Anda di halaman 1dari 19

Kelompok 1 MBKM Unesa :

Alfina Damayanti (19030204040)

Nurul Izzah Fatimah (19030204049)

Sayyidatul Addabiyah (19030204056)

Wulida Mamluatul F (19030204093)

TUGAS NO 1 :

A. Macam – macam teori belajar


1. Teori belajar behavioristik

Teori ini berorientasi pada hasil yang dapat diukur dan diamati (observable) bukan pada
peristiwa hipotetik yang terjadi dalam diri seseorang. Agar perilaku yang diinginkan dapat
menjadi kebiasaan, diperlukan pengulangan/penguatan berkali-kali. Beberapa penguatan utama
menurut Skinner, yaitu tingkah laku berubah disebabkan langsung oleh tingkah laku itu.
Tingkah laku yang membuat individu senang cenderung mendorongnya untuk melakukan
tingkah laku itu kembali secara berulang-ulang di masa depan. Sedangkan, tingkah laku yang
kurang menyenangkan, individu cenderung kurang atau tidak berbuat lagi di masa depan.
Konsekuensi yang menjadikan individu senang disebut penguat (penguat), dan yang kurang
menyenangkan disebut punishers (Slavin, 1994: 158).

Teori ini dicetuskan oleh Gage dan Berliner mengenai perubahan tingkah laku sebagai hasil
dari pengalaman menggunakan model stimulus – respon. Didalam penerapan teori ini, guru
tidak akan banyak memberikan ceramah, namun akan memberikan instruksi singkat yang
diikuti dengan pemberian contoh melalui simulasi atau dari guru sendiri.

2.Teori belajar kognitif

Kognitivisme terkait kognisi (knowing) yaitu kegiatan untuk mengetahui sesuatu yang
mencakup perolehan, pengorganisasian dan pemakaian pengetahuan. Artinya, kognisi fokus
pada memori, atensi, persepsi, bahasa, rasio, pemecahan masalah dan kreativitas
(Elliott,et.al.,1996:238) serta peran struktur mental atau pengorganisasiannya dalam proses
mengetahui sesuatu (Lefrancois,1988:55). Konsep kognitif pembelajaran, menurut Shuell, telah
berpengaruh besar pada pembelajaran berupa pemberian kesadaran yang tinggi pada pendidik
betapa pentingnya pengaruh pengetahuan awal (entry behavior) siswa dan strategi penguatan
memori mereka terhadap pembelajaran mereka saat ini (Elliott et.al.,1996:241). Cognitive
learning adalah perubahan cara memproses informasi sebagai hasil pengalaman atau latihan
(Syarifuddin, 2011).

Proses belajar akan berjalan dengan baik apabila materi pelajaran diberikan secara
berkesinambungan dan dapat beradaptasi dengan tepat dengan struktur kognitif yang telah
dimiliki siswa sebelumnya. Dalam teori ini, ilmu pengetahuan tersebut akan dibangun dalam
diri seseorang melalui proses interaksi yang berhubungan dan berkesinambungan dengan
lingkungan. Proses ini berkesinambungan dan menyeluruh. Dalam teori ini, guru bukanlah
sumber pembelajaran utama, melainkan cerminan mengenai apa yang akan dilakukan siswa.
Evaluasi dalam teori belajar ini berfokus pada seberapa sukses siswa mengorganisasi
pengalaman belajar yang didapatnya.

Peneliti yang mengembangkan macam – macam teori belajar dalam psikologi berupa teori
belajar kognitif yaitu Ausubel, Bruner dan Gagne. Masing – masing peneliti menekankan pada
aspek yang berbeda. Ausubel menekankan aspek pengelolaan dan Bruner memfokuskan pada
pengelompokan.

3. Teori belajar humanistik


Dalam istilah/nama pendidikan humanistik, kata “humanistik” pada hakikatnya adalah kata
sifat yang merupakan sebuah pendekatan dalam pendidikan (Mulkhan, 2002). Teori humanistik
berasumsi bahwa teori belajar apapun baik dan dapat dimanfaatkan, asal tujuannya untuk
memanusiakan manusia yaitu pencapaian aktualisasi diri, pemahaman diri, serta realisasi diri
orang belajar secara optimal (Assegaf, 2011).

Pembelajaran humanistik memandang siswa sebagai subjek yang bebas untuk menentukan
arah hidupnya. Siswa diarahkan untuk dapat bertanggungjawab penuh atas hidupnya sendiri
dan juga atas hidup orang lain. Beberapa pendekatan yang layak digunakan dalam metode ini
adalah pendekatan dialogis, reflektif, dan ekspresif. Pendekatan dialogis mengajak siswa untuk
berpikir bersama secara kritis dan kreatif. Dalam penerapan teori ini, guru hanya berperan
sebagai fasilitator dan partner dialog (Arbayah, 2013).
Seperti yang dikatakan (Assegaf, 2011) tujuan dari proses belajar adalah untuk memanusiakan
manusia itu sendiri. Proses belajar akan dianggap berhasil jika siswa telah mampu memahami
lingkungan beserta dirinya sendiri, dan berusaha untuk mencapai aktualisasi diri sebaik –
baiknya. Sehingga, faktor emosional dan pengalaman emosional siswa sangat penting dalam
peristiwa pembelajaran karena tanpa adanya motivasi dan keinginan dari pihak siswa maka
asimilasi pengetahuan baru ke dalam kognitif yang dimiliki siswa tidak akan terjadi.

