Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH

PAJAK PENGHASILAN UNTUK TRANSAKSI KHUSUS


Dalam Rangka Memenuhi Tugas Mata Kuliah Perpajakan

Dosen Pengampu:
Dr. Ruhul Fitrios, SE., M.Si., Ak, CA

Disusun Oleh :

KELOMPOK 2
Zulfahmi 2010241855
Sally Edinov 2010241890
Putri Ayu Solihat 2010241827
Amellia Jamil 2010241979

PROGRAM MAGISTER AKUNTANSI


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS RIAU
2021
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat-
Nya yang telah dilimpahkan kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah yang berjudul “Pajak Penghasilan Untuk Transaksi Khusus ” yang
merupakan salah satu tugas kelompok dari Mata Kuliah Perpajakan pada semester
dua ini.
Dalam menyelesaikan makalah ini, kami telah banyak mendapat bantuan dan
masukan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini kami ingin
menyampaikan terima kasih kepada :
1. Bapak Dr. Ruhul Fitrios, SE., M.Si., Ak. CA selaku Dosen Mata kuliah
perpajakan Universitas Riau yang telah memberikan tugas mengenai
‘Pajak Penghasilan Untuk Transaksi Khusus” ini sehingga pengetahuan
kami dalam penulisan makalah ini semakin bertambah dan bermanfaat
bagi kami dalam pembuatan makalah selanjutnya di kemudian hari.
2. Teman-teman yang telah membantu dan memberikan dorongan semangat
agar makalah ini dapat diselesaikan.
Kami menyadari bahwa penyusunan makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan, jika ada kritik dan saran yang bersifat membangun akan kami
terima dengan senang hati. Akhir kata kami berharap makalah ini dapat
bermanfaat bagi kita semua.

Pekanbaru, Maret 2021

Kelompok 2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................i


DAFTAR ISI..........................................................................................................ii
DAFTAR TABEL ...............................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
1.1 Latar Belakang.......................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah..................................................................................1
1.3 Tujuan.....................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN ......................................................................................3


2.1 Pajak Penghasilan Pasal 4 Ayat 2 ..........................................................3
2.2 Pajak Penghasilan Pasal 24 ...................................................................4
2.3 Ketentuan Khusus PPh atas transaksi/ industry tertentu........................8
2.3.1 Penghasilan modal ventura.............................................................8
2.3.2 Transaksi pasar modal....................................................................9
2.3.3 Penghasilan yang dibebankan pada keuangan negara/ daerah.......9
2.3.4 Konstruksi....................................................................................10
2.3.5 Pajak Penghasilan atas dana pensiun............................................12
2.3.6 Restrukturisasi utang....................................................................15
2.3.7 Holding Company, Merger dan Akuisisi.....................................16
2.3.8 Pelayaran, penerbangan, pengeboran...........................................17
2.3.9 Derivatif........................................................................................19
BAB III PENUTUP ............................................................................................21
3.1 Kesimpulan..........................................................................................21

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................23
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Contoh Perhitungan PPh Pasal 4 Ayat 2 .......................................................4


Tabel 2.2 Tarif PPh yang dibebankan Pada Keuangan Negara/ Daerah......................10
Tabel 2.3 Tarif PPh Usaha Jasa Kontruksi ..................................................................11
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG


Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana
diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994 untuk ketiga kalinya diubah
pada tahun 2000 dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000 yang diberlakukan per
1 Januari 2001 dan kemudian diubah lagi dengan Undang-undang Nomor 36 Tahun
2008 dan digunakan sebagai Dasar Hukum Pemungutan Pajak Penghasilan merupakan
perpaduan dari beberapa ketentuan yang sebelumnya diatur secara terpisah.
Dalam transaksi sehari-hari, biasanya Wajib Pajak berhubungan dengan pihak
pemberi jasa atau membayarkan penghasilan dari modal. Dalam hal ini Wajib Pajak
memiliki kewajiban untuk melakukan pemotongan/pemungutan pajak, menyetorkan dan
melaporkannya ke Kantor Pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Seringkali
Wajib Pajak tidak memiliki informasi lengkap mengenai pajak yang harus
dipotong/dipungut dalam kaitannya dengan transaksi yang dilakukan dengan pihak
lainnya. Akibatnya Wajib Pajak tidak melakukan pemotongan/pemungutan Pajak
Penghasilan (PPh). Konsekuensi yang harus dihadapi adalah Wajib Pajak akan
dikenakan tagihan atas pajak yang tidak/kurang dipungut/dipotong ditambah dengan
sanksi.
Dari ilustrasi singkat yang telah dipaparkan diatas maka untuk memberikan
gambaran yang jelas dan detail tentang pajak penghasilan yang harus dilakukan
pemotongan/pemungutan dalam kaitannya dengan transaksi yang dilakukan dengan
pihak lainnya maka judul yang diangkat dalam makalah ini adalah Pajak Penghasilan
untuk Transaksi Khusus.

1.2. RUMUSAN MASALAH


Dari latar belakang yang telah dipaparkan diatas, maka rumusan masalah dalam
makalah ini ialah :
1. Apakah yang dimaksud dengan pajak penghasilan pasal 4 ayat 2?
2. Apa yang dimaksud dengan pajak penghasilan pasal 24
(kredit pajak luar negeri)?
3. Bagaimana ketentuan khusus pajak penghasilan atas transaksi/ industri
tertentu?

