Kel 3 Kep Hiv Aids Reg 1

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH HIV AIDS

INFEKSI OPURTINISTIK DAN KANKER

Dosen :

IDAWATI MANURUNG, S.Kp., M.Kes.

Disusun oleh :

Kelompok 3

1. NICA MAHARANI LIDIA PERMATA (1914301007)


2. EUNIKE OPRASETYA (1914301008)
3. DIAN AYU NINGSIH ISMI (1914301009)

KEMETERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN TANJUNG KARANG
PROGRAM STUDI SARJANA TERAPAN KEPERAWATAN
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah Keperawatan HIV AIDS tentang INFEKSI
OPURTINISTIK DAN KANKER dengan baik sesuai dengan apa yang diharapkan.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi siapa saja yang membutuhkan. Namun,
makalah ini masih jauh dari sempurna, segala kritik dan saran yang mendukung sangat kami
harapkan. Demikian makalah ini dibuat semoga bermanfaat dan memberikan insprasi kepada
pembaca.

Bandar Lampung, 12 Januari 2021

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................................................i
DAFTAR ISI.........................................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.....................................................................................................................1
1.1 Latar Belakang.............................................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah........................................................................................................................2
1.3 Tujuan..........................................................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN.......................................................................................................................3
2.1 Pengertian Infeksi Oportunistik...................................................................................................3
2.2 Epidemiologi Infeksi Oportunistik pada Penderita HIV..............................................................3
2.3 Patogenesis Infeksi Oportunistik pada Penderita HIV.................................................................4
2.4 Terapi Antiretroviral pada Penderita HIV dengan Infeksi Oportunistik.......................................6
2.4.1 Saat Pemberian Terapi Antiretroviral pada Infeksi Oportunistik..........................................7
2.4.2 Immune Reconstitution Inflammatory Syndrome.................................................................8
2.5 Pengertian Kanker.......................................................................................................................9
2.8 Pertumbuhan penyakit Kanker...................................................................................................11
2.9 Jenis-jenis Penyakit Kanker yang disebabkan oleh HIV AIDS..................................................12
BAB III PENUTUP............................................................................................................................18
3.1 Kesimpulan................................................................................................................................18
3.2 Saran..........................................................................................................................................18

ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penyebaran infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) semakin meningkat dan
menjadi masalah kesehatan di seluruh dunia. World Health Organization (WHO)
memperkirakan sebanyak 36,9 juta orang di dunia terinfeksi virus ini pada tahun 2014 dengan
2 juta infeksi baru setiap tahunnya.1 Data Kementerian Kesehatan Republik Indonesia
melaporkan jumlah kumulatif infeksi HIV di Indonesia dari tahun 1987 hingga September
2014 mencapai 150.296 kasus, dengan 22.869 kasus baru pada tahun 2014. Bali menempati
urutan kelima dengan 9.637 kasus kumulatif, yang sebagian terdata dari Rumah Sakit Umum
Pusat Sanglah sebanyak 2.965 kasus mulai tahun 2004 hingga 2014 dengan 304 kasus baru
pada tahun 2014.
Perjalanan alami infeksi HIV yang tidak diterapi menyebabkan penurunan imunitas
pejamu berkelanjutan hingga menimbulkan infeksi oportunistik (IO) yang menandakan
terjadinya acquired immunodeficiency syndrome (AIDS). Data Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia melaporkan jumlah kumulatif penderita AIDS di Indonesia dari tahun
1987 hingga September 2014 mencapai 55.799, atau sekitar 36,7% dari keseluruhan kasus
HIV. Infeksi oportunistik dideskripsikan sebagai infeksi yang mengalami peningkatan
frekuensi dan keparahan pada individu dengan HIV/AIDS. Infeksi ini disebabkan oleh
patogen yang tidak bersifat invasif pada orang sehat, namun dapat menyerang tubuh apabila
sistem imunitas menurun.
Infeksi oportunistik merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas pasien
dengan HIV/AIDS. Sistem imun yang sangat rendah dapat menyebabkan IO berakhir dengan
kematian kecuali mendapat terapi adekuat. Penatalaksanaan terhadap IO yang paling
bermakna adalah terapi antiretroviral (antiretroviral therapy/ART) di samping terapi
antimikrobial spesifik untuk IO. Angka kejadian IO menurun drastis sejak diperkenalkannya
ART pada tahun 1996 dan diimplementasikannya profilaksis IO pada pertengahan tahun
1990, sehingga meningkatkan harapan dan kualitas hidup penderita HIV. Pemberian ART di
sisi lain juga berpotensi menimbulkan immune reconstitution inflammatory syndrome (IRIS)
atau sindrom pulih imun yang berkaitan dengan beban penyakit yang lebih berat sehingga
perlu dipertimbangkan dalam menentukan dimulainya rejimen ART.
Berdasarkan data tersebut, mengetahui strategi dalam pencegahan dan
penatalaksanaan IO merupakan hal yang penting dalam menangani kasus HIV/AIDS.

