Disusun Oleh:
1. Meiti Mayang Sari (17.100.100.01)
2. Melati (17.101.101.01)
3. Mini Ratna sari (17.103.103.01)
4. Monica Wulandari (17.104.104.01)
5. Muhammad Risal (17.105.105.01)
6. Muhammad anggriawan (17.106.106.01)
7. Musdalifa (17.348.137.01)
8. Norwinda (17.107.107.01)
1
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kita haturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Dengan rahmat-Nya kami semua diberikan ketabahan dan kemampuan untuk
dapat menyelesaikan tugas Keperawatan Kritis dengan judul “Gagal Napas
Akut”. Makalah ini merupakan salah satu tugas mata kuliah Keperawatan
Kritis semester VII Progam Studi S.1 Ilmu Keperawatan ITKES Wiyata
Husada Samarinda.
1. Ns. Marina Kristi Layun, S.Kep, M.Kep selaku pengajar mata kuliah
Keperaatan Bencana Semester VII ITKES Wiyata Husada Samarinda.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat kepada para pembaca dan dapat
dijadikan acuan terhadap penyusun Makalah berikut-berikutnya. Kritik dan
saran yang membangun sangat kami perlukan untuk memperbaiki Makalah ini.
Penulis
2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Gagal nafas akut terjadi dalam hitungan menit hingga jam, yang
ditandai dengan perubahan hasil analisa gas darah yang mengancam jiwa.
Terjadi peningkatan kadar PaCO2. Gagal nafas akut timbul pada pasien
yang keadaan parunya normal secara struktural maupun fungsional
sebelum penyakit timbul.
Gagal nafas akut merupakan penyebab gagal organ yang paling sering
di ICU dengan tingkat mortalitas yang tinggi. Di Skandinavia, tingkat
mortalitas dalam waktu 90% pada acute respiratory distress syndrome
(ARDS) adalah 41% dan acute lung injury (ALI) adalah 42,2%. Gagal
nafas akut sering kali ditemukan dengan kegagalan organ vital lainnya.
Kematian disebabkan karena multiple organ dysfunction syndrome
(MODS). Pada ARDS, kematian akibat gagal napas ireversibla adalah 10-
16%. Sedangkan di Jerman, inside dengan gagal napas akut, ALI, dan
3
ARDS adalah 77,6-88,6; 17,9-34; dan 12,6-28 kasus per 100.000 populasi
per tahun dengan tingkat mortalitas 40%.
B. Rumusan Masalah
Dalam latar belakang diatas ditemukan rumusan malalah yaitu:
1. Apa itu gagal napas akut?
2. Bagaimana cara pencegahan gagal napas akut?
3. Bagaimana proses terjadinya gagal napas akut?
4. Apa saja penatalaksanaan gagl napas akut?
5. Apa Tren dan issue gagl napas akut?
6. Apa EBN dari gagal napas akut?
C. Tujuan Penulisan
1) Mengetahui defenisi gagal nafas akut
2) Mengetahui pencegahan primer, sekunder, dan tersier
3) Mengetahui proses dari gagal nafas akut
4) Mengetahui penatalaksanaan dari gagal nafas akut
5) Mengetahui Trend dan issue dan EBN gagal nafas akut
D. Manfaat Penulisan
1. Manfaat terhadap Peneliti
Hasil penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan
mengenai gagal nafas akut serta dapat meningkatkan kemampuan
mahasiswa dalam melakukan penelitian.
4
3. Manfaat terhadap Institusi
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dalam
melakukan persiapan sarana dan prasarana serta tatalaksana yang tepat
untuk pasien dengan gagal napas akut.
5
BAB II
LANDASAN TEORI
1. Fisiologi pernapasan
Proses fisiologi pernapasan dimana oksigen dipindahkan dari
udara ke dalam jaringan-jaringan dan CO2 dikeluarkan ke udara
(espirasi), dapat dibagi menjadi dua tahap, yaitu:
a. Stadium pertama
Stadium pertama ditandai dengan fase ventilasi, yaitu
masuknya campuran gas-gas ke dalam dan keluar paru-paru.
Mekanisme ini dimungkinkan karena ada selisih tekanan
antara atmosfer dan alveolus, akibat kerja mekanik dari otot-
otot.
b. Stadium kedua
Transportasi pada fase ini terjadi dari beberapa aspek, yaitu :
Difusi gas antara alveolus dan kapiler paru-paru
(respirasi eksternal) serta antara darah sistemik dan sel-
sel jaringan.
