Anda di halaman 1dari 12

Lima Hari, Dua Ulama Dianiaya, Apa

Motifnya?

Jumat 02 February 2018 08:49 WIB

Kapolrestabes Bandung, Kombes Pol Hendro Pandowo memberikan keterangan terkait


penganiayaan terhadap Ustaz Prawoto yang menydbabkan meninggal dunia, Kamis (1/2).

Foto: Republika/Muhammad Fauzi Ridwan


Ada tiga kemiripan pola penyerangan terhadap Ustaz Prawoto dan KH Umar Basri.

REPUBLIKA.CO.ID Oleh: Muhammad Fauzi Ridwan, Kiki Sakinah

Dalam hitungan hari saja dua ulama dianiaya oleh orang yang diduga tidak waras. Ada
kemiripan pola penyerangan yang menyebabkan kematian dan luka parah ini.

Kesamaan pertama, ulama/ustaz yang menjadi korban penganiayaan itu. Kedua, penyerangan
dilakukan oleh orang yang diduga tidak waras alias kemungkinan sakit jiwa. Ketiga,
penyerangan dilakukan pada waktu subuh.

Kemiripan pola ini bisa terjadi secara kebetulan, bisa juga memang ada yang membuatnya.
Jika ada yang membuat tentu ada tujuan-tujuan atau pesan-pesan yang ingin disampaikan
kepada kelompok tertentu. Bisa juga ini bagian dari politik adu domba di tengah panasnya
proses politik pilkada serentak khususnya di Jawa Barat.

Pakar forensik menilai semua pertanyaan di atas bisa dijawab dengan mengetahui terlebih
dahulu apakah pelaku itu gila atau tidak waras setelah menyerang, atau pelaku sejak sebelum
menyerang memang gila. Yang harus diusut, apakah pelaku saat menyerang belum/tidak gila
dan baru setelah menyerang baru berubah menjadi tidak waras.
Jika dua hal ini bisa diipastikan maka akan diketahui motif sebetulnya pelaku penyerangan
ini. Jika dia tidak gila saat menyerang maka kemungkinan ada pihak lain yang menyuruh
melakukan itu.

Kasus pertama terjadi kepada Pimpinan Pondok Pesantren Al Hidayah Cicalengka,


Kabupaten Bandung, KH Umar Basri (Mama Santiong). Ia menjadi korban penganiayaan usai
Shalat Subuh di masjid.

Polisi menangkap pelaku penganiayaan yang kemudian diidentifikasi kemungkinan lemah


ingatan. Kini, kondisi Kiai Umar semakin membaik dan pelaku sudah ditahan.

Belum jelas motif penganiayaan terhadap Kiai Umar, tiba-tiba muncul kasus baru yang
bahkan menyebabkan meninggalnya

Komando Brigade PP Persis, Ustaz Prawoto. Ustaz Prawoto meninggal dunia setelah sempat
menjalani perawatan di rumah sakit akibat dianiaya seorang pria pada Kamis (2/1) pagi.  

"Keluarga Besar PW Persis Jabar & Otonom (Peristri, Pemuda, Pemudi, Hima dan Himi),
Takziyah atas meninggalnya HR Prawoto, SE, mudah-mudahan Allahuyarham tempatkan di
Syurga-Nya," demikian pernyataan PW Persis di laman /Facebook, Kamis (1/2).

Humas Brigade Persis Komando Pusat Persis menyampaikan, pelaku berinisial AM


melakukan pemukulan terhadap korban dengan menggunakan linggis. Dugaan sementara,
pelaku mendapat gangguan jiwa. Ia sempat diperiksa kondisinya di Rumah Sakit Jiwa.

Pada Kamis subuh itu ada orang tak dikenal mengamuk di depan rumah Ustaz Prawoto. Ia
membawa linggis dan merusak pagar rumah korban.

Ustaz Prawoto saat itu sedang beristirahat di rumah kemudian keluar rumah. Di dalam rumah,
ada dua anak Ustaz Prawoto yang masih kecil, yang satu masih balita dan satunya lagi bayi
baru lahir.

Tiba-tiba tersangka mengejar Ustaz Prawoto hingga 500 meter dan sempat terjatuh. Orang tak
dikenal ini langsung menyerang dengan linggis di tangannya. Ia menyerang di bagian kepala,
tangan, dan badan. Pada pukul empat sore, Ustaz Prawoto meninggal dunia.