1
Tinjauan pustaka ini akan membahas mengenai pathogenesis, pencegahan dan
penatalaksanaan IO yang sering dijumpai di negara berkembang, khususnya di Indonesia,
serta pertimbangan pemberian ART pada IO. Diharapkan tinjauan pustaka ini dapat
menambah wawasan serta mengoptimalkan penanganan pasien dengan HIV/AIDS.

1.2 Rumusan Masalah


1.2.1 Apa Pengertian Infeksi Oportunistik ?
1.2.2 Apa Epidemiologi Infeksi Oportunistik pada Penderita HIV ?
1.2.3 Apa Patogenesis Infeksi Oportunistik pada Penderita HIV ?
1.2.4 Apa Terapi Antiretroviral pada Penderita HIV dengan Infeksi Oportunistik ?
1.2.5 Apa Pengertian Kanker ?
1.2.6 Apa Pertumbuhan penyakit Kanker ?
1.2.7 Apa Jenis-jenis Penyakit Kanker yang disebabkan oleh penyakit AIDS ?

1.3 Tujuan
1.3.1 Untuk Mengetahui Pengertian Infeksi Oportunistik
1.3.2 Untuk Mengetahui Epidemiologi Infeksi Oportunistik pada Penderita HIV
1.3.3 Untuk Mengetahui Patogenesis Infeksi Oportunistik pada Penderita HIV
1.3.4 Untuk Mengetahui Terapi Antiretroviral pada Penderita HIV dengan Infeksi
Oportunistik
1.3.5 Untuk Mengetahui Pengertian Kanker
1.3.6 Untuk Mengetahui Pertumbuhan penyakit Kanker
1.3.7 Untuk Mengetahui Jenis-jenis Penyakit Kanker yang disebabkan oleh penyakit AIDS

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Infeksi Oportunistik

Infeksi oportunistik adalah infeksi oleh patogen yang biasanya tidak bersifat invasif
namun dapat menyerang tubuh saat kekebalan tubuh menurun, seperti pada orang yang

2
terinfeksi HIV/AIDS. Infeksi ini dapat ditimbulkan oleh patogen yang berasal dari luar tubuh
(seperti bakteri, jamur, virus atau protozoa), maupun oleh mikrobiota sudah ada dalam tubuh
manusia namun dalam keadaan normal terkendali oleh sistem imun (seperti flora normal
usus). Penurunan sistem imun berperan sebagai “oportuniti” atau kesempatan bagi patogen
tersebut untuk menimbulkan manifestasi penyakit.
Centers for Disease Control (CDC) mendefinisikan IO sebagai infeksi yang
didapatkan lebih sering atau lebih berat akibat keadaan imunosupresi pada penderita HIV.
Infeksi oportunistik yang digolongkan CDC sebagai penyakit terkait AIDS (AIDS-defining
illness) adalah kriptosporidiosis intestinal (diare kronis >1 bulan); Pneumonia Pneumocystis
carinii (PCP); strongiloidosis selain pada gastrointestinal (GI); toksoplasmosis dan CMV
selain pada hati, limfa dan kelenjar getah bening (KGB); kandidiasis esofagus, bronkus atau
paru; kriptokokosis sistem saraf pusat (SSP) atau diseminata; Mycobacterium avium dan M.
kansasii selain pada paru dan KGB; virus herpes simpleks mukokutaneus kronis, paru dan GI;
progressive multifocal leucoencephalopathy (PML); sarkoma Kaposi pada usia <60 tahun;
limfoma otak; histoplasmosis diseminata; isosporiasis intestinal; limfoma nonHodgkin;
pneumonitis interstitial limfoid dan bakteri piogenik multipel pada usia <13 tahun;
kokidiodomikosis; ensefalopati HIV; Mycobacterium tuberculosis; wasting syndrome;
bakteremia Salmonella; pneumonia bakteri rekuren; serta kanker serviks invasif.

