Anda di halaman 1dari 8

FILSAFAT

MENGOMENTARI ARTIKEL YANG BERKAITAN DENGAN


FILSAFAT ILMU

NALA GAYATUL MUNA


1910414120006
ILMU KOMUNIKASI

UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT


2019
NALA GAYATUL MUNA
1910414120006
ILMU KOMUNIKASI

Baku Hantam karena Filsafat dan Hal


Abstrak Lainnya, Wajarkah?

Patung Socrates. Getty Images/iStockphoto

Oleh: Windu Jusuf - 29 Desember 2018


Dibaca Normal 5 menit

tirto.id - Berkelahi karena harta adalah hal yang lazim. Saling bacok karena rebutan pasangan
juga bukan hal yang sangat luar biasa. Baku hantam karena pilihan politik pun lumrah,
apalagi pada musim pemilu.

Namun, bagaimana dengan adu fisik lantaran berdebat soal filsafat? Kenapa pula orang bisa
menusuk sahabatnya karena yakin bahwa puisi lebih superior ketimbang prosa? Mengapa
hal-hal abstrak bisa memancing pertumpahan darah?

Tiap hari Minggu ketiga pada bulan September, warga kota Rostov-na-Donu di selatan Rusia
merayakan ulang tahun kota mereka. Namun, ada yang berbeda di hari jadi Rostov-na-Donu
tahun 2013. Pada 17 September 2013, Russia Today memberitakan dua orang laki-laki
membeli bir di sebuah toko. Kedua kawan tersebut dikisahkan berdiskusi tentang filsuf
Immanuel Kant.

Salah satu gagasan Kant yang


sering dibahas di dunia akademik
adalah konsep “perdamaian
abadi” di mana ia berbicara
tentang penghapusan tentara
reguler di setiap negara, perlunya
menyetop jual-beli teritori negara,
dan pemberlakuan konstitusi ala
republikan yang menurutnya
mampu mencegah peperangan.

Namun, nampaknya kedua pria di


Rostov-na-Donu itu tak sedang
membicarakan “perdamaian
abadi”, apalagi
mempraktikkannya. Obrolan
filosofis itu tiba-tiba memanas
dan memicu adu jotos.
Perkelahian baru berakhir ketika
salah satu dari mereka menembak
yang lainnya. Untungnya peluru
meleset dan sang korban hanya
menderita luka ringan. Beberapa
lama kemudian, si penembak
yang kabur dari TKP dicokok
polisi dan diancam hukuman 15
tahun penjara.

Sayang, tak ditemukan berita


yang menjelaskan bagian mana
dari karya Kant yang jadi sumber
cekcok kedua laki-laki usia
kepala dua itu.

Adu Bacot karena Stalin


dan Puisi
Kant adalah filsuf Jerman
kelahiran Königsberg, wilayah
yang kini masuk wilayah Rusia.
Menjelang akhir Perang Dunia II, Stalin mencaplok wilayah paling selatan dari daratan Baltik
tersebut dan menamainya Kaliningrad.

Kendati dikenal brutal dan mengirim ribuan orang ke kamp tahanan gulag selama berkuasa,
Stalin memang luar biasa populer di dalam negeri, khususnya setelah Soviet memenangkan
Perang Dunia II. Pada 2017, Washington Post mengutip survei lembaga think tank Levada
Center yang menyatakan mayoritas masyarakat Rusia masih menganggap Stalin sebagai
“sosok hebat” (38% responden), menyaingi Presiden Vladimir Putin (34%).

Pada Oktober 2017, sebuah film komedi gelap berjudul The Death of Stalin dirilis. Film ini
dijadwalkan diputar di bioskop-bioskop Rusia pada 25 Januari 2018, tetapi dibatalkan izin
tayangnya oleh Kementerian Kebudayaan karena dianggap “menghina bangsa Rusia”.

Seminggu kemudian (01/02), radio Komsomolskaya Pravda menggelar bincang-bincang


tentang film The Death of Stalin di studionya dan mengundang dua jurnalis terkemuka
Nikolai Svanidze dan Maxim Shevchenko. Diberitakan oleh Moscow Times, sepanjang acara
keduanya berdebat tentang mana yang lebih pantas menerima penghargaan atas kemenangan
Uni Soviet dalam Perang Dunia II: rakyat Rusia atau Stalin.

