Dibacakan tanggal :
Oleh
Antonius Wibowo
Pembimbing
dr. Erna Suparman, SpOG(K)
1
1. PENDAHULUAN
Infeksi “Human Immunodeficiency Virus” atau HIV, saat ini merupakan
masalah dunia karena prevalensinya dengan cepat meningkat ke seluruh dunia.
Pada akhir tahun 2008, UNAIDS memperkirakan di seluruh dunia terdapat 33,4
juta orang yang hidup dengan HIV (ODHA), 15,7 juta diantaranya perempuan dan
2,1 juta anak di bawah usia 15 tahun. Selama tahun 2008 terdapat 2,7 juta kasus
baru dengan terdapat 280.000 kematian anak yang menderita HIV. Dari jumlah
tersebut diperkirakan orang yang hidup dengan HIV meningkat lebih dari 20%
dibandingkan dengan tahun 2000.1
Pengidap HIV dapat menularkan virus ini kepada orang lain tetapi belum
memunculkan gejala klinis kecuali sudah menjadi “Acquired Immuno Deficiency
Syndrome” atau AIDS, di mana pada tahap ini mortalitasnya tinggi. HIV adalah
virus yang mempunyai target organ sistim imun dalam tubuh sehingga infeksi ini
akan berdampak terhadap mudahnya tubuh terinfeksi oleh mikroorganisme
lainnya. Prevalensi HIV pada ibu hamil sudah tentu sangat tergantung berapa
besar prevalensi HIV di populasi, khususnya pada wanita.
Sampai saat ini belum didapatkan adanya pengaruh dari infeksi HIV
terhadap kehamilan. Tetapi jika sudah terjadi AIDS didapatkan pengaruh yang
besar dengan terjadinya prematuritas, kematian janin dalam kandungan. Diduga
kondisi bayi dalam kandungan dipengaruhi oleh makin memberatnya infeksi HIV.
Dilaporkan tidak ada hubungan antara infeksi HIV dengan makin meningkatnya
cacat bayi. Meskipun kehamilan dikatakan menambah beban terhadap sistim
tubuh yang sudah berat menghadapi HIV, tetapi sampai sekarang belum ada bukti
yang menunjukkan bahwa HIV. makin menjadi progresif setelah adanya
kehamilan.1
Lebih dari 90% bayi terinfeksi HIV tertular dari ibu HIV positif. Penularan
tersebut dapat terjadi pada masa kehamilan, saat persalinan dan selama menyusui.
Tanpa pengobatan yang tepat dan dini, separuh dari anak yang terinfeksi HIV
akan meninggal sebelum ulang tahun kedua. Pencegahan penularan HIV dari ibu
ke anak (PPIA) atau Prevention of Mother to Child HIV Transmission (PMTCT)
merupakan intervensi yang sangat efektif untuk mencegah penularan tersebut.2
2
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 HIV (Human Immunodeficiency Virus) dan AIDS (Acquired
Immunodeficiency Syndrome)
2.1.1 Definisi
HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah retrovirus golongan RNA
yang spesifik menyerang sistem imun/kekebalan tubuh manusia. Penurunan
sistem kekebalan tubuh pada orang yang terinfeksi HIV memudahkan berbagai
infeksi, sehingga dapat menyebabkan timbulnya AIDS.2
AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) adalah sekumpulan gejala/
tanda klinis pada pengidap HIV akibat infeksi tumpangan (oportunistik) karena
penurunan sistem imun. Penderita HIV mudah terinfeksi berbagai penyakit karena
imunitas tubuh yang sangat lemah, sehingga tubuh gagal melawan kuman yang
biasanya tidak menimbulkan penyakit. Infeksi oportunistik ini dapat disebabkan
oleh berbagai virus, jamur, bakteri dan parasit serta dapat menyerang berbagai
organ, antara lain kulit, saluran cerna/ usus, paru-paru dan otak. Berbagai jenis
keganasan juga mungkin timbul.2
Kebanyakan orang yang terinfeksi HIV akan berlanjut menjadi AIDS bila
tidak diberi pengobatan dengan antiretrovirus (ARV). Kecepatan perubahan dari
