Anda di halaman 1dari 15

Merdeka atau Mati

Kedatangan Sekutu di Indonesia menimbulkan berbagai reaksi dari masyarakat Indonesia.


Apalagi dengan memboncengnya Belanda yang ingin menguasai kembali Indonesia. Hal ini
mengakibatkan berbagai upaya penentangan dan perlawanan dari masyarakat.
A. Perjuangan rakyat Semarang dalam melawan
tentara Jepang
Dengan menyerahnya Jepang terhadap Sekutu pada tanggal 15 Agustus 1945 dan menyusul
diproklamasikannya Republik Indonesia 17 Agustus 1945, seharusnya selesailah kekuasaan Jepang di
Indonesia. Dan ditunjuknya Mr Wongsonegoro sebagai penguasa ( gubernur ) Republik Indonesia untuk Jawa
Tengah dengan pusat pemerintahannya di Semarang, maka kewajiban pemerintah di Jawa Tengah untuk
mengambil alih kekuasaan yang selama ini dipegang oleh Jepang meliputi pemerintahan dan keamanan. Maka
dibentuklah Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang kemudian menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Berita
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia membuat rakyat Semarang khususnya pemuda terlibat aksi perlucutan
senjata tentara Jepang tanpa kekerasan. Aksi perlucutan senjata tanpa kekerasan ini terjadi di beberapa daerah
kota dan kabupaten. Tetapi kekerasan justru terjadi di Semarang, Ibukota Provinsi Jawa Tengah. Tanggal 13
Oktober 1945, Tentara Jepang Kidobutai yang bermarkas di Jatingaleh menolak penyerahan senjata sehingga
terjadi ketegangan antara pemuda dan tentara Jepang. Termasuk Mayor Kido sang komandan yang pada
tanggal 14 Oktober 1945 tidak memberikan persetujuannya meskipun dijamin oleh Gubernur Wongsonegoro
bahwa senjata tersebut tidak digunakan untuk melawan Jepang. Para pemudapun marah dan curiga karena
saat itu berbarengan dengan Sekutu yang telah mendaratkan pasukannya di Pulau Jawa. Para pemuda kuatir
kalau senjata-senjata itu akan diserahkan kepada Sekutu sehingga berpendapat mereka harus bisa
memperoleh senjata sebelum Sekutu mendarat di Semarang. Karena diperkirakan Sekutu akan diboncengi
Belanda yang tujuannya akan menjajah Indonesia lagi. Malam tanggal 15 Oktober 1945 keadaan kota
Semarang sangat mencekam. Di kampung-kampung yang menjadi basis BKR para pemudanya tampak dalam
keadaan siap. Mereka terdiri dari gabungan BKR, Polisi Istimewa, AMRI, AMKA (Angkatan Muda Kereta Api) dan
beberapa organisasi pemuda. Sementara pasukan Jepang mendapat tambahan pasukan tempur dari Irian Jaya
yang dalam perjalanan ke Jakarta, karena kehabisan logistik maka mendarat di Semarang. Sedangkan para
pemuda sendiri belum punya pengalaman bertempur kecuali Polisi dan ex-PETA atau Heiho. Pertempuran
antara Jepang melawan para pemuda ini berkobar sejak dari Cepiring (30km sebelah barat Semarang) hingga
Jatingaleh daerah kota atas. Di Jatingaleh pasukan Jepang yang berhasil dipukul mundur oleh para pemuda
bergabung dengan Kidobutai yang bermarkas di Jatingaleh. Suasana kota Semarang menjadi panas dan
terdengar kabar bahwa pasukan Kidobutai akan mengadakan serangan balasan terhadap pemuda Semarang.
Pasukan Jepang bersenjata lengkap melancarkan serangan mendadak sekaligus melucuti senjata delapan Polisi
Istimewa yang sedang menjaga sumber air minum bagi warga kota Semarang. Kedelapan polisi itu dibawa dan
disiksa ke markas Kidobutai di Jatingaleh, seiring dengan meluasnya desas desus yang menggelisahkan
masyarakat bahwa reservoir (cadangan air minum) Siranda di Candi Lama akan diracuni oleh tentara Jepang.
Selepas Maghrib, setelah mendapat telepon dari pimpinan Pusat Rumah Sakit Rakyat (Purusara) dr. Karyadi
yang menjabat sebagai Kepala Laboratorium Purusara langsung meluncur ke Siranda untuk mengecek
kebenarannya. Meskipun istri beliau drg. Soenarti telah mencegahnya untuk pergi karena suasana yang sangat
membahayakan. Tetapi dr Karyadi berpendapat lain, ia harus menyelidiki desas-desus itu karena menyangkut
nyawa ribuan warga Semarang. Dan kenyataannya dr. Karyadi tidak pernah sampai ke tujuan, jenazahnya
ditemukan di jalan Pandanaran karena dibunuh secara keji oleh tentara Jepang. Dokter muda ini gugur dalam
usia 40 tahun. (namanya kemudian diabadikan menjadi RSUP Dr Karyadi di Semarang). Berita gugurnya dr
Karyadi menyulut kemarahan warga Semarang. Dan terjadilah pertempuran yang meluas ke berbagai penjuru
kota. Korban banyak berjatuhan dimana-mana. Kidobutai benar-benar melancarkan serangannya ke tengah-
tengah kota Semarang. Dinihari tanggal 15 Oktober 1945 pasukan Kidobutai yang berjumlah sekitar 500-1000
orang tiba-tiba melakukan serangan terhadap markas BKR. Mereka diserang dari dua jurusan dengan
tembakan tekidanto (pelempar granat) dan senapan mesin. Pertempuran yang tidak imbang membuat pemuda
BKR tidak dapat mempertahankan markasnya. Pada tanggal 17 Oktober 1945 tentara Jepang meminta
gencatan senjata namun diam-diam melakukan serangan ke kampung-kampung. Tanggal 19 Oktober 1945
pertempuran masih berlangsung di berbagai penjuru kota. Dan pertempuran berakhir setelah kedatangan
tentara Sekutu yang mendarat di pelabuhan Semarang dengan kapal HMS Glenry sehingga mempercepat
perdamaian antara Jepang dan rakyat. Pertempuran yang berlangsung selama lima hari ini memakan korban
sekitar 2000 pihak Indonesia dan 850 tentara Jepang. Monumen Tugu Muda yang menjadi pusat peringatan
Pertempuran Lima Hari di Semarang terletak di kawasan yang banyak merekam peristiwa pertempuran selama
lima hari. Dan Bangunan Lawang Sewu yang berdiri kokoh di seberangnya menjadi saksi bisu kebiadaban
tentara Jepang terhadap pemuda-pemuda kereta api yang disiksa dan dibunuh atau dipenjara di dalam
gedung.
B. Pengambilalihan kekuasaan Jepang di Yogyakarta

