Anda di halaman 1dari 27

Referat

ASMA PADA ANAK

Pembimbing: dr. , Sp.A

Disusun oleh:

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
UNIVERSITAS TRISAKTI
JAKARTA
2020
LEMBAR PENGESAHAN

Referat dengan juduk Asma pada Anak


telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat menyelesaikan Kepaniteraan
Klinik Ilmu Kesehatan Anak
Periode

Jakarta, Desember 2020

dr., Sp.A

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan atas segala nikmat yang selalu tercurah dan
segala keberkahan dan kemudahan yang selalu diberikan kepada penulis.
Dalam kesempatan ini pula penulis ingin mengucapkan terimakasih
kepada kedua orang tua penulis, serta dokter pembimbing penyusunan presentasi
kasus dr.., SpA dan seluruh dokter bagian Ilmu Kesehatan Anak serta teman
teman kepaniteraan klinik Ilmu Kesehatan Anak yang telah membantu dan
mendukung penulis dalam penyusunan laporan kasus ini. Akhir kata, penulis
memohon maaf atas segala kekurangan yang ada dalam laporan kasus ini dan
penulis menerima masukan positif apapun demi menjadikan laporan kasus ini
lebih baik lagi.

Jakarta, 20 Desember 2020

BAB I
PENDAHULUAN

iii
Asma merupakan salah satu penyakit tidak menular atau non-
communicable disease (NCD) yang masih menjadi masalah kesehatan global.
Pada anak, penyakit respiratori kronik ini merupakan salah satu penyakit yang
paling banyak dijumpai dan sejak dua dekade terakhir angka kejadiannya
dilaporkan meningkat baik pada anak maupun dewasa. Prevalensi asma
meningkat dari waktu ke waktu baik di negara maju maupun negara sedang
berkembang. Peningkatan tersebut diduga berkaitan dengan pola hidup yang
berubah dan peran faktor lingkungan terutama polusi baik indoor maupun
outdoor. Di Indonesia, berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun
2013, angka kejadian asam pada anak usia 0 – 14 tahun adalah 9,2%. Di seluruh
dunia, diperkirakan terdapat 300 juta orang sakit asma.
Berkembangnya patogenesis pada asma berdampak pada tatalaksana
secara mendasar, sehingga berbagai upaya telah dilakukan untuk mengatasi asma.
Pada awalnya pengobatan hanya diarahkan untuk mengatasi bronkokonstriksi
dengan pemberian bronkodilator, kemudian berkembang dengan antiinflamasi.
Pada saat ini upaya pengobatan asma selain dengan antiinflamasi, juga harus
dapat mencegah terjadinya remodelling. Selain upaya mencari tatalaksana asma
yang terbaik, beberapa ahli membuat suatu pedoman tatalaksana asma yang
bertujuan sebagai standar penanganan asma, misalnya Global Initiative for
Asthma (GINA) dan Konsensus Internasional. Pedoman di atas belum tentu dapat
dipakai secara utuh mengingat beberapa fasilitas yang dianjurkan belum tentu
tersedia, sehingga dianjurkan untuk membuat suatu pedoman yang disesuaikan
dengan kondisi masing- masing negara. Di Indonesia Unit Kerja Koordinasi
(UKK) Pulmonologi dan Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) telah membuat
suatu Pedoman Nasional Asma Anak (PNAA).
Tatalaksana asma dibagi menjadi 2 kelompok yaitu tatalaksana pada saat
serangan asma (eksaserbasi akut) atau aspek akut dan tatalaksana jangka panjang
(aspek kronis). Pada asma episodik sering dan asma persisten, selain penanganan
pada saat serangan, diperlukan obat pengendali (controller) yang diberikan

iv
sebagai pencegahan terhadap serangan asma. Pada makalah ini akan dijelaskan
diagnosis dan terapi pada asma anak,

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Definisi

Asma merupakan penyakit inflamasi kronik yang mengakibatkan obstruksi dan


hiperreaktivitas pada saluran respiratori ditandai dengan gejala seperti wheezing
(mengi), sesak napas, dan batuk yan gbervariasi dalam waktu maupun intensitas ,
disertai dengan limitasi aliran udara ekspiratori. Gejala yang dirasakan cenderung
memberat pada malam atau dini hari, dan biasanya timbul jika terdapat pencetus.