4. Teori Belajar Konstruktivistik


Dalam konteks filsafat pendidikan, konstruktivisme adalah suatu upaya membangun tata
susunan hidup yang berbudaya modern (Agus N Cahyo:2012). Berdasarkan penjelasan
tersebut, dapat dijelaskan bahwa konstruktivisme merupakan sebuah teori yang sifatnya
membangun, baik dari segi kemampuan, pemahaman, maupun dalam proses pembelajaran.
Karena, dengan memiliki sifat membangun maka diharapkan keaktifan pada siswa akan
meningkat kecerdasannya. Kosntruktivisme berfokus pada interaksi orang-orang dan situasi-
situasi dalam penguasaan dan penyempurnaan keterampilan-keterampilan dan pengetahuan.
Konstuktivisme memiliki asumsi yang sama dengan teori kognitif sosial yang mengarahkan
bahwa orang, prilaku, dan lingkungan berinteraksi secara timbal balik.

Adapun asumsi-asumsi dari konstruktivisme adalah, pertama, manusia merupakan siswa


aktif yang mengembangkan pengetahuan bagi diri mereka sendiri (Dale H. Schunk;2012).
Kedua, guru sebaiknya tidak mengajar dalam artian menyampaikan pelajaran dengan cara
tradisional kepada sejumlah siswa. Guru seharusnya dapat membangun situasi yang
mendukung sehingga siswa dapat terlibat secara aktif melalui pengolahan materi-materi dan
interaksi sosial.

5. Teori Belajar Gestalt

Teori Gestalt merupakan percabangan dari teori kognitif. Teori ini muncul dari buah pikiran
seorang psikolog Jerman, yaitu Max Wertheimer. Dalam teori gestalt, proses belajar seseorang
dimulai dari mendapatkan informasi, kemudian melihat strukturnya secara menyeluruh. Teori
gestalt menyatakan proses persepsi melalui pengorganisasian komponen sensasi yang
dilakukan secara menyeluruh lalu untuk menyusunnya lagi dalam struktur yang lebih sederhana
agar lebih mudah dipahami. Proses ini dipengaruhi oleh pengalaman, budaya, dan suasana
psikologis yang berbeda. Pokok dari pandangan Gestalt adalah bahwa obyek atau suatu
peristiwa dipandang sebagai keseluruhan yang terorganisasi.

6. Teori Belajar Kecerdasan Ganda

Teori kecerdasan ganda yang telah dikembangkan selama lima belas tahun terakhir oleh
psikolog Howard Gardner menantang kenyataan lama tentang makna cerdas. Gardner
berpendapat dalam Armstrong bahwa kebudayaan kita telah terlalu banyak memusatkan
perhatian pada pemikiran verbal dan logis, kemampuan yang secara tipikal dinilai dalam tes
kecerdasan, dan mengesampingkan pengetahuan lainnya. Ia menyatakan sekurang-kurangnya
ada tujuh kecerdasan yang patut diperhitungkan secara sungguh-sungguh sebagai cara berpikir
yang penting (Thomas Armstrong:2002).

Menurut Gardner, dalam otak manusia terdapat 7 kecerdasan, yaitu linguistik, logika-
matematika, spasial, kinestetik-tubuh, musik, interpersonal dan intrapersonal. Semua potensi
ada pada setiap manusia, namun kadarnya berbeda pada setiap individu.

Hasil penelitian dari Howard Gardner mengenai kecerdasan ganda menunjukkan bahwa dalam
setiap kegiatan manusia tidak menggunakan satu macam kecerdasan saja, melainkan seluruh
kecerdasan yang dimiliki manusia yang berkolaborasi sebagai kesatuan yang utuh dan terpadu,
yang komposisinya berbeda pada masing – masing orang. Kecerdasan lainnya akan dikontrol
oleh kecerdasan yang paling menonjol dalam memecahkan suatu masalah.

7. Teori Belajar Sosial

Teori pembelajaran sosial merupakan perluasan dari teori belajar perilaku yang tradisional
(behavioristik). Teori pembelajaran sosial ini dikembangkan oleh Albert Bandura (1986). Teori
ini merupakan perluasan dari teori konstruktivisme yang memperluas fokusnya dari
pembelajaran individual kepada pembelajaran kolaboratif dan sosial.

Titik pembelajaran dari semua ini adalah pengalaman-penglaman tak terduga (vicarious
experiences). Meskipun manusia banyak belajar dari pengalaman yang dialaminya secara
langsung, namunmanusia lebih banyak belajar dari aktivitas mengamati perilaku orang lain
(Jess Feist, Gregory J:2009).
Asumsi awal memberi isi sudut pandang teoritis Bandura dalam teori pembelajaran sosial yaitu:
(1) Pembelajaran pada hakikatnya berlangsung melalui proses peniruan (imitation) atau
pemodelan (modeling). (2) Dalam imitation atau modeling individu dipahami sebagai pihak
yang memainkan peran aktif dalam menentukan perilaku mana yang hendak ia tiru dan juga
frekuensi serta intensitas peniruan yang hendak ia jalankan. (3) Imitation atau modeling adalah
jenis pembelajaran perilaku tertentu yang dilakukan tanpa harus melalui pengalaman langsung.
(4) Dalam Imitation atau modeling terjadi penguatan tidak langsung pada perilaku tertentu yang
sama efektifnya dengan penguatan langsung untuk memfasilitasi dan menghasilkan peniruan.
Individu dalam penguatan tidak langsung perlu menyumbangkan komponen kognitif tertentu
(seperti kemampuan mengingat dan mengulang) pada pelaksanaan proses peniruan. (5) Mediasi
internal sangat penting dalam pembelajaran, karena saat terjadi adanya masukan indrawi yang
menjadi dasar pembelajaran dan perilaku dihasilkan, terdapat operasi internal yang
mempengaruhi hasil akhirnya (Neil J. Salkind:2004).