Di Yogyakarta, perebutan kekuasaan secara serentak dimulai pada tanggal 26


September 1945. Sejak pukul 10 pagi, semua pegawai instansi pemerintah
dan perusahaan-perusahaan yang dikuasai oleh Jepang mengadakan aksi
pemogokan. Mereka memaksa orang-orang Jepang agar menyerahkan
semua kantor mereka kepada orang Indonesia. Pada tanggal 27 September
1945, KNI Daerah Yogyakarta mengumumkan bahwa kekuasaan di daerah
itu telah berada di tangan Pemerintahan RI.

Kepala Daerah Yogyakarta yang dijabat oleh Jepang (Cokan) harus


meninggalkan kantornya di jalan Malioboro. Tanggal 5 Oktober 1945,
gedung Cokan Kantai berhasil direbut dan kemudian dijadikan sebagai
kantor Komite Nasional Indonesia Daerah. Gedung Cokan Kantai kemudian
dikenal dengan Gedung Nasional atau Gedung Agung.

Satu hari setelah perebutan gedung Cokan Kantai, para pejuang Yogyakarta
ingin melakukan perebutan senjata dan markas Osha Butai di Kotabaru.
Rakyat dan para pemuda terus mengepung markas Osha Butai di Kotabaru.
Rakyat dan para pemuda terdiri dari berbagai kesatuan, antara lain TKR,
Polisi Istimewa, dan BPU (Barisan Penjagaan Umum) sudah bertekad untuk
menyerbu markas Jepang di Kotabaru.

Sekitar pukul 03.00 WIB tanggal 7 Oktober 1945, terjadilah pertempuran


antara rakyat, pemuda, dan kesatuan dengan tentara Jepang di Yogyakarta.
Butaico Pingit segera menghubungi TKR dan menyatakan menyerah, dengan
jaminan anak buahnya tidak disiksa. Hal ini diterima baik oleh TKR.
Kemudian,
TKR meminta agar Butaico Pingit dapat mempengaruhi Butaico Kotabaru
untuk menyerah. Ternyata Butaico menolak untuk menyerah. Akibatnya
serangan para pejuang Indonesia semakin ditingkatkan.

Akhirnya pada tanggal 7 Oktober 1945 sekitar pukul 10.00, markas


Jepang di Kotabaru secara resmi diserahkan ke tangan Yogyakarta. Dalam
pertempuran itu, pihak Indonesia yang gugur 21 orang dan 32 orang
lukaluka.
Sedangkan dari pihak Jepang, 9 orang tewas dan 15 orang luka-luka.
Setelah markas Kotabaru jatuh, usaha perebutan kekuasaan meluas. R.P.
Sudarsono kemudian memimpin perlucutan senjata Kaigun di Maguwo.
Dengan berakhirnya pertempuran Kotabaru dan dikuasainya Maguwo, maka
Yogyakarta berada di bawah kekuasaan RI.
C. Ribuan nyawa arek Surabaya untuk Indonesia
Pasukan sekutu mendarat di Surabaya tanggal 25 oktober 1945 dibawah pimpinan
A.W.S. Mallaby dari inggris. Kedatangan tentara sekutu yang diboncengi NICA
tersebut semakin menimbulkan kecurigaan pemuda surabaya karena tentara sekutu
segera membebaskan orang-orang belanda yang ditahan jepang dan menduduki
pelabuhan tanjung perak serta gedung internatio. Pada tanggal 27 oktober
1945,pesawat terbang inggris menyebarkn pamflet yang memerintahkan kepada
rakyat Surabaya untuk menyerahkan senjata yang dirampas dari tentara jepang.
Melihat gerakan sekutu, para pemuda surabaya segera melakukan perlawanan
sehingga terjadilah bentrokan bersenjata secara sporadis dikota surabaya selama 3
hari sejak tanggal 28 oktober sampai 30 oktober 1945. Sekitar 20.000 pasukan TKR
dan 120.000 pemuda pejuang melakukan perlawanan sengit terhadap tentara
inggris.dalam pertempuran tersebut ,pasukan inggris dapat dipukul mundur .bahkan
jendral Mallaby dapat ditawan oleh para pemuda surabaya,dan sekutu prgi
menghadap presiden
Sukarno,wakil presiden Hatta, dan menteri penerangan Amir syarifuddin untuk merundingkan
gencatan senjata dengan panglima sekutu jenderal Sir Philip Christison dan menetapknan
tanggal 30 oktober1945 sebagai dimulainya gencatan senjata.
Sehari kemudian, tentara sekutu menyerang penjara Kalisosok. Tindakan Sekutu terus
berlanjut. Mereka juga menduduki Pelabuhan Tanjung Perak, Kantor Pos Besar,
Gedung Internatio, dan objek-objek penting lainnya.
Tindakan tentara sekutu menimbulkan kemarahan rakyat Surabaya. Pada tanggal 28
Oktober 1945, pertempuran meluas di beberapa tempat di Surabaya. Untuk
meredakan situasi maka Ir. Soekarno, Drs. Mohammad Hatta, Amir Syafiruddin, dan
Jendral Hawtron melakukan perundiangan gencatan senjata.
Pengumuman gencatan senjata telah disebarluaskan ke wilayah Surabaya. Namun,
pertempuran masih berkecamuk di beberapa tempat. Brigjen Mallaby dan pasukannya
bertahan di Gedung Internatio, dekat Jembatan Merah. Terjadi tembak-menembak
antara pasukan Inggris dan Para Pemuda. Dalam peristiwa tersebut, Mallaby
terbunuh.
Kematian Mallaby membuat sekutu marah. Sekutu mengeluarkan ultimatum kepada
rakyat di Surabaya. Ultimatum dikeluarkan tanggal 9 November 1945. Isi ultimatum
ini adalah agar warga Surabaya menyerahkan diri pada sekutu. Batas akhir
penyerahan diri adalah pukul 06.00 WIB tanggal 10 November 1945.
Rakyat Surabaya tidak gentar. Mereka tidak menghiraukan ultimatum sekutu.
Pertempuranpun terjadi pada tanggal 10 November 1945. Kota Surabaya diserang
dari darat, laut, dan udara. Rakyat surabaya berjuang mempertahankan kemerdekaan.
Mereka dipimpin Gubernur Suryo, Bung Tomo, dan kolonel Sungkono. Pertempuran
berlangsung selama tiga minggu.
D. Pertempuran Palagan Ambarawa
Pada tanggal 20 November 1945 dipertempuran Ambarawa pecah     pertempuran antara TKR di
bawah pimpinan Mayor Sumarto dan pihak Sekutu. Pada tanggal 21 November 1945, pasukan
Sekutu yang berada di Magelang ditarik ke Ambarawa di bawah lindungan pesawat tempur.
Namun, tanggal 22 November 1945 pertempuran berkobar di dalam kota dan pasukan Sekutu
melakukan terhadap perkampungan di sekitar Ambarawa. Pasukan TKR di Ambarawa bersama
dengan pasukan TKR dari Boyolali, Salatiga, dan Kartasura bertahan di kuburan Belanda, sehingga
membentuk garis medan di sepanjang rel kereta api yang membelah kota Ambarawa.