1.3. TUJUAN
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah:
1. Untuk mengetahui tentang pajak penghasilan pasal 4 ayat 2.
2. Untuk mengetahui tentang pajak penghasilan pasal 24
(kredit pajak luar negeri).
3. Untuk mengetahui tentang bagaimana ketentuan khusus pajak penghasilan
atas transaksi atau/ industri tertentu.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. PAJAK PENGHASILAN PASAL 4 AYAT 2


Berdasarkan Pasal 4 ayat (2) UU PPh, Penghasilan berikut termasuk penghasilan
yang dikenakan PPh bersifat final:
1. penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan
surat utang negara, dan bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi
kepada anggota koperasi orang pribadi;
2. penghasilan berupa hadiah undian;
3. penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya, transaksi derivatif
yang diperdagangkan dibursa dan transaksi penjualan saham atau penagihan
penyertaan modal pada perusahaan pasangannya yang diterima oleh
perusahaan modal ventura;
4. penghasilan dari transaksi pengalihan aset berupa tanah dan/atau bangunan,
usaha jasa konstruksi, usaha real estat dan persewaan tanah/atau bangunan;
dan
5. penghasilan tertentu lainnya yang diatur dalam Peraturan Pemerintah,
Keputusan Menteri Keuangan dan Peraturan Perundang-undangan Perpajakan
lainnya.
6. Penghasilan dari kegiatan uaaha yang diterima oleh wajib pajak (orang
pribadi dan badan) yang mempunyai peredaran bruto tertentu yaitu sampai
dengan Rp. 4.800.000.000 setahun
Atas penghasilan tersebut diatas, pajak yang dibayarkan bersifat final yaitu
dikenakan pada saat terjadi transaksi dan tidak dapat diperhitungkan (menjadi kredit
pajak) pada akhir tahun.
Tarif Pajak
1. 20% dari penghasilan bruto atas bunga deposito dan tabungan yang melebihi
Rp.7.500.000
2. 25% dari jumlah bruto ata penghasilan berupa hadiah undian.
3. 0,1% dari jumlah bruto atas transaksi penjualan saham yang diterima oleh
orang pribadi dan badan di bursa efek.
4. 0,5% dari nilai jual saham atas penuuaan saham pendiri
5. 10% dari jumlah bruto atas persewaan tanah dan atau bangunan
6. 1% dari perederan bruto.

Contoh:
Pak Kelik menyimpan uang di Bank AAA dalam bentuk deposito sebesar Rp500.000.000 dengan
tingkat bunga 8% per tahun. Atas deposito tersebut, Pak Kelik menerima bunga setiap
bulannya sebesar Rp40.000.000. Maka PPh Pasal 4 ayat (2) yang dipotong Bank AAA adalah:

Tabel 2.1 Contoh Perhitungan PPh Pasal 4 Ayat 2


Pajak deposito per bulan:
= Tarif PPh Pasal 4 ayat (2) untuk deposito x bunga per bulan
= 20% x Rp40.000.000
= Rp8.000.000
Pajak deposito per tahun:
= Pajak bunga deposito per bulan x 12 bulan
= Rp8.000.000 x 12
= Rp96.000.000

2.2. PAJAK PENGHASILAN PASAL 24 (Kredit Pajak Luar Negeri)


Merupakan suatu perhitungan jumlah pajak yang telah dibayar/terutang di luar
negeri yang dapat dikreditkan (diperhitungkan) terhadap jumlah pajak yang terutang
atas penghasilan global (Penghasilan Dalam Negeri dan Luar Negeri)
Untuk itu, bagi Wajib Pajak Orang Pribadi maupun Badan, atas pajak yang
terutang/yang telah dibayar di luar negeri, dapat dikurangkan atas pajak yang terutang
secara keseluruhan dari penghasilan global.
Adapun tujuannya adalah untuk menghindari terjadinya pajak berganda. Oleh
karena itu dilakukan suatu perjanjian antar negara yang disebut dengan Perjanjian
Penghindaran Pajak Berganda (P3B). Secara unilateral, terdapat 12 prinsip P3B yaitu:
1. Dikenakan Pajak Penghasilan atas Penghasilan Kena Pajak (Penghasilan
Dalam Negeri).
2. Dilakukan penggabungan, dengan cara:
a. Penghasilan usaha pada tahun diperoleh.
b. Penghasilan lain pada tahun diterima.
c. Untuk Dividen, pada saat diperoleh, ditetapkan sesuai dengan
Keputusan Menteri Keuangan.
3. Didalam PKP, tidak termasuk rugi yang terjadi di luar negeri.
4. Pajak Penghasilan di luar negeri, dikreditkan dengan Pajak Penghasilan
di dalam negeri.
5. Saat pengkreditan dalam tahun penghasilan digabung (Dalam Negeri dan
Luar Negeri).
6. Maksimum yang diperbolehkan adalah salah satu dari 3 (tiga) jenis
kredit pajak berikut (pilih yang terkecil), yaitu:
a. terbayar di luar negeri.
b. berdasarkan rumus:
Penghasilan Netto di Luar Negeri x PPh Terutang (DN+LN)
Penghasilan Netto Global (DN+LN)
c. Sejumlah PPh terutang jika terjadi kerugian di Dalam Negeri.
7. Bila setelah penghitungan pajak, PPh di luar negeri masih lebih, maka:
a. Non carry for ward yaitu tidak boleh diperhitungkan terhadap
tahun pajak yang akan datang.
b. Non deductable yaitu tidak boleh dikurangkan sebagai biaya.
c. Non refunded yaitu tidak boleh direstitusi.

