Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) adalah penyakit yang menduduki urutan ke-

4 di dunia yang sangat mematikan, menjadi wabah internasional dan cenderung

memperlihatkan penyebaran yang cepat dan meluas setiap tahun (Kafiar, 2016). Acquired

Immune Deficiency Syndrome (AIDS) merupakan kumpulan gejala penyakit yang

disebabkan oleh Human Immunodeficiency Virus (HIV). Seseorang yang terinfeksi virus

HIV atau menderita AIDS sering disebut dengan Odha singkatan dari orang yang hidup

dengan HIV/AIDS. Penderita infeksi HIV dinyatakan sebagai penderita AIDS ketika

menunjukkan gejala atau penyakit tertentu yang merupakan akibat penurunan daya tahan

tubuh yang disebabkan virus HIV (indikator sesuai dengan definisi AIDS dari Centers for

Disease Control tahun 1993) atau tes darah menunjukkan jumlah CD4 <200/mm3 (infodatin

kementrian kes.Ri, 2017).

Berdasarkan data dari UNAIDS, terdapat 36,9 juta masyarakat dari berbagai negara hidup

bersama dengan HIV dan AIDS pada 2017. Dari total pasien yang terdaftar1,8 juta

diantaranya adalah anak-anak yang berusia dibawah 15 tahun, sisanya adalah orang dewasa

yaitu sebesar 35,1 juta jiwa. Dari segi jenis kelamin (gender), wanita memiliki tempat

tertinggi yaitu sebesar 18,2 juta jiwa, sedang laki-laki sebesar 16,9 juta jiwa. Namun 25%

dari jumlah penderita (9,9 juta jiwa), tidak memahami kalau mereka adalah terserang HIV

dan mengidap AIDS (Galih, 2019). Menurut data yang dilaporkan oleh Depkes, kasus HIV

meningkat secara signifikan, sementara penderita AIDS relative tidak ada peningkatan. Hal
ini menunjukan keberhasilan bahwa semakin banyak orang dengan HIV/AIDS yang

diketahui statusnya saat masih dalam fase terinfeksi (HIV positif) dan belum masuk ke

stadium AIDS (Sukardi, 2019).

HIV semakin mengkhawatirkan seiring bertambah banyaknya korban. Berdasarkan laporan

dari Kemenkes, dari 34 provinsi yang tersebar di kabupaten/kota sebanyak 514, terdapat

kejadian di 443 titik kejadian atau sekitar 84,2% daerah yang mengalami HIV/AIDS. Hal ini

tentunya harus diperhatikan oleh banyak pihak. Bahkan, diketahui bahwa angka tersebut

belum termasuk dari mereka yang tidak melaporkan status HIV Positif (HIV+). Stigma dan

ketakutan dari penderita akan status menjadi pasien HIV/AIDS merupakan salah satu

penyebab utamanya. Bicara mengenai kasus HIV+, Kemenkes juga mencatat, sampai Juni

2018 dilaporkan ada 301.959 kasus dari estimasi orang dengan HIV/AIDS (ODHA) tahun

2018 sebanyak 640.443 jiwa. Dari data ini, ditemukan fakta bahwa DKI Jakarta adalah

provinsi dengan pasien HIV+ paling banyak, dengan angka kasus 55.099 (Sukardi, 2019).

Hingga Desember 2018 jumlah penderita HIV/AIDS di daerah Jawa Barat sekitar 37,485

penderita. Di daerah Kabupaten Bekasi, jumlah pendrita HIV/AIDS mengalami peningkatan.