infeksi HIV menjadi AIDS, sangat tergantung pada jenis dan virulensi virus,
status gizi serta cara penularan. Dengan demikian infeksi HIV dibedakan menjadi
3 tipe, yaitu: i) rapid progressor, berlangsung 2-5 tahun; ii) average progressor,
berlangsung 7-15 tahun; dan iii) slow progressor, lebih dari 15 tahun.2
3
respons imun seluler, yaitu melalui kemampuannya mengenali kuman patogen
dan mengaktivasi imun seluler lainnya, seperti fagosit serta limfosit B dan sel-sel
pembunuh alami (fagosit, dll). Limfosit T berfungsi menghancurkan sel yang
terinfeksi kuman patogen. Limfosit T ini memiliki kemampuan memori, evolusi,
aktivasi dan replikasi cepat, serta bersifat sitotoksik terhadap antigen guna
mempertahankan kekebalan tubuh.2
CD (cluster of differentiation) adalah reseptor tempat “melekat”-nya virus
pada dinding limfosit T. Pada infeksi HIV, virus dapat melekat pada reseptor CD4
atas bantuan koreseptor CCR4 dan CXCR5. Limfosit T CD4 (atau disingkat
CD4), merupakan petunjuk untuk tingkat kerusakan sistem kekebalan tubuh
karena pecah/rusaknya limfosit T pada infeksi HIV. Nilai normal CD4 sekitar
8.000-15.000 sel/ml; bila jumlahnya menurun drastis, berarti kekebalan tubuh
sangat rendah, sehingga memungkinkan berkembangnya infeksi oportunistik.2
Viral load adalah kandungan atau jumlah virus dalam darah. Pada infeksi
HIV, viral load dapat diukur dengan alat tertentu, misalnya dengan tehnik PCR
(polymerase chain reaction). Semakin besar jumlah viral load pada penderita
HIV, semakin besar pula kemungkinan penularan HIV kepada orang lain.2
2.1.3 Etiologi
Virus HIV adalah retrovirus yang dulu disebut LAV (Lymphadenopathy
Associated Virus) HTLV III (Human T cell Lymphotropic Virus III) HIV
tipe I dan II. LAV yang ditemukan oleh Montagnier dkk. pada tahun 1983 di
Perancis, sedangkan HTLV-III ditemukan oleh Gallo di Amerika Serikat pada
tahun berikutnya. Virus yang sama ini ternyata banyak ditemukan di Afrika
Tengah. HIV terdiri atas HIV-1 dan HIV-2 terbanyak karena HIV-1. Partikel HIV
terdiri atas dua untaian RNA dalam inti protein yang dilindungi envelope lipid
asal sel hospes.6
4
penularan, terlebih jika disertai IMS lainnya. Karena itu semua hubungan
seksual yang berisiko dapat menularkan HIV, baik genital, oral maupun
anal.
Kontaminasi darah atau jaringan: penularan HIV dapat terjadi melalui
kontaminasi darah seperti transfusi darah dan produknya (plasma,
trombosit) dan transplantasi organ yang tercemar virus HIV atau melalui
penggunaan peralatan medis yang tidak steril, seperti suntikan yang tidak
aman, misalnya penggunaan alat suntik bersama pada penasun, tatto dan
tindik tidak steril.
Perinatal: penularan dari ibu ke janin/ bayi – penularan ke janin terjadi
selama kehamilan melalui plasenta yang terinfeksi; sedangkan ke bayi
melalui darah atau cairan genital saat persalinan dan melalui ASI pada
masa laktasi. Risiko penularan HIV dari ibu ke anak tanpa upaya
pencegahan atau intervensi berkisar antara 20-50%. Dengan pelayanan
pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak yang baik, risiko penularan
dapat diturunkan menjadi kurang dari 2%. Pada masa kehamilan, plasenta
melindungi janin dari infeksi HIV; namun bila terjadi peradangan, infeksi
atau kerusakan barier plasenta, HIV bisa menembus plasenta, sehingga
terjadi penularan dari ibu ke anak. Penularan HIV dari ibu ke anak lebih
sering terjadi pada saat persalinan dan masa menyusui.