8. Teori Belajar Van Hiele

Van Hiele adalah seorang guru berkebangsaan Belanda yang meneliti aspek pembelajaran
dalam pelajaran geometri. Kesimpulan dari beberapa penelitian yang dilakukannya
menciptakan beberapa kesimpulan yang berkaitan denga tahap–tahap perkembangan kognitif
anak dalam memahami pelajaran geometri. Menurut teori Van Hiele siswa bekerja sesuai
dengan tahap-tahap proses berpikir siswa itu sendiri, sehingga siswa semakin tertarik untuk
belajar. Teori belajar van Hiele terdiri dari tiga aspek yaitu: keberadaan level-level tersebut,
sifat tiap level, dan perpindahan dari satu level ke level berikutnya Usiskin (1982). Untuk
meningkatan tahap berfikir siswa dari suatu tahap ke tahap berikutnya, Van Hiele (Mika, dkk,
2016:335-336) memberikan lima fase pembelajaran yaitu: (1) fase informasi (information), (2)
fase orientasi terarah (directed orientation), (3) fase penegasan (explication), (4) fase orientasi
bebas (free orientation) dan (5) fase integrasi (integration). Sedangkan, (dalam Ismail, 1998)
Van Hiele menyatakan bahwa terdapat 5 tahap pemahaman geometri yaitu: Tahap pengenalan,
analisis, pengurutan, deduksi, dan keakuratan.

9. Teori Belajar Revolusi Sosiokultural

Arah dari pembahasan teori belajar ini adalah lepada dua teori belajar menurut para ahli yaitu
teori Piaget dan teori Vygotsky. Menurut Piaget, perkembangan kognitif adalah suatu proses
yang didasarkan atas mekanisme biologis dalam perkembangan syaraf seseorang, dan demikian
kegiatan belajar akan terjadi seiring dengan pola tahap perkembangan tertentu sesuai dengan
usia seseorang.

Sedangkan Vygotsky menyatakan bahwa untuk mengerti pikiran seseorang maka diperlukan
pengetahuan mengenai latar sosial budaya dan sejarah kehidupannya. Berarti, untuk memahami
pikiran seseorang bukan dengan cara meneliti apa yang ada pada otak atau jiwanya melainkan
pada asal usul dari tindakan yang dilakukannya secara sadar berdasarkan sejarah dan latar
belakang kehidupannya.

10. Teori Belajar Sibernetik

Uno (Thobroni: 2015:153) dan Ridwan Abdullah Sani (2013: 35) menjelaskan bahwa teori
belajar sibernetik adalah yang paling baru dari semua teori belajar yang telah dikenal. Teori ini
berkembang sejalan dengan perkembangan ilmu informasi. Menurut Teori ini, belajar adalah
pengolahan informasi. Teori ini memiliki kesamaan dengan teori kognitif yang mementingkan
proses. Namun teori ini, lebih mementingkan sistem informasi yang diproses karena informasi
akan menentukan proses.

Cara belajar secara sibernetik terjadi jika peserta didik mengolah informasi, memonitornya, dan
menyusun strategi berkenaan dengan informasi tersebut. Abdul Hamid (2009: 47) menyatakan,
menurut teori belajar sibernetik yang terpenting adalah “Sistem Informasi” dari apa yang akan
dipelajari pembelajar, sedangkan bagaimana proses belajar akan berlangsung dan sangat
ditentukan oleh sistem informasi tersebut. Oleh karena itu, teori ini berasumsi bahwa tidak ada
satu jenis cara belajar yang ideal untuk segala situasi. Sebab cara belajar sangat ditentukan oleh
sistem informasi. Sebuah informasi mungkin akan dipelajari oleh seorang peserta didik dengan
satu macam proses belajar, namun informasi yang sama mungkin akan dipelajari peserta didik
yang lain melalui proses belajar berbeda.

B. Teori Pembelajaran

1. Teori Belajar Behaviorisme


Teori behavioristik adalah sebuah teori yang dicetuskan oleh Gage dan Berliner tentang
perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman. Aliran ini menekankan pada
terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar.

Teori ini berpandangan tentang belajar adalah perubahan dalam tingkah laku sebagai
akibat dari interaksi antara stimulus dan respon. Atau dengan kata lain belajar adalah perubahan
yang dialami siswa dalam hal kemampuannya untuk bertingkah laku dengan cara yang baru
sebagai hasil interaksi antara stimulus dan respon. (Hamzah Uno, 7: 2006).

Contoh aplikasi teori behaviorisme:

1. Menentukan tujuan instruksional


2. Menganalisis lingkungan kelas yang ada saat ini termasuk mengidentifikasi entry
behavior siswa (pengetahuan awal siswa)
3. Menentukan materi pelajaran
4. Memecah materi pelajaran menjadi bagian-bagian kecil
5. Menyajikan materi pelajaran
6. Memberikan stimulus berupa pertanyaan, tes, latihan, dan tugas
7. Mengamati dan mengkaji respon yang diberikan
8. Memberikan penguatan (positif/negatif)
9. Memberikan stimulus baru
10. Mengamati dan mengkaji respon yang diberikan
11. Memberikan penguatan

2. Teori Belajar Kognitivisme

Model kognitif ini memiliki perspektif bahwa para peserta didik memproses infromasi
dan pelajaran melalui upayanya mengorganisir, menyimpan, dan kemudian menemukan
hubungan antara pengetahuan yang baru dengan pengetahuan yang telah ada. Model ini
menekankan pada bagaimana informasi diproses. Cognitive learning adalah perubahan cara
memproses informasi sebagai hasil pengalaman atau latihan (Syarifuddin, 2011).

