Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH

Patofisiologi farmakologi terapi nutrisi klien

dengan nutrisi aritma

Tugas Mata Kuliah Keperawatan Menjelang Ajal & Paliatif

Disusun Oleh :

Akhmad Sabri 2011102411181

Anggi Arlinda Sari 2011102411151

Fajriah nur rahmadhani 2011102411158

Mira noviyanti 2011102411168

Silvia sari 2011102411146

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH KALIMANTAN TIMUR

TAHUN 2020/2021
A. Patofisiologi Pasien Dengan Aritma
Di dalam jantung terdapat sel-sel yang mempunyai sifat
automatisasi artinya dapat dengan sendirinya secara teratur
melepaskan rangsang. Impuls yang di hasilkan dari sel-sel ini akan
digunakan untuk menstimulus otot jantung untuk melakukan
kontraksi. Sel-sel tersebut adalah SA node, AV node, Bundle His, dan
serabut Purkinjee.Secara normal, impuls akan di hasilkan oleh SA
node, yang kemudian diteruskan ke AVnode, bundle his, dan terakhir
ke serabut purkinje.
Terjadinya aritmia dapat disebabkanoleh berbagai faktor.
Faktor yang pertama ialah menurunnya fungsi SA node, sehinggaAV
node menghasilkan impuls sendiri, impuls ini akan diteruskan seperti
biasanyasampai ke serabut purkinje. Pada serabut purkinje akan
diterima 2 impuls yang berasaldari SA node dan AV node sehingga
menyebabkan mekanisme reentry. Kedua, impulsyang dihasilkan oleh
SA node, akan terhambat pada percabangan SA node (Sinus arrest)
.sehingga impuls tidak sampai ke AV node, maka AV node secara
otomatis akanmenghasilkan impuls sendiri sehingga timbul juga
irama jantung tambahan.Penghambatan impuls tidak hanya dapat
terjadi pada percabangan SA node, tetapi dapatterjadi pada bundle his
juga.
Gangguan irama jantung secara elektrofisiologik dapat
disebabkan oleh:
a. Gangguan pembentukan rangsang
Gangguan ini dapat terjadi secara aktif atau pasif. Bila
gangguan rangsang terbentuksecara aktif di luar urutan jaras
hantaran normal, seringkali menimbulkan gangguanirama ektopik;
dan bila terbentuk secara pasif sering menimbulkan escape
rythm(irama pengganti).
 Irama ektopik timbul karena pembentukan rangsang ektopik
secara aktif dan fenomena reentry.-Escape beat (denyut
pengganti) ditimbulkan bila rangsang normal tidak atau belum
sampai pada waktu tertentu dari irama normal, sehingga
bagian jantung yang belum atau tidak mendapat rangsang itu
bekerja secara automatis untuk mengeluarkan rangsangan
intrinsik yang memacu jantung berkontraksi. Kontraksi
inilah yang dikenal sebagai denyut pengganti (escape beat)
 Active ectopic firing terjadi pada keadaan di mana terdapat
kenaikan kecepatan automasi pembentukan rangsang pada
sebagian otot jantung yang melebihi keadaan normal, atau
mengatasi irama normal.
 Reentry terjadi bila pada sebagian otot jantung terjadi blokade
unidi rectional (blokade terhadap rangsang dalam arah
antegrad), di mana rangsang dari arahlain dapat masuk kembali
secara retrograd melalui bagian yang mengalami blokade tadi,
setelah masa refrakternya dilampaui. Keadaan ini
menimbulkan rangsang baru secara ektopik ( ectopic beat ).
Bila reentry terjadi secara cepat dan berulang – ulang.
b. Gangguan penghantaran (konduksi) rangsang
Kelainan irama jantung dapat disebabkan oleh hambatan
pada hambatan (konduksi) aliran rangsang yang disebut blokade.
Hambatan tersebut mengakibatkan tidak adanya aliran rangsang
yang sampai ke bagian miokard yang seharusnya menerima
rangsang untuk dimulai kontraksi. Blokade ini dapat terjadi pada
tiap bagian system hantaran rangsang (conduction system), mulai
dari nodus SA atrium, nodus AV, jaras His dan cabang-
c. Gangguan pembentukan dan penghantaran rangsang

Gangguan irama jantung dapat terjadi sebagai akibat


gangguan pembentukan rangsang bersama gangguan hantaran
rangsang.
Sumber:https://kupdf.net/download/laporan-
pendahuluanaritmia_58cf9135dc0d609438c34674_pdf
B. Pathway

(Sumber : ( WOC ) dengan menggunakan Standar Diganosa Keperawatan


Indonesia dalam PPNI,2017)
C. Farmakologi

Berikut ini adalah penjelasan singkat mengenai pembagian atau


klasifikasi obat anti aritmia beserta mekanisme kerja dan contoh dari
masing-masing kelompok tersebut.

Kelas Karakteristik Contoh

Menghambat kanal ion natrium tipe


cepat, menurunkan konduksi
ventrikel, dapat menhambat
aktivitas ektopi ventrikel untuk
mencegah PVC.

IA, mengurangi kecepatan


depolarisasi, memperpanjang durasi IA: quinidine,
potensial aksi. Memperlambat procainamide,
konduksi jabtung, memperpanjang disopyramide
IA: periode refrakter.
Penghambat IB: lignocaine,
kanal natrium IB, mengurangi laju depolarisasi mexiletine
secara selektif pada sel yang
iskemia, memperpendek durasi aksi IC: flecainide,
potensial, bisa sedikit propafenone
memperpendek periode refrakter.

IC, secara signifikan mengurangi laju


depolarisasi, mengurangi konduksi
kardiak secara signifikan,
meningkatkan sedikit periode
refrakter.

II: Agen Antagonis b-adrenoceptor,


Bisoprolol
simpatolitik menekan AV node

III: Menghambat kanal kalium, Sotalol (memiliki


Penghambat mengurangi laju efluks kalium. sifat b-blocker),
repolarisasi Mencegah aritmia reentran baik amiodaron,
atrium maupun ventrikel, lebih baik perhexiline, digoxin
dalam mempertahankan irama sinus
Kelas Karakteristik Contoh

setelah kardioversi dari AF.

