Anda di halaman 1dari 7

REFARAT

SINDROM NEFROTIK

Penyaji : Rahel Imelda Panggabean

Pembimbing : dr. Winra Pratita, M.Ked(Ped), Sp.A(K)

Hari/Tanggal : Sabtu/23 Mei 2020

Pendahuluan

Sindrom nefrotik (SN) merupakan kumpulan manifestasi klinis yang ditandai dengan hilangnya
protein urine secara masif (albuminuria), diikuti dengan hipoproteinemia, hipoalbumin dan
mengakibatkan edema. Berkaitan dengan timbulnya hiperlipidemia, hiperkolesterolemia dan
lipiduria. Sindrom nefrotik (SN) pada anak merupakan penyakit ginjal anak yang paling sering
ditemukan. Insidens SN pada anak dalam kepustakaan di Amerika Serikat dan Inggris adalah 2-7
kasus baru per 100.000 anak per tahun,1 dengan prevalensi berkisar 12 – 16 kasus per 100.000
anak.2 Di negara berkembang insidensnya lebih tinggi. Di Indonesia dilaporkan 6 per 100.000
per tahun pada anak berusia kurang dari 14 tahun.3 Perbandingan anak laki-laki dan perempuan
2:1.

Etiologi SN dibagi 3 yaitu kongenital, primer/idiopatik, dan sekunder mengikuti penyakit


sistemik, antara lain lupus eritematosus sistemik (LES), purpura Henoch Schonlein, dan lain lain.
Diagnosis SN ditegakkan berdasarkan gejala klinis yang seringkali ditandai dengan edema yang
timbul pertamakali pada daerah sekitar mata dan ekstremitas bagian bawah. Selanjutnya edema
semakin meluas yang ditandai dengan asites efusi pleura, dan edema pada daerah genital.
Seringkali dijumpai dengan gejala anokreksia, nyeri perut dan diare. Pada kasus lain dapat
disertai hipertensi maupun hematuria gross. SN bukan merupakan penyakit yang berdiri sendiri,
tetapi merupakan suatu petunjuk awal adanya kerusakan pada unit filtrasi darah terkecil
(glomerulus) pada ginjal, di mana urine dibentuk. Sekitar 20% anak dengan SN dari hasil biopsi
ginjalnya menunjukkan adanya scar atau deposit pada glomerulus. Seorang anak yang lahir
dengan kondisi tersebut akan menyebabkan terjadinya SN.

Referat ini bertujuan untuk memahami sindrom nefrotik berdasarkan definisi,


epidemiologi, etiologi, patogenesis, manifestasi klinis, diagnosis, tatalaksana, komplikasi
dan prognosis.
Defenisi

Sindrom nefrotik merupakan suatu penyakit ginjal yang terbanyak pada anak. Penyakit tersebut
ditandai dengan sindrom klinik yang terdiri dari beberapa gejala yaitu proteinuria masif (>40
mg/m2 LPB/jam atau rasio protein/kreatinin pada urin sewaktu >2 mg/mg atau dipstick ≥ 2+),
hipoalbuminemia ≤ 2,5 g/dL, edema, dan hiperkolesterolemia

Sindrom nefrotik adalah keadaan klinis dengan gejala proteinuria masif,


hipoalbuminemia,edema, dan hiperkolestrolemia. Kadang-kadang gejala disertai hematuria,
hipertensi dan penurunan fungsi ginjal (IDAI,2009).

Epidemiologi

Insiden SN pada anak di Indonesia adalah 6 kasus per 100.000 anak per tahun. Rasio antara
lelaki dan perempuan pada anak sekitar 2 : 1. Kasus terbanyak didapatkan pada anak kurang dari
14 tahun (Alatas dkk., 2005; Wirya, 2002). Angka kejadian sindrom nefrotik di Bagian Anak
RSUP Sanglah Denpasar, sekitar 68 anak selama periode 2001-2007. Usia berkisar 6 bulan
sampai dengan 11 tahun, dimana rasio lelaki dibandingkan perempuan adalah 2,7 : 1 (Nilawati,
2012).

Menurut kepustakaan sindrom nefrotik, kasus sindrom nefrotik ini paling banyak ditemukan
pada anak berumur 3-4 tahun. Tetapi berdasarkan penelitian yang dijalankan di RSCM Jakarta
oleh Wila Wirya I.G.N. dari tahun 1970-1979, didapati sindrom nefrotik pada umumnya
mengenai anak umur 6-7 tahun. Penyakit sindrom nefrotik dijumpai pada anak mulai umur
kurang dari 1 tahun sampai umur 14 tahun (Ngastiyah 2005). Di Indonesia gambaran
histopatologik sindrom nefrotik primer agak berbeda dengan data-data di luar negeri. Wila Wirya
menemukan hanya 44.2% tipe kelainan minimal dari 364 anak dengan sindrom nefrotik primer
yang dibiopsi (Wirya 1997), sedangkan Noer di Surabaya mendapatkan 39.7% tipe kelainan
minimal dari 401 anak dengan sindrom nefrotik primer yang dibiopsi (Noer 2005).