Kapolda Jabar Irjen Pol Agung Budi Maryoto mengatakan, pelaku penganiaya Ustaz Prawot
merupakan pasien Rumah Sakit(RS) Jiwa. "Pelaku tetangga depan rumah almarhum. Pasien
RS Jiwa," kata Agung.

Kapolrestabes Bandung Kombes Pol Hendro Pandowo mengungkapkan proses hukum


terhadap pelaku akan dilakukan secara profesional, transparan. Bahkan, pada setiap tahapan
penyidikan akan disampaikan dan dilaporkan kepada pengurus Persis. "Termasuk apakah
pelaku akan diperiksa kejiwaannya," katanya.

Ia mengatakan tersangka saat ini berada di Polrestabes Bandung untuk dilakukan


pemeriksaan. Katanya, motivasi pelaku menganiaya korban karena faktor depresi yang
dialaminya.
Usut tuntas

Ketua PW Persatuan Islam (Persis) Jawa Barat, Iman Setiawan Latief, berharap kasus
penganiayaan yang mengakibatkan kematian ini bisa segera terselesaikan secara tepat, benar,
dan adil oleh aparat kepolisian. Persis sangat percaya kepolisian akan mampu menangani
kasus ini dengan baik dan tepat.

Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Helmy Faishal Zaini
menyampaikan belasungkawa atas berpulangnya Ustaz Prawoto. "Kami keluarga besar NU
turut berduka dan mendoakan mudah-mudahan almarhum meninggal dalam keadaan khusnul
khatimah. Pengurus Cabang sudah melakukan takziah, berbelasungkawa, dan menyampaikan
doa keprihatinan ke rumah duka," ujar Helmy, Kamis (1/2) petang.

Ia mengutuk keras segala tindakan kekerasan yang dilakukan oleh siapapun kepada orang tak
bersalah, apalagi kepada sosok yang dikenal sebagai tokoh agama. Helmy meminta polisi
mengusut tuntas kejadian tersebut serta meningkatkan keamanan.

Pria 45 tahun kelahiran Cirebon itu melihat pola serupa pada penganiayaan yang menimpa
KH Umar Basri atau Kiai Emon beberapa waktu lalu. Kiai Emon yang mengasuh Pondok
Pesantren Al-Hidayah Santiong Bandung diserang oleh pelaku tak dikenal yang berperilaku
menyimpang.

Helmy mempercayakan kepada kepolisian untuk mengungkap apakah pelaku benar-benar


tidak waras. Penyandang gelar Doctor Honoris Causa UIN Sunan Gunung Djati itu juga
mempertanyakan apakah ada indikasi pelaku merupakan bagian dari jaringan kelompok yang
hendak memprovokasi dan memecah belah.

Pastikan kejiwaan

Pakar Psikologi Forensik Reza Indragiri menilai perlu dikaji lebih dalam kondisi kejiwaan
pelaku penganiayaan yang sebenarnya. Sebab, tidak semua jenis gangguan kejiwaan bisa
membuat pelaku kejahatan lolos dari hukum dengan memanfaatkan Pasal 44 KUHP.

"Jadi, harus dipastikan seakurat mungkin diagnosis kejiwaan si pelaku. Juga, andai pelaku
diketahui punya gangguan kejiwaan, masih perlu dicek kapan ia menderita gangguan
tersebut?" kata Reza, Kamis (1/2).

Jika gangguan baru muncul setelah ia melakukan aksi kejahatan, Reza mengatakan perbuatan
jahat sesungguhnya ditampilkan saat ia masih waras. Karena itu, ia mengatakan seharusnya
tetap ada pertanggungjawaban secara pidana.

"Yang jelas, orang-orang dengan skizofrenia punya kecenderungan lebih tinggi untuk
melakukan kekerasan ketimbang populasi umum. Ini punya implikasi penting," ujarnya.

Reza berharap agar pelaku penganiayaan bukanlah orang pengidap skizofrenia yang
dikondisikan untuk menyerang Ustaz Prawoto. Pengidap skizofrenia maupun jenis-jenis
abnormalitas psikis lainnya tidak bisa dihukum. Ia menekankan bahwa polisi tetap perlu
mencari tahu siapa yang semestinya menjaga orang tersebut.
"Karena sesuai pasal 491 KUHP, barang siapa yang diwajibkan menjaga orang gila yang
berbahaya bagi dirinya sendiri maupun orang lain dan membiarkan orang itu berkeliaran
tanpa dijaga, orang tersebut diancam dengan pidana denda," jelasnya.

