Anda di halaman 1dari 38

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 HIV/AIDS

2.1.1 Pengertian

Human Immunodificiency Virus (HIV) merupakan suatu virus yang dapat

menginfeksi sel dari suatu system kekebalan tubuh dan bersifat dapat

menghancurkan ataupun merusak fungsi dari sistem kekebalan tubuh tersebut.

Infeksi yang ditimbulkan dari virus tersebut dapat menimbulkan suatu kerusakan

yang bersifat progresif yang dapat menurunkan sistem dari kekebalan atau defisiensi

imun. Sistem dari suatu kekebalan dapat dianggap kurang atau tidak dapat berfungsi

lagi ketika perannya dalam memerangi infeksi dan penyakit (Manowati, 2019). AIDS

adalah berupa kumpulan dari penyakit yang ditimbulkan oleh virus HIV yang dapat

menghancurkan sistem kekebalan didalam tubuh manusia, dimana oportunistik

(Manowati, 2019). Menurut Kemenkes Human Immunodeficiency (HIV) adalah virus

yang menyerang sistem imun dan jika tidak dilakukan pengobatan dapat menurunkan

daya tahan tubuh manusia sehingga jatuh kedalam kondisi Acquired Immuno

Deficiency Syndrome (Kemenkes, 2017).

Dari data di atas, maka dapat ditarik suatu kesimpulan dimana HIV/AIDS adalah

suatu penyakit yang memerlukan waktu lama dalamproses penyembuhannya dan

merupakan penyakit yang sangat menular. Penyakit HIV/AIDS belum dapat

disembuhkan, namun penyakit gangguan ini dapat dikontrol dengan terapi obat ART.
2.1.2 Perjalanan Penyakit

Proses terjadinya HIV menjadi AIDS melalui beberapa tahapan klinis sejalan dengan

menurunnya daya taha tubuh atau imunitas pasien, terutama imunitas seluler.

Turunnya daya tahan tubuh atau imunitas selelau diikuti dengan adanya peningkatan

resiko dan tingkat keparahan dari infeksi oportunistik dan penyakit penyerta lainnya.

Proses terjadinya HIV menjadi AIDS dibagi menjadi 2 tahapan (fase) (Permenkes RI,

2014), yaitu sebagai berikut:

a. Fase infeksi awal:

Fase pertama terjadinya proses infeksi (immunokompeten) dimana terjadi respon

peningkatan imun (aktivasi dari imun), yaitu tingkat seluler (HLA-DR: sel T: IL-

2R) serum (β-2 ikroglobulin, neopterin, CD8, IL-R) serta antibody upregulation

(gp 120, anti p24 : IgA). Induksi dari selT-helper dari sel-sel lain sangat

diperlukan agar dapat mempertahankan fungsi dari sel-sel faktor dari system imun

agar dapat berfungsi dengan baik. Infeksi dari virus HIV dapat menghancurkan

sel-sel T tersebut, sehingga sel T-helper tidak bsa memberikan induksi kepada sel-

sel efektor dari sistem imun. Jika sel T-helper tidak ada, maka system imun T8

sitotoksik, sel NK, monosit dan sel β tidak berfungsi secara maksimal. Makanya

daya tahan tubuh pasien akan menurun, dan pasien tersebut akan jatuh kedalam

stadium yang lebih lanjut.

b. Fase infeksi lanjut:

Fase lanjut bisa disebut dengan fase imunodefisien, dimana pada serum pasien

yang sudah terinfeksi virus HIV dapat ditemukan faktor supresif, yaitu berupa

antibodi terhadap proliferasi dari sel T. Dengan adanya supresif pada proliferasi
dari sel T, maka akan menekan proses sintesis dan sekresi dari limfokin, sehingga

sel T tersebut tidak dapat memberikan suatu respon kepada nitrogen, lalu terjadi

disfungsi imun yang ditandai dengan penurunan dari kadar CD4 +, kadar sitoki

(IFNαIL-2:IL-6); antibody down regulation (gp120:anti p-24 ): TNF α: anti

nef.HIV/AIDS terbagi atas 4 stadium. Pembagian stadium pada HIV /AIDS

(Kesehatan & Indonesia, 2015):

c. Fase infeksi awal:

Fase pertama terjadinya proses infeksi (immunokompeten) dimana terjadi respon

peningkatan imun (aktivasi dari imun), yaitu tingkat seluler (HLA-DR: sel T : IL-

2R) serum (β-2 ikroglobulin, neopterin, CD8,IL-R) serta antibody

upregulation(gp 120, anti p24:IgA). Induksi dari sel T-helper dari sel-sel lain

sangat diperlukan agar dapat mempertahankan fungsi dari sel-sel faktor dari

system imun agar dapat berfungsi dengan baik. Infeksi dari virus HIV dapat

menghancurkan sel-sel T tersebut, sehingga sel T-helper tidak bsa memberikan

induksi kepada sel-sel efektor dari sistem imun. Jika sel T-helper tidak ada, maka

system imun T8 sitotoksik, sel NK, monosit dan sel β tidak berfungsi secara

maksimal. Makan daya tahan tubuh pasien akan menurun, dan pasien tersebut

jatuh kedalam stadium lanjut.

d. Fase infeksi lanjut

Fase lanjut bisa disebut dengan fase imunodefisien, dimana pada serum pasien

yang sudah terinfeksi virus HIV dapat ditemukan faktor supresif, yaitu berupa

antibody terhadap proliferasi dari sel T. dengan adanya supresif pada proliferasi

dari sel T, maka akan menekan proses sintesis dan sekresi dari limfokin, sehingga
sel T tersebut tidak dapat memberikan suatu respon kepada nitrogen, lalu terjadi

disfungsi imun yang ditandai dengan penurunan dari kadar CD4 +, kadar sitoki

(IFNαIL-2:IL-6); antibody down regulation (gp120:anti p-24 ): TNF α: anti

nef.HIV/AIDS terbagi atas 4 stadium. Pembagian stadium pada HIV/AIDS

(Kesehatan & Indonesia, 2015):

1) Stadium 1: infeksi HIV dimulai dari masuknya virus HIV yang diikuti dengan

terjadinya perubahan dari serologis dimana antibodi virus tersebut dari negative

menjadi positive. Rentang waktu dimulai dari masuknya virus HIV ke dalam

tubuh sampai menjadi positive pada tes antibody HIV yang sering disebut

dengan Widow Period. Lama Window Period berbeda-beda antara satu pasien

dengan pasien yang lain, antara 3 sampai 6 bulan.

2) Stadium II : tanpa gejala (Asimptomatik)

Yang dimaksud dengan tanpa gejala (asimptomatik) adalah di dalam organ

tubuh terdapat virus HIV, namun tubuh sendiri tidak menunjukkan gejala-

gejala. Situasi ini dapat terjadi rata-rata 5-10 tahun, dimana cairan tubuh pasien

HIV/AIDS yang tampak sehat itu sangat dapat menularkan virus HIV kepada

orang lain.

3) Stadium III: mulai terjadi pembesaran kelenjar limfe. Pembesaran terjadi secara

menetap dan merata atau biasa disebut (Persistent Generalized

Lympadenopathy), hal tersebut tidak hanya muncul di satu tempat saja dan

biasanya terjadi lebh dari satu bulan.


4) Stadium IV/AIDS: pada situasi stadium IV, seringkali diikuti dengan

bermacam-macam penyerta, seperti Konstitussional, gangguan system syaraf

dan infeksi oportunistik (infeksi sekunder).

AIDS adalah semua orang terinfeksi HIV yang memiliki kurang dari 200 sel CD4+

per mikroliter darah. Pengertian tersebut juga mencakup 26 kondisi penyakit yang

umum pada penyakit HIV lanjut, tetapi yang jarang terjadi pada orang sehat.

