Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Dalam UU no. 20 tahun 2003 tentang system pendidikan nasional dijelaskan bahwa
pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan Negara. Dalam definisi
tersebut mengandung pula arti bahwa pendidikan bertujuan humanism yakni untuk
memanusiakan manusia. Hal ini jelas mengindikasikan bahwa seorang pendidik harus
memiliki pemahaman yang konperhensif mengenai sifat dan hakikat manusia agar nantinya ia
mampu menuntun peserta didik untuk menjadi manusia yang seutunya.
Secara khusus, konsep manusia utuh dalam kehidupan bernegara di Indonesia adalah
manusia pacasila. Yakni tiap-tiap warga Negara yang menjiwai dan mengaktualisasikan nilai-
nilai pancasila di dalam kehidupan sehari-harinya.
Konsep manusia dalam sudut pandang pendidikan adalah bagaimana mengembangkan
dimensi yang dimiliki oleh manusia yakni pertama, dimensi individual yang mencakup aspek
potensi, keunikan, serta dinamikanya,  kedua, dimensi social yang berkaitan dengan
interaksinya dengan lingkungan, ketiga, aspek kesusilaan yang berkenaan dengan nilai norma
dalam kehidupan bermasyarakat, dan terakhir, aspek keberagamaan yang berkaitan dengan
hubungan manusia dengan Tuhannya.
Berangkat dari fakta di atas, sebagai calon pendidik kita harus memahami keseluruhan
fakta tersebut. Maka, kami menyusun rumusan masalah sebagai berikut.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimanakah pandangan-pandangan tentang hakikat manusia?
2.      Bagaimanakah bentuk dimensi-dimensi hakikat manusia?
3.      Bagaimanakah wujud pengembangan utuh dan tidak utuh terkait dimensi tersebut?
4.      Bagaimanakah konsep manusia pancasila?

C.     Tujuan
1.      Mengetahui pandangan-pandangan tentang hakikat manusia.
2.      Mengetahui bentuk dimensi-dimensi hakikat manusia.
3.      Mengetahui wujud pengembangan utuh dan tidak utuh terkait dimensi dimensi
hakikat manusia.
4.      Mengetahui konsep manusia pancasila.

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Beberapa Pandangan Tentang Hakikat Manusia


Pertanyaan filosofis atau mendasar tentang sosok manusia adalah “What is man , and
what of is man made?”Apa dan terbuat dari apa manusia itu. Untuk menjawab pertanyaan
tersebut banyak filosuf dengan pandangan filsafatnya yang memberikan batasan atau definisi
tentang manusia. Sigmund Freud  misalnya berpandangan bahwa hakikat manusia sebenarnya
bisa ditinjau dari struktur jiwa yang dimiliki yang terdiri dari tiga hal yaitu: das Es, das Ich
dan das Uber Ich. Das Es bagian dasar (the Id) yang sama sekali terisolasi dari dunia luar,
hanya mementingkan masalah kesenangan dan kepuasan (lust principle) yang merupakan
sumber nafsu  kehidupan, yakni hasrat-hasrat biologis (libido-sexualis) dan bersifat a-sadar,
a-moral a-sosial dan egoistis. Das Ich (aku=ego), sifatnya lebih baik dari pada das Es, das Ich
dapat mengerti dunia a-sadar, a-sosial dan a-moral ,lebih realistis tapi belum ethis.Yang
ketiga das Uber Ich (superego), ini adalah bagian jiwa yang paling tinggi dan paling sadar
norma dan paling luhur, bagian ini sering dinamakan budinurani (consciencia). Superego atau
das Uber Ich ini selalu menjunjung tinggi nilai-nilai moral, ethika dan religious.
(Muhammad, 1986).
Faham monoisme atau yang terkenal juga dengan faham materialisme memandang
manusia hanya dari segi materi. Manusia tidak ada bedanya dengan alam semesta yang serba
materi, manusia ialah apa yang nampak sebagai wujudnya. Sedangkan faham idealisme yang
sering juga disebut dengan faham rasionalisme atau spiritualisme memandang manusia dari
aspek mentalnya, jasmani atau tubuh hanya merupakan alat jiwa untuk melaksanakn tujuan,
keinginan dan dorongan jiwa (rohani, spirit dan rasio) manusia.
