Anda di halaman 1dari 28

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam arti luas, obat ialah setiap zat kimia yang dapat mempengaruhi proses
hidup, maka farmakologi merupakan ilmu yang sangat luas cakupannya. Namun
untuk tenaga medis, ilmu ini dibatasi tujuannya yaitu agar dapat menggunakan obat
untuk maksud pencegahan, diagnosis, dan pengobatan penyakit. Selain itu agar
mengerti bahwa penggunaan obat dapat mengakibatkan berbagai gejala penyakit.
Farmakologi mencakup pengetahuan tentang sejarah, sumber, sifat kimia dan fisik,
komposisi, efek fisiologi dan biokimia, mekanisme kerja, absorpsi, distribusi,
biotransformasi, ekskresi dan penggunaan obat. Seiring berkembangnya pengetahuan,
beberapa bidang ilmu tersebut telah berkembang menjadi ilmu tersendiri .
Cabang farmakologi diantaranya farmakognosi ialah cabang ilmu farmakologi
yang memepelajari sifat-sifat tumbuhan dan bahan lain yang merupakan sumber obat,
farmasi ialah ilmu yang mempelajari cara membuat, memformulasikan, menyimpan,
dan menyediakan obat. farmakologi klinik ialah cabang farmakologi yang
mempelajari efek obat pada manusia. farmakoterapi cabang ilmu yang berhubungan
dengan penggunaan obat dalam pencegahan dan pengobatan penyakit, toksikologi
ialah ilmu yang mempelajari keracunan zat kimia, termasuk obat, zat yang digunakan
dalam rumah tangga, pestisida dan lain-lain serta farmakokinetik ialah aspek
farmakologi yang mencakup nasib obat dalam tubuh yaitu absorpsi, distribusi,
metabolisme, dan ekskresinya dan farmakodinamik yang mempelajari efek obat
terhadap fisiologi dan biokimia berbagai oran tubuh serta mekanisme kerjanya. Pada
penulisan makalah ini akan di bahas tentang aspek farmakologi yaitu farmakokinetik
dan farmakodinamik.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan farmakokinetik?
2. Apa yang dimaksud dengan farmakodinamik?
1.3 Tujuan
Mahasiswa mampu memahami teori dari famakokinetik dan farmakodinamik
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Farmakokinetika
Farmakokinetika dapat didefenisikan sebagai setiap proses yang dilakukan
tubuh terhadap obat, yaitu absorpsi, distribusi, metabolismedan ekskresi. Dalam arti
sempit farmakokinetika khususnya mempelajari perubahan-perubahan konsentrasi
dari obat dan metabolitnya didalam darah dan jaringan sebagai fungsi dari waktu
(Tjay dan Rahardja, 2002).
A. ABSORPSI
Yang dimaksud dengan absorpsi suatu obat ialah pengambilan obat
dari permukaan tubuh ke dalam aliran darah atau kedalam sistem pembuluh
limfe. Dari aliran darah atau sistem pembuluh limfe terjadi distribusi obat ke
dalam organisme keseluruhan. Absorpsi, distribusi dan ekskresi tidak
mungkin terjadi tanpa suatu transport melalui membran. Penetrasi senyawa
melalui membran dapat terjadi sebagai difusi, difusi terfasilitasi, transport
aktif, pinositosis atau fagositosis. Absorpsi kebanyakan obat terjadi secara
pasif melalui difusi.
B. DISTRIBUSI
Apabila obat mencapai pembuluh darah, obat akan ditransfer lebih
lanjut bersama aliran darah dalam sistem sirkulasi. Akibat perubahan
konsentrasi darah terhadap jaringan, bahan obat meninggalkan pembuluh
darah dan terdistribusi ke dalam jaringan (Mutscler, 1985). Pada tahap
distribusi ini penyebarannya sangat peka terhadap berbagai pengaruh yang
terkait dengan tahap penyerapan dan tahap yang terjadi sesudahnya yaitu
peniadaan, serta terkait pula dengan komposisi biokimia serta keadaan
fisiopatologi subyeknya, disamping itu perlu diingat kemungkinan adanya
interaksi dengan molekul lainnya. Pada tahap ini merupakan fenomena
dinamik, yang selalu terdiri dari fase peningkatan dan penurunan kadar zat
aktif. Pengertian akumulasi dan penimbunan terutama penimbunan bahan
toksik, harus dijajaki dari sudut pandang dinamik, maksudnya melihat
perbedaan antara kecepatan masuk dan kecepatan keluar. Sebenarnya
penimbunan bahan toksik merupakan efek racun dan hasil fatal sebagai akibat
lambat atau sangat lambatnya laju pengeluaran dibandingkan laju penyerapan
(Aiache,1993).
C. METABOLISME
Obat yang telah diserap usus ke dalam sirkulasi lalu diangkut melalui
sistem pembuluh porta (vena portae), yang merupakan suplai darah utama dari
daerah lambung usus ke hati. Dalam hati, seluruh atau sebagian obat
mengalami perubahan kimiawi secara enzimatis dan hasil perubahannya
(metabolit) menjadi tidak atau kurang aktif, dimana proses ini disebut proses
diaktivasi atau bio-inaktivasi (pada obat dinamakan first pass effect). Tapi
adapula obat yang khasiat farmakologinya justru diperkuat (bio-aktivasi), oleh
karenanya reaksi-reaksi metabolisme dalam hati dan beberapa organ lain lebih
tepat disebut biotransformasi (Tjay dan Rahardja, 2002). Faktor yang
mempengaruhi metabolisme obat yaitu induksi enzim yang dapat
meningkatkan kecepatan biotransformasi. Selain itu inhibisi enzim yang
merupakan kebalikan dari induksi enzim, biotranformasi obat diperlambat,
menyebabkan bioavailabilitasnya meningkat, menimbulkan efek menjadi
lebih besar dan lebih lama. Kompetisi (interaksi obat) juga berpengaruh
terhadap metabolisme dimana terjadi oleh obat yang dimetabolisir oleh sistem
enzim yang sama (contoh alkohol dan barbiturat). Perbedaan individu juga
berpengaruh terhadap metabolisme karena adanya genetic polymorphism,
dimana seseorang mungkin memiliki kecepatan metabolisme berbeda untuk
obat yang sama (Hinz, 2005). Bila obat diberikan per oral, maka availabilitas
sistemiknya kurang dari 1 dan besarnya bergantung pada jumlah obat yang
dapat menembus dinding saluran cerna (jumlah obat yang diabsorpsi) dan
jumlah obat yang mengalami eliminasi presistemik (metabolisme lintas
pertama) di mukosa usus dan dalam hepar (Setiawati,2005). Obat yang
digunakan secara oral akan melalui lever (hepar) sebelum masuk ke dalam
darah menuju ke daerah lain dari tubuh (misalnya otak, jantung, paru-paru dan
jaringan lainnya). Di dalam lever terdapat enzim khusus yaitu sitokrom P-450
yang akan mengubah obat menjadi bentuk metabolitnya. Metabolit umumnya
menjadi lebih larut dalam air (polar) dan akan dengan cepat diekskresi ke luar
tubuh melalui urin, feses, keringat dan lain-lain. Hal ini akan secara dramatik
mempengaruhi kadar obat dalam plasma dimana obat yang mengalami first
pass metabolismakan kurang bioavailabilitasnya sehingga efek yang di
hasilkan juga berkurang (Hinz, 2005). Tipe metabolisme dibedakan menjadi
dua bagian yaitu Nonsynthetic Reactions (Reaksi Fase I) dan Synthetic
Reaction (Reaksi Fase II). Reaksi fase I terdiri dari oksidasi, reduksi,
hidrolisa, alkali, dan dealkilasi. Metabolitnya bisa lebih aktif dari senyawa
asalnya. Umumnya tidak dieliminasi dari tubuh kecuali dengan adanya
metabolisme lebih lanjut. Reaksi fase II berupa konjugasi yaitu penggabungan
suatu obat dengan suatu molekul lain. Metabolitnya umumnya lebih larut
dalam air dan mudah diekskresikan (Hinz, 2005). Metabolit umumnya
merupakan suatu bentuk yang lebih larut dalam air dibandingkan molekul
awal. Perubahan sifat fisiko kimia ini paling sering dikaitkan dengan
penyebaran kuantitatif metabolit yang dapat sangat berbeda dari zat aktifnya
dengan segala akibatnya. Jika metabolit ini merupakan mediator
farmakologik, maka akan terjadi perubahan, baik berupapeningkatan maupun
penurunan efeknya (Aiache, 1993).
D. EKSRESI
Pengeluaran obat atau metabolitnya dari tubuh terutama dilakukan
oleh ginjal melalui air seni disebut ekskresi. Lazimnya tiap obat diekskresi
berupa metabolitnya dan hanya sebagian kecil dalam keadaan asli yang utuh.
Tapi adapula beberapa cara lain yaitu melalui kulit bersama keringat, paru-
paru melalui pernafasan dan melalui hati dengan empedu (Tjay dan Rahardja,
2002). Turunnya kadar plasma obat dan lama efeknya tergantung pada
kecepatan metabolisme dan ekskresi. Kedua faktor ini menentukan kecepatan
eliminasi obat yang dinyatakan dengan pengertian plasma half-life eliminasi
(waktu paruh) yaitu rentang waktu dimana kadar obat dalam plasma pada fase
eliminasi menurun sampai separuhnya. Kecepatan eliminasi obat dan plasma
t1/2-nya tergantung dari kecepatan biotransformasi dan ekskresi. Obat dengan
metabolisme cepat half life-nya juga pendek. Sebaliknya zat yang tidak
mengalami biotransformasi atau yang resorpsi kembali oleh tubuli ginjal,
dengan sendirinya t1/2-nya panjang (Waldon, 2008).

