TUGAS NO 1 :
Teori ini berorientasi pada hasil yang dapat diukur dan diamati (observable) bukan pada
peristiwa hipotetik yang terjadi dalam diri seseorang. Agar perilaku yang diinginkan dapat
menjadi kebiasaan, diperlukan pengulangan/penguatan berkali-kali. Beberapa penguatan utama
menurut Skinner, yaitu tingkah laku berubah disebabkan langsung oleh tingkah laku itu.
Tingkah laku yang membuat individu senang cenderung mendorongnya untuk melakukan
tingkah laku itu kembali secara berulang-ulang di masa depan. Sedangkan, tingkah laku yang
kurang menyenangkan, individu cenderung kurang atau tidak berbuat lagi di masa depan.
Konsekuensi yang menjadikan individu senang disebut penguat (penguat), dan yang kurang
menyenangkan disebut punishers (Slavin, 1994: 158).
Teori ini dicetuskan oleh Gage dan Berliner mengenai perubahan tingkah laku sebagai hasil
dari pengalaman menggunakan model stimulus – respon. Didalam penerapan teori ini, guru
tidak akan banyak memberikan ceramah, namun akan memberikan instruksi singkat yang
diikuti dengan pemberian contoh melalui simulasi atau dari guru sendiri.
Kognitivisme terkait kognisi (knowing) yaitu kegiatan untuk mengetahui sesuatu yang
mencakup perolehan, pengorganisasian dan pemakaian pengetahuan. Artinya, kognisi fokus
pada memori, atensi, persepsi, bahasa, rasio, pemecahan masalah dan kreativitas
(Elliott,et.al.,1996:238) serta peran struktur mental atau pengorganisasiannya dalam proses
mengetahui sesuatu (Lefrancois,1988:55). Konsep kognitif pembelajaran, menurut Shuell, telah
berpengaruh besar pada pembelajaran berupa pemberian kesadaran yang tinggi pada pendidik
betapa pentingnya pengaruh pengetahuan awal (entry behavior) siswa dan strategi penguatan
memori mereka terhadap pembelajaran mereka saat ini (Elliott et.al.,1996:241). Cognitive
learning adalah perubahan cara memproses informasi sebagai hasil pengalaman atau latihan
(Syarifuddin, 2011).
Proses belajar akan berjalan dengan baik apabila materi pelajaran diberikan secara
berkesinambungan dan dapat beradaptasi dengan tepat dengan struktur kognitif yang telah
dimiliki siswa sebelumnya. Dalam teori ini, ilmu pengetahuan tersebut akan dibangun dalam
diri seseorang melalui proses interaksi yang berhubungan dan berkesinambungan dengan
lingkungan. Proses ini berkesinambungan dan menyeluruh. Dalam teori ini, guru bukanlah
sumber pembelajaran utama, melainkan cerminan mengenai apa yang akan dilakukan siswa.
Evaluasi dalam teori belajar ini berfokus pada seberapa sukses siswa mengorganisasi
pengalaman belajar yang didapatnya.
Peneliti yang mengembangkan macam – macam teori belajar dalam psikologi berupa teori
belajar kognitif yaitu Ausubel, Bruner dan Gagne. Masing – masing peneliti menekankan pada
aspek yang berbeda. Ausubel menekankan aspek pengelolaan dan Bruner memfokuskan pada
pengelompokan.
Pembelajaran humanistik memandang siswa sebagai subjek yang bebas untuk menentukan
arah hidupnya. Siswa diarahkan untuk dapat bertanggungjawab penuh atas hidupnya sendiri
dan juga atas hidup orang lain. Beberapa pendekatan yang layak digunakan dalam metode ini
adalah pendekatan dialogis, reflektif, dan ekspresif. Pendekatan dialogis mengajak siswa untuk
berpikir bersama secara kritis dan kreatif. Dalam penerapan teori ini, guru hanya berperan
sebagai fasilitator dan partner dialog (Arbayah, 2013).
Seperti yang dikatakan (Assegaf, 2011) tujuan dari proses belajar adalah untuk memanusiakan
manusia itu sendiri. Proses belajar akan dianggap berhasil jika siswa telah mampu memahami
lingkungan beserta dirinya sendiri, dan berusaha untuk mencapai aktualisasi diri sebaik –
baiknya. Sehingga, faktor emosional dan pengalaman emosional siswa sangat penting dalam
peristiwa pembelajaran karena tanpa adanya motivasi dan keinginan dari pihak siswa maka
asimilasi pengetahuan baru ke dalam kognitif yang dimiliki siswa tidak akan terjadi.
