Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH

Patofisiologi, Farmakologi (Farmakodinamik & Farmakokinetik)

Dan Terapi Nutrisi Pada Pasien Dengan Hipertensi

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah

Keperawatan Medikal Bedah 1

Dosen pengampu : ….

Di Susun Oleh:

Kelompok 2

Indri Jayanti (2011102411157)


Riski Maulana (2011102411162)
Dyah Ajeng .P (2011102411173)

Yogi Anggara Royadi (2011102411175)


Nur Leni Alda (2011102411176)

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN KELAS ALIH JENJANG

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH KALIMANTAN TIMUR

TAHUN 2020/2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan

sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa

pertolongan-Nya tentunya kami tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah

ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga terlimpah curahkan kepada baginda

tercinta kita yaitu Nabi Muhammad SAW yang kita nanti-natikan syafa’atnya di

akhirat nanti.

Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-

Nya, baik itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis mampu untuk

menyelesaikan pembuatan makalah dari mata kuliah Keperawatan Medikal Bedah I,

Patofis, Farmakologi,(Farmakodinamika, Farmakokinetika) Terapi Nutrisi Klien

Dengan Hipertensi”

Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan

masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, penulis

mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini. Penulis juga

mengucapkan terima kasih kepada semua pihak khususnya kepada dosen mata kuliah

Keperawatan Medikal Bedah I kami yang telah membimbing dalam menulis makalah

ini.

Samarinda, 21 Februari 2021

Kelompok 2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...................................................................................................i

DAFTAR ISI................................................................................................................ii

BAB I............................................................................................................................1

PENDAHULUAN........................................................................................................1

BAB II..........................................................................................................................3

PEMBAHASAN...........................................................................................................3

A. Pengertian..........................................................................................................3

B. Patofisiologi pasien dengan hipertensi..............................................................3

C. Patway................................................................................................................5

D. Farmakologi.......................................................................................................6

F. Terapi nutrisi pasien dengan Hipertensi..........................................................15

BAB III.......................................................................................................................18

KESIMPULAN DAN SARAN..................................................................................18

A. KESIMPULAN................................................................................................18

B. Saran................................................................................................................18

DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................19

1
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hipertensi atau sering disebut tekanan darah tinggi adalah peningkatan


tekanan darah sistolik lebih dari 140 mmHg dan tekanan darah diastolik lebih
dari 90 mmHg pada dua kali pengukuran dengan selang waktu 5 menit dalam
keadaan cukup istirahat/tenang. Hipertensi merupakan salah satu penyebab utama
kesakitan dan kematian di Indonesia (RS UNS, 2017).
Menurut AHA (American Heart Association)di Amerika, tekanan darah
tinggi ditemukan 1 dari setiap 3 orang atau 65 juta orang dan 28% atau 59 juta
orang mengidap prehipertensi. Semua orang yang mengidap hipertensi hanya
pertiganya yang mengetahui keadaannya dan 61% medikasi. Dari pertiga yang
mendapat medikasi hanya ⁄mencapai target darah yang optimal/normal. Di
Indonesia belum ada data nasional hanya sebagian kecil yang menjalani
pengobatan masing-masing 13,3% dan 4,2% (Wahdah dalam Kurniawan, 2013).
Data Riset Kesehatan Dasar (Riskedas) tahun 2013 menunjukkan bahwa
hipertensi merupakan masalah kesehatan dengan prevalensi yang tinggi,
mencapai 25,8%. Hipertensi juga disebut sebagai “the silent killer” karena
beberapa orang tidak sadar bahwa dirinya ternyata mengalami hipertensi (RS
UNS, 2017).
Tujuan pengobatan hipertensi adalah untuk menurunkan
mortalitas dan morbiditas penyakit kardiovaskular. Penurunan tekan
sistolik harus menjadi perhatian utama, karena umumnya tekanan diastolik
akan terkontrol bersamaan dengan terkontrolnya sistolik (Gunawan, 2008).
Ada dua terapi yang dilakukan untuk mengobati hipertensi yaitu terapi
farmakologis dan terapi non farmakologis. Terapi farmakologis yaitu
dengan menggunakan obat-obatan antihipertensi yang terbukti dapat

