Makalah Bahasan HIV
Makalah Bahasan HIV
2.1.2. Etiologi
HIV merupakan suatu Retrovirus manusia sitopatik diklasifikasikan dalam family
Retroviridae, subfamily Lentivirinae, dan genus Lentivirus. Berdasarkan strukturnya, HIV
termasuk family retrovirus dan tergolong dalam vrus RNA. Retrovirus mengubah asam
ribonukleat (RNA) menjadi asam deoksiribonukleat (DNA) setelah masuk keadalam sel
penjamu. HIV-1 dan HIV-2 adalah lentivirus sitopatik, dengan HIV-1 menjadi penyebab
utama AIDS diseluruh dunia.
2.1.3. Epidemiologi
Prevalensi HIV-2 lebih banyak di negara Afrika Barat, tapi HIV-1 merupakan
virus predominan di Afrika bagian tengah dan timur dan bagian dunia lainnya. Menurut
the Joint United Nations Program on HIV/AIDS (2000), diperkirakan bahwa 36,1 juta
orang terinfeksi oleh HIV dan AIDS pada akhir tahun 2000. Dari 36,1 jita kasus, 16,4 juta
adalah perempuan dan 600.000 adalah anak-anak berusia kurang dari 15 tahun. Infeksi
HIV telah menyebabkan kematian pada sekitar 21,8 juta orang sejak permulaan epidemi
pada akhir tahun 1970an sampai awal tahun 1980an. Dari tahun 1981 sampai 2000, di
Amerika Serikat dilaporkan 774.467 kasus AIDS secara kumulatif (CDC, 2000b). Sekitar
58% dari kasus-kasus ini diketahui sudah meninggal. Pada bulan Desembar 2000, CDC
melaporkan 127.286 orang dewasa dan anak-anak ( usia kurang 13 tahun ) hidup dengan
HIV dan 322.865 dengan penyakit AIDS.
2.1.4. Patofisiologi
HIV merupakan retrovirus obligat intraseluler dengan replikasi sepenuhnya di
dalam sel host. Transmisi HIV masuk ke dalam tubuh manusia melalui 3 cara, yaitu: (1)
secara vertikal dari ibu yang terinfeksi HIV ke anak (selama mengandung, persalinan, dan
menyusui); (2) secara transeksual (homoseksual maupun heteroseksual); (3) secara
horizontal yaitu kontak antar darah atau produk darah yang terinfeksi (asas sterilisasi
kurang diperhatikan terutama dalam pemakaian jarum suntik bersama-sama secara
bergantian, tato, tindik, tranfusi darah, transplantasi organ, tindakan hemodialisis dan
perawatan gigi). Perjalanan infeksi HIV di dalam tubuh manusia diawali dari interaksi
gp120 pada selubung HIV berikatan dengan reseptor spesifik CD4 yang terdapat pada
permukaan membran sel target (kebanyakan limfosit T-CD4).
1. HIV masuk ke dalam sel target
Sel yang menjadi sel target adalah sel yang mempu mengekpresikan reseptor CD4.
Agar bisa masuk ke dalam sel target, gp 120 HIV perlu berikatan dengan reseptor CD4
kemudian terjadi fusi membran HIV dengan membran sel target atas peran gp41 HIV
yang dilanjutkan dengan masuknya seluruh isi sitoplasma HIV termasuk enzim
reverse transcriptase dan inti masuk ke dalam sitoplasma sel target.
2. HIV melepaskan single strand RNA (ssRNA).
3. Enzim reverse trancriptase akan menggunakan RNA sebagai template untuk
mensintesis DNA
4. RNA dipindahkan oleh ribobuklease dan enzim reverse transcriptase untuk
mensintesis DNA lagi sehingga menjadi double strand DNA (provirus).
5. Provirus masuk ke dalam nukleus, menyatu dengan kromosom sel host dengan
perantara enzim integrase.
6. Enzim polymerase akan mentranskrip DNA menjadi RNA yang secara struktur
berfungsi sebagai RNA genomic dan mRNA.
7. RNA keluar dari nukleus, mRNA mengalami translasi menghasilkan polipeptida.
Kemudian bergabung dngan RNA menjadi inti virus baru.