Misalnya:
Pajak yang sudah dibayar di luar negeri adalah sebesar Rp.40.000.000,
sedangkan setelah dilakukan penghitungan, Kredit Pajak Luar Negeri
(KPLN) yang diperkenankan adalah sebesar Rp.30.000.000. Kelebihan
pembayaran pajak di luar negeri sebesar Rp.10.000.000 (inilah yang
dimaksud pada point 7 diatas)
8. Prosedur pengkreditan:
a. Melampirkan laporan keuangan (Neraca dan daftar L/R)
b. Fotocopy SPT di luar negeri
c. Dokumen pembayaran pajak di luar negeri
d. Dokumen tersebut di atas dilampirkan bersamaan dengan SPT
Tahunan PPh
9. Perpanjangan jangka waktu menyampaikan SPT Tahunan adalah dengan
mengajukan permohonan ke DJP, lamanya adalah 6 (enam) bulan.
10. Melampirkan dokumen-dokumen jika terjadi koreksi SPT.
11. Jika koreksi menimbulkan Pajak Kurang Bayar (atas kemauan sendiri),
maka tidak terutang bunga.
12. Jika koreksi menimbulkan Pajak Lebih Bayar (atas kemauan sendiri),
maka dapat direstitusi.

Contoh:
Pak Agung (K/3) mempunyai data keuangan Tahun 2016 sebagai berikut:
Peredaran Bruto Rp.10.000.000.000
Rincian penghasilan Netto:
Penghasilan di Indonesia Rp.4.850.000.000
Penghasilan di Luar Negeri:
a. Jepang ¥ 40.000
b. Selandia Baru $ 60.000
Kurs pada saat itu:
a. 1 ¥ = Rp.3.500
b. 1 $ = Rp.2.500
Tarif PPh di Luar Negeri:
a. Jepang 25%
b. Selandia Baru 30%
Diminta:
Hitung KPLN (PPh Pasal 24) masing-masing negara!
Jawab:
1. Penghitungan PPh Terutang
Penghasilan di Indonesia = Rp.4.850.000.000
Penghasilan di Luar Negeri
a. Jepang = ¥ 40.000 x Rp.3.500 = Rp. 140.000.000
b. Selandia Baru = $ 60.000 x Rp.2.500 = Rp. 150.000.000 +
Penghasilan Netto Global = Rp.5.140.000.000
PTKP
WP Sendiri = Rp.54.000.000
Status Kawin = Rp.4.500.000
Tanggungan (3 orang)
= 3 x Rp.4.500.000 = Rp.13.500.000
Total PTKP (= Rp. 72.000.000)
PKP = Rp.5.068.000.000

PPh Terutang:
5% x Rp.50.000.000 = Rp. 2.500.000
15% x Rp.200.000.000 = Rp. 30.000.000
25% x Rp.250.000.000 = Rp. 62.500.000
30% x Rp.4.568.000.000 = Rp.1.370.400.000
Jumlah PPh Terutang = Rp.1.465.400.000

2. Penghitungan KPLN (PPh Pasal 24) yang diperkenankan


a. Jepang
berdasarkan rumus:
Penghasilan Netto di Jepang x PPh Terutang
Penghasilan Netto Global
= Rp.140.000.000 x Rp.1.465.400.000 = Rp.39.913.618,67
Rp.5.140.000.000
PPh yang telah dibayarkan di Jepang = 25% x Rp.140.000.000
= Rp.35.000.000
Jadi, KPLN (PPh Pasal 24) yang diperkenankan adalah sejumlah PPh yang telah
dibayarkan di Jepang yaitu sebesar Rp.35.000.000.

b. Selandia Baru
berdasarkan rumus:
Penghasilan Netto di Selandia Baru x PPh Terutang
Penghasilan Netto Global
= Rp.150.000.000 x Rp.1.465.400.000 = Rp.42.764.591,44
Rp.5.140.000.000
PPh yang telah dibayarkan di Selandia Baru
= 30% x Rp.150.000.000 = Rp.45.000.000
Jadi, KPLN (PPh Pasal 24) yang diperkenankan adalah sejumlah PPh berdasarkan
rumus yaitu sebesar Rp.42.764.591,44.

2.3. KETENTUAN KHUSUS PPh ATAS TRANSAKSI/ INDUSTRI TERTENTU


2.3.1. PENGHASILAN MODAL VENTURA
Pendiri adalah Orang Pribadi atau badan yang namanya tercatat dalam Daftar
Pemegang Saham Perseroan Terbatas atau tercantum dalam Anggaran. Dasar Perseroan
Terbatas sebelum Pernyataan Pendaftaran yang diajukan kepada Badan Pengawas Pasar
Modal (Bapepam) dalam rangka penawaran umum perdana (“initial public offering”)
menjadi efektif. Termasuk dalam pengertian pendiri adalah Orang Pribadi atau badan
yang menerima pengalihan saham dari pendiri karena:
a. warisan
b. hibah
c. cara lain yang tidak dikenakan Pajak Penghasilan pada saat pengalihan
tersebut.
Pengertian saham pendiri adalah saham yang diperoleh pendiri yang berasal dari
kapitalisasi agio yang dikeluarkan setelah penawaran umum perdana (initial public
offering); saham yang berasal dari pemecahan saham pendiri. Tidak termasuk dalam
pengertian saham pendiri adalah: saham yang diperoleh pendiri yang berasal dari
pembagian dividen dalam bentuk saham; saham yang diperoleh pendiri setelah
penawaran umum perdana (initial public offering) yang berasal dari pelaksanaan hak
pemesanan efek terlebih dahulu (right issue), waran, obligasi konversi dan efek
konversi lainnya; saham yang diperoleh pendiri perusahaan Reksa Dana. Adapun
tarifnya adalah:
1. Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Orang Pribadi atau badan
dari transaksi penjualan saham di bursa efek dikenakan Pajak
Penghasilan sebesar 0,1 % dari jumlah bruto nilai transaksi penjualan
saham;
2. Pemilik saham pendiri dikenakan tambahan Pajak Penghasilan dan
bersifat final sebesar 0,5% dari nilai saham (nilai saham perusahaan pada
saat penawaran umum perdana (“initial public offering”)
Tidak termasuk objek pajak Agio saham yang timbul dari selisih lebih antara
nilai pasar saham dan nilai nominal saham, tidak termasuk objek pajak. Bukan
pengurang penghasilan bruto. Disagio saham yang timbul dari selisih lebih antara nilai
nominal saham dan nilai pasar saham, bukan merupakan pengurang dari penghasilan
bruto.