Menghambat respon ventrikel pada


AF dan mencegah aritmia reentran
IV: Antagonis AV nodedapat pula mencegah Diltiazem,
kalsium aritmia akibat early after- verapamil
depolarizations seeprti torsades
d’pointes.

Anti Aritmia Kelas IA

Obat-obatan kelas ini mengurangi V max (laju kenaikan potensial aksi pada
fase 0) dan memperpanjang durasi potensial aksi. Termasuk ke dalam obat ini
adalah quinidine, procainamide, dan di sopyramide.

1. Quinidine

 Berasal dari kulit kayu cinchona, merupakan alkaloid isomerik dari


quinine
 Seperti quinine, memiliki efek anti demam, anti malaria, dan vagolitik
 Quinine tidak memiliki efek terhadap elektrofisiologi jantung
 Memiliki efek mensupresi automatisites dari serat Purkinje namun tidak
mempengaruhi automatisitas dari SA node.
 Memberikan efek early after depolarization sehingga bisa
memicu torsades de pointes.
 Memilki efek antikolinergik kuat dan stimulasi refleks simpatis melalui
blok alfa-adrenergik sehingga dapat menyebabkan vasaodilatasi perifer,
meningaktkan laju pelepasan SA node, dan memperbaiki konduksi AV
node.
 Indikasi utama adalah untuk PAC dan PVC serta sustained takiaritmia.
 Dapat mencegah AVNRT dan tipe lain dari SVT dengan memperpanjang
masa refrakter atrium dan ventrikel serta mensupresi konduksi dari
sirkuit reentrant.
 Supresi terhadap takikardia berulang juga dapat terjadi melalui supresi
fokus atau triger dari takikardia
 Efek samping:
a. Pemberian quinidine kronik menyebabkan gangguan saluran cerna
seperti mual, muntah, nyeri perut, dan anoreksia.
b. Dapat pula menyebabkan tinitus, gangguan pendengaran, gangguan
pengliahtan, delirium, dan psikosis.
c. Memperlambat konduksi jantung, menyebabkan AV block
d. Sinkop akibat unsustained torsades de pointes
e. alergi

2. Procainamide

 Mekanisme aksi procainamide terhadap automatisitas, konduksi,


eksitabilitas, dan resposivitas membran mirip dengan quinidine
 Kerja procainamide terutama menghambat kanal INa+ yang dalam
kondisi inaktif. Obat ini juga menghambat IKr dan IK.
ATP, memperpanjang ERP lebih lama dari pada APD sehingga
mencegah reentry, efek antikolinergik paling kecil dibandingkan obat
kelas IA lainnya
 Metabolit procainamide yaitu NAPA memiliki efek elektrofisiologi yang
berbeda. NAPA memiliki efek kelas III dan memperpanjang APD. Kadar
tinggi NAPA dapat memberi efek early after depolarization, mentriger
automatisitas, dan torsades de pointes.
 Efek hemodinamik berupa mensupresi kotraktilitas otot jantung pada
dosis tinggi, menghambat reseptor alpha adrenergik namun
menyebabkan vasodilasi perifer akibat efek antisimpatis pada otak dan
medula spinalis.
 Waktu paruh 3-5 jam dengan eliminasi 50-60% di ginjal dan 10-30% di
hati. Metabolit NAPA eksklusif dieliminasi di ginjal
 Dosis
a. IV 25-50 mg dalam waktu 1 menit, dapat diulang setiap 5 menit
sampai aritmia terkontrol, terjadi hipotensi, atau pemanjangan
kompleks QRS >50%
b. Dosis lain yaitu 10-15 mg/kg dengan kecepatan 50 mg/menit
c. Dosis infus konstan yang dapat diberikan adalah 2-6 mg/jam
d. Pemberian oral membutuhkan interval pemberian 3-4 jam dengan
dosis 2-6 gram per hari. Jika dibutuhkan dosis loading, diberikan dua
kali dosis rumatan
 Indikasi:
a. Aritmia supraventrikular, ventrikular, konversi AF onset baru
b. Beta blocker atau CCB sebelum procainamide mencegah akselerasi
dari respon ventrikel pada AF atau flutter setelah pemberian
procainamide
c. Menghambat jalur asesoris, dapat digunakan untuk WPW dan AF
atau flutter dengan preeksitasi
d. Memblok His-Purkinje dan digunakan pada elektrofisiologi study
untuk menentukan keperluan pacemaker
e. Lebih konsisten mengterminasi VT dibandingkan lidocaine
 Efek samping
a. Efek non karidak berupa rash, mialgia, vaskulitis jari dan phenomena
Raynaud
b. Reaksi hipersensitivitas dapat berupa demam dan agranulositosis
c. Efek samping gastrointestinal lebih sedikit dari pada quinidine dan
efek samping susunan saraf pusat lebih sedikit dari lidocaine
d. SLE-like syndrome berupa atralgia, demam, pleurperikarditis,
hepatomegali, dan efusi perikardial hemoragik
e. Sekitar 60-70% pada pemberian kronik menimbulkan ANA positif
dengan 20-30% diantaranya menimbulkan gejala yang hilang bilang
procainamide dihentikan. Aapabila muncul gejala dengan anti-
dsDNA positif, maka pemberian procainamide harus dihentikan
3. Disopyramide
 Digunakan pada kasus aritmia ventrikular dan supraventricular
 Secara struktur berbeda dengan quinidine dan procainamide, namun
efek elektrofisiologisnya sama dengan kedua obat tersebut
 Menyebabkan use-dependent-block INa dan non-use-dependent block
IKr. Obat ini juga menhambat IK. ATP namun tidak mempengaruhi
potensial aksi yang tergantung dari kalsium kecuali pada konsentrasi
obat yang sangat tinggi.
 Memiliki aktivitas anti muskarinik sehingga dapat meningkatkan laju
sinus dan memperpendek konduksi dan refraktoritas AV nodal saat
dalam pengaruh kolinergik dari saraf vagal.
 Dalam konsentrasi tinggi mendepresi sinus pada penderita disfungsi
sinus.
 Pada sistem otonom memiliki efek antikolinergik lebih besar dari
quinidine namun tidak mempengaruhi alfa dan beta adrenoreseptor
 Efek hemodinamik
a. Supresi fungsi sistolik ventrikel dan memberikan efek vasodilator
ringan
b. Hindari pemakaian pada pasien dengan gangguan fungsi sitolik
ventrikel kiri
 Dosis:
a. 100-200 mg tiap 6 jam, dosis harian 400-1200 mg/hari
b. Sediaan controlled release 200-300 mg tiap 12 jam
 Indikasi
a. Mengurangi frekuensi PVC
b. Mencegah rekurensi VT
c. Mencegah rekurensi AF setelah kardioversi
d. Terminasi flutter, sebelum dipakai berikan dahulu obat-
obatan controlled rate
 Efek samping
a. Efek parasimpatolitik poten seperti hesitansi atau retensi urin,
konstipasi, pandangan kabur, glaukoma, mulut kering
b. QT prolongation dan torsade de pointes
c. Menurunkan kontraktilitas ventrikel