Teori Gestalt merupakan percabangan dari teori kognitif. Teori ini muncul dari buah pikiran
seorang psikolog Jerman, yaitu Max Wertheimer. Dalam teori gestalt, proses belajar seseorang
dimulai dari mendapatkan informasi, kemudian melihat strukturnya secara menyeluruh. Teori
gestalt menyatakan proses persepsi melalui pengorganisasian komponen sensasi yang
dilakukan secara menyeluruh lalu untuk menyusunnya lagi dalam struktur yang lebih sederhana
agar lebih mudah dipahami. Proses ini dipengaruhi oleh pengalaman, budaya, dan suasana
psikologis yang berbeda. Pokok dari pandangan Gestalt adalah bahwa obyek atau suatu
peristiwa dipandang sebagai keseluruhan yang terorganisasi.
Teori kecerdasan ganda yang telah dikembangkan selama lima belas tahun terakhir oleh
psikolog Howard Gardner menantang kenyataan lama tentang makna cerdas. Gardner
berpendapat dalam Armstrong bahwa kebudayaan kita telah terlalu banyak memusatkan
perhatian pada pemikiran verbal dan logis, kemampuan yang secara tipikal dinilai dalam tes
kecerdasan, dan mengesampingkan pengetahuan lainnya. Ia menyatakan sekurang-kurangnya
ada tujuh kecerdasan yang patut diperhitungkan secara sungguh-sungguh sebagai cara berpikir
yang penting (Thomas Armstrong:2002).
Menurut Gardner, dalam otak manusia terdapat 7 kecerdasan, yaitu linguistik, logika-
matematika, spasial, kinestetik-tubuh, musik, interpersonal dan intrapersonal. Semua potensi
ada pada setiap manusia, namun kadarnya berbeda pada setiap individu.
Hasil penelitian dari Howard Gardner mengenai kecerdasan ganda menunjukkan bahwa dalam
setiap kegiatan manusia tidak menggunakan satu macam kecerdasan saja, melainkan seluruh
kecerdasan yang dimiliki manusia yang berkolaborasi sebagai kesatuan yang utuh dan terpadu,
yang komposisinya berbeda pada masing – masing orang. Kecerdasan lainnya akan dikontrol
oleh kecerdasan yang paling menonjol dalam memecahkan suatu masalah.
Teori pembelajaran sosial merupakan perluasan dari teori belajar perilaku yang tradisional
(behavioristik). Teori pembelajaran sosial ini dikembangkan oleh Albert Bandura (1986). Teori
ini merupakan perluasan dari teori konstruktivisme yang memperluas fokusnya dari
pembelajaran individual kepada pembelajaran kolaboratif dan sosial.
Titik pembelajaran dari semua ini adalah pengalaman-penglaman tak terduga (vicarious
experiences). Meskipun manusia banyak belajar dari pengalaman yang dialaminya secara
langsung, namunmanusia lebih banyak belajar dari aktivitas mengamati perilaku orang lain
(Jess Feist, Gregory J:2009).
Asumsi awal memberi isi sudut pandang teoritis Bandura dalam teori pembelajaran sosial yaitu:
(1) Pembelajaran pada hakikatnya berlangsung melalui proses peniruan (imitation) atau
pemodelan (modeling). (2) Dalam imitation atau modeling individu dipahami sebagai pihak
yang memainkan peran aktif dalam menentukan perilaku mana yang hendak ia tiru dan juga
frekuensi serta intensitas peniruan yang hendak ia jalankan. (3) Imitation atau modeling adalah
jenis pembelajaran perilaku tertentu yang dilakukan tanpa harus melalui pengalaman langsung.
(4) Dalam Imitation atau modeling terjadi penguatan tidak langsung pada perilaku tertentu yang
sama efektifnya dengan penguatan langsung untuk memfasilitasi dan menghasilkan peniruan.
Individu dalam penguatan tidak langsung perlu menyumbangkan komponen kognitif tertentu
(seperti kemampuan mengingat dan mengulang) pada pelaksanaan proses peniruan. (5) Mediasi
internal sangat penting dalam pembelajaran, karena saat terjadi adanya masukan indrawi yang
menjadi dasar pembelajaran dan perilaku dihasilkan, terdapat operasi internal yang
mempengaruhi hasil akhirnya (Neil J. Salkind:2004).