Anatomi
Sitem respirasi terbagi menjadi upper respiratory tract dan lower respiratory
tract. Upper respiratory tract terdiri dari bagian diluar rongga dada : cavum nasi,
faring, laring, dan trakea bagian atas. lower resporatory tract terdiri dari bagian-
bagian yang ditemukan didalam rongga dada : trakea bagian bawah, bronkus,
paru-paru termasuk didalamnya bronkiolus dan alveoli, juga termasuk
didalamnya adalah membran pleura dan otot-otot pernapasan yang membentuk
rongga dada : diafragma dan otot interkostal.
Trakea merupakan organ tabung antara laring sampai dengan puncak
paru, panjangnya sekitar 10-12 cm dengan diameter 2,5 cm. Tersusun dari 16
sampai 20 cincin tulang rawan berbentuk huruf C yang terbuka pada bagian
belakangnya. Terdapat silia yang memicu terjadinya reflek batuk/bersin. Pada
ujung trakea bercabang 2 kanan dan kiri disebut bronkus. Cabang dari trakea
yang memasuki paru merupakan bronkus primer yang terbagi kanan dan kiri ,
terdapat epitel bersilia. Dalam paru, setiap cabang bronkus primer menjadi
bronkus sekunder menuju lobus setiap paru. Percabangan lebih lanjut dari tabung
bronkus sering disebut phpn bronkial. Cabang-cabang yang lebih kecil disebut

v
bronkiolous, tidak terdapat tulang rawan pada bronkiolus, bronkiolus berakhir
dalam kelompok alveoli, yang merupakan kantong udara paru
Paru terlaetak pada rongga dada dan dikelilingi dan dilindungi oleh
tulang rusuk. Bagian bawah dari setiap paru bertumpu pada diafragma. Pada
apeks, berada pada tingkat klavikula. Pad permukaan medial setiap paru terdapat
indentasi yang disebut hilus, dimana bronkus primer. Arteri pulmonalis, dan vena
masuk ke paru. Membran pleura adalah membran serosa dari rongga thoraks.
Pleura parietal melapisi dinding dada, dan pleura visceral berada di permukaan
paruparu. Antara membran pleura terdapat cairan serosa, yan gmencegah adanya
gesekan.
Unit fungsional paru adalah berupa kantong udara yagn disebut
alveoli. Sel alveolar tipe 1 membentuk sebagian besar dinding alveolar yang
merupakan epitel skuamosa sederhana. Diruang antar kelompok alveoli adalah
jaringan elastis, yang penting untuk pernafasan. Dalam alveoli terdapat makrofag
yang berfungsi memfagosit patogen atau bahan asing lainnya yang mungkin
terlwat oleh epitel bersilia dari phon bronkial. Terdapat jutaan alveoli disetiap
paru. Setiap alveolus dilapisi oleh lapisan tipis cairan jaringan yang penting untuk
difusi gas, karena gas harus larut dalam cairan untuk memasuki atau
meninggalkan sel . sel alveolar tipe II menghasilkan surfaktan, surfaktan
bercampur dengan cairan jaringan didalam alveoli dan menurunkan
permukaannya, memungkinkan terjadnya inflasi alveoli. Inflasi alveoli
memungkinkan pertukaran gas.

vi
Fisiologi
Mekanisme Bernapas
Ventilasi adalah istilah untuk pergerakan udara ke dan dari alveoli . 2
aspek ventilasi adalah inhalasi/inspirasi dan exhalasi/ekspirasi, yang
berhubungan erati dengan 3 tekanan penting, yatu
a. tekanan atmosfer
tekanan udara disekitar kita, di permukaan laut tekanan atmosfer adalah
760 mmHg, ditempat yang lebih tinggi, tekanan atmosfer lebih rendah
b. tekanan intrapleural
tekanan didalam ruang pleura, tekanan ini juga dikenal sebagai tekanan
intratoraks adlaha tekanan yang ditimbulkan diluar paru didalam rongga
thoraks. Tekanan intrapleural selalu sedikit dibawah tekanan atmosfer
(sekitar 756 mmHg). Dan disebut tekanan negatif.
c. tekanan intrapulmonik
tekanan didalam bronkial dan alveoli, tekanan ini berfluktuasi dibawah
diatas tekanan atmosfer selama setiap siklus pernpasan.