Ada tiga faktor risiko penularan HIV dari ibu ke anak, yaitu sebagai berikut: 2
i) Faktor ibu.
a. Kadar HIV dalam darah ibu (viral load): merupakan faktor yang paling
utama terjadinya penularan HIV dari ibu ke anak: semakin tinggi
kadarnya, semakin besar kemungkinan penularannya, khususnya pada
saat/menjelang persalinan dan masa menyusui bayi.
b. Kadar CD4: ibu dengan kadar CD4 yang rendah, khususnya bila jumlah
sel CD4 di bawah 350 sel/mm3, menunjukkan daya tahan tubuh yang
rendah karena banyak sel limfosit yang pecah/rusak. Kadar CD4 tidak
selalu berbanding terbalik dengan viral load. Pada fase awal keduanya
5
bisa tinggi, sedangkan pada fase lanjut keduanya bisa rendah kalau
penderitanya mendapat terapi anti-retrovirus (ARV).
c. Status gizi selama kehamilan: berat badan yang rendah serta kekurangan
zat gizi terutama protein, vitamin dan mineral selama kehamilan
meningkatkan risiko ibu untuk mengalami penyakit infeksi yang dapat
meningkatkan kadar HIV dalam darah ibu, sehingga menambah risiko
penularan ke bayi.
d. Penyakit infeksi selama kehamilan: IMS, misalnya sifilis; infeksi organ
reproduksi, malaria dan tuberkulosis berisiko meningkatkan kadar HIV
pada darah ibu, sehingga risiko penularan HIV kepada bayi semakin
besar.
e. Masalah pada payudara: misalnya puting lecet, mastitis dan abses pada
payudara akan meningkatkan risiko penularan HIV melalui pemberian
ASI.
6
a. Jenis persalinan: risiko penularan pada persalinan per vaginam lebih
besar daripada persalinan seksio sesaria; namun, seksio sesaria
memberikan banyak risiko lainnya untuk ibu.
b. Lama persalinan: semakin lama proses persalinan, risiko penularan HIV
dari ibu ke anak juga semakin tinggi, karena kontak antara bayi dengan
darah/ lendir ibu semakin lama.
c. Ketuban pecah lebih dari empat jam sebelum persalinan meningkatkan
risiko penularan hingga dua kali dibandingkan jika ketuban pecah kurang
dari empat jam.
d. Tindakan episiotomi, ekstraksi vakum dan forsep meningkatkan risiko
penularan HIV.
7
iii) Fase III: masa AIDS merupakan fase terminal infeksi HIV dengan kekebalan
tubuh yang telah menurun drastis sehingga mengakibatkan timbulnya
berbagai infeksi oportunistik, berupa peradangan berbagai mukosa, misalnya
infeksi jamur di mulut, kerongkongan dan paru-paru. Infeksi TB banyak
ditemukan di paru-paru dan organ lain di luar paru-paru. Sering ditemukan
diare kronis dan penurunan berat badan sampai lebih dari 10% dari berat
awal.
Gambar 1 menunjukkan: i) Fase I, viral load (HIV dalam darah) sangat
tinggi sehingga penderita sangat infeksius, limfosit T CD4 menurun tajam saat
viral load mencapai puncak; ii) Fase II dengan viral load menurun dan relatif
stabil, namun limfosit T CD4 berangsur-angsur menurun; dan iii) Fase III dengan
viral load makin tinggi dan limfosit T CD4 mendekati nol sehingga terjadi gejala
berkurangnya daya tahan tubuh yang progresif dikuti dengan timbulnya penyakit,
misalnya tuberkulosis (TB), herpes zoster (HSV), oral hairy cell leukoplakia
(OHL), oral candidiasis (OC), Pneumocystic carinii pneumonia (PCP),
cytomegalovirus (CMV), popular pruritic eruption (PPE) dan Mycobacterium
avium (MAC).