Anti Aritmia Kelas IB

Obat-obatan kelas ini tidak mengurangi V max dan memperpendek durasi


potensial aksi. Masuk ke dalamnya adalah mexiletine, phenytoin, dan
lidocaine.

1. Lidocaine
 Aksi elektrofisiologi
a. Memblok kanal INa, terutama pada keadaan terbuka atau mungkin
kondisi inaktif.
b. Memiliki kinetik onset dan offset yang cepat yang tidak
mempengaruhi otomatisitas dari sinus pada dosis biasa namun
bisa mendepresi bentuk otomatisitas lain yang normal maupun
abnormal termasuk early dan late after depolarization di serat
Purkinje
c. Depresi sedang terhadap Vmax; namun kecepatan stimulasi yang
lebih cepat pada keadaan menurunnya pH, peningkatan
K+ ekstrasaeluler, dan menurunnya membran potensial, dimana
semua ini bisa disebabkan oleh kondisi iskemia, meningkatkan
kemampuan lidocaine untuk memblok INa.
d. Lidocaine dapat merubah dari blok unidireksional menjadi
bidireksional saat terjadi iskemia sehingga mencegak terjadinya VF
dengan mencegaj fragmentasi dari gelombang depan besar yang
terorganisasi menjadi gelombang-gelombang kecil yang heterogen.
e. Kecuali dalam konsentrasi tinggi, lidocaine tidak mempengaruhi
potensial aksi yang bergantung kanal lambat (slow channel-
dependent) walaupun obat ini mampu mendepresi secara moderat
dari aliran lambat ion yang masuk ke dalam sel.
f. Lidocaine memiliki efek kecil terhadap serat atrial dan tidak
mempengaruhi konduksi dari jalur asesoris
g. Pada pasien dengan adanya disfungsi sinus sebelumnya, konduksi
abnormal His-Purkinje, atau irama junctional atau ventricular
escape dapat terjadi depresi otmatisitas atau konduksi yang
sebagian disebabkan oleh inhibisi terhadap aktivitas saraf simpatis.
 Efek hemodinamis
a. Gangguan hemodinamik yang signifikan jarang ditemukan pada
konsenterasi biasa kecuali sudah ada gangguan ventrikel kiri yang
berat
 Farmakokinetik
a. Lidocaine hanya ada sediaan intra vena karena jalur oral tidak
mampu melewati firs-pass hepatic metabolism sehingga
menyebabkan kadar plasma yang rendah serta terbentuknya zat
metabolit yang toksik
b. Waktu paruh eliminasinya 1-2 jam di subjek normal dan 4 jam pada
pasien yang mengalami infark miokard, serta lebih dari 10 jam pada
pasien dengan infark miokard yang mengalami komplikasi gagal
jantung, serta lebih lama lagi bila terjadi syok kardiogenik.
c. Dosis rumatan harus dikurangi sepertiganya pada keadaan cardiac
outout yang rendah.
d. 50-80% obat terikat terhadap alpha1-acid glycoprotein.
 Dosis dan pemberian
a. IM: 4-5 mg/kg (250-350 mg), konsentrasi efektif pada 15 menit dan
bertahan sampai 90 menit
b. IV: bolus 1-2 mg/kg dengan kecepatan 20-50 mg/menit dengan
injeksi kedua setengah dosis inisial 20-40 menit kemudian
c. Pasien yang menerima bolus kemudian dilanjutkan dosis rumatan
akan mengalami penurunan konsentrasi sementara di bawah
konsentrasi teurapetik obat 30-120 menit setelah injeksi pertama.
Bolus kedua sebanyak 0,5 mg/kg ranpa mengurangi laju obat
rumatan dapat menaikan kembali konsentrasi plasma ke kadar
terapeutik
d. Jika artimia muncul kembali setelah tercapai steady state, bolus
yang sama dapat diberikan dan kemudian dilakukan peningkatan
dosis rumatan
e. Jika bilus inisial tidak efektif, dapat diberikan dua kali bolus
tambahan 1 mg/kg dalam interval 5 menit
f. Dosis rumatan adalah 1-4 mg/kg/menit pada pasien dengan infark,
namun dapat dikurangi pada pasien dengan gagal jantung atau syok
kardiogenik akibat berkurangnya aliran darah ke hati
 Indikasi
a. Efikasi moderat terhadap aritmia ventrikuler, inefektif terhadap SVT
b. Jarang dapat menterminasi VT monomorfik
c. Efektif untuk pasien yang menjalani revaskularisasi dan pada pasien
yang diresusitasi di luar rumah sakit
d. Efek samping
e. Yang paling umum adalah toksisita susunan saraf puat seperti
pusing, parestesia, bingung, delirium, koma, stupor, dan kejang
f. Dilaporkan depresi sinus dan blok His-Purkinje
g. Jarang, namun dapat menimbulkan hipertermia
h. Baik lidocaine maupun procaine mide dapat
meningkatkan treshold dari defibrilasi.