2
menurunkan tekanan darah, sedangkan terapi non farmakologis atau disebut
juga dengan modifikasi gaya hidup yang meliputi berhenti merokok,
mengurangi kelebihan berat badan, menghindari alkohol, modifikasi diet
serta yang mencakup psikis antara lain mengurangi stress, olah raga, dan
istirahat (Kosasih dan Hassan, 2013).
Keberhasilan dalam mengendalikan tekanan darah tinggi merupakan usaha
bersama antara pasien dan dokter yang menanganinya. Kepatuhan seorang pasien
yang menderita hipertensi tidak hanya dilihat berdasarkan kepatuhan dalam
B. Rumusan masalah

1. Apa definisi hipertensi ?


2. Bagaimana patofisiologi dari hipertensi ?
3. Bagaimana farmakologi (Farmakodinamik dan farmakokinetik) pada pasien
dengan hipertensi ?
4. Bagaimana terapi nutrisi klien dengan hipertensi ?

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian
a. Hipertensi
Hipertensi dikenal secara luas sebagai penyakit kardiovaskular

dimana penderita memiliki tekanan darah di atas normal.

Hipertensi atau sering disebut tekanan darah tinggi adalah peningkatan

tekanan darah sistolik lebih dari 140 mmHg dan tekanan darah diastolik lebih

dari 90 mmHg pada dua kali pengukuran dengan selang waktu 5 menit dalam

keadaan cukup istirahat/tenang. Hipertensi merupakan salah satu penyebab

utama kesakitan dan kematian di Indonesia (RS UNS, 2017).

Hipertensi stadium 1 didefinisikan sebagai tekanan darah sistolik lebih

dari 139 mmHg tetapi kurang dari 160 mmHg atau tekanan darah diastolik

yang lebih dari 89 tetapi kurang dari 100 mmHg. Hipertensi stadium 2

didefinisikan sebagai tekanan darah sistolik yang lebih dari atau sama dengan

159 mmHg atau tekanan darah diastolik yangblebih dari atau sama dengan 99

mmHg.

B. Patofisiologi pasien dengan hipertensi


Mekanisme yang mengontrol konstriksi dan relaksasi pembuluh darah

terletak dipusat vasomotor pada medulla diotak. Dari pusat vasomotor ini

bermula jaras saraf simpatis, yang berlanjut kebawah ke korda spinalis dan keluar

dari kolumna medula spinalis ke ganglia simpatis di toraks dan abdomen.

Rangsangan pusat vasomotor dihantarkan dalam bentuk implus yang bergerak

kebawah melalui system saraf simpatis ke ganglia simpatis. Pada titik ini, neuron

4
pre- ganglion melepaskan asetilkolin, yang merangsang serabut saraf pasca

ganglion ke pembuluh darah, dimana dengan dilepaskannya norepinefrin

mengakibatkan konstriksi pembuluh darah. Berbagai factor, seperti kecemasan

dan ketakutan dapat mempengaruhi respons pembuluh darah terhadap rangsang

vasokonstriktor. Klien dengan hipertensi sangat sensitive terhadap norepineprin,

meskipun tidak diketahui dengan jelas mengapa hal tersebut dapat terjadi.

Pada saat bersamaan ketika system saraf simpatis merangsang pembuluh

darah sebagai respons rangsang emosi, kelenjar adrenal juga terangsang,

mengakibatkan tambahan aktivitas vasokontriksi. Medula adrenal menyekresi

epineprin, yang menyebabkan vasokonstriksi. Korteks adrenal menyekresi

kortisol dan steroid lainnya, yang dapat memperkuat respons vasokonstriktor

pembuluh darah. Vasokonstriksi yang mengakibatkan penurunan aliran darah ke

ginjal, menyebabkan pelepasan renin.