2.2 Parameter Farmakokinetika


Bio-availability (Ketersediaan Hayati). Bio-availability dari suatu sediaan
obat adalah persentase obat yang secara utuh mencapai sirkulasi umum untuk
melakukan kerjanya. Selama proses absorpsi dapat terjadi kehilangan zat aktif akibat
tidak dibebaskannya dari sediaan pemberiannya. Atau pula karena penguraian
didalam usus atau dindingnya dalam hati salama peredaran pertama disistem porta
sebelum tiba diperedaran darah. Karena Firs Fass Effect (FPE) ini, maka bio-
availability obat menjadi rendah dari pada persentase yang sebenarnya diabsorpsi
(Tjay dan Rahardja, 2002). Adapun parameter-parameter farmakokinetika :
a. T maksimum (tmaks) yaitu waktu konsentrasi plasma mencapai puncak dapat
disamakan dengan waktu yang diperlukan untuk mencapai konsentrasi obat
maksimum setelah pemberian obat. Pada tmaks absorpsi obat adalah terbesar,
dan laju absorpsi obat sama dengan laju eliminasi obat. Absorpsi masih
berjalan setelah tmaks tercapai, tetapi pada laju yang lebih lambat. Harga
tmaks menjadi lebih kecil (berarti sedikit waktu yang diperlukan untuk
mencapai konsentrasi plasma puncak) bila laju absorpsi obat menjadi lebih
cepat (Shargel, 2005).

Tmaks = 2,303 Ka
……………………. (1)
Log
(Ka-Kel) Kel
b. Konsentrasi plasma puncak (Cmaks) menunjukkan konsentrasi obat
maksimum dalam plasma setelah pemberian secara oral. Untuk beberapa obat
diperoleh suatu hubungan antara efek farmakologi suatu obat dan konsentrasi
obat dalam plasma (Shargel, 2005).

Cmaks = f dosis
…………………………….. (2)
e-Kel tmak
Vd

c. Menurut Holford (1998), Volume Distribusi (Vd) adalah volume yang


didapatkan pada saat obat didistribusikan. Menghubungkan jumlah obat dalam
tubuh dengan konsentrasi obat ( C ) dalam darah atau plasma.
.……………(3)
Vd = Jumlah obat di dalam tubuh / C

d. AUC (Area Under Curve) adalah permukaan di bawah kurva (grafik) yang
menggambarkan naik turunnya kadar plasma sebagai fungsi dari waktu. AUC
dapat dihitung secara matematis dan merupakan ukuran untuk bioavailabilitas
suatu obat. AUC dapat digunakan untuk membandingkan kadar masing-
masing plasma obat bila penentuan kecepatan eliminasinya tidak mengalami
perubahan. Selain itu antara kadar plasma puncak dan bioavailabilitas terdapat
hubungan langsung (Waldon, 2008).