Anti Aritmia Kelas IC

Obat pada kelas ini dapat mengurangi V max terutama dengan


memperlambat kecepatan konduksi dan memperpanjang masa refrakter
seacara minimal. Jenis obat-obatan kelas ini adalah flecainide dan
propafenone.
1. Flecainide
 Flecainide dipakai baik untuk aritmia ventrikuler maupun
supraventrikuler.
 Obat ini menghambat kanal natrium tipe cepat, mengurangi Vmax,
memiliki kinetika onset dan offset yang lambat
 Disosiasi obat dengan kanal natrium lambat dengan waktu konstan 10-
30 detik (4-8 detik pada quinidine dan kurang dari 1 detik pada
lidocaine) sehingga efek obat ini dapat terasa bahkan pada laju
jantung yang normal.
 Flecainide mengurangi aksi potensial dari serat Purkinje namun
memperpanjang masa aksi potensial di serat otot ventrikel
 Obat ini memperlambat konduksi di semua bagian jantung dan dalam
konsenterasi tinggi dapat menghambat kanal Ca2+.
 Waktu refrakter dan interval QT sedikit berubah di atrium dan
ventrikel
 Waktu refrakter pada jalur asesoris anterograde maupun retrograde
dapat bertambah secara signifikan tergantung cara pemakaian.
 Flecainide dapat memfasilitasi atau menghambat reentri dan mungkin
dapat merubah atrial fibrilasi menjadi fluter
 Obat ini mengurangi performa jantung terutama pada pasien dengan
gangguan fungsi sistolik sehingga harus digunakan secara hati-hati
atau tidak digunakan pada pasien dengan disfungsi sistolik ventrikel
sedang atau berat.
 Dosis inisiasi adalah 100 mg tiap 12 jam dan ditingkatkan dengan
besaran 50 mg dua kali sehari setiap 3-4 hari sampai efek efikasi
tercapai atau adanya efek samping atau tercapai dosis maksimum 400
mg/hari.
 Indikasi flecainide adalah untuk VT, SVT, atau AF paroksismal yang
mengancam nyawa.
 Flecainide dapat memperlambat masa konduksi sehingga dapat
memperberat kondisi AV-blok
 Dapat memperberat atau munculnya VT baru terutama pada pasien
dengan riwayat VT sebelumnya, dekompensasi jantung, atau dengan
dosis flecainide yang tinggi
2. Propafenone
 Obat ini menghambat ion kanal natrium tipe cepat di serat Purkinje
dan dalam derajat yang lebih rendah di otot ventrikel.
 Efek obat lebih besar pada bagian jantung yang mengalami iskemia
atau pada kondisi dimana potensial membran lebih rendah.
 Obat ini mengurangi eksitabilitas dan mensupresi automatiasasi
spontan maupun yang terpicu.
 Propafenone secara lemah dapat menghambat IKr dan reseptor beta
adrenergik
 Walaupun masa refrakter ventrikel meningkat, namun efek utama dari
propafenone adalah melambatnya waktu konduksi
 Propafenone memiliki efek inotropik negatif pada dosis tinggi
 Efek inotropik ini paling terasa pada pasien dengan fraksi ejeksi <40%
dan gagal jantung
 Mayoritas pasien berespon pada dosis oral 150-300 mg tiap 8 jam dan
tidak melewati 1200 mg/hari
 Sediaan sustained release dapat diberikan dengan dosis 225-450 mg
dua kali sehari.
 Indikasi propafenone adalah untuk paroksismal SVT, AF, dan VT yang
mengancam nyawa serta dapat mensupresi PVC spontan dan
VT sustained maupun non sustained.
 Terminasi dari AF akut dapat terjadi pada 76% kasus dengen dosis
pemberian 600 mg dosis tunggal

Anti Artimia Kelas II

Kelas obat ini adalah jenis beta-adrenergic blocker. Termasuk kedalamnya


yang sering dipakai adalah metoprolol, carvedilol, atenolol, propranolol, dan
esmolol. Kelompok beta blocker ini dapat tergolong ke dalam yang spesifik
terutama mempengaruhi jantung ( selektif reseptor β1 ) dan yang tidak
spesifik yaitu dapat mempengaruhi jantun dan pembuluh darah serta
bronkhus (reseptor β1 dan reseptor β2).

Pada dosis rendah, beta bloker selektif reseptor β1 lebih dominan


mempengaruhi jantung. Namun, pada dosis yang tinggi, obat-obatan ini juga
dapat mengaktivasi reseptor β2 Carvedilol juga memiliki aktivitas
menghambat reseptor α-adrenergik. Obat-obatan kelompok beta blocker ini
memberi efek dengan menghambat katekolamin berikatan dengan
reseptornya. Hal ini akan merupakan mekanisme utama dari efek antiaritmia
kelompok beta blocker. Untuk kondisi hemodinamik, beta blocker
menyebabkan efek inotropik negatif dan bisa memperburuk kondisi gagal
jantung.

Anti Aritmia Kelas III

Obat-obatan kelas ini terutama memblok kanal kalium (seperti IKr) dan
memperpanjang repolarisasi.Obat-obatan yang masuk ke dalam kelas ini
adalah sotalol, amiodarone, dan bretylium.