Inspirasi
Impuls motorik dari medula berjaan sepanjang saraf frenik ke
diafragma dan sepanjang saraf interkostal ke otot interkostal eksternal.
Kontak diafragma, bergerak kebawah, dan memperluas rongga dada. Saat
ringga dada berkembang, pleura parietal mengembang dengan itu. Tekanan
intrapleural menjadi lebih negatif. Adhesi yang diciptakan oleh cairan serosa,
memungkinkan pleura visceral untuk diperluas juga , dan memperluas paru.
Ketika paru mengembang, tekanan intrapulmonik turun dibawah tekanan
atmosfer, dan udara masuk ke hidung dan berjalan melalui saluran
pernapasan ke alveoli. Masuknya udara terus sampai membuat tekanan
intrapulmonik sama dengan tekanan atmosfer, ini adalah inhalasi normal.

Ekspirasi

vii
Ekspirasi dimulai ketika impuls motorik dari medula berkurang dan
diafragma dan otot interkostal eksternal menjadi rileks. Rongga dada menjadi
lebih kecil dan jaringan elastis yang meregang selama inhalasi, kembali ke
bentuk awal dan menekan alveoli. Saat tekanan intrapulmonik naik diatas
tekanan atmosfirm udara keluar dari paru sampai kedua tekanan kembali
sama

Pertukaran Gas
Terdapat 2 tempat dalam pertukaran oksigen dan karbon dioksida :
paru dan jaringan tubuh. Pertukaran gas antara udara di alveoli dan darah di
kapiler paru disebut respirasi eksternal. Respirasi internal adalah pertukaran
gas antara darah dalam kapiler sistemik dengan sel tubuh. Didalam tubuhgas
akan berdifusi dari area konsentrasi yang lebih besar ke area konsentrasi
yang lebih rendah.
Konsentrasi masing-masing gas di tempat tertentu dinyatakan dalam
nilai yang disebut tekanan parsial. Akibat dari tekanan parsial , gas akan
berdifusi dari area dengan tekanan parsial tinggi ke area dengan tekanan
parsial rendah. Udara pada alveoli memiliki tekanan PO2 yang tinggi dan
PCO2 rendah, sebaliknya dengan kondisi di kapiler pulmonary yang mana
memiliki PO2 yang rendah, dan PCO2 yang tinggi. Darah yang kembali ke
jantung memiliki PO2 tinggi dan PCO2 yang rendah yang dipompa ke
sirkulasi sistemik. Darah arteri yang mencapai kapiler memiliki PO2 tinggi
dan PCO2 rendah untuk itu dalam respirasi internal, oksigen berdifusi dari
darah ke sel, dan karbon dioksida berdifusi dari sel ke darah. Darah yang
memasuki vena sistemik untuk kembali ke jantung, sekarang memiliki PO2
rendah dan PCO2 tinggi dan dipompa oleh ventrikel kanan ke paru untuk
berpartisipasi dalam respirasi eksternal.

viii
Gambar. Pertukaran Gas pada Tubuh
Epidemiologi
Asma merupakan penyakit kronik yang sering dijumpai pada anak di
negara maju. Sejak dua dekade terakhir, dilaporkan bahwa prevalens asma
meningkat pada anak maupun beberapa negara bagian. Prevalensi total asma
didunia diperkirakan 7.2% (6% pada dewasa dan 10% pada anak). Prevalensi
asma pada anak berkisar antara 2-30%. Di Indonesia prevalensi asma pada anak
sekitar 10% pada usia sekolah dasar,dan sekitar 6,5% pada usia sekolah
menengah pertama. Prevalensi tersebut sangat bervariasi. Masalah epidemiologi
saat ini adalah morbiditas dan mortalitas asma yang relatif tinggi. WHO
memperkirakan saat ini terdapat 250.000 kematian akibat asma.

