Anda di halaman 1dari 4

Sejuta Asa meraih Cita dalam Lingkar Pesantren

“Tema : Kisah perjuangan meraih perguruan tinggi impian”

Satu tahun genap empat bulan, tepat pada bulan Juli tahun lalu saya mulai
memperjuangkan impian yang selama ini menjadi cita-cita saya, yakni menjadi
mahasiswa setelah mengenyam pendidikan di bangku sekolah selama kurang lebih
empat belas tahun. Momen yang saya nantikan ketika melihat barcode tanda lulus
SBMPTN dan diterima di perguruan tinggi impian. Saya sadar bahwa saya tidak
akan lolos pemeringkatan tingkat sekolah untuk mendaftar SNMPTN. Dari sinilah
tekad saya untuk berjuang di SBMPTN 2020 semakin kuat.

Jauh hari sebelum bulan Juli 2019, saya segera menentukan prodi apa yang akan
menjadi tujuan saya pada SBMPTN 2020. Seperti pejuang SBMPTN pada
umumnya, saya juga mengalami kegelisahan dalam memilih program studi. Tak
jarang kakak kelas yang menyarankan agar belajar dengan giat dan tekun terlebih
dahulu. Kita dapat mengetahui program studi yang sesuai dengan kemampuan
serta minat seiring dengan proses belajar kita. Akan tetapi, saya memiliki prinsip
lain. Ridho orang tua adalah hal pertama yang harus diperjuangkan. Saat itu orang
tua mengharuskan saya harus segera memiliki tujuan yang jelas, yakni program
studi dalam SBMPTN 2020.

Setelah melakukan riset dengan berbagai macam program studi di kluster saintek,
saya memutuskan untuk melanjutkan studi di Teknologi Pangan dan Hasil
Pertanian Universitas Gadjah Mada. Orang tua pun mendukung penuh tujuan saya
dan selalu memberikan semangat dan dampingan selama berjuang meraih kampus
impian. Walaupun saya tinggal di Pondok Pesantren, semangat saya tak pernah
luntur karena adanya dukungan secara tidak langsung dari orang tua dan teman-
teman seperjuangan yang memiliki visi dan misi sama dengan saya.

Saya sangat bersyukur tinggal di Pondok Pesantren selama masa SMA saya.
Dengan amanah sebagai ketua pondok, saya bisa menjadi pribadi yang memiliki
pendirian teguh, dapat mengatur waktu dengan bijak, serta selalu merasa damai
karena tinggal di lingkungan yang mendukung perjuangan saya. Setiap keputusan
tentu memiliki konsekuensi. Begitu juga dengan jabatan yang saya emban di
pesantren. Menjadi ketua tentu harus bisa menjadi contoh bagi santri yang lain.
Mengikuti semua kegiatan pondok, mengatur, dan mengontrol santri adalah
kegiatan yang tidak bisa saya tinggalkan. Di samping itu, saya juga memiliki
impian besar untuk menjadi mahasiswa di salah satu universitas ternama di
Indonesia. Saya harus bisa mengatur waktu secara efektif dan efisien agar tetap
bisa mengejar materi yang belum saya pahami. Mulai belajar pada jam sembilan
malam mungkin bagi sebagian besar orang adalah waktu yang kurang efektif
untuk menyerap ilmu. Akan tetapi pada jam inilah kegiatan belajar untuk sekolah
formal di pesantren saya. Tak jarang saya memilih untuk tidur terlebih dahulu
selama tiga puluh menit untuk menyegarkan otak saya. Belajar hingga jam 12
malam dan terkadang hingga jam satu pagi sudah menjadi keseharian saya. Tak
punya pilihan lain, saya harus mengulang beberapa bab di kelas 10 dan 11 yang
belum saya pahami. Jam 3 pagi harus sudah bangun untuk sholat dan
memanjatkan doa sebagai bentuk usaha dalam berjuang meraih PTN impian.