2.2 Epidemiologi Infeksi Oportunistik pada Penderita HIV


Infeksi oportunistik merupakan alasan utama rawat inap dan penyebab kematian
pasien dengan HIV/AIDS sehingga harus selalu diperhatikan dalam evaluasi 5 pasien dengan
HIV/AIDS. Sejak ditemukannya kemoprofilaksis dan kombinasi ART yang efektif, angka
kematian akibat IO menurun drastis walaupun tetap masih menjadi penyebab utama
morbiditas dan mortalitas pada penderita HIV. The Joint United Nations Programme on
HIV/AIDS (UNAIDS) melaporkan sebanyak 1,2 juta kematian akibat penyakit terkait AIDS
sepanjang tahun 2014 dengan penyebab terbanyak (1 dari 5 kematian) diakibatkan oleh
tuberkulosis. Angka ini telah menurun sebesar 42% dibandingkan puncaknya pada tahun
2004.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia melaporkan jumlah kumulatif penderita
AIDS (infeksi HIV dengan IO) di Indonesia dari tahun 1987 hingga September 2014
mencapai 55.799, atau sekitar 36,7% dari keseluruhan kasus HIV. Case Fatality Rate AIDS di
Indonesia juga mengalami penurunan bertahap mulai 13,86% pada tahun 2004 hingga

3
mencapai 0,46% pada tahun 2014.
Jenis patogen penyebab IO bervariasi pada masing-masing wilayah. Infeksi yang
sering dijumpai di Amerika dan Eropa antara lain Pneumocystis jirovecii pneumonia (PCP),
meningitis Kriptokokal, Cytomegalovirus (CMV) dan Toksoplasmosis, sedangkan di negara
berkembang seperti Asia Tenggara, TB menjadi IO yang tersering. Beberapa penelitian di
India mendapatkan bahwa secara umum kandidiasis orofaringeal, TB dan diare oleh
kriptosporidia merupakan IO yang tersering. Hal yang serupa juga didapatkan di Indonesia.
Laporan Surveilans AIDS Departemen Kesehatan Republik Indonesia tahun 1987 sampai
dengan 2009 mendapatkan bahwa IO yang terbanyak adalah TB, diare kronis dan kandidiasis
orofaringeal. Data mengenai profil IO di Bali masih sedikit, terdapat satu penelitian di
Rumah Sakit Umum Daerah Wangaya Denpasar Bali pada tahun 2014 yang mendapatkan IO
tersering adalah TB, Toksoplasmosis, kandidiasis oral, IO multipel dan pneumonia.

2.3 Patogenesis Infeksi Oportunistik pada Penderita HIV

Target utama HIV adalah sel yang mengekspresikan molekul reseptor membran
CD4+ , terutama sel limfosit T. Infeksi HIV menimbulkan disfungsi imun melalui penurunan
sel T CD4+ (imunodefisiensi) dan aktivasi imun (imunosupresi) yang 6 meliputi respon imun
spesifik HIV dan aktivasi imun terhadap sel sekitar (bystander). Limfosit T CD4+ berperan
penting dalam pengaturan respon imun terhadap patogen dengan menjalankan berbagai
fungsi, antara lain aktivasi sel pada sistem imun bawaan (limfosit B, sel T sitotoksik dan sel
nonimun), serta berperan dalam supresi reaksi imun. Rendahnya jumlah limfosit T CD4+
akan menurunkan sistem imun melawan patogen sehingga penderita menjadi rentan terhadap
IO.
Sel T CD4+ naїve dapat berdiferensiasi menjadi T helper (Th)1, Th2, Th17, sel T
regulatori (Treg) dan Th folikuler (Thf) dengan profil sitokin dan fungsi yang berbeda-beda.1
Sel Th1 terlibat dalam eliminasi patogen intraseluler, autoimunitas spesifik organ, serta
menghasilkan sitokin interferon (IFN)-γ yang meningkatkan aktivitas fagositik makrofag dan
sel mikroglial. Sel Th2 berfungsi pada respon imun terhadap parasit ekstraseluler, seperti
cacing, serta berperan penting dalam menginduksi berbagai penyakit alergi. Sel Th17
merupakan mediator penting dalam pertahanan pejamu melawan patogen ekstraseluler seperti
bakteri dan jamur, serta mempertahankan integritas sawar epitel usus. Hilangnya sel ini akan
mengganggu integritas mukosa usus, meningkatkan permeabilitas terhadap produk mikroba