Mortalitas
Mortalitas penyakit asma meningkat dari tahun 1980-1995 dari 14,3
menjadi 20,6 per juta. Sedangkan antara tahun 2000 sampai 2004 menurun dari
dari 16,1 menjadi 12,8 per juta.

Faktor Risiko
Faktor risiko untuk penyakit asma dapat dikelompokkan menjadi genetik dan
non genetik, dan merupakan interaksi antara faktor pejamu (host factor) dan
faktor lingkungan. Faktor pejamu disini termasuk predisposisi genetik yang
mempengaruhi untuk berkembangnya asma, yatu genetik asma, alergik (atopi)

ix
hiperaktivitas bronkus, jenis kelamin, dan ras. Faktor lingkungan mempengaruhi
individu dengan kecendrungan/predisposisi asma untuk berkembang menjadi
asma, menyebabkan terjadinya eksaserbasi dan atau menyebabkan gejala-gejala
asma menetap. Termasuk alergen, sensitisasi lingkungan kerja, asap rokok, polusi
udara, infeksi pernapasan (virus) , diet, status sosioekonomi. Interaksi faktor
genetik/pejamu dengan lingkungan melalui kemungkinan, sebagai berikut :
a. Pajanan lingkungan hanya meningkatkan risiko asma pada individu
dengan genetik asma
b. Lingkungan maupun genetik masing-masing meningkatkan risiko
penyakit asma

Patogenesis
Denomniator umum yang mendasari semua bentuk asma adalah respon
hipersensitivitas terhadap berbagai stimulus. Sebagian besar teori menunjukkan
bahwa inflamasi saluran udara yang dimanifestasikan oleh adanya sel-sel
inflamasi (terutama eosinofil, limfosit, dan sel mast) dan oleh kerusakan pada
epitel bronkus berkontribusi pada patogensis penyakit asma.
Teori menemukan bahwa patogenesis asma befokus pada peran dari
limfosit T. diketahui bahwa terdapat 2 subset sel T-helper (TH-1) dan TH-2) yang
berkembang dari prekursor yang sama CD4 + limfosit T. sel TH1 berdiferensiasi
sebagai respon terhadap mikroba dan menstimulasi diferensiasi sebagai respon
rerhadap mikroba dan menstimulasi diferensiasi limfost B menghasilkan
imunoglonbulin IgM dan IgG. Th2 disisi lain memberikan respon terhadap
alerfen dan helminths dengan menstimulasi sel B untuk berdiferensiasi
menghasilkan sel plasma IgE, yang mana menghasilkan faktor pertumbuhan dari
sel mast dan dan merekrut serta mengaktifkan eosinofil. Pada orang dengan asma,
diferensiasi sel T lebih ke arah sel TH2, faktor genetik dan lingkungan
memainkan peran. Penelitian menunjukkkan bahwa TNF-a, sitokin inflamasi
yang dismpan dilepaskan dari sel mast, memainkan peran penting dalam inisiasi
dan amplifikasi inflamasi saluran napas pada orang dengan asma Tumor necrosis
alfa (TNF)-a dan interleukin 4 dan 5 (IL4 dan IL-5) berpartisipasi dalam

x
patogenesis asma bronkial melalui efeknya pada sel-sel epitel bronkial dan sel
otot polos.

Respon Fase Akut / cepat


Respon fase akut biasanya berkembang dalam waktu 10 hingga 20 menit,
disebabkan oleh pelepasan mediator kimia dari sel mast yang dipresensitasi.
Antigen mengikat sel mast yang sebelumnya pada permukaan mukosa saluran
napas. Terdapat bronkospasme yang disebabkan oleh stimulasi langsung reseptor
parasimpatis, edema mukosa yang disebabkan oleh peningkatan permeabilitas
pembuluh darah dan peningkatan sekresi lendir. Respon akut biasanya dapat
dihambat oleh bronkodilator, seperti agonis B2-adrenergik, bukan dengan NSAID

Gambar. Respon Akut pada Pathogenesis Asma

Respon Fase Lambat

xi
Berkembang 4 hingga 8 jam, setelah terapapr pemicu asma. Biasnaya
respon mencapai maksimum dalam beberapa jam dan dapat berlangsung selama
berhari-hari atau bahkan berminggu-minggu. Pemicu awal dalam respon fase
akhir menyebabkan pelepasan mediator inflamasi dari sel mast, makrofag, dan sel
epitel. Zat-zat ini menginduksi migrasi dan aktivasi sel-sel inflamasi lainnya
(seperti basofil, eosinofil, neutrofi) yang kemudian menghasilkan cedera epitel
dan edem. Perubahan fungsi mukosiliar dan mengurangi pembersihan sekresi
saluran pernapasan, dan meningkatkan respon saluran napas.

