bagian integral dari regulator mekanisme koping
seseorang. Fungsinya untuk mengontrol dan mengkoordinasikan pergerakan
tubuh, kesadaran, dan proses kognitif emosi, dan juga mengatur aktivitas organ
tubuh (Robertson, 1984; Roy & Andrews, 1991; Roy, 1999).
a. Kognitif: prosess dan pengkajian
Sistem saraf pada manusia bekerja seperti suatu sistem pengendali seperti
interaksi dan respon atau tanggapan. Pengkajian perilaku yang berhubungan
dengan fungsi kognitif adalah input proses, proses utama, pengkodean,
pembentukan konsep, memori, bahasa, proses output, perencanaan dan
respons motorik. Sedangkan pengkajian stimulus berupa patofisiologi, level
gas darah dan hemoglobin, status nutrisi, aktivitas dan istirahat, stres,
pengetahuan, lingkungan fisik, mode konsep diri, mode fungsi peran dan
mode interdependence.
b. Kesadaran: proses dan pengkajian
Kesadaran telah didefinisikan sebagai suatu kesadaran akan lingkungan
internal dan eksternal. Teori kesadaran mencakup dua komponen: gairah,
awakeness seseorang dan kesenangan atau kepuasan, merupakan interpretasi
dari lingkungan internal dan eksternal. Pengkajian perilaku yang
berhubungan dengan kesadaran adalah tingkat kesadaran, respons motorik,
respon terhadap nyeri, orientasi dan tingkat kesadaran atau perhatian, tanda-
tanda vital. Sedangkan pengkajian stimulus terbagi dalam situasional
circumstances, status fisiologis, zat berbahaya, penatalaksanaan medis dan
patofiologi.
4. Fungsi endokrin
Sistem hormon dalam tubuh, berserta fungsi neurologis, untuk
mengintegrasikan dan mengkoordinasikan fungsi tubuh. Aktivitas endokrin
memainkan peran yang signifikan dalam respon stres dan juga merupakan
bagian dari coping regulator (Howard & Velentine, 1984; Roy & Andrews,
1991; Roy & Andrews, 1999). Pengkajian perilaku yang berhubungan dengan
fungsi endokrin adalah oksigenasi, aktifitas dan istirahat, nutrisi, keseimbangan
cairan, elektroit dan asam basa, eliminasi, proteksi, penginderaan, fungsi
neurologis, struktur perkembangan, mode adaptive yang lain, test laboratorium.
Sedangkan pengkajian stimulus adalah tahap perkembangan, riwayat keluarga,
etnis, kondisi lingkungan, intervensi kesehatan, tingkat pengetahuan, integritas
mode yang lain.
2. Konsep diri-mode group identitas.
Mode konsep diri terdiri atas perasaan dan keyakinan individu pada waktu tertentu
yang mempengaruhi perilaku. Mode ini termasuk integritas psikis, fisik-diri,
personal-diri, konsistensi diri, ideal diri/harapan diri, diri moral-etika-spiritual,
pembelajaran, konsep diri internal, dan harga diri.
a. Pengembangan diri: proses dan pengkajian
Baik fisik dan diri pribadi berkembang sepanjang hidup seseorang. Untuk
anak-anak, perkembangan diri dipengaruhi oleh meningkatnya atau
perkembangan kapasitas fisik dan berfikir dan oleh interaksi dengan yang lain.
Pengkajian perilaku yang berhubungan degan pengembangan diri adalah
sensasi tubuh, citra tubuh. Pengkajian stimulus dapat berupa perkembangan
fisik, tahap perkembangan kognitif, interaksi dengan pemberi pelayanan, reaksi
dari orang lain, maturational crisis, presepsi dan skema diri dan strategi koping.
b. Fokus diri: proses dan pengkajian
Pengkajian perilaku berfokus pada perilaku nonverbal yaitu, ekspresi wajah,
nada dan suara, kontak mata. Pengkajian stimulus dapat berupa transaksi antara
orang dan lingkungan, berusaha untuk persatuan dan integritas/kesatuan,
konfirmasi melalui interaksi sosial, arti kesadaran orang dengan lingkungan,
nilai atribut diri, strategi koping.
c. Identitas diri: proses dan pengkajian.
Memperlajari identitas bersama melibatkan lebih dari sekedar mempelajari
konsep diri dan hubungan satu sama lain sebagai anggota kelompok.
