Anda di halaman 1dari 31

MAKALAH

DAMPAK PANDEMI COVID 19 PADA KENAIKAN ST MYOCARD INFARK PADA

PUSAT NON COVID

Makalah ini di buat untuk menyelesaikan tugas akhir mata kuliah bahasa Indonesia

Yang dibina : Dra.Retno SuliPstyowati,M.Pd

Oleh:
Galih Aditya Putranto
Nim : 2014314201061

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN SEKOLAH TINGGI ILMU


KESEHATAN MAHARANI MALANG
TAHUN 2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur Alhamdulillah kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan

rahmat, hidayahNya kepada kami, sehinga kami dapat menyelesaikan makalah tentang

Dampak pandemi covid 19 pada kenaikan ST myocard infark pada pusat non covid 19

Makalah ini kami susun atas bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar

pembuatan makalah ini. Untuk itu kami menyampaikan banyak terimakasih kepada semua

pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini. Terlepas dari semua itu, kami

menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih ada kekurangan dan jauh dari sempurna.

Harapan kami semoga makalah ini dapat memberikan manfaat maupun tambahan
wawasan pengetahuan bagi semuanya.

Malang, 28 September 2020

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...................................................................................................II
DAFTAR ISI................................................................................................................III
DAFTAR TABEL........................................................................................................IV
DAFTAR GAMBAR.....................................................................................................V
BAB I PENDAHULUAN...............................................................................................1
1.1 Latar Belakang.........................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah................................................................................................2
1.3 Tujuan....................................................................................................................2
1.4 Manfaat..................................................................................................................3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA....................................................................................4
2.1 Definisi...................................................................................................................4
2.2 Tanda dan gejala...................................................................................................5
2.3 Manifestasi klinis..................................................................................................7
2.4 Pemeriksaan penunjang.....................................................................................11
2.5 Penatalaksanaan.................................................................................................13
BAB III PEMBAHASAN.............................................................................................16
3.1 STEMI Mimicry..................................................................................................17
3.2 False Security......................................................................................................18
3.3 Kesesuaian Alat Pelindung Kesehatan (APD) dengan Tindakan dan Tingkat
Potensi Kontaminasi.................................................................................................19
3.4 Kesesuaian Ruang Kateterisasi untuk Antisipasi Kontaminasi.....................19
3.5 Keterlambatan Waktu........................................................................................19
3.6 Strategi Solusi......................................................................................................20
3.6.1 Skrining massal............................................................................................20
3.6.2 Rule out strategy..........................................................................................21
3.6.3 Sistim pilah unit: Covid dan Non-Covid....................................................22
BAB IV PENUTUP......................................................................................................23
5.1 KESIMPULAN...................................................................................................23
5.2 SARAN.................................................................................................................23
5.2.1 Bagi Perawat dan Dokter............................................................................23
5.2.2 Bagi Rumah Sakit........................................................................................23
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................24
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Tanda dan Gejala Infeksi Covid-19...................................................................5


Tabel 2. Manifestasi klinis yang berhubungan dengan infeksi COVID-19.....................9
Tabel 3. Jenis spesimen..................................................................................................12
Tabel 4. Tantangan dalam penatalaksanaan STEMI dalam masa pandemi Covid-19...16
Tabel 5. Diferensiasi diagnosis elevasi ST pada Covid-19............................................17
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Alur Pemeriksaan specimen covid-19..........................................................13


Gambar 2. Ringkasan deteksi dan respon berdasarkan kriteria kasus............................14
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


ST-elevation myocardial infarction (STEMI) merupakan kegawatdaruratan
yang paling sering menyebabkan kematian mendadak. Kecepatan revaskularisasi arteri
koroner yang teroklusi merupakan kunci utama keberhasilan tatalaksana STEMI baik
dalam aspek mengurangi morbiditas maupun mortalitas.
Pandemi coronavirus disease 2019 (Covid-19) memberikan tantangan pada
penatalaksanaan STEMI dalam berbagai aspek. Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter
Spesialis Kardiovaskular Indonesia telah mengeluarkan panduan praktik klinis terkait
tatalaksana STEMI dengan Kecurigaan Covid-19. Tantangan ini bisa terkait aspek
keamanan tenaga kesehatan dan maupun terkait keselamatan pasien dengan STEMI.
Penyakit Covid-19 disebabkan oleh varian baru virus korona yang sering
disebut sebagai severe acute respiratory syndrome coronavirus 2 (SARS-CoV2).
Ternyata selain menyerang sistim pernafasan, SARS-CoV2 juga dapat mengakibatkan
komplikasi kardiovaskular. Komplikasi kardiovaskular dapat terjadi akibat infiltrasi
langsung SARS- CoV2 melalui reseptor ACE2 yang terdapat pada jantung dan
pembuluh darah, respon hipoksik dan atau respons sitokin inflamasi yang berlebihan.
Secara klinis, sudah dilaporkan komplikasi kardiovaskular akibat Covid-19 berupa
miokarditis, kardiomiopati, miokard infark tipe 1 dan 2 dan trombosis arteri non
atherosklerotik.
Gambaran EKG dengan ST elevasi pada paien Covid-19 yang datang ke
rumahsakit bisa diakibatkan komplikasi dari Covid-19 atau akibat gambaran EKG
lama yang sudah menetap pada individu yang saat ini terinfeksi Covid-19.
Di beberapa rumah sakit termasuk di Indonesia dilakukan upaya untuk
melakukan skrining Covid-19 pada pasien yang masuk ke unit gawat darurat (dan
terencana rawat inap) dengan tes cepat, X-ray toraks dan atau CT-scan toraks. Tes
cepat dilakukan untuk melihat apakah pasien yang masuk sudah terpapar SARS-
CoV2. X-ray dan atau CT-scan toraks untuk menilai ada tidak gambaran khas
penumonia virus berupa ground glass opacity (GGO). CT-scan dilaporkan memiliki
spesifisitas lebih tinggi daripada X-ray. Namun, pemanfaatan CT-scan untuk skrining
perlu diterapkan dengan interpretasi klinis yang hati-hati.