            Selanjutnya faham Dualisme atau realisme yang melihat realita sebagai sintesa dua
kategori animate dan inanimate, makhluk hidup dan  makhluk  mati. Manusia menurut faham
ini adalah kesatuan antara rohani dan jasmani, jiwa dan raga. Faham ini juga berpendapat
bahwa manusia adalah satu totalitas, sebagai satu  individu dengan kepribadian yang unik
baik sebagai ummat manusia keseluruhan maupun sebagai satu pribadi. Lebih lanjut faham
ini mengakui adanya potensi hereditas di samping realita lingkungan yang sebagai faktor
luar. (Muhammad, 1986).
Menurut pandangan Islam Manusia adalah makhluk Tuhan yang paling sempurna
dibanding dengan makhluk-makhluk lain. Kelebihan manusia dibanding makhluk lain adalah
karena mereka diberi akal sekali gus nafsu oleh Allah, jika manusia mampu memanfaatkan
dua hal ini dengan baik dan optimal maka akan membuatnya menjadi sosok yang hebat dan
luar biasa. “Sungguh aku telah jadikan manusia sebaik-baik kejadian.(QS. 95 : 4).
Secara fisik manusia jelas sangat sempurna dan lebih baik apabila dibandingkan
dengan makhluk lain dari kelompok manapun. Sehebat-hebatnya binatang keadaan fisiknya
akan di bawah manusia dari kelas yang paling rendah. Secara mental manusia jelas berada di
atas derajat semua makhluk yang ada, termasuk malaikat sekalipun yang notabene mereka
diciptakan dari ruh dan selalu taat dan patuh kepada Tuhan dan tidak pernah sedikitpun
membangkang kepada-Nya. Hal ini terbukti ketika penciptaan manusia pertama yang
bernama Adam, para malaikat protes kepada Allah, karena menurut prediksi mereka manusia
hanya akan membuat kerusakan dan pertumpahan darah di muka bumi. Maka Allah
mengajarkan nama-nama barang kepada Adam bukan kepada malaikat, karena mereka tidak
memiliki nafsu yang bisa mendorong keilmuannya berkembang dan maju, ilmu mereka hanya
sebatas yang diberikan oleh Allah dan tidak akan tumbuh dan berkembang , sehingga ketika
Allah memberitahu Adam untuk meminta para malaikat menyebutkan nama barang-barang
yang ada, merekapun tidak bisa menyebutkannya, Di sinilah bukti kelebihan manusia
dibanding malaikat.
Sedangkan, Hakikat manusia dari sundut pandang psikologi pendidikan adalah sebagai
berikut :
a. Makhluk yang memiliki tenaga dalam yang dapat menggerakkan hidupnya untuk
memenuhi kebutuhan-kebutuhannya.
b. Individu yang memiliki sifat rasional yang bertanggung jawab atas tingkah laku intelektual
dan sosial.
c. yang mampu mengarahkan dirinya ke tujuan yang positif mampu mengatur dan
mengontrol dirinya dan mampu menentukan nasibnya.
d. Makhluk yang dalam proses menjadi berkembang dan terus berkembang tidak pernah
selesai (tuntas) selama hidupnya.
e. Individu yang dalam hidupnya selalu melibatkan dirinya dalam usaha untuk mewujudkan
dirinya sendiri, membantu orang lain dan membuat dunia lebih baik untuk ditempati
f. Suatu keberadaan yang berpotensi yang perwujudanya merupakan ketakterdugaan dengan
potensi yang tak terbatas
g. Makhluk Tuhan yang berarti ia adalah makhluk yang mengandung kemungkinan baik dan
jahat.
h. Individu yang sangat dipengaruhi oleh lingkungan turutama lingkungan sosial, bahkan ia
tidak bisa berkembang sesuai dengan martabat kemanusaannya tanpa hidup di dalam
lingkungan sosial.  