Peneliti yang mengembangkan teori kognitif ini adalah Ausubel, Bruner, dan Gagne.
Dari ketiga peneliti ini, masing-masing memiliki penekanan yang berbeda. Ausubel
menekankan pada apsek pengelolaan (organizer) yang memiliki pengaruh utama terhadap
belajar. Bruner bekerja pada pengelompokkan atau penyediaan bentuk konsep sebagai suatu
jawaban atas bagaimana peserta didik memperoleh informasi dari lingkungan.

Contoh aplikasi teori belajar Kognitivisme

Menurut Piaget :

1. Menentukan tujuan instruksional


2. Memilih materi pelajaran
3. Menentukan topik yang mungkin dipelajarai secara aktif oleh mahasiswa
4. Menentukan dan merancang kegiatan belajar yang cocok untuk opik yang akan
dipelajari mahasiswa
5. Mempersiapkan pertanyaan yang dapat memacu kreativitas mahasiswa untuk
berdiskusi atau bertanya
6. Mengevaluasi proses dan hasil belajar

3. Teori belajar humanistik


Dalam istilah/nama pendidikan humanistik, kata “humanistik” pada hakikatnya adalah
kata sifat yang merupakan sebuah pendekatan dalam pendidikan (Mulkhan, 2002). Teori
humanistik berasumsi bahwa teori belajar apapun baik dan dapat dimanfaatkan, asal tujuannya
untuk memanusiakan manusia yaitu pencapaian aktualisasi diri, pemahaman diri, serta realisasi
diri orang belajar secara optimal (Assegaf, 2011).

Pembelajaran humanistik memandang siswa sebagai subjek yang bebas untuk


menentukan arah hidupnya. Siswa diarahkan untuk dapat bertanggungjawab penuh atas
hidupnya sendiri dan juga atas hidup orang lain. Dalam teori humanisme lebih melihat pada sisi
perkembangan kepribadian manusia. Pendekatan ini melihat kejadian yaitu bagaimana dirinya
untuk melakukan hal-hal yang positif. Kemampuan positif ini yang disebut sebagai potensi
manusia dan para pendidik yang beraliran

humanisme biasanya menfokuskan pengajarannya pada pembangunan kemampuan yang


positif.
Contoh aplikasi teori humanistik:

1. Menentukan tujuan instruksional


2. Menentukan materi pelajaran
3. Mengidentifikasi entry behavior mahasiswa
4. Menentukan topik yang mungkin dipelajarai secara aktif oleh mahasiswa (mengalami)
5. Mendesain wahana yang akan digunakan mahasiswa untuk belajar
6. Membimbing mahasiswa belajar secara aktif
7. Membimbing mahasiswa memahami hakikat makna dari pengalaman belajar mereka
8. Membimbing mahasiswa membuat konseptualisasi pengalaman tersebut
9. Membimbing mahasiswa sampai mereka mampu mengaplikasikan konsep-konsep baru ke
situasi yang baru
10. Mengevaluasi proses dan hasil belajar-mengajar

4. Teori Belajar Konstruksivisme

Dalam konteks filsafat pendidikan, konstruktivisme adalah suatu upaya membangun


tata susunan hidup yang berbudaya modern (Agus N Cahyo:2012). Berdasarkan penjelasan
tersebut, dapat dijelaskan bahwa konstruktivisme merupakan sebuah teori yang sifatnya
membangun, baik dari segi kemampuan, pemahaman, maupun dalam proses pembelajaran.

Pembelajaran konstruktivistik adalah pembelajaran yang lebih menekankan pada proses


dan kebebasan dalam menggali pengetahuan serta upaya dalam mengkonstruksi pengalaman.
Dalam proses belajarnya pun, memberi kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan
gagasannya dengan bahasa sendiri, untuk berfikir tentang pengalamannya sehingga siswa
menjadi lebih kreatif dan imajinatif serta dapat menciptakan lingkungan belajar yang kondusif.
Yang terpenting dalam teori konstruktivistik adalah bahwa dalam proses pembelajaran siswalah
yang harus mendapatkan penekanan. Merekalah yang harus aktif mengembangkan pengetahuan
mereka.

Strategi pembelajaran konstruktivisme:

1. Belajar aktif
2. Belajar mandiri
3. Belajar kolaborasi dan kooperatif
4. Self regulated learning
5. Generative learning
6. Model pembelajaran kognitif
TUGAS NO 2 :

Bangsa yang tidak siap menghadapi perkembangan ilmu dan teknologi yang berkembang sangat
cepat akan dapat sangat tertinggal jauh dengan bangsa lain. Oleh karena itu, dengan menyesuaikan
modernisasi pada abad 21 ini, sekolah dituntut untuk memiliki keterampilan berpikir kreatif
(creative thinking), berpikir kritis dan pemecahan masalah (critical thinking and problem solving),
berkomunikasi (communication), dan berkolaborasi (collaboration) atau yang biasa disebut
dengan 4C. seperti yang disampaikan oleh National Education Association (n.d.) telah
mengidentifikasi keterampilan abad ke-21 sebagai keterampilan “The 4Cs.” “The 4Cs” meliputi
berpikir kritis, kreativitas, komunikasi, dan kolaborasi.

Sejalan dengan era globalisasi, ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang sangat cepat
dan makin canggih, dengan peran yang makin luas maka diperlukan guru yang mempunyai
karakter. Bangsa yang masyarakatnya tidak siap hampir bisa dipastikan akan jatuh oleh dahsyatnya
perubahan alam dan kemajuan pesat ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai ciri khas globalisasi
itu sendiri. Maka dari itu kualitas pendidikan harus ditingkatakan. Sekolah sebagai lembaga
pendidikan dituntut untuk memiliki keterampilan berpikir kreatif (creative thinking), berpikir kritis
dan pemecahan masalah (critical thinking and problem solving), berkomunikasi (communication),
dan berkolaborasi (collaboration) atau yang biasa disebut dengan 4C.

