Anda di halaman 1dari 5

NAMA : NURANA SAHARUDDIN

NIM : 192431539
MATKUL : KEPERAWATAN ANAK
DOSEN : H.MUHDAR,S.ST.,M.KES

Teori-teori Perkembangan Anak

A. Perkembangan Psikoseksual Menurut Sigmud Freud

Menurut Freud, dalam perkembangannya anak akan melewati beberapa tahap dalam
hidupnya, yaitu:

1. Tahap oral (0-1 tahun)


Pada masa ini kepuasan dan kesenangan anak didapat melalui kegiatan menghisap,
menggigit, mengunyah atau bersuara. Ketergantungan pada orang di sekelilingnya sangat
tinggi dan selalu minta dilindungi untuk mendapatkan rasa aman. Masalah yang sering terjadi
pada masa ini adalah masalah penyapihan dan makan.

2. Tahap anal (1-3 tahun).


Kepuasan anak didapatkan pada saat pengeluaran tinja. Anak akan menunjukkan keakuannya
dan sangat egoistik dan narsisistik yaitu cinta terhadap dirinya sendiri. Pada saat ini anak juga
mulai mempelajari struktur tubuhnya. Tugas yang dapat dilakukan adalah latihan kebersihan.
Masalah yang sering terjadi pada fase ini adalah sifatnya yang obsesif, pandangan sempit,
introvert atau ekstrovet impulsive yaitu dorongan untuk membuka diri, tidak rapi, kurang
pengendalian diri.

3. Tahap oedipal/phalik (3-5 tahun).


Pada tahap ini kepuasan anak terletak pada rangsangan autoerotic yaitu merabaraba,
merasakan kenikmatan dari beberapa daerah erogennya dan mulai suka pada lawan jenis.
Anak laki-laki cenderung suka pada ibunya daripada ayahnya demikian juga sebaliknya anak
perempuan suka sama ayahnya.

4. Tahap laten (5-12 tahun).


Kepuasan anak mulai terintegrasi. Anak masuk dalam masa pubertas dan berhadapan
langsung dengan tuntutan sosial seperti menyukai hubungan dengan kelompoknya atau
sebaya. Dorongan libido mulai mereda.

5. Tahap genital (lebih dari 12 tahun).


Kepuasan anak pada masa ini akan kembali bangkit dan mengarah pada perasaan cinta yang
matang terhadap lawan jenis.
B. Perkembangan Psikososial Menurut Erikson

1. Tahap percaya vs tidak percaya (0-1 tahun).


Pada tahap ini bayi membentuk rasa percaya kepada seseorang baik orang tua maupun orang
yang mengasuhnya atau perawat yang merawatnya. Kegagalan atau kesalahan dalam
mengasuh atau merawat pada tahap ini dapat menimbulkan rasa tidak percaya pada anak.

2. Tahap kemandirian (otonomi) vs rasa malu dan ragu (1-3 tahun/toddler).


Pada tahap ini anak sudah mulai mencoba mandiri dalam tugas tumbuh kembangnya seperti
fungsi motorik dan bahasa, mulai latihan jalan sendiri dan belajar berbicara. Pada tahap ini
pula anak akan merasakan malu apabila orang tua terlalu melindungi dan tidak memberikan
kemandirian atau kebebasan pada anak bahkan menuntut anak dengan harapan yang tinggi.

3. Tahap inisiatif vs rasa bersalah (4-6 tahun/pra sekolah)


Pada tahap ini anak mulai berinisiatif dalam belajar mencari pengalaman baru secara aktif
melalui aktivitasnya. Apabila anak dilarang atau dicegah maka akan tumbuh perasaan
bersalah pada dirinya.

4. Tahap rajin vs rendah diri (6-12 tahun/sekolah)


Anak selalu berusaha mencapai segala sesuatu yang diinginkan dan berusaha mencapai
prestasinya sehingga pada usia ini anak rajin melakukan sesuatu. Apabila harapan tidak
tercapai, kemungkinan besar anak akan merasakan rendah diri.

5. Tahap identitas vs kebingungan peran (masa remaja/adolesen).


Pada tahap ini terjadi perubahan pada anak khususnya perubahan fisik, kematangan usia dan
perubahan hormonal. Anak akan menunjukkan identitas dirinya seperti “siapa saya”. Apabila
kondisi ini tidak sesuai dengan suasana hati maka kemungkinan akan terjadi kebingungan
dalam peran.

C. Perkembangan Kognitif Menurut Piaget

1. Tahap sensori motor (0-2 tahun).


Menurut Piaget, bayi lahir dengan sejumlah refleks bawaan selain juga dorongan untuk
mengeksplorasi dunianya. Pada tahap ini anak mampu mengasimilasi dan mengakomodasi
informasi dengan cara melihat, mendengar, menyentuh dan aktivitas motorik. Semua kegiatan
yang dilakukan berfokus pada mulut (oral).