COVER STORY September 2017: Jejak


Bengis PKI, Bunuh Kyai dan Serang
Pesantren

BEKASI (voa-islam.com)--Beberapa pihak berupaya meminta kepada pemerintah untuk


melakukan rekonsiliasi dan rehabiltasi para pelaku pemberontakan eks Partai Komunis
Indonesia (PKI). Tak hanya itu, mereka juga meminta pemerintah meminta maaf kepada eks
anggota PKI.

Menurut mereka sejarah tentang pengkhianatan PKI adalah kebohongan. PKI disebut menjadi
korban. Mereka mengklaim peristiwa PKI yang terjadi di Indonesia dari tahun 1926, 1948,
1960 hingga 1965, tidak membantai umat Islam.

Namun, fakta-fakta sejarah mengungkapkan bahwa PKI telah melakukan aksi keji, bengis,
kejam. Tak hanya itu, PKI juga berupaya beberapa kali mengganti ideologi negara dan
menggulingkan pemerintah yang sah.
Aksi keji PKI bisa ditengok pada peristiwa Madiun pada September 1948. Ratusan orang
dijagal dan dimasukkan ke dalam sumur tua yang ada di tengah perkebunan tebu di Magetan,
Jawa Timur. Sumur tua itu kini jadi monumen tugu yang dipucuknya terpacak patung garuda
terbang.  

''Ya, persis di bawah tugu itulah dulu lubang pembantaian PKI 1948. Setelah jenazahnya
diambil, sumur ditimbun kembali. Beberapa tahun setelah tragedi itu di situ kemudian
didirikan monumen,'' kata Jumiran (57 tahun), warga Desa Rejosari,

Ketika ditanya siapa sebenarnya yang dulu "ditanam" di dalam lobang sumur itu, Pariyem
mengaku tak tahu persis karena dia saat itu masih anak-anak. Hanya, orang tuanya
memberitahu bahwa mereka yang dibunuh bukan berasal dari kampungnya. ''Mereka orang
jauh. Kata orang tua, ada bupati, wedana, jaksa, kiai, haji, pegawai, dan lainnya. Untuk
persisnya, lihat saja nama-nama yang ada di tembok monumen,'' ujarnya.

Beberapa nama ulama yang ada di monumen itu di antaranya tertulis KH Imam Shofwan. Dia
pengasuh Pesantren Thoriqussu'ada Rejosari, Madiun. KH Shofwan dikubur hidup-hidup di
dalam sumur tersebut setelah disiksa berkali-kali. Bahkan, ketika dimasukkan ke dalam
sumur, KH Imam Shofwan sempat mengumandangkan azan. Dua putra KH Imam Shofwan,
yakni Kiai Zubeir dan Kiai Bawani, juga menjadi korban dan dikubur hidup-hidup secara
bersama-sama.

Selain itu, beberapa nama yang menjadi korban adalah keluarga Pesantren Sabilil Mutaqin
(PSM) Takeran. Mereka adalah guru Hadi Addaba' dan Imam Faham dari Pesantren Sabilil
Muttaqin, Takeran. Imam Faham adalah adik dari Muhammad Suhud, paman dari mantan
mendiang ketua DPR M Kharis Suhud. Selain perwira militer, pejabat daerah, wartawan,
politisi pun ikut menjadi korbannya.

Serang Pesantren

Masih lekat di ingatan Masdoeqi Moeslim peristiwa di Pondok Pesantren Al-Jauhar di Desa
Kanigoro, Kecamatan Kras, Kediri, pada 13 Januari 1965. Kala itu, jarum jam baru
menunjukkan pukul 04.30. Ia dan 127 peserta pelatihan mental Pelajar Islam Indonesia
sedang asyik membaca Al-Quran dan bersiap untuk salat subuh. Tiba-tiba sekitar seribu
anggota PKI membawa berbagai senjata datang menyerbu. Sebagian massa PKI masuk
masjid, mengambil Al-Quran dan memasukkannya ke karung. "Selanjutnya dilempar ke
halaman masjid dan diinjak-injak," kata Masdoeqi seperti dikutip dari Tempo. 