4
serta berperan dalam aktivasi imun kronis. Sel Treg berperan penting dalam mempertahankan
toleransi imunologis terhadap antigen dan menurunkan respon imun setelah patogen
tereliminasi. Treg dalam keadaan normal berperan dalam menekan respon imun sel T, namun
pada infeksi HIV terjadi perubahan distribusi diferensiasi sel T CD4+ berupa peningkatan
jumlah Treg serta penurunan diferensiasi sel T lainnya. Sel Thf berinteraksi dengan sel B
spesifik antigen pada jaringan limfoid sekunder dan meningkatkan afinitas antibodi, maturasi
serta diferensiasi sel B menjadi sel memori dan sel plasma. Infeksi HIV menyebabkan
ekspansi Thf dan meningkatkan antibodi autoreaktif sehingga menghasilkan kerusakan berat
termasuk hancurnya sel CD4.
Menurunnya jumlah limfosit T CD4+ tidak hanya terjadi akibat penghancuran
langsung oleh HIV, namun juga melibatkan hubungan yang lebih kompleks antara sistem
imun pejamu dan efek dari replikasi aktif HIV. Berkurangnya jumlah limfosit T CD4+
setelah infeksi HIV terjadi melalui beberapa mekanisme, yaitu 7 terganggunya produksi
limfosit T de novo oleh timus, efek bystander dari pembentukan sinsitium, perubahan
permeabilitas membran, disfungsi mitokondria, penghancuran oleh sel T sitotoksik spesifik
HIV atau melalui kadar respon imun yang berlebihan. Mekanisme utama berkurangnya sel T
CD4+ adalah akibat apoptosis, tidak hanya pada sel yang terinfeksi HIV namun juga pada sel
bystander melalui kematian sel yang diinduksi aktivasi dan pembentukan sinsitia. Sinsitia
terbentuk oleh fusi sel yang terinfeksi HIV dengan target yang tidak terinfeksi dan
selanjutnya akan mengalami apoptosis yang diperantarai p53. Destruksi jaringan sel retikuler
fibroblastik, deposisi kolagen dan berkurangnya interleukin 7 sebagai faktor pertahanan
hidup sel T selanjutnya juga berperan dalam berkurangnya limfosit T CD4 + naїve.
Virus mentargetkan populasi CD4+ yang telah terdiferensiasi terminal dan
membiarkan prekursor populasi CD4+ yang dapat memproduksi sel T baru secara kontinu
sehingga virus selalu memiliki cadangan target baru untuk melangsungkan replikasinya.
Kerusakan CD4+ terdiferensiasi dengan segera diikuti oleh peningkatan proliferasi CD4+
baru yang secara parsial dapat menggantikan CD4+ yang mati, namun proses regenerasi ini
tidak stabil dan makin berkurang seiring waktu hingga akhirnya tidak mampu mengimbangi
hilangnya CD4+ dan timbullah manifestasi imunodefisiensi.
Jumlah limfosit T CD4+ pada orang normal adalah 500-1600 sel/µL darah. Jumlah ini
secara bertahap akan berkurang seiring dengan perkembangan infeksi HIV dan menyebabkan
penderita menjadi rentan terhadap IO. Jumlah limfosit T CD4+ merupakan indikator terbaik
dalam menentukan kerentanan terhadap IO sehingga menjadi panduan dalam pemberian
kemoprofilaksis. Penderita dengan jumlah limfosit T CD4+ yang telah mencapai 200 sel/µL

5
hampir seluruhnya telah terinfeksi IO dan bermanifestasi sebagai AIDS. Periode rata-rata
mulai dari infeksi HIV hingga mencapai AIDS adalah 8-10 tahun dengan penurunan limfosit
T CD4+ sekitar 50-100 sel/µL pertahunnya. Jumlah limfosit T CD4+ yang telah turun di
bawah 50 sel/µL merupakan kondisi yang mengancam jiwa dan pasien umumnya akan
mengalami kematian.