Gambar. Mekanisme Inflamasi Akut dan Kronik pada Asma dan Proses Remodelling

Airway Remodelling

Remodeling juga merupakan hal penting pada pathogenesis


hiperreaktivitas saluran respiratori yang nonspesifik, terutama pada pasien yang
waktu penyembuhannya lama (lebih dari satu hingga dua tahun) atau yang tidak
sembuh sempurna setelah terapi steroid inhalasi.
Proses inflamasi kronik pada asma akan meimbulkan kerusakan jaringan
yang secara fisiologis akan diikuti oleh proses penyembuhan (healing process)

xii
yang menghasilkan perbaikan (repair) dan pergantian sel yang rusak dengan sel
yang baru. Proses penyembuhan tersebut melibatkan regenerasi jaringan yang
rusak dengan jenis sel parenkim yang sama dan pergantian jaringan yang rusak
dengan jaringan peyambung yang menghasilkan jaringan skar. Pada asma, kedua
proses tersebut berkontribusi dalam proses penyembuhan dan inflamasi yang
kemudian akan menghasilkan perubahan struktur yang mempunyai mekanisme
sangat kompleks dan banyak belum diketahui dikenal dengan airway remodeling.
Mekanisme tersebut sangat heterogen dengan proses yang sangat dinamis dari
diferensiasi, migrasi, maturasi, dediferensiasi sel sebagaimana deposit jaringan
penyambung dengan diikuti oleh pergantian atau perubahan struktur dan fungsi
yang dipahami sebagai fibrosis dan peningkatan otot polos dan kelenjar mukus.
Perubahan struktur yang terjadi :

• Hipertrofi dan hiperplasia otot polos jalan napas


• Hipertrofi dan hiperplasia kelenjar mukus
• Penebalan membran reticular basal
• Perubahan struktur parenkim
• Peningkatan fibrogenic growth factor menjadikan fibrosis

Gambar. Patologi Remodelling saluran napas pada Asma

xiii
Gambar. Faktor-faktor Remodelling pada Asma

PENEGAKKAN DIAGNOSIS
Anamnesis
Keluhan wheezing dan atau batuk berulang merupakan manifestasi klinik
yang diteriima luas sebagai titik awal diagnosis asma. Gejala respiratori asma
berupa kombinasi dari batuk, wheezing, sesak napas, rasa dada bertekan, dan
produksi sputum. Chronic recurrent cough (batuk kronik berulang, BKB) dapat
menjadi petunjuk awal untuk membantu diagnosis asma. Gejala dengan
karakteristik yang khas diperlukan untuk menegakkan diagnosis asma, antara lain

Gejala Klinis :
 Bersifat episodik, seringkali reversibel dengan atau tanpa pengobatan
 Gejala berupa batuk , sesak napas, rasa berat di dada dan berdahak
 Gejala timbul memburuk terutama malam atau dini hari
 Diawali oleh faktor pencetus yang bersifat individu
 Respons terhadap pemberian bronkodilator

Hal lain yang perlu dipertimbangkan dalam riwayat penyakit :


 Riwayat keluarga (atopi)
 Riwayat alergi atau atopi
 Penyakit lain yang memberatkan
 Perkembangan penyakit dan pengobatan

Pemeriksaan Fisik

xiv
Dalam keadaan stabil tanpa gejala, pada pemeriksaan fisis pasien biasanya
tidak ditemukan kelainan. Dalam keadaan sedang bergejala batuk atau sesak,
dapat terdengar wheezing, baik yang terdengar langsung (audible wheeze) atau
yang terdengar dengan stetoskop. Selain itu, perlu dicari gejala alergi lain pada
pasien seperti dermatitis atopi atau rinitis alergi, dan dapat pula dijumpai tanda
alergi seperti allergic shiners atau geographic tongue.

