(PERJUANGAN DIPLOMASI)
DISUSUN OLEH :
- JELITA SINAMBELA
- MONICA
- M. NABIEL ISLAMY PASYAH
- RESTA AMABELL HOPAYA
- RIZKY ELSANDY
KELAS : IX E
MATA PELAJARAN : IPS
Pada masa Orde Lama (Orla), kebijakan luar negeri Indonesia dan diplomasi
dipengaruhi oleh semangat patriotisme pasca kolonial dan juga pada awal Perang Dingin
ditingkat internasional. Pasca kemerdekaan Indonesia tahun 1945, agenda utama kebijakan
luar negeri Indonesia, seperti halnya yang dilakukan oleh negara lain didunia ini ketika baru
memproklamirkan kemerdekaannya, adalah mencari pengakuan dari negara-negara lain
didunia. Hal yang sama juga dilakukan oleh pemerintah Indonesia saat itu sehingga fokus
utama kebijakan luar negeri Indonesia saat itu diarahkan kepada upaya pencarian pengakuan
dari negara lain yang diikuti dengan pembukaan hubungan diplomatik dengan berbagai
negara di dunia. Selain itu usaha diplomat yang sangat signifikan waktu itu membuat
Indonesia menjadi sebuah kekuatan yang besar di wilayah Asia Tenggara, seperti halnya
pencapaian dari diplomasi Indonesia, seperti : Keikutsertaan Indonesia dalam operasi
pemeliharaan PBB di Gurun Sinai, Kongo, sampai dengan Bosnia. Mengadakan Perhelatan
besar seperti KAA (konfrensi Asia Afrika) dan GNB (gerakan non-blok) sehingga
menghasilkan resolusi dari PBB, mampu mengahsilkan hukum laut internasional yang baru
yang khusus mengenai negara kepulauan (archipelagic state), dan samapai membentuk kerja
sama regional ASEAN, APEC, dan ASEM.
Awal kebijakan luar negeri Indonesia kemudian juga dipengaruhi oleh perkembangan
politik internasional yang saat itu sedang memasuki babak awal Perang Dingin di era tahun
1960-an. Dengan kondisi domestik Indonesia, sebagai sebuah negara yang baru berdiri,
negara ini kemudian mencoba mencari sosok atau membangun profilnye dalam dunia
internasional. Kondisi ekonomi yang relatif lemah namun memiliki semangat patriotisme
yang besar membuat pemerintah Indonesia harus menentukan arah kebijakannya diluar negeri
untuk membangun citra Indonesia. Mohammad Hatta mengatakan bahwa politik luar negeri
Indonesia bagaikan "mendayung diantara dua karang". Artinya, politik luar negeri Indonesia
berada pada posisi yang netral diantara dua kekuatan besar dunia (Amerika Serikat dan Uni
Soviet). Kebijakan luar negeri yang dilakukan oleh Soekarno cenderung mendekati kelompok
sosialis China. Sebenarnya kebijakan ini tidak secara langsung berkaitan dengan pertentangan
ideologi yang sedang berkembang saat itu, namun lebih diwarnai oleh semangat menentang
kolonialisme yang masih berlangsung di beberapa negara di Asia dan Afrika. Dan kebetulan,
negara-negara yang melakukan praktik kolonialisme adalah negara-negara Barat yang pada
umumnya adalah negara-negara kapitalis. Sedangkan negara-negara yang mengalami
penjajahan Barat memiliki pemikiran dan penentangan yang serupa dengan ide-ide yang
diusung oleh negara-negara Sosialis.
Dari bacaan diatas dapat dismpulkan bahwa prinsip diplomasi Indonesia sama dengan
prinsip kebijakan luar negeri Indonesia yakni "Bebas Aktif" dengan kata lain "Bebas", berarti
bebas memilih blok manapun dan mengikuti perhelatan internasional manapun serta "Aktif",
berarti aktif dalam dunia Internasional dan aktif dalam mengikuti perhelatan Internasional
manapun.
