tirto.id - Berkelahi karena harta adalah hal yang lazim. Saling bacok karena rebutan pasangan
juga bukan hal yang sangat luar biasa. Baku hantam karena pilihan politik pun lumrah,
apalagi pada musim pemilu.
Namun, bagaimana dengan adu fisik lantaran berdebat soal filsafat? Kenapa pula orang bisa
menusuk sahabatnya karena yakin bahwa puisi lebih superior ketimbang prosa? Mengapa
hal-hal abstrak bisa memancing pertumpahan darah?
Tiap hari Minggu ketiga pada bulan September, warga kota Rostov-na-Donu di selatan Rusia
merayakan ulang tahun kota mereka. Namun, ada yang berbeda di hari jadi Rostov-na-Donu
tahun 2013. Pada 17 September 2013, Russia Today memberitakan dua orang laki-laki
membeli bir di sebuah toko. Kedua kawan tersebut dikisahkan berdiskusi tentang filsuf
Immanuel Kant.
Kendati dikenal brutal dan mengirim ribuan orang ke kamp tahanan gulag selama berkuasa,
Stalin memang luar biasa populer di dalam negeri, khususnya setelah Soviet memenangkan
Perang Dunia II. Pada 2017, Washington Post mengutip survei lembaga think tank Levada
Center yang menyatakan mayoritas masyarakat Rusia masih menganggap Stalin sebagai
“sosok hebat” (38% responden), menyaingi Presiden Vladimir Putin (34%).
Pada Oktober 2017, sebuah film komedi gelap berjudul The Death of Stalin dirilis. Film ini
dijadwalkan diputar di bioskop-bioskop Rusia pada 25 Januari 2018, tetapi dibatalkan izin
tayangnya oleh Kementerian Kebudayaan karena dianggap “menghina bangsa Rusia”.
“Omonganmu itu sama saja dengan meludahi kuburan prajurit Rusia. Berani mendekat,
kuhajar kau!” Svanidze yang berusia 62 tahun itu berang.
“Silakan saja, aku di depanmu. Ayo pukul aku sekarang, dasar pengecut!” tukas Shevchenko
pada kawannya yang 11 tahun lebih tua itu sebelum keduanya saling tampar secara live.
Rekamannya bisa dilihat di YouTube hingga hari ini.
“Orang Rusia,” tulis Parfitt, “adalah pembaca yang hebat, dan sering bikin malu orang
Inggris atau Amerika dengan pengetahuan mendetail mereka tentang novel John Galsworthy
atau cerpen-cerpen O. Henry.”
Cerita bermula saat seorang mantan guru berusia 53 tahun asal Pegunungan Ural
menyambangi seorang kawannya di kota Irbit, sekitar 1.900 km dari Moskow. Diselingi
beberapa shot vodka, keduanya berbincang hangat. Pembicaraan menjadi tegang ketika
masuk ke obrolan tentang mana karya sastra yang lebih superior, puisi atau prosa. Si mantan
guru, yang bersikeras bahwa puisi lebih unggul, tiba-tiba mengambil pisau dan menusuk si
tuan rumah.
Ironisnya, sang tuan rumah Yury Nikitkin sebetulnya pecinta puisi. “Semua orang di kota ini
kenal dia. Dia orang yang sangat emosional. Jika dia ketemu sembarang orang di jalan, dia
bisa mendadak berdeklamasi atau menyatakan cinta,” ujar Galina Ufarkina, kepala
perpustakaan kota Irbitt, kepada harian Komsomolskaya Pravda.
Pada akhir 1950-an, Sartre bersimpati pada perjuangan kemerdekaan Aljazair dari Perancis,
sedangkan Camus tak ingin koloni Perancis di Afrika Utara itu lepas karena ibunya tinggal di
Aljiers, ibukota Aljazair. Meski berlangsung sengit, perkelahian itu tak sempat memicu saling
gebuk, melainkan lewat tulisan dan kenyinyiran sehari-hari belaka.
Filsuf dan ekonom Jerman Karl Marx dikenal sebagai pemberang. Ada banyak anekdot yang
menuturkan hobi berkelahi Marx saat muda. Namun, yang lebih sering muncul dalam catatan
sejarah adalah polemiknya dengan sesama pemikir dan aktivis kiri pada zamannya, mulai dari
Proudhon hingga Bakunin, yang berlangsung keras dan luar biasa sarkastik.
Namun, perkelahian antar-filsuf hampir sungguh-sungguh terjadi pada 25 Oktober 1946. Saat
itu, Secretary of the Moral Sciences Club di Universitas Cambridge mengundang filsuf Karl
Popper untuk membacakan sebuah makalah tentang “kebingungan filsafat”. Pertemuan
tersebut juga juga mengundang Ludwig Wittgenstein, rival filosofis Popper, yang
sebelumnya pernah menelurkan tesis bahwa tak pernah ada problem filosofis yang riil,
kecuali kebingungan linguistik belaka.