Data mulai bulan Januari-November 2018, didapatkan angka penderita HIV/AIDS sebesar

1551. Angka tersebut naik dari 1363 kasus di tahun 2017. Menurut Suku Dinas Bekasi,

penderita HIV/AIDS banyak diderita oleh pria dengan nagka kejadian 884 orang sedangkan

wanita sekitar 667 orang. Angka tersebut membuat daerah bekasi merupakan urutan ketiga

di jawa barat untuk kasus HIV/AIDS. Dampak dari penyakit HIV/AID adalah penyakit

infeksi oportunistik seperti TB, Toxoplasmosis, kriptoporoidosis, sitomegalovirus,


kandidiasis. Terapi dan pengobatan dari penyakit tersebut sangat memerlukan proses yang

lama, dimana penderita harus rajin kontrol dan patuh terhadap pengobatan (minum obat).

Namun masih banyak pasien yang tidak mau kembali untuk kontrol (pemeriksaan ulang)

dalam waktu minimal 3 bulan dan bahkan ada yang tidak meneruskan untuk mengkonsumsi

obat-obatan secara terus menerus (loss to follow up).

Loss to follow up (LTFU) atau mangkir atau gagal follow upmenunjukkan pasien yang tidak

berkunjung ke klinik VCTuntuk pengobatan selama 90 hari sejak kunjungan terakhir atau

putus berobat selama 3 bulan terturut-turut (Mata et al., 2017). Orang yang hidup dengan

HIV (ODHA), perilaku LTFU merupakan ancaman baik bagi pasien HIV/AIDS maupun

lingkungannya. Hal tersebut memberikan dampak yang sangat tidak baik pada penderita

HIV/AIDS, baik itu dampakklinis maupun dampak dari ketidakpatuhan dalam menjalankan

program terapi ART. Tingkatan klinis, kelanjutan terapi ART pada pasien HIV/AIDS yang

loss to follow up tidak akan dapat dievaluasi. Pasien HIV/AIDS yang berhenti mengikuti

terapi akan berisiko kematian yang lebih besar. Pasien yang meninggal dari kejadian LTFU

dilaporkan sebanyak 66,7% dari 402 orang. Beberapa penelitian mengungkapkan masalah

yang dapat ditimbulkan dari perilaku LTFU dari Pasien penderita HIV/AIDS, antara lain

berbagai dampak yang dapat ditimbulkan dari perilaku LTFU seperti resistensi terhadap

ART, meningkatkan rasio kematian lebih besar pada kasus pasien HIV/AIDS, mempercepat

timbulnya infeksi oportunistik (Handayani, Ahmad, & Subronto, 2017a). Apabila terjadi

resistensi terhadap ART, maka pengobatan menjadi tidak efektif sehingga diperlukan upaya

baru melawan infeksi dengan obat lain. Dari sudut ekonomi ketidak patuhan berobat

mengakibatkan biaya berobat menjadi tinggi (Fajarsari, 2016).


Studi lain LTFU pada pasien yang mengkonsumsi ART dapat mengakibatkan konsekuensi

yang sangat serius, seperti penghentian pengobatan, toksisitas obat, kegagalan pengobatan

karena kepatuhan yang rendah, dan resistensi obat ini menghasilkan peningkatan risiko

kematian hingga 40% (Berheto, Haile, & Mohammed, 2014). Penelitian lain

mengungkapkan jika pasien HIV/AIDS tidak mencapai tingkat kepatuhan ART yang tinggi,

hal ini dapat menyebabkan epidemi resistensi obat. Kepatuhan parsial terhadap ART dapat

mengarah pada pengembangan obat strain virus yang resisten. Resistensi silang berpotensi

mengganggu masa depan rejimen terapi untuk pasien terinfeksi HIV yang menjalani

pengobatan dan bagi mereka yang kemudian menjadi terinfeksi dengan jenis HIV yang

resistan (Judith Salema, 2015).