Dari uaraian di atas dapat disimpulkan bahwa manusia dari sisi penciptaannya ialah
makhluk Tuhan yang paling sempurna bila dibandingkan dengan makhluk lain yang secara
individu ia memiliki keunikan tersendiri, manusia juga sebagai makhluk sosial sekaligus
makhluk susila. Manusia terdiri dari dua komponen yaitu jasmani dan ruhani yang tidak bisa
dipisahkan satu sama lain. Manusia memiliki hasrat biologis (libido sexualis) yang hanya
menuntut kepuasan, mempunyai ego atau ‘aku’ yang lebih bersifat realistis, dan superego
yang sangat besifat ethis. Sedangkan dari sisi ilmu psikologi pendidikan bahwa manusia itu
mendidik, memerlukan pendidikan sebagai bukti eksistensi dan upaya mempertahankan dan
mengembangkan sekaligus meneruskan keberadaannya. Apapun dan bagaimanapun
kesimpulan ilmu pengetahuan dan filsafat tentang hakikat manusia, namun pengertian atau
kesimpulan tersebut bertujuan untuk dijadikan sebagai dasar dalam pembinaan kepribadian
manusia. Dengan memahami dan mengerti hakikat manusia pembinaan aspek-aspek
kepribadian menjadi lebih terarah pada sasaran yang tepat.
B.     Dimensi-Dimensi Hakikat  Manusia
Seseorang (individu manusia) yang sejak kelahirannya (dari penciptaannya) dibekali
dengan hakikat manusia untuk pengembangan diri dan kehidupan selanjutnya, ia dilengkapi
dengan dimensi-dimensi kemanusiaan yang melekat pada diri individu itu. Dimensi-dimensi
itu adalah
1.      Dimensi keindividualan
2.      Dimensi kesosialan
3.      Dimensi kesusilaan
4.      Dimensi keberagamaan

1. Dimensi  Keindividualan
Manusia sebagai makhluk keindividualan dimaksudkan sebagai orang yang utuh,
yang terdiri dari kesatuan fisik dan psikis. Kandungan dimensi keindividualan adalah potensi
dan perbedaan. Di sini dimaksudkan bahwa setiap individu pada dasarnya memiliki potensi,
baik potensi fisik maupun mental-psikologis, seperti kemampuan intelegensi, bakat dan
kemampuan pribadi lainnya. Potensi ini dapat berbeda-beda antar individu. Ada individu
yang berpotensi sangat tinggi, tinggi, sedang, kurang dan kurang sekali.
Keberadaan manusia sebagai individual bersifat unik artinya berbeda antara satu
dengan yang lainnya. Setiap manusia sama mempunyai mata, telinga, kaki dan anggota tubuh
lainnya, namun tidak ada yang sama persis bentuknya, karena setiap orang kelak  akan
diminta pertangung jawaban atas sikap perilakunya. Kesadaran manusia akan dirinya sendiri
merupakan perwujudan individualitas manusia, ini mencakup pengertian yang sangat luas,
antaranya  kesadaran akan diri antara realitas, self respect, self narcisme, egoisme
dll.  Manusia sebagai individu memiliki hak sebagai kodrat alami atau anugerah Tuhan
kepadanya.  Hak asasi sebagai pribadi terutama hak hidup, hak kemerdekaan, dan hak
memiliki. Konsekuensi dari adanya hak, maka manusia menyadari kewajiban-kewajiban dan
tanggung jawab moralnya.

2. Dimensi   Kesosialan
Manusia disamping sebagai mahluk individual, dia juga mahluk sosial. Perwujudan
manusia sebagai makhluk sosial tampak dalam kenyataan bahwa tidak ada yang mampu
hidup sebagai manusia tanpa bantuan orang lain. Manusia hidup dalam suasana
interdependensi, dalam antar hubungan dan antaraksi.
Adanya dimensi kesosialan pada diri manusia tampak lebih jelas pada dorongan untuk
bergaul. Dengan adanya dorongan untuk bergaul, setiap orang ingin bertemu dengan
sesamanya. Kandungan dimensi kesosialan adalah komunikasi dan kebersamaan. Dengan
bahasa (baik bahasa verbal maupun non-verbal, lisan maupun tulisan) individu menjalin
komunikasi atau hubungan dengan individu lain. Di samping itu individu juga menggalang
kebersamaan dengan individu lain dalam berbagai bentuk, seperti persahabatan, keluarga,
kumpulan dan organisasi (non formal dan formal). Sifat sosialitas menjadi dasar dan tujuan
dari kehidupan manusia yang sewajarnya atau menjadi dasar dan tujuan setiap anak dan
kelompoknya. Setiap anak pasti terlibat dalam kehidupan sosial pada setiap waktu. Sebagai
makhluk sosial, mereka saling membutuhkan, saling membantu, dan saling melengkapi.