Singkat cerita, Svanidze pendukung Stalin, sementara Shevchenko mengecamnya.

“Omonganmu itu sama saja dengan meludahi kuburan prajurit Rusia. Berani mendekat,
kuhajar kau!” Svanidze yang berusia 62 tahun itu berang.

“Silakan saja, aku di depanmu. Ayo pukul aku sekarang, dasar pengecut!” tukas Shevchenko
pada kawannya yang 11 tahun lebih tua itu sebelum keduanya saling tampar secara live.
Rekamannya bisa dilihat di YouTube hingga hari ini.

Kantor berita TASS mengabarkan perkelahian tersebut dikutip oleh Juru Bicara Kremlin


Dmitry Peskov sebagai alasan mengapa The Death of Stalin tak semestinya diputar di Rusia.

Masih dari negeri beruang merah, koresponden Telegraph di Moskow Tom Parfitt


melaporkan sebuah perkelahian sastrawi yang berujung kematian pada Januari 2014.
Pelakunya dihukum delapan tahun penjara oleh pengadilan setempat.

“Orang Rusia,” tulis Parfitt, “adalah pembaca yang hebat, dan sering bikin malu orang
Inggris atau Amerika dengan pengetahuan mendetail mereka tentang novel John Galsworthy
atau cerpen-cerpen O. Henry.”

Cerita bermula saat seorang mantan guru berusia 53 tahun asal Pegunungan Ural
menyambangi seorang kawannya di kota Irbit, sekitar 1.900 km dari Moskow. Diselingi
beberapa shot vodka, keduanya berbincang hangat. Pembicaraan menjadi tegang ketika
masuk ke obrolan tentang mana karya sastra yang lebih superior, puisi atau prosa. Si mantan
guru, yang bersikeras bahwa puisi lebih unggul, tiba-tiba mengambil pisau dan menusuk si
tuan rumah.

Ironisnya, sang tuan rumah Yury Nikitkin sebetulnya pecinta puisi. “Semua orang di kota ini
kenal dia. Dia orang yang sangat emosional. Jika dia ketemu sembarang orang di jalan, dia
bisa mendadak berdeklamasi atau menyatakan cinta,” ujar Galina Ufarkina, kepala
perpustakaan kota Irbitt, kepada harian Komsomolskaya Pravda.

Permusuhan Para Filsuf


Meski tak banyak direkam sejarah, berkelahi karena gagasan bukan hal baru. Persahabatan
dua filsuf Perancis Albert Camus dan Jean-Paul Sartre hancur karena perbedaan politik.
Camus menentang otoritarianisme Soviet, sementara Sartre membela Stalin.

Pada akhir 1950-an, Sartre bersimpati pada perjuangan kemerdekaan Aljazair dari Perancis,
sedangkan Camus tak ingin koloni Perancis di Afrika Utara itu lepas karena ibunya tinggal di
Aljiers, ibukota Aljazair. Meski berlangsung sengit, perkelahian itu tak sempat memicu saling
gebuk, melainkan lewat tulisan dan kenyinyiran sehari-hari belaka.

Filsuf dan ekonom Jerman Karl Marx dikenal sebagai pemberang. Ada banyak anekdot yang
menuturkan hobi berkelahi Marx saat muda. Namun, yang lebih sering muncul dalam catatan
sejarah adalah polemiknya dengan sesama pemikir dan aktivis kiri pada zamannya, mulai dari
Proudhon hingga Bakunin, yang berlangsung keras dan luar biasa sarkastik.

Namun, perkelahian antar-filsuf hampir sungguh-sungguh terjadi pada 25 Oktober 1946. Saat
itu, Secretary of the Moral Sciences Club di Universitas Cambridge mengundang filsuf Karl
Popper untuk membacakan sebuah makalah tentang “kebingungan filsafat”. Pertemuan
tersebut juga juga mengundang Ludwig Wittgenstein, rival filosofis Popper, yang
sebelumnya pernah menelurkan tesis bahwa tak pernah ada problem filosofis yang riil,
kecuali kebingungan linguistik belaka.

Dalam autobiografi Unended Quest (2002), Popper mengulangi apa yang dia katakan dalam
diskusi itu: “Jika problem filsafat memang tidak ada, maka saya takkan jadi filsuf … atau
mungkin problem filsafat sekadar diada-adakan sebagai justifikasi untuk jadi filsuf” (hlm.
140).

