Satu hari setelah perebutan gedung Cokan Kantai, para pejuang Yogyakarta
ingin melakukan perebutan senjata dan markas Osha Butai di Kotabaru.
Rakyat dan para pemuda terus mengepung markas Osha Butai di Kotabaru.
Rakyat dan para pemuda terdiri dari berbagai kesatuan, antara lain TKR,
Polisi Istimewa, dan BPU (Barisan Penjagaan Umum) sudah bertekad untuk
menyerbu markas Jepang di Kotabaru.
Sedangkan dari arah Magelang pasukan TKR Divisi V/Purwokerto di bawah pimpinan Imam
Androngi melakukan serangan fajar pada tanggal 21 November 1945. Serangan itu bertujuan
untuk memukul mundur pasukan Sekutu yang bertahan di desa Pingit. Pasukan yang dipimpin
oleh Imam Androngi herhasil menduduki desa Pingit dan melakukan perebutan terhadap desa-
desa sekitarnya. Batalion Imam Androngi meneruskan gerakan pengejarannya. Kemudian Batalion
Imam Androngi diperkuat tiga hatalion dari Yogyakarta, yaitu Batalion 10 di bawah pimpinan
Mayor Soeharto, Batalion 8 di bawah pimpinan Mayor Sardjono, dan batalion Sugeng.
Akhirnya musuh terkepung, walaupun demikian, pasukan musuh mencoba untuk menerobos
kepungan itu. Caranya adalah dengan melakukan gerakan melambung dan mengancam
kedudukan pasukan TKR dengan menggunakan tank-tank dari arah belakang. Untuk mencegah
jatuhnya korban, pasukan TKR mundur ke Bedono. Dengan bantuan Resimen Dua yang dipimpin
oleh M. Sarbini, Batalion Polisi Istimewa yang dipimpin oleh Onie Sastroatmojo, dan batalion dari
Yogyakarta mengakibatkan gerakan musuh berhasil ditahan di desa Jambu. Di desa Jambu, para
komandan pasukan mengadakan rapat koordinasi yang dipimpin oleh Kolonel Holland Iskandar.
Rapat itu menghasilkan pembentukan komando yang disebut Markas Pimpinan Pertempuran,
bertempat di Magelang. Sejak saat itu, Ambarawa dibagi atas empat sektor, yaitu sektor utara,
sektor timur, sektor selatan, dan sektor barat. Kekuatan pasukan tempur disiagakan secara
bergantian. Pada tanggal 26 November 1945, pimpinan pasukan dari Purwokerto Letnan Kolonel
Isdiman gugur maka sejak saat itu Kolonel Sudirman Panglima Divisi V di Purwokerto mengambil
alih pimpinan pasukan. Situasi pertempuran menguntungkan pasukan TKR.
E. Pertempuran Medan Area
Pada tanggal 18 Oktober 1945 Sekutu mengeluarkan ultimatum yang isinya : 1.
Melarang rakyat membawa senjata 2. Semua senjata harus diserahkan kepada pasukan
Sekutu Karena ultimatumnya tidak dihiraukan oleh rakyat Medan, Pasukan Sekutu
mengerahkan kekuatannya untuk menggempur kota Medan dan sekitarnya. Serangan
Sekutu ini dihadapi dengan gagah berani oleh pejuang RI dibawah koordinasi kolonel
Ahmad Tahir
PROSES Pada tanggal 24 Agustus 1945, antara pemerintah Kerajaan Inggris dan
Kerajaan Belanda tercapai suatu persetujuan yang terkenal dengan nama civil Affairs
Agreement yang menyatakan bahwa panglima tentara pendudukan Inggris di Indonesia
akan memegang kekuasaan atas nama pemerintah Belanda. Yang dislenggarakan oleh
NICA dan dibawah komando Inggris. Dan kekuasaan tersebut kelak dikembalikan pada
Belanda.
Pada tanggal 27 Agustus 1945 rakyat Medan baru mendengar berita proklamasi yang
dibawa oleh Mr. Teuku Moh. Hassan sebagai Gubernur Sumatera. Menanggapi berita
proklamasi para pemuda dibawah pimpinan Achmad Tahir membentuk barisan Pemuda
Indonesia. Pada tanggal 9 Oktober 1945 rencana dalam Civil Affairs Agreement benar-
benar dilaksanakan.