Manusia akan selalu berinteraksi dengan manusia lain untuk mencapai tujuan hidupnya, dan
interaksi tersebut merupakan wadah untuk pertumbuhan dan perkembangan kepribadiannya.
Yang dimaksud dengan interaksi sosial adalah suatu hubungan antara dua atau lebih individu
manusia dimana tingkah laku individu yang satu mempengaruhi, mengubah, atau
memperbaiki tingkah laku yang lain.

3.   Dimensi Kesusilaan
Manusia adalah mahluk susila.  Dritarkara mengatakan manusia susila, yaitu manusia
yang memiliki nilai-nilai, menghayati, dan mewujudkan dalam perbuatan. Kandungan
dimensi kesusilaan adalah  nilai dan moral. Dalam dimensi ini digarisbawahi kemampuan
dasar setiap individu untuk memberi penghargaan terhadap sesuatu, dalam rentang penilaian
tertentu. Sesuatu dapat dinilai sangat tinggi, sedang, ataupun rendah. Penilaian yang dibuat
oleh sekelompok individu tentang sesuatu yang sangat penting untuk kehidupan bersama
sering kali ditetapkan sebagai standar baku. Standar baku inilah yang selanjutnya dijadikan
patokan untuk menetapkan boleh tidaknya sesuatu hal dilakukan oleh individu (terutama
individu yang berada di dalam kelompok yang dimaksud). Inilah yang disebut moral.
Individu dalam kelompok yang bersangkutan harus mengikuti ketentuan moral tersebut.
Ketentuan moral itu biasanya diikuti oleh sanksi atau bahkan hukuman bagi pelanggarnya.
Sumber moral adalah agama, adat, hukum ilmu, dan kebiasaan. Masalah kesusilaan maka
akan selalu berhubungan erat dengan nilai-nilai. Nilai-nilai adalah sesuatu yang dijunjung
tinggi oleh manusia, mengandung makna kebaikan, keluhuran kemuliaan dan dijadikan
pedoman hidup. Pada hakikatnya manusia memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan
nilai-nilai susila dan melaksanakannya. Sehingga dengan demikian dapat dikatakan manusia,
bila memiliki nilai-nilai, menghayati dan melaksanakan nilai-nilai tersebut.

4.  Dimensi Keberagamaan
Manusia adalah mahluk religius. Sejak zaman dahulu nenek moyang manusia
meyakini akan adanya kekuatan supranatural yang menguasai hidup alam semesta ini. Untuk
mendekatkan diri dan berkomunikasi dengan kekuatan tersebut ditempuh dengan ritual
agama. Beragama merupakan kebutuhan manusia, karena manusia adalah mahluk yang lemah
memerlukan tempat bertopang demi keselamatan hidupnya. Agama sebagai sandaran
manusia. Penanaman sikap dan kebiasaan beragama dimulai sedini mungkin, yang
melaksanakan dikeluarga dan dilanjutkan melalui pemberian pendidikan agama di
sekolah. Kandungan dimensi keberagaman adalah iman dan takwa. Dalam dimensi ini
terkandung pemahaman bahwa setiap individu pada dasarnya memiliki kecenderungan dan
kemampuan untuk mempercayai adanya Sang Maha Pencipta dan Maha Kuasa serta
mematuhi segenap aturan dan perintah-Nya. Keimanan dan ketakwaan ini dibahas dalam
agama yang dianut oleh individu. Kitab suci agama serta tafsir yang mengiringinya memuat
kaidah-kaidah keimanan dan ketakwaan tersebut.
C.     Pengembangan-Pengembangan Dimensi Manusia.
1.      Bentuk Pengembangan
1.1 pengambangan yang Utuh
Pengembangan yang utuh adalah ketika keseluruhan  unsur dari dimensi  hakikat manusia
telah mampu dikembangkan  secara optimal sebagai satu kesatuan yang utuh. Tingkat
keutuhan perkembagan dimensi hakikat manusia ditentukan oleh dua factor, yaitu kualitas
dimensi hakikat manusia itu sendiri secara potensial, dan kualitas pendidikan  yang
disediakan untuk memberikan pelayanan atas perkembanganya. Pendidikan yang berhasil
adalah pendidikan yang sanggup menghangtarkan subjek didik menjadi dirinya selaku
anggota masyarakat. Selanjutnya pengembangan yang Utuh  dapat dilihat dari segi  :
a.       Dari wujud dimensinya
Keutuhan terjadi antara aspek jasmani dan rohani, antara dimensi keindividuan,
kesosialan, kesusilaan dan keberagamaan, antara aspek kognitif, afektif dan
psikomotorik.  Pengembangan aspek jasmani dan rohaniah dikatakan utuh jika keduanya
mendapat pelayanan secara seimbang.  Pengembangan keindividuan, kesosialan, kesusilaan,
dan kerberagamaan. Dikatakan utuh jika semua dimensi mendapat pelayanan dengan baik.