Renin yang dilepaskan merangsang pembentukan angiotensin I yang

kemudian diubah menjadi angiotensin II , vasokontriktor kuat, yang pada

akhirnya merangsang sekresi aldosteron oleh korteks adrenal. Hormon ini

menyebabkan retensi natrium dan air oleh tubulus ginjal, menyebabkan

peningkatan volume instravaskuler. Semua factor tersebut cenderung

menyebabkan hipertensi (Aspiani, 2016).

5
C. Patway

(Sumber : ( WOC ) dengan menggunakan Standar Diganosa Keperawatan Indonesia


dalam PPNI,2017)

6
D. Farmakologi
Farmakodinamika didefinisikan sebagai studi tentang bagaimana suatu obat

bekerja, mempelajari toleransi obat, respons farmakologis, durasi serta besarnya

yang diamati, relatif terhadap konsentrasi obat-obatan di lokasi aktif dalam

organisme hidup.

Farmakokinetika didefinisikan sebagai studi yang mempelajari tentang cara

kerja obat, waktu perjalanan dan penyerapan obat, efek obat terhadap fungsi

berbagai organ, distribusi, metabolisme, dan ekskresi dari obat.

1. Farmakologi Amlodipine Untuk Hipertensi

Amlodipine memiliki farmakologi berupa aspek farmakodinamik

sebagai vasodilator pada arteri koroner dan sistemik, serta aspek

farmakokinetik berupa absorpsi, metabolisme, dan ekskresi. Amlodipine

tersedia dalam dua sediaan dosis yakni 5mg dan 10mg. Pada pasien

hipertensi dengan tekanan darah yang masih dalam kondisi stabil diberikan

dosis 5mg/24 jam, sedangkan pada pasien hipertensi dengan tekanan darah

yang masih tinggi dan tidak terkontrol maka dosisnya perlu dinaikkan.

Tentu saja untuk penambahan dosis ini berdasarkan pertimbangan dokter

dan hasil dari tekanan darah.

a. Farmakodinamik

Amlodipine merupakan golongan penghambat kanal kalsium

generasi kedua dari kelas 1,4 dihidropiridin (DHP). DHP bekerja dengan

mengikat situs yang dibentuk dari residu asam amino pada dua segmen

S6 yang berdekatan dan segmen S5 diantaranya dari kanal kalsium

bermuatan di sel otot polos dan jantung. Ikatan tersebut menyebabkan

7
kanal kalsium termodifikasi ke dalam kondisi inaktif tanpa mampu

berkonduksi (nonconducting inactive state) sehingga kanal kalsium di sel

otot menjadi impermeabel terhadap masuknya ion kalsium.

Hambatan terhadap influks ion kalsium ekstraseluler tersebut

menyebabkan terjadinya vasodilatasi, penurunan kontraktilitas miokard,

dan penurunan tahanan perifer. Amlodipine memiliki afinitas lebih tinggi

pada kanal kalsium yang terdepolarisasi. Sel otot polos vaskuler

memiliki potensial membran yang lebih terdepolarisasi dibandingkan sel

otot jantung sehingga efek fisiologis amlodipine lebih nyata di jaringan

vaskuler dibandingkan di jaringan jantung.

b. Farmakokinetik

Aspek farmakokinetik amlodipine mencakup aspek absorbsi,

distribusi, metabolisme, dan ekskresi obat.

1) Absorpsi

Amlodipine cepat diserap menyusul konsumsi oral dengan

bioavailabilitas hingga mencapai 64%. Konsentrasi amlodipine

dalam plasma mencapai puncaknya 6-12 jam setelah dikonsumsi

setelah melalui metabolisme di hati. Kadar plasma semakin

meningkat dengan penggunaan amlodipine jangka panjang

sehubungan dengan masa paruh eliminasi yang panjang (35-48 jam)

dan efek saturasi metabolisme hepatik. Kadar plasma ini akan stabil

setelah pemberian amlodipine secara rutin selama 7-8 hari.

2) Distribusi

8
Mengingat volume distribusinya yang besar (21,4±4,4 L/kg),

amlodipine terdistribusi masif ke kompartemen jaringan. 93-98%

amlodipine dalam plasma terikat dengan protein.