Penderita HIV mempunyai kekebalan tubuhnya lemah, sehingga dalam kondisi

tersebut penderita akan mudah terserang infeksi baik olehbakteri

virus, jamur, parasit, maupun organisme lainnya kondisi ini disebut dengan infeksi

oportunistik. Infeksi oportunistik merupakan gejala dan penderitaan bagi penderita,

bukan penyakit AIDS itu sendiri.

2.1.3 Tanda dan Gejala

Tanda-tanda dan gejala AIDS yang merupakan tanda-tanda infeksi oportunistik

adalah sebagai berikut (Bhatti, Usman, & Kandi, 2016):

a. Keringat berlebihan di malam hari

b. Menggigil atau demam lebih tinggi dari 100 F (38o C) selama beberapa minggu.

c. Batuk, karena seringnya terkena peradangan atau infeksi di tenggorokan.

d. Sulit atau sakit saat menelan.

e. Sakit kepala.

f. Sesak napas, bisa terjadi akibat pneumonia atau paru-paru basah yang sering

disebabkan oleh mikoorganisme pneumocystic carinii.


g. Diare kronis, maksudnya adalah menderita diare yang lama meskipun telah

diobati namun tak kunjung sembuh.

h. Bintik-bintik putih Persisten atau lesi yang tidak biasa di lidah atau

di mulut (sariawan).

i. Kelelahan yang terus menerus.

j. Penglihatan kabur dan terdistorsi.

k. Berat badan turun drastis.

2.1.4 Diagnosis HIV

Tes HIV harus mengikuti prinsip berupa 5 komponen dasar yang telah disepakati

secara global yaitu 5C (informed consent, confidentiality, counseling, correcttest

results, connections to care, treatmentand prevention services). Prinsip 5C harus

diterapkan pada semua model layanan testing dan konseling (TK) HIV (Permenkes,

2019).

Suatu tinjauan pustaka sistematis mengenai pelaksanaan tes dan konseling atas

inisiatif petugas kesehatan juga menunjukkan bahwa dukungan sistem kesehatan

merupakan komponen penting untuk kelangsungan penanganan ODHA (Permenkes,

2019).

a. Tes diagnosis HIVdapat ditegakkan dengan menggunakan 2 metode pemeriksaan,

yaitu pemeriksaan serologis dan virologis.

2.1.4.1.1 Metode pemeriksaan serologis


Antibodi dan antigen dapat dideteksi melalui pemeriksaan serologis.

Adapun metode pemeriksaan serologis yang sering digunakan adalah:

a) Rapid immunochromatographytest (tes cepat)

b) EIA (enzyme immunoassay)

Secara umum tujuan pemeriksaan tes cepat dan EIA adalah

sama, yaitu mendeteksi antibodi saja (generasi pertama)

atau antigen dan antibodi (generasi ketiga dan keempat).

Penggunaan pemeriksaan western blot sudah tidak dipakai

sebagai rujukan standar diagnosis HIV lagi di Indonesia.

2.1.4.1.2 Metode pemeriksaan virologis

Pemeriksaan DNA HIV dan RNA HIV merupakan salah satu

pemeriksaan dari metode virologis. Secara kualitatif di Indonesia,

pemeriksaan menggunaan DNA HIV lebih banyak digunakan untuk

diagnosis HIV pada bayi yang dicurigai menderita HIV.

Daerah yang tidak memiliki sarana pemeriksaan DNA HIV, untuk

menegakkan diagnosis dapat menggunakan pemeriksaan RNA HIV

yang bersifat kuantitatif atau merujuk ke tempat yang mempunyai

sarana pemeriksaan DNA HIV dengan menggunakan tetes darah kering

(dried blood spot [DBS]).

Pemeriksaan virologis digunakan untuk mendiagnosis HIV pada:

a) Bayi berusia dibawah 18 bulan.


b) Infeksi HIV primer.

c) Pada kasus terminal dimana hasil pemeriksaan antibodi

negatif tetapi gejala klinis sangat mendukung ke arah AIDS.

d) Untuk melakukan konfirmasi hasil inkonklusif atau

konfirmasi untuk dua hasil laboratorium yang berbeda.

Hasil pemeriksaan HIV dikatakan positif apabila:

2.1.4.1.2.d.1 Hasil dari tiga (3) pemeriksaan serologis

dengan menggunakan tiga metode atau reagen

berbeda menunjukan hasil reaktif.

2.1.4.1.2.d.2 Pemeriksaan virologis kuantitatif atau

kualitatif terdeteksi HIV.

b. Tes ulang pada periode jendela

Sebagian besar kondisi, konseling pasca-tesmenganjurkan pasien dengan hasil tes

HIV negatif untuk melakukan tes ulang. Tes ulang dimaksudkan untuk

mengeluarkan kemungkinan infeksi akut pada periode yang terlalu dini untuk

melakukan tes diagnostik (periode jendela). Meski demikian tes ulang hanya perlu

dilakukan pada individu dengan HIV negatif yang baru saja mendapat atau sedang

memiliki risiko pajanan. Pada beberapa orang terduga terpapar secara spesifiatau

berisiko tinggi dapat disarankan tes ulang setelah 4 hingga 6 minggu. Orang

berisiko tinggi seperti populasi kunci, dianjurkan untuk melakukan tes ulang

secara rutin setiap tahun. Dimana Tes tersebut dapat memberikan memberikan

kesempatan kepastian diagnosis HIV sejak awal dan untuk mendapatkan edukasi

mengenai pencegahan HIV. Pada daerah dengan tingkat kejadian tinggi, tes ulang
HIV pada wanita hamil dapat dilakukan selama kehamilan, persalinan, atau segera

mungkin setelah persalinan.

Tabel dibawah menunjukkan pemeriksaan laboratorium yang ideal sebelum

memulai pasien mendapatkan ART jika sumber daya memungkinkan (Kemenkes,

2016).

Tabel 2.1 Tabel Jenis Pemeriksaan

1) Darah lengkap* 12) Tes Kehamilan (perempuan


2) Jumlah CD4* usia reprodukstif dan
3) SGOT / SGPT* perluanamnesis mens
4) Kreatinin Serum* terakhir)
5) Urinalisa* 13) Pemeriksaan PAP smear/IFA
6) HbsAg* test -IMS untuk
7) Anti-HCV (untuk pasien HIV dengan menyingkirkan adanya Ca
IDU atau dengan riwayat IDU) Cervix yang pada pasien
8) Profil lipid serum HIV/AIDS jika bersifat
9) Gula darah progresif)
10) VDRL/TPHA/PRP 14) Kadar virus/Viral Load RNA
11) Ronsen dada (utamanya bila curiga HIV** dalam plasma (bila
adanya infeksi paru tersedia dan bila pasien
mampu)

Catatan:

 Test minimal perlu yang dilakukan sebelum terapi ARV karena berkaitan dengan

pemilihan obat ARV. Tentu saja hal ini perlu mengingat ketersediaan sarana dan

indikasi lainnya.

** Pengecekan pada Viral Load bukan merupakan anjuran untuk dilakukan sebagai

pemeriksaan awal tetapi akan sangat diperlukan (bila pasien punya data) utamanya

untuk memantau perkembangan dan menentukan suatu keadaan gagal terapi.

2.1.5 Penularan HIV


HIV dapat ditularkan melalui berbagai cara, antara lain melalui cairan tubuh seperti

darah, cairan genitalia, dan ASI. Terdapat juga dalam saliva, air mata, dan urin

(sangat rendah). Terdapat 3 cara penularan HIV, yaitu:

a. Melalui hubungan seksual, baik secara vagina, oral, maupun anal dengan seorang

pengidap. Kontak secara seksual merupakan cara paling umum dalam menularkan

HIV, dimana sekitar 80-90% dari kasus dunia. Kontaminasi HIV melalui seksual

terjadi jika terjadi kontak antara sekresi cairan vagina atau preseminal penderita

dengan membrane mukosa pada daerah rektum, alat kelamin pasangannya.

b. Kontak langsung dengan darah Jalur penularan ini terutama berhubungan dengan

pengguna obat suntik penderita hemofilia, dan resipien transfusi darah dan produk

darah.