Pengkajian perilaku terdiri dari persepsi lingkungan, orientasi kognitif dan
perasaan, tujuan dan nilai. Sedangkan assessment of stimulus adalah tuntutan
dan jarak, lingkungan sosial ekternal, kepemimpinan dan tanggung jawab.
3. Mode Fungsi peran
Fungsi peran mencakup peran, posisi, performa peran, penguasaan peran,
integritas sosial, peran primer, peran sekunder, peran tersier, danperilaku
instrumentasl dan ekspresif.
a. Pengembangan peran
Pengembangan peran mengacu proses penambahan peran baru sebagai salah
satu kematangan dalam kehidupan. Pengkajian perilaku yang berhubungan
dengan pengembangan peran adalah identifikasi peran dan instrumental serta
ekspresif perilaku. Pengkajian stimulus dapat berupa persyaratan, atribut fisik
dan kronologis usia, konsep diri dan kesejahteraan, pengetahuan dan perilaku
yang diharapkan, peran lain, role model, norma sosial.
b. Pengambilan peran: proses dan pengkajian
Role taking merupakan proses melihat atau antisipasi perilaku orang lain
dengan melihat ke dalam atribut yang lain. Pengkajian stimulus diantaranya
adalah penentu secara umum, pengaturan sosial, proses kognator, sumber daya
kognitif dan persepsi sosial.
c. Integrasi peran: proses dan pengkajian
Pengkajian perilaku yang berhubungan dengan integrasi peran adalah
mengintegrasikan peran melibatkan identifikasi pola yang efektif dari kinerja
peran untuk seorang individu atau kelompok. Pengkajian stimulus berupa
ukuran dan kompleksitas dari perangkat peran, proses kognator, tahap
perkembangan kelompok.
4. Model Interdependensi
Interdependensi mambahas kemampuan untuk mencintai, menghormati, dan
menilai orang lain dan berespon terhadap orang lain. Mode interdependensi
mencakup kecukupan afeksi, kasih sayang, orang terdekat, sistem
pendukung,perilaku reseptif dan perilaku yang menunjang.
a. Affectional adequacy
Affectional adequacy termasuk kerelaan dan kemampuan untuk memberikan
dan menerima dari segi aspek lain sebagai suatu pribadi, misalnya, cinta,
menghormati, nilai, pengasuhan, pengetahuan, ketrampilan, komitmen, bakat,
kepemilikan, waktu, loyalitas. Pengkajian perilaku yang berhubungan dengan
affectional adequacy adalah signifikansi lain dan sistem pendukung, memberi
dan menerima. Sedangkan pengkajian stimulus terdiri dari harapan,
kemampuan memelihara, tingkat penghargaan diri, ketrampilan komunikasi,
kehadiran, konteks, infrastruktur dan orang.
b. Developmental adequacy
Developmental adequacy mengacu pada proses yang terkait dengan
pembelajaran dan kematangan dalam hubungan timbal balik, baik individu itu
sendiri (termasuk dua orang) atau kolektif (termasuk keluarga, kelompok,
asosiasi, organisasi, atau jejaring). Pengkajian perilaku diantaranya tahap
perkembangan, ketergantungan, kemandirian. Pengkajian stimulus diantaranya
tahap perkembangan, perubahan yang signifikan, integritas konsep diri,
pengetahuan tentang hubungan.
c. Sumber daya yang adekuat: proses dan pengkajian
Sumber daya yang adekuat sama seperti kebutuhan makanan, pakaian,
perlindungan, kesehatan dan keamanan yang dicapai melalui proses yang
saling ketergantungan, proses penting dalam mencapai integritas hubungan.
Pengkajian perilaku adalah integritas fisiologis dan fisik. Pengkajian stimulus
terdiri dari sumber daya moneter, bantuan dalam berhubungan.
5. Stimulus
Setiap orang dipengaruhi oleh stresor yang disebut stimulus. Kemampuan masing-
masing individu untuk beradaptasi terhadap stimulus yang terus berubah
ditentukan oleh tingkat adaptasi individu, yang merupakan titik yang terus berubah
secara konstan yang ditentukan oleh efek kolektif dari stimulus fokal, kontekstual
dan rentang residual yang dapat ditoleransi pada suatu waktu tertentu.

Anda mungkin juga menyukai