PENDAHULUAN
AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) adalah penyakit yang menduduki urutan ke-
memperlihatkan penyebaran yang cepat dan meluas setiap tahun (Kafiar, 2016). Acquired
disebabkan oleh Human Immunodeficiency Virus (HIV). Seseorang yang terinfeksi virus
HIV atau menderita AIDS sering disebut dengan Odha singkatan dari orang yang hidup
dengan HIV/AIDS. Penderita infeksi HIV dinyatakan sebagai penderita AIDS ketika
menunjukkan gejala atau penyakit tertentu yang merupakan akibat penurunan daya tahan
tubuh yang disebabkan virus HIV (indikator sesuai dengan definisi AIDS dari Centers for
Disease Control tahun 1993) atau tes darah menunjukkan jumlah CD4 <200/mm3 (infodatin
Berdasarkan data dari UNAIDS, terdapat 36,9 juta masyarakat dari berbagai negara hidup
bersama dengan HIV dan AIDS pada 2017. Dari total pasien yang terdaftar1,8 juta
diantaranya adalah anak-anak yang berusia dibawah 15 tahun, sisanya adalah orang dewasa
yaitu sebesar 35,1 juta jiwa. Dari segi jenis kelamin (gender), wanita memiliki tempat
tertinggi yaitu sebesar 18,2 juta jiwa, sedang laki-laki sebesar 16,9 juta jiwa. Namun 25%
dari jumlah penderita (9,9 juta jiwa), tidak memahami kalau mereka adalah terserang HIV
dan mengidap AIDS (Galih, 2019). Menurut data yang dilaporkan oleh Depkes, kasus HIV
meningkat secara signifikan, sementara penderita AIDS relative tidak ada peningkatan. Hal
ini menunjukan keberhasilan bahwa semakin banyak orang dengan HIV/AIDS yang
diketahui statusnya saat masih dalam fase terinfeksi (HIV positif) dan belum masuk ke
dari Kemenkes, dari 34 provinsi yang tersebar di kabupaten/kota sebanyak 514, terdapat
kejadian di 443 titik kejadian atau sekitar 84,2% daerah yang mengalami HIV/AIDS. Hal ini
tentunya harus diperhatikan oleh banyak pihak. Bahkan, diketahui bahwa angka tersebut
belum termasuk dari mereka yang tidak melaporkan status HIV Positif (HIV+). Stigma dan
ketakutan dari penderita akan status menjadi pasien HIV/AIDS merupakan salah satu
penyebab utamanya. Bicara mengenai kasus HIV+, Kemenkes juga mencatat, sampai Juni
2018 dilaporkan ada 301.959 kasus dari estimasi orang dengan HIV/AIDS (ODHA) tahun
2018 sebanyak 640.443 jiwa. Dari data ini, ditemukan fakta bahwa DKI Jakarta adalah
provinsi dengan pasien HIV+ paling banyak, dengan angka kasus 55.099 (Sukardi, 2019).
Hingga Desember 2018 jumlah penderita HIV/AIDS di daerah Jawa Barat sekitar 37,485
Data mulai bulan Januari-November 2018, didapatkan angka penderita HIV/AIDS sebesar
1551. Angka tersebut naik dari 1363 kasus di tahun 2017. Menurut Suku Dinas Bekasi,
penderita HIV/AIDS banyak diderita oleh pria dengan nagka kejadian 884 orang sedangkan
wanita sekitar 667 orang. Angka tersebut membuat daerah bekasi merupakan urutan ketiga
di jawa barat untuk kasus HIV/AIDS. Dampak dari penyakit HIV/AID adalah penyakit
lama, dimana penderita harus rajin kontrol dan patuh terhadap pengobatan (minum obat).