2.3.2. TRANSAKSI PASAR MODAL


Penyertaan modal saham pada Perseroan Terbatas dalam negeri dapat dilakukan
atas nama PT atau perorangan. Apabila modal saham atas nama perorangan, maka
dividen yang diperoleh perorangan tersebut dikenakan PPh Pasal 23. Apabila modal
saham atas nama PT, Koperasi, BUMN dan BUMD maka penerimaan dividen tersebut
bukan obyek pajak, sehingga tidak dikenakan pajak, sepanjang memenuhi persyaratan
berikut ini:
1. Dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan dan
2. Bagi PT, BUMN dan BUMD yang menerima dividen:
 Kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen paling rendah
25% dari jumlah modal yang disetor.
 Mempunyai usaha aktif diluar kepemilikan saham tersebut diatas

2.3.3. PENGHASILAN YANG DIBEBANKAN PADA KEUANGAN NEGARA/


DAERAH
Penghasilan yang dibebankan pada keuangan negara/ daearah adalah
pembayaran honorarium atau imbalan yang bersumber dari APBN/ APBD untuk
pejabat PNS, Anggota TNI/ POLRI dan pensiunannya yang memperoleh honorarium.
Dasar penggenaan Pajaknya adalah dari jumlah penghasilan bruto (final). Adapun tarif
pajaknya adalah:
Tabel 2.2 Tarif Pajak Penghasilan Yang di Bebankan Pada Keuangan Negara/
Daerah
No Penerima Tarif
1 PNS golongan I dan II, anggota TNI/POLRI 0% x Penghasilan Bruto
golongan pangkat perwira Tamtama dan
Bintara dan Pensiunnya
2 PNS golongan III, anggota TNI/ POLRI 5% x Penghasilan Bruto
golongan pangkat Perwira Pertama dan
Pensiunannya
3 PNS golongan IV, anggota TNI/ POLRI 15% x Penghasilan Bruto
golongan pangkat Perwira Menengah dan
Tinggi dan Pensiunannya

Contoh:
Bendahara Dinas Pendidikan Kota XX membayarkan honorarium kepada peserta
Workshop sebagai berikut:
1. Aji Rp. 1.000.000 (Ber NPWP, Gol IV)
2. Bayu Rp. 500.000 (Ber NPWP, Gol III)
3. Ratno Rp. 500.000 ( Tidak Ber NPWP, Gol II)
4. Saskia Rp. 750.000 (Ber NPWP, Gol III)
Jawab:
1. Aji: 15% x Rp. 1.000.000 = Rp. Rp. 150.000
2. Bayu: 5% x Rp, 500.000 = Rp. 25.000
3. Ratno: Tidak di Kenakan Pajak
4. Saskia: 5% x Rp. 750.000 = Rp. 37.500
2.3.4. KONSTRUKSI
Pajak penghasilan atas usaha jasa konstruksi diatur dalam PP Nomor 51 Tahun
2008 sebagaimana telah disempurnakan dalam PP Nomor 40 Tahun 2009 dan Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 187/ PMK.03/2008. Atas penghasilan dari usaha jasa
konstruksi dikenakan pajak penghasilan yang bersifat final. Tarif PPh yang dipotong
adalah sebagai berikut:
Tabel 2. 3 Tarif PPh Usaha Jasa Konstruksi
No Jenis Konstruksi Wajib Pajak Tarif
1 Pelaksanaan Penyedia jasa yang 2%
memiliki kualifikasi usaha
kecil
2 Pelaksanaan Penyedia jasa yang tidak 4%
memiliki kualifikasi usaha
3 Pelaksanaan Penyedia jasa selain dua di
atas 3%
4 Perencanaan atau Penyedia jasa yang 4%
Pengawasan memiliki kualifikasi usaha
5 Perencanaan atau Penyedia jasa yang tidak 6%
pengawasan memiliki kualifikasi usaha

Besarnya dasar pengenaan pajak adalah


a. Jumlah pembayaran tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai, dalam hal PPh
dipotong oleh pengguna jasa.
b. Jumlah penerimaan pembayaran tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai, dalam
hal PPh disetor sendiri oleh penyedia jasa
Contoh:
Inspektorat Kabupaten telah melakukan pembangunan gedung dengan
perencana, pelaksana, dan pengawas konstruksi masing – masing adalah Burhan,
PT.Bangun Indah, dan CV.Pratama. Nilai perencanaan, dan pengawasan konstruksi
masing–masing Rp. 66.000.000, Rp. 770.000.000, dan Rp. 55.000.000. Nilai
pembayaran termasuk PPN 10%. Atas Pembayaran imbalan jasa tersebut Bendahara
Inspektorat memotong PPh Final sebagai berikut.
Jawab:
1. Burhan (Perencanaan Konstruksi)
Dasar pengenaan pajak:
= 100/110 x Rp. 66.000.000 = Rp. 60.000.000
PPh Dipotong:
= 4% x Rp 60.000.000 = Rp. 2.400.000
2. PT. Bangun Indah (Pelaksanaan Konstruksi)
Dasar Pengenaan Pajak:
100/110 x Rp. 770.000.000 = Rp. 700.000.000
PPh Dipotong:
=2% x Rp. 700.000.000 = Rp.14.000.000