1) Transfusi darah yang tercemar HIV, resikonya sangat tinggi sampai 90%.

Ditemukan sekitar 3-5% dari total kasus di dunia

2) Pemakaian jarum tidak steril dan syring pada para pecandu kasus sedunia.

narkotika suntik. Resiko sekitar 0,5-1% dan terdapat 5-10% dari total kasus

sedunia.

3) Penularan melalui kecelakaan di tempat kerja seperti, tertusuk jarum pada

petugas kesehatan resikonya kurang dari 0,5% dan telah terdapat kurang dari

0,1% dari total kasus sedunia.

c. Secara langsung, dari ibu hamil pengidap HIV kepada bayinya.

d. Selama hamil, saat melahirkan, atau setelah melahirkan. Resiko sekitar 25-40%

dan terdapat 0,1% dari total kasus sedunia. Kontaminasi HIV dari ibu ke bayi
dapat terjadi melalui rahim selama masa perinatal yaitu minggu-minggu terakhir

kehamilan atau pada saat persalinan.

Berdasarkan pernyataan tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa secara umum

penularan HIV-AIDS melalui tiga cara yaitu penularan seksual, kontaminasi melalu

darah dan penularan masa perinatal. Dari ketiga resiko tersebut, yang menjadi

penyebab utama kejadian HIV/AIDS adalah hubungan seksual.

2.1.6 Pencegahan HIV

Berbagai cara dilakukan dalam upaya pencegaan penularan HIV/AIDS baik

dilingkup masayarakat ataupun di rumah sakit. Edukasi yang diberikan haruslah

secara intensif. Berbagai upaya dilakukan dalam usaha pencegahan penularan

HIV/AIDS, diantaranya (Rosiana, 2014):

a. Hindari kontak langsung dengan cairan yang terinfeksi HIV

Sebagai usaha dalam pencegahan HIV dan AIDS, sebaiknya anda menghindari

kontak dengan cairan yang meliputi:

1) Sperma dan cairan pra-ejakulasi

2) Cairan vagina

3) Lendir rektal

4) ASI

5) Cairan ketuban, cairan serebrospinal, dan cairan synovial (biasanya hanya

terekspos jika Anda bekerja di bidang medis).


b. Gunakan Pre-Exposure Prophylaxis (PrEP) untuk pencegahan HIV yang tidak

disengaja.

c. Minum obat Post Exposure Prophylaxis (PEP)

d. Berbubungan seks yang aman menggunakan kondom

e. Saling terbuka dengan pasangan untuk pencegahan HIV

f. Hindari alkohol dan obat-obatan terlarang

g. Sunat untuk pencegahan HIV pada lelaki

h. Jangan pernah berbagi jarum atau alat suntik

i. Konsultasi ke dokter jika Anda hamil

2.1.7 Tatalaksana HIV/AIDS

Studi HIV prevention trial network (HPTN) 052 membuktikan dimana terapi ART

merupakan pencegahan penularan HIV paling efektif hingga kini. Pemberian ART

lebih awal dapat menurunkan penularan HIV sebesar 93% pada pasangan seksual

non-HIV (pasangan serodiskordan). Penurunan kadar viral load dengan terapiART

terbukti memiliki hubungan dengan konsentrasi virus pada sekresi genital yang

rendah. Upaya pencegahan dengan terapi ART ini merupakan bagian dari treatment

as prevention (TasP) (Permenkes, 2019). Konseling mengenai kepatuhan pasien

dalam minum obat dan kontrol, harus diberikan terlebih dahulu sampai pasien merasa

siap, setelah siap maka terapi ART diberikan. Hal tersebut dikarenakan terapi ART

akan berlangsung seumur hidupnya (Kemenkes, 2016).

a. Saat Memulai Terapi ART (Kemenkes, 2016).


Sebelum pemberian terapi ART, pemeriksaan pertama yang dilakukan adalah

jumlah CD4 (bila tersedia) dan penentuan stadium klinis infeksi HIV-nya.

Pemeriksaan CD4 dilakukan adalah untuk menentukan apakah penderita sudah

memenuhi syarat terapi antiretroviral atau belum. Berikut ini adalah rekomendasi

cara memulai terapi ART pada ODHA dewasa.

Rekomendasi:

2.1.7.1.1 Mulai terapi ART pada semua pasien dengan jumlah CD4 <350

sel/mm3 tanpa memandang stadium klinisnya.

2.1.7.1.2 Terapi ART dianjurkan pada semua pasien dengan TB aktif, wanita

hamil dan koinfeksi Hepatitis B tanpa memandang jumlah CD4.

Tabel 2.2 Saat Memulai Terapi ART pada Odha Dewasa

Target Populasi Stadium Klinis Jumlah sel CD 4 Rekomendasi

>30 sel/mm2
Stadium klinis 1 < 30 sel/mm2 Belum mulai terapi.
&2 Observasi gejala
Stadium klinis 3 Berapapun jumlah sel klinis dan jumlah
&4 CD 4 sel CD4 setiap 6-
12 bulan
Penderita dengan Apapun stadium Berapapun jumlah sel Mulai terapi
ko-Infeksi TB klinis CD 4
penderita dengan Apapun stadium Berapapun jumlah sel Mulai terapi
ko-infeksi Hepatitis klinis CD 4
B kronik aktif
Wanita hamil Apapun stadium Berapapun jumlah sel Mulai terapi
klinis CD 4
b. Memulai Terapi ART pada Keadaan Infeksi Oportunistik (IO) yang Aktif

Infeksi oportunistik dan penyakit terkait HIV lainnya yang perlupengobatan atau

diredakan sebelum terapi ART dapat dilihat dalam tabel di bawah ini.
Table 2.3 Tatalaksana IO Sebelum Memulai Terapi ART

Jenis Infeksi Opportunistik Rekomendasi


Percepatan Multifocal ART diberikan langsung setelah
Leukoencephalopathy, Sarkoma diagnosis infeksi ditegakkan
Kaposi, Mikrosporidiosis, CMV,
Kriptosporidiosis
Tuberkulosis, PCP, Kriptokokosis, ART diberikan setidaknya 2 minggu
MAC setelah pasien mendapatkan
pengobatan infeksi oportunistik

c. Profilaksis Kotrimoksasol

Terbagi dalamdua macam pengobatan pencegahan, yaitu profilaksis primer dan

profilaksis sekunder(Kemenkes, 2016):

1) Profilaksis primer adalah pemberian pengobatan dalam upaya mencegah suatu

infeksi yang belum pernah diderita.

2) Profilaksis sekunder adalah pemberian pengobatan dalam upaya pencegahan

yang bertujuan untuk mencegah berulangnya infeksi yang pernah diderita

sebelumnya.

Beberapa penelitian yang telah dilakukan dapat membuktikan bahwa pemberian

kotrimpksasol sangat efektifitas dalam rangka menurunkan angka kematian dan

kesakitan pada orang yang terinfeksi HIV. Hal itu dihubungkan dengan penurunan

insidensi infeksi bakterial, parasit (Toxoplasma) dan Pneumocystis carinii

pneumonia (sekarang disebut P. jiroveci, disingkat sebagai PCP). Dalam upaya

untuk pencegahan baik secara primer atau sekunder terhaap terjadinya PCP dan

toxoplasmosis, maka diberikan terapi kotrimoksasol atau biasa disebut sebagai

Pengobatan Pencegahan Kotrimoksasol (PPK).