Van Hiele adalah seorang guru berkebangsaan Belanda yang meneliti aspek pembelajaran
dalam pelajaran geometri. Kesimpulan dari beberapa penelitian yang dilakukannya
menciptakan beberapa kesimpulan yang berkaitan denga tahap–tahap perkembangan kognitif
anak dalam memahami pelajaran geometri. Menurut teori Van Hiele siswa bekerja sesuai
dengan tahap-tahap proses berpikir siswa itu sendiri, sehingga siswa semakin tertarik untuk
belajar. Teori belajar van Hiele terdiri dari tiga aspek yaitu: keberadaan level-level tersebut,
sifat tiap level, dan perpindahan dari satu level ke level berikutnya Usiskin (1982). Untuk
meningkatan tahap berfikir siswa dari suatu tahap ke tahap berikutnya, Van Hiele (Mika, dkk,
2016:335-336) memberikan lima fase pembelajaran yaitu: (1) fase informasi (information), (2)
fase orientasi terarah (directed orientation), (3) fase penegasan (explication), (4) fase orientasi
bebas (free orientation) dan (5) fase integrasi (integration). Sedangkan, (dalam Ismail, 1998)
Van Hiele menyatakan bahwa terdapat 5 tahap pemahaman geometri yaitu: Tahap pengenalan,
analisis, pengurutan, deduksi, dan keakuratan.
Arah dari pembahasan teori belajar ini adalah lepada dua teori belajar menurut para ahli yaitu
teori Piaget dan teori Vygotsky. Menurut Piaget, perkembangan kognitif adalah suatu proses
yang didasarkan atas mekanisme biologis dalam perkembangan syaraf seseorang, dan demikian
kegiatan belajar akan terjadi seiring dengan pola tahap perkembangan tertentu sesuai dengan
usia seseorang.
Sedangkan Vygotsky menyatakan bahwa untuk mengerti pikiran seseorang maka diperlukan
pengetahuan mengenai latar sosial budaya dan sejarah kehidupannya. Berarti, untuk memahami
pikiran seseorang bukan dengan cara meneliti apa yang ada pada otak atau jiwanya melainkan
pada asal usul dari tindakan yang dilakukannya secara sadar berdasarkan sejarah dan latar
belakang kehidupannya.
Uno (Thobroni: 2015:153) dan Ridwan Abdullah Sani (2013: 35) menjelaskan bahwa teori
belajar sibernetik adalah yang paling baru dari semua teori belajar yang telah dikenal. Teori ini
berkembang sejalan dengan perkembangan ilmu informasi. Menurut Teori ini, belajar adalah
pengolahan informasi. Teori ini memiliki kesamaan dengan teori kognitif yang mementingkan
proses. Namun teori ini, lebih mementingkan sistem informasi yang diproses karena informasi
akan menentukan proses.
Cara belajar secara sibernetik terjadi jika peserta didik mengolah informasi, memonitornya, dan
menyusun strategi berkenaan dengan informasi tersebut. Abdul Hamid (2009: 47) menyatakan,
menurut teori belajar sibernetik yang terpenting adalah “Sistem Informasi” dari apa yang akan
dipelajari pembelajar, sedangkan bagaimana proses belajar akan berlangsung dan sangat
ditentukan oleh sistem informasi tersebut. Oleh karena itu, teori ini berasumsi bahwa tidak ada
satu jenis cara belajar yang ideal untuk segala situasi. Sebab cara belajar sangat ditentukan oleh
sistem informasi. Sebuah informasi mungkin akan dipelajari oleh seorang peserta didik dengan
satu macam proses belajar, namun informasi yang sama mungkin akan dipelajari peserta didik
yang lain melalui proses belajar berbeda.
B. Teori Pembelajaran
Teori ini berpandangan tentang belajar adalah perubahan dalam tingkah laku sebagai
akibat dari interaksi antara stimulus dan respon. Atau dengan kata lain belajar adalah perubahan
yang dialami siswa dalam hal kemampuannya untuk bertingkah laku dengan cara yang baru
sebagai hasil interaksi antara stimulus dan respon. (Hamzah Uno, 7: 2006).