8. Inti beserta perangkat lengkap virion baru ini membentuk tonjolan pada permukaan sel
host, kemudian polipeptida dipecah oleh enzim protease menjadi protein dan enzim
yang fungsional.
9. Virus yang sudah lengkap dan matang ini keluar dari sel, akan menginfeksi sel target
berikutnya. Dalam satu hari HIV mampu melakukan replikasi hingga mencapai 10 9
-1011 virus baru.
10. Secara perlahan tapi pasti, limfosit T penderita akan tertekan dan semakin menurun
dari waktu ke waktu. Kemudian diikuti kematian limfosit T.
11. Sifat istimewa HIV yang lain : merangsang replikasi HIV dalam sel penjamu ( host
cell ).
2. Tujuan VCT
a. Upaya pencegahan HIV/AIDS
b. Upaya untuk mengurangi kegelisahan, meningkatkan persepsi/pengetahuan
mereka tentang faktor-faktor risiko penyebab seseorang terinfeksi HIV
c. Upaya pengembangan perubahan perilaku, sehingga secara dini mengarahkan
mereka menuju ke program pelayanan dan dukungan termasuk akses terapi
antiretroviral, serta membantu mengurangi stigma dalam masyarakat.
3. Tahap VCT
a. Pra-konseling (sebelum deteksi HIV)
Pra-konseling atau konseling pencegahan memuat dua hal penting di dalamnya,
yaitu aplikasi perilaku klien yang dapat menyebabkan atau klien berisiko tinggi
terinfeksi HIV/AIDS serta apakah klien mengetahui tentang HIV/AIDS dengan
benar.
Konselor harus lebih berhati-hati pada klien dengan perilaku berisiko tinggi. Hal
ini dikarenakan harus diteruskan dengan rinci tentang akibat yag akan timbul bila
hasil tesnya sudah keluar. Tujuan dari konseling ini adalah untuk mengubah
perilaku klien. Konselor juga harus menyampaikan terjaminnya kerahasiaan
tentang informasi yang diberikan serta klien harus membubuhkan tanda tangan
pada surat persetujuan diperiksa. Konselor juga harus mampu menjadi pendamping
dan pendukung moral kepada klien.
Tujuan Konseling pra-tes HIV/AIDS:
1. Klien dapat memahami benar kegunaan tes HIV/AIDS
2. Klien dapat menilai risiko dan mengerti persoalan dirinya
3. Klien dapat menurunkan rasa kecemasannya
4. Klien dapat membuat rencana penyesuaian diri dalam kehidupan
5. Klien memilih dan memahami apakah ia akan melakukan tes darah HIV/AIDS
atau tidak.
Lima prinsip praktis konseling pra-tes HIV
1. Motif klien dari klien HIV/AIDS
Klien secara sukarela (voluntary) dan secara paksa (compulsory) mempunyai
perasaan yang berbeda dalam menghadapi segala kemungkinan, baik pra-tes
atau pasca-tes
2. Interpretasi hasil pemeriksaan
a. Uji saring atau skrining dan tes konfirmasi
b. Asimtomatik atau gejala nyata (full bown symptom)
c. HIV tidak dapat disembuhkan tetapi masih dapat diobati (infeksi sekunder)
3. Estimasi hasil
a. Pengkajian risiko bukan hasil yang maksimal
b. Masa jendela
4. Rencana ketika hasil diperoleh
Apa yang harus dilakukan klien setalah mengetahui hasil pemeriksaan, baik
positif maupun negatif.
5. Pembuatan keputusan
Klien dapat memutuskan untuk mau dan tidak mau diambil darahnya guna
dilakukan pemeriksaan HIV.
b. Deteksi HIV (Sesuai keinginan dan setelah klien menandatangani lembar
persetujuan/informed consent)
Tes HIV digunakan untuk memastikan apakah seseorang sudah positif terinfeksi
HIV atau belum dengan pemeriksaan darah. Hal ini dilakukan agar seseorang bisa
mengetahui secara pasti status kesehatan dirinya, terutama status kesehatan yang
menyangkut risiko dari perilakunya selama ini.