1
Bahaya STEMI yang dapat berujung pada kematian pasien atau komplikasi
jangka panjang, pentingnya peranan durasi waktu dalam tatalaksana STEMI,
penyebaran Covid-19 yang pandemi, mudahnya penularan virus SARS-CoV2, tidak
mudahnya mendeteksi Covid-19, dan masalah logistik menjadikan tatalaksana STEMI
sangat kompleks pada masa pandemi. Selain itu, rasa takut baik penderita STEMI
maupun tenaga kesehatan juga berkontribusi pada kompleksitas masalah. Namun,
tetap diperlukan suatu pemikiran strategi yang dapat menjadi solusi untuk masalah
yang kompleks ini.
Skrining secara umum sudah dilakukan di beberapa rumahsakit di Indonesia
dengan tes cepat (serologi maupun PCR) digabung dengan X-ray dan atau CT-scan.
Prinsip lain yang perlu ditekankan dalam pelaporan hasil adalah memasukkan unsur
pre-test probability seorang individu menderita Covid-19 saat datang ke UGD. Pre-test
probability ini sangat ideal didapatkan jika diketahui apakah penderita berasal dari
klaster yang tinggi prevalensi Covid-19.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang diatas, maka kami mengambil rumusan masalah
identifikasi makalah dengan judul Dampak pandemi covid 19 pada kenaikan ST
myocard infark pada pusat non covid 19.

1.3 Tujuan
1. Tujuan Umum :
Melakukan analisa makalah tentang Dampak pandemi covid 19 pada
kenaikan ST myocard infark pada pusat non covid 19.
2. Tujuan Khusus :
a. Mengetahui tentang lambatnya presentasi pasien dengan STEMI
b. Mengetahui tentang keparahan pasien dengan STEMI
c. Mengetahui tentang pola perawatan pasien dengan STEMI

1.4 Manfaat
1. Secara Teoritik
Hasil dari analisa jurnal ini dapat memberikan informasi tentang asuhan
keperawatan pada pasien dengan STEMI.
2. Secara Praktek
Hasil analisa jurnal ini dapat meningkatkan kualitas pemberian pelayanan pada
pasien dengan STEMI.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
NOVEL CORONA VIRUS 19 (N-COV 19)

2.1 DEFINISI
Coronavirus merupakan keluarga besar virus yang menyebabkan penyakit ringan
sampai berat, seperti common cold atau pilek dan penyakit yang serius seperti MERS
dan SARS - Penularannya dari hewan ke manusia (zoonosis) dan penularan dari
manusia ke manusia sangat terbatas. Untuk 2019-nCoV masih belum jelas bagaimana
penularannya, diduga dari hewan ke manusia karena kasus-kasus yang muncul di
Wuhan semuanya mempunyai riwayat kontak dengan pasar hewan Huanan.
Coronavirus adalah suatu kelompok virus yang dapat menyebabkan penyakit pada
hewan atau manusia. Beberapa jenis coronavirus diketahui menyebabkan infeksi saluran
nafas pada manusia mulai dari batuk pilek hingga yang lebih serius seperti Middle East
Respiratory Syndrome (MERS) dan Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS).
Coronavirus jenis baru yang ditemukan menyebabkan penyakit COVID-19.(WHO,
2019)
Coronavirus adalah keluarga besar virus yang menyebabkan penyakit mulai dari
gejala ringan sampai berat. Ada setidaknya dua jenis coronavirus yang diketahui
menyebabkan penyakit yang dapat menimbulkan gejala berat seperti Middle East
Respiratory Syndrome (MERS) dan Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS).
Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) adalah penyakit jenis baru yang belum pernah
diidentifikasi sebelumnya pada manusia. Virus penyebab COVID-19 ini dinamakan
Sars-CoV-2. Virus corona adalah zoonosis (ditularkan antara hewan dan manusia).
Penelitian menyebutkan bahwa SARS ditransmisikan dari kucing luwak (civet cats) ke
manusia dan MERS dari unta ke manusia. Adapun, hewan yang menjadi sumber
penularan COVID-19 ini sampai saat ini masih belum diketahui( Kemenkes, 2020)

2.2 TANDA DAN GEJALA


Novel Coronavirus 2019 (2019-nCoV) adalah virus jenis baru yang belum
pernah diidentifikasi sebelumnya pada manusia. Human Corona virus (HCovs) telah
lama dianggap tidak penting patogen, menyebabkan 'flu biasa' dan pada bad ke-21, 2
HCoV yang sangat patogen² (SARSCoV) dan (MERS-CoV) muncul dari hewan
reservoir menyebabkan epidemi global dan pada Desember 2019, novel coronavirus
(2019-nCoV), adalah muncul di Wuhan, Cina, dan telah menyebabkan serius penyakit
dan kematian Manifestasi klinis biasanya timbul dalam 2-14 hari pasca paparan. Tanda
dan gejala umum infeksi Coronavirus adalah gejala gangguan pernapasan akut seperti
demam, batuk, dan sesak napas. Pada kasus yang berat dapat dijumpai pneumonia,
sindrom distress pernapasan akut (Acute Respiratory Distress Syndrome), gagal ginjal,
dan kematian.
Tabel 1. Tanda dan Gejala Infeksi Covid-19

Berdasarkan tabel diatas dilaporkan tanda gejala Covid -19 adalad demam,
keletihan, batuk kering, anoreksia, miyalgia, dypsnue, dan ada beberapa yang disertai
gangguan pencernaan(diare), mual dan muntah, nyeri kepala dan nyeri perut.
Gejalanya demam >380 C, batuk, sesak napas yang membutuhkan perawatan di
RS. Gejala ini diperberat jika penderita adalah usia lanjut dan mempunyai penyakit
penyerta lainnya, seperti penyakit paru obstruktif menahun atau penyakit jantung.
Tanda dan gejala menurut kemenkes dibagi berdasarkan surveilence sebagai
berikut :
A. Pasien dalam Pengawasan
1) Seseorang dengan Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) yaitu demam
(≥38oC) atau riwayat demam; disertai salah satu gejala/tanda penyakit
pernapasan seperti: batuk/ sesak nafas/ sakit tenggorokan/ pilek/ /pneumonia
ringan hingga berat.