Tentara NICA yang telah dipersiapkan untuk mengambil alih pemerintahan ikut
membonceng pasukan Inggris dan pasuukan Inggris bertugas untuk membebaskan
tentara Belanda yang ditawan Jepang. Para tawanan dari daerah Rantau Prapat,
Pematang Siantar, dan Brastagi dikirim ke Medan atas persetujuan Gubernur Moh.
Hasan. Ternyata kelompok tawanan itu dibentuk menjadi “Medan Batalyon KNIL”, dan
bersikap congkak.
Para pemuda dipelopori oleh Achmad Tahir, membentuk Barisan Pemuda Indonesia.
Kemudian pada tanggal 10 Oktober 1945 dibentuklah TKR (Tentara Keamanan Rakyat)
Sumatera Timur. Pada tanggal 13 Oktober 1945 terjadi insiden di sebuah hotel di Jalan
Bali, Medan. Seorang anggota NICA menginjak-injak bendera merah putih yang
dirampas dari seorang pemuda. Pemuda-pemuda Indonesia marah. Hotel tersebut
dikepung dan diserang oleh para pemuda dan TRI (Tentara Republik Indonesia).
Terjadilah pertempuran.
Pada tanggal 1 Desember 1945, pihak Sekutu memasang papan-papan yang bertuliskan
Fixed Boundaries Medan Area di berbagai sudut kota Medan. Dengan cara itu, Inggris
menetapkan secara sepihak batas-batas kekuasaan mereka. Hal ini menimbulkan reaksi
para pemuda dan TKR untuk melawan kekuatan asing yang mencoba berkuasa kembali.
Pada tanggal 10 Agustus 1946 di Tebingtinggi diadakan pertemuan antara komandan-
komandan pasukan yang berjuang di Medan Area. Pertemuan tersebut memutuskan
dibentuknya satu komando yang bernama Komando Resimen Laskar Rakyat Medan
Area.
Dalam waktu 3 minggu Komando Medan Area (KMA) mengadakan konsolidasi, disusun
rencana serangan baru terhadap Kota Medan. Hari "H" ditentukan 15 Februari 1947
pukul 06.00 WIB. Untuk masing-masing sektor telah ditentukan Komandannya yakni
pertempuran di front Medan Barat dipimpin oleh Mayor Hasan Achmad dari Resimen
Istimewa Medan Area atau RIMA. Pertempuran di front Medan Area Selatan dipimpin
oleh Mayor Martinus Lubis dan pertempuran di front Koridor Medan Belawan berasal dari
pasukan Yahya Hasan dan Letnan Muda Amir Yahya dari Kompi II Batalyion III RIMA.
Sayang karena kesalahan komunikasi serangan ini tidak dilakukan secara serentak, tapi
walaupun demikian serangan umum ini berhasil membuat Belanda kalang kabut
sepanjang malam. Menjelang Subuh, pasukan kita mundur ke Mariendal. Serangan
umum 15 Februari 1947 ini merupakan serangan besar terakhir yang dilancarkan oleh
pejuang- pejuang di Medan Area.
F. Bandung Lautan Api
terjadi karena pasukan Inggris mulai memasuki kota Bandung sejak pertengahan bulan
Oktober 1945. Di Bandung, pasukan Inggris dan NICA melakukan teror terhadap rakyat
sehingga mengakibatkan terjadinya pertempuran. Menjelang bulan November 1945,
pasukan NICA semakin merajalela di Bandung. Setelah masuknya tentara Inggris yang
berasal dari satuan NICA memanfaatkannya untuk mengembalikan kekuasaannya atas
kota Bandung. Hal ini menyebabkan semangat juang rakyat dan para pemuda yang
tergabung dalam TKR dan badan-badan perjuangan lainnya semakin berkobar.
