Oleh
1. Sausan Hazimah 19100707360804168
2. Dita Restia 19100707360804169
Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat
salah satu syarat dalam menyelesaikan kepanitraan klinik modul penyakit mulut
dapat diselesaikan.
Dalam penulisan laporan kasus ini penulis menyadari, bahwa semua proses
yang telah dilalui tidak lepas dari bimbingan drg. Fitria Mailiza, Sp. PM selaku
dosen pembimbing, bantuan, dan dorongan yang telah diberikan berbagai pihak
lainnya. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang
telah membantu.
sebagaimana mestinya, baik dari segi ilmiah maupun dari segi tata bahasanya,
karena itu kritik dan saran sangat penulis harapkan dari pembaca.
kepada kita semua dan semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat serta dapat
memerlukan.
Penulis
1
BAB I
PENDAHULUAN
Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR) yang dikenal dengan istilah apthae atau
cancer sores, merupakan suatu lesi ulserasi yang terjadi secara kambuhan pada
mukosa mulut tanpa adanya tanda-tanda suatu penyakit lainnya. Gejala awal SAR
bisa dirasakan penderita sebagai rasa sakit dan ditandai dengan adanya ulser
tunggal atau multiple yang terjadi secara kambuhan pada mukosa mulut,
berbentuk bulat atau oval, batas jelas, dengan pusat nekrotik berwarna kuning-
keabuan dan tepi berwarna kemerahan (NaSulistiani, dkk., 2017).
Umumnya SAR terjadi pada wanita dan pasien dengan rentang usia 10-40
tahun. Penyebab pasti dari SAR belum diketahui, namun beberapa faktor seperti
stres emosional, infeksi bakteri, perubahan hormonal, imunodefisiensi, dan
defisiensi nutrisi didiuga menjadi pencetus SAR (Rante, dkk., 2019).
Sejumlah penelitian melaporkan angka kejadian SAR bervariasi dari 5%
hingga 66% dengan rata-rata 20% pada populasi masyarakat dunia. Secara klinis,
SAR diklasifikasikan menjadi tiga tipe yaitu tipe minor, mayor, dan herpetiformis.
Berbagai literatur menyatakan bahwa dari ketiga klasifikasi SAR, tipe minor
merupakan tipe yang paling sering terjadi yaitu sekitar 80% dari kasus SAR
ditandai dengan ulser dangkal berdiameter kurang dari 1 cm dan biasa sembuh
dalam waktu 7-14 hari (Rante, dkk., 2019; NaSulistiani, dkk., 2017).
Berdasarkan penjelasan di atas, maka akan dibahas lebih lanjut dalam
makalah ini tentang laporan kasus SAR minor.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian
Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR) merupakan suatu kondisi kerusakan pada
epitelium rongga mulut yang paling sering dijumpai pada mukosa mulut yang
tidak berkeratin. Bertahan untuk beberapa hari atau minggu, bersifat ulang
kambuh dalam periode yang bervariasi dan dapat sembuh sendiri tanpa
pengobatan (Tjahyani, 1994).
a. Faktor Genetik
Telah ada bukti yang menunjukkan bahwa faktor genetik merupakan
faktor predisposisi. Apabila salah sau keluarga memiliki SAR atau kedua
orang tua, maka tidak menutup kemungkinan anak akan mengidap SAR
positif dan kelihatannya penyakit ini lebih sering ditemukan pada anak
kembar bila dibandingkan dengan yang tidak kembar.
b. Trauma
Beberapa pasien mengira bahwa lesi terjadi akibat trauma, sebab
gejala awalnya didahului oleh sikat gigi yang menyodok mukosa mulut.
Letak lesinya tergantung pada daerah yang terlibat dalam trauma tersebut.