Para peserta pelatihan digiring dan dikumpulkan di depan masjid. "Saya melihat semua
panitia diikat dan ditempeli senjata," tutur Masdoeqi, yang kala itu masuk kepanitiaan
pelatihan. 

Dia menyaksikan massa PKI juga menyerang rumah Kiai Jauhari, pengasuh Pondok
Pesantren Al-Jauhar dan adik ipar pengasuh Pondok Pesantren Lirboyo, Kiai Makhrus Aly.
Ayah Gus Maksum itu diseret dan ditendang ke luar rumah.  
Selanjutnya, massa PKI mengikat dan menggiring 98 orang, termasuk Kiai Jauhari, ke markas
kepolisian Kras dan menyerahkannya kepada polisi. Menurut Masdoeqi, di sepanjang
perjalanan, sekelompok anggota PKI itu mencaci maki dan mengancam akan membunuh.

Mereka mengatakan ingin menuntut balas atas kematian kader PKI di Madiun dan Jombang
yang tewas dibunuh anggota NU sebulan sebelumnya. Akhir 1964, memang terjadi
pembunuhan atas sejumlah kader PKI di Madiun dan Jombang. 

"Utang Jombang dan Madiun dibayar di sini saja," ujar Masdoeqi, menirukan teriakan salah
satu anggota PKI yang menggiringnya.  

Kejadian itu dikenal sebagai Tragedi Kanigoro pertama kalinya PKI melakukan penyerangan
besar-besaran di Kediri. Sebelumnya, meski hubungan kelompok santri dan PKI tegang, tak
pernah ada konflik terbuka.  

Bunuh Kyai Tremas

Salah satu ulama atau kyai menjadi korban kebiadaban PKI adalah KH Hamid Dimyathi,
pimpinan Pondok Pesantren Tremas, Pacitan, Jawa Timur.  Peristiwa ini bermula saat 18
September 1948, PKI/Front Demokrasi Rakyat (FDR) melakukan pemberontakan terhadap
Republik Indonesia RI. Peristiwa ini dikenal dengan Pemberontakan PKI 1948 di Madiun.

Pemberontakan tersebut juga merembet ke Pacitan. Kala itu, Pacitan adalah salah satu yang
masuk dalam kesatuan wilayah Karesidenan Madiun. Daerah lainnya adalah Kabupaten dan
Kota Madiun, Kabupaten Ponorogo, Kabupaten Magetan, dan Kabupaten Ngawi.

Di Pacitan, terdapat Pondok Pesantren Tremas yang kala itu dipimpin KH Hamid Dimyathi.
KH Hamid Dimyathi merupakan putra dari KH Dimyathi, dan cucu dari KH Abdullah. KH
Abdullah merupakan salah satu anak dari pendiri Pesantren Tremas, KH Abdul Manan.

KH Hamid Dimyathi juga merupakan ketua Partai Masyumi di Kabupaten Pacitan. Pada 24
September 1948, Partai Masyumi mengeluarkan pernyataan mendukung pemerintah dan
membantu menindas pemberontak PKI Muso dan FDR serta membasmi pemberontak dan
pengkhianat negara.

Sebelum munculnya Pemberontakan PKI di Madiun, suasana kacau begitu terasa di Pacitan.
Pondok Tremas pun termasuk salah satu sasaran tentara-tentara PKI yang mengganas,
membabi buta dan menghancurkan apa saja yang mereka kehendaki. Keamanan Pondok
Tremas semakin terancam. 

Kondisi tersebut membuat KH Hamid Dimyathi yang juga ketua penghulu di Pacitan prihatin.
Dia mencoba melakukan kontak dengan pemerintah pusat di Yogyakarta, untuk melaporkan
kondisi Pacitan.

Lantaran laporan gagal disampaikan via telepon, KH Hamid Dimyathi memutuskan berangkat
ke Yogyakata. Sebanyak 14 orang, ikut bersamanya. Di antara mereka adalah Djoko, Abu
Naim, Yusuf, dan Qosim. Mereka adalah para kakak dan adik ipar KH Hamid Dimyathi. Ada
juga Soimun.

Dengan berjalan kaki, mereka menyusuri jalan pintas. Agar tak diketahui PKI, mereka
menyamar. Nahas, saat rombongan ini berhenti di sebuah warung di wilayah Pracimantoro
(selatan Wonogiri), Jawa Tengah, penyamaran mereka terbongkar oleh gerombolan PKI yang
telah menguasai daerah ini. Pracimantoro merupakan rute perjalanan yang harus ditempuh
dari Pacitan menuju Yogyakarta. 

