Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH

REKONSILIASI FISKAL
Dalam Rangka Memenuhi Tugas Mata Kuliah Perpajakan

Dosen Pengampu:
Dr. Ruhul Fitrios, SE., M.Si., Ak, CA

Disusun Oleh :

KELOMPOK 2
Zulfahmi 2010241855
Sally Edinov 2010241890
Putri Ayu Solihat 2010241827
Amellia Jamil 2010241979

PROGRAM MAGISTER AKUNTANSI


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS RIAU
2021
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat-
Nya yang telah dilimpahkan kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah yang berjudul “Rekonsiliasi Fiskal” yang merupakan salah satu tugas
kelompok dari Mata Kuliah Perpajakan pada semester dua ini.
Dalam menyelesaikan makalah ini, kami telah banyak mendapat bantuan dan
masukan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini kami ingin
menyampaikan terima kasih kepada :
1. Bapak Dr. Ruhul Fitrios, SE., M.Si., Ak. CA selaku Dosen Mata kuliah
perpajakan Universitas Riau yang telah memberikan tugas mengenai
‘Rekonsiliasi Fiskal” ini sehingga pengetahuan kami dalam penulisan
makalah ini semakin bertambah dan bermanfaat bagi kami dalam
pembuatan makalah selanjutnya di kemudian hari.
2. Teman-teman yang telah membantu dan memberikan dorongan semangat
agar makalah ini dapat diselesaikan.
Kami menyadari bahwa penyusunan makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan, jika ada kritik dan saran yang bersifat membangun akan kami
terima dengan senang hati. Akhir kata kami berharap makalah ini dapat
bermanfaat bagi kita semua.

Pekanbaru, Maret 2021

Kelompok 2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................i


DAFTAR ISI..........................................................................................................ii
DAFTAR TABEL ...............................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
1.1 Latar Belakang.......................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah..................................................................................2
1.3 Tujuan.....................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................


2.1 Rekonsiliasi Laba Komersial Dengan Laba Fiskal..................................
2.2 Beda Permanen Dan Temporer................................................................
2.3 Perhitunngan Pajak Terhutang.................................................................
2.4 Kredit Pajak..............................................................................................
2.5 Pajak Akhir Tahun....................................................................................

BAB III PENUTUP ................................................................................................


3.1 Kesimpulan..........................................................................................

DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).................................................