2.4 Terapi Antiretroviral pada Penderita HIV dengan Infeksi Oportunistik

Sebelum ditemukannya kombinasi ART yang efektif, IO merupakan penyebab utama


morbiditas dan mortalitas pada penderita HIV yang mengakibatkan hingga 2 juta kematian
setiap tahunnya. Diperkenalkannya ART kombinasi yang efektif pada tahun 1996 mendorong
revolusi dalam pengobatan orang dengan HIV dan AIDS (ODHA) di seluruh dunia. Angka
harapan hidup 5 tahun meningkat mulai dari 7% pada masa pre-ART, menjadi 18% pada
masa ART awal, hingga mencapai 65% pada masa ART kombinasi yang efektif. Terapi
antiretroviral belum mampu menyembuhkan HIV secara menyeluruh, namun secara dramatis
dapat menurunkan angka kematian dan kesakitan, meningkatkan kualitas hidup ODHA serta
meningkatkan harapan masyarakat, sehingga pada saat ini HIV dan AIDS telah diterima
sebagai penyakit yang dapat dikendalikan dan tidak lagi dianggap sebagai penyakit yang
menakutkan.
Data berbagai penelitian mendapatkan bahwa ART menurunkan insiden IO secara
drastis, membantu resolusi dan perbaikan IO, termasuk IO yang profilaksis dan terapi
spesifiknya belum tersedia. Terapi antiretroviral tidak dapat menggantikan kebutuhan
terhadap profilaksis antimikrobial pada pasien dengan imunosupresi yang berat, namun telah
menjadi landasan strategi untuk menurunkan berbagai infeksi dan proses terkait HIV.
Hubungan antara IO dan HIV bersifat dua arah atau timbal balik. Infeksi HIV
menyebabkan imunosupresi yang memberikan kesempatan bagi patogen oportunistik untuk
menyebabkan penyakit, sebaliknya IO juga dapat mengubah perjalanan alami HIV melalui
peningkatan viral load sehingga mempercepat perkembangan serta meningkatkan transmisi
HIV. Pemberian ART dapat menurunkan risiko IO, dan sebaliknya pemberian
kemoprofilaksis dan vaksinasi spesifik IO dapat membantu menurunkan kecepatan
perkembangan HIV dan meningkatkan angka harapan hidup.