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan ini untuk menunjukkan variabilitas gangguan aliran napas
akibat obstruksi, hiperreaktivitas, dan inflamasi saluran respiratori, atau adanya
atopi pada pasien.
 Uji fungsi paru dengan spirometri sekaligus uji reversibilitas dan untuk
menilai variabilitas.Pada fasilitas terbatas dapat dilakukan!pemeriksaan
dengan peak flow meter.
 Uji cukit kulit (skin prick test),eosinophil total darah, pemeriksaan IgE
spesifik
 Uji provokasi bronkus dengan exercise, metakolin, atau larutan salin
hipertonik
Jika terindikasi Dan fasilitas tersedia, dapat dilakukan pemeriksaan untuk
mencari kemungkinan diagnosis banding, misalnya uji tuberkulin, foto sinus
paranasalis, foto toraks , endoskopi respiratori (rinoskopi, laringoskopi,
bronkoskopi).
Umumnya penderita asma sulit menilai beratnya gejala dan persepsi
mengenai asmanya , demikian pula dokter tidak selalu akurat dalam menilai
dispnea dan mengi; sehingga dibutuhkan pemeriksaan objektif yaitu faal paru
antara lain untuk menyamakan persepsi dokter dan penderita, dan parameter
objektif menilai berat asma. Pengukuran faal paru digunakan untuk menilai:
 obstruksi jalan napas

xv
 reversibilitas kelainan faal paru
 variabilitas faal paru, sebagai penilaian tidak langsung hiperesponsif jalan napas
Banyak parameter dan metode untuk menilai faal paru, tetapi yang telah diterima
secara luas (standar) dan mungkin dilakukan adalah pemeriksaan spirometri dan
arus puncak ekspirasi (APE).

Tabel. Kriteria Diagnosis Asma

xvi
Gambar. Alur Diagnosis Asma pada Anak

Klasifikasi Asma
Asma merupakan penyakit yang sangat heterogen dengan variasi yan
gsangat luas. Atas dasar itu, terdapat beberapa pengelompokkan asma, yaitu :
1. Berdasarkan Kekerapan Timbulnya Gejala
• Asma intermiten
• Asma persisten ringan
• Asma persisten sedang
• Asma persisten berat

xvii
Tabel. Derajat Asma berdasarkan Gejala dan Faal Paru

2. Berdasarkan Derajat Beratnya Serangan


Asma merupakan penyakit kronik yang dapat mengalami episode gejala
akut yang memberat dengan progresif yang disebut sebagai serangan asma.
• Asma serangan ringan sedang
• Asma serangan berat
• Serangan asma dengan ancaman henti napas

xviii
Tabel. Derajat Keparahan Serangan Asma

Penatalaksanaan Asma
Tujuan utama penatalaksanaan asma adalah meningkatkan dan
mempertahankan kualitas hidup agar penderita asma dapat hidup normal tanpa
hambatan dalam melakukan aktivitas sehari-hari.
Tujuan penatalaksanaan asma:
1. Menghilangkan dan mengendalikan gejala asma
2. Mencegah eksaserbasi akut
3. Meningkatkan dan mempertahankan faal paru seoptimal mungkin
4. Mengupayakan aktiviti normal termasuk exercise
5. Menghindari efek samping obat
6. Mencegah terjadi keterbatasan aliran udara (airflow limitation) ireversibel
7. Mencegah kematian karena asma
Tatalaksana pada asma dibagi menjadi tata laksana nonmedika mentosa
dan tata laksana non medika-mentosa. Tatalaksana nonmedika mentosa berupa
pengendalian lingkungan dan penghindaran pencetus .