Tabel 2.2 Tarif Pemotongan PPh Untuk WP Orang Pribadi.................................
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. PENDAHULUAN
Laba/ rugi yang diperoleh dari laporan keuangan merupakan laporan laba/
rugi yang didasarkan pada perhitungan menurut SAK – ETAP. Sedangkan untuk
menghitung besarnya PPh, didasarkan pada laba fiskal yang diperoleh dari
perhitungan menurut peraturan perpajakan. Untuk mendapatkan besarnya laba
fiskal, maka WP haruslah melakukan proses rekonsiliasi fiskal. Konsep laba
pajak (tax income) berbeda dengan laba seperti yang selama ini kita kenal, yang
sering disebut laba komersial (commercial income), atau laba akuntansi
(accounting income). Dengan kata lain terdapat kemungkinan bahwa laba pajak
berbeda dengan laba akuntansi. Perbedaan disebabkan oleh perbedaan konsep,
cara pengukuran serta pengakuan pendapatan dan biaya. Laba pajak dihitung
dengan menggunakan konsep, cara pengukuran dan pengakuan menurut
ketentuan perpajakan. Laba akuntansi sebaliknya, dihitung dengan menggunakan
prinsip-prinsip akuntansi. Antara ketentuan perpajakan dengan prinsip-prinsip
akuntansi yang lazim kadang-kadang terdapat perbedaan. Beberapa perbedaan
dalam konsep, cara pengukuran dan pengakuan antara perpajakan dengan prinsip
akuntansi sebagai berikut:
 Perbedaan konsep pendapatan
Ada kalanya terdapat perbedaan konsep tentang apa yang dianggap sebagai
pendapatan menurut pajak dengan pendapatan menurut akuntansi. Misalnya
dividen yang diterima dari suatu perusahaan tertentu. Dari segi akuntansi
dividen ini merupakan pendapatan tetapi untuk tujuan pajak, mungkin bukan
merupakan penghasilan. Keadaan itu akan mengakibatkan berbedanya laba
akuntansi dengan laba pajak. Hal sebaliknya dapat pula terjadi. Suatu
pendapatan tidak diakui dari segi akuntansi tetapi dari segi perpajakan, oleh
pajak dianggap sebagai penghasilan.
 Perbedaan dari pengukuran pendapatan
Cara pengukuran pendapatan untuk pajak pada umumnya tidak berbeda
dengan pengukuran pendapatan untuk akuntansi. Pendapatan pada umumnya
diukur sebesar jumlah yang dibebankan kepada pembeli. Namun, dalam hal
antara penjual dan pembeli terdapat hubungan istimewa, maka jumlah
tersebut mungkin tidak wajar. Misalnya, jumlah itu terlalu besar atau terlalu
kecil dibandingkan dengan harga normal apabila kedua perusahaan tidak
mempunyai hubungan istimewa. Dalam hal demikian, pihak pajak dapat
mengoreksi jumlah yang dibebankan kepada pembeli ini kearah jumlah yang
wajar. Dengan kata lain, terdapat kemungkinan perbedaan cara pengukuran
pendapatan antara pajak dengan akuntansi. Contoh perusahaan yang
dianggap mempunyai hubungan istimewa adalah perusahaan induk dan
perusahaan anak.
 Perbedaan pengakuan pendapatan
Prinsip Akuntansi Indonesia telah mencantumkan beberapa kriteria tentang
kapan suatu pendapatan dapat diakui. Ketentuan perpajakan pada umumnya
menganut cara yang sama dengan apa yang terdapat dalam Prinsip Akuntansi
Indonesia. Namun, dalam keadaan tertentu, saat pengakuan pendapatan
menurut pajak mungkin berbeda dengan saat pengakuan menurut akuntansi.