Model kognitif ini memiliki perspektif bahwa para peserta didik memproses infromasi
dan pelajaran melalui upayanya mengorganisir, menyimpan, dan kemudian menemukan
hubungan antara pengetahuan yang baru dengan pengetahuan yang telah ada. Model ini
menekankan pada bagaimana informasi diproses. Cognitive learning adalah perubahan cara
memproses informasi sebagai hasil pengalaman atau latihan (Syarifuddin, 2011).
Peneliti yang mengembangkan teori kognitif ini adalah Ausubel, Bruner, dan Gagne.
Dari ketiga peneliti ini, masing-masing memiliki penekanan yang berbeda. Ausubel
menekankan pada apsek pengelolaan (organizer) yang memiliki pengaruh utama terhadap
belajar. Bruner bekerja pada pengelompokkan atau penyediaan bentuk konsep sebagai suatu
jawaban atas bagaimana peserta didik memperoleh informasi dari lingkungan.
Menurut Piaget :
1. Belajar aktif
2. Belajar mandiri
3. Belajar kolaborasi dan kooperatif
4. Self regulated learning
5. Generative learning
6. Model pembelajaran kognitif
TUGAS NO 2 :
Bangsa yang tidak siap menghadapi perkembangan ilmu dan teknologi yang berkembang sangat
cepat akan dapat sangat tertinggal jauh dengan bangsa lain. Oleh karena itu, dengan menyesuaikan
modernisasi pada abad 21 ini, sekolah dituntut untuk memiliki keterampilan berpikir kreatif
(creative thinking), berpikir kritis dan pemecahan masalah (critical thinking and problem solving),
berkomunikasi (communication), dan berkolaborasi (collaboration) atau yang biasa disebut
dengan 4C. seperti yang disampaikan oleh National Education Association (n.d.) telah
mengidentifikasi keterampilan abad ke-21 sebagai keterampilan “The 4Cs.” “The 4Cs” meliputi
berpikir kritis, kreativitas, komunikasi, dan kolaborasi.
Sejalan dengan era globalisasi, ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang sangat cepat
dan makin canggih, dengan peran yang makin luas maka diperlukan guru yang mempunyai
karakter. Bangsa yang masyarakatnya tidak siap hampir bisa dipastikan akan jatuh oleh dahsyatnya
perubahan alam dan kemajuan pesat ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai ciri khas globalisasi
itu sendiri. Maka dari itu kualitas pendidikan harus ditingkatakan. Sekolah sebagai lembaga
pendidikan dituntut untuk memiliki keterampilan berpikir kreatif (creative thinking), berpikir kritis
dan pemecahan masalah (critical thinking and problem solving), berkomunikasi (communication),
dan berkolaborasi (collaboration) atau yang biasa disebut dengan 4C.
Communication (komunikasi) adalah proses pertukaran bahasa yang berlangsung dalam dunia
manusia. Oleh sebab itu komunikasi selalu melibatkan manusia baik dalam konteks intrapersonal,
kelompok maupun massa. Peneliti komunikasi membuktikan bahwa hingga saat ini bahasa diakui
sebagai media paling efektif dalam melakukan komunikasi pada suatu interaksi antar individu
seperti halnya kegiatan penyuluhan dan pembinaan, proses belajar mengajar, pertemuan tempat
kerja dan lainlain. (Muhtadi, 2012).
Seiringnya perkembangan zaman, kita tentunya perlu tahu bagaimana cara berkomunikasi secara
efektif. Karena dengan dapat berkomunikasi secara efektif tentunya kita tak kalah saing dengan
negara lain. Komunikasi efektif yaitu komunikasi yang mampu menghasilkan perubahan sikap
(attitude change) pada orang lain yang bisa terlihat dalam proses komunikasi. Tujuan dari
komunikasi yang efektif sebenarnya adalah memberi kan kemudahan dalam memahami pesan
yang disampaikan antara pemberi informasi dan penerima informasi sehingga bahasa yang
digunakan oleh pemberi informsi lebih jelas dan lengkap, serta dapat dimengerti dan dipahami
dengan baik oleh penerima informasi, atau komunikan. tujuan lain dari Komunikasi Efektif adalah
agar pengiriman informasi dan umpan balik atau feed back dapat seinbang sehingga tidak terjadi
monoton. Selain itu komunikasi efektif dapat melatih penggunaan bahasa nonverbal secara baik.
(Kurnia, 2009:15).