Etiologi

Berdasarkan etiologinya, sindrom nefrotik dibagi menjadi tiga, yaitu kongenital, primer atau
idiopatik, dan sekunder.

1) Kongenital
Penyebab dari sindrom nefrotik kongenital atau genetik adalah :
- Finnish-type congenital nephrotic syndrome (NPHS1, nephrin)
- Denys-Drash syndrome (WT1)
- Frasier syndrome (WT1)
- Diffuse mesangial sclerosis (WT1, PLCE1)
- Autosomal recessive, familial FSGS (NPHS2, podocin)
- Autosomal dominant, familial FSGS (ACTN4, α-actinin-4; TRPC6)
- Nail-patella syndrome (LMX1B)
- Pierson syndrome (LAMB2)
- Schimke immuno-osseous dysplasia (SMARCAL1)
- Galloway-Mowat syndrome
- Oculocerebrorenal (Lowe) syndrome

2) Primer
Berdasarkan gambaran patologi anatomi, sindrom nefrotik primer atau idiopatik adalah
sebagai berikut :
- Sindrom Nefrotik Kelainan Minimal (SNKM)
- Glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS)
- Mesangial Proliferative Difuse (MPD)
- Glomerulonefritis Membranoproliferatif (GNMP)
- Nefropati Membranosa (GNM)

3) Sekunder
Sindrom nefrotik sekunder mengikuti penyakit sistemik, antara lain sebagai berikut :
- lupus erimatosus sistemik (LES)
- keganasan, seperti limfoma dan leukemia
- vaskulitis, seperti granulomatosis Wegener (granulomatosis dengan poliangitis),
sindrom Churg-Strauss (granulomatosis eosinofilik dengan poliangitis), poliartritis
nodosa, poliangitis mikroskopik, purpura Henoch Schonlein
- Immune complex mediated, seperti post streptococcal (postinfectious)
glomerulonephritis

Patogenesis

Kelainan utama pada semua kasus sindrom nefrotik adalah proteinuria masif. Mekanisme
terjadinya sindrom nefrotik melalui beberapa cara (Gbadegesin dan Smoyer, 2008):

1) Defek glomerulus primer


Fungsi ginjal yang paling penting adalah filtrasi darah oleh glomerulus, dimana
menyebabkan ekskresi cairan dan produk sisa, sambil menyisakan protein pada darah
yang banyak dan semua sel darah dalam vaskular. Proses filtrasi ini dimungkinkan oleh
barier filtrasi glomerulus yang disusun oleh sel endotel, basal membran glomerulus dan
sel epitel glomerulus (podosit). Podosit-podosit saling terhubung membentuk diafragma.
Basal membran glomerulus memiliki proteoglikan heparin sulfat bermuatan negatif yang
menyebabkan molekul yang bermuatan negatif relatif lebih sulit melewatinya
dibandingkan molekul bermuatan positif dengan ukuran molekul yang sama. Pada
sindrom nefrotik terjadi kehilangan muatan negatif pada basal membran glomerulus.
Pada podosit juga terjadi pembengkakan, retraksi, penyebaran podosit, pembentukan
vakuola, perpindahan diafragma dan lepasnya podosit dari basal membran glomerulus.

2) Faktor sirkulasi
Data eksperimental yang menunjukkan adanya mediator terlarut yang dapat mengubah
permeabilitas dinding kapiler pada sindrom nefrotik. Bukti-bukti tersebut antara lain:
1. Berkembangnya sindrom nefrotik pada bayi bari lahir dari ibu yang menderita sindrom
nefrotik dimana terjadi perpindahan faktor terlarut dari ibu ke anak saat dalam uterus.
2. Turunnya tingkat proteinuri dengan pengobatan imunoadsorpsi protein A pada
berbagai sindrom nefrotik primer.
3. Terjadinya FSGS berulang pada transplantasi ginjal pasien dengan FSGS primer.
4. Induksi peningkatan permeabilitas glomerulus pada binatang percobaan disuntikkan
serum pasien dengan FSGS berulang.

c. Kelainan imunologi
Banyak laporan kelainan respon imun humoral maupun selular selama sindrom nefrotik
relaps. Sindrom nefrotik dapat juga disebabkan oleh disregulasi fungsi T limfosit yang
dibuktikan oleh: 1. Beresponnya sebagian besar bentuk sindrom nefrotik primer terhadap
kortikosteroid, alkylating agent, inhibitor calcineurin, dan mikofenolat mofetil yang
merupakan penghambat fungsi limfosit T. 2. Induksi remisi sindrom nefrotik setelah
infeksi campak dan malaria, dimana penyakit tersebut menurunkan imunitas yang
dimediasi sel.