Namun demikian, lesi biasanya ditemukan di daerah yang terlindung, jarang
ditemukan pada mukosa yang berperan pada pengunyahan.
c. Faktor Hormonal
Pada beberapa wanita, stomatitis aftosa dihubungkan dengan fase
luteal dalam siklus haid. Namun terapi hormonal yang diberikan ternyata
tidak cukup efektif. Pada penderita SAR oleh karena progesteron rendah
3
maka efek self limiting process berkurang, polimorphonuclear leucocytes
menurun, permeabilitas vaskuler menurun. Hal-ha1 tersebut diduga akan
menyebabkan lesi yang berbentuk sebagai Apthae atau Recurrent Apthae
Stomatitis (RAS) yang muncul secara periodik sesuai siklus haid.
d. Stres
Beberapa pasien menghubungkan eksaserbasi ulserasi dengan saat
mereka mengalami stres. Ada berbagai macam penelitian yang melaporkan
adanya hubungan tersebut. Stres sendiri sulit untuk diukur, dan ada juga
penelitian yang tidak menemukan adanya hubungan tersebut. Stres dapat
menyebabkan trauma pada jaringan lunak mulut dengan kebiasaan
parafungsional seperti menggigit pipi atau bibir dan trauma ini bisa
menyebabkan rentan terhadap ulkus. Stres psikologis dapat bertindak
sebagai faktor pemicu.
e. Gangguan Imunologi
Telah banyak bentuk gangguan imunologi yang dilaporkan, tetapi
hasil yang ditemukan berlawanan dengan teori yang diajukan. Hingga kini
belum ditemukan teori imunopatogenesis yang tepat yang mendukung
gambaran klinisnya. Adanya kemungkinan bahwa faktor alergi terkait
dengan timbulnya stomatitis aftosa juga belum dapat dipastikan. Pada
sebagian besar pasien yang ada tidak ditemukan perubahan bermakna pada
kadar immunoglobulin terkait. Beberapa penelitian lain tidak berhasil
menemukan kompleks imun yang beredar.
f. Defisiensi Hematologi
Telah dilaporkan bahwa defisiensi yang terjadi pada vitamin B12,
asam folat dan Fe dapat ditemukan pada penderita stomatitis aftosa rekuren
hingga mencapai jumlah 20% nya. Defisiensi seperti ini sering ditemukan
pada penderita stomatitis aftosa rekuren yang lesinya baru muncul di usia
pertengahan ataupun bertambah parah sesudahnya (Sook Bin Woo dan
Greenberg, 2008).
Kondisi seperti ini bersifat laten pada sebagian besar pasien yang
ditemukan, hemoglobinnya masih dalam batas normal dan gejala utamanya
adalah mikrositosis ataupun makrositosis pada sel darah merah. Bagi
4
penderita yang memang diketahui mengalami defisiensi vitamin B12 dan
asam folat, pemberian vitamin yang bersangkutan untuk menanggulangi
defisiensi dapat meredakan lesi stomatitis aftosa rekuren yang timbul.
g. Bukan Perokok
Telah lama diketahui bahwa stomatitis aftosa rekuren terjadi terutama
pada orang yang bukan perokok. Stomatitis aftosa rekuren dapat muncul
kembali bila kebiasaan merokok dihentikan. Secara ringkas dapat dikatakan
bahwa etiologi stomatitis aftoa rekuren tetap tidak jelas. Tidak ada bukti
yang menunjukkan bahwa stomatitis aftosa rekuren adalah bentuk penyakit
autoimun. Tidak jelas juga apakah gangguan imunologi yang ditemukan
merupakan penyebab atau akibat. Pada sebagian kecil pasien ditemukan
hubungan yang jelas antara stomatitis aftosa rekuren dengan defisiensi
hematologi. Defisiensi hematologi tersebut dapat terjadi sebagai akibat dari
penyakit yang terjadi di usus halus ataupun penyebab malapsorpsi lainnya
(Regezi dkk, 2008).
5
Gb 1. Stomatitis aftosa minor
(Cawson dan Odell, 2008)
6
Ulser terjadi selama sekitar 10-14 hari dan sembuh tanpa adanya
jaringan parut (Laskaris, 2006).
7
- Bila ditemukan jaringan parut atau palatum molle ikut terlibat, maka
kondisi tersebut menunjukkan adanya sebuah stomatitis aftosa tipe
mayor
- Penyakit lain yang mempunyai bambaran khas dapat disingkirkan,
seperti: lichen planus ataupun prnyakit vesikulobulosa lainnya.