Pertempuran besar dan kecil terus berlangsung di Bandung. Malapetaka lain juga terjadi di
Bandung, yaitu dengan jebolnya bendungan Sungai Cikapundung yang menimbulkan
bencana banjir besar di kota Bandung. Peristiwa itu terjadi pada malam hari tanggal 25
November 1945. Pada saat itu kota Bandung dibagi menjadi dua, yaitu pasukan Sekutu
menduduki daerah Bandung Utara dan Bandung Selatan menjadi daerah Republik
Indonesia. Jebolnya tanggul sungai itu dikaitkan dengan aksi teror yang dilakukan oleh
NICA sehingga menimbulkan amarah rakyat dan mereka melakukan aksi pembalasan.
Sesuai dengan kebijakan politik diplomasi, pihak Republik Indonesia mengosongkan daerah Bandung
Utara. Namun, karena Sekutu menuntut pengosongan sejauh sebelas kilometer dari Bandung Selatan,
akibatnya meletus pertempuran dan aksi bumi hangus di segenap penjuru kota. Kota Bandung
terbakar hebat dari batas timur Cicadas sampai dengan batas barat Andir. Satu juta jiwa penduduk
kota Bandung menyingkir ke luar kota. Pada tanggal 23 dan 24 Maret 1946 mereka meninggalkan
kota Bandung yang telah menjadi lautan api. Peristiwa itu diabadikan dalam lagu Halo-Halo Bandung.
Tokoh pejuang dalam pertempuran Bandung itu, di antaranya: Aruji Kertawinata, Sutoko, Nawawi
Alib, Kolonel Hidayat, Oto Iskandardinata, dan Kolonel A.H. Nasution (Panglima Divisi Jawa Barat).
Sementara itu, benteng NICA yang terletak di Dayeuh Kolot, Bandung Selatan dikepung oleh para
pejuang Bandung sebagai taktik menghancurkan daerah itu. Dalam pertempuran itu, seorang pemuda
yang bernama Toha siap berjibaku untuk menghancurkan gudang mesiu dengan membawa alat
peledak. Toha menyelundup dan meledakkan diri sehingga hancurlah gudang mesiu milik NICA. Toha
gugur dalam menjalankan tugasnya untuk bangsa dan Negara. Peristiwa tersebut difilmkan dengan
judul Toha Pahlawan Bandung Selatan. Sebagai peringatan kejadian ini juga telah dibangun
tugu Bandung lautan api.
Penyebaran berita proklamasi kemerdekaan Indonesia ini sendiri berawal dari pesan Drs. Moh.
Hatta kepada pemuda B.M. Diah seorang wartawan yang ikut hadir dalam perumusan teks
proklamasi, untuk, memperbanyak teks proklamasi dan menyiarkannya ke seluruh dunia. Pesan ini
disampaikan oleh Drs. Mohammad Hatta, pada tanggal 16 Agustus 1945 jam 20.00 WIB sesaat
setelah teks proklamasi kemerdekaan selesai dirumuskan.
Pada tanggal 17 Agustus 1945 teks proklamasi tersebut berhasil diselundupkan dan sampai ke
tangan Waidan B. Palenewen, seorang Kepala Bagian dari Kantor Berita Domei (sekarang : Kantor
Berita Antara) . Waidan B. Palenewen menerima teks tersebut dari seorang wartawan berita Domei
sendiri yang bernama Syahruddin. Seterusnya Waidan memerintahkan seorang markonis radio
yang bernama F. Wuz untuk menyiarkannya secara terus menerus dengan jeda waktu 30 menit
sampai pukul 16.00 saat siaran berhenti.
Mendengar siaran berita Radio Domei/Yoshima ini, pucuk pimpinan tentara Jepang di Jawa
memerintahkan untuk meralat berita tersebut dan menyatakannya sebagai kekeliruan. Namun hal ini
tidak dapat menyurutkan semangat para wartawan Radio Domei untuk tetap menyiarkannya.
Akibatnya pada tanggal 20 Agustus 1945 kantor berita tersebut disegel dan para pegawainya
dilarang masuk.