Sedangkan dari arah Magelang pasukan TKR Divisi V/Purwokerto di bawah pimpinan Imam
Androngi melakukan serangan fajar pada tanggal 21 November 1945. Serangan itu bertujuan
untuk memukul mundur pasukan Sekutu yang bertahan di desa Pingit. Pasukan yang dipimpin
oleh Imam Androngi herhasil menduduki desa Pingit dan melakukan perebutan terhadap desa-
desa sekitarnya. Batalion Imam Androngi meneruskan gerakan pengejarannya. Kemudian Batalion
Imam Androngi diperkuat tiga hatalion dari Yogyakarta, yaitu Batalion 10 di bawah pimpinan
Mayor Soeharto, Batalion 8 di bawah pimpinan Mayor Sardjono, dan batalion Sugeng.

Akhirnya musuh terkepung, walaupun demikian, pasukan musuh mencoba untuk menerobos
kepungan itu. Caranya adalah dengan melakukan gerakan melambung dan mengancam
kedudukan pasukan TKR dengan menggunakan tank-tank dari arah belakang. Untuk mencegah
jatuhnya korban, pasukan TKR mundur ke Bedono. Dengan bantuan Resimen Dua yang dipimpin
oleh M. Sarbini, Batalion Polisi Istimewa yang dipimpin oleh Onie Sastroatmojo, dan batalion dari
Yogyakarta mengakibatkan gerakan musuh berhasil ditahan di desa Jambu. Di desa Jambu, para
komandan pasukan mengadakan rapat koordinasi yang dipimpin oleh Kolonel Holland Iskandar.

Rapat itu menghasilkan pembentukan komando yang disebut Markas Pimpinan Pertempuran,
bertempat di Magelang. Sejak saat itu, Ambarawa dibagi atas empat sektor, yaitu sektor utara,
sektor timur, sektor selatan, dan sektor barat. Kekuatan pasukan tempur disiagakan secara
bergantian. Pada tanggal 26 November 1945, pimpinan pasukan dari Purwokerto Letnan Kolonel
Isdiman gugur maka sejak saat itu Kolonel Sudirman Panglima Divisi V di Purwokerto mengambil
alih pimpinan pasukan. Situasi pertempuran menguntungkan pasukan TKR.
E. Pertempuran Medan Area
Pada tanggal 18 Oktober 1945 Sekutu mengeluarkan ultimatum yang isinya : 1.
Melarang rakyat membawa senjata 2. Semua senjata harus diserahkan kepada pasukan
Sekutu Karena ultimatumnya tidak dihiraukan oleh rakyat Medan, Pasukan Sekutu
mengerahkan kekuatannya untuk menggempur kota Medan dan sekitarnya. Serangan
Sekutu ini dihadapi dengan gagah berani oleh pejuang RI dibawah koordinasi kolonel
Ahmad Tahir
 PROSES Pada tanggal 24 Agustus 1945, antara pemerintah Kerajaan Inggris dan
Kerajaan Belanda tercapai suatu persetujuan yang terkenal dengan nama civil Affairs
Agreement yang menyatakan bahwa panglima tentara pendudukan Inggris di Indonesia
akan memegang kekuasaan atas nama pemerintah Belanda. Yang dislenggarakan oleh
NICA dan dibawah komando Inggris. Dan kekuasaan tersebut kelak dikembalikan pada
Belanda.
 Pada tanggal 27 Agustus 1945 rakyat Medan baru mendengar berita proklamasi yang
dibawa oleh Mr. Teuku Moh. Hassan sebagai Gubernur Sumatera. Menanggapi berita
proklamasi para pemuda dibawah pimpinan Achmad Tahir membentuk barisan Pemuda
Indonesia. Pada tanggal 9 Oktober 1945 rencana dalam Civil Affairs Agreement benar-
benar dilaksanakan.
 Tentara NICA yang telah dipersiapkan untuk mengambil alih pemerintahan ikut
membonceng pasukan Inggris dan pasuukan Inggris bertugas untuk membebaskan
tentara Belanda yang ditawan Jepang. Para tawanan dari daerah Rantau Prapat,
Pematang Siantar, dan Brastagi dikirim ke Medan atas persetujuan Gubernur Moh.
Hasan. Ternyata kelompok tawanan itu dibentuk menjadi “Medan Batalyon KNIL”, dan
bersikap congkak.
 Para pemuda dipelopori oleh Achmad Tahir, membentuk Barisan Pemuda Indonesia.
Kemudian pada tanggal 10 Oktober 1945 dibentuklah TKR (Tentara Keamanan Rakyat)
Sumatera Timur. Pada tanggal 13 Oktober 1945 terjadi insiden di sebuah hotel di Jalan
Bali, Medan. Seorang anggota NICA menginjak-injak bendera merah putih yang
dirampas dari seorang pemuda. Pemuda-pemuda Indonesia marah. Hotel tersebut
dikepung dan diserang oleh para pemuda dan TRI (Tentara Republik Indonesia).
Terjadilah pertempuran.
Pada tanggal 1 Desember 1945, pihak Sekutu memasang papan-papan yang bertuliskan
Fixed Boundaries Medan Area di berbagai sudut kota Medan. Dengan cara itu, Inggris
menetapkan secara sepihak batas-batas kekuasaan mereka. Hal ini menimbulkan reaksi
para pemuda dan TKR untuk melawan kekuatan asing yang mencoba berkuasa kembali.
Pada tanggal 10 Agustus 1946 di Tebingtinggi diadakan pertemuan antara komandan-
komandan pasukan yang berjuang di Medan Area. Pertemuan tersebut memutuskan
dibentuknya satu komando yang bernama Komando Resimen Laskar Rakyat Medan
Area.
 Dalam waktu 3 minggu Komando Medan Area (KMA) mengadakan konsolidasi, disusun
rencana serangan baru terhadap Kota Medan. Hari "H" ditentukan 15 Februari 1947
pukul 06.00 WIB. Untuk masing-masing sektor telah ditentukan Komandannya yakni
pertempuran di front Medan Barat dipimpin oleh Mayor Hasan Achmad dari Resimen
Istimewa Medan Area atau RIMA. Pertempuran di front Medan Area Selatan dipimpin
oleh Mayor Martinus Lubis dan pertempuran di front Koridor Medan Belawan berasal dari
pasukan Yahya Hasan dan Letnan Muda Amir Yahya dari Kompi II Batalyion III RIMA.
 Sayang karena kesalahan komunikasi serangan ini tidak dilakukan secara serentak, tapi
walaupun demikian serangan umum ini berhasil membuat Belanda kalang kabut
sepanjang malam. Menjelang Subuh, pasukan kita mundur ke Mariendal. Serangan
umum 15 Februari 1947 ini merupakan serangan besar terakhir yang dilancarkan oleh
pejuang- pejuang di Medan Area.
F. Bandung Lautan Api
terjadi karena pasukan Inggris mulai memasuki kota Bandung sejak pertengahan bulan
Oktober 1945. Di Bandung, pasukan Inggris dan NICA melakukan teror terhadap rakyat
sehingga mengakibatkan terjadinya pertempuran.  Menjelang bulan November 1945,
pasukan NICA semakin merajalela di  Bandung. Setelah masuknya tentara Inggris yang
berasal dari satuan NICA memanfaatkannya untuk mengembalikan  kekuasaannya atas
kota Bandung. Hal ini menyebabkan semangat juang rakyat dan para pemuda yang
tergabung dalam TKR dan badan-badan perjuangan lainnya semakin berkobar.