Pemeriksaan khusus
Pemeriksaan ini digunakan untuk menyingkirkan adanya kemungkinan
penyakit yang melatarbelakangi timbulnya lesi, terutama pada pasien yang
onsetnya pada lansia. Untuk itu perlu diperiksa antara lain:
- Status anemia, Fe, asam folat, vitamin B-12
- Adanya riwayat diare, konstipasi atau feces bercampur darah yang
menunjukkan adanya kelainan pada saluran pencernaan, misalnya
coeliac disease atau malabsorpsi.
2.5 Penatalaksanaan
Untuk stomatitis aftosa rekuren, penatalaksanaannya dibagi ke dalam dua
tahap:
a. Pengendalian faktor predisposisi,
Faktor predisposisi dapat diketahui dengan cara mengumpulkan
informasi tentang: faktor genetik yang kemungkinan berperan, trauma
yang terlibat, faktor hormonal yang berperan, juga kondisi stres dan
faktor imunologi. Dari faktor sistemik perlu juga diperhatikan usia
penderita, dalam usia pertengahan atau lansia. Pada lansia kemungkinan
adanya keterlibatan kondisi sistemik lebih besar bila dibandingkan pasien
di usia pertengahan. Dari faktor lokal perlu diperhatikan adanya trauma
ataupun faktor lain yang dapat mengiritasi mukosa, seperti tepi gigi,
karies ataupun tambalan yang tajam. Perlu dihindari makanan yang tajam
8
dan merangsang. Juga perlu diperhatikan untuk memperbaiki kondisi
oral hygiene (Lamey dan Lewis, 1991; Regezi dkk,2008).
Biasanya, peningkatan frekuensi lesi akan membuat pasien datang
untuk memeriksakan diri. Pada umumnya pasien terlihat sehat, tetapi
perlu pemeriksaan hematologi untuk penderita lansia (Cawson dan Odell,
2008).
b. Pengobatan simtomatik
Tujuan dari pengobatan simtomatik yang dilakukan adalah: untuk
mengurangi rasa nyeri, mempersingkat perjalanan lesi, dan
memperpanjang interval bagi kemunculan lesi.
Obat yang dapat digunakan antara lain: anestetikum (benzocaine
4% dalam borax glycerine), obat kumur antibiotika (chlorhexidine
gluconate 0,2%, larutan tetrasiklin 2%), anti inflamasi dan anti udema
(sodium hyaluronat), obat muko-adhesive dan anti inflamasi (bentuk
kumur atau gel), kortikosteroid topikal (triamcinolone in orabase).
Kortikosteroid tidak mempercepat penyembuhan lesi, tetapi dapat
mengurangi rasa sakit pada peradangan yang ada. Sedangkan pada
triamcinolone in orabase, kortikosteroid dicampur dengan media
orabase yang dapat membuatnya melekat pada mukosa mulut yang selalu
basah. Jika pengolesan obat ini dilakukan dengan tepat, maka orabase
akan menyerap cairan dan membentuk gel adesif yang dapat bertahan
melekat pada mukosa mulut selama satu jam atau lebih. Namun,
pengolesan pada erosi/ulser agak sedikit sulit untuk dilakukan. Gel yang
terjadi akan membentuk lapisan pelindung di atas ulkus, sehingga pasien
akan merasa lebih nyaman. Kortikosteroid akan dilepaskan secara
perlahan. Selain itu obat ini juga memiliki sifat anti inflamasi.
Berdasarkan percobaan yang dilakukan di Inggris dan Amerika
Serikat, obat kumur tetrasiklin secara bermakna dapat menurunkan
frekuensi dan keparahan stomatitis aftosa. Isi kapsul tetrasiklin (250 mg)
dilarutkan dalam 15 mL air matang, ditahan selama 2 – 3 menit dalam
mulut, dikumur tiga kali sehari. Pada beberapa pasien, penggunaan
9
selama 3 hari dapat meredakan stomatitis aftosa rekuren (Cawson dan
Odell, 2008).
