DI SUSUN OLEH:
Nama: Widi ardhi wibowo
No bp : 1910112140
Universitas Andalas
1. PENGERTIAN, DASAR HUKUM IJTIHAD DAN FUNGSINYA SEBAGAI SUMBER
SEKUNDER HUKUM ISLAM
pengertian ijtihad adalah proses penetapan hukum syariat dengan mencurahkan seluruh pikiran
dan tenaga secara bersungguh-sungguh. Dengan pengertian tersebut, bisa disimpulkan bahwa
ijtihad merupakan penetapan salah satu sumber hukum Islam.
Fungsi ijtihad sebagai sumber hukum Islam adalah untuk menetapkan suatu hukum di mana
hal tersebut tidak dibahas dalam Al-quran dan hadits. Jadi, bisa dikatakan, ijtihad merupakan
sumber hukum ketiga setelah Al-Quran dan Hadits.
Dasar hukum ijtihad ialah dalil Al-Qur'an, sunah, dan ijmak. Dalil Alquran adalah surah an-
Nisa' ayat 83, surah asy-Syu'ara' ayat 38, surah al-Hasyr ayat 2, dan surah al-Baqarah ayat 59
Dasar ijtihad dalam sunah ialah sabda Nabi SAW yang artinya: "Apabila seorang hakim
berijtihad dan benar, maka baginya dua pahala, tetapi bila berijtihad lalu keliru maka baginya
satu pahala" (HR. Bukhari dan Muslim). Hadis ini diucapkan Nabi SAW dalam rangka
membenarkan perbuatan Amr bin As yang salat tanpa terlebih dahulu mandi, padahal ia
dalam keadaan junub; Amr hanya melakukan tayamum. Hadis lain ialah hadis yang
menjelaskan dialog Nabi SAW dengan Mu'az bin Jabal ketika hendak diutus ke Yaman. Pada
intinya, Nabi SAW bertanya kepada Mu'az, dengan apa ia akan memutuskan hukum. Lalu
Mu'az menjawab bahwa jika ia tidak menemukan hukumnya di dalam Al-Qur'an dan sunah
Rasulullah SAW, ia akan memutuskan hukum dengan jalan ijtihad.
Macam-macam Ijtihad
Secara garis besar ijtihad dibagi kedalam dua bagian, yaitu ijtihad Fardhi dan Jami’i.
Ijtihad Fardhi
Ijtihad fardhi adalah : ”Setiap ijtihad yang dilakukan oleh perseorangan atau beberapa orang,
namun tidak ada keterangan bahwa semua mujtahid lain menyetujuinya dalam suatu perkara
( Tasyri’ Islami: 115)
Ijtihad yang semacam inilah yang pernah dibenarkan oleh Rasul kepada Mu’adz ketika Rasul
mengutus beliau untuk menjadi qodhi di Yaman.
Ijtihad Jami’i
Ijtihad Jami’i adalah : ”Semua ijtihad dalam suatu perkara yang disepakati oleh semua
mujtahidin.” ( Ushulu Tasyri’ :116 )
Ijtihad semacam ini yang dimaksud oleh hadits Ali bin Abi Thalib pada waktu beliau
menanyakan kepada Rasul tentang suatu urusan yang menimpa masyarakat yang tidak
diketemukan hukumnya dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Ketika itu Nabi bersabda : ”Kumpulkanlah orang-orang yang berilmu dari orang-orang mukmin
untuk memecahkan masalah itu dan jadikanlah hal itu masalah yang dimusyawarahkan diantara
kamu dan janganlah kamu memutuskan hal itu dengan pendapat orang seorang.” ( H.R. Ibnu
Abdil Barr )
Disamping itu, Umar bin Khatab juga pernah berkata kepada Syuraikh : ”Dan bermusyawarahlah
( bertukar pikiran ) dengan orang-orang yang saleh.”