Misalnya, keuntungan dari penjualan aktiva tetap. Menurut akuntansi,
keuntungan ini harus diakui sebagai pendapatan pada saat terjadinya
penjualan. Untuk tujuan pajak, dari penjualan aktiva tetap tidak boleh diakui
sekaligus pada saat terjadinya penjualan. Keuntungan tadi harus diakui
secara bertahap, dalam beberapa tahun, melalui pengurangan terhadap biaya
penyusutan.
 Perbedaan konsep biaya
Menurut Prinsip Akuntansi Indonesia, biaya diartikan sebagai pengorbanan
ekonomis yang diperlukan untuk:
a. memperoleh barang dan jasa
b. yang telah dimanfaatkan untuk menghasilkan pendapatan dalam suatu
periode atau
c. yang sudah tidak memberikan manfaat ekonomis untuk kegiatan
masa berikutnya.
Dalam artian ini, semua pengorbanan ekonomis yang dilakukan dalam
rangka memperoleh pendapatan dapat dibebankan sebagai biaya. Konsep
biaya untuk tujuan pajak telah dengan tegas disebutkan, yaitu terbatas pada
biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan. Oleh sebab
itu, terdapat kemungkinan bahwa suatu jenis biaya yang menurut akuntansi
layak dibebankan sebagai biaya menjadi tidak layak untuk tujuan pajak.
Contohnya adalah sumbangan. Bagi perusahaan, sumbangan yang diberikan
merupakan biaya. Tetapi, untuk tujuan pajak, sumbangan tidak boleh
dibebankan sebagai biaya.
 Perbedaan cara pengukuran dan pengakuan biaya
Seperti halnya pendapatan, pengukuran biaya untuk pajak pada umumnya
tidak berbeda dengan Prinsip Akuntansi Indonesia, yaitu sebesar harga
pertukaran. Tetapi apabila diantara pihak yang melakukan transaksi terdapat
hubungan istimewa, maka pihak pajak dapat menetapkan kembali harga
pertukaran yang terjadi. Sebab transaksi antara pihak yang berhubungan
istimewa tersebut dapat diatur yang merugikan pihak pajak. Misalnya, harga
pertukaran dinyatakan terlalu tinggi dibandingkan dengan normal.
Perbedaan-perbedaan yang telah disebutkan diatas itulah yang menyebabkan
bahwa untuk menghitung Pajak Penghasilan tidak bisa berdasarkan laba
akuntansi komersial, karena terdapat perbedaan prinsip pengakuan pendapatan
dan beban. Dalam hal Wajib Pajak tidak perlu membuat dua pembukuan. Dalam
menentukan pendapatan dan biaya antara SAK dan UU PPh, ada persamaan dan
ada perbedaan. Perbedaan dilakukan koreksi fiskal atau rekonsiliasi laporan
keuangan fiskal yang biasa disebut dengan istilah rekonsiliasi fiskal. Sehingga
laba akuntansi, bisa dijadikan sebagai dasar perhitungan pajak yang terhutang.
Koreksi ini dilakukan dengan maksud menyesuaikan laba akuntansi dengan
ketentuan-ketentuan perpajakan. Koreksi fiskal dapat positif atau negatif. Koreksi
fiskal positif adalah koreksi-koreksi yang akan menambah laba pajak sedangkan
koreksi fiskal negatif mengurangi laba pajak.
1.2. RUMUSAN MASALAH
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah:
1. Apakah yang dimaksud dengan rekonsiliasi laba komersial dan laba
fiskal?
2. Apakah perbedaan antara permanen dan temporer?
3. Bagaimanakah cara perhitungan pajak terhutang?
4. Apakah yang dimaksud dengan kredit pajak?
5. Apakah yang dimaksud dengan pajak akhir tahun?