Pertempuran besar dan kecil terus berlangsung di Bandung. Malapetaka lain juga terjadi di
Bandung, yaitu dengan jebolnya bendungan Sungai Cikapundung yang menimbulkan
bencana banjir besar di kota Bandung. Peristiwa itu terjadi pada malam hari tanggal 25
November 1945. Pada saat itu kota Bandung dibagi menjadi dua, yaitu pasukan Sekutu
menduduki daerah Bandung Utara dan Bandung Selatan menjadi daerah Republik
Indonesia. Jebolnya tanggul sungai itu dikaitkan dengan aksi teror yang dilakukan oleh
NICA sehingga menimbulkan amarah rakyat dan mereka melakukan aksi pembalasan.
Sesuai dengan kebijakan politik diplomasi, pihak Republik Indonesia mengosongkan daerah Bandung
Utara. Namun, karena Sekutu menuntut pengosongan sejauh sebelas kilometer dari Bandung Selatan,
akibatnya meletus pertempuran dan aksi bumi hangus di segenap penjuru kota. Kota Bandung
terbakar hebat dari batas timur Cicadas sampai dengan batas barat Andir. Satu juta jiwa penduduk
kota Bandung menyingkir ke luar kota. Pada tanggal 23 dan 24 Maret 1946 mereka meninggalkan
kota Bandung yang telah menjadi lautan api. Peristiwa itu diabadikan dalam lagu Halo-Halo Bandung.
Tokoh pejuang dalam pertempuran Bandung itu, di antaranya: Aruji Kertawinata, Sutoko, Nawawi
Alib, Kolonel Hidayat, Oto Iskandardinata, dan Kolonel A.H. Nasution (Panglima Divisi Jawa Barat).

Pahlawan Bandung Selatan

Sementara itu, benteng NICA yang terletak di Dayeuh Kolot, Bandung Selatan dikepung oleh para
pejuang Bandung sebagai taktik menghancurkan daerah itu. Dalam pertempuran itu, seorang pemuda
yang bernama Toha siap berjibaku untuk menghancurkan gudang mesiu dengan membawa alat
peledak. Toha menyelundup dan meledakkan diri sehingga hancurlah gudang mesiu milik  NICA. Toha
gugur dalam menjalankan tugasnya untuk bangsa dan Negara. Peristiwa tersebut difilmkan dengan
judul Toha Pahlawan Bandung Selatan. Sebagai peringatan kejadian ini juga telah dibangun
tugu Bandung lautan api.

G. Berita Proklamasi di Sulawesi


Sesaat setelah teks proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 selesai
dibacakan, penyebaran berita proklamasi kemerdekaan Indoenesia gencar dilakukan agar berita
kemerdekaan ini sampai ke seluruh pelosok di tanah air bahkan luar negeri. Berbagai upaya
ditempuh untuk kepentingan ini. Baik melalui media seperti radio, koran, pamflet, coretan-coretan di
dinding dan gerbong-gerbong kerata api (grafiti) maupun melalui lisan dari mulut ke mulut. Hal ini
tidak hanya dilakukan oleh tokoh-tokoh BPUPKI atau PPKI tetapi oleh setiap lapisan masyarakat di
negeri ini, terutama dari kalangan pemuda. 

Penyebaran berita proklamasi kemerdekaan Indonesia ini sendiri berawal dari pesan Drs. Moh.
Hatta kepada pemuda B.M. Diah seorang wartawan yang ikut hadir dalam perumusan teks
proklamasi, untuk, memperbanyak teks proklamasi dan menyiarkannya ke seluruh dunia. Pesan ini
disampaikan oleh Drs. Mohammad Hatta, pada tanggal 16 Agustus 1945 jam 20.00 WIB sesaat
setelah teks proklamasi kemerdekaan selesai dirumuskan. 
Pada tanggal 17 Agustus 1945 teks proklamasi tersebut berhasil diselundupkan dan sampai ke
tangan Waidan B. Palenewen, seorang Kepala Bagian dari Kantor Berita Domei (sekarang : Kantor
Berita Antara) . Waidan B. Palenewen menerima teks tersebut dari seorang wartawan berita Domei
sendiri yang bernama Syahruddin. Seterusnya Waidan memerintahkan seorang markonis radio
yang bernama F. Wuz untuk menyiarkannya secara terus menerus dengan jeda waktu 30 menit
sampai pukul 16.00 saat siaran berhenti. 