Panduan pelaksanaan profilaksis kotrimoksazole (Kemenkes, 2016):

1) Pengobatan Pencegahan Kotrimokosazole (PPK) merupakan bagian penting

dari rencana pengobatan ODHA.

2) PPK diberikan pada ODHpada A stadium klinis 2,3 dan 4 pada CD4<200

sel/mm3 atau pada stadium 3 dan 4 bila tidak dilakukan pemeriksaan CD4.

3) Dosis PPK untuk orang dewasa 1x960 mg (dua tablet atau satu tablet forte).

4) Efek samping yang dapat terjadi antara lain adalah ruam kulit (alergi) mulai

tingkat ringan sampai berat. Jika timbul ruam kulit yang luas atau basah

disertai timbulnya gejala sistemik seperti demam, secepatnya mencari bantuan.

5) Desensitisasi tidak di rekomendaskan pada pasien yang memiliki riwayat alergi

berat (Steven Jhonson Syndrome).

6) Kotnrimoksazole bukan pengganti ART. Oleh karena itu perlu di buatsuatu

perencanaan pemberian ART setelah terapi kotrimoksazole, sebaiknya 2

minggu setelah terapi kotrimoksazole.

7) Profilaksis kotrimoksazole tetap diberikan walaupun pasien mendapatkan

pengobatan untuk IO nya

8) Profilaksis kotrimoksazole dihentikan satu tahun setelah psien sehat kembali

dengan tingkat kepatuhan minum obat ART baik dan CD4 >200 setelah

pemberian terapi ART pada 2 kali pemeriksaan berturut-turut.

2.2 Perilaku Loss to Follow Up Pasien HIV/AIDS

2.2.1 Defenisi Perilaku Loss To Follow Up


LTFU ditetapkan sebagai tidak memakai ART untuk jangka waktu 3 bulan atau lebih

lama dari kehadiran terakhir untuk pengambilan terapi dan belum termasuk kedalam

orang-orang yang datanya sudah tidak aktif. Waktu untuk LTFU dihitung dalam

beberapa bulan sesuai dengan interval waktu antara tanggal mulai ART (Berheto et

al., 2014). Penelitian lain juga mengungkapkan jika pasien dikatakan LTFU adalah

pasien yang tidak kontrol dihitung dari 1 bulan dati terakhir pasien berobat

(Darmindro & Sarwono, 2017).

LTFU dengan terapi ART dapat menyebabkan berhentinya terapi, meningkatkan

risiko kematian, menyulitkan untuk evaluasi dari pelayanan terapi ART. Apabila

terjadi resistensi terhadap ART, maka pengobatan menjadi tidak efektif sehingga

diperlukan upaya baru melawan infeksi dengan obat lain. Dari sudut ekonomi

ketidakpatuhan berobat mengakibatkan biaya berobat menjadi tinggi (Fajarsari,

2016).

LTFU didefinisikan sebagai tidak ada kunjungan klinis dalam setahun dari tanggal

terakhir pasien datang untuk kontrol dan data-data lain yang tidak diketahui.

Subyek yang diketahui telah ditransfer ke klinik lain tidak dihitung sebagai mangkir

(Carriquiry et al., 2015). Pasien dianggap LTFU jika dalam waktu 12 bulan dari awal

kontrol pasien tidak kembali lagi untuk kontrol, dan tidak diketahui apakah pasien

meninggal, transfer ke klinik lain atau memulai ART di tempat yang lain (Gwynn et

al., 2015).
2.2.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Loss to Follow Up

Tingkat keatuhan terhadap terapi ART merupakan salah satu tolak ukur keberhasilan

dari program ART, di samping adanya penurunan dari nilai viral load dan

kelangsungan hidup pasien HIV/AIDS. Indikator keberhasilan terapi ART jika angka

kejadian AIDS dan kematian yang ditimbulkan dari AIDS berkurang. Hal tersebut

dapat tercapai jika semua pasien HIV/AIDS dapat menjalani terapi dengan patuh.

Tetapi pada kenyataannya, masih banyak pasien HIV/AIDS yang mempunyai

perilaku LTFU.

Di beberapa penelitian, banyak peneliti yang melakukan penelitian untuk menggali

hal-hal apa saja yang menjadikan penyebab ODHA berperilaku LTFU, diantaranya:

a. Stigma

Sangat Terkait pada kasus HIV dimana stigma adalah salah satu faktor yang

mendukung untuk terjadinya perilaku LTFU dari ODHA. Stigma berlaku pada

berbagai tingkatan untuk mempengaruhi LTFU, termasuk di rumah/keluarga, di

sekolah, dan di klinik. Salah satu tsigma yang di hadapi oleh pasien HIV/AIDS

adalah ketakutan terhadap karena pengungkapan status HIV. Dengan demikian,

stigma memengaruhi rasa takut akan pengungkapan, yang pada gilirannya

berdampak negatif pada hubungan dependen dengan lingkungan dan keluarga

yang mereka andalkan (yaituorangtua, guru, dan dokter) yang mengarah ke LTFU

(Wolf et al., 2014).

b. Jenis Kelamin
Kemungkinan terbesar jenis kelamin laki-laki adalah yang beresiko untuk

mempunyai prilaku LTFU dibandingkan dengan jenis kelamin wanita, dimana hal

tersebut dikarenakan wanita lebih memperhatikan masalah kesehatan jika

dibandingkan dengan laki-laki, selain itu untuk layanan kesehatn khusus wanita

sudah tersedia, seperti layanan system reproduksi, sedangkan pada pria masih

secara umum(Berheto et al., 2014).

c. Pelayanan kesehatan yang dirasakan oleh pasien

Nilai menggambarkan beberapa manfaat, baik yang terlihat maupun yang tidak

terlihat, begitu juga dengan biaya yang dipersepsikan oleh pasien. Nilai akan

meningkat jika kualitas pelayanan meningkat. Selai itu pelayanan dari segi

fasilitas yang diberikan ke pasien yag terdiri dari antrian saat pendaftaran,

lamanya saat pengobatan, sikap dari kokter dan petugas kesehatan, saat

melakukan tes di laboratorium, proses administrsi serta sarana prasarana klinik

adalah faktor yang dapat memepngaruhi pasien untuk mengunjungi klinik

tersebut. Beberapa pengalaman tersebut dapat mempengaruhi persepsi pasien

dalam perjalanan terapinya (Rosiana, 2014).

d. Jarak tempat tinggal

Beberapa peneliti mengungkapkan jika jarak antara tempat tinggal dan pusat

pelayanan dapat mempengararuhi kepatuhan pasien HIV/AIDS dalam follow up

(Fajarsari, 2016). Hal tersebut dirasakan jika pasien HIV/AIDS yang jauh dengan

pusat pelayanan kesehatan, sehingga mereka enggan untuk dating kembali.

e. Merasa sudah sehat


Jika pasien sudah merasakan efek dari pengobatan ART pasien akan merasa sehat,

hal tersebut dapat membuat pasien merasakan jika dirinya sudah sehat dan tidak

mau kembali ke pusat pelayanan kesehatan untuk meneruskan terapinya (Rosiana,

2014).

f. Usia

Usia yang semakin muda dapat meningkatkan resiko pasien HIV/AIDS untuk

bereprilaku LTFU, hal itu dikarenakan adanya penolakan secara psikologis

dimana mereka sudah terinfeksi HIV, lalu mereka mencoba mencari laternatif

pengobatan lain. Penelitian menunjukkan bahwa pasien HIV/AIDS dengan

umur<30 tahun memiliki resiko lebih besar untuk LTFU (Manowati, 2019).

g. Pendidikan

Jika dilihat dari segi pekerjaan dan pendapatan, LTFU banyak terjadi pada pasien

HIV/AIDS dengan pendidikan yang rendah. Pekerjaan berhubungan dengan

pendapatan yang didapat. Pendapatan yang rendah memiliki resiko lebih tinggi

LTFU dibanding dengan pendapatan yang lebih besar (Handayani et al., 2017a).