3) Metabolisme

Amlodipine dimetabolisme di hati menjadi bentuk metabolit

inaktifnya. Metabolit amlodipine tidak memiliki aktivitas antagonis

kalsium dan hanya sedikit bentuk obat asli yang diekskresikan

melalui urin.

4) Eskresi

Sebagian besar metabolit amlodipine (62% dosis yang

dikonsumsi) diekskresikan melalui urin dan sisanya melalui feses.

Terkait besarnya proporsi metabolit yang diekskresikan melalui

urin, pada pasien usia lanjut, bersihan amlodipine dapat mengalami

penurunan sehingga diperlukan penyesuaian dosis.

2. Farmakologi Captopril Untuk Hipertensi

Aspek penting dari farmakologi captopril adalah mekanisme kerja

antagonis efek dari sistem renin-angiotensin-aldosteron (SRAA). Captopril

oral menguji hipertensi renovaskular. Farmakodinamik dan farmakokinetik

captopril akan dijelaskan secara lengkap di bawah ini :

a. Farmakodinamik

SRAA adalah suatu mekanisme homeostatik, untuk meregulasi

keseimbangan hemodinamik, air, dan elektrolit. Kerja captopril, secara

kompetitif dengan SRAA adalah dengan:

1) Menginhibisi enzim angiotensin converting, suatu hidrolase karboksi

peptidildipeptida. Karenanya, mencegah konversi ACE I ke ACE II.

9
Sehingga menurunkan kadar angiotensin II, suatu vasokonstriktor

yang aktif. Akibatnya, sebagai umpan balik, akan meningkatkan

aktivitas renin dalam plasma darah.

2) Menurunkan sekresi aldosteron, sehingga terjadi peningkatan kalium

dalam jumlah sedikit dalam serum darah dan penurunan natrium dan

volume cairan intravascular.

3) Menginhibisi deaktivasi bradikinin, sehingga kadarnya meningkat,

dan memberikan efek vasodilatasi.

Dengan demikian proses kerja obat captopril, secara keseluruhan

akan menurunkan resistensi vaskular, yaitu arterial di perifer, secara

sistemik. Captopril juga membuat peningkatan aliran darah ginjal,

sedangkan GFR biasanya tidak berubah. Cardiac Output dapat

meningkat, atau tidak berubah. Kesemuanya ini akan menurunkan

tekanan darah sistolik, diastolik, dan rata-rata.

Captopril juga dapat bekerja untuk menginhibisi angiogenesis

tumor, dengan cara menghambat kerja enzim metaloproteinase pada

endotelial sel matrik dan migrasi sel endotelial. Disamping itu,

captopril juga memiliki aktivitas anti-neoplastik, independen

terhadap efek obat pada angiogenesis tumor. Efek kerja obat ini juga

meningkatkan kadar enzim aminotransferase serum secara transien,

pada rate yang rendah.

3. Farmakologi Candesartan Untuk Hipertensi

Secara farmakologi, candesartan bekerja sebagai agen antihipertensi dengan

mengikat reseptor angiotensin II tipe 1 (AT1) di berbagai jaringan, sehingga

angiotensin II tidak dapat mengikat AT1. Hal ini dapat mengurangi

10
vasokonstriksi dan reabsorbsi air/garam akibat aktivitas angiotensin II,

sehingga dapat menurunkan tekanan darah.

a. Farmakodinamik

Angiotensin II merupakan hormon vasoaktif utama dalam renin-

angiotensin-aldosterone system (RAAS) yang memegang peran penting

dalam patofisiologi hipertensi, gagal jantung, dan gangguan

kardiovaskular lainnya. Angiotensin II dapat menyebabkan vasokonstriksi

dan menstimulasi aldosteron yang dimediasi oleh reseptor AT1, di mana

vasokonstriksi bersama sekresi aldosteron yang meningkatkan reabsorbsi

air/garam ini dapat meningkatkan tekanan darah.

b. Farmakoinetik

Agens ini diabsorpsi dengan baik dan mengalami metabolisme di hati

oleh system P450 sitokrom. ARB dieksresikan melalui feses dan urine.