Mendengar siaran berita Radio Domei/Yoshima ini, pucuk pimpinan tentara Jepang di Jawa
memerintahkan untuk meralat berita tersebut dan menyatakannya sebagai kekeliruan. Namun hal ini
tidak dapat menyurutkan semangat para wartawan Radio Domei untuk tetap menyiarkannya.
Akibatnya pada tanggal 20 Agustus 1945 kantor berita tersebut disegel dan para pegawainya
dilarang masuk. 

Namun semangat para tokoh pemuda bangsa ini memang sangat luar biasa. Setelah kantor berita
tersebut disegel, mereka tanpa sepengetahuan militer Jepang, mengambil beberapa peralatan
penting yang dimiliki Kantor Berita Domei. Kemudian mereka membuat pemancar baru di jalan
Menteng 31 Jakarta, dengan bantuan beberapa teknisi radio, yaitu Sukarman, Sutanto,
Susilahardja, Suhandar, dan M. Yusuf Ronodipuro. Bahkan kemudian M. Yusuf Ronodipuro
bertindak sebagai pembaca berita proklamasi. Dengan kode panggilan DJK 1 pemancar baru ini
terus menerus menyiarkan berita ke seluruh pelosok Jawa dan tanah air. 

H. Operasi Lintas Laut Banyuwangi – Bali


Operasi lintas Laut Banyuwangi-Bali merupakan operasi gabungan dan
pertempuran Laut pertama sejak berdirinya negara Republik Indonesia.
Peristiwa itu dimulai dengan kedatangan belanda dengan membonceng
sekutu, mendarat di Bali dengan jumlah pasukan yang cukup besar, tanggal
3 Maret 1946. Hal ini dimaksudkan Bali sebagai batu loncatan untuk
menyerbu jawa timur yang dinilai sebagai lumbung pangan untuk kemudian
mengepung pusat kekuasaan RI. Bali juga dapat dijadikan penghubung ke
arah Australia. Para pemimpin perjuangan yang sudah sampai di Jawa
berusaha mencari bantuan dan membentuk kesatuan-kesatuan tempur.
Mereka antara lain telah membentuk Pasukan Makardi atau Pasukan
Merdeka sebagai pasukan Induk. Pasukan itu kemudian lebih dikenal
dengan nama Pasukan M. Untuk mengenang perjuangan pasukan kita yang
gugur dalam Operasi Lintas Laut di Bali maka di daerah Cekik, Gilimanuk
didirikan monumen yang dinamakan Monumen Operasi Lintas Laut
Banyuwangi-Bali.
B.MENGEVALUASI PERJUANGAN BANGSA : ANTARA PERANG dan DAMAI
1. Perjanjian Linggarjati

Konflik yang terus terjadi antara Indonesia dan Belanda menjadi alasan
terjadinya Perjanjian Linggarjati. Konflik ini terjadi karena Belanda belum
mau mengakui kemerdekaan bangsa Indonesia yang baru saja
dideklarasikan.

Para pemimpin negara menyadari bahwa untuk menyelesaikan konflik


dengan peperangan hanya akan menimbulkan korban dari kedua belah
pihak.

Untuk itu, Inggris berusaha mempertemukan Indonesia dengan Belanda di


meja perundingan guna membuat sebuah kesepakatan.

Perjanjian bersejarah antara Indonesia dan Belanda ini akhirnya terlaksana


di Linggarjati, Cirebon pada tanggal 10 November 1946.

Karena terjadinya ketidak sepahaman antara Indonesia dan Belanda, maka


perjanjian Linggarjati baru ditanda tangani oleh Indonesia pada tanggal 25
Maret 1947,

Perjanjian Linggarjati Resmi ditanda tangani oleh kedua belah pihak pada
tanggal 25 Maret 1947 dalam upacara kenegaraan yang berlangsung di
Istana Negara, Jakarta.

Berikut ini merupakan isi dari Perjanjian Linggarjati:

 Belanda mau mengakui secara de facto Republik Indonesia dengan daerah


kekuasaan meliputi Madura, Sumatera, dan Jawa. Belanda sudah harus pergi
meninggalkan daerah de facto tersebut paling lambat pada tanggal 1 Januari 1949.
 Belanda dan Republik Indonesia telah sepakat untuk membentuk Negara serikat
dengan nama RIS.
Negara Indonesia Serikat akan terdiri dari RI, Timur Besar, dan Kalimantan.
Pembentukan RIS akan dijadwalkan sebelum tanggal 1 Januari 1949.
 Belanda dan RIS sepakat untuk membentuk Uni Indonesia-Belanda dengan Ratu
Belanda sebagai ketua.
Perjanjian Linggarjati ini memiliki dampak positif maupun negatif bagi
Negara Indonesia.

Dampak Positifnya: Indonesia sebagai negara yang baru saja merdeka


mendapatkan pengakuan secara de facto oleh Belanda.
Dampak Negatifnya: Wilayah indonesia semakin sempit karena Belanda tidak
mengakui seluruh wilayah Indonesia. Belanda hanya mau mengakui wilayah
Indonesia pada pulau Jawa, Madura dan Sumatera.

2. Agresi Militer Belanda I

A. Pengertian Agresi Militer I


"Operatie Product (bahasa Indonesia: Operasi Produk) atau yang dikenal di Indonesia dengan nama
Agresi Militer Belanda I adalah operasi militer Belanda di Jawa dan Sumatera terhadap Republik
Indonesia yang dilaksanakan dari 21 Juli 1947 sampai 5 Agustus 1947. Operasi militer ini merupakan
bagian Aksi Polisionil yang diberlakukan Belanda dalam rangka mempertahankan penafsiran Belanda
atas Perundingan Linggarjati. Dari sudut pandang Republik Indonesia, operasi ini dianggap merupakan
pelanggaran dari hasil Perundingan Linggajati.