Manifestasi Klinis

1) Proteinuria masif
Protenuria merupakan kelainan utama pada sindrom nefrotik. Apabila ekskresi protein ≥
40 mg/jam/m2 luas permukaan badan disebut dengan protenuria berat. Hal ini digunakan
untuk membedakan dengan protenuria pada pasien bukan sindrom nefrotik.

2) Hipoalbuminemia
Abnormalitas sistemik yang paling berkaitan langsung dengan proteinuria adalah
hipoalbuminemia. Salah satu manifestasi pada pasien sindrom nefrotik pada anak terjadi
hipoalbuminemia apabila kadar albumin kurang dari 2,5 g/dL.

3) Edema
Terdapat beberapa teori yang menjelaskan tentang timbulnya edema pada sindrom
nefrotik. Underfilled theory merupakan teori klasik tentang pembentukan edema. Teori
ini berisi bahwa adanya edema disebabkan oleh menurunnya tekanan onkotik
intravaskuler dan menyebabkan cairan merembes ke ruang interstisial. Adanya
peningkatan permeabilitas kapiler glomerulus menyebabkan albumin keluar sehingga
terjadi albuminuria dan hipoalbuminemia. Sebagaimana diketahui bahwa salah satu
fungsi vital dari albumin adalah sebagai penentu tekanan onkotik. Maka kondisi
hipoalbuminemia ini menyebabkan tekanan onkotik koloid plasma intravaskular
menurun. Sebagai akibatnya, cairan transudat melewati dinding kapiler dari ruang
intravaskular ke ruang interstisial kemudian timbul edema.

4) Hiperkolestrolemia
Hampir semua kadar lemak (kolesterol, trigliserid) dan lipoprotein serum meningkat pada
sindrom nefrosis. Hal ini dapat dijelaskan dengan penjelasan antara lain yaitu adanya
kondisi hipoproteinemia yang merangsang sintesis protein menyeluruh dalam hati,
termasuk lipoprotein. Selain itu katabolisme lemak menurun karena terdapat penurunan
kadar lipoprotein lipase plasma, sistem enzim utama yang mengambil lemak dari plasma.

Diagnosis

1) Anamnesis
Keluhan yang sering ditemukan adalah bengkak dikedua kelopak mata, perut, tungkai,
atau seluruh tubuh yang dapat disertai penurunan jumlah urin. Keluhan lain juga dapat
ditemukan urin keruh atau jika terdapat hematuri berwarna kemerahan (IDAI,2009).

2) Pemeriksaan Fisis
Pada pemeriksaan fisis, dapat ditemukan edema dikedua kelopak mata, tungkai, atau
adanya asites dan edema skrotum/labia; terkadang ditemukan hipertensi (IDAI,2009).

3) Pemeriksaan Penunjang
Pada urinalisis ditemukan proteinuria masif (≥2+), rasio albumin kreatinin urin >2 dan
dapat disertai hematuria. Pada pemeriksaan darah didapatkan hipoalbuminemia (<2,5
gr/dL), hiperkolestrolemia (>200 mg/dL) dan laju endapan darah yang meningkat. Kadar
ureum dan kreatinin umunya normal kecuali ada penurunan fungsi ginjal (IDAI,2009).

Tatalaksana

Anak dengan manifestasi klinis SN pertama kali, sebaiknya dirawat di rumah sakit dengan tujuan
untuk mempercepat pemeriksaan dan evaluasi pengaturan diet, penanggulangan edema, memulai
pengobatan steroid, dan edukasi orangtua.

1) Diet
Pemberian diet tinggi protein dianggap merupakan kontraindikasi karena akan
menambah beban glomerulus untuk mengeluarkan sisa metabolisme protein
(hiperfiltrasi) dan menyebabkan sklerosis glomerulus. Bila diberi diet rendah protein
akan terjadi malnutrisi energi protein (MEP) dan menyebabkan hambatan pertumbuhan
anak, diet yang diberikan protein normal sesuai dengan RDA (recommended daily
allowances) yaitu 1,5-2 g/kgbb/hari. Diet rendah garam (1-2 g/hari) hanya diperlukan
selama anak menderita edema.