Diketahui menembus plasenta, ARB terbukti berkaitan dengan

abnormalitas Janis yang serius dan bahkan kematian jika iberikan pada

wanita hamil trimester kedua atau ketiga. Wanita subur dianjurkan untuk

menggunakan kontrasepsi barrier guna mencegah kehamilan jika terjadi

kehamilan, dan ARB harus segerea dihentikan.

4. Farmakologi Furosemid Untuk Hipertensi

Aspek farmakologi furosemide utamanya adalah sebagai diuretik kuat

dengan menghambat cotranspoter Na+/K+/Cl2- pada membran luminal

tubulus dalam mereabsorpsi elektrolit natrium, kalium, dan klorida.

Farmakodinamik dan farmakokinetik selengkapnya akan dijelaskan di

bawah.

11
a. Farmakodinamik

Farmakodinamik furosemide terjadi pada segmen tebal pars asendens

lengkung henle.

b. Farmakokonetik

1. Absrobsi

Loop diuretic mudah diserap melalui saluran cerna, dengan derajat

yang berbeda-beda. Bioavalabilitas furosemide 65%.

2. Distribusi

Obat golongan ini terikat dengan protein plasma secara ekstensif,

sehingga tidak difiltrasi glomerulus tetapi cepat sekali diekskresikan

melalui system transfort asam organic ditubulus proksimal.

3. Metabolisme

Obat terakumulasi dicairan tubuli dan mungkin sekali ditempat kerja

didaerah yang lebih distal lagi.

4. Eksresi

Kira-kira 2/3 dari asam etakrinat yang iberikan melalui IV

dieksresikan melalui ginjal dalam bentuk utuh dalam konjugasi

dengan senyawa sulfhidil terutama sistein dan N-asetil sistein.

E. Farmakokinetik

Farmakokinetik captopril adalah onset kerja cepat dan masa kerja yang singkat.

1) Absorpsi

12
Captopril diabsorpsi cepat sekitar 60‒75% pada perut kosong. Makanan

akan mengurangi bioavailabilitas obat sekitar 24% hingga 30%. Dalam satu

jam, dosis tunggal 100 mg captopril per oral, akan mencapai konsentrasi

puncak dalam darah sekitar 800 ng/mL. Penurunan tekanan darah akan

terjadi, biasanya maksimal sekitar 60‒90 menit setelah menelan dosis

individu obat ini.

Lama kerja obat berhubungan dengan dosis yang diberikan. Penurunan

tekanan darah dapat progresif. Untuk mencapai efek terapeutik yang

maksimal, maka obat perlu dikonsumsi selama beberapa minggu.

Karenanya, edukasikan kepada pasien untuk mengonsumsi obat dengan

tidak terinterupsi, atau menghentikan terapi, tanpa rekomendasi dokter.

2) Distribusi

Captopril didistribusikan ke dalam air susu ibu dengan konsentrasi

sekitar 1% dari konsentrasi obat dalam darah maternal. Uji coba pada

hewan menunjukkan captopril secara cepat didistribusikan pada hampir

semua jaringan tubuh, kecuali susunan saraf pusat. Captopril terikat pada

plasma protein, terutama albumin, sekitar 25‒30%.

3) Metabolisme

Metabolisme captopril terjadi di hepar. Metabolit captopril berupa

disulfida. Mayoritas metabolit adalah dimers dari captopril disulfida.

Metabolit-metabolit tersebut menjalani proses interkonversi yang

reversibel. Sekitar setengah dari dosis captopril yang diabsorpsi, secara

cepat akan dimetabolisir, terutama menjadi disulfida captopril-sistein, dan

dimer sulfida. Diperkirakan bahwa obat lebih dimetabolisir secara ekstensif

13
pada pasien dengan fungsi ginjal yang rusak, daripada pasien dengan fungsi

renal yang normal.

