Disusun oleh :
Nama: Mohammad Affandi
NIM: 02040820040
ABSTRAK
Pentingnya mengetahui factor-faktor dan derajat Qira`at yang dapat diterima, agar terhindar campurnya Qira`at
yang mutawatir dengan yang tidak, di samping itu juga untuk menambah wawasan. Ada kriteria/beberapa persyaratan
untuk mengukur benar tidaknya suatu Qira`at dua di antaranya, kriteria/persyaratan Qira`at telah disepakati, yaitu sesuai
dengan salah satu mushhaf Utsmani dan tidak menyalahi ketentuan bahasa Arab. Sedangkan kriteria lainnya
diperselisihkan, yaitu ada yang mencukupkan dengan sanadnya shahih, dan ada pula yang mengharuskan sanadnya
mutawatir.Dilihat dari sisi sanad dan sesuai tidaknya dengan ragam Utsmani dan bahasa Arab maka Qira`at dapat
dibagi-bagi. Hanya saja dalam pembagian Qira`at ini, para ulama tidak sepakat, ada yang membagi kepada dua bagian,
dan ada pula yang membaginya lebih kepada dua, bahkan sampai enam, seperti pembagian Ibnu al-Jazary. Dan
pembagian beliau itu banyak diikuti ulama berikutnya, bahkan bagi Imam Sayuthi, tidak hanya mengikuti pembagian
Qira`at menurut al-Jazary, melainkan beliau, bahkan sangat memujinya. Keenam pembagian itu adalah 'Mutawatir,
Masyhur, Ahad, Syadz, Maudhu' dan Syabih bi al-Mudraj.
2
RUMUSAN MASALAH
3
FAKTOR-FAKTOR MUNCULNYA PERBEDAAN
DALAM QIRA’AT
“Dari Umar bin Khathab, ia berkata, “aku mendengar Hisyam bin Hakim membaca Surat Al-Furqon di masa
hidup Rasulullah. aku perhatikan bacaannya, tiba-tiba ia membaca dengan banyak huruf yang belum pernah
dibacakan Rasulullah kepadaku, sehingga hampir saja aku melabraknya di saat ia shalat, tetapi aku urungkan, maka
aku menunggunya sampai salam. Begitu selesai, aku tarik pakaiannya dan aku katakan kepadanya, ‘siapakah yang
mengajarkan bacaan surat itu kepadamu?’ Ia menjawab, ‘Rasulullah yang membacakannya kepadaku. Lalu aku
katakan kepadanya, ‘kamu dusta! demi Allah, Rasulullah telah membacakan juga kepadaku surat yang sama, tetapi
tidak seperti bacaanmu. Kemudian aku bawa dia menghadap Rasulullah, dan aku ceritakan kepadanya bahwa aku
telah mendengar orang ini membaca surat Al-Furqon dengan huruf-huruf (bacaan) yang tidak pernah engkau bacakan
kepadaku, padahal engkau sendiri telah membacakan surat Al-Furqon kepadaku. Maka rasulullah berkata,
‘lepaskanlah dia, hai Umar. bacalah surat tadi wahai Hisyam!’ Hisyam pun kemudian membacanya dengan bacaan
seperti kudengar tadi. maka kata Rasulullah, ‘begitulah surat itu diturunkan.’ ia berkata lagi, ‘bacalah, wahai umar!’
lalu aku membacanya dengan bacaan sebagaimana diajarkan Rasulullah kepadaku. Maka kata Rasulullah, ‘begitulah
surat itu diturunkan. Sesungguhnya Al-Qur’an itu diturunkan dengan tujuh huruf, maka bacalah dengan huruf yang
mudah bagimu di antaranya.” (H.R. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, An- Nasa’i, At-Tirmidzi, Ahmad, dan Ibnu Jarir)
5
Adanya pengakuan nabi (takrir) terhadap berbagai versi
qira’ah para sahabatnya.
6
PERBEDAAN DERAJAT PERIWAYATAN DALAM
QIRA’AT
Qira’at sab‘ah
7
Berdasarkan kualitas
• Mutawatir, yaitu qira’at yang diriwayatkan oleh periwayat yang banyak dari periwayat yang banyak
pula dan mereka tidak mungkin sepakat untuk berdusta. Sanad seperti itu terus mengalami
persambungan sampai kepada Rasulullah. Dalam penilaian jumhur ulama, qira’at yang tujuh masuk
dalam kelompok ini. Qira’at seperti ini oleh para ulama al-Qur’an dan Ahli Hukum Islam telah
disepakati bahwa qira’at ini dapat dijadikan pegangan dan hujjah dalam menetapkan hukum.
• Masyhur, yaitu qira’at yang diriwayatkan oleh orang banyak tetapi tidak mencapai tingkat mutawatir.
Qira’at ini sesuai dengan kaidah bahasa Arab dan rasm Utsmani. Qira’at ini populer di kalangan ahli
qira’at dan mereka tidak memandangnya sebagai qira’at yang salah atau aneh. Karena itu baik al-
Zarqaniy maupun Subhi al- Shalih misalnya menyatakan bahwa qira’at yang masyhur sah bacaannya
dan wajib menyakininya dan tidak boleh sama sekali mengingkari sedikitpun dari padanya.
8
Berdasarkan kualitas
• Ahad, yaitu qira’at yang sah sanadnya tetapi menyalahi rasm Utsmani dan ketentuan kaidah bahasa
Arab serta tidak mencapai derajat masyhur. Qira’at ini tidak sah untuk dibaca sebagai Alquran dan
tidak wajib meyakininya. Misalnya bacaan rafārafin untuk konteks bacaan semestinya rafrafin
dalam QS. al-Rahman (55) : 76 yang berbunyi :
9
Berdasarkan kualitas
• Syadz adalah sesuatu yang tidak sahih sanadnya, seperti bacaan (malaka yau middin) surat
Al- Fatihah dengan bentuk fiil madli kata kerja bentuk lampau (malaka) dan menfathahkan
kata yauma (diqira’at yang benar dengan mengkasrahkannya).
• Maudhu', yaitu qiraah yang sama sekali tidak bersumber dari Nabi saw. Qira’at ini biasanya
dibangsakan kepada seseorang tanpa dasar. Seperti qira’at yang dihimpun oleh Muhammad
ibn Ja’far al-Khuza’iy (w.408 H.)
yang menurutnya dibangsakan kepada Abu Hanifah. Contohnya adalah bacaan innamā
yakhsyallahu min ‘ibādihil ulamā’a yang mestinya harus terbaca : Yakni kata Allah dibaca
(dhummah atau marfu’) menjadi subjek fa’il kata ulama’ a dibaca (fathah atau mansub)
menjadi objek (maf u’).
10
Berdasarkan kualitas
• Mudraj, yaitu qira’at yang didalamnya terdapat kata atau kalimat tambahan yang biasanya
dijadikan sebagai bentuk penafsiran bagi ayat al-Qur’an. Sebagai contoh dapat dikemukakan
qira’at Ibn Abbas untuk QS. al-Baqarah (2) : 198 :
Tambahan kalimat “fiy mawāsim al-hajj” adalah qira’at yang dmaksudkan sebagai penjelas
terhadap firman Allah dan bukan termasuk al-Qur’an atau juga bisa disebut tafsir yang
disisipkan diayat.
11
KESIMPULAN
12