1. Amiodarone
 Obat ini merupakan derivat benzofuran yang digunakan untuk
pengobatan takiaritmia supraventrikular yang mengancam nyawa
apabila obat lain tidak tersedia atau tidak efektif. Selain itu,
amiodarone juga memiliki derivat senyawa lain yaitu dronedarone.
 Efek amiodarone yang diberikan secara kronik adalah memperpanjang
waktu potensial aksi di semua jalur listrik jantung tanpa
mempengaruhi potensial istirahat membran dari jantung. Ketika
diberikan secara akut, amiodarone dan metabilitnya desethy
lamiodarone akan memperpanjang potensial aksi dari serat otot
ventrikel namun memperpendek waktu potensial aksi dari serat
Purkinje.
 Ketika amiodarone diinjeksikan ke sinus jantung dari arteri yang
memperdarahi AV-nodal, obat ini mengurangi laju sinyal sinus dan
junctional serta memperpanjang waktu konduksi dari AV-nodal.
Amiodarone juga mengurangi Vmaks dari otot ventrikel dengan
memblok kanal ion natrium yang teraktivasi. Efek terhadap otot
ventrikel ini diperkuat oleh depolarisasi dan dilemhkan jika otot
jantung mengalami hiperpolarisasi potensial membran.
 Desethylamiodarone memiliki efek yang lebih besar terhadap jaringan
dengan kanal ion cepat dan memberikan efek yang signifikan terhadap
efikasi antiaritmia. Hal ini cukup menjelaskan bagaimana kerja
amiodarone cukup lambat karena menunggu terakumulasinya
metabolit yaitu desethylamiodarone.
 Amidoarone juga memiliki efek antagonis non kompetitid terhadap
reseptor adrenergik alpa dan beta dengan menghambat konversi
tiroksin (T4) menjadi triiodotironin (T3). Pada pemberian secara
kronik, amiodarone memberi efek menurunkan laju sinus dan
memperpanjang interval QT.
 Periode refrakter efektif untuk semua jaringan jantung akan
diperpanjang dengan amiodaron. Konduksi His-Purkinje akan
melambat dan durasi QRS memanjang terutama pada tempat dengan
laju yang tinggi. Melihat efek ini, amiodarone memiliki aktivitas seperti
kelas I (memblok INa), kelas II (antiadrenergik), dan kelas IV (memblok
ICa.L).
 Amidoarone mempengaruhi hemodinamik karena dapat
memvasodilatasi koroner dan pembuluh darah perifer. Saat
pemberian akut, amiodarone akan mengurangi laju jantung, resistensi
vaskuler, kekuatan kontraktilitas otot jantung, dan dP/dt dari ventrikel.
 Onset aksi dari amidoarone pemberian intravena adalah 1-2 jam. Pada
pemberian oral membutuhkan waktu 2-3 hari dan bahkan 1-3 minggu
atau lebih.
 Indikasi pemberian amiodarone adalah berbagai macam jenis
takiaritmia SVT maupun VT baik untuk janin, bayi, maupun dewasa
termasuk takikardia junctional AV nodal dan AV entri, atrial flutter, AF,
dan VF.
 Efek samping utama dari amiodarone adalah keluhan saluran cerna
dan saluran napas. Toksisitas terhadap paru berupa inflamasi
merupakan salah satu efek samping yang serius. Mekanismenya belum
jelas namun diperkirakan akibat reaksi hipersensitivitas, fosfolipodosis,
atau keduanya. Efek samping lain adalah peningkatan enzim
transaminase, gangguan neurologis, diskolorasi kulit, dan
hipertiroidisme.
 Hal yang perlu diperhatikan adalah dapat muncul neuritis optik serta
obat ini bisa menyebabkan bradiakrdia simtomatis, perburukan
takiaritmia ventrikel dan perburukan gagal jantung.
2. Dronedarone
 Seperti amiodarone, obat ini mempengaruhi aktivitas berbagai jenis
kanal ion. Dibandingkan amiodarone, dronedarone lebih poten
memblok arus natrium cepat dan sebanding dalam hal efek terhadap
kanal kalsium tipe-L. Selain itu, efek antiadrenergik drinaderone juga
lebih poten dibandingkan dengan amiodarone.
 Pada kondisi hemodinamik, dronedarone memberi sedikit efek
terhadap performa jantung. Namun, obat ini mempengaruhi signifikan
pasien dengan kondisi penurunan fungsi sistolik sehingga tidak boleh
digunakan pada pasien dengan tanda klinis gagal jantung.
 Dronedarone memiliki waktu paruh eliminasi 13-19 jam dengan 85%
obat diekskresikan di feses sedangkan sisanya di urin. Hal ini berbeda
dengan amiodarone yang memiliki waktu paruh eliminasi yang sangat
panjang. Dosis dari dronedarone adalah 400 mg setiap 12 jam.
 Indikasi dronedarone adalah untuk memfasilitasi kardioversi pada
atrial flutter dan atrial fibrilasi (AF) serta untuk mempertahankan
irama sinus. Untuk indikasi ini, sedikit kurang efektif dibandingkan
dengan amiodarone.
 Dronedarone tidak boleh digunakan pada pasien dengan tanda klinis
gagal jantung karena pada penelitian klinis ANDROMEDA, obat ini
menyebabkan kematian dua kali lipat dibandingkan dengan plasebo
(8,1% versus 3,8%).
 Efek samping dari dronedarone diantaranta adalah pemanjangan QT