Obat kumur chlorhexidine 0,2% juga dapat digunakan untuk
meredakan durasi dan ketidaknyamanan pada stomatitis aftosa. Cara
penggunaannya adalah tiga kali sehari sesudah makan, ditahan dalam
mulut selama minimal 1 menit. Kadang pemberian vitamin B-12 atau
asam folat sudah cukup untuk meredakan stomatitis aftosa frekuren.
c. Perawatan suportif
Untuk perawatan suportif dapat dilakukan dengan pengaturan diet,
pemberian obat kumur salin hangat dan anjuran untuk beristirahat dengan
cukup. Terapi biasanya dilakukan secara empiris dan paliatif. Namun
demikian, tidak ada satu obatpun yang dapat benar-benar menghilangkan
lesi dengan sempurna. Penderita perlu diberi tahu bahwa kelainan
tersebut tidak dapat diobati, tetapi dapat diredakan dan biasanya dapat
sembuh sendiri.
Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam pengobatan lesi
ini adalah:
- Sifat lesi ringan / parah dan lamanya berlangsung
- Ukuran lesi kecil / besar / kombinasi
- Dengan meningkatnya usia, keparahan lesi berkurang/bertambah,
frekuensi meningkat
- Tidak ada terapi definitif untuk stomatitis aftosa rekuren
- Terapi bersifat simtomatik dan berbeda untuk setiap individu.
10
BAB III
LAPORAN KASUS
keluhan terdapat luka di pipi kanan. Pasien mengatakan pipinya tergigit sehari
yang lalu ketika sedang makan dan terasa sakit terutama ketika makan makanan
11
ANAMNESIS
Keluhan utama pasien datang ke RSGM dengan keluhan terdapat luka di
pipi kanan karena tergigit. Luka tersebut timbul sehari yang lalu dan terasa
sakit terutama ketika makan makanan yang pedas dan asam.
12
3. Pemeriksaan Intra Oral
a. Mukosa labial : normal
b. Frenulum : normal
c. Lidah : normal
d. Mukosa bukal : terdapat lesi
e. Dasar mulut : normal
f. Palatum : normal
g. Gingiva : normal
h. Jaringan periodontal : normal
i. Kelenjar saliva : normal
j. Uvula : normal
k. Tonsil : normal
l. Kebersihan mulut : Plak:+, Kalkulus:+, Stain:-; baik
4. Pemeriksaan Penunjang
a. Radiologi : tidak dilakukan pemeriksaan
b. Patologi klinik : tidak dilakukan pemeriksaan
c. Patologi Anatomi : tidak dilakukan pemeriksaan
d. Mikrobiologi : tidak dilakukan pemeriksaan
e. Imunologi : tidak dilakukan pemeriksaan
R/ Becom C No. X
S1dd tab pc
13
FORMULIR PEMERIKSAAN ODONTOGRAM
NAMA LENGKAP : DITA RESTIA JENIS KELAMIN: L / P
NIK/NO. KTP : ……………………………………………… TTL: 28-08-1997
48 - - 38
47 SOU SOU 37
46 SOU SOU 36
45 [85] SOU SOU [75] 35
44 [84] SOU SOU [74] 34
43 [83] SOU SOU [73] 33
42 [82] SOU SOU [72] 32
41 [81] SOU SOU [71] 31
14
Informed Consent and Informed Refusal
Dengan ini menyatakan bahwa saya telah menerangkan hal-hal di atas secara benar
dan jujur dan memberikan kesempatan untuk bertanya dan/atau berdiskusi
Dengan ini menyatakan bahwa saya telah menerima informasi sebagaimana di
atas yang saya beri tanda/paraf di kolom kanannya, dan telah memahaminya
15
STATUS KONTROL BAGIAN ILMU PENYAKIT MULUT
Frenulum Normal
Lidah Normal
Palatum Sedang
Gingiva Normal
Jaringan Normal
periodontal
16
Normal
Uvula
Normal
Tonsil
Debris Indeks Kalkulus OHI-S
Indeks
16 11 26 16 11 26
Kebersihan 0 0 0 0 0 0 Baik
mulut 46 31 36 46 31 36
1 0 0 1 0 1 Stain --
17
BAB IV
PEMBAHASAN
SAR tipe minor dapat single atau multipel (2-6) dan biasanya mengenai
mukosa bukal, labial, dasar mulut, dan lidah. Pernyataan ini didukung oleh
penelitian Banuarea yang menyatakan bahwa mukosa bibir merupakan lokasi
terkenanya SAR yang paling sering terjadi, yaitu sebesar 42,25%, sedangkan
gingiva yang merupakan mukosa mulut yang berkeratin hanya sebesar 3,80
(Langlais, 2000). Ulser lebih sering mengenai daerah anterior rongga mulut dan
jarang mengenai faring maupun tonsil (Greenberg, 2008). Fase prodormal pada
SAR tipe minor biasanya diikuti dengan sensasi terbakar pada lokasi ulser sebelum
ulser tampak. Ukuran ulser mencapai maksimum 10 milimeter dengan ukuran rata-
rata 4-5 milimeter. Dasar ulser berwarna abu-abu kekuningan dikelilingi tepi
kemerahan dengan batas regular, sedikit meninggi, dan berbentuk oval atau bundar
(Laskaris, 2006).