Dalam proses pembelajaran guru harus membiasakan siswanya untuk saling berkomunikasi baik
tentang pelajaran maupun hal lain, baik dengan guru maupun dengan siswa. Bahasa yang
digunakan siswa dalam berkomunikasi akan memberikan dampak pada siswa itu sendiri.
Penggunaan kata yang tidak baik dalam komunikasi membawa dampak negatif. Pesan yang
disampaikan oleh siswa tidak dapat diterima oleh penerima pesan. Hal ini akan memicu terjadinya
kesalahan dalam penerimaan pesan yang dapat menimbulkan kesalahpahaman atau konflik dalam
berinteraksi. Selain itu, membiarkan siswa menggunakan kata-kata kasar dalam berkomunikasi
dapat menimbulkan kebiasaan buruk bagi anak. Penggunaan kata yang baik dalam berkomunikasi
akan membawa dampak positif pada anak. Anak akan merasakan kepuasan karena tujuan yang
diinginkan tercapai sehingga kepercayaan diri anak akan meningkat.
Collaborative (kolaborasi)
Beberapa peneliti membuktikan bahwa peserta didik akan belajar dengan lebih baik jika mereka
secara aktif terlibat pada proses pembelajaran dalam suatu kelompokkelompok kecil. Peserta didik
yang bekerja dalam kelompok-kelompok kecil cenderung belajar lebih banyak tentang materi ajar
dan mengingatnya lebih lama dibandingkan jika materi ajar tesebut dihadirkan dalam bentuk lain,
misalnya bentuk dalam ceramah, tanpa memandang bahan ajarnya (Warsono dan Hariyanto, 2012:
66-67).
Suatu pembelajaran termasuk pembelajaran kolaboratif apabila anggota kelompoknya tidak
tertentu atau ditetapkan terlebih dahulu, dapat beranggotakan dua orang, beberapa orang atau
bahkan lebih dari tujuh orang. Lebih lanjut Wasono dan Hariyanto mengemukakan bahwa
pembelajaran kolaboratif dapat terjadi setiap saat, tidak harus di sekolah, misal sekelompok siswa
saling membantu dalam mengerjakan pekerjaan rumah, bahkan pembelajaran kolaboratif dapat
berlangsung antar siswa yang berbeda kelas maupun dari sekolah yang berbeda. Jadi, pembelajaran
kolaboratif dapat bersifat informal yaitu tidak harus dilaksanakan di dalam kelas dan pembelajaran
tidak perlu terstruktur dengan ketat (Warsono dan Hariyanto (2012: 50-51).
Siswa harus dibelajarkan untuk bisa berkolaborasi dengan orang lain. Berkolaborasi dengan orang-
orang yang berbeda dalam latar budaya dan nilai-nilai yang dianutnya. Dalam menggali informasi
dan membangun makna, siswa perlu didorong untuk bisa berkolaborasi dengan teman-teman di
kelasnya. Dalam mengerjakan suatu produk, siswa perlu dibelajarkan bagaimana menghargai
kekuatan dan kemampuan setiap orang serta bagaimana mengambil peran dan menyesuaikan diri
secara tepat dengan mereka.
Critical Thinking and Problem Solving (berpikir kritis dan pemecahan masalah)
Berpikir kritis merupakan suatu proses yang terarah dan jelas yang digunakan dalam kegiatan
mental seperti memecahkan masalah, mengambil keputusan, membujuk, menganalisis asumsi dan
melakukan penelitian ilmiah. Berpikir kritis adalah kemampuan untuk berpendapat dengan cara
yang terorganisasi. Berpikir kritis merupakan kemampuan untuk mengevaluasi secara sistematis
bobot pendapat pribadi dan pendapat orang lain (Elaine B. Johnson, 2009: 182).
Kreativitas merupakan keterampilan untuk menemukan hal baru yang belum ada sebelumnya,
bersifat orisinil, mengembangkan berbagai solusi baru untuk setiap masalah, dan melibatkan
kemampuan untuk menghasilkan ide-ide yang baru, bervariasi, dan unik (Leen, et al., 2014).