5
DAN
tidak ada penyebab lain berdasarkan gambaran klinis yang meyakinkan
DAN
Pada 14 hari terakhir sebelum timbul gejala, memenuhi salah satu kriteria
berikut :
a) Memiliki riwayat perjalanan atau tinggal di luar negeri yang
melaporkan transmisi local
b) Memiliki riwayat perjalanan atau tinggal di area transmisi lokal di
Indonesia
2) Seseorang dengan demam (≥38oC) atau riwayat demam atau ISPA DAN pada
14 hari terakhir sebelum timbul gejala memiliki riwayat kontak dengan kasus
konfirmasi atau probabel COVID-19
3) Seseorang dengan ISPA berat/ pneumonia berat di area transmisi lokal di
Indonesia yang membutuhkan perawatan di rumah sakit
DAN
tidak ada penyebab lain berdasarkan gambaran klinis yang meyakinkan.

B. Orang dalam Pemantauan


Seseorang yang mengalami demam (≥38 0C) atau riwayat demam; atau gejala
gangguan sistem pernapasan seperti pilek/sakit tenggorokan/batuk.
DAN
tidak ada penyebab lain berdasarkan gambaran klinis yang meyakinkan.
DAN
pada 14 hari terakhir sebelum timbul gejala, memenuhi salah satu kriteria berikut
a) Memiliki riwayat perjalanan atau tinggal di luar negeri yang melaporkan
transmisi local
b) Memiliki riwayat perjalanan atau tinggal di area transmisi lokal di Indonesia

Catatan:
Saat ini, istilah suspek dikenal sebagai pasien dalam pengawasan. Perlu waspada pada
pasien dengan gangguan sistem kekebalan tubuh (immunocompromised) karena gejala
dan tanda menjadi tidak jelas. negara yang melaporkan transmisi lokal menurut WHO
dapat dilihat melalui situs http://infeksiemerging.kemkes.go.id.
Area transimisi lokal di Indonesia dapat dilihat melalui situs
http://infeksiemerging.kemkes.go.id.
ISPA berat atau pneumonia berat adalah
 Pasien remaja atau dewasa dengan demam atau dalam pengawasan infeksi
saluran napas, ditambah satu dari: frekuensi napas >30 x/menit, distress
pernapasan berat, atau saturasi oksigen (SpO2) <90% pada udara kamar.
 Pasien anak dengan batuk atau kesulitan bernapas, ditambah setidaknya satu
dari
berikut ini :
- sianosis sentral atau SpO2 <90%
- distres pernapasan berat (seperti mendengkur, tarikan dinding dada yang
berat)
- tanda pneumonia berat: ketidakmampuan menyusui atau minum, letargi
atau
- penurunan kesadaran, atau kejang.
- Tanda lain dari pneumonia yaitu: tarikan dinding dada, takipnea :<2
bulan,
- ≥60x/menit; 2–11 bulan, ≥50x/menit; 1–5 tahun, ≥40x/menit;>5 tahun,
≥30x/menit.
C. Kasus Probabel
Pasien dalam pengawasan yang diperiksa untuk COVID-19 tetapi inkonklusif
(tidak dapat disimpulkan).
D. Kasus Konfirmasi
Seseorang terinfeksi COVID-19 dengan hasil pemeriksaan laboratorium positif.

2.3 MANIFESTASI KLINIS


Infeksi COVID-19 dapat menyebabkan gejala ISPA ringan sampai berat bahkan
sampai terjadi Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS), sepsis dan syok septik.
Deteksi dini manifestasi klinis (tabel 3.1) akan menentukan waktu yang tepat
penerapan tatalaksana dan PPI. Pasien dengan gejala ringan, rawat inap tidak
diperlukan kecuali ada kekhawatiran untuk perburukan yang cepat. Deteksi COVID-
19 sesuai dengan definisi operasional surveilans COVID19. Pertimbangkan COVID-
19 sebagai etiologi ISPA berat. Semua pasien yang pulang ke rumah harus

7
memeriksakan diri ke rumah sakit jika mengalami perburukan. Berikut manifestasi
klinis yang berhubungan dengan infeksi COVID-19:
Tabel 2. Manifestasi klinis yang berhubungan dengan infeksi COVID-19

Uncomplicated Pasien dengan gejala non-spesifik seperti demam, batuk,


illness nyeri tenggorokan, hidung tersumbat, malaise, sakit kepala,
nyeri otot. Perlu waspada pada usia lanjut dan
imunocompromised karena gejala dan tanda tidak khas.
Pneumoni ringan Pasien dengan pneumonia dan tidak ada tanda pneumonia
berat.
Anak dengan pneumonia ringan mengalami batuk atau
kesulitan bernapas + napas cepat: frekuensi napas:
Usia <2 bulan: >60x/ menit
Usia 2-11 bulan: > 50x/ menit
Usia 1-5 tahun: >40x/menit
Dan tidak ada pneumoni berat
Pneumonia berat / Pasien remaja atau dewasa dengan demam atau dalam
ISPA berat pengawasan infeksi saluran napas, ditambah satu dari:
frekuensi napas >30 x/menit, distress pernapasan berat, atau
saturasi oksigen (SpO2) < 90 %pada udara kamar
Pasien anak dengan batuk atau kesulitan bernapas,
ditambah setidaknya
satu dari berikut ini:
 sianosis sentral atau SpO2 <90 %
 distres pernapasan berat (seperti mendengkur, tarikan
dinding dada yang berat);
 tanda pneumonia berat: ketidakmampuan menyusui
atau minum, letargi atau penurunan kesadaran, atau kejang.
Tanda lain dari pneumonia yaitu: tarikan dinding dada,
takipnue
Usia <2 bulan: >60x/ menit
Usia 2-11 bulan: > 50x/ menit
Usia 1-5 tahun: >40x/menit
Usia >5 tahun: > 30x/menit
Diagnosis ini berdasarkan klinis; pencitraan dada yang
dapat menyingkirkan komplikasi.
Acute Onset: baru terjadi atau perburukan dalam waktu satu