Mukosa mulut yang tidak berkeratin mempunyai lapisan stratum korneum
lebih tipis dibandingkan mukosa mulut yang berkeratin, hal ini menyebabkan
mukosa mulut yang tidak berkeratin lebih rentan terhadap terjadinya SAR akibat
adanya trauma. Trauma merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya SAR
(Lubis, 2005) Pernyataan ini didukung oleh penelitian Suling, dkk yang
menyatakan bahwa truama merupakan faktor predisposisi yang paling banyak
menyebabkan terjadinya SAR, terdapat sebanyak 41 responden (91,1%) mengaku
bahwa SAR yang dialami muncul setelah mengalami trauma dalam rongga mulut.
Trauma yang paling sering dialami adalah trauma karena terbentur sikat
gigi saat menyikat gigi dan tidak sengaja tergigit bagian tertentu dari mukosa
mulut. (Causon, 2002)
18
BAB V
KESIMPULAN
pada epitelium rongga mulut yang paling sering dijumpai pada mukosa mulut
yang tidak berkeratin. Bertahan untuk beberapa hari atau minggu, bersifat ulang
kambuh dalam periode yang bervariasi dan dapat sembuh sendiri tanpa
pengobatan.
19
DAFTAR PUSTAKA
Cawson, R.A. dan Odell, E.W. 2008. Cawson’s Essentials of Oral Pathology and
Oral Medicine. Ed. ke-7. Curchill-Livingstone, Edinburgh. Hal. 220 - 224.
Cawson, RA, Odell, EW, Porter. 2002. Oral Pathology And Oral Medicine, 9th
ed. Hlm:196
Fields A, Longman L, William RT. 2004. Tyldesley’s Oral Medicine. 5th Ed. New
York: Oxford University Press. P:51-9.
Glick, M. 2015. Burket's Oral Medicine 12th ed. USA: People Medical Publishing
House.
Greenberg, MS, Glick, M., Ship, JA., 2008. Burket’s. Oral Medicine. 11th ed.
Philadelphia : BC Decker Inc Hamilton, 2008 :57-58
Ibsen, O. A., & Phelan, J. A. 2014. Oral Pathology For the Dental Hygienist
Sixth Ed. China: Elsevier Saunders.
Lamey, P.J. dan Lewis, M.A.O. 1991. Oral Medicine in Practice. BDJ Publisher,
London. Hal. 5 – 7.
Laskaris G. 2006. Pocket Atlas of Oral Disease. 2nd Ed. New York: Thieme.
Neville, B.W., Damm, D.D. dan White, D.H. 1999. Color Atlas of Clinical Ora
Pathology. Ed ke-2. Lippincott Williams & Wilkins, Philadelphia. Hal. 138
– 147, 188 – 191.
Regezi, J.A., Sciubba, J.J. dan Jordan, R.C. 2008. Oral Pathology. Clinical
Pathologic Correlations. Ed ke-5. Saunders – Elsevier, St. Louis. Hal. 35 –
39.
Sook Bin Woo dan Greenberg, M.S. 2008. Ulcerative, Vesicular and Bullous
Lesions. Dalam Burket’s Oral Medicine. M.S. Greenberg, M. Glick dan J.A.
Ship, editor. BC Decker, Hamilton. Hal. 57 – 60.
20
21