Namun semangat para tokoh pemuda bangsa ini memang sangat luar biasa. Setelah kantor berita
tersebut disegel, mereka tanpa sepengetahuan militer Jepang, mengambil beberapa peralatan
penting yang dimiliki Kantor Berita Domei. Kemudian mereka membuat pemancar baru di jalan
Menteng 31 Jakarta, dengan bantuan beberapa teknisi radio, yaitu Sukarman, Sutanto,
Susilahardja, Suhandar, dan M. Yusuf Ronodipuro. Bahkan kemudian M. Yusuf Ronodipuro
bertindak sebagai pembaca berita proklamasi. Dengan kode panggilan DJK 1 pemancar baru ini
terus menerus menyiarkan berita ke seluruh pelosok Jawa dan tanah air.
Konflik yang terus terjadi antara Indonesia dan Belanda menjadi alasan
terjadinya Perjanjian Linggarjati. Konflik ini terjadi karena Belanda belum
mau mengakui kemerdekaan bangsa Indonesia yang baru saja
dideklarasikan.
Perjanjian Linggarjati Resmi ditanda tangani oleh kedua belah pihak pada
tanggal 25 Maret 1947 dalam upacara kenegaraan yang berlangsung di
Istana Negara, Jakarta.
B. Latar Belakang Agresi Militer I atau Penyebab Terjadinya Agresi Militer Belanda I
Agresi militer Belanda I diawali oleh perselisihan Indonesia dan Belanda akibat perbedaan penafsiran
terhadap ketentuan hasil Perundingan Linggarjati. Pihak Belanda cenderung menempatkan Indonesia
sebagai negara persekmakmuran dengan Belanda sebagai negara induk. Sebaliknya, pihak Indonesia
tetap teguh mempertahankan kedaulatannya, lepas dari Belanda.
Agresi Militer Belanda I ternyata menimbulkan reaksi yang hebat dari dunia Internasional. Pada
tanggal 30 Juli 1947. Permintaan resmi agar masalah Indonesia segera dimasukkan dalam daftar
acara Dewan Keamanan PBB. Pada tanggal 1 Agustus 1947, Dewan Keamanan PBB memerintah
penghentian permusuhan antara kedua belah pihak. Gencatan senjata mulai berlaku tanggal 4
Agustus 1947. Guna mengawasi pelaksanaan gencatan senjata, dibentuk Komisi Konsuler yang
anggotanya terdiri atas konsul jenderal yang ada di Indonesia. Komisi Konsuler yang dikuasi oleh
Konsuler Jenderal Amerika Serikat Dr. Walter Foote dengan anggotanya Konsul Jenderal Cina, Prancis,
Australia, Belgia dan Inggris.
Komisi Konsuler itu diperkuat dengan militer Amerika Serikat dan Prancis, yaitu sebagai peninjau
militer. Dalam laporannya kepada Dewan Keamanan PBB, Komisi Konsuler menyatakan bahwa antara
tanggal 30 Juli 1947 - 4 Agustus 1947 pasukan Belanda masih mengadakan gerakan militer.
Pemerintah Indonesia menolak garis demarkasi yang dituntut oleh pemerintah Belanda berdasarkan
kemajuan pasukannya setelah perintah gencatan senjata. Namun penghentian tembak-menembak
telah dimusyawarahkan, meski belum menemukan tindakan yang dapat mengurangi jatuhnya korban
jiwa.
Pada tanggal 18 September 1947, Dewan Keamanan PBB membentuk sebuah Komisi
Jasa Baik. Komite ini di kenal sebagai Committee of Good Offices for Indonesia (Komite
Jasa Baik Untuk Indonesia), Komisi Tiga Negara (KTN), disebut begitu sebab
beranggotakan tiga negara, yaitu
a. Australia yang dipilih oleh Indonesia diwakili oleh Richard C. Kirby
b. Belgia yang dipilih oleh Belanda diwakili oleh Paul van Zeeland
c. Amerika Serikat sebagai pihak yang netral menunjuk Dr. Frank Graham.
Tugas KTN
1. Menguasai dengan cara langsung penghentian tembak menembak sesuai dengan
resolusi PBB
2. Menjadi penengah konflik antara Indonesia serta Belanda.
3. Memasang patok-patok wilayah status quo yang dibantu oleh TNI
4. Mempertemukan kembali Indonesia serta Belanda dalam Perundingan Renville. Tetapi,
Perundingan Renville ini menyebabkan wilayah RI makin sempit.