9
Respiratory minggu.
Distress Syndrome Pencitraan dada (CT scan toraks, atau ultrasonografi
(ARDS) paru): opasitas bilateral, efusi pluera yang tidak dapat
dijelaskan penyebabnya, kolaps paru, kolaps lobus atau
nodul.
Penyebab edema: gagal napas yang bukan akibat gagal
jantung atau kelebihan cairan. Perlu pemeriksaan objektif
(seperti ekokardiografi) untuk menyingkirkan bahwa
penyebab edema bukan akibat hidrostatik jika tidak
ditemukan faktor risiko.
KriteriaARDS pada dewasa:
- ARDS ringan : 200 mmHg < PaO2/FiO2 < 300 mmHg
(dengan PEEP atau CPAP > 5 cmH2O atau yang tidak
diventilasi).
- ARDS sedang : 100 mmHg < PaO2/FiO2 < 200 mmHg
(dengan PEEP > 5 cmH2O atau yang tidak diventilasi)
- ARDS berat : PaO2/FiO2 < 100 mmHg dengan PEEP > 5
cmH2O atau yang tidak diventilasi - Ketika PaO2 tidak
tersedia, SpO2/FiO2 < 315 mengindikasikan suatu ARDS
(termasuk pasien yang tidak diventilasi).
Kreteria ARDS pada anak berdasarkan Oxigenation
Index Dan Oxigenatin Index menggunakan SpO2 :
- PaO2/FiO2 <300mmHg atau SpO2/FiO2 <
264: bilevel non invasive ventilation(NIV) atau
CPAP>5 cmH2O dengan menggunakan full face
mask
- ARDS ringan (ventilasi invasive):
4<oxygenation index(OI)<8 atau 5<OSI<7,5
- ARDS sedang (ventilasi invasive): 8 ≤ OI<16
atau 7,5 <OSI< 12,3
- ARDS berat (ventilasi invasive): OI>16 atau
OSI> 12,3
Sepsis Pasien dewasa: Disfungsi organ yang mengancam
nyawa disebabkan oleh disregulasi respon tubuh terhadap
dugaan atau terbukti infeksi*. Tanda disfungsi organ
meliputi: perubahan status mental/kesadaran, sesak napas,
saturasi oksigen rendah, urin output menurun, denyut
jantung cepat, nadi lemah, ekstremitas dingin atau
tekanan darah rendah, ptekie/purpura/mottled skin, atau hasil
laboratorium menunjukkan koagulopati, trombositopenia,
asidosis, laktat yang tinggi, hiperbilirubinemia.
Pasien anak: terhadap dugaan atau terbukti infeksi dan
kriteria systemic inflammatory response syndrome (SIRS)
≥2, dan disertai salah satu dari: suhu tubuh abnormal atau
jumlah sel darah putih abnormal
Syok septic Pasien dewasa: hipotensi yang menetap meskipun sudah
dilakukan resusitasi cairan dan membutuhkan vasopresor
untuk mempertahankan mean arterial pressure (MAP) ≥65
mmHg dan kadar laktat serum> 2 mmol/L.
Pasien anak: hipotensi (TDS < persentil 5 atau >2 SD di
bawah normal usia) atau terdapat 2-3 gejala dan tanda
berikut: perubahan status mental/kesadaran; takikardia atau
bradikardia (HR <90 x/menit atau HR >160 x/menit pada
bayi dan HR <76x/menit atau HR >150 x/menit pada anak);
waktu pengisian kembali kapiler yang memanjang (>2 detik)
atau vasodilatasi hangat dengan bounding pulse; takipnea;
mottled skin atau ruam petekie atau purpura; peningkatan
laktat; oliguria; hipertermia atau hipotermia.

2.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG


Hasil tes pemeriksaan negatif pada spesimen tunggal, terutama jika spesimen
berasal dari saluran pernapasan atas, belum tentu mengindikasikan ketiadaan infeksi.
Oleh karena itu harus dilakukan pengulangan pengambilan dan pengujian spesimen.
Spesimen saluran pernapasan bagian bawah (lower respiratory tract) sangat
direkomendasikan pada pasien dengan gejala klinis yang parah atau progresif. Adanya
patogen lain yang positif tidak menutup kemungkinan adanya infeksi COVID-19,
karena sejauh ini peran koinfeksi belum diketahui. Pengambilan spesimen pasien

11
dalam pengawasan dan orang dalam pemantauan dilakukan sebanyak dua kali
berturut-turut (hari ke-1 dan ke-2 serta bila terjadi kondisi perburukan). Pengambilan
spesimen kontak erat risiko tinggi dilakukan pada hari ke-1 dan ke14.
Tabel 3. Jenis spesimen

Spesimen yang tiba di laboratorium, akan segera diproses untuk dilakukan


pemeriksaan. Pemeriksaan laboratorium terhadap pasien dalam pengawasan COVID-
19 dilakukan dengan menggunakan metode RT-PCR dan sekuensing. Adapun
algoritma pemeriksaannya adalah sebagai berikut :
Gambar 1. Alur Pemeriksaan specimen covid-19

Pasien konfirmasi COVID-19 (pemeriksaan hari ke-1 dan ke-2 positif) dengan
perbaikan klinis dapat keluar dari RS apabila hasil pemeriksaan Real Time-Polymerase
Chain Reaction (RT-PCR) dua hari berturut-turut menunjukkan hasil negatif.

2.5 PENATALAKSANAAN
Sampai saat ini tidak ada pengobatan spesifik anti-COVID-19 untuk pasien
dalam pengawasan atau konfirmasi COVID-19. sehingga penatalaksanaan adalah
dengan memberikan pengobatan untuk meredakan tanda dan gejala berdasarkan
gejala yang timbul
a) Terapi Suportif Dini dan Pemantauan
 Berikan terapi suplementasi oksigen segera pada pasien ISPA berat dan
distress pernapasan, hipoksemia, atau syok.
 Gunakan manajemen cairan konservatif pada pasien dengan ISPA berat
tanpa syok
 Pemberian antibiotik empirik berdasarkan kemungkinan etiologi. Pada
kasus sepsis (termasuk dalam pengawasan COVID-19) berikan antibiotik
empirik yang tepat secepatnya dalam waktu 1 jam.
 Jangan memberikan kortikosteroid sistemik secara rutin untuk pengobatan
pneumonia karena virus atau ARDS di luar uji klinis kecuali terdapat alasan
lain.

13
 . Lakukan pemantauan ketat pasien dengan gejala klinis yang mengalami
perburukan seperti gagal napas, sepsis dan lakukan intervensi perawatan
suportif secepat mungkin. f. Pahami pasien yang memiliki komorbid untuk
menyesuaikan pengobatan dan penilaian prognosisnya.
 Tatalaksana pada pasien hamil, dilakukan terapi suportif dan penyesuaian
dengan fisiologi kehamilan.