6
Distribusi darah dalam sirkulasi pulmonal dan
penyesuaiannya dengan distribusi udara dalam
alveolus.
Reaksi kimia dan fisik dari O2 dan CO2 dengan darah
respimi atau respirasi internal merupakan stadium akhir
dari respirasi, dimana dioksigen dioksida untuk
mendapatkan energi, dan CO2 terbentuk sebagai
sampah dari proses metabolisme sel dan dikeluarkan
oleh paru-paru.
Transportasi adalah merupakan tahap yang mencakup
proses difusi gas-gas melintasi membran alveolus
kapiler yang tipis (tebalnya kurang dari 0,5 mm).
Kekuatan untuk mendorong memindah ini diperoleh
dari selisih tekanan parsial antara darah dan fase gas.
Perfusi adalah pemindahan gas secara efektif antara
alveolus dan kapiler paru-paru yang membutuhkan
distribusi merata dari udara dalam paru-paru dan
perfusi (aliran darah) dalam kapiler. Dengan kata lain,
ventilasi dan perfusi dari unit pulmonary yang sudah
sesuai dengan orang normal pada saat posisi tegak dan
keadaan istirahat, maka ventilasi dan perfusi hampir
seimbang, kecuali pada apeks paru-paru. (medikal
Bedah, 2012).
Gagal nafas terjadi apabila paru tidak lagi dapat memenuhi fungsi
primernya dalam pertukaran gas, yaitu oksigenasi darah arteria dan
pembuangan karbondioksida (Price& Wilson, 2005).
7
Gagal nafas adalah suatu kondisi dimana sistem respirasi gagal untuk
melakukan fungsi pertukaran gas, pemasukan oksigen dan pengeluaran
karbondioksida. Ketidakmampuan itu dapat dilihat dari kemampuan
jaringan untuk memasukkan oksigen dan mengeluarkan karbondioksida.
Kriteria kadar gas darah arteri untuk gagal respirasi tidak mutlak bisa
ditentukan dengan mengetahui PO2 kurang dari 60mmHg dan PCO2
diatas 50mmHg. Gagal nafas akut terjadi dalam berbagai gangguan baik
pulmoner maupun nonpulmoner.
Gagal nafas akut merupakan penyebab gagal organ yang paling sering
di ICU dengan tingkat mortalitas yang tinggi. Di Skandinavia, tingkat
mortalitas dalam waktu 90% pada acute respiratory distress syndrome
(ARDS) adalah 41% dan acute lung injury (ALI) adalah 42,2%. Gagal
nafas akut sering kali ditemukan dengan kegagalan organ vital lainnya.
Kematian disebabkan karena multiple organ dysfunction syndrome
(MODS). Pada ARDS, kematian akibat gagal napas ireversibla adalah 10-
16%. Sedangkan di Jerman, inside dengan gagal napas akut, ALI, dan
ARDS adalah 77,6-88,6; 17,9-34; dan 12,6-28 kasus per 100.000 populasi
per tahun dengan tingkat mortalitas 40%.
Indikator gagal nafas setelah frekuensi pernafasan dan kapasitas vital,
frekuensi pernafasan normal ialah 16-20 x/mnt. Bila lebih dari 20x/mnt
tindakan yang dilakukan memberi bantuan ventilator karena “kerja
pernafasan” menjadi tinggi sehingga timbul kelelahan. Kapasitas vital
adalah ukuran ventilasi (normal 10-20 ml/kg).
Penyebab terpenting gagal nafas adalah ventilasi yang tidak adekuat
dimana terjadi obstruksi jalan nafas atas. Pusat pernafasan yang
mengendalikan pernafasan terletak di bawah batang otak (pons dan
medulla).
8
Pada kasus pasien dengan anestesi, cedera kepala, stroke, tumor otak,
ensefalitis, meningitis, hipoksia dan hiperkapnia mempunyai kemampuan
menekan pusat pernafasan. Sehingga pernafasan menjadi lambat dan
dangkal. Pada periode postoperatif dengan anestesi bisa terjadi pernafasan
tidak adekuat karena terdapat agen menekan pernafasan dengan efek yang
dikeluarkan atau dengan meningkatkan efek dari analgetik opiood.
Pnemonia atau dengan penyakit paru-paru dapat mengarah ke gagal nafas
akut.