Di samping isu keamanan dan geopolitik yang beredar, tak bisa dimungkiri bahwa
Indonesia dan Australia sudah menjadi partner ekonomi sejak lama. Faktanya, Perdana
Menteri Australia Malcolm Turnbull – seperti pendahulunya, Paul Keating – melakukan
kunjungan pertama ke Indonesia tepat setelah menduduki jabatannya. Padahal, setiap perdana
menteri Australia memiliki tradisi kunjungan pertama ke London atau Washington. Jika kita
lihat sejarahnya, ada bukti kuat bahwa Australia selalu mendukung Indonesia. Begitu juga
sebaliknya, sebagai partner ekonomi. Bagaimanapun juga, Indonesia merupakan kontinen
pertama yang menjadi rekan perdagangan Australia. Hal itu berawal, ketika nenek moyang
Australia menjual teripang dan bahan baku lainnya pada rekannya di Makasar. Sejak era awal
kemerdekaan RI pada 1940-an, Australia telah menjalin kesepakatan dalam beragam bidang,
seperti perdagangan, investasi, dan pendidikan. Rekaman awal kerja sama kedua negara itu
disaksikan langsung oleh Joe Isaac, seorang pengamat ekonomi Australia yang mendapat
penghargaan di Sydney bulan lalu.
Menurut Isaac, yang hadir pada misi William Macmahon Ball di Batavia (nama awal
Jakarta) di Dutch East Indies pada November 1945, hubungan dengan Australia begitu kuat
dari masa awal kemerdekaan. Terutama ketika Indonesia melawan Belanda, tepat setelah
Jepang menyerah di Perang Dunia II. "Kami bertemu dengan Sukarno tepat setelah mendarat,
dan dua kali setelahnya. Australia bersimpati dengan aspirasi politik Indonesia; dan dia
menggambarkan reaksi Sukarno terhadap pengiriman kapal penuh dengan pasokan medis dari
Pemerinta Australia. Tidak diragukan lagi, melihat tindakan pekerja pesisir Australia – yang
menolak pemuatan kapal Belanda, terkait kemerdekaan Indonesia – Sukarno menunjukkan
rasa syukurnya untuk dukungan tersebut,” ingat Isaac. Bantuan tersebut merupakan sebuah
tindakan besar untuk negeri yang baru merdeka. Isaac juga mencatat, seorang spesialis
diplomasi-akademik Indonesia, Tom Critchley dan Jamie Mackie, “Memberikan kepercayaan
pada Pemerintah Indonesia dalam pencalonan Australia dalam Good Offices Committee
(Komisi Tiga Negara Perserikatan Bangsa- Bangsa) terkait tindakan pekerja pesisir yang
melarang pemuatan kapal Belanda dan atas dukungan Australia pada Indonesia di Dewan
Keamanan Perserikatan Bangsa- Bangsa (PBB)”.
Lalu, 50 tahun kemudian, hubungan baik dalam bidang ekonomi itu berlanjut dalam
krisis keuangan Asia pada 19997-1999. Saat itu, Reserve Bank of Australia (RBA) atau lebih
tepatnya Wakil Gubernur Stephen Grenville, yang pada saat itu menjabat duta besar di
Jakarta, berselisih dengan Dana Moneter Internasional (IMF) dan Administrasi Clinton AS
dalam analisis mereka terhadap perekonomian Indonesia. Kemudian, Bendahara Australia,
Peter Costello, menerapkan nasihat Grenville dan Gubernur RBA Glenn Stevens terkait
Indonesia dan tidak mengindahkan IMF dan tim ekonomi Clinton. Selanjutnya, dia
menerapkan tindakan yang benar-benar berbeda dari Washington terhadap perekonomian
Indonesia. Keputusan itu berakibat membaiknya perekonomian Indonsia. Tidak hanya itu,
kondisi perekonomian pun lebih cepat pulih dan terhindar dari kejatuhan dibanding negara
berkembang lainnya yang menuruti nasihat IMF. Hasilnya, Indonesia menjadi rekan bisnis
dan edukasi penting bagi Australia. Pada 2015, kerja sama perdagangan dua arah mampu
menghasilkan keuntungan sampai 16 miliar dolar. Pada skala lebih besar, Indonesia masih
menjadi mitra ekonomi yang diremahkan. Padahal, nama-nama besar seperti ANZ, Leighton,
Commonwealth Bank, Orica dan Bluescope, serta lebih dari 2.400 bisnis Australia
mengekspor barang ke Indonesia. Selain itu, banyak perusahaan Australia menerima
keuntungan empat kali lebih besar dari usaha mereka Cina dan India. Meski hanya ada sekitar
250 perusahaan Australia yang berdiri di Indonesia, dibandingkan dengan lebih dari 3000
keberadaannya di pasar lain, misalnya China. Memang, walau perjalanan kerja sama antar
negara ini telah berjalan lama dan baik, tetap masih banyak yang harus dilakukan. Bulan lalu,
Menteri Perdagangan dan Investasi Australia, Andrew Robb, disertai 360 peserta delegasi
bisnis ke Indonesia untuk menghadiri Indonesia Australia Business Week 2015. Bisnis
mewakili berbagai industri termasuk infrastruktur, manufaktur maju, pertanian dan ketahanan
pangan, makanan dan minuman premium, kesehatan dan umur perawatan, sumber daya dan
energi, serta pendidikan dan pariwisata. “Indonesia-Australia Business Week merupakan
kesempatan membangun hubungan untuk mempertahankan dan mengembangkan hubungan
bisnis ini, serta mengeksplorasi cara memasuki pasar yang berkembang pesat, yaitu lebih dari
250 juta penduduk di depan kami dan bangkitnya kelas menengah,” kata Robb. Diplomasi
ekonomi dengan Indonesia juga berjalan dalam sistem bipartisan. Bahkan, Shadow Treasurer
Australia Chris Bowen, mempelajari Bahasa Indonesia sebagai salah satu tanda
penghormatan terhadap pentingnya hubungan Indonesia untuk Australia dalam hal hubungan
ekonomi. Dapat disimpulkan bahwa dalam hal diplomasi ekonomi, Indonesia dan Australia
telah memiliki hubungan dagang yang kuat di masa lalu. Selanjutnya, kita bisa meyakini
bahwa kedua negara akan membuka lebar, memperluas dan memperdalam di tahun-tahun ke
depan.