Gambar 2. Ringkasan deteksi dan respon berdasarkan kriteria kasus

Penularan covid 19 yang begitu cepat sehingga perlu diatur dalam kemenkes
tentang pencegahan dan pengendalian infeksi. Tindakan pencegahan dan mitigasi
merupakan kunci penerapan di pelayanan kesehatan dan masyarakat.

b) Langkah-langkah pencegahan yang paling efektif di masyarakat meliputi:


 Melakukan kebersihan tangan menggunakan hand sanitizer jika tangan tidak
terlihat kotor atau cuci tangan dengan sabun jika tangan terlihat kotor
 Menghindari menyentuh mata, hidung dan mulut
 Menerapkan etika batuk atau bersin dengan menutup hidung dan mulut
dengan lengan atas bagian dalam atau tisu, lalu buanglah tisu ke tempat
sampah
 Pakailah masker medis jika memiliki gejala pernapasan dan melakukan
kebersihan tangan setelah membuang masker
 Menjaga jarak (minimal 1 m) dari orang yang mengalami gejala gangguan
pernapasan
c) Strategi Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Berkaitan dengan Pelayanan
Kesehatan
 Kebersihan tangan petugas untuk selalu cuci
 Penggunaan APD lengkap
 Pencegahan luka akibat benda tajam dan jarum suntik
 Pengelolaan limbah yang aman Pengelolaan limbah medis sesuai dengan
prosedur rutin
 Pembersihan lingkungan, dan sterilisasi linen dan peralatan perawatan
pasien. Membersihkan permukaan-permukaan lingkungan dengan air dan
deterjen serta memakai disinfektan yang biasa digunakan (seperti hipoklorit
0,5% atau etanol 70%) merupakan prosedur yang efektif dan memadai.

15
BAB III
PEMBAHASAN

Penatalaksanaan ST-elevation myocardial infarction (STEMI) yang sangat


dipengaruhi kecepatan waktu revaskularisasi mendapat tantangan yang kompleksi akibat
Covid-19 yang mewabah saat ini. Tantangan yang dihadapi bisa terkait keamanan tenaga
kesehatan maupun pasien STEMI. Terkait keamanan tenaga medis, potensi masalah dapat
terjadi akibat adanya manifestasi Covid-19 pada sistim kardiovaskular yang dapat
menyerupai STEMI, proses skrining Covid-19 yang tidak akurat, ketersediaan alat
pelindung diri dan ruang kateterisasi yang sesuai untuk antisipasi penyebaran virus.
Sementara, keamanan pasien STEMI dapat bermasalah akibat pemanjangan waktu iskemi
dan risiko terinfeksi Covid-19. Strategi solusi untuk menghadapi masalah tersebut antara
lain skrining massal, triase rule-out Covid-19 yang baik dan cepat, pemilahan unit menjadi
Covid dan non-Covid, dan algoritme untuk triase pasien dengan STEMI dan Covid-19.
ST-elevation myocardial infarction (STEMI) merupakan kegawatdaruratan yang
paling sering menyebabkan kematian mendadak. Kecepatan revaskularisasi arteri coroner
yang teroklusi merupakan kunci utama keberhasilan tatalaksana STEMI baik dalam aspek
mengurangi morbiditas maupun mortalitas. Pandemi coronavirus disease 2019 (Covid-19)
memberikan tantangan pada penatalaksanaan STEMI dalam berbagai aspek. Pengurus
Pusat Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia telah mengeluarkan
panduan praktik klinis terkait tatalaksana STEMI dengan Kecurigaan Covid-19. (Pengurus
Pusat PERKI, 2020)
Tabel 4. Tantangan dalam penatalaksanaan STEMI dalam masa pandemi Covid-19

1. Tantangan terkait keamanan tenaga 1) Manifestasi klinis terkait Covid-19 yang


kesehatan memberikan gambaran EKG elevasi ST
(STEMI mimicry)
2) Rasa aman semu (false security)
3) Sistem dan alat pelindung diri
4) Ruang kateterisasi yang sesuai
2. Tantangan terkait keselamatan pasien 1) Keterlambatan waktu
STEMI 2) Cross infection covid-19
3. Strategi solusi 1) Skrining massal
2) Strategi untuk rule out covid-19
3) Sistem pilah unit : covid dan non covid
4) Algoritme

3.1 STEMI Mimicry


Penyakit Covid-19 disebabkan oleh varian baru virus korona yang sering
disebut sebagai severe acute respiratory syndrome coronavirus 2 (SARS-CoV2).
Ternyata selain menyerang sistim pernafasan, SARS-CoV2 juga dapat mengakibatkan
komplikasi kardiovaskular. Komplikasi kardiovaskular dapat terjadi akibat infiltrasi
langsung SARSCoV2 melalui reseptor ACE2 yang terdapat pada jantung dan
pembuluh darah, respons hipoksik, dan atau respons sitokin inflamasi yang berlebihan
(Mehra MR, Desai SS, Kuy S, et al, 2020). Secara klinis, sudah dilaporkan komplikasi
kardiovaskular akibat Covid-19 berupa miokarditis, kardiomiopati, miokard infark tipe
1 dan 2, dan trombosis arteri non-atherosklerotik (Lang M, Som A, Mendoza DP, et al,
2020). Gambaran EKG dengan ST elevasi pada paien Covid-19 yang datang ke
rumahsakit bisa diakibatkan komplikasi dari Covid-19 atau akibat gambaran EKG
lama yang sudah menetap pada individu yang saat ini terinfeksi Covid-19. Gambaran
ST elevasi yang bukan merupakan EKG akibat sindroma koroner akut disebut STEMI
mimicry.
Tabel 5. Diferensiasi diagnosis elevasi ST pada Covid-19.

Beberapa diferensiasi diagnosis klinis dengan EKG gambaran elevasi


ST yang dapat ditemukan pada pasien Covid-19:
1. Miokarditis
2. Kardiomiopati
3. trombosis mikrovaskular
4. stress-induced cardiomyopathy
5. cytokine-mediated myocardial injury
6. early repolarisation pattern (pola varian normal EKG ini bisa
saja ditemukan insidental pada pasien Covid-19 usia muda)
7. elevasi-ST yang sudah persisten pada pasien lama dengan
kardiomiopati iskemi dan aneurisma ventrikel.