Communication (komunikasi) adalah proses pertukaran bahasa yang berlangsung dalam dunia
manusia. Oleh sebab itu komunikasi selalu melibatkan manusia baik dalam konteks intrapersonal,
kelompok maupun massa. Peneliti komunikasi membuktikan bahwa hingga saat ini bahasa diakui
sebagai media paling efektif dalam melakukan komunikasi pada suatu interaksi antar individu
seperti halnya kegiatan penyuluhan dan pembinaan, proses belajar mengajar, pertemuan tempat
kerja dan lainlain. (Muhtadi, 2012).

Keterampilan berkomunikasi merupakan keterampilan untuk mengungkapkan pemikiran,


gagasan, pengetahuan, ataupun informasi baru, baik secara tertulis maupun lisan. Keterampilan
kolaborasi merupakan keterampilan bekerja bersama secara efektif dan menunjukkan rasa hormat
kepada anggota tim yang beragam, melatih kelancaran dan kemauan dalam membuat keputusan
yang diperlukan untuk mencapai tujuan bersama (Greenstein, 2012).

Seiringnya perkembangan zaman, kita tentunya perlu tahu bagaimana cara berkomunikasi secara
efektif. Karena dengan dapat berkomunikasi secara efektif tentunya kita tak kalah saing dengan
negara lain. Komunikasi efektif yaitu komunikasi yang mampu menghasilkan perubahan sikap
(attitude change) pada orang lain yang bisa terlihat dalam proses komunikasi. Tujuan dari
komunikasi yang efektif sebenarnya adalah memberi kan kemudahan dalam memahami pesan
yang disampaikan antara pemberi informasi dan penerima informasi sehingga bahasa yang
digunakan oleh pemberi informsi lebih jelas dan lengkap, serta dapat dimengerti dan dipahami
dengan baik oleh penerima informasi, atau komunikan. tujuan lain dari Komunikasi Efektif adalah
agar pengiriman informasi dan umpan balik atau feed back dapat seinbang sehingga tidak terjadi
monoton. Selain itu komunikasi efektif dapat melatih penggunaan bahasa nonverbal secara baik.
(Kurnia, 2009:15).

Dalam proses pembelajaran guru harus membiasakan siswanya untuk saling berkomunikasi baik
tentang pelajaran maupun hal lain, baik dengan guru maupun dengan siswa. Bahasa yang
digunakan siswa dalam berkomunikasi akan memberikan dampak pada siswa itu sendiri.
Penggunaan kata yang tidak baik dalam komunikasi membawa dampak negatif. Pesan yang
disampaikan oleh siswa tidak dapat diterima oleh penerima pesan. Hal ini akan memicu terjadinya
kesalahan dalam penerimaan pesan yang dapat menimbulkan kesalahpahaman atau konflik dalam
berinteraksi. Selain itu, membiarkan siswa menggunakan kata-kata kasar dalam berkomunikasi
dapat menimbulkan kebiasaan buruk bagi anak. Penggunaan kata yang baik dalam berkomunikasi
akan membawa dampak positif pada anak. Anak akan merasakan kepuasan karena tujuan yang
diinginkan tercapai sehingga kepercayaan diri anak akan meningkat.

Collaborative (kolaborasi)

Beberapa peneliti membuktikan bahwa peserta didik akan belajar dengan lebih baik jika mereka
secara aktif terlibat pada proses pembelajaran dalam suatu kelompokkelompok kecil. Peserta didik
yang bekerja dalam kelompok-kelompok kecil cenderung belajar lebih banyak tentang materi ajar
dan mengingatnya lebih lama dibandingkan jika materi ajar tesebut dihadirkan dalam bentuk lain,
misalnya bentuk dalam ceramah, tanpa memandang bahan ajarnya (Warsono dan Hariyanto, 2012:
66-67).
Suatu pembelajaran termasuk pembelajaran kolaboratif apabila anggota kelompoknya tidak
tertentu atau ditetapkan terlebih dahulu, dapat beranggotakan dua orang, beberapa orang atau
bahkan lebih dari tujuh orang. Lebih lanjut Wasono dan Hariyanto mengemukakan bahwa
pembelajaran kolaboratif dapat terjadi setiap saat, tidak harus di sekolah, misal sekelompok siswa
saling membantu dalam mengerjakan pekerjaan rumah, bahkan pembelajaran kolaboratif dapat
berlangsung antar siswa yang berbeda kelas maupun dari sekolah yang berbeda. Jadi, pembelajaran
kolaboratif dapat bersifat informal yaitu tidak harus dilaksanakan di dalam kelas dan pembelajaran
tidak perlu terstruktur dengan ketat (Warsono dan Hariyanto (2012: 50-51).

Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran kolaboratif adalah


pembelajaran yang melibatkan siswa dalam suatu kelompok untuk membangun pengetahuan dan
mencapai tujuan pembelajaran bersama melalui interaksi sosial di bawah bimbingan pendidik baik
di dalam maupun di luar kelas, sehingga terjadi pembelajaran yang penuh makna dan siswa akan
saling menghargai kontribusi semua anggota kelompok.

Siswa harus dibelajarkan untuk bisa berkolaborasi dengan orang lain. Berkolaborasi dengan orang-
orang yang berbeda dalam latar budaya dan nilai-nilai yang dianutnya. Dalam menggali informasi
dan membangun makna, siswa perlu didorong untuk bisa berkolaborasi dengan teman-teman di
kelasnya. Dalam mengerjakan suatu produk, siswa perlu dibelajarkan bagaimana menghargai
kekuatan dan kemampuan setiap orang serta bagaimana mengambil peran dan menyesuaikan diri
secara tepat dengan mereka.