Lawrence dalam Suratno, 2005: 24 menyatakan kreativitas merupakan ide atau pikiran manusia
yang bersifat inovatif, berdaya guna dan dapat dimengerti. Suratno mengemukakan bahwa
kreativitas adalah suatu ativitas yang imajinatif yang memanifestasikan (perwujudan) kecerdikan
dari pikiran yang berdaya guna menghasilkan suatu produk atau menyelesaikan suatu persoalan
dengan cara tersendiri. (Suratno, 2005:24) .Yeni Rachmawati dan Euis Kurniati, 2010: 16)
mengutarakan bahwa kreativitas adalah kemampuan menghasilkan bentuk baru dalam bidang seni
atau dalam persenian, atau dalam memecahkan masalah-masalah dengan metode-metode baru.
Menurut Yeni Rachmawati dan Euis Kurniati (2010: 16-17) proses kreatif hanya akan terjadi jika
dibangkitkan melalui masalah yang memacu pada lima macam perilaku kreatif sebagai berikut: 1)
Fluency (kelancaran), yaitu kemampuan mengemukakan ide-ide yang serupa untuk memecahkan
suatu masalah. 2) Flexibility (keluwesan), yaitu kemampuan untuk menghasilkan berbagai macam
ide guna memecahkan suatu masalah di luar kategori yang biasa. 3) Originality (keaslian), yaitu
kemapuan memberikan respon yang unik atau luar biasa. 4) Elaboration (keterperincian), yaitu
kemampuan menyatakan pengarahan ide secara terperinci untuk mewujudkan ide menjadi
kenyataan. 5) Sensitivity (kepekaan), yaitu kepekaan menangkap dan menghasilkan masalah
sebagai tanggapan terhadap suatu situasi.
Menurut Yeni Rachmawati dan Euis Kurniati (2010: 30-31) kreativitas anak dapat berkembang
dengan baik bila didukung oleh beberapa faktor seperti berikut: 1) Memberikan rangsangan mental
yang baik Rangsangan diberikan pada aspek kognitif maupun kepribadiannya serta suasana
psikologis anak 2) Menciptakan lingkungan kondusif Lingkungan kondusif perlu diciptakan agar
memudahkan anak untuk mengakses apapun yang dilihatnya, dipegang, didengar, dan dimainkan
untuk mengembangkan kreativitasnya. 3) Peran serta guru dalam mengembangkan kreativitas
Guru yang kreatif akan memberikan stimulasi yang tepat pada anak agar anak didiknya menjadi
kreatif. 4) Peran serta orangtua Orangtua yang dimaksud disini adalah orangtua yang memberikan
kebebasan anak untuk melakukan aktivitas yang dapat mengembangkan kreativitas. Sementara
dalam lingkup bidang pendidikan, peran orangtua ini dipegang oleh guru sebagai pendamping dan
fasilitator siswanya dalam proses pembelajaran.
Sementara Inovasi (innovation) ialah suatu ide, barang, kejadian, metode yang dirasakan atau
diamati sebagai suatu hal yang baru bagi seseorang atau sekelompok orang (masyarakat).
TUGAS NO 3 :
Pengetahuan metakognitif adalah pengetahuan atau kesadaran seseorang tentang cara belajarnya
sendiri atau pengetahuan tentang bagaimana belajar. Metakognitif adalah suatu kata yang
berkaitan dengan apa yang seseorang ketahui tentang dirinya sebagai individu yang belajar dan
bagaimana mengontrol serta menyesuaikan perilakunya. Metakognisi merupakan suatu bentuk
kemampuan untuk melihat pada diri sendiri sehingga apa yang dilakukan dapat terkontrol secara
optimal.
Keterampilan berfikir atau keterampilan belajar adalah contoh keterampilan metakognitif. Siswa
dapat diajarkan strategi untuk menilai pemahamannya sendiri dan memilih rencana yang efektif
untuk mempelajari sesuatu atau memecahkan masalah tertentu. Pengetahuan metakognitif meliputi
pengetahuan strategik (strategic knowledge) pengetahuan tentang pengetahuan kondisional
(knowledge about conditional knowledge) dan pengetahuan tentang pengetahuannya sendiri
(Hamdani, 2007)
Mengingat pentingnya peranan metakognisi dalam keberhasilan belajar, maka upaya untuk
meningkatkan hasil belajar peserta didik dapat dilakukan dengan meningkatkan metakognisi
mereka. Mengembangkan metakognisi pembelajar berarti membangun fondasi untuk belajar
secara aktif. Guru sebagai sebagai perancang kegiatan belajar dan pembelajaran, mempunyai
tanggung jawab dan banyak kesempatan untuk mengembangkan metakognisi pembelajar. Strategi
yang dapat dilakukan guru atau dosen dalam mengembangkan metakognisi peserta didik melalalui
kegiatan belajar dan pembelajaran adalah sebagai berikut (Taccasu Project, 2008).