Komisi ini kemudian terkenal dengan sebutan Komisi Tiga Negara. Dalam
pertemuannya pada tanggal 20 Oktober 1947, KTN memutuskan bahwa tugas KTN di
Indonesia adalah untuk membantu menyelesaikan sengketa antara RI dan Belanda
dengan cara damai. Pada tanggal 27 Oktober 1947, KTN tiba di Jakarta untuk memulai
pekerjaannya.
Kehadiran KTN di Indonesia sangat berarti bagi Indonesia, disamping sabagai fasilitator
berbagai perundingan, mengawasi gencatan senjata, hingga dapat mengembalikan
para pemimpin Republik Indonesia seperti Ir. Soekarno, Drs. Mohammad Hatta dan H.
Agus Salin yang ditawan Belanda di Bangka tanggal 6 Juli 1947
4. Perjanjian Renville
Latar belakang munculnya Perjanjian Renville adalah keinginan Belanda untuk terus
memperluas wilayah kekuasaanya, yang kemudian dikenal dengan garis demarkasi
Van Mook, yaitu garis terdepan dari pasuka Belanda setelah Agresi Militer sampai
perintah genjatan senjata sampai Dewan Keamanan PBB tanggal 4 Agustus 1947.
Untuk mengatasi konflik Indonesia-Belanda maka dibentuklah komisi jasa baik yaitu
Komisi Tiga Negara (KTN) yang beranggotakan tiga negara yaitu Belgia, Amerika, dan
Australia:
a. Belgia diwakili oleh Paul van Zeeland
b. Australia diwakili oleh Richard Kirby
c. Amerika Serikat diwakili oleh Frank Graham
Komisi tiga negara tiba di Indonesia pada tanggal 27 Oktober 1947 dan segera
melakukan kontak dengan Indonesia maupun Belanda. Tujuannya untuk membantu
Indonesia-Belanda menyelesaikan konflik. Indonesia dan Belanda tidak mau
mengadakan pertemuan di wilayah yang dikuasai oleh salah satu pihak. Karena itu,
Amerika Serikat menawarkan untuk mengadakan pertemuan di gelaak Kapal
Renvillemilik Amerika Serikat . Indonesia dan Belanda menerima tawaran tersebut.
Akhirnya KTN dapat mempertemukan wakil-wakil Belanda dan RI dimeja perundingan
yaitu di Kapal Renville milik USA yang berlabuh di Tanjung Priok pada 8 Desember
1947 sampai 17 Januari 1948. Delegasi Indonesia dipimpin oleh PM. Amir Syarifuddin.
Sedangkan delegasi Belanda dipimpin oleh R. Abdulkadir Widjojoatmojo, orang
Indonesia yang memihak Belanda. KTN sebagai penengah perundingan.
Pada saat terjadi agresi militer Belanda II, Presiden Sukarno telah membuat mandat
kepada Syafruddin Prawiranegara yang ketika itu berada di Bukittinggi untuk
membentuk pemerintah darurat. Sukarno mengirimkan mandat serupa kepada Mr.
Maramis dan Dr. Sudarsono yang sedang berada di New Delhi, India apabila
pembentukan PDRI di Sumatra mengalami kegagalan. Namun, Syafruddin berhasil
mendeklarasi berdirinya Pemerintah Darurat Republik Indonesia ini dilakukan di
Kabupaten Lima Puluh Kota pada tanggal 19 Desember 1948.
Susunan pemerintahannya antara lain sebagai berikut.
a. Mr. Syafruddin Prawiranegara sebagai ketua merangkap Perdana Menteri, Menteri
Pertahanan dan Menteri Penerangan.
b. Mr. T.M. Hassan sebagai wakil ketua merangkap Menteri Dalam Negeri, Menteri
Pendidikan, dan Menteri Agama.
c. Ir. S.M. Rasyid sebagai Menteri Keamanan merangkap Menteri Sosial, Pembangunan
dan Pemuda.
d. Mr. Lukman Hakim sebagai Menteri Keuangan merangkap Menteri Kehakiman.
e. Ir. Sitompul sebagai Menteri Pekerjaan Umum merangkap Menteri Kesehatan.
f. Maryono Danubroto sebagai Sekretaris PDRI.
g. Jenderal Sudirman sebagai Panglima Besar.
h. Kolonel A.H. Nasution sebagai Panglima Tentara Teritorial Jawa.
i. Kolonel Hidayat sebagai Panglima Tentara Teritorial Sumatra.