1.3. TUJUAN
1. Untuk mengetahui maksud dari rekonsiliasi laba komersial dan laba
fiskal.
2. Untuk mengetahui perbedaan antara permanen dan temporer.
3. Untuk mengetahui tentang cara perhitungan pajak terhutang.
4. Untuk mengetahui maksud dari kredit pajak.
5. Untuk mengetahui maksud dari pajak akhir tahun.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. REKONSILIASI LABA KOMERSIAL DENGAN LABA FISKAL


Rekonsiliasi fiskal adalah proses penyesuian atas laba akuntansi yang
berbeda dengan ketentuan fiskal untuk menghasilkan penghasilan neto atau laba
yang sesuai dengan ketentuan perpajakan. Dengan melakukan proses rekonsiliasi
fiskal ini maka wajb pajak (WP) tidak perlu membuat pembukuan ganda,
melainkan cukup membuat satu pembukuan yang didasarkan SAK-ETAP.
Setelah dibuatkan rekonsiliasi fiskal untuk mendapatkan laba fiskal Penghasilan
Kena Pajak yang akan digunakan sebagai dasar perhitungan PPh. Koreksi fiskal
tersebut dapat dibedakan antara beda tetap dan beda waktu. Perbedaan–perbedaan
antara akuntansi dan fiskal tersebut dapat dkelompokkan menjadi beda tetap/
beda permanen dan beda waktu/sementara.
Rekonsiliasi fiskal dilakukan oleh wajib pajak yang pembukuannya
menggunakan pendekatan akuntansi komersial, yang bertujuan untuk mengisi
SPT Tahunan PPh dan menyusun laporan keuangan fiskal yang harus
dilampirkan pada saat menyampaikan SPT Tahunan PPh.
Koreksi fiskal dapat berupa koreksi positif dan negatif. Koreksi positif
terjadi apabila laba menuurt fiskal bertambah. Koreksi positif biasanya dilakukan
akibat adanya sebagai berikut:
1. Beban yang tidak diakui oleh pajak/ non-deductible expense
(Pasal 9 Ayat 1 UU PPh)
2. Penyusutan komersial lebih besar dari penyusutan fiskal.
3. Amortisasi komersial lebih besar dari anortisasi fiskal.
4. Penyesuian fiskal positif lainnya.
Koreksi negatif terjadi apabila laba menurut fiskal berkurang. Koreksi
negatif biasanya dilakukan akibat adanya hal–hal berikut:
1. Penghasilan yang tidak kena termasuk objek pajak
(Pasal 4 ayat 3 UU PPh)
2. Penghasilan yang dikenakan PPh bersifat final (Pasal 4 ayat 2 UU PPh).
3. Penyusutan komersial lebih kecil daripada penyusutan fiskal.
4. Penghasilan yang ditangguhkan pengakuannya.
5. Penyesuian fiskal negatif lainnya.
2.2. BEDA PERMANEN DAN TEMPORER
Beda permanen terjadi karena adanya perbedaan pengakuan penghasilan
dan beban menurut akuntansi dengan fiskal, yaitu adanya penghasilan dan beban
yang diakui menrut akuntansi namun tidak diakui menurut fiskal, ataupun
sebaliknya. Beda tetap mengakibatkan laba atau rugi menurut akuntansi (laba
sebelum pajak/ pre-tax income) yang berbeda secara tetap dengan laba menurut
fiskal penghasilan kena pajak. Beda permanen biasanya terjadi karena peraturan
perpajakan mengharuskan hal–hal berikut dikeluarkan dari perhitungan
penghasilan kena pajak.
1. Penghasilan yang telah dikenakan PPh bersifat final
(Pasal 4 ayat 2 UU PPh).
2. Penghasilan yang bukan objek pajak (Pasal 4 ayat 3 UU PPh)
3. Pengeluaran yang tidak berhubungan langsung dengan kegiatan usaha,
yang mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan serta
pengeluaran yang sifat pemakaian penghasilan atau yang jumlahnya
melebihi kewajaran (Pasal 9 ayat 1 UU PPh).
4. Beban yang digunakan untuk mendapatkan penghasilan yang bukan objek
pajak dan penghasilan yang telah dikenakan PPh bersifat final.
5. Penggantian sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan
dakam bentuk natura
6. Sanksi perpajakan
Beda sementara merupakan perbedaan perlakuan akuntansi dan perpajakan
yang sifatnya temporer. Artinya, secara keseluruhan beban atau pendapatan
akuntansi maupun perpajakan sebenarnya sama, tetapi tetap berbeda alokasi
setiap tahunnya. Beda waktu biasanya timbul karena perbedaan metode yang
dipakai antara fiskal dengan akuntansi dalam hal:
1. Akrual dan realisasi.
2. Penyusutan dan amortisasi.
3. Penilaian persediaan.
4. Kompensasi kerugian fiskal.
2.3. PERHITUNGAN PAJAK TERHUTANG
PPh terutang dihitung dnegan mengkalikan tarif PPh 17 ayat 1b terhadap
Penghasilan Kena Pajak (PKP). Sebelum dikalikan tarif PPh, Penghasilan Kena
Pajak terlebih dahulu dibulatkan ke bawah dalam Ribuan Rupiah penuh, sesuai
dengan Pasal 17 ayat 4 UU PPh.
PPh terutang = Penghasilan Kena Pajak x Tarif PPh
Penghasilan kena pajak (PKP) yang digunakan sebagai dasar menghitung
PPh tersebut dihitung dengan cara yang berbeda–beda tergantung jenis wajib
pajak.
a. WP badan
PKP = Penghasilan Netto
b. WP orang pribadi yang menyelenggarakan pembukuan
PKP = Penghasilan Netto - PTKP
c. WP orang pribadi yang menggunakan norma perhitungan
penghasilan netto
PKP = (%Norma Penghitungan Penghasilan Netto x Peredaran
Netto) – PTKP
d. Bentuk usaha tetap (BUT)
PKP = Penghasilan Netto (berdasarkan Pasal 5 UU PPh)