Dalam hal ini pengembangan dimensi keberagaman menjadi tumpuan dari ketiga dimensi
yang telah disebutkan.
Pengembangan domain kognitif, efektif dan psikomotorik dikatakan utuh jika ketiga –
tiganya mendapat pelayanan yang berimbang. Pengutamaan domain kognitif dengan
mengabaikan domain efektif misalnya yang terjadi pada system persekolahaan dewasa ini
hanya akan menciptakan orang – orang pintar yang tidak berwatak.

b. Dari arah pegembangan


Keutuhan pengembangan dimensi hakikat manusia dapat dirahkan kepada pengembagan
dimensi keindividuan, kesosialan, kesusilaan dan keragaman secara terpadu. Jika dianalisa
satu persatu gambaranya sebagai berikut : pengembangan yang sehat terhdap dimensi
keindividuan memberi peluang pada seorang untuk menjadikan eskplorasi terhadap potensi –
potensi yang ada pada dirinya, baik kelebihanya maupun kekuranganya.. segi positif yang ada
ditingkatan dan negative dihambat. Pengembangan yang berarah konsentis ini bermakna
memperbaiki diri atau meningkatkan martabat atau yang sekaligus juga membuka jalan
kearah bertemunya sesuatu pribadi dengan pribadi yang lain secara selaras dengan tanpa
mengganggu otonomi masing – masing.
Pengembangan yang sehat terhadap dimensi kesosialan yang lazim disebut
pengembangan horizontal membuka peluang terhadap ditingkatkanya hubungan fisik yang
berarti memelihar kelestarian lingkungan disamping mengekplorasinya Pengembangan
domain kognitif, efektif dan psikomotorik disamping keselarasan (perimbangan antara
keduanya), juga perlu diperhatikan arahnya. Yang dimaksud adalah arah pengembangan dari
jenjang yang rendah kejenjang yang lebih tinggi. Pengembangan ini disebut pengembangan
vertical. Sebagai contoh pengembangan domain kognitif dari kemampuan
mengetahui, memahami dan seterusnya sampai pada pengetahuan mengevaluasi.
1.2 Pengembangan yang tidak utuh.
Perkembangan yang tidak utuh terhdap dimensi hakikat manusia akan terjadi didalam
proses pengembangan jika ada unsure  dimensi hakikat manusia yang terabaikan untuk
ditangai, misalnya kesosialan didominasi oleh pengembangan domain koghitif.
2.      Substansi Pengembangan Dimensi hakikat Manusia
2.1  Pengembangan Manusia sebagai Mahluk Individu
 Pendidikan harus mengembangkan anak didik mampu menolong dirinya sendiri. Untuk
dapat menolong dirinya sendiri, anak didik perlu mendapat berbagai pengalaman di dalam
pengembangan konsep, prinsip, generasi, intelek, inisiatif, kreativitas, kehendak,
emosi/perasaan, tanggungjawab, keterampilan ,dll. Dengan kata lain, anak didik harus
mengalami perkembangan dalam kawasan kognitif, afektif dan psikomotor.
Sebagai mahluk individu, manusia memerlukan pola tingkah laku yang bukan merupakan
tindakan instingtif, dan hal-hal ini hanya bisa diperoleh melalui pendidikan dan proses
belajar. Di atas telah dikatakan bahwa perwujudan manusia sebagai mahluk individu (pribadi)
ini memerlukan berbagai macam pengalaman. Tidaklah dapat mencapai tujuan yang
diinginkan, apabila pendidikan terutama hanya memberikan aspek kognitif (pengetahuan)
saja sebagai yang sering dikenal dan diberikan oleh para pendidik pada umumnya selama ini.