17
STEMI mimicry ini dapat mengaktifkan alarm palsu sistim tatalaksana STEMI
(misalnya pengaktifan tim primary PCI yang biasanya dilakukan cepat untuk mengejar
waktu door-to-ballon). Kecepatan waktu yang dibutuhkan dalam tatalaksana STEMI
dapat menyebabkan kelengahan tim tenaga kesehatan yang terlibat dan kontaminasi
ruang kateterisasi dan ruang perawatan intensif selanjutnya, bila tidak dilakukan
antisipasi proteksi virus yang adekuat.

3.2 False Security


Di beberapa rumah sakit termasuk di Indonesia dilakukan upaya untuk
melakukan skrining Covid-19 pada pasien yang masuk ke unit gawat darurat (dan
terencana rawat inap) dengan tes cepat, X-ray toraks dan atau CT-scan toraks. Tes
cepat dilakukan untuk melihat apakah pasien yang masuk sudah terpapar Covid 19. X-
ray dan atau CT-scan toraks untuk menilai ada tidak gambaran khas penumonia virus
berupa ground glass opacity (GGO). CT-scan dilaporkan memiliki spesifisitas lebih
tinggi daripada X-ray. Namun, pemanfaatan CT-scan untuk skrining perlu diterapkan
dengan interpretasi klinis yang hati-hati. Pada populasi yang tinggi angka prevalensi
(seperti di Wuhan, China), negative predictive value CT untuk menyingkirkan
diagnosis Covid-19 (reverse transcription polymerase chain reaction /RT-PCR) adalah
83%.(AI T, Yang Z, Hou Ha, et al, 2020). Namun, laporan dari klaster lain
memperlihatkan 39% kasus Covid-19 (RT-PCR) tidak menunjukkan gambaran
opasitas pada CT. Angka ini bahkan lebih tinggi pada pasien Covid-19 yang
asimptomatis (46%).
Tes cepat juga memiliki kekurangan. Dengan masa inkubasi Covid 19 yang
dapat mencapai 7 hari (Guan W, Ni Z, Hu Y, et al., 2020), pasien yang sudah
terinfeksi bisa saja belum terbentuk antibodi yang konsentrasinya cukup untuk
terdeteksi oleh alat saat diperiksa. Tes cepat yang negatif dan skrin CT yang negatif
dapat memberikan rasa aman bagi tenaga kesehatan yang menolong pasien. Namun
rasa aman menjadi semu dan berbahaya jika ternyata hasil negatif ini adalah negatif
palsu (false negative) pada pasien Covid-19 yang asimptomatis. Berbahaya karena
potensi menimbulkan kelengahan dalam kewaspadaan tenaga kesehatan.
3.3 Kesesuaian Alat Pelindung Kesehatan (APD) dengan Tindakan dan Tingkat
Potensi Kontaminasi
APD menjadi sangat esensial dalam mitigasi penularan Covid 19 karena sifat
virus ini yang sangat mudah berpindah melalui droplet mikro. Masalah APD sudah
menjadi topik yang cukup banyak dibahas baik di media umum maupun di media
kesehatan. WHO sudah mengeluarkan rekomendasi lengkap terkait APD (WHO
Guidelines; 2014). Hal yang sering menjadi pembahasan adalah ketersediaan APD
yang sesuai untuk tenaga kesehatan. Selain masalah ketersediaan, isu yang perlu
diperhatikan adalah sistim yang baik untuk pemakaian dan pelepasan APD. Sistim ini
mencakup tempat/ruangan untuk APD, tempat untuk menyimpan APD, tempat untuk
membuang APD. Covid 19 dapat bertahan hidup hingga 72 jam (di bahan plastik dan
baja) (van Doremalen N, Bushmaker T, Morris DH, et al. 2020). APD bekas pakai
yang ditempatkan sembarangan akan memberi potensi bahaya bagi tenaga kesehatan
selanjutnya yang akan memakai.
3.4 Kesesuaian Ruang Kateterisasi untuk Antisipasi Kontaminasi
Sebagian besar ruang kateterisasi jantung bertempat di daerah dengan sistim
sirkulasi udara yang tertutup atau semi-tertutup dengan tekanan ventilasi yang normal
atau positif. Ekosistim ini memudahkan untuk terjadi perpindahan Covid 19 dari
pasien yang positif ke tenaga kesehatan. Selain itu ketahanan Covid 19 untuk tetap
viabel pada beberapa permukaan benda di ruang kateterisasi (plastik, logam, tekstil,
dll) juga memungkinkan risiko kontaminasi ini bertahan lebih dari 24 jam; sehingga
paparan kepada tenaga kesehatan lain atau pasien lain cukup besar (van Doremalen N,
Bushmaker T, Morris DH, et al, 2020)

3.5 Keterlambatan Waktu


Faktor yang menyebabkan keterlambatan seorang pasien STEMI mendapat
revaskularisasi yang adekuat dapat dipilah menjadi dua: 1) penundaan pasien datang ke
fasilitas kesehatan (patient delay) dan 2) pemanjangan waktu dalam sistim fasilitas
kesehatan (healthcare delay). Kedua faktor ini menyebabkan durasi iskemi menjadi
panjang, dengan konsekuensi terjadi peningkatan risiko mortalitas maupun morbiditas
(komplikasi STEMI). Fenomena penundaan pasien STEMI mencari bantuan kesehatan
sudah dilaporkan baik secara ilmiah maupun kasus anekdotal. Di Hongkong dilaporkan
penundaan pasien STEMI selama pandemi Covid-19 berkisar 5 jam (dibandingkan
dengan selama masa non-pandemi yang berkisar 1,5 jam) (Frankie TC-C, Kent-Shek C,

19
Simon L, et al. 2020). Secara paradoks, kasus STEMI yang datang ke rumah sakit
menurun saat pandemi; namun kasus kematian mendadak di luar rumah sakit
meningkat. Italia bagian utara melaporan peningkatan kasus kematian mendadak
hingga 58% (Baldi E, Sechi GM, Mare C, et al, 2020). Kardiologis di regio daerah
tersebut melihat fenomena berkurangnya kasus STEMI di rumah sakit hingga sekitar
70%. Penurunan kasus STEMI juga dirasakan penulis di tempat kerjanya. (Nb: Tentu
saja kita tidak bisa membuat kesimpulan penyebab pasti kematian luar rumah sakit
adalah STEMI atau terkait Covid-19 atau patomekanisme keduanya tanpa ada bukti
korelasi atau etiologi yang ilmiah).
Pemanjangan waktu dalam sistim pelayanan STEMI terjadi karena adanya
tambahan proses skrining Covid-19, baik itu berupa tes cepat, skrining lewat WA dan
jawabannya masih menunggu team Covid 19 RSSA. Belum ada laporan ilmiah terkait
bukti pemanjangan waktu ini; namun kami memperkirakan proses skrining
berkontribusi pemanjangan waktu 1-2 jam pada setiap kasus STEMI.