2.3 Kepatuhan

2.3.1 Pengertian Kepatuhan

Kepatuhan berasal dari kata “Patuh”. Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa

Indonesia), Patuh berarti suka menurut perintah, taat kepada perintah atau aturan dan

berdisiplin. Kepatuhan adalah perilaku positif penderita dalam mencapai tujuan

terapi. Kepatuhan merupakan suatu bentuk perilaku manusia yang taat pada aturan,
perintah yang telah ditetapkan, prosedur dan disiplin yang harus dijalankan. Green

dan Kreuter (2000) mengatakan kesehatan individu atau masyarakat dipengaruhi oleh

faktor perilaku yang merupakan hasil daripada segala macam pengalaman maupun

interaksi manusia dengan lingkungannya yang terwujud dalam bentuk pengetahuan,

sikap, dan tindakan. Kepatuhan (complying) merupakan salah satu bentuk perilaku

yang dapat dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Smeth (2004) mengatakan

bahwa kepatuhan adalah ketaatan atau pasrah pada tujuan yang telah ditetapkan (Dr.

Maria Rosa Elsye, n.d.).

Kepatuhan terhadap pengobatan didefinisikan sebagai sejauh mana perilaku pasien

sesuai dengan instruksi yang diberikan oleh tenaga medis mengenai penyakit dan

pengobatannya. Tingkat kepatuhan setiap pasien biasanya digambarkan sebagai

presentase jumlah obat yang diminum setiap hariya dan waktu minum dalam jangka

waktu tertentu (Kafiar, 2016).

Kepatuhan didefinisikan sebagai kesetiaan, ketaatan atau loyalitas. Kepatuhan yang

diartikan disini adalah ketaatan pasien dalam pengobatan ART. Akan tetapi

kepatuhan individu berdasarkan unsure paksaan atau ketidak sepahaman dapat

disusul dengan kepatuhan demi menjaga hubungan baik dengan petugas kesehatan

yang menganjurkan perubahan (Sarwono, 2009).

Berdasarkan pengertian kepatuhan dapat ditarik kesimpulan kepatuhan dalam

pengobatan yaitu sejauh mana perilaku pasien menggunakan obat yang diminum
setiap harinya dan waktu minum dalam jangka waktu tertentu sesuai ketentuan yang

diberikan oleh tenaga medis.

2.3.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kepatuhan

Menurut Grean (1980) dalam kafiar (2016), faktor-faktor yang mempengaruhi

kepatuhan antara lain:

a. Faktor predisposisi mencakup pengetahuan, pendidikan, sikap, kepercayaan,

keyakinan dan nilai.

b. Faktor pendukung mencakup tersedianya sarana dan fasilitas kesehatan dan juga

lingkungan.

c. Faktor pendorong mencakup sikap petugas kesehatan, perilaku petugas kesehatan,

perilaku masyarakat.

Tingkat ketaatan pasien terhadap pengobatanya dapat dipengaruhi oleh beberapa

faktor, meliputi (Osterberg dan Terrence, 2005; Delamater, 2006; Kocurek, 2009):

a. Faktor demografi

Faktor demografi, seperti suku, status sosio-ekonomi yang rendah dantingkat

pendidikan yang rendah dikaitkan dengan kepatuhan yangrendah terhadap

regimen pengobatan.

b. Faktor psikologis

Faktor psikologi juga dikaitkan dengan kepatuhan terhadap regimen pengobatan.

Kepercayaan terhadap pengobatan dapat meningkatkan kepatuhan. Sedangkan


faktor psikologi, seperti depresi, cemas, dan gangguan makan yang dialami pasien

dikaitkan dengan ketidak patuhan.

c. Faktor sosial

Peran anggota keluarga dan masyarakat juga berperan penting dalam pengobatan

ART. Stigma social yang baik dapat menurunkan rasa depresi atau stres penderita.

d. Faktor yang berhubungan dengan penyakit dan medikasi penyakit kronik yang

diderita pasien, regimen obat yang kompleks, dan efek samping obat yang terjadi

pada pasien dapat meningkatkan ketidak patuhan pada pasien.

e. Faktor yang berhubungan dengan tenaga kesehatan

Komunikasi yang kurangdan sedikitnya waktu yang dimiliki oleh tenaga

kesehatan, seperti dokter menyebabkan penyampaian informasi menjadi kurang

sehingga pasien tidak cukup mengerti dan paham akan pentingnya pengobatan.

Jumlah tenaga yang kesehatan yang kurang, seperti Apoteker waktu dan keahlian

yang dimiliki, sangat berpengaruh terhadap pemahaman pasien mengenai

pengguanaan obat sehingga cenderung meningkatkan ketidak patuhan pasien.

Faktor-faktor yang mempengaruhi ketidakpatuhan dapat dibagi menjadi 4 bagian,

yaitu:

1) Pemahaman tentang instruksi. Tak seorangpun dapat mematuhi instruksi jika ia

salah paham mengenai instruksi yang diberikan padanya. Ley dan Splemen

(1967) menemukan bahwa lebih dari 60% yang diwawancarai setelah bertemu

dengan dokter salah mengerti tentang instruksi yang diberikan pada mereka.
2) Intensitas interaksi antara professional kesehatan dengan pasien HIV/AIDS,

adalah bagian yang penting dalam meningkatkan kepatuhan pasien.

3) Isolasi sosial dan keluarga. Dalam menentukan keyakinan dan nilai kesehatan

serta program pengobatan yang akan di terima, peran dari keluarga sangat di

butuhkan. Part (1976) keluarga sangat memegang peranan penting dalam

meningkatkan pola hidup sehat terhadap anggota keluarga dan anak-anaknya.

4) Keyakinan, sikap dan kepribadian, hubungan antara professional kesehatan dan

pasien, keluarga dan teman, keyakinan tentang kesehatan dan

kepribadianseseorang berperan dalam menentukan respon pasien terhadap anjuran

pengobatan.

Derajat ketidakpatuhan ditentukan oleh beberapa faktor, antara lain:

1) Kompleksitas prosedur pengobatan.

2) Derajat perubahan gaya hidup yang dibutuhkan.

3) Lamanya waktu dimana pasien harus mematuhi nasehat dokter.

4) Apakah penyakit tersebut benar menyakitkan.

5) Keparahan penyakit dipersepsikan oleh pasien, bukan profesionalisme kesehatan.

Dinicola dan dimatteo (1984) dalam Kaifar (2016), mengusulkan lima titik rencana

untuk mengatasi ketidakpatuhan adalah:

a. Perlu adanya suatu strategi dalam upaya dalam perubahan Perilaku sehat sangat

dipengaruhi oleh kebiasaan, oleh karena itu perludikembangkan strategi yang


bukan hanya untuk mengubah perilaku, tetapi untuk mempertahankan perubahan

tersebut.

b. Pengontrolan perilaku seringkali tidak cukup untuk mengubah perilaku itu sendiri,

faktor kognitif juga berperan penting terhadap perubahan perilaku.

c. Faktor-faktor penting yang dapat mendukung kepatuhan terhadap program medis

sangat diperlukan seperti dukungan sosial dalam bentuk dukungan emosional dari

anggota keluarga yang lain, teman, waktu dan uang.

d. Dukungan dari profesional kesehatan merupakan dukungan lain yang dapat

mempengaruhi perilaku kesehatan.