Dalam autobiografi Unended Quest (2002), Popper mengulangi apa yang dia katakan dalam
diskusi itu: “Jika problem filsafat memang tidak ada, maka saya takkan jadi filsuf … atau
mungkin problem filsafat sekadar diada-adakan sebagai justifikasi untuk jadi filsuf” (hlm.
140).
Mendengar pernyataan tersebut, Wittgenstein bangkit dari kursi dan mulai mendebat Popper
sambil mengacung-acungkan tongkat perapipan yang terbuat dari besi. Setelah berdebat
panas selama 10 menit, Wittgenstein—yang menyelesaikan mahakaryanya Tractacus Logico
Philosophicus saat ikut wajib militer selama Perang Dunia I—membuang tongkatnya, keluar
ruangan, dan membanting pintu. Keributan, sayangnya, tak berlanjut.
Jika kedua filsuf asal Austria itu hidup di abad ke-19, barangkali mereka akan berduel dengan
pistol.
Duel Hamilton-Burr tak sekadar dipicu kekalahan elektoral semata. Hamilton memang sering
menyerang Burr secara politis. Menulis untuk Jacobin, jurnalis Christian Parenti menyebut
duel tersebut sebagai pertarungan dua ideologi yang berseberangan: Burr mewakili kubu
Demokratik-Republikan yang pro-petani, mendukung perbudakan, dan tak suka ekonomi
diintervensi negara, sementara Hamilton merepresentasikan industri besar, ekonomi
terpimpin, serta anti-perbudakan.
Meski demikian, perlu dicatat juga dalam urusan perbudakan, Burr, sebagaimana Hamilton,
adalah pengecualian pada zamannya. Mereka berdua ingin menghapuskan praktik
perbudakan.
Alexander lainnya, Pushkin, pengarang Rusia abad ke-19, juga pernah berduel dan tewas
karenanya. Pada 27 Januari 1836, Alexander Pushkin—yang namanya bersaing dengan Putin
di survei Levada Center 2017—duel pistol dengan Georges d'Anthès dan meninggal akibat
peluru yang bersarang di pinggangnya.
Namun, duel Pushkin tak ada urusannya dengan ideologi atau gagasan abstrak. D'Anthès,
prajurit Perancis yang bekerja untuk Tsar, digosipkan berselingkuh dengan istri Pushkin,
Natalya Goncharova. Tak tahan dengan rumor yang berseliweran, Pushkin menantang
d'Anthès untuk berduel. Sejarah mencatat Goncharova tak punya afair dengan d'Anthès,
melainkan dengan Tsar Nicholas I (1825-55).
Duel di kalangan elite Eropa punya dimensi sosiologis yang lebih luas ketimbang sebagai
sarana resolusi konflik perorangan, khususnya pada abad ke-19. Duel adalah cara bermartabat
untuk menyelesaikan masalah dua orang (umumnya bangsawan) ketika salah satu dari
mereka merasa kehormatannya dinista.
“Antara 1888 dan 1895, konon terjadi sedikitnya 150 duel karena urusan ‘kehormatan’ terkait
politik, jurnalisme, atau sastra,” tulis Mayer (hlm. 109). Sejak 1894 hingga 1914, tambah
Mayer, tren duel meningkat akibat Skandal Dreyfus.
Sebagai catatan, Alfred Dreyfus adalah seorang perwira Perancis yang dihukum seumur
hidup setelah dituduh membocorkan rahasia negara pada 1894. Meski tak terbukti bersalah
dan namanya direhabilitasi pada 1906, skandal tersebut memicu demam anti-semitisme di
Perancis, termasuk di dalam tubuh angkatan bersenjata. Sejak itu, duel yang melibatkan
perwira militer pun marak.
Dalam Fire and Blood: The European Civil War 1914-1945 (2017), sejarawan Enzo
Traverso menambahkan, meski kerap berujung kematian, duel pada dasarnya tak diniatkan
untuk membunuh. Ia sekadar jalan untuk mengembalikan kehormatan pribadi dengan
melukai lawan. Tradisi ini, catat Traverso, berakhir ketika Perang Dunia I meletus (hlm. 68).
Sejak perang akbar itu, kaum aristokrat dari negeri-negeri Eropa yang bertikai tak cuma ingin
melukai sesamanya, tapi juga berhasrat menghabisi kekuasaan satu sama lain.
Sekitar 16 juta orang tewas dalam rangkaian pertempuran yang berlangsung selama empat
tahun itu. Di antara hal-ihwal lainnya, nasionalisme—sebuah konsep kehidupan bersama
yang baru diformulasikan Johann Gottfried Herder di Jerman pada akhir abad ke-18 dan
mekar di seantero Eropa sejak 1848—dipercaya sebagai pemicunya.
Sejak itu pula ditembak setelah berdebat soal Kant, dibacok lantaran percaya puisi lebih
superior, dan baku pukul akibat membela dan mengecam Stalin di ruang siaran radio,
kelihatan tidak ada apa-apanya dibanding mati karena ditipu kaum ningrat untuk saling bunuh
demi nama "bangsa", sebuah gagasan yang luar biasa abstrak dan tak pernah dikenal oleh
buyut mereka sebelumnya.