Pendidikan seperti ini disebut bersifat intelektualistik, karena hanya berhubungan dengan segi
intelek saja. Pengembangan intelek memang diperlukan, namun tidak boleh melupakan
pengembangan aspek-aspek lainnya sebagai yang telah disebutkan di atas.
2.2  Pengembangan Manusia sebagai Mahluk Sosial
Manusia adalah mahluk yang selalu berinteraksi dengan sesamanya. Manusia tidak dapat
mencapai apa yang diinginkan secara seorang diri saja. Kehadiran manusia lain
dihadapannya, bukan saja penting untuk mencapai tujuan hidupnya, tetapi juga merupakan
sarana untuk pengembangan kepribadiannya. Kehidupan sosial antara manusia yang satu
dengan yang lainnya dimungkinkan tidak saja oleh kebutuhan pribadi seperti telah disebutkan
di atas, tetapi juga karena adanya bahasa sebagai alat atau medium komunikasi. Melalui
pendidikan dapat dikembangkan suatu keadaan yang seimbang antara pengembangan aspek
individual dan aspek sosial ini. Hal ini penting untuk pendidikan di Indonesia yang
berfilasafah pancasila, yang menghendaki adanya perkembangan yang seimbang antara aspek
individual dan aspek sosial tersebut.
2.3  Pengembangan Manusia sebagai Mahluk Susila
Setiap masyarakat dan bangsa mempunyai norma-norma, dan nilai-nilainya. Melalui
pendidikan kita harus mampu menciptakan manusia susila dan harus mengusahakan anak-
anak didik kita menjadi manusia pendukung norma, kaidah dan nilai-nilai susila dan sosial
yang dijunjung tinggi oleh masyarakatnya. Norma, nilai dan kaidah tersebut harus menjadi
milik dan selalu dipersonifikasikan dalam setiap sepak terjang, dan tingkah laku tiap pribadi
manusia. Pentingnya mengetahui dan menerapkan secara nyata norma, nilai, dan kaidah-
kaidah masyarakat dalam kehidupannya mempunyai dua alasan pokok, yaitu:
  Untuk kepentingan dirinya sendiri sebagai individu. Apabila individu tidak dapat
menyesuaikan diri dan tingkah lakunya tidak sesuai dengan norma, nilai dan kaidah sosial
yang terdapat dalam masyarakat maka dimanapun ia hidup tidak dapat diterima oleh
masyarakat.
  Untuk kepentingan stabilitas kehidupan masyarakat itu sendiri. Masyarakat telah
menghasilkan dalam perkembangannya aturan-aturan main yang kita sebut norma, nilai, dan
kaidah-kaidah sosial yang harus diikuti oleh anggotanya. Norma, nilai dan kaidah-kaidah
tersebut merupakan hasil persetujuan bersama untuk dilaksanakan dalam kehidupan bersama,
demi untuk mencapai tujuan mereka bersama. Dengan demikian, kelangsungan kehidupan
masyarakat tersebut sangat tergantung pada dapat tidaknya dipertahankan norma, nilai dan
kaidah masyarakat yang bersangkutan.
2.4  Pengembangan Manusia sebagai Mahluk Religius
Sebagai anggota masyarakat dan bangsa yang memiliki filsafat Pancasila kita dituntut
untuk menghayati dan mengamalkan ajaran pancasila sebaik-baiknya. Sebagai anggota
masyarakat yang dituntut untuk menghayati dan mengamalkan ajaran Pancasila, maka kepada
masing-masing warga negara dengan demikian juga dituntut untuk dapat melaksanakan
hubungan dengan Tuhan sebaik-baiknya menurut keyakinan yang dianutnya masing-masing,
serta untuk melaksanakan hubungan sebaik-baiknya dengan sesama manusia dan dengan
lingkungan.
D.    Sosok Manusia Indonesia Seutuhnya (Manusia pancasila)
Pembangunan Nasional dilaksanakan dalam rangka pengembangan manusia Indonesia
seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat Indonesia. Hal ini berarti bahwa
pembangunan itu tidak hanya mengejar kemajuan lahiriah, seperti sandang, pangan,
perumahan, kesehatan, ataupun kepuasan batiniah seperti pendidikan, rasa aman, bebas
mengeluarkan pendapat yang bertanggung jawab, atau rasa keadilan, melainkan keselarasan,
dan kesimbangan antara keduanya sekaligus batiniah. Juga diartikan bahwa pembangunan itu
merata di seluruh tanah air, bukanya hanya untuk golongan masyarakat.