6
2.4.1 Saat Pemberian Terapi Antiretroviral pada Infeksi Oportunistik

Belum ada panduan spesifik mengenai pemberian ART pada IO karena keterbatasan
data. Terdapat 2 keadaan utama yang perlu diperhatikan yaitu 9 inisiasi ART pada keadaan
IO akut dan pemberian ART saat timbul IO pada pasien yang sedang mendapat ART.
Penatalaksanaan pada setiap keadaan bervariasi tergantung dari derajat perkembangan
virologis dan imunologis sebelum pemberian ART dan keuntungan yang didapat dari
pemberian ART, durasi infeksi HIV sebelum dan sejak inisiasi ART serta interaksi obat yang
berpotensi terjadi antara rejimen ART dan terapi IO.
Kelebihan inisiasi ART pada keadaan IO akut meliputi perbaikan fungsi imun yang
dapat mempercepat kesembuhan IO, terutama bila terapi yang efektif untuk IO tersebut masih
terbatas atau belum tersedia. Kelebihan lainnya adalah mengurangi risiko terjadinya IO
berikutnya. Pendapat yang menentang inisiasi ART segera begitu terdiagnosis IO meliputi
jumlah dan toksisitas obat yang bertambah, sulitnya membedakan toksisitas disebabkan oleh
ART atau akibat terapi IO, interaksi obat yang dapat terjadi serta kemungkinan terjadi IRIS. 1
Terapi antiretroviral harus dimulai sesegera mungkin pada kasus IO kriptosporidiosis,
mikrosporidiosis, CMV, PML dan sarkoma Kaposi; sedangkan kasus TB, kompleks
Mycobacterium avium, PCP dan meningitis kriptokokal harus menunggu respon terapi IO
setidaknya 2 minggu sebelum inisiasi ART.
Belum ada data penelitian yang menyatakan bahwa inisiasi ART akan dapat
meningkatkan hasil akhir pada pasien yang telah diterapi spesifik untuk IO, sebaliknya ART
yang dimulai pada keadaan IO akut juga tidak didapatkan memperburuk prognosis IO
tersebut. Timbulnya IO dalam waktu 12 minggu setelah inisiasi ART, harus segera mendapat
terapi untuk IO dengan tetap melanjutkan ART dan mempertimbangkan modifikasi rejimen
ART apabila respon kenaikan jumlah sel T CD4+ tidak optimal.
Inisiasi ART bagaimanapun wajib diberikan pada infeksi HIV stadium klinis 3 dan 4
atau tanpa memandang stadium klinis jika jumlah CD4 ≤ 350 sel/mm3 . Inisiasi ART
dilakukan tanpa melihat stadium klinis WHO dan jumlah CD4 pada koinfeksi TB, koinfeksi
Hepatitis B, ibu hamil dan menyusui yang terinfeksi HIV, orang terinfeksi HIV yang
pasangannya HIV negatif, kelompok populasi kunci (laki-laki yang berhubungan seksual
dengan laki-laki (LSL), pekerja seks, 10 pengguna narkoba suntik (penasun) dan waria), serta
penderita HIV pada populasi umum yang tinggal di daerah epidemi HIV meluas.

7
2.4.2 Immune Reconstitution Inflammatory Syndrome

Immune reconstitution inflammatory syndrome yang disebut juga immune


reconstitution disease atau sindrom pulih imun adalah perburukan kondisi klinis sebagai
akibat respons inflamasi berlebihan pada saat pemulihan respons imun setelah pemberian
ART. Sindrom ini dapat memberikan gambaran klinis berupa penyakit infeksi maupun
noninfeksi. Manifestasi tersering adalah inflamasi dari penyakit infeksi berupa timbulnya
gejala klinis atau perburukan infeksi yang telah ada.
Insidens IRIS berbeda pada tiap wilayah, tergantung pada rendahnya derajat sistem
imun, prevalensi IO serta koinfeksi dengan patogen lain. Insiden pada suatu tinjauan pustaka
didapatkan sebesar 16,1% dengan morbiditas yang tinggi namun mortalitas yang rendah
(4,5%). Mekanisme IRIS belum diketahui dengan jelas, diperkirakan terjadi sebagai respon
imunopatologis berlebihan dari cepatnya pemulihan sistem imun spesifik patogen terhadap
rangsangan antigen yang sudah ada disertai disregulasi imun yang terjadi beberapa saat
setelah inisiasi ART.
Dikenal dua jenis IRIS yang sering tumpang tindih, yaitu IRIS unmasking dan IRIS
paradoksikal. Jenis unmasking menampakkan manifestasi klinis IO yang sebelumnya
asimtomatis, namun kemudian menjadi jelas setelah inisiasi ART. Jenis ini terjadi pada
pasien yang tidak terdiagnosis dan tidak mendapat terapi untuk IO yang langsung
mendapatkan terapi ART. Jenis paradoksikal menunjukkan perburukan klinis dari IO pada
pasien yang telah mendapatkan pengobatan untuk IO, yang kemudian mendapatkan ART.
Manifestasi klinis yang muncul sangat bervariasi dan tergantung dari antigen yang
terlibat, sehingga diagnosis menjadi tidak mudah. Organisme yang paling sering
menyebabkan IRIS adalah M. tuberculosis, M. avium, Cryptococcus neoformans dan
Cytomegalovirus. Manifestasi klinis IRIS yang utama adalah demam disertai munculnya
kembali gejala penyakit infeksi yang pernah ada sebelumnya dan telah teratasi infeksinya
(penyebab terbanyak TB), 11 munculnya infeksi yang sebelumnya asimtomatik (seperti M.
avium) serta penyakit autoimun dan inflamasi seperti sarkoidosis.
International Network Study of HIV-associated IRIS (INSHI) membuat konsensus
untuk kriteria diagnosis IRIS sebagai berikut:
1. Menunjukkan respons terhadap ART dengan
a. telah mendapat ART
b. penurunan viral load > 1 log kopi/mL (jika pemeriksaan tersedia)
2. Perburukan gejala klinis infeksi atau timbul reaksi inflamasi yang terkait dengan inisiasi