Kejadian loss to follow-up (LTFU) dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti kehamilan pada

wanita penderita HIV, tingkat pendidikan yang lebih rendah, kendala keuangan (Evangeli,

Newell, Richter, & Mcgrath, 2014). Pasien yang menyatakan berhenti terapi memiliki alasan

untuk tidak berobat lagi diantaranya adalah pekerjaan atau aktivitas sehari-hari, persepsi

pasien yang kurang, pengobatan alternatif, kepercayaan religi, efek samping obat,

keterjangkauan klinik VCT, pelayanan klinik VCT yang kurang memuaskan dan dukungan

sosial yang kurang (Rosiana, 2014). Selain faktor-faktor di atas, ada juga peneliti yang

menemukan alasan yang membuat penderita HIV tidak patuh terhadap pengobatan. ART

dan menjadi pasien dengan status loss to follow-up (LTFU) usia pasien, kadar CD4 yang

sudah mulai membaik, lama terapi, regimen dari ART, dukungan sosial baik dari keluarga

ataupun masyarakat, persepsi pasien dan tingkat pengetahuan pasien (Sisyahid, 2016).
Gejala depresi terjadi pada sekitar 33% pasien HIV/AIDS. Konsekuensi yang mungkin dari

depresi pada orang dengan HIV adalah penurunan kepatuhan terhadap terapi ART.

Meskipun beberapa intervensi psikologis telah ditemukan untuk secara efektif mengurangi

gejala depresi dan dapat meningkatkan kepatuhan pasien terhadap ART, sehingga kualitas

hidup dapat meningkat. Banyak pasien HIV/AIDS tidak mau mencari pengobatan ketika

mereka sangat merasa tertekan oleh faktor-faktor seperti stigma yang dirasakan (Luenen,

Garnefski, Spinhoven, & Kraaij, 2018).

Menurut Nasronudin (2007) kepatuhan pasien dalam mengkonsumsi obat antiretroviral

dipengaruhi oleh pengelolaan asuhan dan perawatan terhadap pasien HIV/AIDS tergantung

pada kerjasama petugas kesehatan dengan pasien dan keluarga. Pasien HIV/AIDS yang

mempunyai pengetahuan yang cukup tentang HIV/AIDS, kemudian selanjutnya mengubah

perilakunya sehingga akan dapat mengendalikan kondisi penyakitnya, sehingga penderita

dapat hidup lebih lama (Id, Id, & Burger, 2019).

Faktor-faktor lain yang bisa menghambat kepatuhan antara lain (Blevins & Lubkin, 1999;

Hussey & Gilliland, 1989 dalam Carpenito, 2009): 1) informasi yang kurang jelas dan

dimengerti. Penjelasan yang kurang jelas dan sulit dimengerti oleh pasien dari perawat dapat

menimbulkan efek yang tidak diharapkan, seperti pasien semakin bingung dan pasien tidak

dapat mengerti penjelasan yang diberikan oleh perawat. 2) perbedaan pendapat antara pasien

dan tenaga kesehatan, dan 3) terapi jangka panjang.


Berdasarkan data yang dilaporkan oleh Kemenkes periode januari-juni 2019, data kasus

LTFU di Indonesia 55.508 orang. RSUD Kabupaten Bekasi Jawa Barat juga memberikan

pelayanan untuk pasien yang menderita HIV/AIDS. Data kunjungan terakhir pada tahun

2017 yang diperoleh dari register poliklinik VCT RSUD Kabupaten Bekasi Jawa Barat,

didapatkan data pasien HIV/AIDS sebesar 6000 pasien. Pasien LTFU sebesar 120 pasien.

Sedangkan data pasien sebesar tahun 2018 6200 pasien, pasien LTFU 150 pasien. Dari

hasil wawancara dengan kepala bagian Poliklinik menyatakan pasien tidak kembali

dikarenakan pemenuhan logistic dari ART sendiri yang tersendat, sehingga pasien enggan

untuk balik kembali, jarak yang jauh dan tidak ada keluarga yang menemani untuk ke rumah

sakit. Observasi juga dilakukan terhadap petugas Poliklinik VCT, dimana pasien merasa

tidak nyaman berobat karena pasien takut kalau bertemu dengan tetangga yang sedang

berobat, karena lokasi Poliklinikyang tidak strategis bagi pasien sambil menunggu giliran di

panggil oleh petugas. Wawancara yang dilakukan pada bulan Maret 2020 mengenai fasilitas

pelayanan serta reaksi terhadap obat-obat retroviral terhadap 7 responden yang sedang

menunggu antrian untuk masuk ke poliklinik. Ketujuh responden tersebut terdiri dari lima

pasien dan 2 orang petugas kesehatan yang memberikan pelayanan di poliklinik pelangi.