8
berguna untuk memandu tatalaksana penderita HIV secara komprehensif dan
berkesinambungan.
9
terhadap infeksi sekunder yang akan membahayakan ibu dan dan janin di
masa kehamilannya.
Aspek sosial mencakup hal-hal di bawah ini.
i. Perencanaan kehamilan oleh pasangan: kedua belah pihak (laki-laki dan
perempuan) benar-benar memahami risiko dan konsekuensi kehamilan,
persalinan dan aspek pengasuhan anak.
ii. Kesepakatan/persetujuan dari keluarga: untuk menghindari penelantaran
pengasuhan anak di kemudian hari akibat keterbatasan orang tua yang
menderita HIV, perlu dipertimbangkan adanya persetujuan keluarga agar
bersedia mengasuh anak tersebut apabila terjadi kendala pada orang
tuanya.
10
2.3 Faktor Resiko Penularan
Seorang ibu yang terinfeksi HIV dengan kehamilan memiliki resiko untuk
menularkan HIV ke bayinya, dibagi dalam tiga tahapan waktu yaitu:5,11,12
1. Antepartum:
a. Viral load dari ibu, apakah sudah mendapat terapi anti retroviral, jumlah
CD4+, defisiensi vitamin A, coreseptor mutasi dari HIV, malnutrisi,
sedang dalam terapi ketergantungan obat, perokok, korionik villus
sampling (CVS), amniosintesis, berat badan ibu.5
b. Beratnya keadaan infeksi pada ibu merupakan faktor resiko utama
terjadinya penularan perinatal. Berdasarkan hasil studi ternyata angka
penularan vertikal lebih tinggi pada ibu terinfeksi HIV dengan gejala yang
sangat berat dibanding ibu terinfeksi HIV tanpa gejala. Beratnya keadaan
penyakit ibu ditentukan dengan menggunakan kriteria klinis dan jumlah
partikel virus yang terdapat dalam plasma, serta keadaan imunitas ibu. Ibu
dengan gejala klinis penyakit AIDS yang sangat jelas (dengan gejala
berbagai penyakit oportunistik), jumlah muatan virus di dalam tubuh >
1000/mL, dan jumlah limfosit < 200-350/mL dianggap menderita penyakit
AIDS sangat berat dan harus mendapat pengobatan antiretrovirus.5,11,12
c. Ibu yang menderita penyakit infeksi lain pada genitalia juga mempunyai
risiko tinggi untuk menularkan HIV-1 kepada bayinya. Misalnya, ibu yang
menderita penyakit sifilis atau penyakit genitalia ulseratif yang lain
(seperti Herpes Simplex, infeksi Cytomegalovirus (CMV), infeksi bakteri
pada genitalia), juga mempunyai risiko penularan vertikal lebih tinggi.4,8,9
d. Ibu yang mempunyai kebiasaan yang tidak baik mempunyai risiko tinggi
untuk menularkan infeksi HIV-1 kepada bayinya. Berdasarkan hasil
penelitian, para ibu yang merokok mempunyai risiko untuk menularkan
HIV-1. Penularan vertikal juga sering terjadi pada ibu pengguna obat
terlarang. Demikian juga, ibu yang melakukan hubungan seksual tanpa
alat pelindung, terutama dengan pasangan yang berganti-ganti, juga
mempunyai risiko tinggi dalam penularan vertikal.11,12
11
2. Intrapartum:
a. Kadar maternal HIV-1 cerviko-vaginal, proses persalinan, persalinan
prematur, penggunaan fetalscalp electrode, penyakit ulkus genitalia,
laserasi vagina, korioamnionitis, dan episiotomi.