Tatalaksana Medika Mentosa


Tujuan tata laksana asma adalah untuk mencapai dan mempertahankan
kendali asma serta menjamin tercapainya tumbuh kembang anak secara optimal.
Obat asma dapat dibagi menjadi 2 kelompok besar, yaitu obat pereda (reliever)
dan obat pengendali (controller). Obat pelega sebagai obat serangan, digunakan
untuk meredakan serangan atau gejala asa bila sedang timbul. Bila serangan
sudah teratasi dan gejala tidak ada lagi, maka pemakaian obat ini dihentikan..
kelompok kedua adalah obat pengendali, yang digunakan untuk emncegah
serangan asma. Obat ini untuk mengatasi masalah dasar asma, yaitu inflamasi
repiraotiru kronik, sehingga tidak timbul serangan atau gejala asma. Pemakaian
obat ini secara terus-menerus dalam jangka waktu yang relatif lama, bergantung
pada kekerapan gejala asma dan responnya terhadap pengobatan atau

xix
penanggulangan. Obat pengendali asma terdiri dari steroiid anti-inflamasi
inhalasi atau sistemik, antileukotrien, kombinasi steroid-agonis B2 kerja panjang,
teofilin lepas lambat, dan anti-imunoglobulin E.

Pelega (Reliever)
Prinsipnya untuk dilatasi jalan napas melalui relaksasi otot polos,
memperbaiki dan atau menghambat bronkostriksi yang berkaitan dengan gejala
akut seperti mengi, rasa berat di dada dan batuk, tidak memperbaiki inflamasi
jalan napas atau menurunkan hiperesponsif jalan napas. Termasuk pelega adalah
:
 Agonis beta2 kerja singkat
 Kortikosteroid sistemik. (Steroid sistemik digunakan sebagai obat pelega bila
penggunaan bronkodilator yang lain sudah optimal tetapi hasil belum tercapai,
penggunaannya dikombinasikan dengan bronkodilator lain).
 Antikolinergik
 Aminofillin
 Adrenalin

Rute Pemberian Medikasi


Medikasi asma dapat diberikan melalui berbagai cara yaitu inhalasi, oral
dan parenteral (subkutan, intramuskular, intravena). Kelebihan pemberian
medikasi langsung ke jalan napas (inhalasi) adalah :
 lebih efektif untuk dapat mencapai konsentrasi tinggi di jalan napas
 efek sistemik minimal atau dihindarkan
beberapa obat hanya dapat diberikan melalui inhalasi, karena tidak terabsorpsi
pada pemberian oral (antikolinergik dan kromolin). Waktu kerja bronkodilator
adalah lebih cepat bila diberikan inhalasi daripada oral.
Macam-macam cara pemberian obat inhalasi :
 Inhalasi dosis terukur (IDT)/ metered-dose inhaler (MDI)
 IDT dengan alat Bantu (spacer)

xx
 Breath-actuated MDI
 Dry powder inhaler (DPI)
 Turbuhaler
 Nebuliser

Pengontrol
 Glukokortikosteroid inhalasi
Medikasi jangka panjang yang paling efektif untuk mengontrol asma.
Berbagai penelitian menunjukkan penggunaan steroid inhalasi menghasilkan
perbaikan faal paru, menurunkan hiperesponsif jalan napas, mengurangi gejala,
mengurangi frekuensi dan berat serangan dan memperbaiki kualiti hidup (bukti
A). Steroid inhalasi adalah pilihan bagi pengobatan asma persisten (ringan
sampai berat). Steroid inhalasi ditoleransi dengan baik dan aman pada dosis yang
direkomendasikan.

xxi
xxii
Penentuan Derajat Kendali Asma
Setiap pasien asma harus ditentukan derajat kendali asma untuk memulai
pengobatan jangka panjang. Sebelum memutuskan untuk turun jenjang atau naik
jenjang dalam tata laksana jangka panjang asma, dokter harus menilai kepatuhan

xxiii
pasien terhadap pengobatan, teknik inhalasi, dosis obat inhalasi, dan
mengendalikan faktor pencetus asma.