3.6 Strategi Solusi


Bahaya STEMI yang dapat berujung pada kematian pasien atau komplikasi
jangka panjang, pentingnya peranan durasi waktu dalam tatalaksana STEMI,
penyebaran Covid-19 yang pandemi, mudahnya penularan virus Covid 19, tidak
mudahnya mendeteksi Covid-19, dan masalah logistik menjadikan tatalaksana STEMI
sangat kompleks pada masa pandemi. Selain itu, rasa takut baik penderita STEMI
maupun tenaga kesehatan juga berkontribusi pada kompleksitas masalah. Namun,
tetap diperlukan suatu pemikiran strategi yang dapat menjadi solusi untuk masalah
yang kompleks ini. Dalam pelaksanaannya, setiap strategi harus mendapat dukungan
baik berupa kebijakan maupun logistik dari rumah sakit pelaksana layanan. Beberapa
strategi yang dapat dipikirkan untuk menjadi solusi akan kami ajukan selanjutnya.

3.6.1 Skrining massal


Covid-19 telah menjadi pandemi di hampir semua tempat atau negara.
Dengan mobilitas manusia yang masih terjadi, virus akan mudah menemukan inang
untuk replikasi dan berpindah. Diperkirakan 70% dari orang terpapar Covid 19 dapat
tanpa gejala saat diperiksa. Identifikasi massal di daerah yang menjadi epicentrum
epidemi diperlukan untuk kepentingan semua aspek pelaksanaan kehidupan termasuk
dalam pelayanan kesehatan. Memasukkan skrining massal dalam mitigasi pandemi di
beberapa negara (misalnya Jerman dan New Zealand) mempercepat kembalinya
fungsi sosial kehidupan. Metode skrining massal perlu dipikirkan sebagai bagian
kebijakan nasional atau regional, dengan memenuhi prinsip: akurat atau mendekati
akurat, hasil yang cepat, murah atau tanpa biaya, dan dilakukan terhadap semua atau
sebanyak mungkin individu di regio daerah tertentu (klaster). Skrining massal yang
dilakukan dapat membantu identifikasi subklaster tertentu yang sudah terpapar Covid
19 dan dapat menjadi pre-test probability bagi individu penderita STEMI yang
masuk ke rumahsakit.

3.6.2 Rule out strategy


Skrining secara umum sudah dilakukan di beberapa rumahsakit di Indonesia
dengan tes cepat (serologi (ECLIA) maupun PCR) digabung dengan X-ray dan atau
CT-scan. Tidak ada tes yang sempurna, namun dalam pelayanan pasien STEMI
diharapkan memenuhi prinsip 1) hasil mendekati akurat dan 2) hasil yang cepat.
Idealnya keseluruhan proses skrining tidak melebihi 30 menit. Durasi 30 menit ini
kami usulkan secara arbriter mengingat manfaat trombolisis yang dapat dicapai
maksimal jika durasi door-to-needle < 30 menit. Prinsip lain yang perlu ditekankan
dalam pelaporan hasil adalah memasukkan unsur pre-test probability seorang
individu menderita Covid-19 saat datang ke UGD. Pre-test probability ini sangat
ideal didapatkan jika diketahui apakah penderita berasal dari klaster yang tinggi
prevalensi Covid-19.
Sebaliknya pre-test probability dapat menjadi rendah atau bahkan negatif
jika secara meyakinkan pasien yang datang adalah pasien STEMI yang “tipikal”.
Sebagai gambaran: jika seorang penderita datang mengeluh sesak berat dan EKG
menunjukkan elevasi ST; lalu X-ray atau CT-scan tidak menunjukkan gambaran lesi
di paru, maka sangat dimungkinkan keluhan sesaknya adalah angina ekuivalen yang
diakibatkan oleh miokard iskemi atau infark (didukung oleh gambaran ST elevasi
yang khas pada STEMI). Kelemahan dalam pola pikir ini adalah dengan asumsi
bahwa Covid-19 tidak menyebabkan sindrom koroner akut atau insidensnya kecil
(misalnya <1%)

21
3.6.3 Sistim pilah unit: Covid dan Non-Covid
Semaksimal mungkin unit rumahsakit secara fisik dibagi menjadi dua yaitu
unit Covid dan unit Non-Covid. Pemilahan terutama untuk unit gawat darurat dan
unit rawat intensif. Manfaat dari pemilahan ini adalah 1) menghindari infeksi silang
dari pasien Covid-19 ke pasien yang non-Covid), 2) alur tatalaksana non-Covid
misalnya STEMI dapat lebih efisien karena pergerakan tenaga kesehatan yang lebih
fleksibel dan 3) mengefisiensikan pemakaian APD. APD perlu disediakan dan diatur
penggunaan sesuai unit yang dipilah tersebut. Anjuran APD yang sesuai harus
mengikuti rekomendasi resmi (misalnya dari WHO).
BAB IV
PENUTUP

4.1 KESIMPULAN
a) Coronavirus adalah suatu kelompok virus yang dapat menyebabkan penyakit pada
hewan atau manusia. Beberapa jenis coronavirus diketahui menyebabkan infeksi
saluran nafas pada manusia mulai dari batuk pilek hingga yang lebih serius seperti
Middle East Respiratory Syndrome (MERS) dan Severe Acute Respiratory
Syndrome (SARS).
b) Infeksi COVID-19 dapat menyebabkan gejala ISPA ringan sampai berat bahkan
sampai terjadi Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS), sepsis dan syok
septik
c) Sampai saat ini tidak ada pengobatan spesifik anti-COVID-19 untuk pasien dalam
pengawasan atau konfirmasi COVID-19. sehingga penatalaksanaan adalah dengan
memberikan pengobatan untuk meredakan tanda dan gejala berdasarkan gejala
yang timbul.
d) APD menjadi sangat esensial dalam mitigasi penularan SARS-CoV2 karena sifat
virus ini yang sangat mudah berpindah melalui droplet mikro.