Critical Thinking and Problem Solving (berpikir kritis dan pemecahan masalah)

Berpikir kritis merupakan suatu proses yang terarah dan jelas yang digunakan dalam kegiatan
mental seperti memecahkan masalah, mengambil keputusan, membujuk, menganalisis asumsi dan
melakukan penelitian ilmiah. Berpikir kritis adalah kemampuan untuk berpendapat dengan cara
yang terorganisasi. Berpikir kritis merupakan kemampuan untuk mengevaluasi secara sistematis
bobot pendapat pribadi dan pendapat orang lain (Elaine B. Johnson, 2009: 182).

Keterampilan berpikir kritis merupakan keterampilan untuk melakukan berbagai analisis,


penilaian, evaluasi, rekonstruksi, pengambilan keputusan yang mengarah pada tindakan yang
rasional dan logis (King, et al., 2010). Kegiatan berpikir mengenai subjek, isi, dan masalah
dilakukan melalui aktivitas analisis, penilaian, dan rekonstruksi (Papp, et al., 2014).
Berpikir kritis secara esensial adalah proses aktif dimana seseorang memikirkan berbagai hal
secara mendalam, mengajukan pertanyaan untuk diri sendiri, menemukan informasi yang relevan
untuk diri sendiri daripada menerima berbagai hal dari orang lain (John Dewey dalam Alec Fisher,
2009: 2). Elaine B. Johnson (2009: 185) mengatakan bahwa tujuan berpikir kritis adalah untuk
mencapai pemahaman yang mendalam. Sementara itu, Fahruddin Faiz, (2012: 2) mengemukakan
bahwa tujuan berpikir kritis sederhana yaitu untuk menjamin, sejauh mungkin, bahwa pemikiran
kita valid dan benar. Dengan kemampuan untuk berpikir kritis siswa akan dapat menyelesaikan
masalah yang dihadapinya.

Creativity and innovation (kreativitas dan inovasi)

Kreativitas merupakan keterampilan untuk menemukan hal baru yang belum ada sebelumnya,
bersifat orisinil, mengembangkan berbagai solusi baru untuk setiap masalah, dan melibatkan
kemampuan untuk menghasilkan ide-ide yang baru, bervariasi, dan unik (Leen, et al., 2014).

Lawrence dalam Suratno, 2005: 24 menyatakan kreativitas merupakan ide atau pikiran manusia
yang bersifat inovatif, berdaya guna dan dapat dimengerti. Suratno mengemukakan bahwa
kreativitas adalah suatu ativitas yang imajinatif yang memanifestasikan (perwujudan) kecerdikan
dari pikiran yang berdaya guna menghasilkan suatu produk atau menyelesaikan suatu persoalan
dengan cara tersendiri. (Suratno, 2005:24) .Yeni Rachmawati dan Euis Kurniati, 2010: 16)
mengutarakan bahwa kreativitas adalah kemampuan menghasilkan bentuk baru dalam bidang seni
atau dalam persenian, atau dalam memecahkan masalah-masalah dengan metode-metode baru.

Menurut Yeni Rachmawati dan Euis Kurniati (2010: 16-17) proses kreatif hanya akan terjadi jika
dibangkitkan melalui masalah yang memacu pada lima macam perilaku kreatif sebagai berikut: 1)
Fluency (kelancaran), yaitu kemampuan mengemukakan ide-ide yang serupa untuk memecahkan
suatu masalah. 2) Flexibility (keluwesan), yaitu kemampuan untuk menghasilkan berbagai macam
ide guna memecahkan suatu masalah di luar kategori yang biasa. 3) Originality (keaslian), yaitu
kemapuan memberikan respon yang unik atau luar biasa. 4) Elaboration (keterperincian), yaitu
kemampuan menyatakan pengarahan ide secara terperinci untuk mewujudkan ide menjadi
kenyataan. 5) Sensitivity (kepekaan), yaitu kepekaan menangkap dan menghasilkan masalah
sebagai tanggapan terhadap suatu situasi.
Menurut Yeni Rachmawati dan Euis Kurniati (2010: 30-31) kreativitas anak dapat berkembang
dengan baik bila didukung oleh beberapa faktor seperti berikut: 1) Memberikan rangsangan mental
yang baik Rangsangan diberikan pada aspek kognitif maupun kepribadiannya serta suasana
psikologis anak 2) Menciptakan lingkungan kondusif Lingkungan kondusif perlu diciptakan agar
memudahkan anak untuk mengakses apapun yang dilihatnya, dipegang, didengar, dan dimainkan
untuk mengembangkan kreativitasnya. 3) Peran serta guru dalam mengembangkan kreativitas
Guru yang kreatif akan memberikan stimulasi yang tepat pada anak agar anak didiknya menjadi
kreatif. 4) Peran serta orangtua Orangtua yang dimaksud disini adalah orangtua yang memberikan
kebebasan anak untuk melakukan aktivitas yang dapat mengembangkan kreativitas. Sementara
dalam lingkup bidang pendidikan, peran orangtua ini dipegang oleh guru sebagai pendamping dan
fasilitator siswanya dalam proses pembelajaran.

Sementara Inovasi (innovation) ialah suatu ide, barang, kejadian, metode yang dirasakan atau
diamati sebagai suatu hal yang baru bagi seseorang atau sekelompok orang (masyarakat).