3. CV Pratama (Pengawasan Konstruksi)


Dasar Pengenaan Pajak:
=100/110 x Rp. 55.000.000 = Rp. 50.000.000
PPh Dipotong
= 4% x Rp. 50.000.000 = Rp. 2.000.000

2.3.5. PAJAK PENGHASILAN ATAS DANA PENSIUN


Ada tiga pertimbangan dalam pengenaan Pajak Penghasilan Bagi Para Pejabat
Negara, Pegawai Negeri Sipil, Anggota Tentara Nasional Indonesia dan Para Pensiunan
Atas Penghasilan yang dibebankan kepada Keuangan Negara atau Keuangan Daerah
yaitu:
1. Penghasilan berupa gaji dan penghasilan lain yang dibebankan kepada
Keuangan Negara atau Keuangan Daerah adalah Obyek Pajak Penghasilan
2. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan dalam bentuk natura
atau kenikmatan dari pemberi kerja yang Wajib Pajak atau dari Pemerintah tidak
termasuk obyek pajak dan
3. Bahwa memperhatikan ketentuan tingkat penggajian atau uang pensiun yang
berlaku dan untuk memberikan kemudahan pemotongan pajak oleh Bendahara
Pemerintah dikeluarkan Peraturan Pemerintah yang mengatur hal tersebut.
Pengaturan lebih lanjut dari ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Pemerintah
diberikan oleh Keputusan Menteri Keuangan tentang Pengenaan PPh Bagi
Pejabat Negara, Pegawai Negeri Sipil, Anggota Tentara Nasional Indonesia dan
Para Pensiunan Atas Penghasilan yang dibebankan kepada Keuangan Negara
atau Keuangan Daerah yang mengatur hal-hal sebagai berikut:
a) Penghasilan Pejabat Negara, Pegawai Negeri Sipil, Anggota Tentara
Nasional Indonesia dan Pensiunan termasuk janda atau duda dan/atau
anak-anaknya berupa gaji kehormatan, gaji atau uang pensiun dan
tunjangan yang terkait dengan gaji kehormatan, gaji atau uang pensiun
yang dibebankan kepada Keuangan Negara atau Keuangan Daerah
terhutang Pajak Penghasilan Pasal 21 dan ditanggung pemerintah.
b)Tunjangan yang terkait dengan gaji kehormatan, gaji atau uang pensiun
sebagaimana diuraikan pada huruf a adalah tunjangan yang sifatnya tetap
yang diberikan kepada Pejabat Negara, Pegawai Negeri Sipil, Anggota
Tentara Nasional Indonesia dan Pensiunan sesuai dengan ketentuan yang
berlaku bagi Pejabat Negara, Anggota Tentara Nasional Indonesia dan
Pensiunan termasuk:
a. Tunjangan keluarga
b. Tunjangan jabatan struktural dan fungsional
c. Tunjangan pangan
d. Tunjangan khusus termasuk tunjangan khusus Papua, tunjangan
khusus daerah Timur dan tunjangan khusus lainnya
c) Bendahara Pemerintah, Pemegang Kas Tentara Nasional Indonesia dan
PT. Taspen yang membayarkan gaji kehormatan, gaji dan uang pensiun
dan tunjangan lain yang terkait dengan gaji atau uang pensiun wajib
menghitung besarnya Pajak Penghasilan Pasal 21 yang terhutang dan
ditanggung pemerintah sesuai dengan Ketentuan Undang-Undang PPh
dengan menerapkan Tarif Pasal 17 Undang-undang tersebut dan
mencantumkan dalam daftar gaji, atau daftar pembayaran pensiun atau
daftar pembayaran lainnya yang berkaitan dengan pemberian imbalan
kepada pegawai.
d)Bendahara Pemerintah, Pemegang Kas Tentara Nasional Indonesia dan
PT. Taspen yang membayarkan penghasilan berupa honorarium, uang
sidang, uang makan, uang lembur, tunjangan kinerja, dan imbalan lain
selain penghasilan yang dimaksud pada huruf c kepada Pejabat Negara,
Pegawai Negeri Sipil, Anggota Tentara Nasional Indonesia dan
Pensiunan wajib memotong Pajak Penghasilan Pasal 21 sebesar 15%
(lima belas persen) dari jumlah bruto penghasilan tersebut, kecuali yang
dibayarkan kepada Pegawai Negeri Sipil golongan II/d ke bawah dan
Anggota Tentara Nasional Indonesia berpangkat Pembantu Letnan Satu
ke bawah.
e) Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 21 sebagaimana dimaksud pada huruf
d wajib memberikan Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21
kepada penerima penghasilan tersebut.
f) Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 sebagaimana dimaksud pada
huruf d bersifat final
g)Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara wajib memotong Pajak
Penghasilan Pasal 21 yang ditanggung pemerintah yang dihitung
tercantum dalam daftar gaji, atau daftar pembayaran pensiun, atau daftar
pembayaran lain yang berkaitan dengan imbalan yang diberikan kepada
pegawa yang diajukan oleh Bendahara Pemerintah, Bendahara
PT.Taspen dan Bendahara Tentara Nasional Indonesia dan
memindahbukukannya sebagai penerimaan Pajak Penghasilan Pasal 21.
h)Bendahara Pemerintah wajib menyetorkan Pajak Penghasilan Pasal 21
yang telah dipotong sebagaimana dimaksud dalam huruf d ke bank
persepsi atau Kantor Pos dengan mempergunakan Surat Setoran Pajak
(SSP).
i) Pemegang Kas Tentara Nasional Indonesia wajib:
a. Menyetorkan Pajak Penghasilan Pasal 21 yang terhutang dan
ditanggung pemerintah sebagaimana dimaksud diatas ke bank
persepsi atau Kantor Pos dengan menggunakan Surat Setoran
Pajak (SSP)
b. Menyetorkan Pajak Penghasilan Pasal 21 yang telah dipotong
sebagaimana dimaksud diatas ke bank persepsi atau Kantor Pos,
dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP)
j) Penyetoran Pajak Penghasilan Pasal 21 sebagaimana dimaksud pada
huruf h dan huruf i dilakukan paling lambat tanggal 10 (sepuluh) bulan
berikutnya setelah dilakukannya pemotongan pajak.
k)Bendahara Pemerintah, Pemegang Kas Tentara Nasional Indonesia dan
PT. Taspen wajib melaporkan Pajak Penghasilan Pasal 21 yang telah
dipotong dan disetor kepada Kantor Pelayanan Pajak, paling lambat
tanggal 20 (dua puluh) bulan takwin berikutnya setelah bulan
dilakukannya pemotongan pajak.
l) Apabila Pejabat Negara, Pegawai Negeri Sipil, Anggota Tentara
Nasional Indonesia dan Pensiunan termasuk janda atau duda dan/atau
anak-anaknya menerima atau memperoleh penghasilan lain selain
penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah maka
penghasilan lain tersebut digabungkan dengan penghasilan berupa
penghasilan gaji kehormatan atau gaji atau uang pensiun dan tunjangan-
tunjangan tetap lainnya yang terkait dengan gaji atau uang pensiun dalam
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan.
m)Penghasilan berupa honorarium, uang pesangon, uang sidang dan uang
makan yang telah dikenakan PPh final tidak digabungkan dengan
penghasilan lainnya dalam menghitung Penghasilan Kena Pajak.
n) Pajak Penghasilan Pasal 21 yang ditanggung pemerintah dapat
dkreditkan dengan Pajak Penghasilan yang terhutang atas seluruh
penghasilan yang telah dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Pajak
Penghasilan Tahunan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada
huruf l.
o) Pajak Penghasilan Pasal 21 atas honorarium, uang pesangon, uang sidang
dan uang makan yang telah dipotong Bendahara Pemerintah sebesar 15%
(lima belas persen) tidak dapat dikreditkan dengan pajak yang terhutang
atas seluruh penghasilan.