walaupun kondisi proaritmia yang ditimbulkan termasuk jarang. Gejala
yang dapat meningkat saat pemakaian obat ini adalah rash, foto
sensitivitas, mual, diare, dan sthenia. Dronedarone tidak mengandung
ion iodin sehingga kecil prevalensi terjadinya toksisitas tiroid maupun
paru dibandingkan dengan amiodarone.
3. Sotalol
 Obat ini merupakan beta adernoreseptor bloker non spesifik tanpa
aktivitas simpatomimetik yang memperpanjang repolarisasi. Sotalol
digunakan untuk kasus takiaritmia ventrikel dan atrial fibrilasi.
 Sotalol memiliki isomer d dan l. Kedua isomer tersebut memberi efek
memperpanjang repolarisasi sedangkan hanya isomer l bertanggung
jawab untuk efek bloking beta adrenergik.
 Sotalol tidak memblok reseptor alfa adrenergik dan tidak pula
memblok kanal natrium (tidak memiliki efek stabilisasi membran).
Namun, obat ini memperpanjang repolarisasi atrium dan ventrikel
dengan mengurangi IKr sehingga memperlama masa plateau dari aksi
potensial. Pemanjangan aksi potensial ini lebih besar pada saat laju
jantung yang lebih lambat. Potensial istirahat, amplitudo potensial
aksi, dan Vmax tidak dipengaruhi oleh sotalol.
 Efek inotropik negatif dari sotalol sepenuhnya disebabkan olek aksi
bloking terhadap reseptor beta adrenergik. Obat ini dapat
memperkuat kontraksi dengan memperpanjang repolarisasi. Pada
pasien dengan fungsi jantung terganggu, sotalol dapat memicu
terjadinya gagal jantung.
 Dosis umum untuk sotalol adalah 80-160 mg tiap 12 jam dan selama 2-
3 hari dimonitor pola EKG untuk melihat aritmia dan pemanjangan QT.
Dosis melebihi 320 mg per hari dapat digunakan dalam kondisi hanya
jika diperkirakan keuntungan yang akan diperoleh melebihi potensi
risiko proaritmia dari sotalol.
 Proaritmia adalah efek yang paling serius dari sotalol. Kejadian aritmia
baru atau perburukan aritmia terjadi pada 4% pasien dan 2,5%
diantaranya berupa torsades de pointes.
4. Ibutilide
 Ibutilide digunakan untuk terminasi episode akut dari atrial fibrilasi
dan flutter. Seperti antiarimia kelas III lainnya, obat ini memperlama
repolarisasi dengan menghambat aliran keluar dari kalium (misalnya
kanal IKr). Keunikan dari ibutilide adalah obat ini dapat pula
mengaktivasi aliran lambat ke dalam dari ion natrium. Jika diberikan
secara intra vena, oba tini memperlama laju sinus dan memberi efek
minimal pada konduksi AV atau durasi QRS dan interval QT
memanjang seperti signifikan. Ibutilide tidak memiliki pengaruh
terhadap hemodinamik.
 Ibutilide diberikan secara infus intravena 1 mg selama 10 menit. Obat
ini tidak boleh digunakan dalam keadaan QTc lebih dari 440 milidetik
atau bersamaan obat lain yang memperpanjang durasi QT atau dalam
keadaan hipokalemia yang tidak terkoreksi serta adanya bradiakrdia.
 Dosis 1 mg yang kedua dapat diberikan jika aritmia tidak teratasi.
Monitoring EKG dilakukan saat periode pemberian sampai 6-8 jam
setelahnya karena risiko aritmia ventrikel. Pemberian magnesium
sebelum ibutilide dapat mengurangi risiko terjadinya aritmia.
 Seperti disebutkan tadi, ibutilide digunakan untuk menterminasi AF
atau flutter akut. Obat ini tidak diberikan untuk mencegah terulangnya
AF dan jangan digunakan pada kasus dimana terjadi AF berulang. Efek
samping utama dari ibutilide adalah pemanjangan QT dan terjadinya
torsades de pointes.
5. Dofetilide
 Obat ini dipakai untuk konversi AF akut dan juga sebagai supresi kronik
untuk AF rekuren atau berulang. Secara sisi elektrofisiologi, efek satu-
satunya dari dofetilide adalah menghambat komponen cepat dari
penyearah lambat aliran kalium IKr yang penting dalam proses
repolarisasi. Efek ini lebih terlihat di atrium dibandingkan dengan
ventrikel.
 Efek antiaritmia dari obat ini dicapai terutama diperankan oleh efek
obat ini pada IKr yang memperlama masa refrakter tanpa mempelama
konduksi. Dofetilide juga memperpanjang interval QT.
 Dofetilide hanya tersedia dalam bentuk sediaan oral. Dosis inisial
adalah 0,125-0,5 mg dua kali sehari dan pada masa inisiasi harus
dilakukan di rumah sakit untuk memonitor EKG dan mendeteksi
pemanjangan QT dan torsades des pointes.
 Indikasi dofetilide adalah untuk mencegah episode takiaritmia
supraventrikular terutama AF dan flutter. Seperti obat golongan kelas
III lainnya, efek samping utama adalah pemanjangan QT dan torsades
des pointes. Risiko efek samping semakin besar terutama pada pasien
dengan pemanjangan QT sebelumnya, konsumsi bersamaan dengan
obat lain yang memperpanjang QT, setelah konversi AF ke irama sinus,
dan pada kondisi hipokalemia.