ANTARA fatwa dengan Qanun, Qadha dan ijtihad memang punya irisan yang saling
terkait. Namun biar bagaimana pun masing-masing punya jati diri dan satu dengan yang
lain tetap saling berbeda.
a. Qanun
Sebagaimana sudah dibahas pada bab sebelumnya, Qanun adalah undang-undang atau hukum
positif yang berlaku di suatu wilayah hukum. Qanun yang berlaku di suatu negara Islam, bisa
saja bersumber dari sejumlah hasil fatwa satu atau gabungan dari beberapa mazhab fiqih, namun
yang telah distandarisasi atau dibakukan, sehingga berbentuk aturan yang rinci, terdiri bab, pasal,
ayat, butir dan seterusnya.
Secara umum, Qanun bersifat mengikat dan wajib dilaksanakan, dan sering juga tercantum
sanksi dan hukuman yang harus dijatuhkan. Sedangkan fatwa sifatnya tidak mengikat, karena
fatwa pada hakikatnya adalah sebuah pandangan atau pendapat tentang hukum suatu masalah
fiqih. Orang yang bertanya atau minta fatwa tidak diwajibkan untuk menerima fatwa itu. Bisa
saja dia menolak sebuah fatwa. Oleh karena itu, kalau sekedar menerima saja tidak menjadi
kewajiban, apalagi melaksanakannya.
b. Qadha
Qadha adalah vonis atau keputusan yang dilakukan oleh seorang hakim atau qadhi atas suatu
perkara atau perseteruan dua belah pihak atau lebih. Keputusan yang ditetapkan oleh qadhi di
antara pihak-pihak yang bersengketa. Dalam prakteknya, seorang Qadhi terikat pada Qanun atau
undang-undang yang berlaku di suatu wilayah hukum.
Sebagaimana Qanun, Qadha atau ketetapan yang diambil seorang Qadhi sifatnya mengikat.
Orang-orang yang telah ditetapkan hukumnya oleh Qadhi, wajib menjalankannya. Bila ketetapan
itu berupa vonis hukuman, seperti penjara, hukum cambuk, hukum rajam dan seterusnya, maka
dia wajib menjalaninya.
Baca juga
Dilarang Syariat : Puasa di Hari Meragukan
Berbeda dengan fatwa yang sifatnya tidak mengikat. Seseorang yang meminta fatwa kepada
mufti, boleh menjalankan hasil fatwa itu kalau dia mau, tetapi tidak ada kesalahan bila dia
menolak isi fatwa itu. Dan atas penolakannya itu, dia tidak terikat dengan sanksi apa pun.
Perbedaan lainnya adalah fatwa itu berangkat dari sebuah pertanyaan, di mana seorang mufti
kemudian menjawab pertanyaan itu. Sedangkan qadha berangkat dari persengketaan, di mana
ada dua belah pihak atau lebih yang bersengketa atas suatu masalah, lalu qadhi memutuskan
perkara di tengah mereka. Persamaan antara fatwa dengan qadha, antara lain sama-sama
bersumber kepada Alquran dan As-Sunnah serta sumber-sumber hukum Islam penunjang
lainnya.
c. Ijtihad
Pengertian ijtihad menurut istilah adalah: Mengerahkan segala kemampuan yang dilakukan oleh
seorang ahli fiqih dalam rangka menghasilkan hukum syari yang bersifat dzanni. Sedangkan
hubungan antara fatwa dengan ijtihad adalah bahwa fatwa itu dihasilkan lewat ijtihad yang
dilakukan oleh mufti. Setiap mufti wajib melakukan ijtihad sebelum menetapkan fatwa, meski
seorang mufti tidak diharuskan punya spesifikasi sampai ke level mujtahid mutlak.
Sebaliknya, seorang mujtahid tidak harus mengeluarkan fatwa. Dalam arti, meski seorang
mutjahid berijtihad, namun bisa saja dia tidak menjawab pertanyaan orang lain yang
disampaikan kepadanya dengan pertimbangan tertentu. Demikian sekilas penjelasan yang
menegaskan pengertian fatwa dan perbedaannya dengan ijtihad, qanun dan qadha'.