Anda di halaman 1dari 6

Nama : Nur Syaefullah Iskandar

NPM : 200110170088
Tugas Biokimia Nutrisi

Resume Jurnal
Judul : Pengembangan Obat Tradisional Indonesia Menjadi Fitofarmaka
Oleh : Hedi R. Dewoto (Departemen Farmakologi, Fakultas Kedokteran
Universitas
Indonesia, Jakarta)
Resume
Obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berasal dari tumbuhan,
hewan, mineral, sediaan sarian (galenik) atau campuran dari bahan tersebut, yang
secara turun temurun telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman. Di
Indonesia obat ini biasa disebut dengan jamu. Fitofarmaka adalah obat dari bahan
alam terutama dari alam nabati, yang khasiatnya jelas dan terbuat dari bahan baku,
baik berupa simplisia atau sediaan galenik yang telah memenuhi persyaratan minimal,
sehingga terjamin keseragaman komponen aktif, keamanan dan kegunaannya.
Tanaman dari obat-obatan tersebut mengandung zat aktif yang berfungsi sebagai
prekursor tubuh untuk melakukan pengobatan secara mandiri. Terdapat beberapa
tanaman dari Indonesia yang berfungsi sebagai obat herbal. Departemen Kesehatan
Republik Indonesia pada tahun 1986 melaporkan terdapat 940 tanaman obat dan
jumlah tersebut tidak termasuk tanaman obat yang telah punah atau langka dan
mungkin ada pula tanaman obat yang belum dicantumkan. Terjadi peningkatan
konsumsi obat herbal seiring berjalannya waktu, hal ini dikarenakan masyarakat
mulai sadar untuk kembali ke alam / back to nature mengingat terdapat beberapa efek
samping dari obat sintetis. Di Indonesia menurut survei nasional tahun 2000,
didapatkan 15,6% masyarakat menggunakan obat tradisional untuk pengobatan
sendiri dan jumlah tersebut meningkat menjadi 31,7 % pada tahun 2001. Jenis obat
tradisional yang digunakan dapat berupa obat tradisional buatan sendiri, jamu
gendong maupun obat tradisional industri pabrik.
Tabel 1. Obat yang berasal dari tanaman

Pada tahun 2002 jumlah industri farmasi yang memproduksi obat tradisional
yang mendaftar pada Badan POM ada 16 perusahaan dan meningkat menjadi 82 pada
tahun berikutnya.12 Jumlah industri yang memproduksi obat tradisional sampai akhir
2002 di Indonesia didapatkan 1012, yang terdiri atas 105 industri skala besar dan 907
industri skala kecil. Jumlah sediaan obat tradisional yang didaftar pada Badan POM
akhir 2006 adalah 14 217 termasuk diantaranya 2 036 produk impor dan 52 produk
lisensi.
Tabel 2. Obat tradisional yang terdafar di BPOM

Pengembangan obat herbal di Indonesia terbagi menjadi beberapa langkah


yang didasarkan atas tingkatan khasiat yang diberikan. Berdasarkan tingkat
pembuktian khasiat, persaratan bahan baku yang digunakan, dan pemanfaatannya,
obat bahan alam Indonesia dikelompokkan menjadi tiga kelompok, yaitu: jamu, obat
herbal terstandar, dan fitofamaka.