Waktu paruh biologis terjadi < 2 jam pada pasien dengan fungsi ginjal

yang normal. Waktu paruh captopril dan metabolitnya berhubungan dengan

creatinine clearance. Waktu paruh meningkat sekitar 20‒40 jam pada pasien

dengan creatinine clearance <20 mL/menit. Dapat lebih lama sekitar 6,5

hari pada pasien dengan anuria.

4) Eliminasi

Captopril dan metabolitnya diekskresikan ke urine. Lebih daripada 95%

dosis obat yang diabsorpsi, akan diekskresikan ke urine dalam waktu 24

jam, pada pasien dengan fungsi ginjal yang normal. Sekitar 40‒50% dari

obat yang diekskresikan ke urine berupa captopril yang tidak berubah.

Sisanya sebagai dimers dari captopril disulfida dan disulfida captopril

sistein.

Sekitar 20% dari dosis obat tunggal ditemukan pada feses dalam waktu

5 hari, yang berupa obat yang tidak diabsoprsi. Obat captopril dapat

dieliminasi melalui hemodialisa pada orang dewasa. Namun, belum

diketahui apakah obat ini dapat dieliminasi melalui proses tersebut pada

neonatus, atau anak .

5) Resistensi

Dilaporkan telah terjadi resistensi pada dua pasien terhadap obat

captopril, setelah diterapi selama 12 minggu dengan dosis yang

ditingkatkan. Perkembangan resistensi ini, dihubungkan dengan restorasi

terhadap kadar renin dan aldosteron plasma yang awalnya meningkat.

Kendurnya kontrol terhadap hipertensi, setelah beberapa lama, dapat

14
dihubungkan dengan munculnya kembali mekanisme yang mengakibatkan

stimulasi renin yang eksesif.

Resistensi sekunder terjadi pada terapi pasien dengan captopril dalam

jangka waktu panjang. Hal ini terjadi karena tidak adanya volume ekspansi,

atau kontrol terhadap tekanan darah yang secara gradual menurun, yang

tidak berhubungan dengan kenaikan berat badan, atau volume darah.

5. Farmakologi Candesartan Untuk Hipertensi

Secara farmakologi, candesartan bekerja sebagai agen antihipertensi

dengan mengikat reseptor angiotensin II tipe 1 (AT1) di berbagai jaringan,

sehingga angiotensin II tidak dapat mengikat AT1. Hal ini dapat

mengurangi vasokonstriksi dan reabsorbsi air/garam akibat aktivitas

angiotensin II, sehingga dapat menurunkan tekanan darah.

a. Farmakodinamik

Angiotensin II merupakan hormon vasoaktif utama dalam renin-

angiotensin-aldosterone system (RAAS) yang memegang peran

penting dalam patofisiologi hipertensi, gagal jantung, dan gangguan

kardiovaskular lainnya. Angiotensin II dapat menyebabkan

vasokonstriksi dan menstimulasi aldosteron yang dimediasi oleh

reseptor AT1, di mana vasokonstriksi bersama sekresi aldosteron yang

meningkatkan reabsorbsi air/garam ini dapat meningkatkan tekanan

darah.

b. Farmakoinetik

Agens ini diabsorpsi dengan baik dan mengalami metabolisme di

hati oleh system P450 sitokrom. ARB dieksresikan melalui feses dan

15
urine. Diketahui menembus plasenta, ARB terbukti berkaitan dengan

abnormalitas Janis yang serius dan bahkan kematian jika iberikan pada

wanita hamil trimester kedua atau ketiga. Wanita subur dianjurkan

untuk menggunakan kontrasepsi barrier guna mencegah kehamilan jika

terjadi kehamilan, dan ARB harus segerea dihentikan.

F. Terapi nutrisi pasien dengan Hipertensi


Terapi non-farmakologis yang dapat diberikan pada penderita hipertensi

adalah terapi nutrisi yang dilakukan dengan manajemen diet hipertensi.

Contohnya dengan pembatasan konsumsi garam, mempertahankan asupan

kalium, kalsium, dan magnesium serta membatasi asupan kalori jika berat badan

meningkat. Berbeda dengan terapi farmakologis yang menggunakan obat-obatan

anti hipertensi (Wahyuni,2008).