Mereka ditangkap, disekap, dan disiksa di Baturetno, wilayah yang cukup tersembunyi di
Wonogiri dan memiliki jalur yang cukup strategis karena dekat dengan Madiun dan
Ponorogo.

Satu minggu kemudian, mereka dipindah ke Tirtomoyo, Wonogiri. Di daerah ini, KH Hamid
Dimyathi dan rombongan dihabisi. Tak cuma itu, jasad mereka dimasukkan ke dalam satu
lubang semacam sumur.

Satu orang yang ada dalam rombongan ini, Soimun, dibiarkan hidup. Soimun sengaja
dibiarkan hidup karena PKI berharap peristiwa itu dikabarkan ke keluarga, dengan harapan
umat Islam yang kontra PKI lebih merasa ketakutan.

Setelah situasi aman, pelacakan dilakukan berdasarkan petunjuk yang disampaikan Soimun.
Kuburan massal di bekas sumur tua akhirnya ditemukan. Namun, ketika dilakukan evakuasi
dari dalam lubang sumur tersebut ada 13 mayat yang kondisinya mengenaskan dan sangat
sulit dikenali. Jenazah para syuhada ini lalu dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan Jurug
Surakarta. * [Dbs/Syaf/voa-islam.com]
Dalam waktu berdekatan dua orang Ulama di Jawa Barat diserang “orang gila”.

Peristiwa pertama menimpa Pengasuh Pondok Pesantren (Ponpes) Al-Hiadayah Santiong


K.H. Emon Umar Basri. Beliau dianiaya di dalam Masjid Al-Hidayah Santiong, Kampung
Santiong, Desa Cicalengka Kulon, Kecamatan Cicalengka, Kabupaten Bandung, Sabtu
(27/1/2018).

Penganiayaan tersebut terjadi pada pukul 05.30, di Masjid Al-Hidayah, Pesantren Santiong.
Saat itu, Ceng Emong sedang duduk wirid atau berzikir seusai melaksanakan salat Subuh
berjamaah. Suasana di dalam masjid saat penganiayaan terjadi sedang sepi, karena seluruh
santri telah kembali ke pondok masing-masing setelah salat Subuh.

Setelah peristiwa penganiayaan terhadap ulama KH Emon Umar Basri, kini kembali terjadi
penganiyaan terhadap seorang Ustadz di Cigondewah Kidul, Kecamatan Bandung Kidul,
Bandung, Jawa Barat.

Korban adalah Ustadz Prawoto, Komandan Brigade Persatuan Islam (Persis) Pusat. Peristiwa
terjadi di kediaman Ustadz Prawoto di Blok Sawah, Cigondewah Kidul, Kecamatan Bandung
Kidul, Bandung. Korban dianiaya di rumahnya pada Kamis subuh (1/2/2018). Dan meninggal
dunia sore harinya di Rumah Sakit Santosa di daerah Kopo, Bandung.

Peristiwa ini terjadi di tengah situasi Pilgub Jawa Barat 2018. Dimana Jawa Barat sebagai
provinsi terbesar penduduknya di Indonesia sangat mempengaruhi Pilpres 2019.

Peristiwa penganiayaan dan pembunuhan terhadap ulama ini juga terjadi di tengah kontroversi
rencana penunjukan Plt Gubernur Jabar dari kalangan jenderal Polri aktif. Sesuatu yang
menambah panas Pilkada.

Sudah 2 ulama dianiaya dalam waktu berdekatan. Dan pelakunya dua-duanya sama
diberitakan gila. Pura-pura gila? Cuma kebetulan? Modus apa ini? Ada apa sebenarnya?

Bagaimana bisa orang gila menjadi terarah dan bernafsu menghilangkan nyawa pada orang-
orang yang dimuliakan warga? Kegilaan seperti apa manusia demikian kalau tidak ada
manusia pencuci pikirannya?

Apakah Gila sudah jadi modus? Agar terbebas dari jerat dan kasus tak diusut tuntas? Biar
mentok?