Namun masih banyak pasien yang tidak mau kembali untuk kontrol (pemeriksaan ulang)
dalam waktu minimal 3 bulan dan bahkan ada yang tidak meneruskan untuk mengkonsumsi
Loss to follow up (LTFU) atau mangkir atau gagal follow upmenunjukkan pasien yang tidak
berkunjung ke klinik VCTuntuk pengobatan selama 90 hari sejak kunjungan terakhir atau
putus berobat selama 3 bulan terturut-turut (Mata et al., 2017). Orang yang hidup dengan
HIV (ODHA), perilaku LTFU merupakan ancaman baik bagi pasien HIV/AIDS maupun
lingkungannya. Hal tersebut memberikan dampak yang sangat tidak baik pada penderita
HIV/AIDS, baik itu dampakklinis maupun dampak dari ketidakpatuhan dalam menjalankan
program terapi ART. Tingkatan klinis, kelanjutan terapi ART pada pasien HIV/AIDS yang
loss to follow up tidak akan dapat dievaluasi. Pasien HIV/AIDS yang berhenti mengikuti
terapi akan berisiko kematian yang lebih besar. Pasien yang meninggal dari kejadian LTFU
dilaporkan sebanyak 66,7% dari 402 orang. Beberapa penelitian mengungkapkan masalah
yang dapat ditimbulkan dari perilaku LTFU dari Pasien penderita HIV/AIDS, antara lain
berbagai dampak yang dapat ditimbulkan dari perilaku LTFU seperti resistensi terhadap
ART, meningkatkan rasio kematian lebih besar pada kasus pasien HIV/AIDS, mempercepat
timbulnya infeksi oportunistik (Handayani, Ahmad, & Subronto, 2017a). Apabila terjadi
resistensi terhadap ART, maka pengobatan menjadi tidak efektif sehingga diperlukan upaya
baru melawan infeksi dengan obat lain. Dari sudut ekonomi ketidak patuhan berobat
yang sangat serius, seperti penghentian pengobatan, toksisitas obat, kegagalan pengobatan
karena kepatuhan yang rendah, dan resistensi obat ini menghasilkan peningkatan risiko
kematian hingga 40% (Berheto, Haile, & Mohammed, 2014). Penelitian lain
mengungkapkan jika pasien HIV/AIDS tidak mencapai tingkat kepatuhan ART yang tinggi,
hal ini dapat menyebabkan epidemi resistensi obat. Kepatuhan parsial terhadap ART dapat
mengarah pada pengembangan obat strain virus yang resisten. Resistensi silang berpotensi
mengganggu masa depan rejimen terapi untuk pasien terinfeksi HIV yang menjalani
pengobatan dan bagi mereka yang kemudian menjadi terinfeksi dengan jenis HIV yang
Kejadian loss to follow-up (LTFU) dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti kehamilan pada
wanita penderita HIV, tingkat pendidikan yang lebih rendah, kendala keuangan (Evangeli,
Newell, Richter, & Mcgrath, 2014). Pasien yang menyatakan berhenti terapi memiliki alasan
untuk tidak berobat lagi diantaranya adalah pekerjaan atau aktivitas sehari-hari, persepsi
pasien yang kurang, pengobatan alternatif, kepercayaan religi, efek samping obat,
keterjangkauan klinik VCT, pelayanan klinik VCT yang kurang memuaskan dan dukungan
sosial yang kurang (Rosiana, 2014). Selain faktor-faktor di atas, ada juga peneliti yang
menemukan alasan yang membuat penderita HIV tidak patuh terhadap pengobatan. ART
dan menjadi pasien dengan status loss to follow-up (LTFU) usia pasien, kadar CD4 yang
sudah mulai membaik, lama terapi, regimen dari ART, dukungan sosial baik dari keluarga
ataupun masyarakat, persepsi pasien dan tingkat pengetahuan pasien (Sisyahid, 2016).
Gejala depresi terjadi pada sekitar 33% pasien HIV/AIDS. Konsekuensi yang mungkin dari
depresi pada orang dengan HIV adalah penurunan kepatuhan terhadap terapi ART.
Meskipun beberapa intervensi psikologis telah ditemukan untuk secara efektif mengurangi
gejala depresi dan dapat meningkatkan kepatuhan pasien terhadap ART, sehingga kualitas
hidup dapat meningkat. Banyak pasien HIV/AIDS tidak mau mencari pengobatan ketika
mereka sangat merasa tertekan oleh faktor-faktor seperti stigma yang dirasakan (Luenen,
dipengaruhi oleh pengelolaan asuhan dan perawatan terhadap pasien HIV/AIDS tergantung
pada kerjasama petugas kesehatan dengan pasien dan keluarga. Pasien HIV/AIDS yang
Faktor-faktor lain yang bisa menghambat kepatuhan antara lain (Blevins & Lubkin, 1999;
Hussey & Gilliland, 1989 dalam Carpenito, 2009): 1) informasi yang kurang jelas dan
dimengerti. Penjelasan yang kurang jelas dan sulit dimengerti oleh pasien dari perawat dapat
menimbulkan efek yang tidak diharapkan, seperti pasien semakin bingung dan pasien tidak
dapat mengerti penjelasan yang diberikan oleh perawat. 2) perbedaan pendapat antara pasien
LTFU di Indonesia 55.508 orang. RSUD Kabupaten Bekasi Jawa Barat juga memberikan
pelayanan untuk pasien yang menderita HIV/AIDS. Data kunjungan terakhir pada tahun
2017 yang diperoleh dari register poliklinik VCT RSUD Kabupaten Bekasi Jawa Barat,
didapatkan data pasien HIV/AIDS sebesar 6000 pasien. Pasien LTFU sebesar 120 pasien.
Sedangkan data pasien sebesar tahun 2018 6200 pasien, pasien LTFU 150 pasien. Dari
hasil wawancara dengan kepala bagian Poliklinik menyatakan pasien tidak kembali
dikarenakan pemenuhan logistic dari ART sendiri yang tersendat, sehingga pasien enggan
untuk balik kembali, jarak yang jauh dan tidak ada keluarga yang menemani untuk ke rumah
sakit. Observasi juga dilakukan terhadap petugas Poliklinik VCT, dimana pasien merasa
tidak nyaman berobat karena pasien takut kalau bertemu dengan tetangga yang sedang
berobat, karena lokasi Poliklinikyang tidak strategis bagi pasien sambil menunggu giliran di
panggil oleh petugas. Wawancara yang dilakukan pada bulan Maret 2020 mengenai fasilitas
pelayanan serta reaksi terhadap obat-obat retroviral terhadap 7 responden yang sedang
menunggu antrian untuk masuk ke poliklinik. Ketujuh responden tersebut terdiri dari lima
pasien dan 2 orang petugas kesehatan yang memberikan pelayanan di poliklinik pelangi.