Tes HIV harus bersifat:
a. Sukarela
Berdasarkan kesadaran sendiri, bukan atas paksaan atau tekanan dari orang
lain.
b. Rahasia
Hasil positif maupun negatif dari tes yang telah dilakukan hanya boleh
diberitahu langsung kepada orang yang bersangkutan.
c. Tidak boleh diwakilkan kepada orang lain, siapapun itu.
d. Pascakonseling: Konseling setelah deteksi HIV
Pasca konseling merupakan kegiatan konseling yang harus diberikan setelah hasil
tes diketahui, baik hasilnya positif maupun negatif. Konseling pasca-tes sangat
penting untuk membantu mereka yang hasil HIV nya positif agar dapat
mengetahui cara menghindarkan penularan HIV ke orang lain. Bagi yang hasilnya
negatif, hasil tes dapat dapat bermanfaat untuk mencegah infeksi HIV di masa
mendatang.
Tujuan konseling pasca tes:
a. Hasil negatif
1) Klien dapat memahami arti periode jendela
2) Klien dapat membuat keputusan akan tes ulang atau tidak, kapan waktu
tepat untuk datang.
3) Klien dapat mengembangkan pedoman praktis bagi dirinya untuk
mengurangi risiko melalui perilakunya.
b. Hasil positif
1) Klien dapat memahami dan menerima hasil tes secara tepat
2) Klien dapat menurunkan masalah psikologis dan emosi karena hasil tes
3) Klien dapat menyesuaikan kondisi dirinya dengan infeksi dan menyusun
pemecaham masalah serta dapat menikmati hidup
4) Klien dapat mengembangkan pedoman prakis bagi dirinya untuk
mengurangi risiko melalui perilakunya.
2.1.11. HIV, Stres, Stresor dan Adaptasi (Respons Hypotalamo-Pituitary-Adrenal
Axis/HPA Axis)
Istilah stres dapat digunakan untuk menamakan lingkungan yang merusak, kondisi
psikologis yang terancam, dan respons biologis terhadap stresor. Stresor dapat berupa
psikis, fisik maupun lingkungan. Selye (1983) , mengemukakan bahwa stres berfokus pada
reaksi seseorang terhadap stresor dan menggambarkan stres sebagai suatu respons. Respon
yang dialamu tersubut mengandung dua komponen yaitu, komponen psikologis (meliputi
perilaku, pola pikir, emosi, dan perasaan stres) dan komponen fisiologis (rangsangan-
rangsangan fisik yang meningkat). Selye (1983) mengemukakan respons tubuh terhadap
stres tersebut sebagai sindrom stres (stress syndrome) atau sindrom adaptasi umum
(general adaptation syndrome/GAS) yang merupakan respons umum dari tubuh. GAS
menurut Selye terjadi saat organisme mengalami stres yang panjang atau lama sehingga
organ tubuh yang lain juga ikut terpengaruh oleh kondisi stres tersebut. Tahap dari GAS
adalah sebagai berikut:
1. Tahap peringatan (Alarm Stage)
Tahap ini merupakan tahap reaksi awal tubuh dalam menghadapi berbagai stresor.
Reaksi ini mirip dengan fight or flight response (menghadapi atau lari dari stres).
Tubuh tidak dapat bertahan pada tahapan ini dalam jangka waktu lama.
2. Tahap adaptasi atau Eustres (Adaptation Stage)
Tahap ini dimana tubuh mulai beradaptasi dengan adanya stres dan berusaha
mengatasi serta membatasi stresor. Ketidakmampuan beradaptasi mengakibatkan
tubuh menjadi lebih rentan terhadap penyakit (penyakit adaptasi)
3. Tahap kelelahan atau Distres (Exhaustion Stress)
Tahap ini merupakan tahap dimana adaptasi tidak bisa dipertahankan karena stres
yang berulang atau berkepanjangan sehingga berdampak pada seluruh tubuh.