Besarnya penghasilan tidak kena pajak (PTKP) berdasarkan Peraturan


Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 101/ PMK.01.2016 tentang
penyesuaian bedarnya penghasilan tidak kena pajak adalah sebagai berikut
Tabel 2.1 Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)
Sedangkan untuk tarif nya sebagai berikut
1. Tarif Pemotongan PPh untuk WP orang Pribadi
Tabel 2.2 Tarif Pemotongan PPh Untuk WP Orang Pribadi
Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak
Sampai dengan Rp 50.000.000,00 5%
Di atas Rp 50.000.000,00 s.d. Rp 250.000.000,00 15%

Di atas 250.000.000,00 s.d. Rp 500.000.000,00 25%

Di atas Rp 500.000.000,00 30%


2. Tarif PPh untuk wajib pajak badan dalam negeri dan BUT adalah sebesar
25%.
3. Tarif PPh untuk wajib pajak badan dalam negeri dengan perederan bruto
sampai dengan Rp. 50.000.000.000 mendapatkan fasilitas pengurangan
tariff dari tarif PPh yang dikenakan atas penghasilan tidak kena pajak dari
bagian bruto sampai dengan Rp. 4.800.000.000. Penghasilan bruto
tersebut adalah penghasiln yang diterima/ diperoleh dari kegiatan usaha
sebelum dikurangi biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memlihara
penghasilan baik yang berasak dari Indonesia maupun dari luar Indonesia
meliputi penghasilan yang dikenai PPh bersifat final, penghasilan yang
dikenai PPh tidak bersifat final, penghasilan yang dikecualikan dari objek
pajak
4. Tarif PPh untuk badan dalam negeri yang berbentuk PT Tbk yang paling
sedikit 40% dari jumlah keseluruhan saham yang disetor diperdagangkan
pada Bursa Efek Indonesia adalah sebesar 20%.