TUGAS NO 3 :

Pengetahuan metakognitif adalah pengetahuan atau kesadaran seseorang tentang cara belajarnya
sendiri atau pengetahuan tentang bagaimana belajar. Metakognitif adalah suatu kata yang
berkaitan dengan apa yang seseorang ketahui tentang dirinya sebagai individu yang belajar dan
bagaimana mengontrol serta menyesuaikan perilakunya. Metakognisi merupakan suatu bentuk
kemampuan untuk melihat pada diri sendiri sehingga apa yang dilakukan dapat terkontrol secara
optimal.

Keterampilan berfikir atau keterampilan belajar adalah contoh keterampilan metakognitif. Siswa
dapat diajarkan strategi untuk menilai pemahamannya sendiri dan memilih rencana yang efektif
untuk mempelajari sesuatu atau memecahkan masalah tertentu. Pengetahuan metakognitif meliputi
pengetahuan strategik (strategic knowledge) pengetahuan tentang pengetahuan kondisional
(knowledge about conditional knowledge) dan pengetahuan tentang pengetahuannya sendiri
(Hamdani, 2007)

Mengingat pentingnya peranan metakognisi dalam keberhasilan belajar, maka upaya untuk
meningkatkan hasil belajar peserta didik dapat dilakukan dengan meningkatkan metakognisi
mereka. Mengembangkan metakognisi pembelajar berarti membangun fondasi untuk belajar
secara aktif. Guru sebagai sebagai perancang kegiatan belajar dan pembelajaran, mempunyai
tanggung jawab dan banyak kesempatan untuk mengembangkan metakognisi pembelajar. Strategi
yang dapat dilakukan guru atau dosen dalam mengembangkan metakognisi peserta didik melalalui
kegiatan belajar dan pembelajaran adalah sebagai berikut (Taccasu Project, 2008).

1. Membantu peserta didik dalam mengembangkan strategi belajar dengan:


- Mendorong pembelajar untuk memonitor proses belajar dan berpikirnya
- Membimbing pembelajar dalam mengembangkan strategi-strategi belajar yang efektif
- Meminta pembelajar untuk membuat prediksi tentang informasi yang akan muncul atau
disajikan berikutnya berdasarkan apa yang mereka telah baca atau pelejari.
- Membimbing pembelajar untuk mengembangkan kebiasaan bertanya.
- Menunjukkan kepada pembelajar bagaimana teknik mentransfer pengetahuan, sikap-sikap,
nilai-nilai, keterampilan-keterampilan dari suatu situasi ke situasi yang lain.
2. Membimbing pembelajar dalam mengembangkan kebiasaan peserta didik yang baik melalui :
a) Pengembangan kebiasaan mengelola diri sendiri
b) Mengembangkan kebiasaan untuk berpikir positif
c) Mengembangkan kebiasaan untuk berpikir secara hirarkhis
d) Mengembangkan kebiasaan untuk bertanya
Kebiasaan bertanya dikembangkan dengan : (1) mengidentifikasi ide-ide atau konsep-
konsep
Secara kuantitatif dapat dikatakan bahwa pendidikan di Indonesia telah mengalami kemajuan.
Indikator pencapaiannya dapat dilihat pada kemampuan baca tulis masyarakat yang mencapai
67,24%.2 Hal ini sebagai akibat dari program pemerataan pendidikan, terutama melaui IMPRES
SD yang dibangun oleh rezim Orde Baru. Namun demikian, keberhasilan dari segi kualitatif
pendidikan di Indonesia belum berhasil membangun karakter bangsa yang cerdas dan kreatif
apalagi unggul (Uno, 2007)

Masalah-masalah yang muncul dalam pembelajaran dapat dibedakan sebagai berikut:

1. Dari segi guru


a. Guru mendapat kesulitan menerapkan metode pembelajaran yang tepat dan bervariasi.
b. Kepribadian guru secara keseluruhan belum bisa diteladani peserta didik.
c. Penerapan tugas sebagai pengajar, pendidik, pelatih belum dapat berjalan optimal.
d. Guru mendapat kesulitan dalam menentukan dan mengidentifikasi materi esensial dan
materi sulit.
e. Komitmen, kinerja, dan keikhlasan guru dalam merencanakan dan melaksanakan
pembelajaran belum sesuai harapan.
f. Guru masih mengandalkan Lembaran Kegiatan Peserta didik (LKS) yang dijual penerbit
untuk pekerjaan rumah peserta didik karena kesulitan dalam mengembangkan LKS sendiri.
Padahal seharusnya LKS yang dikerjakan peserta didik disesuaikan dengan kondisi peserta
didik pada sekolah yang bersangkutan.
g. Guru kesulitan menerapkan disiplin bagi peserta didik dalam belajar.
h. Kemampuan guru masih kurang dalam mengelola laboratorium, sehingga kesulitan
menyajikan materi sains secara praktek.
i. kesulitan dalam mengembangkan media pembelajaran yang sesuai.
j. Guru kesulitan membuat alat evaluasi belajar dan mengembangkan Emosional Spiritual
Question (ESQ).
2. Dari segi kurikulum
a. Isi kurikulum yang padat menyulitkan guru untuk mencapai target yang hendak dicapai
dan menerapkan pendidikan pada peserta didik sehingga menghambat kemampuan peserta
didik berpikir tingkat tinggi.
b. Pelaksanaan kurikulum dan evaluasi hasil belajar cenderung pada ranah kognitif, sehingga
ranah afektif dan psikomotor cenderung tidak diterapkan.
c. Materi cenderung lebih tinggi untuk tingkat kemampuan peserta didik.
d. Kurikulum yang sering berubah membuat guru sulit menjalankannya di sekolah.