Gambar 1. Konsep pengembangan obat di Indonesia


Setelah penentuan konsep, obat herbal tersebut dapat dikembangkan melalui
beberapa tahapan. Agar obat tradisional dapat diterima di pelayanan kesehatan
formal/profesi dokter, maka hasil data empirik harus didukung oleh bukti ilmiah
adanya khasiat dan keamanan penggunaannya pada manusia. Bukti tersebut hanya
dapat diperoleh dari penelitian yang dilakukan secara sistematik. ahapan
pengembangan obat tradisional menjadi fitofarmaka adalah sebagai berikut:
Tahap Seleksi
Sebelum memulai penelitian, perlu dilakukan pemilihan jenis obat
tradisional/obat herbal yang akan diteliti dan dikembangkan. Jenis obat
tradisional/obat herbal yang diprioritaskan untuk diteliti dan dikembangkan adalah:
1. Diharapkan berkhasiat untuk penyakit yang menduduki urutan atas dalam
angka kejadiannya (berdasarkan pola penyakit).
2. Berdasarkan pengalaman berkhasiat untuk penyakit tertentu.
3. Merupakan alternatif jarang untuk penyakit tertentu, seperti AIDS dan kanker.
Akhir-akhir ini ada kecenderungan untuk meneliti tanaman obat yang
mendadak populer di kalangan masyarakat. Sebagai contoh banyak penelitian
belakangan ini dilakukan terhadap tanaman Mahkota Dewa (Phaleria macrocarpa)
yang diklaim antara lain bermanfaat untuk penderita diabetes melitus dan buah merah
(Pandanus conoideus Lamk.) yang diklaim antara lain dapat menyembuhkan kanker
dan AIDS.
Tahap Uji Preklinik
Uji preklinik dilaksanakan setelah dilakukan seleksi jenis obat tradisional
yang akan dikembangkan menjadi fitofarmaka. Uji preklinik dilakukan secara in vitro
dan in vivo pada hewan coba untuk melihat toksisitas dan efek farmakodinamiknya.
Bentuk sediaan dan cara pemberian pada hewan coba disesuaikan dengan rencana
pemberian pada manusia. Uji toksisitas dibagi menjadi uji toksisitas akut, subkronik,
kronik, dan uji toksisitas khusus yang meliputi uji teratogenisitas, mutagenisitas, dan
karsinogenisitas. Uji toksisitas akut dimaksudkan untuk menentukan LD50 (lethal
dose50) yaitu dosis yang mematikan 50% hewan coba, menilai berbagai gejala toksik,
spektrum efek toksik pada organ, dan cara kematian. Uji LD50 perlu dilakukan untuk
semua jenis obat yang akan diberikan pada manusia. Penelitian farmakodinamik obat
tradisional bertujuan untuk meneliti efek farmakodinamik dan menelusuri mekanisme
kerja dalam menimbulkan efek dari obat tradisional tersebut. Penelitian dilakukan
secara in vitro dan in vivo pada hewan coba. Cara pemberian obat tradisional yang
diuji dan bentuk sediaan disesuaikan dengan cara pemberiannya pada manusia. Hasil
positif secara in vitro dan in vivo pada hewan coba hanya dapat dipakai untuk
perkiraan kemungkinan efek pada manusia.
Tahap Standardisasi Sederhana, Penentuan Identitas dan Pembuatan Sediaan
Terstandar
Pada tahap ini dilakukan standarisasi simplisia, penentuan identitas, dan
menentukan bentuk sediaan yang sesuai. Bentuk sediaan obat herbal sangat
mempengaruhi efek yang ditimbulkan. Sebagai contoh daun jati belanda (Guazuma
ulmifolia Lamk) memiliki tiga jenis kandungan kimia yang diduga berperan untuk
pelangsing yaitu tanin, musilago, alkaloid. Ekstraksi yang dilakukan dengan etanol
95% hanya melarutkan alkaloid dan sedikit tanin, sedangkan ekstraksi dengan air atau
etanol 30% didapatkan ketiga kandungan kimia daun jati belanda yaitu tanin,
musilago, dan alkaloid tersari dengan baik.
Uji klinik Obat tradisional
Uji klinik pada manusia hanya dapat dilakukan apabila obat tradisional/obat
herbal tersebut telah terbukti aman dan berkhasiat pada uji preklinik. Pada uji klinik
obat tradisional seperti halnya dengan uji klinik obat moderen, maka prinsip etik uji
klinik harus dipenuhi. Sukarelawan harus mendapat keterangan yang jelas mengenai
penelitian dan memberikan informed-consent sebelum penelitian dilakukan.
Standardisasi sediaan merupakan hal yang penting untuk dapat menimbulkan efek
yang terulangkan (reproducible). Uji klinik dibagi empat fase yaitu:
1. Fase I : dilakukan pada sukarelawan sehat, untuk menguji keamanan dan
tolerabilitas obat tradisional
2. Fase II awal: dilakukan pada pasien dalam jumlah terbatas, tanpa pembanding
3. Fase II akhir: dilakukan pada pasien jumlah terbatas, dengan pembanding
4. Fase III : uji klinik definitive
5. Fase IV : pasca pemasaran,untuk mengamati efek samping yang jarang atau
yang lambat timbulnya

Anda mungkin juga menyukai