2.4. KREDIT PAJAK


Kredit pajak tahun berjalan dapat terdiri atas berikut:
1. Kredit pajak dalam negeri
Untuk WP orang pribadi, kredit pajak dalam negeri terdiri atas PPh
yang dipotong/ dipungut pihak lain, meliputi PPh l 21, 22, atau 23.
Sementara itu untuk wajib pajak badan, kredit pajak dalam negerinya
dapat terediri atas PPh 22 atau 23. Sedangkan WP dalam negeri atau
BUT terdiri atas PPh 26 Ayat 5.
2. Kredit pajak luar negeri
Pajak yang dibayar atau terutang atas penghasilan dari luar negeri dapat
dikreditkan di Indonesia (PPh Pasal 24). Sedangkan PPh Pasal 24
dilakukan pada tahun pajak digabungkannya penghasilan tersebut.
Namun, kerugian di luar negeri tidak boleh digabungkan.
3. PPh yang dibayar sendiri
Pembayaran pajak yang dilakukan oleh WP sendiri berupa angsuran
PPh Pasal 25 dibayar setiap bulan ataupun fiskal luar negeri.
2.5. PAJAK AKHIR TAHUN
Pada akhir tahun pajak, bagi Wajib Pajak Dalam Negeri dan Bentuk Usaha
Tetap diwajibkan untuk melakukan perhitungan pajak yang terutang atas seluruh
penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam tahun pajak yang bersangkutan,
kecuali atas penghasilan yang telah dipotong pajak bersifat final. Kemudian pajak
yang terutang pada akhir tahun pajak tersebut dikurangi dengan kredit pajak
untuk tahun pajak yang bersangkutan.
Hasil pengurangan Pajak Penghasilan yang terutang pada akhir tahun pajak
dengan kredit pajak untuk tahun pajak yang bersangkutan akan berakibat Pajak
Penghasilan yang terutang untuk suatu tahun pajak lebih besar atau lebih kecil
daripada jumlah kredit pajak ataupun Nihil. Perhitungan Pajak Akhir Tahun
mengacu pada Pasal 28, Pasal 28A dan Pasal 29 Undang-Undang Pajak
Penghasilan.
Kredit Pajak yang dapat dikurangkan terhadap pajak yang terutang pada
akhir tahun adalah Pajak Penghasilan yang telah dilunasi dalam tahun berjalan
oleh Wajib Pajak Dalam Negeri dan Bentuk Usaha Tetap, baik yang dibayar
sendiri oleh Wajib Pajak Dalam Negeri dan Bentuk Usaha Tetap tersebut ataupun
yang dipotong serta dipungut oleh pihak lain, yaitu berupa:
1. Pemotongan pajak atas penghasilan dari pekerjaan, jasa dan kegiatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 Undang-undang Pajak
Penghasilan.
2. Pemungutan pajak atas penghasilan dari kegiatan di bidang impor atau
kegiatan usaha di bidang lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22
Undang-undang Pajak Penghasilan.
3. Pemotongan pajak atas penghasilan berupa dividen, bunga, royalti, sewa,
hadiah dan penghargaan, dan imbalan jasa sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 23 Undang-undang Pajak Penghasilan.
4. Pajak yang dibayar atau terutang atas penghasilan dari luar negeri yang
boleh dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 Undang-
undang Pajak Penghasilan.
5. Pembayaran yang dilakukan oleh Wajib Pajak sendiri sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 25 Undang-undang Pajak Penghasilan.
6. Pemotongan pajak atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
26 ayat 5 Undang-undang Pajak Penghasilan yaitu:
a. Pemotongan pajak atas penghasilan kantor pusat dari usaha atau
kegiatan, penjualan barang, atau pemberian jasa di Indonesia yang
sejenis dengan yang dijalankan atau dilakukan oleh Bentuk Usaha
Tetap di Indonesia.
b. Pemotongan pajak atas penghasilan berupa dividen, bunga
termasuk premium, diskonto dan imbalan sehubungan dengan
jaminan pengembalian utang, royalti, sewa dan penghasilan lain
sehubungan dengan penggunaan harta, imbalan sehubungan
dengan jasa, pekerjaan dan kegiatan, hadiah dan penghargaan,
pensiun dan pembayaran berkala lainnya, yang diterima atau
diperoleh kantor pusat, sepanjang terdapat hubungan efektif antara
Bentuk Usaha Tetap dengan harta atau kegiatan yang memberikan
penghasilan dimaksud.
c. Pemotongan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang
pribadi atau badan luar negeri yang berubah status menjadi Wajib
Pajak Dalam Negeri atau Bentuk Usaha Tetap.
Sanksi administrasi berupa bunga, denda dan kenaikan serta sanksi pidana
berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaan peraturan perundang-
undangan dibidang perpajakan yang berlaku tidak boleh dikreditkan dengan pajak
yang terutang.
Tiga kondisi yang akan dihadapi oleh Wajib Pajak saat melakukan
Perhitungan Pajak Akhir Tahun yaitu:
1. Pajak yang terutang lebih besar daripada Kredit Pajak
Apabila hasil pengurangan Pajak Penghasilan yang terutang pada akhir tahun
pajak dengan kredit pajak untuk tahun pajak yang bersangkutan dapat
berakibat Pajak Penghasilan yang terutang untuk suatu tahun pajak lebih besar
daripada jumlah Kredit Pajak, maka kekurangan pajak yang terutang tersebut
harus dilunasi selambat-lambatnya tanggal 25 (dua puluh lima) bulan ketiga
setelah tahun pajak berakhir, sebelum Surat Pemberitahuan Tahunan
disampaikan. Apabila tahun buku sama dengan tahun takwim, maka
kekurangan pajak tersebut wajib dilunasi selambat-lambatnya tanggal 25
Maret setelah tahun pajak berakhir, sedangkan apabila tahun buku tidak sama
dengan tahun takwim, misalnya tahun buku dimulai tanggal 1 Juli sampai
dengan 30 Juni, maka kekurangan pajak wajib dilunasi selambat-lambatnya
tanggal 25 September.