b. Proses persalinan bayi juga menentukan terjadinya risiko penularan
vertikal. Bayi yang lahir per vaginam dengan tindakan invasif seperti
tindakan forsep, vakum, penggunaan elektrode pada kepala janin dan
episiotomi, mempunyai risiko lebih tinggi untuk tertular HIV-1.5
c. Ibu yang menderita penyakit infeksi lain pada genitalia juga mempunyai
risiko tinggi untuk menularkan HIV-1 kepada bayinya. Misalnya, ibu yang
menderita penyakit sifilis atau penyakit genitalia ulseratif yang lain
(seperti Herpes Simplex, infeksi Cytomegalovirus (CMV), infeksi bakteri
pada genitalia), juga mempunyai risiko penularan vertikal lebih tinggi.12
12
infeksi virus HIV-1 lewat pemberian air susu ibu dapat diturunkan dengan
intervensi pemberian ARV saat perinatal.5
b. Bayi yang diberikan ASI mempunyai risiko lebih tinggi daripada bayi
yang diberi susu formula atau makanan campuran (mixed feeding). Risiko
akan lebih tinggi lagi bila payudara ibu terinfeksi atau lecet (mastitis yang
tampak secara klinis ataupun subklinis). Di negara berkembang penularan
melalui air susu ibu (ASI) cukup memegang peranan penting. Sebagian
besar masalah payudara dapat dicegah dengan teknik menyusui yang
baik.12
13
kehamilan itu sendiri merupakan indikasi pemberian ARV yang dilanjutkan
seumur hidup. Hal ini berdasarkan bahwa resiko transmisi perinatal meningkat
sesuai dengan kadar HIV ibu dan resiko transmisi dapat diturunkan hingga 20%
dengan terapi antiretrovirus. 3,4,11,12
Paduan ART pada ibu hamil sama dengan paduan ART pada orang
dewasa lainnya. Efavirenz (EFV) yang dulu tidak boleh diberikan pada trimester
pertama, belakangan tidak terbukti menunjukkan efek teratogenik dibandingkan
bayi yang tidak terpajan EFV, sehingga sejak Juli 2012 WHO mengeluarkan
kebijakan membolehkan penggunaan EFV pada ibu hamil. Pemberian ARV dapat
segera dimulai setelah ibu didiagnosis HIV berapapun usia kehamilan. Ibu yang
sudah mendapat ARV sebelum kehamilan, ARV dapat diteruskan tanpa perlu
diganti. ARV tetap diteruskan setelah melahirkan hingga seterusnya.11,12
Pemeriksaan CD4 dilakukan untuk memantau pengobatan – bukan sebagai
acuan untuk memulai terapi. Untuk memulai terapi ARV perlu dipertimbangkan
hal-hal berikut:
i) Persiapan klien secara fisik/mental untuk menjalani terapi melalui edukasi
pra-pemberian ARV;
ii) Bila terdapat infeksi oportunistik, maka infeksi tersebut perlu diobati terlebih
dahulu. Terapi ARV baru bisa diberikan setelah infeksi oportunistik diobati
dan stabil (kira-kira setelah dua minggu sampai dua bulan pengobatan).
iii) Profilaksis kotrimoksazol diberikan pada stadium klinis 2, 3, 4 dan atau CD4
< 200. Untuk mencegah PCP, Toksoplasma, infeksi bacterial (pneumonia,
diare) dan berguna juga untuk mencegah malaria pada daerah endemis;
iv) Pada ibu hamil dengan tuberkulosis: OAT selalu diberikan mendahului ARV
sampai kondisi klinis pasien memungkinkan (kira-kira dua minggu sampai
dua bulan) dengan fungsi hati baik untuk memulai terapi ARV.