4.2 SARAN
4.2.1 Bagi Perawat dan Dokter
 Perawat rumah sakit Instalasi Gawat Darurat, diharapkan dapat memberikan
Terapi Suportif Dini dan Pemantauan tepat
 Meningkatkan informasi yang tersampaikan dengan baik kepada pasien
mengenai pencegahan dan pengendalian infeksi Karena keterampilan
berkomunikasi menjadi kunci bagi tercapainya tujuan dari pemberian edukasi ini

4.2.2 Bagi Rumah Sakit


Dibutuhkan sebuah kebijakan rumah sakit dalam membuat panduan praktik klinik
dalam penatalaksanaan penanganan Infeksi COVID-19 di Instalasi Gawat Darurat
dan Ruang catheterisasi Jantung.

23
DAFTAR PUSTAKA

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2017. Peraturan menteri kesehatan Republik


Indonesia Nomor 27 Tahun 2017 Tentang Pedoman PPI. Pencegahan dan Pengendalian
Infeksi (PPI).

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2017. Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi


MERSCoV di Indonesia.

World Health Organization (WHO). 2020. https://www.who.int/health-topics/coronavirus.


Diakses 18 Januari 2020.

World Health Organization (WHO).2020.Global surveillance for human infection with novel-
coronavirus(2019-ncov).https://www.who.int/publications-detail/global surveillancefor-
human-infection-with-novel-coronavirus-(2019-ncov). Diakses 20 Januari 2020.

World Health Organization (WHO).2020.Global surveillance for human infection with novel-
coronavirus(2019-ncov).https://www.who.int/publications-detail/global-surveillancefor-
human-infection-with-novel-coronavirus-(2019-ncov) Interim 31 Januari 2020. Diakses 31
Januari 2020.

World Health Organization (WHO).2020. Laboratory testing for 2019 novel coronavirus (2019-
nCoV) in suspected human cases. https://www.who.int/publicationsdetail/laboratory-
testing-for-2019-novel-coronavirus-in-suspected-human-cases. Diakses 17Januari 2020

Pengurus Pusat PERKI. Panduan Praktik Klinis Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular
Indonesia: STEMI dengan Kecurigaan Covid-19; 2020.

Mehra MR, Desai SS, Kuy S, et al. Cardiovascular Disease, Drug Therapy, and Mortality in
Covid-19. N Engl J Med. 2020. doi:10.1056/NEJMoa2007621
Lang M, Som A, Mendoza DP, et al. Hypoxaemia related to COVID-19: vascular and perfusion
abnormalities on dual-energy CT. Lancet Infect Dis. 2020. doi:10.1016/S1473-
3099(20)30367-4

Perini P, Nabulsi B, Massoni CB, et al. Acute limb ischaemia in two young, non-atherosclerotic
patients with COVID-19. Lancet. 2020. doi:10.1016/S0140-6736(20)31051-5

Doyen D, Moceri P, Ducreux D, et al. Myocarditis in a patient with COVID-19: a cause of raised
troponin and ECG changes. Lancet. 2020. doi:10.1016/S0140-6736(20)309120

SG, Matteo M, Daniela T, et al. ST-Elevation Myocardial Infarction in Patients with COVID-19:
Clinical and Angiographic Outcomes. Circulation. 2020.
doi:10.1161/CIRCULATIONAHA.120.047525

Ai T, Yang Z, Hou H, et al. Correlation of Chest CT and RT-PCR Testing in Coronavirus


Disease 2019 (COVID-19) in China: A Report of 1014 Cases. Radiology. 2020.
doi:10.1148/radiol.2020200642

Inui S, Fujikawa A, Jitsu M, et al. Chest CT Findings in Cases from the Cruise Ship “Diamond
Princess” with Coronavirus Disease 2019 (COVID-19). Radiol Cardiothorac Imaging.
2020. doi:10.1148/ryct.2020200110

Guan W, Ni Z, Hu Y, et al. Clinical Characteristics of Coronavirus Disease 2019 in China. N


Engl J Med. 2020;382(18):1708–1720.

WHO. Infection prevention and control of epidemic- and pandemic-prone acute respiratory
infections in health care - WHO Guidelines; 2014. Accessed at:
https://apps.who.int/iris/bitstream/handle/10665/112656/9789241507134_eng.pdf?
sequence=1&isAllowed=y

van Doremalen N, Bushmaker T, Morris DH, et al. Aerosol and Surface Stability of SARS-CoV-
2 as Compared with SARS-CoV-1. N Engl J Med. 2020;382(16):1564–1567.

Frankie TC-C, Kent-Shek C, Simon L, et al. Impact of Coronavirus Disease 2019 (COVID-19)
Outbreak on ST-Segment–Elevation Myocardial Infarction Care in Hong Kong, China.
Circ Cardiovasc Qual Outcomes. 2020. doi:10.1161/CIRCOUTCOMES.120.006631

Baldi E, Sechi GM, Mare C, et al. Out-of-Hospital Cardiac Arrest during the Covid-19 Outbreak
in Italy. N Engl J Med. 2020. doi:10.1056/NEJMc2010418.

25
Tsui KL, Li SK, Li MC, et al. Preparedness of the cardiac catheterization laboratory for severe
acute respiratory syndrome (SARS) and other epidemics. J Invasive Cardiol.
2005;17(3):149‐152.

Han Y, Zeng H, Jiang H, et al. CSC Expert Consensus on Principles of Clinical Management of
Patients with Severe Emergent Cardiovascular Diseases during the COVID-19 Epidemic.
Circulation. 2020. 10.1161/CIRCULATIONAHA.120.047011.

Mahmud E, Dauerman HL, Welt FGP, et al. Management of Acute Myocardial Infarction
During the COVID-19 Pandemic. J Am Coll Cardiol. 2020. doi:10.1016/j.jacc.2020.04.039

Anda mungkin juga menyukai