Keluhan yang didapat dari hasil wawancara tersebut anatara lain pasien merasa setelah

minum obat ART merasa badan gatal-gatal dan terkadang timbul halusinasi. Sedangkan dari

hasil wawancara terhadap petugas kesehatan didapatkan bahwa mereka mengeluh jika

fasilitas dalam hal ruang tunggu masih kurang karena masih bergabung dengan poliklinik

lainnya. Belum pernah ada penelitian terkait mengenai kejadian LTFU di RSUD Kabupaten

Bekasi Jawa Barat. Hal itulah yang menarik bagi peneliti untuk melakukan penelitian di

RSUD Kabupaten Bekasi Jawa Barat.


Penelitian yang dilakukan oleh School of Nursing, The Johns Hopkins University, Baltimore,

MD mengungkapkan bahwa penggunaan SMS sangat efektif dan mendapatkan respon yang

baik dari pasien HIV/AIDS, sehingga pasien HIV/AIDS berespon terhadap kepatuhan

minum obat dan kontrol ulang ditandai dengan kerbaikan dari hasil CD4. SMS Reminder

dilakukan setiap minggu (Han, Hong, Starbird, & Ge, 2017). Penelitian lain juga

mengungkapkan penggunaan system reminding melaui SMS pada Mobile Phone sangat

berpengaruh terhadap tingkat kepatuhan pasien HIV/AIDS dalam minum obat dan kontrol

kembali (Kafiar, 2016). Penggunaan SMS Mobile Phone dianggap masih dapat menjaga

privacy dari pasien jika dibandingkan dengan menggunakaan metode group whats up dari

mobile phone. Hal itu dikarenakan jika menggunakan sistem group, mempunyai

pertimbangan akan kerahasiaan identitas pasien.

Berdasarkan data yang didapat mengenai pasien yang LTFU pada penderita HIV/AIDS yang

sedang menjalani terapi ART, metode edukasi yang digunakan saat ini adalah dengan

wawancara, edukasi pemeriksaan dan konsultasi pengobatan. Penelitian yang dilakukan di

Afrika Selatan tahun 2015 menyataan bahwa pasien-pasien ini memerlukan dukungan

tambahan seperti program dukungan kepatuhan berbasis masyarakat dan penggunaan alat

pengingat, yang telah terbukti mengurangi LTFU dalam pengaturan yang sama. Ada juga

kebutuhan untuk mengintensifkan kegiatan pengawasan agar memungkinkan negara untuk

secara akurat memantau tingkat, dan alasan, LTFU pada pasien yang memakai ART (Mberi

et al., 2015). Penelitian lain juga di Amerika menyatakan terjadi kenaikan yang secara

signifikan terhadap sejumlah pasien yang diberikan pengingat untuk kontrol kembali melalui
program sms dibanding dengan pasien yang tidak diberikan program sms (Han, Hong,

Starbird, & Ge, 2018). Beberapa penelitian menyatakan jika edukasi perawat adalah hal

yang sangat penting bagi pasien. Hasil penelitian lainnya yang berkaitan dengan masalah ini

Yetti, B (2016), menyimpulkan bahwa ada pengaruh pendidikan kesehatan terhadap

pengetahuan remaja tentang pencegahan HIV/AIDS (Sari & Verini, 2018).