Pentalaksanaan dalam menangani gangguan pernapasan akut yaitu:
a. Terapi oksigen untuk meningkatkan oksigenasi dan menaikan PaO2.
b. Ventilasi mekanis dengan pemasangan pipa endotrakea atau
trakeostomi jika perlu untuk memberikan oksigenasi yang adekuat
dan membalikkan keadaan asidosis.
c. Ventilasi frekuensi tinggi jika kondisi pasien tidak bereaksi terhadap
terapi yang diberikan; tindakan ini dilakukan untuk memaksa jalan
nafas terbuka, meningkatkan oksigenasi, dan mencegah kolaps
alveoli paru.
d. Pemberian antibiotik untuk mengatasi infeksi.
e. Pemberian bronkodilator untuk mempertahankan patensi jalan nafas.
f. Pemberian kortikosteroid untuk mengurangi inflamasi.
g. Pembatasan cairan pada kor pulmonaleuntuk mengurangi volume
dan beban kerja jantung.
h. Pemberian preparat inotropik positif untuk meningkatkan curah
jantung.
i. Pemberian vasopresor untuk mempertahankan tekanan darah.
j. Pemberian diuretik untuk mengurangi edema dan kelebihan muatan
cairan.
9
B. Pencegahan Primer, Sekunder, dan Tersier
10
Dari kedua fase tersebut lebih diutamakan pada fase prepatogen karena
merupakan dasar untuk teap mempertahankan dan memelihara status
tindakan diutamakan pada kesehatan (mengutamakan rindakan preventif
dan promotif dengan tidak dan mengesampingkan kuratif rehabilitatif)
dengan menguatkan garis pertahanan sehingga stressor tidak dapat masuk
dan menimbulkan reaksi atau tindakan dengan melakukan perlawanan
terhadap penyakit atau masalah kesehatan.Berdasarkan teori tersebut maka
intervensi pada tingkat pencegahan primer merupakan fåktor diprioritasan
mengatasi masalah kesehatan sehingga diharapkan terjadi penurunan yang
berarti terhadap angka kesakitan dan kematian kibat suatu penyakit
(Anderson dan ludith, 2006). Oleh karena itu, penting sekali untuk
melakukan pencegahan sebelum terjadinya Infeksi Saluran Penapasan
Akut (ISPA) yaitu pencegahan primer.
11
atau bakteri, virus, maupun riketsia, tanpa atau disertai radang parenkim
paru (Alsagaff dan Mukty, 2006).
12
Kematian pada penderita ISPA terjadi jika penyakit telah mencapai
derajat ISPA berat. Paling sering kematian terjadi karena infeksi telah
mencapai paru-paru. Keadaan ini disebut sebagai radang paru mendadak
atau pnemonia. Sebagian besar keadaan ini terjadi karena penyakit ringan
(ISPA ringan) yang diabaikan. Seringkali penyakit dimulai dengan batuk
pilek biasa, tetapi karena daya tahan tubuh anak lemah maka penyakit
dengan cepat menjalar ke paru-paru. Jika penyakitnya telah menjalar ke
paru-paru dan anak tidak mendapat pengobatan serta perawatan yang tepat,
anak tersebut dapat meninggal (Depkes, 2002).
Industri batu kapur telah mencemari udara dengan debu dan gas
pembakaran batu gamping. Efek utama debu kapur bagi pekerja yaitu debu
berupa paru-paru akut, gangguan kronis dan gangguan fungsi fisiologis,
iritasi mata, juga iritasi sensorik sebagai penumpukan zat berbahaya di
dalam tubuh. Efek pada saluran pernapasan adalah iritasi pada saluran
pernapasan (ISPA). Salah satu dampak negatif dari pengolahan batu kapur
13
D. EBN
14
segera mendapatkan pertolongan di sarana kesehatan yang fasilitasnya lebih
lengkap.
Memberikan pengobatan pada yang menderita penyakit ISPA hasil
penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa kegiatan mengobati
balita dengan penyakit ISPA adalah 43,1% kurang baik dan 56,9% baik.