“Dibanyak kasus Pidana, salah satu trik pelaku agar tak dihukum adalah pura-pura alami
Gangguan Jiwa.. Sebab Pasal 44 KUHP membuat pelaku tindak pidana lepas dari jerat
hukuman pidana,” kata pengacara muslim @dusrimulya melalui akun twitternya.

“So hati-hati..kawal terus “orang gila” itu..,” pesannya.

Dibanyak kasus Pidana, salah satu trik pelaku agar tak dihukum adalah Pura2 alami
Gangguan Jiwa..

Sebab Pasal 44 KUHP membuat pelaku tindak pidana lepas dr jerat hukuman pidana..
So hati2..kawal terus “orang gila” itu..
— Angku Gadang (@dusrimulya) 1 Februari 2018
KALIAN sudah paham kan, kenapa Habib Rizieq Shihab akhirnya tidak pulang ke tanah air?
pic.twitter.com/tpJcQW5rRR

— Mustofa Nahrawardaya (@NetizenTofa) 1 Februari 2018


Org gila kok bisa mikir cara mengniaya dan bunuh org . klu sengaja dikondisikan gila biar
lolos dari jeratan hukum oleh yg bekewajiban menegakkan hukum ,baru gw percaya

— Negri Seterah (@RestyCayah) 1 Februari 2018


Kamis, 8 Februari 2018 | 17:26 WIB

Begal Ulama Merajalela, Giliran Pesantren


di Sukabumi Disusupi Orang Gila

Orang gila menyusup ke pesantren di Sukabumi

POJOKSATU.id, SUKABUMI – Begal ulama di Jawa Barat semakin merajalela. Pelaku rata-
rata orang gila. Pelaku nekat menghabisi nyawa korbannya, seperti yang dialamai Komandan
Brigade PP Persatuan Islam (Persis) Ustaz Prawoto (40), Kamis 1 Februari 2018.

Selain di Bandung, begal ulama juga menyebar di beberapa daerah seperti Sukabumi. Satu di
antaranya ditangkap saat menyusup ke Pondok Pesantren (Ponpes) di Jalan Raya Cianjur –
Sukabumi Km 10, Kp Waruduyong Desa Margaluyu, Kecamatan Sukaraja.

Pemilik akun Facebook Nuryadi Yadi Yadi mengunggah foto dan video pelaku pada Kamis
(8/2/2018). Ia menyebut orang gila menyusup ke pesantren tadi malam. Pelaku berhasil
diamankan santri.

“Pelaku ada 2 orang dan ke 2 nya dengan modus menyamar sebagai orang gila. Alhamdulillah
tertangkap 1 orang,” tulisnya.

Menurut Nuryadi, orang gila tersebut mengejar-ngejar salah satu santri Wardoy. Beruntung, si
santri selamat karena sistem patroli dan keamanan di ponpes diperketat.

“Diduga targert mereka adalah guru sepuh dan akang ajengan warudoyong dan yang
tertangkap mengakui bahwa dirinya sebagai PKI,” tulisnya.

Sebelumnya, Ponpes Al-Islamiyyah Sukabumi juga dikabarkan disusupi orang gila. Namun
pelaku berhasil diamankan. Pelaku telah diserahkan ke polisi.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Sukabumi, mengimbau kepada masyarakat agar tidak
terprovokasi isu orang gila menyusup ke Ponpes Al-Islamiyyah Sukabumi yang berada di
Kecamatan Baros, Kota Sukabumi.

“Masyarakat tidak perlu berpikir yang macam-macam terkait adanya penangkapan orang gila
menyusup ke salah satu ponpes di wilayah Kecamatan Baros,” kata Seketaris MUI Kota
Sukabumi M Khusoy di Sukabumi, Selasa (6/2).

Ia mengatakan, orang gila yang menyusup ke ponpes tersebut sudah ditangani pihak Polres
Sukabumi Kota, Dinas Kesehahan dan Dinas Sosial Kota Sukabumi.

M Khusoy mengimbau kepada ulama, santri, ustaz dan warga agar tetap tenteram serta tidak
merasa terancam. Ia juga meminta agar masyarakat tidak mudah percaya dengan informasi
hoax di media sosial yang mengarah ke provokasi.

“Kejadian ini benar-benar dilakukan oleh orang yang mengalami gangguan jiawa, bukan
orang yang berpura-pura sakit jiwa untuk berbuat jahat kepada orang lain,” tandasnya.

Anda mungkin juga menyukai