Dalam praktik mengajar di sekolah, guru direkomendasikan untuk memberikan kesempatan luas
kepada siswa untuk saling berdiskusi dan bertukar ide-pengalaman dalam belajar. Harapannya,
setiap individu siswa dapat menilai kemampuan diri mereka masing-masing dalam belajar, setiap
siswa dapat menentukan kesuksesan belajar dengan menggunakan gaya belajar mereka sendiri,
dan yang paling penting, setiap siswa dapat belajar efektif dengan memberdayakan modalitas
belajar dirinya sendiri yang unik dan tak terbandingkan.
Satu lagi yang tidak boleh dilupakan, catat setiap pengalaman belajar yang siswa kerjakan. Siswa
perlu dibiasakan membuat jurnal harian dari setiap pengalaman belajar yang dialaminya. Jurnal ini
akan sangat membantu siswa dalam menterjemahkan setiap pikiran dan sikap mereka dalam
berbagai bentuk (simbol, grafik, gambar, cerita), melihat kembali persepsi awal mereka tentang
sesuatu dan membandingkannya dengan keputusan baru yang mereka buat, menjelaskan proses
pemikiran mereka tentang strategi dan cara membuat keputusan dalam kegiatan pembelajaran,
mereka akan mengenal pasti kelemahan dalam pilihan sikap yang diambil dan mengingat kembali
kesulitan dan keberhasilan mereka dalam belajar.
Daftar Pustaka
Elliot, P.C & Kenney, M.J. (1996). Communication In Mathematics Educations. New Jersey:
Lawrence Elbrum associates, Inc. Problem Solving.
Greenstein, L., 2012, Assessing 21st Century Skills: A Guide to Evaluating Mastery and Authentic
Learning. California: Corwin.
Jess Feist, Gregory J. Feist. Theories of Pesonality. Edisi keenam. (New York: McGraw Hill
Companies, Inc, 2009). hlm.409.
Johnson, Elaine B.,Contextual Teaching And Learning. (Edisi Terjemahan Ibnu Setiawan).
Bandung: MLC, 2009.
Leen, C.C., Hong, K.F.F.H., dan Ying, T.W.,2014, Creative and Critical Thinking in Singapore
Schools. Singapore:Nanyang Technological University.
Mika, I. P. N. dkk. 2016. Penerapan Model Pembelajaran Van Hiele untuk Meningkatkan
Hasil Belajar Siswa pada Materi Keliling dan Luas Daerah Layang-layang di Kelas VII
SMP Negeri 12 Palu. Jurnal Elektronik Pendidikan Matematika Tadulako. 3(3). 334-345.
Rahmawati, Yeni dan Kurniati, Euis (2010).Strategi Pengembangan Kreativitas. Pada Anak Usia
Taman Kanak-kanak. Jakarta: Kencana. Sofia
Slavin, R.E. 1994. Educational Psychology, Theory and Practice. Boston: Allyn and Bacon.
Suratno. 2005. Pengembangan KreativitasAnak Usia Dini. Jakarta: Depdiknas
Trilling, B. and Fadel, C. 2009. 21st Century Skills: Learning for Life in Our Times. San Francisco,
Calif., Jossey-Bass/John Wiley & Sons, Inc.
Usiskin, Z. 1982. Van Hiele Levels and Achievement in Secondary School Geometry.
A.Saepul Hamdani, “Taksonomi Bloom Dua Dimensi dan Aplikasinya Pada Perumusan Indikator
Kompetensi Mata Pelajaran PAI”, Nizamia, X, 01 (Juni, 2007), 111.
Nurul Afifah. 2015. Problematika Pendidikan Di Indonesia (Telaah Dari Aspek Pembelajaran).
Elementary Vol. I Edisi 1 Januari 2015
http://biosbetter.blogspot.com/2016/04/masalah-masalah-dalam-pembelajaran-di.html (diakses
pada 6 Maret 2021)
https://sahabatguru.wordpress.com/2008/12/11/metakognitif-belajar-bagaimana-untuk-belajar
(diakses pada 6 Maret 2021)