Jika dilihat dari point di atas, maka dapat ditarik kesimpulan faktor-faktor yang

mempengaruhi ketidakpatuhan meliputi pemahaman interaksi yang baik oleh pasien,

hubungan interaksi yang baik antara pasien dan konselor, peran dari orang tua,

teman-teman serta petugas kesehatan baik dalam bentuk dukungan keyakinan atau

sosial.

2.3.3 Metode Pengukuran Tingkat Kepatuhan

Berdasarkan teori yang diungkapkan oleh Osterberg dan Terrence (2005) dalam

Kafiar (2016), cara atau metode yang dapat digunakan dibagi menjadi dua, yaitu:

a. Metode langsung
Pengukuran kepatuhan melalui metode langsung dapat dilakukan dengan beberapa

cara, seperti mengukur viral load dalam darah atau urin, mengukur atau

mendeteksi petanda biologi di dalam. Metode langsung umumnya mahal, dimana

juga dapat memberatkan tenaga kesehatan dan juga rentan terhadap penolakan

pasien.

b. Metode tidak langsung

Pengukuran kepatuhan melalui metode tidak langsung dapat dilakukan dengan

bertanya pada pasien tentang penggunaan obat, menggunakan kuesioner, menilai

respon klinik pasien, menghitung jumlah pil obat dan menghitung tingkat

pengambilan kembali resep obat.

Tingkat kepatuhan terhadap pengobatan dapat diukur melalui pengukuran kepatuhan

dapat dilakukan dengan menghitung sisa obat sesuai dosis obat yang diberikan pada

waktu tertentu. Kepatuhan dikatakan baik, jika: jumlah kombinasi obat ART kurang

dari 0-3 dosis yang tidak diminum dalam periode 30 hari (≥ 95%). Kepatuhan

dikatakan sedang jika jumlah kombinasi obat ART antara 3-12 dosis yang tidak

diminum dalam periode 30 hari (80-95%). Kepatuhan rendah, adalah jumlah

kombinasi obat ART lebih dari 12 dosis yang tidak diminum dalam periode 30

hari(<80%)(M. Hidayat Lasti, 2017). Dapat disimpulkan untuk tingkat kepatuhan

obat dapat di ukur dengan sisa obat dan nilai CD4.

Metode Meningkatkan Kepatuhan (Osterberg dan Terrence, 2005) dalam Kafiar

(2016).
a. Pembedukasi yang diberikan kepada pasien, anggota keluarga atau keduanya

mengenai penyakit dan pengobatannya. Edukasi dapat diberikan baik secara

individu maupun kelompok, dan dapat diberikan juga melalui tulisan, telepon,

email atau datang kerumah.

b. Mengefektifkan jadwal diit, olahraga, dan pendosisan obat melalui

penyederhanakan regimendosis harian, menggunakan kotak tablet untuk mengatur

jadwal dosis harian, dan mengikutsertakan anggota keluarga agar berpartisipasi

dalam mengingatkan pasien baik mengenai diit, olahraga dan meminum obat.

c. Meningkatkan komunikasi antara pasien dan petugas kesehatan.

Kepatuhan Minum Obat

Kepatuhan adalah hal yang sangat penting dalam hal hidup sehat, sehingga butuh

pemahaman yang baik terhadap proses perubahan dan apa yang akan dialaminya

untuk mengubah perilaku. Dukungan dari pribadi pasien sendiri dan juga petugas

kesehatan merupakan faktor yang penting dalam kepatuhan pasien menjalani

pengobatan (Farmasi, Pameswari, Halim, & Yustika, 2016).

Menurut Depkes (2007) dalam Kafiar (2016), kepatuhan dalam pengobatan menjadi

masalah dalam pengobatan ART hal ini disebabkan oleh beberapa faktor yaitu:

hubungan yang kurang serasi antar pasien HIV dan petugas kesehatan, jumlah pil

yang harus diminum, depresi, tingkat pendidikan, kurangnya pemahaman pasien

tentang obat-obat yang akan ditelan dan toksisitas obat dan pasien terlalu sakit untuk

menelan obat.
Kepatuhan merupakan hal yang sangat penting dalam hal hidup sehat, sehingga

butuh pemahaman yang baik terhadap proses perubahan dan apa yang akan

dialaminya untuk mengubah perilaku. Dukungan dari pribadi pasien sendiri, keluarga

dan petugas kesehatan adalah faktor yang penting dalam kepatuhan pasien menjalani

pengobatan.

2.4 Motivasi

2.4.1 Pengertian Motivasi

Motivasi adalah sifat manusia yang memberikan kontribusi pada tingkat komitmen

seseorang. Motivasi dapat mempengaruhi seseorang untuk mempengaruhi seseorang

untuk menyalurkan dan mempertahankan satu tujuan yang ingin dicapai. Motivasi

adalah sesuatu yang berifat mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu. Motivasi

adalah gagasan yang mendorong seseorang melakukan pekerjaan atau menjalankan

kekuasaan, terutama dalam berperilaku (Kafiar, 2016).

2.4.2 Unsur Motivasi

Pada dasarnya motivasi dasari dari tiga unsur, yaitu kebutuhan, dorongan dan tujuan.

Motivasi akan berhenti jika tujuan sudah tercapai. Tapi itu akan kembali pada

keadaan semula jika ada sesuatu kebutuhan lagi. Siklus tersebut merupakan siklus

dasar. Merupakan suatu motif pada manusia dengan lebih tuntas, ada faktor lain yang

berperan dalam siklus motif tersebut, yaitu faktor kognitif. Proses mental seperti

berfikir, inagtan dan persespsi termasuk kedalam kogitif.


Menurut Sadirman (2003) dalam Kafiar (2016), motivasi dapat dibedakan menjadi

dua yaitu:

a. Motivasi internal

Motivasi yang berasal dari dalam diri seseorang. Motivasi internal akan muncul

jika ada keperluan dan keinginan yang akan dicapai. Motivasi yang kuat akan

mempengaruhi pikiran seseorang yang selanjunya akan mengarahkan perilaku

orang tersebut. Motivasi internal dikelompokkan menjadi dua, yaitu:

1) Fisiologis, yang merupakan motivasi alamiah rasa lapar, haus dan lain-lain

2) Psikologis

Psikologis dapat dikelompokkan menjadi 2 kategori dasar, yaitu sebagai

berikut:

a) Saling menyayangi, motivasi untuk menciptakan kehangatan, keharmonisan,

kepuasan batin/emosi dalam berhubungan dengan orang lain.

b) Mempertahakan diri, untuk melindungi kepribadian, menghindari luka fisik

dan psikologis, menghindari dari rasa malu dan ditertawakan orang, serta

kehilangan.

b. Motivasi eksternal

Motivasi eksternal adalah motivasi yang timbul dari luar/lingkungan. Misalnya:

motivasi eksternal dalam belajar antara lain berupa penghargaan, pujian,

hukuman, atau celaan yang diberikan oleh guru, teman atau keluarga.

2.5 Teknologi Mobile Phone


Handphone (Mobile phone) adalah perangkat seluler yang pada saat ini sangat sering kita

gunakan. Penerapan teknologi komunikasi dan mobile phonecanggih saat ini sudah

berkembang sangat cepat dalam perawatan kesehatan dan kesehatan masyarakat yang lebih

dikenal dengan mobile health (Kafiar, 2016).

Sebagai perangkat mobile health atau electronic health. Dimana Mobile Health berfungsi

untuk memberikan intervensi yang bertujuan untuk mengubah perilaku kesehatan, seperti

kepatuhan terhadap terapi ART. Tindakan yang diberikan berupa SMS reminder yang

dikirim pada pasien HIV-AIDS satu kali dalam seminggu, secara signifikan kepatuhan

pasien dalam terapi ART dapat meningkat, hal ini dapat dinilai pada setiap akhir siklus dari

jumlah obat ART yang tersisa dan pemeriksaan laboratorium berupa viral loads yang

menunjukkan HIV-1 RNA darah ≤ 400/ ml.