Konsumsi natrium yang berlebihan menyebabkan konsentrasi natrium dalam

cairan diluar sel akan meningkat. Akibatnya natrium akan menarik keluar banyak

cairan yang tersimpan dalam sel, sehingga cairan tersebut memenuhi ruang diluar

sel. Berjejalnya cairan diluar sel membuat volume darah dalam sistem sirkulasi

meningkat. Hal ini menyebabkan jantung bekerja lebih keras untuk mengedarkan

darah keseluruh tubuh dan menyebabkan tekanan darah meningkat sehingga

berdampak pada timbulnya hipertensi (Apriadji, 2007).

WHO merekomendasikan pola konsumsi natrium yang dapat mengurangi

risiko terjadinya hipertensi adalah tidak lebih dari 2400 mg natrium atau 6 gram

garam perhari (Almatsier, 2008). Hampir 50% orang yang memiliki hipertensi

sensitive terhadap garam, yang bearti terlalu banyak mengkonsumsi garam

langsung.

16
Cara melakukan diet rendah natrium yaitu mengurangi konsumsi garam pada

masakan dengan tidak memasukan garam meja, MSG, pelunak daging, berbagai

macam kecap dan saus, acar, dan lainnya kepada makanan (Ridwan, 2011). Cara

yang dilakukan penderita hipertensi dengan menambahkan bahan-bahan lain,

seperti rempah-rempah/ bumbu dapur, herbal, lemon, bawang putih, jahe,cuka,

merica, dan lada hitam untuk memperkaya rasa masakannya.

Syarat diet rendah garam yang dilakukan penderita hipertensi seperti

memiliki cukup energi, protein mineral dan vitamin, bentuk makanan sesuai

dengan keadaan penyakit, jumlah natrium disesuaikan dengan berat tidaknya

retensi garam atau air.

Makanan yang harus dihindari atau dibatasi penderita hipertensi adalah:

1. Makanan yang berkadar lemak jenuh tinggi (otak, ginjal, paru, minyak

kelapa).

2. Makanan yang diolah dengan menggunakan garam natrium (biscuit, craker,

keripik dan makanan kering yang asin).

3. Makanan dan minuman dalam kaleng (sarden, sosis, korned, sayuran serta

buah-buahan dalam kaleng,soft drink).

4. Makanan yang diawetkan (dendeng, asinan sayur/buah, abon, ikan asin,

pindang, udang kering, telur asin, selai kacang).

5. Susu full cream, mentega, margarine, keju mayonnaise, serta sumber protein

hewani yang tinggi kolesterol seperti daging merah (sapi/kambing), kuning

telur, kulit ayam).

6. Bumbu-bumbu seperti kecap, maggi, terasi, saus tomat, saus sambal, tauco

serta bumbu penyedap lain yang pada umumnya mengandung garam

natrium.

17
7. Alkohol dan makanan yang mengandung alkohol seperti durian, tape.

Makanan yang boleh dikonsumsi penderita hipertensi :

1. Serelia, dan umbi-umbian serta hasil olahannya: beras, jagung, sorgum,

cantle, jail, sagu, ubi, singkong, kentang, talas, mie, roti, bihun, oat.

2. Sayuran hijau : Sayur daun: kangkung, bayam, pucuk labu, sawi, katuk,

daun singkong, daun pepaya, daun kacang, daun mengkudu, dan sebagainya.

Sayur buah: kacang panjang, labu, mentimun, kecipir, tomat, nangka muda,

dan sebagainya. Sayur akar: wortel, lobak, bit, dan sebagainya.

3. Buah: jambu biji, pepaya, jeruk, nanas, alpukat, belimbing, salak,

mengkudu, semangka, melon, sawo,mangga.