B. Latar  Belakang Agresi Militer I atau Penyebab Terjadinya Agresi Militer Belanda I 
Agresi militer Belanda I diawali oleh perselisihan Indonesia dan Belanda akibat perbedaan penafsiran
terhadap ketentuan hasil Perundingan Linggarjati. Pihak Belanda cenderung menempatkan Indonesia
sebagai negara persekmakmuran dengan Belanda sebagai negara induk. Sebaliknya, pihak Indonesia
tetap teguh mempertahankan kedaulatannya, lepas dari Belanda.

C. Tujuan Belanda Mengadakan Agresi Militer I 


Adapun tujuan Belanda mengadakan agresi militer I yaitu sebagai berikut:
1. Tujuan politik Mengepung ibu kota Republik Indonesia dan menghapus kedaulatan Republik
Indonesia.
2. Tujuan ekonomi. Merebut pusat-pusat penghasil makanan dan bahan ekspor.
3. Tujuan militer Menghancurkan Tentara Nasional Indonesia (TNI).
D. Sejarah Agresi Militer I 
Agresi Militer Belanda I direncanakan oleh H.J. van Mook. Van Mook berencana mendirikan negara
boneka dan ingin mengenbalikan kekuasaan Belanda atas wilayah Indonesia. Untuk mencapai tujuan
iitu, pihak Belanda tidak mengakui Perundingan Linggarjati, bahkan merobek-robek kertas
persetujuan itu. Selanjutnya pada tanggal 21 Juli 1947, Belanda melancarkan aksi militer yang
pertama dengan menyerang daerah-daerah Republik Indonesia di Pulau Jawa dan Sumatra. 
Pasukan TNI belum siap menghadang serangan yang datangna secara tiba-tiba itu. Serangan tersebut
mengakibatkan pasukan TNI terpencar-pencar. Dalam keadaan seperti itu, pasukan TNI berusaha
untuk membangun daerah pertahanan baru. Pasukan TNI kemudian melancarkan taktik perang
gerilya, ruang gerak untuk menghadapi pasukan Belanda. Dengan taktik perang gerilya, ruang gerak
pasukan Belanda berhasil dibatasi. Gerakan pasukan Belanda hanya berada di kota besar dan jalan
raya, sedangkan di luar kota, kekuasaan berada di tangan pasukan TNI. 

Agresi Militer Belanda I ternyata menimbulkan reaksi yang hebat dari dunia Internasional. Pada
tanggal 30 Juli 1947. Permintaan resmi agar masalah Indonesia segera dimasukkan dalam daftar
acara Dewan Keamanan PBB. Pada tanggal 1 Agustus 1947, Dewan Keamanan PBB memerintah
penghentian permusuhan antara kedua belah pihak. Gencatan senjata mulai berlaku tanggal 4
Agustus 1947. Guna mengawasi pelaksanaan gencatan senjata, dibentuk Komisi Konsuler yang
anggotanya terdiri atas konsul jenderal yang ada di Indonesia. Komisi Konsuler yang dikuasi oleh
Konsuler Jenderal Amerika Serikat Dr. Walter Foote dengan anggotanya Konsul Jenderal Cina, Prancis,
Australia, Belgia dan Inggris. 

Komisi Konsuler itu diperkuat dengan militer Amerika Serikat dan Prancis, yaitu sebagai peninjau
militer. Dalam laporannya kepada Dewan Keamanan PBB, Komisi Konsuler menyatakan bahwa antara
tanggal 30 Juli 1947 - 4 Agustus 1947 pasukan Belanda masih mengadakan gerakan militer.
Pemerintah Indonesia menolak garis demarkasi yang dituntut oleh pemerintah Belanda berdasarkan
kemajuan pasukannya setelah perintah gencatan senjata. Namun penghentian tembak-menembak
telah dimusyawarahkan, meski belum menemukan tindakan yang dapat mengurangi jatuhnya korban
jiwa. 

3. Komisi Tiga Negara Sebagai Mediator yang Berharga

Pada tanggal 18 September 1947, Dewan Keamanan PBB membentuk sebuah Komisi
Jasa Baik. Komite ini di kenal sebagai Committee of Good Offices for Indonesia (Komite
Jasa Baik Untuk Indonesia), Komisi Tiga Negara (KTN), disebut begitu sebab
beranggotakan tiga negara, yaitu
a.     Australia yang dipilih oleh Indonesia diwakili oleh Richard C. Kirby
b.    Belgia yang dipilih oleh Belanda diwakili oleh Paul van Zeeland
c.    Amerika Serikat sebagai pihak yang netral menunjuk Dr. Frank Graham.

Tugas KTN                                               
1.    Menguasai dengan cara langsung penghentian tembak menembak sesuai dengan
resolusi PBB
2.    Menjadi penengah konflik antara Indonesia serta Belanda.
3.    Memasang patok-patok wilayah status quo yang dibantu oleh TNI
4.    Mempertemukan kembali Indonesia serta Belanda dalam Perundingan Renville. Tetapi,
Perundingan Renville ini menyebabkan wilayah RI makin sempit.

Komisi ini kemudian terkenal dengan sebutan Komisi Tiga Negara. Dalam
pertemuannya pada tanggal 20 Oktober 1947, KTN memutuskan bahwa tugas KTN di
Indonesia adalah untuk membantu menyelesaikan sengketa antara RI dan Belanda
dengan cara damai. Pada tanggal 27 Oktober 1947, KTN tiba di Jakarta untuk memulai
pekerjaannya.

Beberapa perilaku Belanda terhadap Indonesia adalah :


1.    Tanggal 20 Juli 1947, Van Mook (perwakilan Belanda) menyatakan bahwa Belanda
tidak terikat lagi dengan perjanjian Linggarjati dan perjanjian gencatan senjata.
Penyataan Van Mook itu telah dibuktikan dengan melakukan Agresi Militer Belanda I
pada tanggal 21 Juli 1947 terhadap Indonesia
2.    Tanggal 29 Juli 1947, pesawat Dakota Palang Merah India ditembak oleh pesawat
pemburu Belanda di atas Yogyakarta yang menewaskan Adi Sucipto dan Dr.
Abdulrachman Saleh

Kehadiran KTN di Indonesia sangat berarti bagi Indonesia, disamping sabagai fasilitator
berbagai perundingan, mengawasi gencatan senjata, hingga dapat mengembalikan
para pemimpin Republik Indonesia seperti Ir. Soekarno, Drs. Mohammad Hatta dan H.
Agus Salin yang ditawan Belanda di Bangka tanggal 6 Juli 1947