3. Dari segi peserta didik


a. Minat baca, motivasi belajar, dan daya nalar peserta didik relatif rendah.
b. dan strategi belajar kurang baik.
c. Kurang efektif memanfaatkan waktu dan sumber belajar.
d. bertanya di kelas rendah.
e. Mudah terpengaruh oleh dampak negatif teknologi.

Dalam praktik mengajar di sekolah, guru direkomendasikan untuk memberikan kesempatan luas
kepada siswa untuk saling berdiskusi dan bertukar ide-pengalaman dalam belajar. Harapannya,
setiap individu siswa dapat menilai kemampuan diri mereka masing-masing dalam belajar, setiap
siswa dapat menentukan kesuksesan belajar dengan menggunakan gaya belajar mereka sendiri,
dan yang paling penting, setiap siswa dapat belajar efektif dengan memberdayakan modalitas
belajar dirinya sendiri yang unik dan tak terbandingkan.

Satu lagi yang tidak boleh dilupakan, catat setiap pengalaman belajar yang siswa kerjakan. Siswa
perlu dibiasakan membuat jurnal harian dari setiap pengalaman belajar yang dialaminya. Jurnal ini
akan sangat membantu siswa dalam menterjemahkan setiap pikiran dan sikap mereka dalam
berbagai bentuk (simbol, grafik, gambar, cerita), melihat kembali persepsi awal mereka tentang
sesuatu dan membandingkannya dengan keputusan baru yang mereka buat, menjelaskan proses
pemikiran mereka tentang strategi dan cara membuat keputusan dalam kegiatan pembelajaran,
mereka akan mengenal pasti kelemahan dalam pilihan sikap yang diambil dan mengingat kembali
kesulitan dan keberhasilan mereka dalam belajar.
Daftar Pustaka

Dale H. Schunk, Learning Theories An Education Perspective, Di Terjemahkan Oleh Eva


Hamdiah,

Elliot, P.C & Kenney, M.J. (1996). Communication In Mathematics Educations. New Jersey:
Lawrence Elbrum associates, Inc. Problem Solving.

Greenstein, L., 2012, Assessing 21st Century Skills: A Guide to Evaluating Mastery and Authentic
Learning. California: Corwin.

Ismail. 1998. Kapita Selekta Pembelajaran Matematika. Universitas Terbuka

Jess Feist, Gregory J. Feist. Theories of Pesonality. Edisi keenam. (New York: McGraw Hill
Companies, Inc, 2009). hlm.409.

Johnson, Elaine B.,Contextual Teaching And Learning. (Edisi Terjemahan Ibnu Setiawan).
Bandung: MLC, 2009.

Leen, C.C., Hong, K.F.F.H., dan Ying, T.W.,2014, Creative and Critical Thinking in Singapore
Schools. Singapore:Nanyang Technological University.

Mika, I. P. N. dkk. 2016. Penerapan Model Pembelajaran Van Hiele untuk Meningkatkan
Hasil Belajar Siswa pada Materi Keliling dan Luas Daerah Layang-layang di Kelas VII
SMP Negeri 12 Palu. Jurnal Elektronik Pendidikan Matematika Tadulako. 3(3). 334-345.

Mulkhan, A. M. (2002). Nalar Spiritual Pendidikan: Solusi Problem Filosofis

Pendidikan Islam. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Neil J. Salkind,.An Introduction to theories of human development. (London: Sage


Publications, 2004). hlm.211-213.

Rahmat Fajar, Dengan Judul Teori-Teori Pembelajaran Perspektif Pendidikan. (Yogyakarta,


Pustaka Pelajar: 2012). Hal.323

Rahmawati, Yeni dan Kurniati, Euis (2010).Strategi Pengembangan Kreativitas. Pada Anak Usia
Taman Kanak-kanak. Jakarta: Kencana. Sofia

Slavin, R.E. 1994. Educational Psychology, Theory and Practice. Boston: Allyn and Bacon.
Suratno. 2005. Pengembangan KreativitasAnak Usia Dini. Jakarta: Depdiknas

Thobroni. (2015). Belajar dan Pembelajaran . Yogyakarta: Ar Ruzz Media

Thomas Armstrong, 7 Kinds of Smart; Menemukan dan Meningkatkan Kecerdasan Anda


Berdasarkan Teori Multiple Intelligence, terj. T. Hermaya, (Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2002), hlm. 3.

Trilling, B. and Fadel, C. 2009. 21st Century Skills: Learning for Life in Our Times. San Francisco,
Calif., Jossey-Bass/John Wiley & Sons, Inc.

Usiskin, Z. 1982. Van Hiele Levels and Achievement in Secondary School Geometry.

Chicago: The University of Chicago.

A.Saepul Hamdani, “Taksonomi Bloom Dua Dimensi dan Aplikasinya Pada Perumusan Indikator
Kompetensi Mata Pelajaran PAI”, Nizamia, X, 01 (Juni, 2007), 111.

Hamzah B. Uno, Profesi Kependidikan, Problematika, Solusi, dan Reformasi Pendidikan di


Indonesia ( Jakarta : Bumi Aksara, 2007), 6.

Nurul Afifah. 2015. Problematika Pendidikan Di Indonesia (Telaah Dari Aspek Pembelajaran).
Elementary Vol. I Edisi 1 Januari 2015

Taccasu Project. (2008) “Metacognition” Tersedia


pada: http://www.careers.hku.hk/taccasu/ref/metacogn.htm, diakses pada 19 Mei 2013.

http://biosbetter.blogspot.com/2016/04/masalah-masalah-dalam-pembelajaran-di.html (diakses
pada 6 Maret 2021)

https://sahabatguru.wordpress.com/2008/12/11/metakognitif-belajar-bagaimana-untuk-belajar
(diakses pada 6 Maret 2021)

Anda mungkin juga menyukai