Contoh:
Pajak Penghasilan yang terutang Rp.80.000.000,-
Kredit Pajak:
1. Pemotongan pajak dari pekerjaan (Pasal 21) Rp. 5.000.000,-
2. Pemungutan pajak oleh pihak lain (Pasal 22) Rp.10.000.000,-
3. Pemotongan pajak dari modal (Pasal 23) Rp. 5.000.000,-
4. Kredit pajak luar negeri (Pasal 24) Rp.15.000.000,-
5. Dibayar sendiri oleh Wajib Pajak (Pasal 25) Rp.10.000.000,-
Jumlah PPh yang dapat dikreditkan Rp.45.000.000,-
Pajak Penghasilan yang masih harus dibayar Rp.35.000.000,-

Apabila tahun buku Wajib Pajak sama dengan tahun takwim, maka
kekurangan pajak sebesar Rp.35.000.000,- tersebut wajib dilunasi selambat-
lambatnya tanggal 25 Maret setelah tahun pajak berakhir
(tanggal 25 bulan ketiga setelah tahun pajak berakhir).

2. Pajak yang terutang lebih kecil daripada Kredit Pajak


Apabila hasil pengurangan Pajak Penghasilan yang terutang pada akhir tahun
pajak dengan kredit pajak untuk tahun pajak yang bersangkutan dapat
berakibat Pajak Penghasilan yang terutang untuk suatu tahun pajak lebih kecil
daripada jumlah Kredit Pajak, setelah dilakukan pemeriksaan, kelebihan
pembayaran pajak dikembalikan setelah diperhitungkan dengan utang pajak
berikut sanksi-sanksinya. Untuk kepentingan pemeriksaan, Direktur Jenderal
Pajak atau pejabat lain yang ditunjuk diberi wewenang untuk mengadakan
pemeriksaan atas laporan keuangan, buku-buku dan catatan lainnya serta
pemeriksaan lain yang berkaitan dengan penentuan besarnya Pajak
Penghasilan yang terutang, kebenaran jumlah pajak dan jumlah pajak yang
telah dikreditkan dan untuk menentukan besarnya kelebihan pembayaran pajak
yang harus dikembalikan. Maksud pemeriksaan ini untuk memastikan bahwa
uang yang akan dibayar kembali kepada Wajib Pajak sebagai restitusi itu
adalah benar merupakan hak Wajib Pajak.

Contoh:
Pajak Penghasilan yang terutang Rp.50.000.000,-
Kredit Pajak:
1. Pemotongan pajak dari pekerjaan (Pasal 21) Rp. 9.000.000,-
2. Pemungutan pajak oleh pihak lain (Pasal 22) Rp.10.000.000,-
3. Pemotongan pajak dari modal (Pasal 23) Rp.10.000.000,-
4. Kredit pajak luar negeri (Pasal 24) Rp.15.000.000,-
5. Dibayar sendiri oleh Wajib Pajak (Pasal 25) Rp.15.000.000,-
Jumlah PPh yang dapat dikreditkan Rp.59.000.000,-
Pajak Penghasilan yang lebih dibayar Rp. 9.000.000,-

Pajak Penghasilan yang lebih dibayar sebesar Rp.9.000.000,- setelah


dilakukan pemeriksaan, dikembalikan kepada Wajib Pajak setelah
diperhitungkan dengan utang pajak berikut sanksi-sanksinya.