Disisi lain Pancasila selalu menjadi rujukan banyak pihak terhadap kepemilikan watak
mulia seseorang. Ini wajar, sebab Pancasila diyakini sebagai sebuah formulasi dari nilai-nilai
kebaikan manusia. Sehingga seseorang yang dikatakan sebagai manusia Pancasila pasti
memiliki berbagai hal terpuji dan perlu dicontoh. Jika dalam dunia perkayuan sangat
gampang, yang dinamakan kayu yang baik adalah panjang, lurus, mulus, tidak ada matanya
dan sebagainya. Demikian juga dengan pakaian, pakaian yang baik bisa dilihat dari jenis
kainnya, kualitas jahitannya, keawetannya, dan lain-lain. Lalu bagaimana seseorang bisa
dikatakan sebagai manusia Pancasila? Indikator semacam apa yang bisa dijadikan ukuran?
Apakah manusia Pancasila cukup diukur dengan melihat siapa yang hafal lima sila dari
Pancasila ataukah bisa dilihat dari orang yang selalu menyertakan nama Pancasila
dibelakangnya; Paijo Pancasila, mbah Darmo Pancasila, Ponikem Pancasila? Indikator
seseorang untuk memiliki label Pancasila di belakangnya sangat sulit dilakukan. Jika
indikatornya hanya diukur dari bagaimana dia mampu menghafalkan lima sila yang ada, itu
semua orang juga bisa disebut Pancasila. Bahkan orang-orang yang sering melakukan korupsi
pun sangat banyak yang bisa dikatakan sebagai manusia Pancasila. Pemaknaan manusia
Pancasila lebih dari itu. Sayangnya, selama ini kita masih terjebak dalam kondisi dimana
Pancasila masih sebatas bahan perdebatan dan seminar saja. Orang-orang sering
mendiskusikan panjang lebar nilai-nilai dan keutamaan Pancasila. Namun mereka lupa untuk
mengamalkan nilai-nilai tersebut. Bukankah seharusnya Pancasila dijadikan bahan refleksi
dan koreksi diri, kemudian menjadi salah satu landasan untuk bertingkah laku yang baik, dan
pada akhirnya akan mendorong (memotivasi) orang lain berbuat yang lebih baik?
Seseorang bisa dikatakan sebagai manusia Pancasila jika mampu membawakan dirinya
pada posisi yang tepat, sesuai kewajiban dan haknya. Manusia Pancasila harus mampu
menempatkan dirinya menjadi rekan sesama manusia sekaligus menjadi hamba Tuhan pada
saat yang bersamaan. Dua sifat kemanusiaan dan ke Illahian ini harus di terapkan secara
bersama-sama, tidak terpisah. Ketika seseorang bekerja, maka dia harus sadar bahwa dia
tidak sekedar mencari uang. Akan tetapi dia seharusnya juga memiliki kesadaran bahwa hasil
pekerjaannya akan bermanfaat bagi orang lain dan tidak melanggar ketentuan Allah. Karena
esensi dari Pancasila adalah perpaduan antara nilai-nilai kemanusiaan dan sifat ke-Tuhanan.