2.3.6. RESTRUKTURISASI UTANG


Krisis ekonomi dan moneter yang terjadi sejak tahun 1997 telah menimbulkan
dampak negatif yang luas terhadap sektor perbankan, usaha investasi, kesempatan kerja
dan makro ekonomi. Hal ini dapat terjadi karena banyaknya utang luar negeri dan dalam
negeri (valuta asing) mengalami kenaikan sebagai akibat terdepresiasinya secara
signifikan nilai rupiah terhadap mata uang asing (Dolar Amerika Serikat). Dalam rangka
pemulihan kegiatan perekonomian nasional pemerintah perlu menempuh kebijaksanaan
khusus restrukturisasi utang dalam bentuk:
1. Pembebasan sebagian atau seluruh utang,
2. Pengalihan harta untuk penyelesaian utang, dan
3. Perubahan utang menjadi penyertaan modal.
Restrukturisasi utang ini diharapkan dapat mempercepat pemulihan ekonomi
sehingga perlu didorong dengan pemberian fasilitas perpajakan yang sifatnya terbatas
baik jenis maupun jangka waktunya. Dengan harapan pula fasilitas tersebut dapat
dimanfaatkan oleh mereka yang benar-benar berhak, terarah dan terkendali sesuai
dengan maksud dan tujuannya. Fasilitas hanya diberikan terhadap restrukturisasi utang
yang dilakukan melalui lembaga khusus yang dibentuk pemerintah yaitu Satuan Tugas
Prakarsa Jakarta. Fasilitas pajak yang diberikan masa berlakunya terbatas hanya Tahun
Pajak 2000, 2001, 2002 berupa keringanan Pajak Penghasilan dalam bentuk:
1. Pembebasan sebagian serta pengangsuran Pembayaran Pajak Penghasilan yang
terutang atas Pembebasan Utang yang diberikan oleh kreditur.
2. Pembebasan Pajak Penghasilan yang terutang atas Pengalihan harta kepada
kreditur untuk penyelesaian utanh sepanjang harta tersebut dinilai sebesar nilai
buku pihak yang mengalihkan.
3. Pembebasan Pajak Penghasilan yang terutang atas Perubahan Utang menjadi
penyertaan modal sepanjang penyertaan modal dinilai sebesar utang.