4.    Perjanjian Renville
   Latar belakang munculnya Perjanjian Renville adalah keinginan Belanda untuk terus
memperluas wilayah kekuasaanya, yang kemudian dikenal dengan garis demarkasi
Van Mook, yaitu garis terdepan dari pasuka Belanda setelah Agresi Militer sampai
perintah genjatan senjata sampai Dewan Keamanan PBB tanggal 4 Agustus 1947.
   Untuk mengatasi konflik Indonesia-Belanda maka dibentuklah komisi jasa baik yaitu
Komisi Tiga Negara (KTN) yang beranggotakan tiga negara yaitu Belgia, Amerika, dan
Australia:
a.    Belgia diwakili oleh Paul van Zeeland
b.    Australia diwakili oleh Richard Kirby
c.    Amerika Serikat diwakili oleh Frank Graham
   Komisi tiga negara tiba di Indonesia pada tanggal 27 Oktober 1947 dan segera
melakukan kontak dengan Indonesia maupun Belanda. Tujuannya untuk membantu
Indonesia-Belanda menyelesaikan konflik. Indonesia dan Belanda tidak mau
mengadakan pertemuan di wilayah yang dikuasai oleh salah satu pihak. Karena itu,
Amerika Serikat menawarkan untuk mengadakan pertemuan di gelaak Kapal
Renvillemilik Amerika Serikat . Indonesia dan Belanda menerima tawaran tersebut.
Akhirnya KTN dapat mempertemukan wakil-wakil Belanda dan RI dimeja perundingan
yaitu di Kapal Renville milik USA yang berlabuh di Tanjung Priok pada 8 Desember
1947 sampai 17 Januari 1948. Delegasi Indonesia dipimpin oleh PM. Amir Syarifuddin.
Sedangkan delegasi Belanda dipimpin oleh R. Abdulkadir Widjojoatmojo, orang
Indonesia yang memihak Belanda. KTN sebagai penengah perundingan.

Isi Persetujuan Renville :


·         Belanda tetap berkuasa sampai terbentuknya Republik Indonesia Serikat
·         RI sejajar kedudukannya dengan Belanda dalam Uni Indonesia Belanda
·         Sebelum RIS terbentuk, Belanda dapat menyerahkan kekuasaanya kepada pemerintah
federal sementara.
·         RI merupakan negara bagian dalam RIS
·         Dalam waktu 6 bulan sampai 1 tahun akan diadakan pemilihan umum untuk
membentuk konstituante RIS
·         Tentara Indonesia di daerah pendudukan Belanda harus dipindahkanke daerah RI
   Sebenarnya banyak pemimpin negara RI menolak persetujuan Renville tersebut
tetapiakhirnya mereka bersedia menyetujui. Hal tersebut dikarenakan adanya
pertimbangan sebagai berikut :
a.    Persediaan amunisi yang menipis
b.    Adanya kepastian bahwa penolakan berarti serangan baru dari pihak Belanda secara
lebih hebat
c.    Bagi TNI, hasil perundingan ini menyebabkan seju lah wilayah pertahanan yang telah
susah payah dibangun harus ditinggalkan.
d.    Munculnya berbagai ketidakpuasan akibat perundingan ini
e.    Sementara itu Belanga membentuk negara-negara bonekanya yang terhimpun dalam
organisasi BFO (Bijeenkomst voor Federal Overleg) yang disiapkan untuk pertemuan
musyawarah federal.
   Sebagai konsekuensi ditandatanganinya Perjanjian Renville, wilayah RI semakin
sempit dikarenakan diterimanya garis demarkasi Van Mook, dimana wilayah Republik
Indonesia meliputi Yogyakarta dan sebagian Jawa Timur. Dampak lainnya adalah
Anggota TNI yang masih berada di daerah-daerah kantong yang dikuasai Belanda,
harus ditari masuk ke wilayah RI.
           
5. Agresi Militer II : Tekad Belanda Melenyapkan RI
Pada tanggal 19 Desember 1948 Belanda melancarkan agresinya yang kedua.
Sebelum pasukan Belanda begerak lebih jauh, Van Langen (wakil jenderal Spoor)
berbisik kepada Van Beek (komandan lapangan agresi II): “overste tangkap Sukarno,
Hatta, dan Sudirman, mereka bertiga masih ada di istana”, demikian perintah pimpinan
Belanda terhadap ketiga pimpinan nasional kita. Agresi militer II itu telah menimbulkan
bencana militer maupun politik bagi mereka walaupun mereka tampak memperoleh
kemenangan dengan mudah. Dengan taktik perang kilat, Belanda melancarkan
serangan di semua front RI. Serangan diawali dengan penerjunan pasukan-pasukan
payung di Pangkalan Udara Maguwo dan dengan cepat berhasil menduduki ibu kota
Yogyakarta. Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Hatta memutuskan untuk tetap
tinggal di ibukota, meskipun mereka tahu akan ditawan musuh. Alasannya, agar
mereka dengan mudah ditemui oleh TNI, sehingga kegiatan diplomasi dapat berjalan
terus. Disamping itu, Belanda tidak mungkin melancarkan serangan secara terus-
menerus, karena Presiden dan wakil Presiden sudah ada di tangan musuh.
Sebagai akibat dari keputusan itu, Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Hatta dan
lainnya juga ikut ditawan tentara Belanda. Namun kelangsungan pemerintahan RI dapat
dilanjutkan dengan baik, karena sebelum pihak Belanda sampai di Istana, Presiden
Sukarno telah berhasil mengirimkan radiogram yang berisi mandat kepada Menteri
Kemakmuran Syafruddin Prawiranegara yang sedang melakukan kunjungan ke
Sumatera untuk membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI).
Perintah sejenis juga diberikan kepada Mr. A.A. Maramis yang sedang di India. Apabila
Syafruddin Prawiranegara ternyata gagal melaksanakan kewajiban pemerintah pusat,
maka Maramis diberi wewenang untuk membentuk pernerintah pelarian (Exile
Goverment) di luar negeri.
Sementara itu, Panglima Besar Jenderal Sudirman yang sedang sakit harus dirawat di
rumah di kampung Bintaran. Setelah mendengar Belanda melancarkan serangan,
Jenderal Sudirman segera menuju istana Presiden di Gedung Agung. Ketika
mengetahui Presiden, Wakil Presiden, dan beberapa pemimpin lainnya ingin tetap
bertahan di ibu kota, maka Jenderal Sudirman, dengan para pengawalnya pergi ke luar
kota untuk mengadakan perang gerilya. Sedangkan pasukan di bawah pimpinan Letkol
Soeharto terus berusaha menghambat gerak maju pasukan Belanda.
Aksi militer Belanda yang kedua ini ternyata menarik perhatian PBB, karena Belanda secara
terang-terangan tidak mengikuti lagi Persetujuan Renville di depan Komisi Tiga Negara yang
ditugaskan oleh PBB. Pada tanggal 24 Januari 1949, Dewan Keamanan PBB membuat resolusi,
agar Republik Indonesia dan Belanda segera menghentikan permusuhan dan membebaskan
Presiden RI dan para pemimpin politik yang ditawan Belanda. Kegagalan Belanda di medan
pertempuran serta tekanan dari AS yang mengancam akan memutuskan bantuan ekonomi dan
keuangan, memaksa Belanda untuk kembali ke meja perundingan.