Prioritas utama dalam mengoptimalkan kepatuhan terhadap ART dan resistensi dalam

perawatan HIV merupakan prioritas utama. Penggunaan mobile health menawarkan cara

untuk mendukung keterlibatan pasien dalam kepatuhan dan retensi dalam perawatan.

2.6 Aplikasi Teori Technology Acceptance Model

Seseorang yang terdiagnosis HIV biasanya akan mengalami stress persepsi (kognisi:

penerimaan diri, sosial, dan spiritual) dan tubuhnya menunjukan respons secara alami

selama menjalani perawatan dirumah sakit dan dirumah. Peran perawat dalam perawatan

pasien terinfeksi HIV adalah melaksanakan pendekatan asuhan keperawatan agar pasien

dapat beradaptasi dengan cepat(Krishnan et al., 2014). Fungsi perawat dalam hal tersebut
tersebut meliputi: (1) menfasilitasi strategi koping; dan (2) dukungan sosial. SMS Reminder

merupakan bagian dari intervensi keperawatan dalam menfasilitasi strategi koping dan

dukungan sosial sehingga pasien bisa menggunakan potensi diri agar terjadi respon

penerimaan sesuai terhadap keadaan penyakitnya dan terjadinya perubahan perilaku yang

mendukung kesembuhan, seperti kontrol dan minum obat teratur.

Untuk meningkatkan kepatuhan perlu adanya intervensi keperawatan yang bisa memenuhi

kebutuhan fisik, psikologis, sosial, dan spiritual, sehingga dapat merubah perilaku pasien

ketika berada dalam masa perawatan, khususnya perilaku kepatuhan pasien HIV-AIDS

terhadap pengobatan ART.

Hubungan antara teori Technology Acceptance Model dengan kepatuhan pengobatan ART

pada pasien HIV-AIDS dapat dilihat pada (Skema 2.1), pada prinsipnya pendekatan Theory

Technology Acceptance Model (TAM) ini adalah ada ptasi dari Theory of Reasoned Action

(TRA) yang dikembangkan oleh Fred D. Davis (1986)yaituteori tindakan yang

beralasandengan satu premis bahwa reaksi dan persepsi seseorang terhadap sesuatu hal, akan

menentukan sikap dan perilaku orang tersebut.

Tanggapan dari pengguna Teknologi Informasi (TI) akan mempengaruhi sikapnya dalam

penerimaan terhadap teknologi tersebut. Theory technology acceptance model pada dasarnya

dibagi dalam beberapa faktor yaitu faktor eksternal, faktor perceived usefulness,

faktorperceived ease of use, faktor attitude toward usingdan factorbehavioral intention to

use. Unsur lain yaitu mobile phoneyang digunakan untuk mengirim SMS mengingatkan
pasien minum obat. Melalui Sistem pengingat (SMS Reminder) yang dikirim kepada pasien,

pesan yang dikirimkan selain untuk mengingatkan pasien minum obat tetapi juga berisikan

kata-kata yang memberikan suport kepada pasien. Faktorperceived usefulness (kegunaanya)

adalah untuk meningkatkan komunikasi antara pasien dan petugas kesehatan, mengingatkan

pasien untuk konsumsi ART, memotivasi pasien (dukungan emosional) sehingga pasien

merasa nyaman, dihargai, dicintai, dan diperhatikan sedangkan faktor perceived ease of use

(Kemudahan SMS Reminder) adalah dapat mengirimkan sms reminder pada banyak pasien

sekaligus walaupun tersebar dibeberapa daerah berbeda, biayanya relatif ringan (murah),

bentuknya kecil, murah dan mudah dibawah kemana-mana. Efek yang diharapkan

(behavioral intention to use) adalah pasien patuh dalam pengobatan ART sehingga kadar

viral loads dalam darah dapat menurun, terjadi peningkatan sistem imun dan peningkatan

kualitas hidup pasien.

2.7 Teori Konsep Keperawatan Calista Roy

Model adaptasi Roy utuk keperawatan merupakan suatu teori yang diturunkan dari teori

sebelumnya, seperti teori Harry Helson mengenai psikofisika yang diperluas menjadi ilmu

social dan perilaku. Roy mengkombinasikan teori dari Helson dengan pengertian dari

Rapoport tentang sistem untuk memandang manusia sebagai suatu sistem adaptif.

Konsep utama dari teori Calista Roy adalah adapatsi sesorang dalam menghadapi masalah

kesehatan kedalam suatu sistem, dimana sistem yang dimaksud adalah seperangkat bagian

yang terhubung dengan fungsi secara keseluruhan untuk tujuan tertentu dan masing-masing

bagian memiliki saling ketergantungan satu sama lainnya. Sedangkan adapatsi


menggambarkan kondisidari proses kehidupan pada tiga tingkat, yaitu tingkat terpadu,

terkompensasi dan di kompromosikan (Roy & Andreww,1999). Tingkat adaptasi seseorang

adalah suatu titik yang berubah secara terus menerus, dibangun dari stimulus fokal,

kontekstual dan residual yang mewakili standar seseorang terhadap suatu rentng stimuli

dimana satu orang dapat berespon adaptif yang biasa (Siyoto, 2017). Roy menerangkan

bahwa respon yang menyebabkan penurunan integritas tubuh akan menimbulkan suatu

kebutuhan dan menyebabkan individu tersebut berespon melalui upaya atau perilaku

tertentu. Setiap manusia selalu berusaha menanggulangi perubahan status kesehatan dan

perawat harus merespon untuk membantu manusia beradaptasi terhadap perubahan ini

(Siyoto, 2017).

Stimulus kontektual merupakan stimulus yang dapat menunjang terjadinya sakit (faktor

presipitasi) seperti keadaan tidak sehat. Keadaan ini tidak terlihat langsung pada saat ini,

misalnya penurunan daya tahan tubuh, lingkungan yang tidak sehat dan isolasi sosial.

Banyak pasien HIV/AIDS yang ketika pasien mengalami gangguan psikis yang berasal dari

luar dan dapat menyebabkan terganggunya psikis atau beban pikiran sehingga

mengakibatkan sistem imun pasien HIV/AIDS yang rentan akan terjadi penurunan sehingga

akan mempengaruhi CD4 pada pasien HIV/AIDS (kustiningsih, 2016).

Tabel 2.4 Kerangka Teori Calista Roy(kustiningsih, 2016)


Asuhan keperawatan dengan menggunakan pendekatan teori adaptasi Calista Roy

dipandang sangat ideal untuk diterapkan dalam memberikan pelayanan asuhan keperawatan

professional terutama pada pasien dengan penyakit HIV/AIDS yang memerlukan adaptasi

panjang terhadap perubahan status kesehatannya (Susianti, 2017).

2.8 Edukasi

Pendidikan formal adalah suatu proses pendidikan oleh pendidik penyampaian bahan atau

materi pendidikan kepada sasaran pendidikan (anak didik) guna mencapai perubahan

tingkah laku (tujuan). Pendidikan kesehatan atau penyuluhan kesehatan adalah suatu

kegiatan yang dilakukan dengan cara persuasi, bujukan, himbauan, ajakan, member

informasi, member kesadaran sebagai upaya agar masyarakat dapat berperilaku sehat.

Pendidik kesehatan adalah semua petugas kesehatan dan siapa saja yang berusaha untuk

mempengaruhi individu atau masyarakat guna meningkatkan kesehatan meraka oleh karena

itu individu, kelompok ataupun masyarakat dianggap sebagai sasaran (objek) pendidikan

dan dapat pula sebagai subjek (pelaku) pendidikan kesehatan masyarkat bila mereka
diikutsertakan dalam usaha kesehatan masyarakat (Wulandari, 2016). Pelayanan kesehatan

adalah upaya untuk mempengaruhi pengetahuan, sikap dan kebiasaan yang berkaitan dengan

kesehatan agar individu atau kelompok atau masyarakat mau dan mampu mengubah

perilaku yang tidak mendukung faktor yang mempengaruhi hidup sehat menjadi berperilaku

yang mendukung nilai hidup sehat.