Tujuan utama pemberian antiretrovirus pada kehamilan adalah menekan
perkembangan virus, memperbaiki fungsi imunologis, memperbaiki kualitas
hidup, mengurangi morbiditas dan mortalitas penyakit yang menyertai HIV. Pada
kehamilan, keuntungan pemberian antiretrovirus ini harus dibandingkan dengan
potensi toksisitas, teratogenesis dan efek samping jangka lama. Akan tetapi, efek
14
penelitian mengenai toksisitas, teratogenesis, dan efek samping jangka lama
antiretrovirus pada wanita hamil masih sedikit.11
Stadium Klinik Tidak Tersedia Tes
Tersedia Tes CD4
WHO CD4
1 Tidak diobati
Diobati jika jumlah sel CD4 <200/mm3
2 Tidak diobati
3 Diobati Diobati jika jumlah sel CD4 <350/mm3
Diobati tanpa memandang jumlah sel
4 Diobati
CD4
Tabel 1. Syarat Pemberian ART
Syarat pemberian ARV pada ibu hamil dikenal dengan singkatan SADAR,
yaitu sebagai berikut:
1. Siap: menerima ARV, mengetahui dengan benar efek ARV terhadap infeksi
HIV.
2. Adherence: kepatuhan minum obat.
3. Disiplin: minum obat dan kontrol ke dokter.
4. Aktif: menanyakan dan berdiskusi dengan dokter mengenai terapi.
5. Rajin: memeriksakan diri jika timbul keluhan.
15
Tabel 3. Efek Samping Obat dan Kontraindikasi Pemberian ARV
16
2.5 Persalinan aman bagi ibu dengan HIV
Tujuan persalinan aman bagi ibu dengan HIV adalah menurunkan risiko
penularan HIV dari ibu ke bayi, serta risiko terhadap ibu, tim penolong
(medis/non-medis) dan pasien lainnya.2,12,13
a. Persalinan pervaginam
Wanita hamil yang direncanakan persalinan pervaginam, diusahakan
selaput amnionnya utuh selama mungkin. Pengambilan sampel darah janin harus
dihindari. Jika sebelumnya telah diberikan obat ART, maka obat ini harus
dilajutkan sampai partus. Jika direncanakan pemberian infuse zidovudin, harus
diberikan pada saat persalinan dan dilanjutkan sampai tali pusat diklem. Dosis
zidovudin adalah: dosis inisial 2 mg/kgBB dalam 1 jam dan dilanjutkan
1mg/kgBB/jam sampai partus. Tablet nevirapin dosis tunggal 200mg harus
diberikan di awal persalinan. Tali pusat harus diklem secepat mungkin dan bayi
harus dimandikan segera. Seksio sesaria emergensi biasanya dilakukan karena
alasan obstetrik, menghindari partus lama, dan ketuban pecah lama.3
Kelahiran pervaginam dapat dipertimbangkan dengan syarat:2
1. Selama kehamilan penderita menjalani perawatan prenatal
2. Viral load <1000 kopi/ml pada minggu ke-36 kehamilan
3. Penderita menjalani pengobatan HIV selama setidaknya enam bulan.
b. Seksio Sesaria
Pada saat direncanakan seksio sesaria secara elektif, harus diberikan
antibiotik profilaksis. Infuse zidovudin harus dimulai 4 jam sebelum seksio
sesaria dan dilanjutkan sampai tali pusat diklem. Sampel darah ibu diambil saat
itu dan diperiksa viral load-nya. Tali pusat harus diklem secepatnya pada saat
seksio sesaria dan bayi harus dimandikan segera.3,13
Kelahiran secara seksio sesarea direkomendasikan dengan syarat:
1. Wanita hamil penderita HIV dengan viral load >1000 kopi/ml atau
viral load tidak diketahui pada minggu ke-36 kehamilan
2. Penderita yang tidak menjalani pengobatan HIV selama kehamilan
3. Penderita yang tidak menjalani perawatan prenatal sebelum usia
kehamilan 36 minggu
17
4. Belum terjadi ruptur membran (pecah ketuban).
Diskusi mengenai pilihan seksio sesarea harus dimulai secepat mungkin
pada wanita hamil dengan infeksi HIV untuk memberikan kesempatan adekuat
pada penderita untuk mempertimbangkan pilihan dan rencana untuk prosedur.
18
selama 6 bulan diteruskan dengan pemberian ASI campuran hingga usia 24
bulan.1,3,9,10
19
3. KESIMPULAN
20
DAFTAR PUSTAKA
21