AUC 0-∞ = AUC0-t + AUCt-∞


……………………….(4)

Dimana,

AUC0-t = Cn=1 + Cn
(tn – tn-1 ………………………(5)
2
Dan
AUC t-∞ = Ctn
……………………………….(6)
Kel

e. MRT merupakan waktu keberadaan obat dalam tubuh

MRT = AUMC0-∞
……………………………….(7)
AUC0-∞

f. Tetapan Laju Eliminasi dan Waktu Paruh dalam Plasma Waktu paruh dalam
plasma adalah waktu dimana konsentrasi obat dalam darah (plasma)menurun
hingga separuh dari nilai seharusnya. Pengukuran t½ memungkinkan
perhitungan konstanta laju eliminasi dengan rumus :

Kel = 0,693 / 11/2


……………………………….(8)
g. Klirens Klirens suatu obat adalah faktor yang memprediksi laju eliminasi
yang berhubungan dengan konsentrasi obat :

CL = Laju Eleminasi / C
……………………………….(9)
Klirens dapat dirumuskan berkenaan dengan darah (CLb), plasma
(CLp) atau bebas dalam urin (CLu), bergantung padakonsentrasi yang diukur.
Eliminasi obat dari tubuh dapat meliputi proses-proses yang terjadi dalam
ginjal, paru, hati dan organ lainnya. Dengan membagi laju terjadi pada setiap
organ dengan konsentrasi obat yang menuju pada organ menghasilkan klirens
pada masing-masing obat tersebut. Kalau digabungkan klirens-klirens yang
terpisah sama dengan klirens sistemik total (Katzung, 2001).
Klirens obat adalah suatu ukuran eliminasi obat dari tubuh tanpa
mempermasalahkan mekanisme prosesnya. Umumnya, jaringan tubuh atau
organ dianggap sebagai suatu kompartemen cairan dengan volume terbatas
(volume distribusi) dimana obat terlarut didalamnya (Shargel, 2005). Untuk
beberapa obat rute pemakaian mempengaruhi kecepatan metabolismenya.
Obat- obat yang diberikan secara oral diabsorbsi secara normal dalam
duodenal dari usus halus dan ditransport melalui pembuluh mesenterika
menuju vena porta hepatik dan ke hati sebelum ke sirkulasi sistemik. Obat-
obat yang dimetabolisme dalam jumlah besar oleh hati atau sel-sel mukosa
usus halus menunjukkan avaibilitas sistemik yang jelek jika diberikan secara
oral. Metabolisme secara oral sebelum mencapai sirkulasi umum disebut first
pass effect atau eliminasi presistemik (Shargel, 2005).

2.3 Natrium Diklofenak


Menurut USP XXX (2007),sifat fisikokimia dari Natrium diklofenak adalah:
Rumus Struktur :

Rumus Molekul : C14H11Cl2NO2 Na


Berat Moleku : 296,2
Nama Kimia : (2- (2,6-diklorophenyl) amino benzeneacetic acid)
Pemerian : Serbuk kristal, putih atau agak kekuningan dan higroskopis

Natrium diklofenak merupakan derivatsederhana fenil asetat yang termasuk


NSAIDs yang terkuat anti radangnya, tetapi mempunyai efek samping pada
pemakaian sediaan obat konvensional dalam jangka waktu lama dapat menyebabkan
pendarahan pada saluran cerna (Goodman dkk, 1996).
Absorpsinya dari usus cepat dan lengkap, tetapi ketersediaan hayatinyarata-
rata 55% akibat metabolisme tingkat pertama yang besar. Efek analgetiknya dimulai
setelah 1 jam, secara rectal dan intramuskular lebih cepat, masing-masingsetelah 30
dan 15 menit. Penyerapan garam K (Cataflam) lebih pesat daripada garam Na dimana
ikatan dinaikkan dengan protein plasmanya diatas 99%. Ekskresi melalui kemih 60%
sebagai metabolit dan 20% diekskresikan melaluiempedu dan tinja (Tjay dan
Rahardja, 2002).
Kontraindikasinya hipersensitif terhadap zat aktif dan tukak lambung. Juga
dikontraindikasikan pada pasien dengan riwayat tercetusnya serangan asma, urtikaria
atau rhinitis akut akibat obat-obat anti nonsteroid (Anonim, 2007).
Interaksi obat apabila diberikan bersamaan dengan preparat yang mengandung
lithium atau digoksin, kadar obat-obat tersebut dalam plasma meningkat tetapi tidak
dijumpai adanya gejala kelebihan dosis. Beberapa obat antiinflamasi nonsteroid dapat
menghambataktivitas dari diuretika. Pengobatan bersamaan dengan diuretika
golongan hemat kalium mungkin disertai dengan kenaikan kadar kalium dalam serum
(Anonim, 2007). Pemberian bersamaan dengan antiinflamasi non steroid sistemik
dapat menambah terjadinya efek samping. Meskipun pada uji klinik diklofenak tidak
mempengaruhi efek antikoagulan , sangat jarang dilaporkan adanya penambahan
resiko pendarahan dengan kombinasi diklofenak dan antikoagulan. Oleh karena itu
dianjurkan untuk dilakukan pemantauan yang ketat terhadap pasien tersebut. Seperti
dengan antiinflamasi non steroid lainnya, diklofenak dalam dosis tinggi (200 mg)
dapat menghambat agregasi platelet untuk sementara (Anonim, 2007).
Uji klinik memperlihatkan bahwa diklofenak dapat diberikan bersamaan
dengan antidiabetik oral tanpa mempengaruhi efek klinis dari masing-masing obat.
Sangat jarang dilaporkan efek hipoglikemik dan hiperglikemik dengan adanya
diklofenak sehingga diperlukan penyesuaian dosis obat-obat hipoglikemik (Anonim,
2007).

2.4 Vitamin C
Menurut USP XXX (2007), sifat fisikokimia dari Vitamin C adalah:
Rumus Struktur :

Rumus Molekul : C6H806


Berat Molekul : 176,13
Nama Kimia : L-Asam Ascorbat
Pemerian : hablur atau serbuk putih atau agak kuning. Oleh karena
pengaruh cahaya lambat laun menjadi bewarna gelap. Dalam
keadaan kering stabil di udara, dalam larutan cepat teroksidasi.
Melebur pada suhu lebih kurang 190°.