Angka ini menurut standar Depkes menggambarkan pelaksanaan pengobatan
penyakit ISPA balita kurang baik. Dalam memberikan pengobatan petugas
kesehatan harus mengikuti prosedur tetap untuk pengobatan, baik jenis
antibiotik, dosisnya dan lamanya. Petugas kesehatan Puskesmas Kedawung
Kabupaten Cirebon sebanyak 60 % masih saja memberikan antibiotik pada
kasus yang seharusnya tidak mendapatkan antibiotik dan kurang
menganjurkan untuk menggunakan obat batuk tradisional yang aman untuk
balita pada ibu. Hal ini mungkin dikarenakan pengklasifikasian yang kurang
baik sehingga petugas langsung saja memberikan antibiotik, petugas juga
tidak memikirkan akibat dari penggunaan antibiotik yang tidak sesuai
/berlebihan. Disamping itu juga ibu balita sudah terlalu biasa menggunakan
antibiotik untuk anaknya sehingga punya anggapan jika tidak memakai
antibiotik maka anaknya tidak akan sembuh. Kewenangan memberikan
pengobatan termasuk pemberian antibiotika petugas di balai pengobatan oleh
petugas yang bukan dokter karena adanya pendelegasian kewenangan oleh
dokter kepada petugas. Padahal pemberian antibiotik yang tidak tepat pada
balita maka dikhawatirkan anak akan mengalami resistensi terhadap
antibiotika tersebut. Hasil Penelitian Ary Yunanto tahun 2001 diketahui
resistensi bakteri penyebab pneumonia anak tertinggi adalah terhadap
ampisilin (50%), streptomisin + penisilin (39,7%) dan kotrimoksazol
(14,1%).19 Juga akan membuat hal yang sia-sia karena walaupun tanpa
antibiotika balita tersebut akan sembuh dengan sendirinya asalkan istirahat
dan asupan gizi yang seimbang/ baik, cukup mendapatkan obat-obat
simptomatis yang aman saja.5 Konseling pada Ibu Hasil penelitian
didapatkan bahwa kegiatan konseling yang dilakukan petugas adalah 96,9%
kurang baik dan 3,1% baik. Angka ini menggambarkan pelaksanaan
15
konseling kurang baik. Petugas hanya menginformasikan sedikit dari yang
seharusnya disampaikan kepada ibu balita. Disamping karena jumlah
kunjungan yang banyak juga karena ruang tunggu yang kurang luas.
Penggunaan kartu nasihat ibu leaflet juga jarang digunakan. Hanya aspek
menjelaskan tanda bahaya umum dan aspek kapan harus kembali yang sudah
baik (>80%) sedangkan untuk aspek yang lain mengenai gizi, perawatan,
pencegahan dan pengobatan penyakit ISPA masih kurang baik (< 80%).
Konseling pada ibu ini sangat penting dalam pemberantasan penyakit
menular. Dengan konseling yang baik diharapkan ibu dapat merawat dan
mengenal penyakit batuk dengan kesukaran bernafas pada anak balita
sehingga ibu dapat melakukan tindakan pencegahan dan tidak terlambat
membawa anak balitanya yang sakit ke sarana kesehatan / tenaga kesehatan
untuk berobat sehingga kematian atau bertambah parahnya balita dapat
dihindari juga akan mengurangi resiko penularan pada balita lain.2 Hasil
penelitian Haman Hadi pada tahun 2001 di Kabupaten Kebumen
menyimpulkan bahwa konseling gizi mempunyai pengaruh positif terhadap
status gizi balita penderita ISPA sehingga dapat mempercepat proses
penyembuhannya. Hal ini sesuai dengan penelitian di 486 Kabupaten Tapin
Kalimantan Selatan oleh Dina Angelika pada tahun 2003 yang menyimpulkan
bahwa pemberian modisco (Modified Disco 150) pada balita yang menderita
penyakit ISPA dapat mempercepat kesembuhannya.
Tindak Lanjut pada penelitian ini kegiatan tindak lanjut di puskesmas
tidak dapat diidentifikasi secara utuh karena dari 15 kasus yang diharuskan
kunjungan ulang hanya 5 kasus yang datang selebihnya tidak datang. Dari
kelima kasus tersebut sudah dilakukan tindak lanjut dengan baik (>80 %).
Penilaian ulang dilakukan dan pemberian antibiotik sudah sesuai dengan
standar pengobatan. Menurut Depkes jika balita sakit yang seharusnya
melakukan kunjungan ulang tetapi tidak datang maka harus dilakukan
kunjungan rumah untuk mengetahui hasil pengobatan dan perkembangan
kondisi balita. Di Puskesmas Kedawung Kabupaten Cirebon kunjungan
rumah tidak dilakukan sehingga hasil pengobatan dan kondisi balita tidak
16
diketahui. Hal ini mungkin karena kurang kerja sama lintas program terutama
PHN Perkesmas. Disamping itu juga adanya kendala dalam sarana dan biaya
transportasi yang terlalu rumit untuk penggantiannya, juga bedanya rencana
kerja yang terjadwal dari petugas.