Hingga pada pertengahan bulan november 2019 sebelum ujian akhir semester,
saya merasa bahwa saintek bukan passion saya. Kesulitan dalam memahami
setiap pelajaran yang mengandung angka dan rumus sudah saya alami sejak awal
semester satu. Dari hari ke hari, saya sadar bahwa selama ini saya memaksakan
diri di peminatan MIPA dan inilah yang menyebabkan naik turunnya nilai di rapor
saya. Akhirnya, terlintas di otak saya untuk lintas jurusan. Sekali lagi, tentu saja
ini bukanlah keputusan yang mudah sebab akan menimbulkan konsekuensi bagi
saya, yaitu sama sekali belum pernah mempelajari materi soshum. Tak hanya itu,
mengutarakan hal ini kepada orang tua yang sudah berekspektasi besar bahwa
saya akan menjadi analis pangan bukanlah hal yang mudah. Sebelum memutuskan
untuk lintas jurusan, saya kembali melakukan riset di berbagai program studi,
hingga saya menemukan prodi yang sesuai dengan minat saya yaitu Manajemen
dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada. Universitas yang berada di
Yogyakarta ini memang kampus impian saya.

Sehari sebelum ujian akhir semester berakhir tepatnya pada bulan Desember, saya
memberanikan diri untuk membicarakan perihal keputusan saya kepada orang tua.
Tentu saja respon kedua orang tua saya pada awalnya tidak menyetujui.
Membutuhkan waktu kurang lebih empat belas hari untuk meyakinkan kedua
orang tua bahwa saya akan bertanggung jawab atas keputusan yang saya ambil.

Selama libur semester lima, saya berusaha menuntaskan materi dua mata pelajaran
IPS kelas 10 hingga 12. Hal ini saya lakukan agar saat kembali ke pondok
pesantren, beban materi yang belum saya pelajari tidak terlalu berat. Pada awalnya
saya merasa ini adalah keputusan yang terlambat untuk lintas jurusan. Karena
pada saat memasuki semester enam, banyak sekali ujian akhir yang ditempuh dan
juga harus mulai mencoba berbagai try out UTBK untuk melatih pemahaman kita
atas semua materi yang telah dipelajari. Saya pun teringat akan pepatah “tidak ada
kata terlambat untuk belajar”. Tekad serta kekonsistenan dalam belajar adalah
kunci untuk bisa memahami semua materi IPS dari kelas 10 hingga 12.

Pada saat yang bersamaan, ketika teman satu kelas mengikuti bimbingan belajar
di berbagai lembaga di luar sekolah, saya hanya mampu mendengarkan kegiatan
dan apa yang telah mereka pelajari di lembaga bimbingan tersebut. 85% dari
teman satu kelas saya mengikuti bimbingan belajar intensif UTBK di luar sekolah.
Terkendala finansial dari orang tua dan keadaan saya yang tinggal di pesantren
tidak menyurutkan semangat saya untuk terus mengejar ketertinggalan materi
dengan buku peninggalan kakak kelas dan aplikasi belajar online di smartphone.
Hingga akhir bulan Februari, saya bisa menyelesaikan semua materi IPS.

Saya mulai mengikuti berbagai try out UTBK, melalui daring maupun luring.
Nilai saya pun bertahap naik, akan tetapi belum mencapai batas minimal prodi
impian saya. Manusia hanya mampu berencana. Orang tua saya menawarkan saya
untuk mengikuti bimbingan belajar di luar kota setelah UN. Saya sangat
bersemangat untuk segera mengikuti bimbel. Akan tetapi tepat satu minggu
sebelum UN, pandemi covid-19 telah menjangkit Indonesia. Rencana pun hanya
menjadi angan semata.

Saya pun harus berjuang sendiri di rumah tanpa teman dan pembimbing. Hingga
akhirnya tibalah waktu UTBK. Dan setelah menanti pengumuman, akhirnya saya
diterima di program studi Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Negeri Malang
di pilihan kedua saya. Saya bersyukur bisa di terima melalui SBMPTN. Say tidak
pernah menyesal akan proses yang telah saya lewati.

Anda mungkin juga menyukai