Vitamin C adalah nutrient dan vitamin yang larut dalam air dan penting
untuk kehidupan serta untuk menjaga kesehatan. Vitamin C merupakan suatu zat
organik yang merupakan ko-enzim atau askorbat ko-faktor pada berbagai reaksi
biokimia tubuh. Vitamin C berupa suatu kristal putih dengan zat organik yang relatif
sederhana, hampir mendekati bentuk gula/monosakarida. Dari semua jenis vitamin
yang ada, vitamin C merupakan yang palih mudah rusak dan sangat mudah
teroksidasi terutama apabila ada panas, cahaya, alkali dan adanya enzim-
enzim oksidasi. Karena mudah dioksidasi inilah, maka vitamin C merupakan suatu
zat reduktor yang kua (Prawirokusumo, 1991).
Vitamin C merupakan suatu senyawa utama tubuh yang dibutuhkan dalam
berbagai proses penting, mulai dari pembuatan kolagen, karnitin pengangkut lemak,
hormon adrenalin dan kortison,pengangkut elektron dalam berbagai reaksi enzimatik,
pelindung integritas pembuluh darah, pemacu gusi yang sehat, pelindung radiasi,
pengatur tingkat kolesterol, pendetoksifikasi radikal bebas, senyawa antibakteria dan
antivirus, serta pemacu imunitas (Goodman, 2000).
Fungsi yang terpenting vitamin C adalah pembentukan kolagen, yakni protein
bahan penunjang utama dalam tulang/rawan dan jaringan ikat. Bila sintesa kolagen
terganggu, maka mudah terjadi kerusakan pada dinding pembuluh yang berakibat
pendarahan (Tjay dan Rahardja, 2002).
Absorbsinya dari usus cepat dan praktis sempurna (90%) tetapi menurun pada
dosis diatas 1 g. Distribusinya ke semua jaringan baik. Persediaan tubuh untuk
sebagian besar terdapat dalam cortex anak ginjal. Dalam darah sangat mudah
dioksidasi secara reversibel menjadi dehidroaskorbat yang hamper sama aktifnya.
Sebagian kecil dirombak menjadi asam oksalat dengan jalan pemecahan ikatan antara
C2 dan C3. Ekskresi berlangsung terutama sebagai metabolit dehidronya dan sedikit
sebagai asam oksalat (Tjay dan Rahardja, 2002). Apabila dosis vitamin yang
diberikan berlebihan, maka vitamin C yang berlebih ini akan diekskresikan melalui
urin. Pada manusia sebagian vitamin C akan diubah menjadi garam-garam oksalat,
dan keluar bersama urin.
Apabila kalsium oksalat yang terbentuk, maka akan terjadi pengendapan.
Kelebihan vitamin C juga dapat menaikkan kadar keasaman darah khususnya yang
mendapat vitamin C dosis tinggi secara intravena. Pada keadaan tertentu, penurunan
pH darah tidak diharapkan. Dapat juga terjadi keasaman urin. Oleh karena itu, dilihat
darii sudut gizi, pemasukan vitamin C itu harus disesuaikan dengan pemasukan zat-
zat gizi lainnya (baik dalam jumlah maupun proporsinya) agar kesehatan tubuh dapat
terbina (Prawirokusumo, 1991).

2.5 Farmakodinamik
Farmakodinamik adalah ilmu yang mempelajari efek-efek biokimiawi dan
fisiologi obat serta mekanisme kerja obat tersebut didalam tubuh (Gunawan, 2009).
Tujuan mempelajari mekanisme kerja obat ialah untuk meneliti efek utama obat,
mengetahui interaksi obat dengan sel, dan mengetahui urutan peristiwa serta
spektrum efek dan respon yang terjadi. Pengertian farmakodinamika dalam ilmu
farmakologi sebenarnya memiliki hubungan yang cukup erat dengan farmakokinetik,
Kebanyakan obat menimbulkan efek melalui interaksi dengan reseptornya
pada sel organisme. Interaksi obat dengan reseptornya ini mencetuskan perubahan
biokimiawi dan fisiologi yang merupakan respons khas untuk obat tersebut. Reseptor
obat merupakan komponen makromolekul fungsional, hal ini mencakup dua konsep
penting. Pertama, obat dapat mengubah kecepatan kegiatan faal tubuh. Kedua, obat
tidak menimbulkan fungsi baru, tetapi hanya memodulasi fungsi yang sudah ada.
Walaupun sudah banyak diketahui tentang efek obat dalam tubuh manusia,
akan tetapi mengenai mekanisme kerjanya belum banyak dipahami dengan baik.
Mekanisme kerja obat yang kini telah diketahui dapat digolongkan sebagai
berikut:
A. Secara fisis
Misalnya anestetika terbang, laksansia, dan diuretika osmotis.
Aktivitas anestetika inhalasi berhubungan langsung dengan sifat lipofilnya.
Obat ini diperkirakan melarut dalam lapisan lemak dari membran sel yang
karena ini berubah demikian rupa hingga transport normal dari oksigen dan
zat-zat gizi terganggu dan aktivitas sel terhambat. Akibatnya adalah hilangnya
perasaan. Pencahar osmotis (magnesium dan natrium sulfat) lambat sekali
diresorpsi usus dan melalui proses osmosis menarik air dan sekitarnya.
Volume isi usus bertambah besar dan dengan demikian merupakan
rangsangan mekanis atas dinding usus untuk memicu peristaltic dan
mengeluarkan isinya.
B. Secara kimiawi,
Misalnya antasida lambung dan zat-zat chelasi (chelator). Antasida,
seperti natrium bikarbonat, aluminium, dan magnesium hidroksida dapat
mengikat kelebihan asam lambung melalui reaksi netralisasi kimiawi. Zat-zat
chelasi mengikat ion-ion logam berat pada molekulnya dengan suatu ikatan
kimiawi khusus. Kompleks yang terbentuk tidak toksis lagi dan mudah
diekskresikan oleh ginjal. Contohnya adalah dimerkaprol (BAL), natrium
edetat (EDTA), dan penisilamin (dimetilsistein) yang digunakan sebagai obat
rematik.
C. Melalui proses metabolisme
Misalnya antibiotika yang mengganggu pembentukan dinding sel
kuman, sintesa protein, atau metabolisme asam nukleinat. Begitu pula
antimikroba mencegah pembelahan inti sel dan diuretika yang menghambat
atau menstimulir proses filtrasi contoh lain adalah probenesid, suatu obat
encok yang dapat menyaingi penisilin dan derivatnya (antara lain amoksisilin)
pada sekresi tubuler, sehingga ekskresinya diperlambat dan efeknya
diperpanjang.
D. Secara kompetisi (saingan)
Di mana dapat dibedakan dua jenis, yakni kompetisi untuk reseptor
spesifik atau untuk enzim.
Kerja Obat Yang Tidak Diperantarai Reseptor
1. Efek Nonspesifik Dan Gangguan Pada Membran
2. Perubahan sifat osmotic
3. Diuretic osmotic (urea, manitol), misalnya, meningkatkan osmolaritas
filtrate glomerulus sehingga mengurangi reabsorpsi air di tubuli ginjal
dengan akibat terjadi efek diuretic
4. Perubahan sifat asam/basa
5. Kerusakan nonspesifik
6. Gangguan fungsi membrane
7. Interaksi Dengan Molekul Kecil Atau Ion
8. Masuk ke dalam komponen sel