Anti Artimia Kelas IV

Obat-obatan ini terutama menghambat dan memperlambat kanal kalsium


(ICa.L) seperti verapamil, dilitiazem, nifedipine, dan ICa.T seperti felodipine.

1. Verapamil dan Diltiazem


 Verapamil merupakan derivat dari papaverin dan merupakan prototip
dari kelas kelompok kalsium antagonis yang menghambat kanal
kalsium dan mengurangi ICa.L di otot jantung. Diltiazem memiliki efek
elektrofisiologi yang sama dengan verapamil sedangkan nifedipin dan
agen dihidropiridin lain memberikan efek elektrofisiologi yang
minimal.

 Dengan memblok ICa.L di semua serat jantung, verapamil mengurangi


ketinggan plateau dari potensial aksi, sedikit mengurangi potensial aksi
otot jantung, dan memperpanjang potensial aksi serat Purkinje. Obat
ini tidak mempengaruhi amplitudo potensial aksi Vmax dari fase 0,
atau voltase istirahat dari membran sel yang memiliki karakteristik
respon cepat yang berkaitan dengan INa (misalnya atrum dan otot
ventrikel, sistem Purkinje).
 Verapamil menekan respon lambat yang disebabkan berbagai sebab
seperti sustained triggered activity dan early- serta late
afterdepolarizations. Verapamil dan diltiazem menekan aktivitas
elektrikal pada sinus normal dan nodus AV. Verapamil mendepresi
kemiringan depolarisasi diastolik pada sel sinus node, Vmax dari fase
0, dan potensial diastolik maksimal serta waktu konduksi dan refrakter
dari AV nodal. Hambatan terhadap AV nodal ini lebih tampak terlihat
pada laju jantung yang cepat dan pada serat yang mengalami
depolarisasi.
 Untuk hemodinamik, obat ini menghambat kontraksi otot polos
sehingga menyebabkan vasodilatasi koroner . Efek penekanan
miokardial dari verapamil lebih tampak pada kondisi pemberian
dengan dosis besar. Pada dosis kecil, efek inotropik dari verapamil
dapat teratasi oleh refleks simpatis.
 Untuk terminasi akut dari SVT atau kontrol cepat laju ventrikel pada
keadaan AF dosis yang umum dipakai adalah infus 10 mg selama 1-2
menit. Injeksi kedua dengan dosis sama dapat diberikan 30 menit
kemudian. Efek dari dosis inisial ini dapat dipertahankan dengan
memberikan infus dengan dosis 0,005 mg/kg/menit. Adapun dosis oral
adalah 240 mg – 480 mg dosis terbagi.
 Diltiazem diberikan secara intravena dengan dosis 0,25 mg/kg sebagai
bolus selama 2 menit dengan dosis kedua diberikan setelah 15 menit
bila diperlukan. Secara jangka panjang, diltiazem lebih nyaman dipakai
dari pada verapamil. Dosis oral diltiazem adalah 120-360 mg per hari.

 Indikasi dari obat ini adalah untuk terminasi sustained AV node reentry


atau orthodromic AV reciprocating tachycardia yang berhubungan
dengan jalur asesoris apabila manuver vagal gagal.
 Kedua obat ini tidak boleh dipakai bila terdapat gangguan
hemodinamik. Hipotensi, bradikardia, AV-block, dan asistol dapat
terjadi apabila diberikan pada pasien yang sebelumnya sudah
mengonsumsi beta blocker.

Anti Aritmia Lainnya

Terdapat pula obat anti aritmia yang tidak termasuk ke dalam salah satu kelas
anti aritmia yang telah dijelaskan di atas.Beberapa obat diantaranya adalah
digoksin dan adenosine.

1. Adenosine
 Seperti namanya, adanosine merupakan nukleosida, molekul
pembentuk DNA. Obat ini terutama dipakai dalam kasus SVT. Obat ini
mempengaruhi reseptor A1 yang berada di permukaan ekstraseluler
dari otot jantung. Hal ini kemudian lebih lanjut akan mengaktivasi
kanal K+ (IK.Ach, IK.Ade) dengan mekanisme yang sama dengan
asetilkolin.
 Efek yang terlihat adalah perlambatan laju sinus yang diimbangi
munculnya refleks simpatis dalam menaikan laju sinus. Di regio N pada
AV node adenosine menekan konduksi dan menurunkan amplitudi,
Vmax, dan durasi dari potensial aksi. Hasilnya adalah perlamaan
sementara interval A-H dan sering disertai AV blok sementara derajat
1, 2, bahkan derajat 3. Perlambatan AV nodal ini tergantung laju
konduksi. Sementara itu, konduksi His-Purkinje tidak terpengaruh
secara langsung.
 Adenosine tidak mempengaruhi konduski pada jalur asesoris normal
namun dapat memblok jalur asesori yang memiliki waktu konduksi
panjang. Jantung hasil transplan lebih sensitif terhadap adenosine dan
obat ini dapat memdiasi fenomena ischemic preconditioning.
 Keberadaan dalam plasma obat ini sangat singkat. Adenosine
dihilangkan dari ruang ekstraseluler baik dengan washout, degradasi
enzimatik menjadi inosine, fosforilisasi menjadi adenosin monofosfat,
atau di reuptake ke dalam sel melalui sistem transport nukleosida.
Baik endotel maupun komponen sel darah mampu dalam proses
intake adenosine ini sehingga waktu paru eliminasi dari adenosine
dalam darah hanya 1 – 6 detik.
 Beberapa obat lain mempengaruhi kerja dari adenosine.
Methylxanthine merupakan antagonis kompetitif dan teofilin dapat
memblok secara total efek eksogen dari adenosine. Dipyridamole
merupakan pemblok transport nukleosida sehingga menghambat
uptake dari adenosine ke sel. Pada pasien yang mengonsumsi obat ini,
pemberian adenosine harus diberikan dengan dosis yang lebih kecil.
 Untuk menterminasi takikardia, diberikan bolus adenosine yang
diberikan secara cepat dengan dosis 6-12 mg IV flush. Dosis anak
adalah 0,1-0,3 mg/kg berat badan. Pada pasien dengan jantung
transplantasi atau mengonsumsi dipyridamole dosis adenosine adalah
3 mg. Pemberian dosis lebih 18 mg kemungkinan kecil tidak akan lagi
mengonversi takikardia sehingga pemberian melebihi dosis tersebut
tidak diperbolehkan.
 Efek samping singkat dari adenosine adalah merasa panas di tangan,
sesak, dan rasa penekanan di dada. Terkadang dapat muncul AF
karena adenosine memperpendek masa refrakter atrium. Munculnya
AF pada takikardia dengan sindrom WPW atau konduksi AV cepat
melalui jalur asesori dapat memberikan masalah serius.
2. Digoksin
 Efek terhadap jantung dari glikosida digitalis telah lama dikenal selama
berabad-abad. Obat ini diperoleh dari ekstrak tanaman digitalis.
Digoksin dipakai untuk mengontrol aritmia supraventrikular terutama
kontrol laju ventrikel (rate control) pada atrial fibrilasi.
Penggunaan obat ini telah lama berkurang karena adanya obat lain
yang lebih poten dengan rentang konsenterasi teurapetik yang lebih
lebar. Digoksin terkenal dengan rentang konsenterasi teurapetik yang
sempit sehingga rentan terjadi efek toksik.
 Pengaruh digoksin terhadap elektrofisiologi jantung terutama melalui
sistem saraf otonom baik menambah efek tonus vagal perifer maupun
sentral. Efek ini sebagian besar terbatas pada menurunkan laju sinus
node, memperpendek masa refrakter atrium, dan memperpanjang
masa refrakter AV nodal. Efek tersebut tampak minimal pada sistem
His-Purkinje maupun otot ventrikel kecuali pada konsenterasi toksik.
 Obat ini apabila dipakai secara intravena memberikan efek dalam
hitungan menit dengan puncak setelah 1,5-3 jam. Pada dosis oral, efek
puncak muncul setelah 4-6 jam.
 Pada keadaan akut, dosis loading yang diberikan adalah 0,5 – 1 mg.
Dosis oral harian harus disesuaikan dengan indikasi klinis dan fungsi
ginjal. Mayoritas pasien memerlukan 0,125-0,25 mg sebagai dosis
tunggal. Di kondisi pasien dengan dialisis, dapat diberikan 0,125 mg
selang sehari sedangkan pada dewasa muda kadang diperlukan 0,5 mg
per hari.
 Indikasi digoksin adalah memperlambat laju ventrikel pada AF dan
dapat dahulu dipakai untuk konversi SVT namun onset aksinya lebuh
lambat dan keberhasilannya lebih kecil dibandingkan adenosine,
verapamil, atau beta blocker.
 Dengan digoksin, pada kasus AF kronik, 40-60% dapat terkontrol
dengan digoksin. Namun efek digoksin akan hilang ketika pasien
beraktivitas. Hal ini tampak sebagai peningkatan laju ventrikel yang
signifikan bahkan saat pasien beraktivitas fisik ringan. Hal ini
menyebabkan obat ini jarang dipakai sebagai obat tunggal untuk
mengontrol AF.
 Gejala keracunan digoksin adalah nyeri kepala, mual, muntah,
hilangnya persepsi warna, adanya penglihatan halo, dan lemas. Yang
lebih berat adalah aritmia termasuk bradikardia karena peningkatan
tonus vagal dan takikardia. Hal yang bisa meningkatkan toksisitas dari
digoksin adalah penurunan fungsi ginjal, usia lanjut, hipokalemia,
penyakit paru kronik, hipotiroidisme, dan amiloidosis.
 Apabila terjadi bradikardia akibat digoksin, dapat diberikan atropin
atau pace maker temporer. Pada takiaritmia, dapat diberikan fenitoin
dan lidokain pada takikatdia infranodal. Adapun untuk mengurangi
kadar digoksin, diberikan fragmen antibodi spesifik anti digoksin.