Berdasarkan hasil yang dapat diketahui bahwa dalam penatalaksanaan
ISPA bukan pneumonia tidak diberikan Antibiotik tetapi obat kombinasi
tablet/pulvis sebanyak 26 kasus atau 7,10 % yakni antipiretik (Parasetamol),
ekspektoran (GG), antihistamin (CTM dan Dexa), dan vitamin (Vitamin
C/Vitamin B Complex). Hal ini disebabkan balita penderita ISPA
berdasarkan diagnosa dokter dan tanya jawab petugas kesehatan terhadap ibu
balita bahwa balita penderita ISPA bukan pneumonia adalah balita penderita
batuk pilek biasa dan demam sehingga pemberian obat-obatan tersebut untuk
menunjang pengobatan dan perlu di beritahukan jika batuk melebihi 3
minggu, segera dilakukan pemeriksaan lebih lanjut. Sedangkan pada
penatalaksanaan ISPA sedang/Pneumonia sedang sesuai MTBS di berikan
Antibiotik seperti Amoksisilin, Kotrimoksazol dan Antipiretik seperti
Parasetamol. Berdasarkan tabel 9, jenis antibiotik terbanyak yang diberikan
adalah antibiotik Amoksisilin tablet sebanyak 263 kasus atau 71,88 %. Pada
MTBS, Kotrimoksazol merupakan antibiotik pilihan pertama sedangkan
Amoksisilin pilihan kedua. Pelaksanaannya di Puskesmas Amoksisilin
menjadi pilihan pertama karena kurangnya persediaan Kotrimoksazol
menurut petugas kesehatan di Puskesmas. Parasetamol tidak di hitung karena
sudah termasuk dalam pemberian obat kombinasi (pulvis/tablet) maupun di
kombinasikan dengan antibiotik karena banyaknya balita yang demam.
Berdasarkan penatalaksanaan ISPA obat yang digunakan untuk terapi ISPA
adalah antibiotik seperti Amoxicilin dan Cotrimoksazol dan obat penurun
panas seperti Parasetamol sedangkan penambahan obat lain seperti ibuprofen,
menurut petugas kesehatan di Puskesmas adalah sebagai pengganti
Parasetamol jika tidak ada persediaan. Penambahan Efedrin sebagai obat
simptomatik (batuk dan pilek).
17
Berdasarkan hasil yang dapat di ketahui bahwa lama pengobatan
balita penderita ISPA minimal adalah 3 hari, kecuali diberikan dalam bentuk
pulvis dan dan sirup lama pengobatannya 3 dan 4 hari. Hal ini disesuaikan
dengan pemberian pulvis 10 hingga 12 bungkus selama 3 hari dan sirup
selama 4 hari. Bentuk sediaan yang paling banyak digunakan adalah tablet
amoksisilin dan pulvis ISPA (Parasetamol/ Ibuprofen, GG, CTM, Dexa,
Efedrin, Vitamin) sebanyak 263 pasien atau 71,88 % dengan lama
pengobatan 3-5 hari. Biasanya petugas menanyakan kepada orangtua balita
jika balita bisa menelan tablet di berikan dalam bentuk tablet dengan dibagi
menurut dosis sekali minum misalnya satu tablet di bagi menjadi setengah
atau seperempat tablet.
Perawat memberikan beberapa tindakan yang harus dilakuan orang
tua pada balita dengan ISPA sebagai berikut: sebanyak 4 orang tua (11,76%)
orang tua melakukan intervensi melakukan pencegahan orangtua balita tidak
menggunakan masker, masih banyak yang batuk bersin sembarangan,
sebanyak 21 (61,76) orang tua balita dengan ISPA Mengkonsumsi obat obat
yang di berikan oleh tenaga kesehatan di Puskesmas, sebanyak 34 (100%)
orang tua melakukan intervensi melakukan pencegahan orangtua balita
Mengkonsumsi obat obat yang di berikan oleh tenaga kesehatan di
Puskesmas, Memberi makanan tambahan jus buah, bubur nasi dan sebanyak
32 (94,11). orang tua balita dengan ISPA Memberi vitamin C dan Vitamin D
serta sebanyak 22 (64,7), Mengkonsumsi obat obat yang di berikan oleh
tenaga kesehatan di Puskesmas, Memberi makanan tambahan jus buah, bubur
nasi.
18
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
A. Saran
19
Daftar Pustaka
Bakhtiar. 2013. Aspek klinis dan tatalaksana gagal nafas akut pada anak.
JKS 2013;3;173-178.
20