2.6 Interaksi Obat Dengan Reseptor


Reseptor merupakan suatu molekul yang jelas dan spesifik terdapat dalam
organisme, tempat molekul obat (agonis) berinteraksi membentuk suatu kompeks
yang reversibel sehingga pada akhirnya sehingga menimbulkan respon. Suatu
senyawa yang dapat mengaktivasi sehingga menimbulkan respon disebut agonis.
Selain itu senyawa yang dapat membentuk konleks dengan reseptor tapi tidak dapat
menimbulkan respons dinamakan antagonis. Sedangkan senyawa yang mempunyai
aktivitas diantara dua kelompok tersebut dinamakan antagonis parsial. Pada suatu
kejadian dimana tidak semua reseptor diduduki atau berinteraksi dengan agonis untuk
menghasilkan respons maksimum, sehingga seolah-olah terdapat kelebihan reseptor,
kejadian ini dinamakan reseptor cadangan.

A. Konsep Reseptor
Beberapa obat mengahasilkan suatau efek setelah berikatan atau
berinteraksi dengan komponen organisme yang spesifik. Komponen
organisme tersebut biasanya berupa suatu protein. Bebrapa obat beraksi secara
subsrat yang salah atau sebagai inhibitor untuk sistem transport enzim.
Kebanyakan obat mengasilkan efek dengan aksi pada molekul yang spesifik
dalam organisme, biasanya pada membran sel molekul tersebut berupa suatu
protein yang dinamakan reseptor, dan secara normal merespons senyawa
kimia endogen dalam tubuh. Senyawa endogen tersebut adalah substasi
transmitter sinapsis (neurotrasmitter) atau hormon.  Sebagai concon
asetilkolin  merupakan substasi yang dilepaskan yang dilepaskan dari ujung
syaraf otonom dan dapat mengaktivasi reseptor pada otot polos skelental,
mengawali serangkaian kejadian yang menghasilkan kontrasi otot polos.
Pada tahun 1970 farmakologi telah memasuki tahap baru yaitu
penelitian mengenai reseptor yang meliputi teori reseptor, mekanisme reseptor
melibatkan eksperimental labeling reseptor. Pendekatan pertama kali adalah
pendekatan dengan penelitian reseptor asetilkolin nikotinik. Racun ular cobra
mengendung pilipeptida yang berikatan sangat spesifik terhadap asetillkolin.
Senyawa yang dikenal sebagai α-toksin dapat dilabel dan digunakan untuk
esay pada jaringan atau ekstrak jaringan. Senyawa yang termasuk golongan
tersebut adalah α-bungarotoksin, merupakan komponen utama dari racun
bunga bungarus multicinctus. Treatmen otot atau jaringan dengan suatu
detergen non-ionik memberikan suatu hasil suatu protein reseptor terikat
membran yang mudah larut. Denagn preparasi berikutnya dengan
mengunakan kromatokfafi afinitas dapat mengisolasi reseptor asetilkolin
nikotinik.
Hal diatas merupakan suatu salah satu penelitian yang berkaitan
dengan spesifitas reseptor. Dari berbagai penelitian mengenail reseptor,
terdapat tiga sifat kerja reseptor terhadap agonis yaitu pertama adalah
mempunyai potensi tinggi (sensifitas tinggi). Pada umumnya, reseptor bekerja
pada reseptor spesifik dangan konsentrasi yang sangat kecil misalnya histamin
berinteraksi dangan reseptor histamin H-1 dan dapat menstimulasi kontraksi
otot polos trakea marmut pada konsentrasi 10-6 M. Sifat yang kedua adalah
spesifitas kimiawi. Stereoisomer suatu obat dapat mempengaruhi aktivitas
biologi dari obat yang bersangkutan. Kloramfenikol mempunyai 4 isomer
hanya mempunya aktivitas biologi pada struktur D(-) treo. Bahkan beberapa
obat seperti sotalol, warafarin dan siklofolsamid yang mempunyai
stereoisomer tidak hanya terapat pada efek farmakologi tetapi juga berbeda
pada jalur metabolismenya. Sifat ketiga adalah spesifitas biologi.  Efek suatu
obat dapat berbeda  pada beberapa jaringan, misalnya efinefrin menunjukan
efek yang kuat pada efek jantung, tetapi leme pada efek lurik. .
Senyawa kimia (misalnya asetilkolin) atau obat yang mengaktivasi
reseptor dan menghasilkan efek yang dinamakan agonis. Beberapa obat
dinamakan antagonis, dapat berikatan denga reseptor, tetapi tidak
menghasilkan suatu efek. Antagonis menurunkan kemungkinan substansi
trassmitter (atau agonis yang lain) untuk berinterak dengan reseptor sehingga
lebih lanjut dapat menurunkan  atau mengeblok aksi agonis tersebut.  Aktivasi
reseptor oleh suatu agonis atau hoemon desertai dengan respons biokimia atau
fisiologi oleh mekanisme trasduksi  yang sering melibatkan molekul-molekul,
yang dinamakan pembawa pesan kedua (“second messengers).
Interksi antara obat denga sisi ikatan pada reseptornya tergantung dari
kesesuaian/keterpaduan dari dua molekul tersebut. Molekul yang paling sesuai
denga reseptor dan mempunyai jumlah ikatan yang banyak ( biasanya non-
kovalen), yang terkuat akan mengalahkan senyawa yang lain  dalam
berinteraksi dengan sisi aktif reseptornya. Oleh karenanya, senyawa tersebut
mempunya afinitas terbesar terhadap reseptornya.  Secara definitif, afinitas
adalah kemampuan suatu senyawa atau obat dalam berinteraksi dengan
reseptor. Kemempuan obat untuk berinteraksi dengan suatu tipe tertentu  dari
reseptor dinamakan spesifitas.  Tidak ada spesifik yang sesungguhnya, tetapi
beberapa mempunyai aksi selektif yang relatif pada satu tipe  dari reseptor.
Reseptor merupakan suatu komponen spesifik sel yang berinteraksi 
dengan suatu agonis sehingga menimbulkan peristiwa-peristiwa biokimia
yang pada akhirnya mengealkan respon fisiologi. Reseptor merupakan suatu
makromolekul yang berupa lilpoprotein,glikoprotein, lipit protein atau asam
niklead. Sebagian besar dari resptor terdapat pada membran sel misalnya
reseptor asetilkolin, reseptor insulin, dan sebagian kecil terdapat dalam sel
atau inti sel  misalnya reseptor hormon steroid.
B. Fungsi Reseptor
Fungsi reseptor adalah :
1. Merangsang perubahan permeabilitas membran sel
2. Pembentukan pembawa kedua ( secon messenger) misalnya cAMP,
diasilgliserol, inositol trifosfat, dan
3. Mempengaruhi transkripsi gen atau DNA. Dari fungsi tersebut, reseptor
terlibat dalam komunikasi antar sel. Reseptor menerima rangsang dengan
berikatan dengan pembawa pesan pertama (first messenger) yaitu agonis
yang kemudian menyampaikan informasi yang diterima kedalam sel
dengan langsung menimbulkan efek seluler melalui perubahan
petmeabilitas membran, pembentukan pembawa pesan kedua atau
mempengaruhi  transkripsi gen.