2.3.7. HOLDING COMPANY, MERGER, DAN AKUISISI


Pembebanan kerugian selisih kurs Tahun 1997 bagi Wajib Pajak Holding
Company, Merger dan Akuisisi sesuai dengan Surat Edaran No. 27/Pj.42/1998 tanggal
25 Agustus 1998, terhadap Wajib Pajak yang akan melakukan holding company, merger
dan akuisisi (penggabungan, peleburan dan pemekaran usaha) pada tahun 1998 dan
seterusnya sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan No. 422/KMK.04/1998 tanggal
9 September 1998 atas sisa kerugian yang belum dikompensasikan sampai akhir Tahun
1997, tidak diperbolehkan untuk mengalihkan sisa kerugian kepada PT (badan baru)
hasil penggabungan, peleburan dan pemekaran usaha. Sedangkan Wajib Pajak yang
memilih mengalokasikan kerugian setelah selisih kurs yang diderita dalam jangka waktu
5 (lima) tahun sejak Tahun 1997 secara taat asas, ternyata Wajib Pajak akan melakukan
penggabungan, peleburan dan pemekaran usaha pada Tahun 1998 dan seterusnya, maka:
1. Sisa kerugian yang belum dikompensasikan Tahun 1997 dan
2. Kerugian selisih kurs Tahun 1997 yang belum dibebankan (pembebanan
baru dilakukan pada Tahun 1998 dan seterusnya) sampai dengan akhir
periode amortisasi
Tidak boleh dialihkan dalam rangka merger dimaksud. Tentu saja pengaturan
dalam Surat Edaran ini hanya dapat dipergunakan oleh Wajib Pajak yang
menyelenggarakan pembukuan.

2.3.8. PELAYARAN, PENERBANGAN


PPh atas Pelayaran Dalam Negeri
1. Wajib Pajak Perusahaan Pelayaran Dalam Negeri adalah orang yang bertempat
tinggal atau badan yang didirikan dan berkedudukan di Indonesia yang
melakukan usaha pelayaran dengan kapal yang didaftarkan baik di Indonesia
maupun di luar negeri atau dengan kapal pihak lain.
2. Wajib Pajak perusahaan pelayarandalam negeri dikenakan Pajak Penghasilan
atas seluruh penghasilan yang diterima atau diperolehnya baik dari Indonesia
maupun dari luar Indonesia. Oleh karena itu penghasilan yang menjadi Objek
pengenaan PPh meliputi penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak
dari pengangkutan orang dan/atau barang, termasuk penghasilan penyewaan
kapal yang dilakukan dari :
- pelabuhan di Indonesia ke pelabuhan lainnya di Indonesia;
- pelabuhan di Indonesia ke pelabuhan di luar Indonesia;
- pelabuhan di luar Indonesia ke pelabuhan di Indonesia; dan
- pelabuhan di luar Indonesia ke pelabuhan lainnya di luar Indonesia.
3. Norma penghitungan khusus penghasilan neto adalah 4% dari peredaran bruto.
Besarnya PPh yang terutang adalah 1,2% dari peredaran bruto dan bersifat final.
Peredaran bruto adalah semua imbalan atau nilai pengganti berupa uang
atau nilai uang yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak perusahaan pelayaran
dalam negeri dari pengangkutan orang dan/atau barang yang dimuat dari satu
pelabuhan ke pelabuhan lain di Indonesia dan/atau dari pelabuhan di Indonesia
ke pelabuhan luar negeri dan/atau sebaliknya.
4. Pelunasan PPh terutang
- Dalam hal penghasilan diperoleh berdasarkan perjanjian persewaan atau
charter dengan pemotong pajak, pemotongan pajak dilakukan saat
pembayaran atau terutangnya imbalan atau nilai pengganti.
- Dalam hal penghasilan diperoleh selain dimaksud di atas, maka Wajib pajak
wajib menyetor PPh yang terutang ke bank persepsi atau Kantor Pos dan Giro
selambat-lambatnya tanggal 15 bulan berikut setelah bulan diterima atau
diperolehnya penghasilan, dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP)
Final; melaporkan penyetoran yang dilakukan ke Kantor Pelayanan Pajak
selambat-lambatnya tanggal 20 bulan berikutnya.

PPh atas Penerbangan Dalam Negeri


1. Wajib Pajak perusahaan penerbangan dalam negeri adalah perusahaan
penerbangan yang bertempat kedudukan di Indonesia yang memperoleh
penghasilan berdasarkan perjanjian charter.
2. Peredaran bruto bagi Wajib Pajak perusahaan penerbangan dalam negeri adalah
semua imbalan atau nilai pengganti berupa uang atau nilai uang yang diterima
atau diperoleh Wajib Pajak berdasarkan perjanjian charter dari pengangkutan
orang dan/atau barang yang dimuat dari satu pelabuhan ke pelabuhan lain di
Indonesia dan/atau dari pelabuhan di Indonesia ke pelabuhan di luar negeri.
3. Penghasilan neto ditetapkan sebesar 6% dari peredaran bruto
4. Besarnya Pajak Penghasilan atas penghasilan dari pengangkutan orang dan/atau
barang bagi Wajib Pajak adalah sebesar 1,8% dari peredaran bruto
5. Pembayaran Pajak Penghasilan merupakan kredit pajak yang dapat
diperhitungkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan.
6. Pemotongan dilakukan oleh pencharter sepanjang pencharter tersebut adalah
badan pemerintah, Subjek Pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan,
bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya.
7. Pemotongan dilakukan pada saat pembayaran atau saat terutangnya imbalan atau
nilai pengganti.