Sesuai dengan tujuan pengendalian HIV/AIDS yaitu menurunkanangka kesakitan dan

kematian pasien Dengan HIV/AIDS, maka diperlukan upaya pengendalian. Pengendalian

yang komprehensif meliputi upaya preventif, promotif, kuratif dan rehabilitatif dan

melibatkan sektor terkait, baik pemerintah maupun swasta dan masyarakat. Upaya yang

dapat dilakukan dalam mendeteksi secara dini untuk mengetahui apakah seseorang sudah

terinfeksi HIV/AIDS atau belum adalah dengan melakukan tes HIV dan konseling kesehatan

yang melibatkan seorang VCT (Voluntary Conseling and Testing). Baik test maupun

konseling sebaiknya dilakukan secara sukarela tanpa paksaan (Rahmadhani, 2018). VCT

HIV sangat penting karena merupakan entry point yang diakui secara internasional sebagai

strategi yang efektif untuk pencegahan dan perawatan HIV dan AIDS. Status HIV yang

diketahui lebih dini memungkinkan pemanfaatan layanan-layanan. Terkait dengan

pencegahan, perawatan, dukungan, dan pengobatan. Tahapan VCT sendiri dilakukan mulai

dari konseling sampai dengan test HIV dan dilakukan 3 tahap dalam setahun.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian diatas, walaupun petugas sudah melakukan edukasi terhadap pasien,

tingkat kepatuhan pasien terhadap pengobatan ART masih rendah, sementara dunia digital
dalam hal ini sangat berkembang pesat di masyarakat. Salah satu alat digital yang sedang

digandrungi oleh masyarakat adalah handphone. Handphone sudah menjadi alat yang biasa

digunakan dimasyarakat dan sangat membatu dalam meningkatkan komunikasi antara

petugas kesehatan dan pasien, oleh karena itu peneliti tertarik untuk mengetahui apakah ada

pengaruh SMS Reminder dan Edukasi terhadap kejadian Loss To Follow Up pada pasien

HIV-AIDS di RSUD Kabupaten Bekasi Jawa Barat ?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Menjelaskan pengaruh Reminding dan Edukasi terhadap kejadian LTFU pasien

HIV/AIDS di RSUD Kabupaten Bekasi Jawa Barat.

1.3.2 Tujuan Khusus

Tujuan penelitian ini adalah:

a. Mengetahui karakteristik (usia, jenis kelamin, pendidikan terakhir, pekerjaan, jarak

dari rumah ke pusat pelayanan kesehatan, lama terjangkit penyakit yang diderita)

pasien HIV/AIDS di RSUD Kabupaten Bekasi Jawa Barat.

b. Mengetahui perubahan kejadianLTFU sebelum dan sesudah pemberian SMS

Reminder pada pasien HIV/AIDS di RSUD Kabupaten Bekasi Jawa Barat.

c. Mengetahui perubahan kejadian LTFU sebelum dan sesudah pemberian Edukasi

pada pasien HIV/AIDS di RSUD Kabupaten Bekasi Jawa Barat.

d. Mengetahui hubungan karateristik (usia, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, jarak

dari rumah ke pusat pelayanan kesehatan, lama terjangkit penyakit yang diderita)

dengan kejadian LTFU sesudah pemberian SMS Reminder dan pemberian Edukasi.
1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Teoritis (Keilmuan)

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai informasi bagi ilmu

pengetahuan khususnya dalam bidang Keperawatan Medikal Bedah, tentang

pengaruh SMS Reminder terhadap kejadian LTFU pada pasien HIV-AIDS.

b. Penelitian ini sebagai evidence based dalam mengembangkan intervensi SMS

Reminder (Mobile Phone) terhadap penanggulangan HIV-AIDS.

1.4.2 Manfaat Praktis (Guna Laksana)

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan untuk melakukan intervensi dalam

penanggulangan HIV-AIDS. Membantu pasien dalam mengambil keputusan,

menurunkan kejadian LTFU pada pasien HIV/AIDS.

Anda mungkin juga menyukai