2.7 Interaksi Farmakodinamik

Interaksi farmakodinamik terjadi di mana efek dari satu obat yang diubah oleh
kehadiran obat lain di tempat kerjanya. Kadang-kadang obat secara langsung bersaing
untuk reseptor tertentu (misalnya agonis beta2, seperti salbutamol, dan beta blockers,
seperti propranolol) tetapi sering reaksi yang lebih langsung dan melibatkan
gangguan fisiologis mekanisme (Stockley, 2008).

Interaksi farmakodinamik adalah interaksi antara obat yang bekerja pada


sistem reseptor, tempat kerja atau sistem fisiologik yang sama sehingga terjadi efek
yang aditif, sinergistik atau antagonistik, tanpa terjadi perubahan kadar obat dalam
plasma (Setiawati, 2007). Hal ini terjadi karena kompetisi pada reseptor yang sama
atau interaksi obat pada sistem fisiologi yang sama. Interaksi jenis ini tidak mudah
dikelompokkan seperti interaksi-interaksi yang mempengaruhi konsentrasi obat
dalam tubuh, tetapi terjadinya interaksi tersebut lebih mudah diperkirakan dari efek
farmakologi obat yang dipengaruhi (Fradgley, 2003)

Beberapa mekanisme interaksi obat dengan farmakodinamika mungkin terjadi


bersama-sama, antara lain :

A. Sinergisme
Interaksi farmakodinamik yang paling umum terjadi adalah sinergisme
antara dua obat yang bekerja pada sistem, organ, sel, enzim yang sama dengan
efek farmakologi yang sama. Semua obat yang mempunyai fungsi depresi
pada susunan saraf pusat- sebagai contoh, etanol, antihistamin, benzodiazepin
(diazepam, lorazepam, prazepam, estazolam, bromazepam, alprazolam),
fenotiazin (klorpromazina, tioridazina, flufenazina, perfenazina,
proklorperazina, trifluoperazina), metildopa, klonidina- dapat meningkatkan
efek sedasi.
Semua obat antiinflamasi non steroid dapat mengurangi daya lekat
platelet dan dapat meningkatkan (pada derajat peningkatan yang tidak sama)
efek antikoagulan. Suplemen kalium dapat menyebabkan hiperkalemia yang
sangat berbahaya bagi pasien yang memperoleh pengobatan dengan diuretik
hemat kalium (contoh amilorida, triamteren), dan penghambat enzim
pengkonversi angiotensin (contoh kaptopril, enalapril) dan antagonis reseptor
angiotensin-II (contoh losartan, valsartan). Dengan cara yang sama verapamil
dan propanolol (dan pengeblok beta yang lain), keduanya mempunyai efek
inotropik negatif, dapat menimbulkan gagal jantung pada pasien yang rentan.
Mekanisme sinergisme :
1. Sinergisme pada tempat yang sama
interkasi di mana efek dua obat yang bekerja pada tempat yang sama
saling memperkuat. Walaupun banyak contoh interaksi yang merugikan
dengan mekanisme ini tetapi banyak pula interaksi yang menguntungkan
secara terapetik.
2. Sinergisme pada tempat yang berbeda dari efek yang sama atau hampir
sama
Obat-obat dengan efek akhir yang sama atau hampir sama, walaupun
tempat kerja ata reseptornya berlainan, kalau diberikan bersamaan akan
memberikan efek yang saling memperkuat.
Contoh peristiwa sinergisme :
1. Sinergisme pada tempat yang sama
a. Efek obat pelemas otot depolarisasi (depolarizing muscle relaxants)
akan diperkuat/diperberat oleh antibiotika aminoglikosida, kolistin dan
polimiksin karena keduanya bekerja pada tempat yang sama yakni
pada motor end plate otot seran lintang.
b. Kombinasi obat beta-blocker dan Ca++- channel blocker seperti
veramapil dapat meyebabkan aritmia/asistole. Keduanya bekerja pada
jaringan konduksi otot yang sama.
2. Sinergisme pada tempat yang berbeda dari efek yang sama atau
hampir sama
a. Alkohol dan obat-obat yang berpengaruh terhadap susunan saraf pusat.
b. Antara berbagai obat yang punya efek yang sama terhadap susunan
saraf pusat, misalnya depresi susunan saraf pusat.
c. Kombinasi antibiotika, misalnya penisilin dan aminoglikosida
d. Kombinasi beberapa obat antihipertensi