2. Tahap pra operasional (2-7 tahun)


Anak mampu mengoperasionalisasikan apa yang dipikirkan melalui tindakan sesuai dengan
pikirannya. Pada saat ini anak masih bersifat egosentris. Pikirannya masih transduktif, artinya
menganggap semua sama. Contoh: seorang pria di keluarga adalah ayah maka semua pria
adalah ayah. Ciri lain adalah masih berkembangnya pikiran animisme dimana anak selalu
memperhatikan adanya benda mati. Contoh apabila anak terbentur benda mati maka ia akan
memukul kembali ke arah benda tersebut.

3. Tahap kongkret (7-11 tahun).


Anak sudah dapat memandang realistis dan mempunyai anggapan sama dengan orang lain.
Sifat egosentris mulai hilang karena ia mulai sadar akan keterbatasan dirinya. Tetapi sifat
realistik ini belum sampai ke dalam pikiran sehingga belum dapat membuat suatu konsep atau
hipotesis.

4. Formal operasional (lebih dari 11 tahun sampai dewasa).


Pada tahap ini anak sudah membentuk gambaran mental dan mampu menyelesaikan aktivitas
yang ada dalam pikirannya, mampu menduga dan memperkirakan dengan pikirannya yang
abstrak.

D. Perkembangan moral menurut kohlberg

enam tahap (stages) dalam perkembangan moral dapat dikaitkan satu sama lain dalam tiga
tingkat (levels) demikian rupa sehingga setiap tingkat meliputi dua tahap. Tiga tingkat itu
berturut-turut adalah tingkat prakonvensional, tingkat konvensional, dan tingkat
pascakonvensional. Dalam penelitian Kohlberg subyek yang digunakan adalah pada anak-
anak yang berumur sekitar enam tahun.

1. Tingkat Prakonvensional
Pada tingkat ini si anak mengakui adanya aturan-aturan dan baik serta buruk mulai
mempunyai arti baginya, tapi hal itu semata-mata dihubungkan dengan reaksi orang lain.
Penilaian tentang baik buruknya perbuatan hanya ditentukan oleh faktor-faktro dari luar.
Motivasi untuk penilaian moral terhadap perbuatan hanya didasarkan atas akibat atau
konsekuensi yang dibawakan oleh perilaku si anak: hukuman atau ganjaran, hal yang pahit
atau hal yang menyenangkan. Yang mencolok ialah bahwa motif-motif ini bersifat lahiriah
saja dan bisa mengalami banyak perubahan. Pada tingkat prakonvensional ini dapat
dibedakan dalam dua tahap:

Tahap 1 : Orientasi hukuman dan kepatuhan. Anak mendasarkan perbuatannya atas otoritas
konkret (orangtua, guru) dan atas hukuman yang akan menyusul, bila ia tidak patuh. Anak
kecil tidak memukul adiknya, karena hal itu dilarang oleh ibu dan karena melanggar
kemauan ibu dan akan membawa hukuman. Perspektif si anak semata-mata egosentris. Ia
membatasi diri pada kepentingannya sendiri dan belum memandang kepentingan orang
lain. Ketakutan untuk akibat perbuatan adalah perasaan dominan yang menyertai motivasi
moral ini.

Tahap 2 : Orientasi relativis-instrumental. Perbuatan adalah baik, jika ibarat instrumen (alat)
dapat memenuhi kebutuhan sendiri dan kadang-kadang juga kebutuhan orang lain. Anak
mulai menyadari kepentingan orang lain juga, tapi hubungan antara manusia dianggapnya
seperti hubungan orang di pasar: tukar-menukar. Hubungan timbal-balik antara manusia
adalah soal “jika kamu melakukan sesuatu untuk saya, maka saya akan melakukan
sesuatu untuk kamu” (do ut des), bukannya soal loyalitas (kesetiaan), rasa terima kasih atau
keadilan.

2. Tingkat Konvensional

Penelitian Kohlberg menunjukkan bahwa biasanya (tapi tidak selalu) anak mulai beralih ke
tingkat ini antara umur sepuluh dan tiga belas tahun. Di sini perbuatan-perbuatan mulai
dinilai atas dasar norma-norma umum dan kewajiban serta otoritas dijunjung tinggi. Tingkat
ini oleh Kohlberg disebut “konvensional”, karena di sini anak mulai menyesuaikan (bahasa
Latin:convenire) penilaian dan perilakunya dengan harapan orang lain atau kode yang
berlaku dalam kelompok sosialnya. Memenuhi harapan keluarga, kelompok atau bangsa
dianggap sebagai sesuatu yang berharga pada dirinya sendiri, terlepas dari konsekuensi atau
akibatnya. Dalam sikapnya si anak tidak hanya menyesuaikan diri dengan harapan
orang-orang tertentu atau dengan ketertiban sosial, melainkan juga menaruh loyalitas
kepadanya dan secara aktif menunjang serta membenarkan ketertiban yang berlaku.
Singkatnya, anak mengidentifikasi diri dengan kelompok sosialnya beserta norma-
normanya. Tingkat kedua ini mencakup juga dua tahap:

Tahap 3 :Penyesuaian dengan kelompok atau orientasi menjadi “anak manis”. Anak
cenderung mengarahkan diri kepada keinginan serta harapan dari para anggota keluarga atau
kelompok lain (sekolah di sini tentu penting). Perilaku yang baik adalah perilaku yang
menyenangkan dan membantu orang lain serta disetujui oleh mereka. Anak mengambil
sikap: saya adalah “anak manis” (good boy-nice girl), artinya ia adalah sebagaimana
diharapkan oleh orangtua, guru dan sebagainya. Ia ingin bertingkah laku secara “wajar”,
artinya menurut norma-norma yang berlaku. Jika ia menyimpang dari norma-norma
kelompoknya, ia merasa malu dan bersalah. Dalam hal ini untuk pertama kali si anak mulai
memperhatikan pentingnya maksud perbuatan. Perbuatan adalah baik, asal maksudnya
baik. Misalnya, waktu ia membantu ibunya di dapur dengan mencuci piring, ada gelas
pecah. Dulu perbuatan itu dinilai secara moral moral buruk, karena bisa mendatangkan
hukuman. Dalam tahap ketiga perbuatan itu dianggap baik, karena di baliknya ada maksud
baik.

Tahap 4 : Orientasi hukum dan ketertiban (law and order). Paham “kelompok” dengan mana
anak harus menyesuaikan diri di sini diperluas: dari kelompok akrab (artinya, orang-orang
yang dikenal oleh anak secara pribadi) ke kelompok yang lebih abstrak, seperti suku bangsa,
negara, agama. Tekanan diberikan pada aturan-aturan tetap, otoritas dan pertahanan
ketertiban sosial. Perilaku yang baik adalah melakukan kewajibannya, menghormati otoritas
dan mempertahankan ketertiban sosial yang berlaku demi ketertiban itu sendiri. Orang
yang melanggar aturan-aturan tradisional atau menyimpang dari ketertiban sosial, jelas
bersalah. Peribahasa Inggris right or wrong, my control adalah contoh spesifik tentang
sikap orang dalam tahap 3 ini.

3. Tingkat Pascakonvensional

Oleh Kohlberg tingkat ketiga ini disebut juga dengan “tingkat otonom” atau “tingkat
berprinsip” (principled level). Pada tingkat ini hidup moral dipandang sebagai penerimaan
tanggung jawab pribadi atas dasar prinsip-prinsip yang dianut dalam batin. Norma-norma
yang ditemukan dalam masyarakat tidak dengan sendirinya berlaku, tapi harus dinilai
atas dasar prinsip-prinsip yang mekar dari kebebasan pribadi. Orang muda mulai
menyadari bahwa kelompoknya tidak selamanya benar. Menjadi anggota suatu
kelompok tidak menghindari bahwa kadang kala ia harus berani mengambil sikapnya
sendiri. Tingkat ketiga ini pun mempunyai dua tahap:

Tahap 5 :Orientasi kontrak-sosial legalistis. Di sini disadari relativisme nilai-nilai dan


pendapat-pendapat pribadi dan kebutuhan akan usaha-usaha untuk mencapai konsensus. Di
samping apa yang disetujui dengan cara demokratis, baik buruknya tergantung pada nilai-
nilai dan pendapat-pendapat pribadi. Segi hukum ditekankan, tapi diperhatikan secara
khusus kemungkinan untuk mengubah hukum, asal hal itu terjadi demi kegunaan social.
(berbeda dengan pandangan kaku tentang law and order dalam tahap 4). Selain bidang
hukum, persetujuan bebas dan perjanjian adalah unsur pengikat bagi kewajiban. Suatu janji
harus ditepati juga kalau berkembang menjadi merugikan, karena berasal dari persetujuan
bebas.

Tahap 6 :Orientasi prinsip etika yang universal. Di sini orang mengatur tingkah laku dan
penilaian moralnya berdasarkan hati nurani pribadi. Yang mencolok adalah bahwa prinsip-
prinsip etis dan hati nurani berlaku secara universal. Pada dasarnya prinsip-prinsip ini
menyangkut keadilan, kesediaan membantu satu sama lain, persamaan hak manusia dan
hormat untuk martabat manusia sebagai pribadi. Orang yang melanggar prinsip-prinsip hati
nurani ini akan mengalami penyesalan yang mendalam (remorse). Ia mengutuk dirinya,
karena tidak mengikuti keyakinan moralnya sendiri. Menurut Kohlberg, penelitiannya telah
menunjukkan bahwa hanya sedikit orang mencapai tahap keenam ini.

Anda mungkin juga menyukai