6. Peranan PDRI Sebagai Penjaga Eksistensi RI

Pada saat terjadi agresi militer Belanda II, Presiden Sukarno telah membuat mandat
kepada Syafruddin Prawiranegara yang ketika itu berada di Bukittinggi untuk
membentuk pemerintah darurat. Sukarno mengirimkan mandat serupa kepada Mr.
Maramis dan Dr. Sudarsono yang sedang berada di New Delhi, India apabila
pembentukan PDRI di Sumatra mengalami kegagalan. Namun, Syafruddin berhasil
mendeklarasi berdirinya Pemerintah Darurat Republik Indonesia ini dilakukan di
Kabupaten Lima Puluh Kota pada tanggal 19 Desember 1948.
Susunan pemerintahannya antara lain sebagai berikut.
a.      Mr. Syafruddin Prawiranegara sebagai ketua merangkap Perdana Menteri, Menteri
Pertahanan dan Menteri Penerangan.
b.      Mr. T.M. Hassan sebagai wakil ketua merangkap Menteri Dalam Negeri, Menteri
Pendidikan, dan Menteri Agama.
c.       Ir. S.M. Rasyid sebagai Menteri Keamanan merangkap Menteri Sosial, Pembangunan
dan Pemuda.
d.      Mr. Lukman Hakim sebagai Menteri Keuangan merangkap Menteri Kehakiman.
e.      Ir. Sitompul sebagai Menteri Pekerjaan Umum merangkap Menteri Kesehatan.
f.        Maryono Danubroto sebagai Sekretaris PDRI.
g.      Jenderal Sudirman sebagai Panglima Besar.
h.      Kolonel A.H. Nasution sebagai Panglima Tentara Teritorial Jawa.
i.        Kolonel Hidayat sebagai Panglima Tentara Teritorial Sumatra. 
PDRI yang dipimpin oleh Syafruddin Prawiranegara ternyata berhasil memainkan
peranan yang penting dalam mempertahankan dan menegakkan pemerintah RI. 
PDRI dapat berfungsi sebagai mandataris kekuasaan pemerintah RI dan berperan
sebagai pemerintah pusat. PDRI juga berperan sebagai kunci dalam mengatur arus
informasi, sehingga mata rantai komunikasi tidak terputus dari daerah yang satu ke
daerah yang lain. Radiogram mengenai masih berdirinya PDRI dikirimkan kepada
Ketua Konferensi Asia, Pandit Jawaharlal Nehru oleh Radio Rimba Raya yang berada
di Aceh Tengah pada tanggal 23 Januari 1948. PDRI juga berhasil menjalin hubungan
dan berbagi tugas dengan perwakilan RI di India. Dari India informasi-informasi tentang
keberadaan dan perjuangan bangsa dan negara RI dapat disebarluaskan ke berbagai
penjuru. Terbukalah mata dunia mengenai keadaan RI yang sesungguhnya. 
Konflik antara Indonesia dengan Belanda masih terus berlanjut. Namun semakin
terbukanya mata dunia terkait dengan konflik itu, menempatkan  posisi Indonesia
semakin menguntungkan. Untuk mempercepat penyelesaikan konflik ini maka oleh DK
PBB dibentuklah UNCI (United Nations Commission for Indonesia) atau Komisi PBB
untuk Indonesia sebagai pengganti KTN. UNCI ini memiliki kekuasaan yang lebih besar
dibanding KTN. UNCI berhak mengambil keputusan yang mengikat atas dasar suara
mayoritas.
Ketika Presidan, Wakil presiden dan pembesar-pembesar Republik ditawan Belanda di
Bangka, delegasi BFO (Bijzonder Federaal Overleg) mengunjungi mereka dan
mengadakan perundingan. UNCI mengumumkan bahwa delegasi-delegasi Republik,
Belanda dan BFO telah mecapai persetujuan pendapat mengenai akan
diselenggarakannya KMB. UNCI juga berhasil menjadi mediator dalam KMB. Bahkan
peranan itu juga tampak sampai penyerahan dan pemulihan kekuasaan Pemerintah RI
di Indonesia.

7. Terus Memimpin Gerilya

Panglima Besar Sudirman yang dalam kondisi sakit paru-paru memimpin perang gerilya. Ia dan
rombongan melakukan perjalanan dan pergerakan dari Yogyakarta menuju Gunungkidul dengan
melewati beberapa kecamatan, menuju Pracimantoro, Wonogiri, Ponorogo, Trenggalek dan Kediri.
Dalam gerakan gerilya dengan satu paru-paru Sudirman kadang harus ditandu atau dipapah oleh
pengawal masuk hutan, naik gunung, turun jurang harus memimpin pasukan, memberikan motivasi dan
komando kepada TNI dan para pejuang untuk terus mempertahankan tegaknya panji-panji NKRI. Dari
Kediri lalu memutar kembali melewati Trenggalek, terus melakukan perjalanan sampai akhirnya di Sobo.
Di tempat ini telah dijadikan markas gerilya sampai saat Presiden dan wakil Presiden dengan beberapa
menteri kembali ke Yogyakarta.
Sungguh heroik perjalanan Sudirman. Ia telah menempuh perjalanan kurang lebih 1000 km. Waktu
gerilya mencapai enam bulan dengan penuh derita, lapar dan dahaga. Sudirman tidak lagi memimikirkan
harta, jiwa dan raganya semua dikorbankan demi tegaknya kedaulatan bangsa dan Negara.

Anda mungkin juga menyukai