3. Pajak yang terutang Nihil


Apabila hasil pengurangan Pajak Penghasilan yang terutang pada akhir tahun
pajak dengan kredit pajak untuk tahun pajak yang bersangkutan dapat
berakibat Pajak Penghasilan yang terutang untuk suatu tahun pajak menjadi
Nihil artinya jumlah Pajak Penghasilan yang terutang pada akhir tahun pajak
sama dengan jumlah kredit pajak untuk tahun pajak yang bersangkutan.
Meskipun Pajak Penghasilan yang terutang Nihil, kepada Wajib Pajak tetap
diwajibkan untuk menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan.

Contoh:
Pajak Penghasilan yang terutang Rp.43.000.000,-
Kredit Pajak:
1. Pemotongan pajak dari pekerjaan (Pasal 21) Rp. 3.000.000,-
2. Pemungutan pajak oleh pihak lain (Pasal 22) Rp.10.000.000,-
3. Pemotongan pajak dari modal (Pasal 23) Rp. 5.000.000,-
4. Kredit pajak luar negeri (Pasal 24) Rp.15.000.000,-
5. Dibayar sendiri oleh Wajib Pajak (Pasal 25) Rp.10.000.000,-
Jumlah PPh yang dapat dikreditkan Rp.43.000.000,-
Pajak Penghasilan yang masih harus dibayar NIHIL

Pajak Penghasilan yang lebih dibayar sebesar Rp.9.000.000,- setelah


dilakukan pemeriksaan, dikembalikan kepada Wajib Pajak setelah
diperhitungkan dengan utang pajak berikut sanksi-sanksinya.
BAB III
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN
Rekonsiliasi fiskal adalah proses penyesuian atas laba akuntansi yang
berbeda dengan ketentuan fiskal untuk menghasilkan penghasilan neto atau laba
yang sesuai dengan ketentuan perpajakan. Rekonsiliasi fiskal dilakukan oleh
wajib pajak yang pembukuannya menggunakan pendekatan akuntansi komersial,
yang bertujuan untuk mengisi SPT Tahunan PPh dan menyusun laporan
keuangan fiskal yang harus dilampirkan pada saat menyampaikan SPT Tahunan
PPh.
Beda permanen terjadi karena adanya perbedaan pengakuan penghasilan
dan beban menurut akuntansi dengan fiskal, yaitu adanya penghasilan dan beban
yang diakui menrut akuntansi namun tidak diakui menurut fiskal, ataupun
sebaliknya. Sedangkan Beda sementara merupakan perbedaan pelakuan akuntansi
dan perpajakan yang sifatnya temporer. Artinya, secara keseluruhan beban atau
pendapatan akuntansi maupun perpajakan sebenarnya sama, tetapi tetap berbeda
alokasi setiap tahunnya.
PPh terutang dihitung dnegan mengkalikan tarif PPh 17 ayat 1b terhadap
Penghasilan Kena Pajak (PKP). Sebelum dikalikan tarif PPh, Penghasilan Kena
Pajak terlebih dahulu dibulatkan ke bawah dalam ribuan Rupiah penuh, sesuai
dengan Pasal 17 ayat 4 UU PPh. Penghasilan kena pajak (PKP) yang digunakan
sebagai dasar menghitung PPh tersebut dihitung dengan cara yang berbeda – beda
tergantung jenis wajib pajak.
Kredit pajak tahun berjalan dapat terdiri dari kredit pajak dalam negeri,
kredit pajak luar negeri, PPh yang dibayar sendiri.
DAFTAR PUSTAKA

Agoes, Sukirno dan Trisnawati, Estralita. Akuntansi Perpajakan Edisi 3. Jakarta:

Salemba Empat

Resmi, Siti. 2017. Perpajakan Teori & Kasus Edisi 10 Buku 1. Yogyakarta:

Salemba Empat

UU No 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Keja

Waluyo. 2005. Perpajakan Indonesia Edisi 5 Buku 1. Jakarta: Salemba Empat

www.pajak.go.id/

www.ortax.co.id/

Anda mungkin juga menyukai