2) Diuretik
Restriksi cairan dianjurkan selama ada udem berat. Loop diuretic seperti furosemid 1-3
mg/kgbb/hari diberikan, bila perlu dikombinasikan dengan spironolakton (antagonis
aldosteron, diuretik hemat kalium) 2-4 mg/kgbb/hari. Sebelum pemberian diuretik, perlu
disingkirkan kemungkinan hipovolemia. Pada pemakaian diuretik lebih dari 1-2 minggu
perlu dilakukan pemantauan elektrolit kalium dan natrium darah. Bila pemberian
diuretik tidak berhasil (udem refrakter), terjadi karena hipovolemia atau
hipoalbuminemia berat (≤ 1 g/ dL), dapat diberikan infus albumin 20-25% dengan dosis
1 g/kgbb selama 2-4 jam untuk menarik cairan dari jaringan interstisial dan diakhiri
dengan pemberian furosemid intravena 1-2 mg/kgbb. Bila pasien tidak mampu dari segi
biaya, dapat diberikan plasma 20 ml/kgbb/hari secara pelan-pelan 10 tetes/menit untuk
mencegah terjadinya komplikasi dekompensasi jantung (Trihono dkk, 2012).

Komplikasi

Komplikasi mayor dari sindrom nefrotik adalah infeksi. Anak dengan sindrom nefrotik yang
relaps mempunyai kerentanan yang lebih tinggi untuk menderita infeksi bakterial karena
hilangnya imunoglobulin dan faktor B properdin melalui urin, kecacatan sel yang dimediasi
imunitas, terapi imuosupresif, malnutrisi, dan edema atau ascites. Spontaneus bacterial peritonitis
adalah infeksi yang biasa terjadi, walaupun sepsis, pneumonia, selulitis, dan infeksi traktus
urinarius mungkin terjadi. Meskipun Streptococcus pneumonia merupakan organisme tersering
penyebab peritonitis, bakteri gram negatif seperti Escherichia coli, mungkin juga ditemukan
sebagai penyebab.

Prognosis

Prognosis makin baik jika dapat didiagnosis segera. Pengobatan segera dapat mengurangi
kerusakan glomerolus lebih lanjut akibat mekanisme kompensasi ginjal maupun proses
autoimun. Prognosis juga baik bila penyakit memberikan respons yang baik terhadap
kortikosteroid dan jarang terjadi relaps.

Kesimpulan

Sindrom nefrotik adalah keadaan klinis dengan gejala proteinuria masif, hipoalbuminemia,
edema, dan hiperkolestrolemia. Kadang-kadang gejala disertai hematuri, hipertensi dan
penurunan fungsi ginjal. Sindrom nefrotik merupakan penyakit ginjal anak tersering di Amerika
dan Inggris, sedangkan di Indonesia ditemukan 6 kasus per 100.000 anak per tahun. Sindrom
nefrotik dapat ditatalaksana dengan pengaturan diet, pemberian diuretik dan edukasi orang tua
serta penyakit ini memiliki prognosis yang baik jika dapat didiagnosis segera.
Daftar Pustaka

1. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Buku
Kuliah Ilmu Kesehatan Anak 1. Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran
Indonesia, Jakarta
2. Konsensus Ikatan Dokter Anak Indonesia. Tatalaksana sindrom nefrotik idiopatik pada
anak. Edisi ke-2. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia;2012.
3. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia.Sindrom nefrotik. Jilid ke-1.
Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia;2009.h.274-276.
4. Waldo E. Nelson. Penyakit protozoa. Nelson Ilmu Kesehatan Anak. Edisi 15. Volume 2.
EGC. Jakarta; 2000.
5. Kasma K, Marlinah. Karakteristik penderita sindrom nefrotik pada anak. Journal of
Pediatric Nursing. 2014;99-103.
6. Nilawati GAP. Profil sindrom nefrotik pada ruang perawatan anak RSUP Sanglah
Denpasar. Sari Pediatri. 2012;14:269- 71.
7. Wilson LM. Gagal ginjal kronik. In: Hartanto H, Susi N, Wulansari P, Mahanani DA,
penyunting. Patofisiologi-konsep klinis prosesproses penyakit (6th ed). Jakarta: EGC,
2005; p. 912-49.
8. Syarif A, Ari E, Arini S, Armen M, Azalia A, Bahroelim B. Farmakologi dan Terapi.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2008.
9. Park SJ, Shin Jl. Complication of nephritic syndrome. Korean J Pediatric. 2011; 54:322-
6.
10. Betz CL, Sowden LL. Pediatrik. Edisi ke-5. Jakarta: EGC; 2009.

Anda mungkin juga menyukai