PDRI yang dipimpin oleh Syafruddin Prawiranegara ternyata berhasil memainkan
peranan yang penting dalam mempertahankan dan menegakkan pemerintah RI.
PDRI dapat berfungsi sebagai mandataris kekuasaan pemerintah RI dan berperan
sebagai pemerintah pusat. PDRI juga berperan sebagai kunci dalam mengatur arus
informasi, sehingga mata rantai komunikasi tidak terputus dari daerah yang satu ke
daerah yang lain. Radiogram mengenai masih berdirinya PDRI dikirimkan kepada
Ketua Konferensi Asia, Pandit Jawaharlal Nehru oleh Radio Rimba Raya yang berada
di Aceh Tengah pada tanggal 23 Januari 1948. PDRI juga berhasil menjalin hubungan
dan berbagi tugas dengan perwakilan RI di India. Dari India informasi-informasi tentang
keberadaan dan perjuangan bangsa dan negara RI dapat disebarluaskan ke berbagai
penjuru. Terbukalah mata dunia mengenai keadaan RI yang sesungguhnya.
Konflik antara Indonesia dengan Belanda masih terus berlanjut. Namun semakin
terbukanya mata dunia terkait dengan konflik itu, menempatkan posisi Indonesia
semakin menguntungkan. Untuk mempercepat penyelesaikan konflik ini maka oleh DK
PBB dibentuklah UNCI (United Nations Commission for Indonesia) atau Komisi PBB
untuk Indonesia sebagai pengganti KTN. UNCI ini memiliki kekuasaan yang lebih besar
dibanding KTN. UNCI berhak mengambil keputusan yang mengikat atas dasar suara
mayoritas.
Ketika Presidan, Wakil presiden dan pembesar-pembesar Republik ditawan Belanda di
Bangka, delegasi BFO (Bijzonder Federaal Overleg) mengunjungi mereka dan
mengadakan perundingan. UNCI mengumumkan bahwa delegasi-delegasi Republik,
Belanda dan BFO telah mecapai persetujuan pendapat mengenai akan
diselenggarakannya KMB. UNCI juga berhasil menjadi mediator dalam KMB. Bahkan
peranan itu juga tampak sampai penyerahan dan pemulihan kekuasaan Pemerintah RI
di Indonesia.
Panglima Besar Sudirman yang dalam kondisi sakit paru-paru memimpin perang gerilya. Ia dan
rombongan melakukan perjalanan dan pergerakan dari Yogyakarta menuju Gunungkidul dengan
melewati beberapa kecamatan, menuju Pracimantoro, Wonogiri, Ponorogo, Trenggalek dan Kediri.
Dalam gerakan gerilya dengan satu paru-paru Sudirman kadang harus ditandu atau dipapah oleh
pengawal masuk hutan, naik gunung, turun jurang harus memimpin pasukan, memberikan motivasi dan
komando kepada TNI dan para pejuang untuk terus mempertahankan tegaknya panji-panji NKRI. Dari
Kediri lalu memutar kembali melewati Trenggalek, terus melakukan perjalanan sampai akhirnya di Sobo.
Di tempat ini telah dijadikan markas gerilya sampai saat Presiden dan wakil Presiden dengan beberapa
menteri kembali ke Yogyakarta.
Sungguh heroik perjalanan Sudirman. Ia telah menempuh perjalanan kurang lebih 1000 km. Waktu
gerilya mencapai enam bulan dengan penuh derita, lapar dan dahaga. Sudirman tidak lagi memimikirkan
harta, jiwa dan raganya semua dikorbankan demi tegaknya kedaulatan bangsa dan Negara.