Keluhan yang didapat dari hasil wawancara tersebut anatara lain pasien merasa setelah
minum obat ART merasa badan gatal-gatal dan terkadang timbul halusinasi. Sedangkan dari
hasil wawancara terhadap petugas kesehatan didapatkan bahwa mereka mengeluh jika
fasilitas dalam hal ruang tunggu masih kurang karena masih bergabung dengan poliklinik
lainnya. Belum pernah ada penelitian terkait mengenai kejadian LTFU di RSUD Kabupaten
Bekasi Jawa Barat. Hal itulah yang menarik bagi peneliti untuk melakukan penelitian di
MD mengungkapkan bahwa penggunaan SMS sangat efektif dan mendapatkan respon yang
baik dari pasien HIV/AIDS, sehingga pasien HIV/AIDS berespon terhadap kepatuhan
minum obat dan kontrol ulang ditandai dengan kerbaikan dari hasil CD4. SMS Reminder
dilakukan setiap minggu (Han, Hong, Starbird, & Ge, 2017). Penelitian lain juga
mengungkapkan penggunaan system reminding melaui SMS pada Mobile Phone sangat
berpengaruh terhadap tingkat kepatuhan pasien HIV/AIDS dalam minum obat dan kontrol
kembali (Kafiar, 2016). Penggunaan SMS Mobile Phone dianggap masih dapat menjaga
privacy dari pasien jika dibandingkan dengan menggunakaan metode group whats up dari
mobile phone. Hal itu dikarenakan jika menggunakan sistem group, mempunyai
Berdasarkan data yang didapat mengenai pasien yang LTFU pada penderita HIV/AIDS yang
sedang menjalani terapi ART, metode edukasi yang digunakan saat ini adalah dengan
Afrika Selatan tahun 2015 menyataan bahwa pasien-pasien ini memerlukan dukungan
tambahan seperti program dukungan kepatuhan berbasis masyarakat dan penggunaan alat
pengingat, yang telah terbukti mengurangi LTFU dalam pengaturan yang sama. Ada juga
secara akurat memantau tingkat, dan alasan, LTFU pada pasien yang memakai ART (Mberi
et al., 2015). Penelitian lain juga di Amerika menyatakan terjadi kenaikan yang secara
signifikan terhadap sejumlah pasien yang diberikan pengingat untuk kontrol kembali melalui
program sms dibanding dengan pasien yang tidak diberikan program sms (Han, Hong,
Starbird, & Ge, 2018). Beberapa penelitian menyatakan jika edukasi perawat adalah hal
yang sangat penting bagi pasien. Hasil penelitian lainnya yang berkaitan dengan masalah ini
yang komprehensif meliputi upaya preventif, promotif, kuratif dan rehabilitatif dan
melibatkan sektor terkait, baik pemerintah maupun swasta dan masyarakat. Upaya yang
dapat dilakukan dalam mendeteksi secara dini untuk mengetahui apakah seseorang sudah
terinfeksi HIV/AIDS atau belum adalah dengan melakukan tes HIV dan konseling kesehatan
yang melibatkan seorang VCT (Voluntary Conseling and Testing). Baik test maupun
konseling sebaiknya dilakukan secara sukarela tanpa paksaan (Rahmadhani, 2018). VCT
HIV sangat penting karena merupakan entry point yang diakui secara internasional sebagai
strategi yang efektif untuk pencegahan dan perawatan HIV dan AIDS. Status HIV yang
pencegahan, perawatan, dukungan, dan pengobatan. Tahapan VCT sendiri dilakukan mulai
dari konseling sampai dengan test HIV dan dilakukan 3 tahap dalam setahun.
Berdasarkan uraian diatas, walaupun petugas sudah melakukan edukasi terhadap pasien,
tingkat kepatuhan pasien terhadap pengobatan ART masih rendah, sementara dunia digital
dalam hal ini sangat berkembang pesat di masyarakat. Salah satu alat digital yang sedang
digandrungi oleh masyarakat adalah handphone. Handphone sudah menjadi alat yang biasa
petugas kesehatan dan pasien, oleh karena itu peneliti tertarik untuk mengetahui apakah ada
pengaruh SMS Reminder dan Edukasi terhadap kejadian Loss To Follow Up pada pasien
dari rumah ke pusat pelayanan kesehatan, lama terjangkit penyakit yang diderita)
dari rumah ke pusat pelayanan kesehatan, lama terjangkit penyakit yang diderita)
dengan kejadian LTFU sesudah pemberian SMS Reminder dan pemberian Edukasi.
1.4 Manfaat Penelitian
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai informasi bagi ilmu
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan untuk melakukan intervensi dalam