B. Antagonisme
Antagonisme terjadi bila obat yang berinteraksi memiliki efek
farmakologi yang berlawanan. Hal ini mengakibatkan pengurangan hasil yang
diinginkan dari satu atau lebih obat. Sebagai contoh, penggunaan secara
bersamaan obat yang bersifat beta agonis dengan obat yang bersifat pemblok
beta (Salbutamol untuk pengobatan asma dengan propanolol untuk
pengobatan hipertensi, dapat menyebabkan bronkospasme); vitamin K dan
warfarin; diuretika tiazid dan obat antidiabet.
Beberapa antibiotika tertentu berinteraksi dengan mekanisme
antagonis. Sebagai contoh, bakterisida seperti penisilin, yang menghambat
sintesa dinding sel bakteri, memerlukan sel yang terus bertumbuh dan
membelah diri agar berkhasiat maksimal. Situasi ini tidak akan terjadi dengan
adanya antibiotika yang berkhasiat bakteriostatik, seperti tetrasiklin yang
menghambat sintesa protein dan juga pertumbuhan bakteri.
C. Efek reseptor tidak langsung
Kombinasi obat dapat bekerja melalui mekanisme saling
mempengaruhi efek reseptor yang meliputi sirkulasi kendali di fisiologis dan
biokimia. Pengeblok beta non selektif seperti propanolol dapat
memperpanjang lamanya kondisi hipoglikemi pada pasien diabet yang diobati
dengan insulin dengan menghambat mekanisme kompensasi pemecahan
glikogen. Respon kompesasi ini diperantarai oleh reseptor beta Z namun obat
kardioselektif seperti atenolol lebih jarang menimbulkan respon hipoglikemi
apabila digunakan bersama dengan insulin. Lagipula obat-obat pengeblok beta
mempunyai efek simpatik seperti takikardia dan tremor yang dapat menutupi
tanda-tanda bahaya hipoglikemi, efek simpatik ini lebih penting dibandingkan
dengan akibat interaksi obat pada mekanisme kompensasi di atas.
D. Gangguan cairan dan elektrolit
Interaksi obat dapat terjadi akibat gangguan keseimbangan cairan dan
elektrolit. Pengurangan kadar kalium dalam plasma sesudah pengobatan
dengan diuretik, kortikosteroid, atau amfoterisina akan meningkatkan resiko
kardiotoksisitas digoksin. Hal yang sama, hipokalemia meningkatkan resiko
aritmia ventrikuler dengan beberapa obat antiaritmia seperti sotalol, kuinidin,
prokainamida, dan amiodaron. Penghambat ACE mempunyai efek hemat
kalium, sehingga pemakaiannya bersamaan dengan suplemen kalium atau
diuretik hemat kalium dapat menyebabkan hiperkalemia yang berbahaya.
Loop diuretik dapat meningkatkan konsentrasi obat-obat yang bersifat
nefrotoksik seperti gentamisin dan sefaloridina dalam ginjal.

2.8 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Respons Tubuh terhadap Obat


Tubuh setiap orang berbeda-beda dalam hal menghasilkan respons untuk
pemberian obat dengan dosis tertentu. Pemberian obat biasanya telah disepakati
secara bersama oleh farmakolog dalam dosis biasa ( dosis rata-rata) yang cocok untuk
sebagian besar pasien. Dosis rata – rata ini dapat menimbulkan efek toksik untuk
beberapa orang. Sebaliknya dosis rata-rata juga dapat menimbulkan efek yang tidak
teraupetik.
Kepatuhan pasien menentukan jumlah obat yang diminum. Pemberian obat per
oral yang diserap dengan bioavailabilitas obat itu. Sementara itu bioavailabilitas
ditentukan oleh mutu obat. Faktor farmakokinetik menentukan berapa dari jumlah
obat yang diminum dapat mencapai tempat kerja obat untuk bereaksi dengan reseptor.
Sementara factor farmakodinamik menentukan intensitas efek farmakologis yang
ditimbulkan oleh kadar obat.