“Negara Kosovo, misalnya, merdeka pada tahun 2008. Negara ini belum mendapat
pengakuan dari banyak negara. Dengan demikian belum menjadi negara dan menjadi anggota
PBB. Banyak negara tercatat menolak kemerdekaan Kosovo,” ujar Anshor dalam Diskusi 70
Tahun Pengakuan Kedaulatan Indonesia di Museum Perumusan Naskah Proklamas pada 28
Februari 2019.
Menurutnya, bukan hanya aktivitas militer yang penting untuk menjadi negara
merdeka yang diakui internasional. Bukan pekik heroik dan angkat senjata saja. Tetapi
perjuangan diplomasi ikut berperan penting.
Setelah Konferensi Meja Bundar (KMB) pada 23 Agustus – 2 November 1949, lanjut
Anshor, hasil diplomasi Indonesia dibawa ke Dewan Keamanan (DK) Perserikatan Bangsa
Bangsa (PBB). Kemudian Resolusi DK PBB No,67 (S/RES/67) pada 28 Januari 1949
menyerukan dua hal.
“Setelah melalui perjuangan diplomasi yang panjang pada 1982, deklarasi Juanda
dapat diterima dan ditetapkan dalam Konvensi laut PBB ke III Tahun 1982 (United Nations
Convention on The Law of The Sea (UNCLOS 1982),” kata Anshor.
Dalam malam acara resepsi diplomatik tersebut ditampilkan berbagai atraksi budaya
Indonesia. Dimulai dari konser angklung yang melibatkan seluruh diplomat dan tamu
undangan, tari Joko Tarub, Tari Gambyong, Tari Jaipong hingga konser angklung massal
yang diikuti oleh seluruh Diplomat Asing, Home staf, Lokal staf, Perwakilan Organisasi
Internasional, dan masyarakat Indonesia dari berbagai profesi. Atraksi-atraksi budaya ini
mengundang decak kagum dari berbagai diplomat asing dan warga Saudi yang hadir dalam
acara tersebut. Berkali-kali mereka mengacungkan kedua jempol dengan berucap “amazing”
diikuti dengan tepuk tangan yang sangat meriah. Mereka, para diplomat asing dan warga
Saudi benar-benar menikmati budaya Indonesia.
Selain atraksi budaya, acara juga diselingi dengan pemutaran film promosi wisata
Indonesia dan sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia. Banyak diplomat asing yang
mengagumi keindahan alam Indonesia dan ingin segera berkunjung ke Indonesia. Selepas
menikmati berbagai atraksi budaya, para tamu undangan juga disuguhi aneka hidangan khas
Indonesia seperti bakso, sate, mie goreng, gado-gado, empek-empek, lumpia, tongseng,
gudeg dan aneka jajanan khas Indonesia. Di sela-sela menikmati hidangan inilah para
diplomat asing memuji dan sangat mengapresiasi budaya Indonesia dan mengagumi
keindahan alam Indonesia. Di akhir acara semua undangan mendapat kenang-kenangan
berupa pin angklung dan seperangkat angklung. Bagi para diplomat asing, momen resepsi
diplomatik menjadi momen yang tak terlupakan karena mereka bisa mengenal budaya
Indonesia dan bisa bermain angklung kolosal. Dari malam resepsi diplomatik ini sepertinya
masih ada harapan untuk membangun citra Indonesia di Arab Saudi agar semakin baik di
mata dunia dengan budaya khas Indonesia sepertinya masih ada.