Tabel. Derajat Kendali Asma

Jenjang Pengendalian Asma


Pedoman Nasional Asma Anak tahun 2015 membagi derajat penyakit
asma anak berdasarkan kekerapan gejala dan derajat kendali. Setelah dilakukan
tata laksana umum berupa penghindaran pencetus, klasifikasi kekerapan asma
dapat ditentukan dalam waktu 6 minggu. Pada asma intermiten tidak dibutuhkan
tata laksana asma jangka panjang sesuai dengan jenjang 1, sedangkan pada asma
persisten!dilakukan tata laksanajangka panjang sesuai dengan jenjang 2 sampai
jenjang 4 kemudian dievaluasi secara berkala untuk menaikkan atau menurunkan
jenjang dalam pemakaian obat pengendali asma. Diagnosis derajat kendali dibuat

xxiv
setelah 6 minggu menjalani tata laksana jangka panjang awal sesuai klasifikasi
kekerapan.
Pemberian steroid inhalasi sebagai tata laksana asma jangka panjang
harus dipertimbangkan pada pasien asma dengan salah satu dari kriteria berikut :
mengalami serangan asma pada 2 tahun terakhir, penggunaan obat pereda asma 3
kali dalam satu minggu, terbangun karena serangan asma 1 kali dalam satu
minggu.

Gambar. Jenjang dalam Tata Laksana Asma Jangka Panjang pada Anak usia > 5 tahun

Keterangan :

1. Acuan awal penetapan jenjang tatalaksana jangka Panjang menggunakan


klasifikasi kekerapan
2. Bila suatu jenjang dalam tata laksana sudah berlangsung selama 6-8
minggu dan asma belum terkendali, maka tata laksana naik jenjang ke
atasnya
3. Bila suatu jenjang dalam tata laksana sudah berlangsung selama 8-12
minggu dan asma terkendali penuh, maka tata laksana turun jenjang
kebawahnya
4. Perubahan jenjang tata laksana harus memperhatikan aspek-aspek
penghindaran, penyakit penyerta.

xxv
5. Pada jenjang 4, jika belum terkendali, tata laksana ditambahkan
omalizumab.

Pengendalian asma senantiasa dilakukan berdasarkan derajat kendali


asma. Apabila asma belum terkendali maka dilakukan pemberian obat sesuai
jenjang selanjutnya. Sebelumnya perlu dicermati apakah dosis, cara pemberian
obat yang diberikan sudah tepat, apakah penghindaran faktor pencetus telah
dilaksanakan dengan benar. Pada setiap jenjang pengendalian, apabila terjadi
Serangan eksaserbasi asma, pasien harus mendapatkan obat pereda asma yaitu
obat inhalasi agonis β2 kerja pendek.

DAFTAR PUSTAKA

1. UKK Pulmonologi PP IDAI. Pedoman Nasional Asma Anak. UKK


Pulmonologi 2004.
2. Akib, AP. Asma pada Anak. Sari Pediatri, Vol 4, No.2, September
2012: 78-82
3. Kliegmen RM, Stanton BF, Geme JW, Schor NF. Nelson Textbook of
pediatrics. 20th ed. Philadelphia : Elsevier;2016.p.1761-63
4. Martini. Fundamentals of anatomy and physiology 9th edition. San
Fransisco : Pearson ;2013
5. Porth CM, Glenn M. Pathophysiology : concepts of altered helath
states 8th edition. China : Lippincott williams & wilkans ; 2008
6. Rahajoe N. Pedoman Nasional Asma Anak. UKK Respirologi IDAI :
2016
7. Buku Ajar Respirologi anak. Ikatan Dokter Anak Indonesia.2012
8. Lenfant C, Khaltaev N. Global Initiative for!Asthma. NHLBI/WHO
Workshop Report;2002.
9. Papadopoulos NG, Arakawa H, Carlsen KH, Custovic A, Gern J,
Lemanske R,dkk. International consensus on (ICON) pediatric
asthma.Allergy.2012;67:967H97.

xxvi
10. ERS Task Force. Definition, assessment, and treatment of wheezing
disorders in preschool children: an evidence based approach. Eur
Respir J.2008;32:1096H110.
11. Hamasaki Y,Kohno Y,Ebisawa M, Kondo N, Nishima S, Nishimuta
T, dkk. Japanese guideline For childhood asthma 2014. Allergol Int.
2014;63:335H56.
12. The Global Initiative for Asthma (GINA). Global strategy for asthma
management and prevention 2014 . Diunduh dari:
www.ginasthma.org.

xxvii

Anda mungkin juga menyukai