Proses mendidik individu atau masyarakat diberikan dengan tujuan agar mereka dapat secara

Edukasi kesehatan pada intinya adalah proses mendidik individu atau masyarakat supaya

mereka dapat memecahkan masalah-masalah kesehatan yang dihadapinya. Seperti halnya

proses pendidikan lainnya, pendidikan kesehatan mempunayi unsur masukan (perilaku

pemakai sarana kesehatan dan petugas kesehatan) yang setelah diolah dengan tehnik-tehnik

pendidikan tertentu akan menghasilkan keluaran (perubahan perilaku masyarakat sasaran)

yang sesuai dengan harapan atau tujuan dari kegiatan tersebut. Pemberian edukasi akan

meningkatkan pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang.

Pelaksanaan komunikasi, informasi dan edukasi dapat dialkukan secara individu, kelompok

maupun masal dan secara formal dans truktural, misalnya seminar, lokakarya dan pelatihan.

Pemberian KIE dapat pula dilakukan secara informal melalui jalur swasta, masyarakat

seperti pada kegiatan arisan, radio, televisi, kegiatan RW atau RT, dan lain-lain.

Beberapa aspek pelaksanaan KIE dalam upaya pencegahan penyebaran HIV/AIDS, yaitu:

a. Menjelaskan tentang HIV/AIDS.


b. Meningkatkan pemahaman tentang perilaku aman untuk mencegah penularan

HIV/AIDS.dengan cara mengembangkan pesan-pesan kunci dalam memberikan KIE

kepada kleuarga dan masyarakat dari yang semula hanya menggunakan ABC, menjadi

ABCD, yaitu Abstinence, BeFaithful, Condom, Drug dan Equipment. Abstinence adalah

memberikan KIE untuk tidak melakukan hubungan seksual sebelum waktunya. Be

Faithful berarti memberikan penyuluhan pentingnya berlaku setia pada pasangan masing-

masing yang sah. Condom mempunyai arti yaitu membantu melakukan promosi

pentingnya pemakaian kondom pada setiap aktivitas yang beresiko. Drug artinya

memberikan penjelasan yang konfrehensif tentang dampak buruk penggunaan NAPZA

dan penggunaan jarum suntik yang tidak higienis. Equipment berarti memberikan KIE

berkaitan dengan Universal Precaution kepada para pemberi pelayanan kesehatan

masyarakat.

Edukasi yang diberikan kepada pasien HIV/AIDS sangat membantu pasien dalam

menentukan pengobatan, dimana jika pemahaman yang disampaikan oleh edikator dapat

diterima dengan baik, maka akan sangat mempengaruhi kualitas pasien HIV/AIDS. Banyak

cara yang dilakukan oleh seorang Educator/petugas VCT (Voluntary Conselig Test) dalam

memberikan edukasi mengenai HIV/AIDS. Bisa dengan menggunakan tehnik edukasi dalam

kelas/kelompok, menggunakan media seperti audiovisual, leaflet, Booklet. Ada juga

beberapa petugas VCT yang melakukan edukasi secara tatap muka langsung (empat mata)

dengan pasien HIV/AIDS. Kebijakan pemerintah menurut Depkes RI (2010) tentang

HIV/AIDS mengandung 3 prinsip utama dalam pencegahan HIV/AIDS (Sugiarto, 2019),

yaitu:
a. Setiap orang berhak mendapat informasi yang benar dan tepat mengenai HIV/AIDS guna

melindugi dirinya dan orang lain.

b. Setiap pengidap HIV/AIDS berhak memperoleh pelayanan.

c. Setiap pengidap HIV/AIDS berhak mendapat edukasi tentang cara penularan, cara

melakukan hubungan seksual yang sehat, faktor-faktor yang dapat berpengaruh terhadap

HIV/AIDS.

2.9 Keaslian Penelitian

No Judul Karya Ilmiah Sampel Variabel Metode Hasil


dan Penulis
1. Faktor-faktor yang Pasien Faktor-faktor Observasi 1. Tidak terdapat pengaruh
mempengaruhi lost HIV yang yang onal yang bermakna antara jenis
to follow-up pada mengguna mempengaruhi analitik kelamin terhadap lost
pasien HIV/AIDS tofollow-up (p=0,934).
kan terapi lost to follow-
dengan terapi arv di 2. Tidak terdapat pengaruh
rsup dr kariadiART di up yang bermakna antara
semarang RS tempat tinggal terhadap lost
Kariadi to follow-up.
(Rosiana, Alifa Semarang 3. Jenis pekerjaan terhadap
Nasyahta, 2014) yang lost lost to follow-uptidak
to follow- terdapat pengaruh yang
bermakna.
up
4. Tidak terdapat pengaruh
maupun yang bermakna antarastatus
yang tidak pernikahan terhadap lost to
lost to follow-up.
follow up 5. Tidak ada pengaruh
terhadap pekerjaan dan
agama.
6. Ada pengaruh terhadap
penurunan CD4 pada kasus
yang lost to follow-up.
7. Terdapat keterpautan
anatara kepatuhan dengan
lost to follow-up
8. Tidak terdapat hubungan
anatara jarak antara rumah
pasien dengan klinik vct
dengan lost to follow-up
2. Predictors of Loss to
2133 Predictors of A Sebanyak 2.133 pasien yang
follow-up in Patients
pasien Loss to follow- retrospect memakai ART antara 2005
Living with
yang up in ive cohort dan 2013 dan diikuti selama
HIV/AIDS after 65.022 orang-bulan
hidup study
Initiation of dimasukkan dalam analisis
Antiretroviral dengan statistik. Jumlah klien yang
Therapy HIV/AIDS memulai ART setiap tahun
dankontrol ditunjukkan pada Gambar 1.
(Berheto, Tezera di klinik Tindak lanjut median (IQR)
Moshago ART adalah 25 (8-47) bulan. Dari
Haile, Demissew antara 2133 pasien, 128 (6%) adalah
Berihun anak-anak, 74 (3,5%) adalah
2005 dan
Mohammed, remaja, dan 1931 (90,5%)
Salahuddin, 2014) 2013 adalah orang dewasa. Usia
dilakukan rata-rata (standar deviasi) dari
kelompok adalah 31,5 (8,0),
16 (2,2), dan 3,8 (3,0) tahun
untuk orang dewasa, remaja,
dan anak-anak, masing-
masing. 1149 (53,9%) pasien
adalah perempuan dan ada
proporsi perempuan yang
lebih tinggi pada kelompok
remaja (63, 85,1%) dan
dewasa (1036, 53,7%),
sedangkan laki-laki lebih
banyak pada kelompok anak-
anak (78, 60,9%), [Tabel 1].
Hanya 78%, 50%, dan 38%
dari peserta anak, remaja, dan
dewasa, masing-masing,
memulai ART dengan jumlah
CD4 ≥200 sel/mm3. Namun,
ada kecenderungan untuk
jumlah CD4 awal yang lebih
tinggi pada orang dewasa dan
remaja seiring waktu dengan
pendaftaran kohort; mereka
yang terdaftar lebih awal
memiliki jumlah CD4 pada
awal yang lebih rendah
dibandingkan mereka yang
memulai kemudian.

Koinfeksi TB terjadi pada


19,5% anak-anak, 23%
remaja, dan 21,5% orang
dewasa selama masa tindak
lanjut.

Anda mungkin juga menyukai