Mendengar pernyataan tersebut, Wittgenstein bangkit dari kursi dan mulai mendebat Popper
sambil mengacung-acungkan tongkat perapipan yang terbuat dari besi. Setelah berdebat
panas selama 10 menit, Wittgenstein—yang menyelesaikan mahakaryanya Tractacus Logico
Philosophicus saat ikut wajib militer selama Perang Dunia I—membuang tongkatnya, keluar
ruangan, dan membanting pintu. Keributan, sayangnya, tak berlanjut.

Jika kedua filsuf asal Austria itu hidup di abad ke-19, barangkali mereka akan berduel dengan
pistol.

Duel: dari Elite ke Rakyat


Pada 12 Juli 1804, salah seorang founding father Amerika Serikat Alexander Hamilton tewas
setelah tulang rusuknya dihantam peluru Aaron Burr, Wakil Presiden AS (1801-1805) yang
saat itu baru saja kalah dalam pemilihan gubernur negara bagian New York, akibat manuver
Hamilton. Sehari sebelumnya, Burr menantang Hamilton duel.

Duel Hamilton-Burr tak sekadar dipicu kekalahan elektoral semata. Hamilton memang sering
menyerang Burr secara politis. Menulis untuk Jacobin, jurnalis Christian Parenti menyebut
duel tersebut sebagai pertarungan dua ideologi yang berseberangan: Burr mewakili kubu
Demokratik-Republikan yang pro-petani, mendukung perbudakan, dan tak suka ekonomi
diintervensi negara, sementara Hamilton merepresentasikan industri besar, ekonomi
terpimpin, serta anti-perbudakan.

Meski demikian, perlu dicatat juga dalam urusan perbudakan, Burr, sebagaimana Hamilton,
adalah pengecualian pada zamannya. Mereka berdua ingin menghapuskan praktik
perbudakan.

Alexander lainnya, Pushkin, pengarang Rusia abad ke-19, juga pernah berduel dan tewas
karenanya. Pada 27 Januari 1836, Alexander Pushkin—yang namanya bersaing dengan Putin
di survei Levada Center 2017—duel pistol dengan Georges d'Anthès dan meninggal akibat
peluru yang bersarang di pinggangnya.

Namun, duel Pushkin tak ada urusannya dengan ideologi atau gagasan abstrak. D'Anthès,
prajurit Perancis yang bekerja untuk Tsar, digosipkan berselingkuh dengan istri Pushkin,
Natalya Goncharova. Tak tahan dengan rumor yang berseliweran, Pushkin menantang
d'Anthès untuk berduel. Sejarah mencatat Goncharova tak punya afair dengan d'Anthès,
melainkan dengan Tsar Nicholas I (1825-55).

Sumber lain menunjukkan duel Pushkin sebagai kepengecutan belaka. Pasalnya, Pushkin


sudah tahu Goncharova punya hubungan dengan Nicholas. Namun, karena paham lawannya
adalah penguasa tertinggi Tanah Rus, Pushkin memilih target yang menurutnya setara:
d'Anthès.

Duel di kalangan elite Eropa punya dimensi sosiologis yang lebih luas ketimbang sebagai
sarana resolusi konflik perorangan, khususnya pada abad ke-19. Duel adalah cara bermartabat
untuk menyelesaikan masalah dua orang (umumnya bangsawan) ketika salah satu dari
mereka merasa kehormatannya dinista.

Dalam Persistence of the Old Regime: Europe to the Great War (1981), sejarawan Arno J.


Mayer menyebutkan duel dilarang di Jerman kecuali untuk mahasiswa dan serdadu. Di
Austria duel juga dilarang, tapi dibolehkan untuk kaum selain minoritas, Yahudi, dan orang
kelas bawah (hlm. 111). Pendeknya, gelut cuma boleh buat elite, termasuk Popper dan
Wittgenstein—dua raksasa intelektual dari keluarga keturunan Yahudi yang berhasil sampai
ke lapisan atas masyarakat Austria dan mengadopsi gaya hidup aristokrasi Wina zaman itu.

“Antara 1888 dan 1895, konon terjadi sedikitnya 150 duel karena urusan ‘kehormatan’ terkait
politik, jurnalisme, atau sastra,” tulis Mayer (hlm. 109). Sejak 1894 hingga 1914, tambah
Mayer, tren duel meningkat akibat Skandal Dreyfus.