A. Kondisi Fisiologis
Kondisi fisiologik ditentukan oleh usia, berat badan, laus permukaan
tubuh, atau kombinasi factor – factor ini.
Usia dapat menyebabkan perubahan efek farmakologik ekstrem
dibandingkan dengan golongan usia lain. Semisal, pada neonatus dan bayi
prematur fungsi farmakokinetik tubuh belum berlangsung dengan baik
(misalnya b iotransfrmasi hati, eksrekgi ginjal, ikatan protein plasma, dan
sawar darah-otak dan sawar kulit). Hal ini menyebabkan peningkatan kadar
obat dalam darah dan jaringan. Pemberian obat heksaklorofen topical pada
neonatus, misalnya, menyebabkan respons neourotoksisitas akibat belum
terbentuknya sawar kulit secara sempurna. Kloramfenikol dapat menyebabkan
sindrom bayi abu-abu akibat metabolism obat oleh hepar masih rendah
(glukuronidasi) serta filtrasi obat oleh glomerulus ginjal belum berlangsung
dengan sempurna.
Pada usia lanjut efek ini juga terjadi. Fungsi ginjal yang melemah
merupakan penyebab perubahan farmakokinetik yang terbesar. Peningkatan
sensitivitas reseptor (terutama di otak) juga menjadi andil dalam konteks ini.
Contohnya adalah penggunaan isoniazid yang dapat menyebabkan
hepatotoksisitas akibat melemahnya metabolism oleh hepar. Demikian juga
penggunaan antikolinergik dapat menimbulkan respons konstipasi akibat
melemahnya kontraktilitas otot polos.
B. Kondisi Patologik
Terjadinya kondisi patologik terutama pada organ-organ yang banyak
melakukan efek farmakokinetik terhadap obat, misalnya penyakit saluran
cerna, hepar, ren, dan kardiovaskuler, mengubah respons tubuh terhadap obat.
Penyakit saluran cerna dapat mengurangi kecepatan absorbsi obat, khususnya
pada pemberian per oral. Penyakit kardiovaskular mengurangi distribusi obat
dan aliran darah ke hepar dan ginjal yang akan mengeliminasi obat. Penyakit
hepar melemahkan metabolime obat di hati. Gangguan ginjal mengurangi
eksreksi obat aktif maujpun metabolitnya melalui ginjal.
Contohnya, diare atau gastroenteritis menurunkan respons tubuh
terhadap obat digoksin, kontrasepsi oral, fenitoin, dan sediaan salut enterik.
Ini diakbiatkan waktu transit dalam saluran cerna yang memendek akibat
terjadinya motilitas tinggi (akibat diare), sehingga jumlah obat yang
diabsorbsi menjadi berkurang.
C. Faktor Genetik
Efek farmakologis yang berbeda-beda, yang diakibatkan oleh adanya
kaitan faktor genetik dipelajari secara khusus melalui farmakogenetik.
Farmakogenetik adalah studi tentang variasi respons obat akibat factor
genetik. Farmakogenetik perlu dibedakan dari overdosis, reaksi alergi, dan
inborn error of metabolism. Inborn error of metabolism adalah kelainan
genetik yang mengakibatnya kelainan pengolahan zat tertentu sehingga terjadi
akumulasi dalam sel. Sementara itu, farmakogenetik mempelajari tentang
adanya perbedaan respons individu terhadap suatu obat.
Dari aspek farmakokinetik, farmakogenetik banyak memengaruhi sisi
biotransformasi (metabolisme) obat. Selain biotransformasi (metabolisme),
farmakokinetik juga melibatkan proses absorpsi, distribusi, dan ekskresi.
Metabolisme obat terutama terjadi di sel-sel hati (mikrosom = retikulum
endoplasma hati), serta di sitosol. Selain hati, dinding usus, ginjal, paru,
darah, otak, dan kulit juga menjadi tempat biotransformasi obat.
D. Faktor Toleransi
Toleransi merupakan penurunan efek farmakologik akibat pemberian
yang berulang. Toleransi ini terbagi menjadi toleransi farmakokinetik, yang
terjadi akibat obat meningkatkan metabolismenya sendiri (dikarenakan obat
merupakan self inducer bagi proses metabolism dirinya sendiri); dan toleransi
farmakodinamik, akibat terjadi adaptasi sel dan reseptor terhadap ligan (obat)
yang terus menerus berada di sekitar sel tersebut berada. Sensitifitas reseptor-
reseptor ini umumnya menurun di tengah kelimpahan ligan. Jumlah ligan
yang berikatan tidak berkurang, namun sensitiiftas reseptor berkurang
sehingga efek farmakologis yang ditimbulkan juga berkurang.
E. Faktor Interaksi Obat
Obat dapat berinteraksi dengan zat – zat makanan, zat kimia, bahkan
dengan obat lain. Oleh karena itu perlu diperhatikan adanya efek (yang
mungkin menguntungkan, atau malah merugikan) akibat interaksi ini.
Interaksi yang menguntungkan misalnya penggunaan kombinasi obat
antihipertensi, antiasma, dan antidiabetik yang dapat meningkatkan efektivitas
dan mengurangi efek samping; kombinasi obat anti-HIV dan anti-kanker.
Interaksi yang merugikan akan mendapatkan bahasan yang lebih mendalam.
Interaksi yang dapat terjadi adalah:
- Interaksi farmakokinetik – jika salah satu obat memengaruhi absorpsi,
distribusi, biotransformasi (metabolisme), dan ekskresi obat yang lain. Ini
dapat mengakibatkan kadar plasma obat lain menurun atau justru
meningkat. Akibatnya, toksisitas dapat terjadi, atau mungkin penurunan
efektivitas obat tersebut.
- Interaksi absorpsi: penggunaan obat antasida dapat mengubah pH,
sehingga mengakibatkan kelarutan obat-obat asam (seperti aspirin)
menjadi menigkat, sehingga meninkatkan absorpsi obat-obat ini.
- Interaksi distrbusi: banyak obat yang memerlukan protein plasma sebagai
sarana transport obat tersebut. Adanya obat lain mengakibatkan terjadinya
“kompetisi” untuk memperebutkan protein plasma.
- Interaksi metabolisme: sebagai contoh obat-obat yang merupakan substrat
enzim sitokrom dapat mengalami gangguan metabolisme apabila terdapat
enzim yang mencegah kerja enzim sitokrom (contohnya: untuk enzim
CYP3A4, sakuinavir, obat yang digunakan dalam terapi penderita HIV,
seharusnya dimetabolisme oleh enzim ini, namun keberadaan ritonavir
secara bersama-sama menghambat kerja enzim ini sehingga terjadi
peningkatan kadar sakuinavir, sehingga dosis untuk sakuinavir harus
diturunkan untuk mencegah penumpukan sakuinavir).
- Interaksi ekskresi: terdapat berbagai golongan obat yang bisa
menyebabkan kerusakan ginjal (misalnya: aminoglikosida merusak ginjal,
menyebabkan peningkatan kadar digoksin yang toksik); adanya kompetisi
untuk sekresi aktif di tubulus ginjal; atau adanya perubahan pH urin
(misal: obat yang dapat mengasamkan urin meningkatkan ionisasi obat
lain yang bersifat basa, dan meningkatkan ekskresi obat yang bersifat basa
ini).
- Interaksi farmakodinamik – merupakan suatu interaksi antara obat yang
bekerja pada sistem reseptor, tempat kerja, atau sistem fisiologik yang
sama. Interaksi ini bisa menimbuolkan efek yang sinergistik, atau
antagonistik. Interaksi farmakodinamik ini biasanya dapat diramalkan
(misalnya: pengelompokan obat antihipertensi yang dapat saling sinergik
menurunkan tekanan darah).
- Interaksi pada reseptor: misalnya asetilkolin yang bekerja pada reseptor
kolinergik (muskarinik) sebagai agonis; sementara adanya atropine,
kuinidin, dan antihistamin H1 sebagai antagonis untuk reseptor yang
sama.
- Interaksi fisiologik: merupakan interaksi pada sistem fisiologik yang
sama, sehingga dapat mengakibatkan peningkatan atau penurunan respons.
Misalnya penggunaan antidiabetes (bekerja pada sistem endokrin) dengan
tiazid atau kortikosteroid (juga bekerja pada sistem endokrin) dapat
menurunkan efek antidiabetik. Demikian juga penggunaan obat _-bloker
dengan verapamil dapat menyebabkan gagal jantung dan bradikardia.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Obat yang masuk ke dalam tubuh melalui berbagai cara pemberian umumnya
mengalami absorpsi, distribusi dan pengikatan untuk sampai di tempat kerja dan
menimbulkan efek. Kemudian dengan atau tanpa biotransformasi, obat di ekskresi
dari dalam tubuh. Seluruh proses ini di sebut farmakokinetik.
Farmakodinamik ialah cabang ilmu yang mempelajari efek biokimia dan
fisiologi obat serta mekanisme kerjanya.  Tujuan mempelajari mekanisme kerja obat
ialah untuk meneliti efek utama obat, mengetahui interaksi obat dengan sel, dan
mengetahui urutan peristiwa serta spectrum efek dan respon yang terjadi.

3.2 Saran
Pemahaman mahasiswa keperawat terhadap bidang ilmu farmakologi dalam
hal ini aspek farmakokinetik dan farmakodinamik harus terus di tingkatkan dengan
proses pembelajaran yang kontinyu selain untuk meningkatkan pemahaman yakni
sebagai upaya meningkatkan displin ilmu yang lebih kompeten, berjiwa pengetahuan
dan selalu berfikir kritis terhadap ilmu tersebut.
Daftar Pustaka
Potter dan Perry. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep, Proses dan
Praktik. Jakarta: EGC
https://frangkynuru.wordpress.com/2015/03/03/makalah-farmakokinetik-dan-
farmakodinamik/
https://www.scribd.com/doc/166939401/Makalah-Fase-Farmakokinetik
http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/32825/Chapter%20II.pdf?
sequence=4
https://www.academia.edu/23725004/MAKALAH_FARMAKOLOGI_FARMAKOD
INAMIK_

Anda mungkin juga menyukai