PPh atas Pelayaran/Penerbangan Luar Negeri


1. Wajib Pajak perusahaan pelayaran dan/atau penerbangan yang
bertempat kedudukan di luar negeri yang melakukan usaha melalui
Bentuk Usaha Tetap (BUT) di Indonesia.
2. Peredaran bruto Wajib Pajak perusahaan pelayaran dan/atau
penerbangan luar negeri adalah semua nilai pengganti atau imbalan
berupa uang atau nilai uang dari pengangkutan orang dan/atau barang
yang dimuat dari suatu pelabuhan ke pelabuhan lain di Indonesia dan/
atau dari pelabuhan di Indonesia ke Pelabuhan di luar negeri. Dengan
demikian tidak termasuk penggantian atau imbalan yang diterima atau
diperoleh perusahaan pelayaran dan/atau penerbangan luar negeri
tersebut dari pengangkutan orang dan/atau barang dari pelabuhan di luar
negeri ke pelabuhan di Indonesia.
3. Besarnya Norma Penghasilan Neto adalah sebesar 6% dari peredaran
bruto. Besarnya PPh yang wajib dilunasi Wajib Pajak perusahaan
pelayaran dan/atau penerbangan luar negeri adalah sebesar 2,64 dari
peredaran bruto dan bersifat final.
4. Pelunasan atau pembayaran PPh
a. Dalam hal penghasilan diperoleh berdasarkan perjanjian/charter,
maka pihak yang membayar atau pihak yang mencharter wajib
memotong PPh yang terutang pada saat pembayaran atau terutangnya
imbalan/nilai pengganti;
b. Dalam hal penghasilan diperoleh selain berdasarkan perjanjian
charter, maka Wajib Pajak Perusahaan Pelayaran dan/atau
Penerbangan luar negeri wajib menyetor PPh terutang ke bank
persepsi atau Kantor Pos dan Giro selambat-lambatnya tanggal 15
bulan berikut setelah bulan diterima atau diperolehnya penghasilan
dan melaporkan penyetoran yang dilakukan ke Kantor Pelayanan
Pajak selambat- lambatnya tanggal 20 bulan berikutnya.

2.3.9. DERIVATIF
Pengenaan pajak penghasilan atas penghasilan derivative berupa kontrak
berjangka yang diperdagangkan di bursa diatur dalam PP Nomor 17 Tahun 2009. Atas
Penghasilan yang diterima dan/atau diperoleh orang pribadi atau badan dari transaksi
derivative berupa kontrak berjangka yang diperdagangkan di bursa dikenai pajak
penghasilan yeng bersifat final sebesar 2,5% dari margin awal.
PPh (Final) = 2,5% x Margin Awal
BAB III
PENUTUP

1.1 KESIMPULAN
Berdasarkan Pasal 4 ayat (2) UU PPh, Penghasilan berikut termasuk penghasilan
yang dikenakan PPh bersifat final: penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan
lainnya, bunga obligasi dan surat utang negara, dan bunga simpanan yang dibayarkan
oleh koperasi kepada anggota koperasi orang pribadi; penghasilan berupa hadiah
undian; penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya, transaksi derivatif yang
diperdagangkan dibursa dan transaksi penjualan saham atau penagihan penyertaan
modal pada perusahaan pasangannya yang diterima oleh perusahaan modal ventura;
penghasilan dari transaksi pengalihan aset berupa tanah dan/atau bangunan, usaha jasa
konstruksi, usaha real estat dan persewaan tanah/atau bangunan; dan penghasilan
tertentu lainnya yang diatur dalam Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri Keuangan
dan Peraturan Perundang-undangan Perpajakan lainnya. Penghasilan dari kegiatan
uaaha yang diterima oleh wajib pajak (orang pribadi dan badan) yang mempunyai
peredaran bruto tertentu yaitu sampai dengan Rp. 4.800.000.000 setahun. Atas
penghasilan tersebut diatas, pajak yang dibayarkan bersifat final yaitu dikenakan pada
saat terjadi transaksi dan tidak dapat diperhitungkan (menjadi kredit pajak) pada akhir
tahun.
Pajak Pneghasilan Pasal 24 merupakan suatu perhitungan jumlah pajak yang
telah dibayar/terutang di luar negeri yang dapat dikreditkan (diperhitungkan) terhadap
jumlah pajak yang terutang atas penghasilan global (Penghasilan Dalam Negeri dan
Luar Negeri). Untuk itu, bagi Wajib Pajak Orang Pribadi maupun Badan, atas pajak
yang terutang/yang telah dibayar di luar negeri, dapat dikurangkan atas pajak yang
terutang secara keseluruhan dari penghasilan global. Adapun tujuannya adalah untuk
menghindari terjadinya pajak berganda. Oleh karena itu dilakukan suatu perjanjian antar
negara yang disebut dengan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B).
Pajak Penghasilan untuk Transaksi Khusus terdiri dari:
 Penghasilan Modal Ventura
 Transaksi Pasal Modal
 Penghasilan yang dibebankan pada keuangan negara/daerah
 Konstruksi
 Pajak Penghasilan atas Dana Pensiun
 Restrukturisasi Utang
 Holding Company, Merger dan Akuisisi
 Pelayaran, Penerbangan
 Derivatif
Wajib Pajak memiliki kewajiban untuk melakukan pemotongan/pemungutan
pajak, menyetorkan dan melaporkannya ke Kantor Pajak sesuai dengan ketentuan yang
berlaku dalam kaitannya dengan transaksi yang dilakukan dengan pihak lain.
Wajib Pajak yang tidak melakukan pemotongan/pemungutan Pajak Penghasilan
(PPh) akan dikenakan tagihan atas pajak yang tidak/kurang dipungut/dipotong ditambah
dengan sanksi.
DAFTAR PUSTAKA

Resmi, Siti. 2019. Perpajakan Teori & Kasus Edisi 11 Buku 1. Yogyakarta:

Salemba Empat

UU No 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Keja

Waluyo. 2005. Perpajakan Indonesia Edisi 5 Buku 1. Jakarta: Salemba Empat

www.pajak.go.id/

www.ortax.co.id/

Anda mungkin juga menyukai