Sehubungan dengan HIV, akan terkait dengan tiga buah stresor, yaitu (1) stres biologis
akibat HIV itu sendiri; (2) stres psikologis akibat dinyatakan terinfeksi HIV terutama bila
tidak atau kurang dilengkapi dengan konseling dan atau penyampain pernyataan terinfeksi
HIV jelas; (3) stresor psikososial akibat stigma dan diskriminasi yang tumbuh dan
berkembang di keluarga maupun masyarakat. Stres tidak hanya terjadi pada manusia, stres
juga bisa terjadi pada tingkat sel (stress cell) dimana terjadi stres protein yang berfungsi
sebagai bahan yang mengisyaratkan stres (stress signaling substances) yang berakhir pada
kelelahan yang berupa nekrosis dan apoptosis. Pada infeksi HIV,kelelahan diformulasikan
dengan munculnya apoptosis sel yang patologis, difus, luas terutama mengenai limfosit T
sehingga jumlah limfosit total dan atau CD4 berangsur menurun.
Respons psikologis hingga menimbulkan suatu adaptasi psikologis yang nantinya akan
berpengaruh terhadap stres dan kualitas imunitas tergantung pada 3 faktor penting,
diantaranya; (1) faktor medis (gejala-gejala, perjalanan penyakit, komplikasi terutama pada
sistem saraf pusat; (2) faktor psikologis (kepribadian dan kemampuan dalam koping,
dukungan interpersonal); (3) faktor sosiokultural (stigma dan diskriminasi).
Masuknya HIV ke dalam tubuh merupakan stresor biologis yang berdampak luas. HIV
dapat mempengaruhi seluruh organ tubuh termasuk otak, sistem imun, organ-organ visera.
Stresor HIV akan direspon oleh sistem saraf pusat yang melibatkan otak, hipotalamus,
batang otak, hipofisis, serta saraf perifer. Dampak stresor biologis HIV tersebut akan
menstimulasi sel-sel otak untuk memproduksi dan sekresi berbagai molekul signal seperti
neurotransmitter, neuropeptida, neurohormon, maupun neuroendokrin molekul efektor.
Alur dari pengaruh stresor biologis HIV terhadap respon imun adalah sebagai berikut:
1. Stresor biologis HIV tersebut akan meningkatkan aktivitas aksis hipotalamus-pituitari-
adrenal (HPA) melalui corticotrophin releasing factor (CRF). Dampaknya akan
dialami berbagai sel tubuh termasuk astrosit, mikroglia. Astrosit dan mikroglia
menjadi aktif memproduksi/sekresi sitokin proinflamatori (IL-1β, IL-6, TNF-α),
produksi reactive oxygen species (ROS).
2. Sitokin proinflamatori bersama serotonin, noreponeprin, dan asetikholin,
memengaruhi paraventriculer nucleus (PVN) di hipotalamus dan kemudian
memproduksi molekul sinyal CRF yang bertindak sebagai coordinator respon stres. .
3. Dalam hitungan menit sejak munculnya stres akan meningkatkan mRNA CRF, disusul
meningkatnya kadar CRF pada PVN.
4. CRF dilepaskan di penghijung pembuluh darah kapiler dalam pleksus venous
hipofisialportal yang merupakan muara kelenjar hipofisis anterior.
5. CRF kemudian mengaktifkan reseptor basofil pada hipofisis anterior , menginduksi
poliprotein proopiomelanocortin (PMOC) yang pasca translasi memproduksi ACTH,
α, β, γ melanodit stimulating hormone (MSH), dan β endorphin.
6. ACTH menstimulasi spongiosa pada zona fasikulata korteks adrenal untuk
memproduksi kortisol sebagai hormon stres. Kemudian mengikuti aliran darah
sistemik dan mempengaruhi spongiosit (sel zone fasikulata korteks) adrenal sehingga
memicu peningkatan kortisol.
7. Peningkatan kadar CRF, kortisol, ketokolamin pada keadaan stres juga diikuti
peningkatan anrgininvasopresin (AVP) di hipotalamus yang bekerja sinergis dengan
CRF untuk menginduksi ekspresi poliprotein atau gen POMC dan ekspresi
norepineprin dari locus ceruleus. CRF juga menginduksi sekresi somatostatin dan
dopamin oleh hipotalamus.