Sumber : https://caiherang.com/kelas-obat-anti-aritmia/

D. Terapi nutrisi pasien dengan Aritmia

Para penderita aritmia merupakan orang yang detak jantungnya


terlalu lambat, terlalu cepat, atau tidak teratur.Kondisi ini bisa dipicu oleh
pola makan yang kurang sehat, seperti kebiasaan mengonsumsi kopi atau
alkohol secara berlebihan.Tidak hanya dalam hal mencegah, menjalani pola
makan sehat juga dapat mengurangi risiko terjadinya komplikasi aritmia bagi
para penderitanya.

Makanan/cairan meliputi gejala: Makanan yang disukai yang


mencakup makanan tinggi garam, lemak serta kolesterol, mual, muntah dan
perubahan berat badan saat ini serta riwayat penggunaan obat diuretik.
Tanda : Berat badan normal atau obesitas, adanya edema, glikosuria.

Dorong pasien untuk mempertahankan masukan makanan harian


termasuk kapan dan dimana makan dilakukan dan lingkungan dan perasaan
sekitar saat makanan dimakan.Intruksikan dan Bantu memilih makanan yang
tepat, hindari makanan dengan kejenuhan lemak tinggi (mentega, keju, telur,
es krim, daging dan lain-lain) dan kolesterol (daging berlemak, kuning telur,
produk kalengan, jeroan).Kolaborasi dengan ahli gizi sesuai indikasi.
Selain menghindari berbagai makanan yang bisa menyebabkan
aritmia, menjalani pola makan yang sehat juga penting untuk menjaga agar
jantung bisa berdetak dengan normal.Ikuti pola makan di bawah ini agar
terhindari dari berbagai gangguan jantung.

1. Konsumsi ikan

Asam lemak omega 3 merupakan komponen yang penting untuk kesehatan


jantung. Makanan yang mengandung omega 3, dipercaya dapat:

 Menurunkan kadar trigliserid


 Meningkatkan kolesterol baik (HDL)
 Mengurangi risiko kematian
 Mengurangi risiko aritmia
 Asam lemak omega 3 dapat temui pada ikan yang mengandung banyak
lemak, seperti makarel, salmon, dan tuna.

2. Kurangi makan protein berlemak

Pola makan sehat lain yang perlu dijalani yaitu membatasi asupan lemak,
untuk mengurangi risiko penyakit jantung, seperti aritmia. Kandungan
lemak banyak terdapat pada makanan berprotein, seperti daging, kulit
ayam, dan jeroan.Selain itu, produk susu seperti keju, es krim, dan krim
masak, juga mengandung banyak lemak yang perlu dibatasi konsumsinya.
Sebagai pengganti protein yang lebih sehat, Anda bisa mengonsumsi
kacang-kacangan, ikan, dan susurendah lemak. lalu masak dengan cara
memanggang atau menumisnya. Kedua cara masak tersebut akan
membuat rasa makanan bisa keluar sempurna, dengan lemak minimal.
atasi penggunaan garam saat memasak. Bumbui makanan dengan rempah-
rempah, lada, bawang putih, atau bumbu penyedap lainnya, yang tidak
mengandung garam.

Sumber :https://www.sehatq.com/artikel/pola-makan-sehat-untuk-hindari-

kelainan-detak-jantung

Anda mungkin juga menyukai