Ada satu hal yang tidak boleh dilupakan, bahwa sifat Pancasila dari seseorang adalah abadi
(jangan dibaca kekal). Artinya seseorang tidak selamanya (kekal) menjadi manusia Pancasila,
sebaliknya dia juga tidak akan kekal menjadi pengkhianat Pancasila. Bisa saja pada jam
sembilan pagi dia adalah seorang Pancasila sejati, namun pada setengah jam berikutnya dia
akan berposisi sebagai penentang Pancasila nomor wahid. Begitu seterusnya, antara jiwa
pancasila dan jiwa penentangnya akan selalu hadir terus menerus (abadi). Seorang yang di
mata masyarakat dicap sebagai penjahat dan sampah masyarakat tiba-tiba berubah menjadi
seorang Pancasila. Pun, dengan orang-orang yang selama ini selalu mengagung-agungkan
dan menyebut-nyebut ”Pancasila...Pancasila...Pancasila..” bisa jadi dia menjadi agen
pemberontak Pancasila sejati. Ki Ageng Suryo Mentaram dalam Kawruh Begja mengatakan
bahwa kebahagiaan dan kesedihan itu abadi sifatnya. Ketika seseorang sedih karena kematian
kerabat dekatnya, tiba-tiba dia merasa bahagia karena kehadiran saudara lain yang tidak
pernah berkunjung ke rumahnya. Begitu juga ketika seseorang sedang bahagia karena
kehadiran sang buah hati mendadak hatinya sedih karena persediaan dananya tidak
mencukupi untuk biaya persalinan. Kebahagiaan – kesedihan datang silih berganti dan tidak
pernah berhenti (abadi). Begitu juga dengan jiwa Pancasila selalu timbul tenggelam bersama
jiwa pemberontak terhadap Pancasila. Pada saat tertentu sebagai pahlawan Pancasila dan
pada detik berikutnya menjadi pengkhianat Pancasila. Sebagai manusia, kita tidak mungkin
menghilangkan salah satu dari keduanya. Namun jangan khawatir Allah telah membekali hati
kepada setiap manusia untuk memilih jalan mana yang diinginkannya. Apakah memilih
berjiwa Pancasila ataukah menjadi pemberontak dan pengkhianat. Dan tentunya kita juga
tidak terlalu perlu menempatkan label Pancasila di belakang nama kita agar dihormati orang
lain. Yang penting dari yang terpenting adalah bagaimana kita hidup dengan nilai-nilai
pancasila itu sendiri. Karena ketika kita mampu hidup dengan keseluruhan  nilai dari panca
sila, maka secara langsung  menunjukan keseluruhan dimensi dari hakikat manusia yang telah
kita bahas sebelumnya, telah berhasil dikembangkan dengan baik.

BAB III
PENUTUP
A.    Simpulan
Terlepas dari banyaknya pandangan tentang hakikat manusia, nyatanya sangatlah sulit
untuk mendeskripsikan manusia dalam satu pengertian yang utuh. Namun  sebagai umat
beragama kita sepakat bahwa manusia ialah sebaik-baik makhluk yang diciptakan oleh Sang
Maha Pencipta.
Manusia sebagai sebaik-baik makhluk setidaknya memiliki dimensi-dimensi yang
menjadi bagian dalam dirinya. Dimensi dimensi yang dimaksud ialah dimensi keindividualan,
kesosialan, kesusilaan dan keberagamaan. Sehingga menjadi peran pendidikan untuk
mengembangkan dimensi-dimensi tersebut untuk mewujudkan manusia seutuhnya. dari
proses pengembangan dimensi tersebut, pada hasil akhirnya kita dapat membedakanya
menjadi dua yaitu, pengembangan yang utuh dan pengembangan tidak utuh. Pengembangan
dikatakan utuh apabila keseluruhan dimensi hakikat manusia telah dikembangkan secara
optimal sebagai satu kesatuan. Keutuhan ini dapat kita lihat dari wujud dimensi dan arah
pengembangannya. Sebaliknya, pengembangan yang tidak utuh terjadi apabila
pengembangan terhadap ddimensi-dimensi dari hakikat manusia dilakukan secara tidak
optimal, atau terdapatnya dimensi yang kurang diperhatikan.
Dalam kaitannya dengan manusia Indonesia, pengembangan yang utuh terhadap dimensi-
dimensi tersebut di atas,  dalam implementasinya akan terukur dari sejauh mana ia mampu
mengamalkan nilai-nilai pancasila dalam kehidpan sehari-harinya.
B.      Saran
1.      Sistem pendidikan nasioal Indonesia dikonstruksikan dan dikembangkan untuk mampu
mengembangkan keseluruhan dimensi manusia sebagai satu kesatuan yang utuh guna
menciptakan “manusia pancasila”.
2.      Memberikan kesempatan yang sama, dan pengkondisian lingkungan yang baik bagi tumbuh
kembang anak guna pengoptimalah pengembangan dimensi-dimensinya sebagai manusia.

Daftar pustaka
         Abidin, Zainal. 2009. Filsafat Manusia: Memahami Manusia Melalui Filsafat.
         Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
         Jalaluddin. 2011. Filsafat Pendidikan Islam: Telaah Sejarah dan Pemikirannya.
         Jakarta: Kalam Mulia.
         Kosasih, Aceng. 2012. Konsep Insan Kamil Menurut al-Jili. [Online] Available:
         http://www.file.upi.edu [2012, Maret 8]

Anda mungkin juga menyukai