8. Pengaruh kortisol yang meningkat terhadap respon imun selama stres berlangsung
mengakibatkan efek imunosupresif pada sistem lomforetikuler. Kortisol menghambat
fungsi limfosit, makrofag, dan leukosit serta efek pada tempat infeksi. Kortisol
mempunyai kemampuan menekan produksi sitokin dan mediator inflamasi.
Dapat difahami bahwa peran otak melalui produksi dan sekresi mediator, ROS, dan
sitokin dalam merespon stres begitu hebat dan salah satu responnya berakibat pada
peningkatan kadar kokrtisol. Bedasarkan hasil pemeriksaan bahwa peningkatan kortisol
secara signifikan pada hari ketujuh setelah dinyatakan terinfeksi HIV dan mulai berangsur
turun pada hari ke tiga puluh satu akibat mekanisme koping yang semakin efektif.
1. Pengkajian perilaku
2. Pengkajian stimuli
3. Diagnosa keperawatan
4. Penetapan tujuan
5. Intervensi
6. Evaluasi (Roy & Andrews, 1999)
Berikut ini merupakan penjelasan dari tiap-tiap tahap pengkajian keperawatan
menurut model adaptasi Roy:
1. Tahap Pertama (Pengkajian Perilaku)
Perilaku dapat didefinisikan sebagai aksi dan reaksi manusia dalam keadaan tertentu.
Hasil dari pengkajian perilaku yang merupakan respon perilaku adaptif maupun
perilaku inefektif. Perilaku adaptif menunjukkan kualitas dari sistem adaptif manusia
dengan tujuan untuk kelangsungan hidup, repoduksi, penguasaan, dan tranformasi
manusia dan lingkungan. Perilaku inefektif artinya mengganggu atau tidak
memberikan kontribusi terhadap integritas (keutuhan).
2. Tahap Kedua (Pengkajian Stimuli)
Secara umum, kompenen yang mempengaruhi stimuli diantaranya adalah:
a. Budaya, sosial ekonomi, etnis, kepercayaan
b. Keluarga (struktur dan tugas)
c. Tingakat perkembangan (usia, sex, tugas, keturunan, faktor genetik, usia, visi.
d. Integritas dari mode adaptif. Psikologi (patologi penyakit), fisik ( sumber daya),
identitas diri, konsep diri; fungsi peran; mode interdependensi)
e. Level adaptasi
f. Efektivitas cognator dan innovator
g. Pertimbangan lingkungan.
Selain hal-hal yang disebutkan diatas, pengkajian stimuli juga meliputi identifikasi
dari stimulus fokal, kontekstual dan residual.
3. Tahap Ketiga (Diagnosa Keperawatan)
Diagnosa keperawatan didefinisikan dalam Model Adaptasi Roy sebagai proses
judgment yang dihasilkan dalam bentuk laporan yang menyampaikan status adaptasi
dari individu maupun kelompok. Diagnosa keperawatan merupakan pernyataan
interpretatif tentang sistem adaptif manusia. Dalam model adaptasi Roy, diagnosa
keperawatan sebagai proses penilaian yang didapatkan dari kesimpulan status adaptasi
dari sistem adaptif manusia. Konsep dari diagnosa keperawatan dapat diaplikasikan
oleh perawat dalam memberikan asuhan keperawatan kepada klien. Diagnosa
keperawatan merupakan pernyataan yang interpretasinya tentang sistem adaptasi
manusi (Roy, 2009)
4. Tahap Keempat (Penetapan Tujuan)
Penetapan tujuan merupakan pembentukan pernyataan yang jelas dari outcome
perilaku dalam asuhan keperawatan. Merupakan tujuan umum dari intervensi
keperawatan yaitu mempertahankan dan meningkatkan perilaku adaptif dan merubah
perilaku inefekif.
5. Tahap Kelima (Intervensi)
Intervensi merupakan proses seleksi dari pendekatan keperawatan untuk meningkatkan
adaptasi dengan merubah stimuli atau penguatan dari proses adaptif.
6. Tahap Keenam (Evaluasi)
Evaluasi merupakan proses penilaian efektivitas dari intervensi keperawatan dalam
hubungannya dengan perilaku dari sistem manusia baik individu maupun kelompok.