Sebagai catatan, Alfred Dreyfus adalah seorang perwira Perancis yang dihukum seumur
hidup setelah dituduh membocorkan rahasia negara pada 1894. Meski tak terbukti bersalah
dan namanya direhabilitasi pada 1906, skandal tersebut memicu demam anti-semitisme di
Perancis, termasuk di dalam tubuh angkatan bersenjata. Sejak itu, duel yang melibatkan
perwira militer pun marak.
Dalam Fire and Blood: The European Civil War 1914-1945 (2017), sejarawan Enzo
Traverso menambahkan, meski kerap berujung kematian, duel pada dasarnya tak diniatkan
untuk membunuh. Ia sekadar jalan untuk mengembalikan kehormatan pribadi dengan
melukai lawan. Tradisi ini, catat Traverso, berakhir ketika Perang Dunia I meletus (hlm. 68).
Sejak perang akbar itu, kaum aristokrat dari negeri-negeri Eropa yang bertikai tak cuma ingin
melukai sesamanya, tapi juga berhasrat menghabisi kekuasaan satu sama lain.

Sekitar 16 juta orang tewas dalam rangkaian pertempuran yang berlangsung selama empat
tahun itu. Di antara hal-ihwal lainnya, nasionalisme—sebuah konsep kehidupan bersama
yang baru diformulasikan Johann Gottfried Herder di Jerman pada akhir abad ke-18 dan
mekar di seantero Eropa sejak 1848—dipercaya sebagai pemicunya.

Sejak itu pula ditembak setelah berdebat soal Kant, dibacok lantaran percaya puisi lebih
superior, dan baku pukul akibat membela dan mengecam Stalin di ruang siaran radio,
kelihatan tidak ada apa-apanya dibanding mati karena ditipu kaum ningrat untuk saling bunuh
demi nama "bangsa", sebuah gagasan yang luar biasa abstrak dan tak pernah dikenal oleh
buyut mereka sebelumnya.

Penulis: Windu Jusuf


Editor: Maulida Sri Handayani

Para filsuf juga berkelahi, meski mayoritas tak


adu fisik. Cuma berbalas kritik dan kenyinyiran.
KOMENTAR
Didalam artikel tersebut mengangkat beberapa kasus yang terjadi pada masa lalu yang terjadi antar
filsuf. Artikel ini membuat kita tahu bahwa tidak selamanya para filsuf berada dalam satu pandangan
yang sama. Terdapat beberapa kelebihan dalam artikel tersebut, misalnya penggunaan judul yang
menarik yang membuat orang tertarik untuk mebacanya.
Kelebihan lainnya juga dapat dilihat dari beberapa pemilihan kata yang tidak membosankan
contohnya kata adu bacot dan gebuk. Artikel ini juga membuat pembaca penasaran dan tertarik untuk
membaca kasus-kasus yang lain setelah membaca kasus pertama. Paragraf pembuka juga tidak terlalu
panjang sehingga membuat pembaca tidak merasa kelelahan sejak awal dikarnakan mereka akan
membaca paragraf-paragraf berikutnya untuk menerima informasi secara utuh.
Dalam sebuah artikel juga tak jarang mengandung beberapa kekurangan, hal demikian dapat dilihat
dari artikel ini, contoh kekurangannya adalah tidak adanya bagian penutup yang membuat artikel ini
terasa gantung padahal penutup dapat berisi saran dan kesimpulan. Saran merupakan pendapat
penulis untuk kesempurnaan penulisan artikel lebih lanjut dan juga dapat merupakan masukan
mengenai hasil temuan penelitian, misalnya hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hal-hal
yang tidak boleh dicontoh dalam isi artikrel tersebut karna mengandung unsur-unsur kekerasan yang
tentunya tidak boleh ditiru oleh para pembaca.
Urutan waktu sangatlah penting dalam penulisan hendaknya artikel ini ditulis berdasarkan urutan
waktu dari yang terlama ataupun yang terbaru agar pemabaca dapat memahami alur yang ingin
disampaikan penulis. Dalam artikel ini urutan waktunya tidak beraturan, hal ini dapat dilihat dari
kasus petama yang terjadi pada tahun 2013 kasus kedaua pada tahun 2018 sedangkan kasus ketiga
terjadi tahun 1950-an.

Anda mungkin juga menyukai