4. Kacang-kacangan dan hasil olahnya (tempe, tahu) serta polong-polongan.

5. Unggas, ikan (salmon, makarel, tiram, teri), putih telur.

6. Daging merah, kuning telur.

7. Menkonsumsi Kedelai acang kedelai banyak mengandung fito estrogen yaitu

isoflavon, yang memiliki aktivitas estrogen lemah. Penelitian meta analisis

pada tahun 1995 menyimpulkan bahwa isoflavon dari protein kedelai lebih

bermakna menurunkan kadar kolesterol total, kolesterol LDL dan

trigliserida, tanpa mempengaruhi kadar kolesterol HDL. Dianjurkan

mengkonsumsi protein kedelai (20 – 50 gram/hari) dengan modifikasi diet

pada penderita dengan kadar kolesterol (total dan LDL) yang tinggi. Tempe

adalah hasil pengolahan kedelai yang melalui proses fermentasi, dengan

kandungan gizi lebih baik dari kedelai. Sehingga tempe dianjurkan untuk

dikonsumsi oleh penderita hipertensi sebagai sumber protein nabati.

8. Studi menunjukkan bahwa minyak zaitun, minyak Kanola, minyak flaxseed

dan minyak kedelai mengandung asam lemak omega-3 yang digunakan

18
dalam menangani hipertensi bisa menurunkan kadar kolesterol total,

kolesterol lipoprotein densisitas rendah, dan trigliserida secara signifikan

dan menurunkan tekanan darah sistolik dan diastolik.

BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN
Ada dua terapi yang dilakukan untuk mengobati hipertensi yaitu
terapi farmakologis dan terapi non farmakologis. Terapi farmakologis yaitu
dengan menggunakan obat-obatan antihipertensi yang terbukti dapat
menurunkan tekanan darah, sedangkan terapi non farmakologis atau disebut
juga dengan modifikasi gaya hidup yang meliputi berhenti merokok,
mengurangi kelebihan berat badan, menghindari alkohol, modifikasi diet
serta yang mencakup psikis antara lain mengurangi stress, olah raga, dan
istirahat (Kosasih dan Hassan, 2013).

B. Saran
Masih banyak kekurangan didalam makalah ini, penulis berharap
kedepan nya bisa terus melengkapi makalah tersebut.

19
20
DAFTAR PUSTAKA

Sari. (2020). Karya Tulis Ilmiah Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan
Hipertensi Yang Di Rawat Di Rumah Sakit. Balikpapan.
http://repository.poltekkeskaltim.ac.id/1069/1/KTI%20NOVIA
%20PUSPITA%20SARI.pdf

Sunita. (2018). Farmakologi Amlodipine Terhadap Hipertensi. Jakarta.


https://www.alomedika.com/obat/obatkardiovaskuler/antihipertensi/a
mlodipine/farmakologi

Riawati. (2018). Farmakologi Captofril Terhadap Hipertensi. Jakarta.


https://www.alomedika.com/obat/obatkardiovaskuler/antihipertensi/ca
ptopril/farmakologi

Putri. (2020). Farmakologi Candesartan Terhadap Hipertensi. Jakarta.


https://www.alomedika.com/obat/obatkardiovaskuler/antihipertensi/ca
ndesartan/farmakologi#:~:text=Secara%20farmakologi%2C
%20candesartan%20bekerja%20sebagai,II%20tidak%20dapat
%20mengikat%20AT1.

Rahmah. (2018). Farmakologi Furosemide Terhadap Hipertensi. Jakarta.


https://www.alomedika.com/obat/obatkardiovaskuler/antihipertensi/fu
rosemide/farmakologi

Misda, dkk. (2017). Penurunan Tekanan Darah Penderita Hipertensi Setelah


Penerapan Pola Nutrisi Diet Rendah Natrium III Kelurahan
Tlogomas Kota Malang. Malang : Nursing News Volume 2 Nomor 3,
2017.
https://publikasi.unitri.ac.id/index.php/fikes/article/view/661/533

Darma. (2013). Terapi Diet Pada Penderita Hipertensi. Surabaya.


http://rumahsakit.unair.ac.id/dokumen/TERAPI%20DIET%20PADA
%20PENDERITA%20HIPERTENSI_1.pdf

19

Anda mungkin juga menyukai