8
ART
3. Gejala klinis tersebut bukan disebabkan oleh:
a. Infeksi yang diketahui sebelumnya yang telah berhasil disembuhkan
b. Efek samping obat atau toksisitas
c. Kegagalan terapi
d. Ketidakpatuhan menggunakan ART
Beberapa faktor risiko terjadinya IRIS adalah jumlah CD4+ yang rendah saat inisiasi
ART, jumlah virus RNA HIV yang tinggi saat inisiasi ART, banyak dan beratnya IO,
penurunan jumlah virus RNA HIV yang cepat selama ART, belum pernah mendapat ART
saat diagnosis IO serta pendeknya jarak waktu antara memulai terapi IO dan memulai ART.
Enam bulan sejak memulai ART merupakan masa yang kritis yang penting dengan mayoritas
kasus terjadi dalam beberapa minggu pertama sehingga perlu dilakukan pemantauan dengan
baik. Strategi pencegahan IRIS meliputi inisiasi ART pada jumlah CD4+ yang tinggi,
menunda inisiasi ART pada pasien dengan IO terutama yang melibatkan SSP serta menapis
dan mencegah IO sebelum inisiasi ART.
Tatalaksana IRIS meliputi pengobatan patogen penyebab untuk menurunkan jumlah
antigen, tetap meneruskan ART, serta pemberian antiinflamasi. Pemberian kortikosteroid
dapat dipertimbangkan pada kasus yang berat dengan dosis 0,5mg/kgBB prednison yang
diberikan selama 21 hari. Inflamasi mungkin berlangsung selama beberapa minggu hingga
bulan sebelum mereda

2.5 Pengertian Kanker

Kanker adalah penyakit yang disebabkan oleh pertumbuhan sel abnormal yang tidak
terkendali di dalam tubuh. Pertumbuhan sel abnormal ini dapat merusak sel normal di
sekitarnya dan di bagian tubuh yang lain.

Kanker merupakan penyebab kematian kedua terbanyak di seluruh dunia. Kanker sering
menyebabkan kematian karena umumnya penyakit ini tidak menimbulkan gejala pada awal
perkembangannya, sehingga baru terdeteksi dan diobati setelah mencapai stadium lanjut.

Penyakit kanker menurut Sunaryati merupakan penyakit yang ditandai pembelahan sel tidak
terkendali dan kemampuan sel-sel tersebut menyerang jaringan biologis lainnya, baik dengan

9
pertumbuhan langsung di jaringan yang bersebelahan (invasi) atau dengan migrasi sel ke
tempat yang jauh (metastasis) (Sunaryati, 2011: 12).

Penyakit kanker adalah suatu kondisi sel telah kehilangan pengendalian dan mekanisme
normalnya, sehingga mengalami pertumbuhan yang tidak normal, cepat dan tidak terkendali
(Diananda, 2009: 3). Penyakit kanker adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh
pertumbuhan sel-sel jaringan tubuh yang tidak normal, berkembang cepat dan terus
membelah diri, hingga menjadi penyakit berat (Maharani, 2009: 12). Menurut penulis
penyakit kanker merupakan penyakit berat dan bersifat kronis, yang ditandai pertumbuhan sel
tubuh tidak normal, berkembang cepat, menyebar, dan menekan organ atau saraf sekitar.

2.6 Pengertian HIV AIDS

a. pengertian HIV
HIV adalah virus yang dapat menyebabkan kerusakan sistem kekebalan saat masuk ke
tubuh. Istilah HIV sendiri adalah singkatan dari human immunodeficiency virus. Dari
namanya berarti virus ini hanya dapat tertular pada manusia dan menyerang sistem imunitas.
Saat infeksinya menyebar, sistem imun di dalam tubuh tidak dapat bekerja dengan efektif
seperti sebelumnya.
Sistem kekebalan setiap orang dapat sepenuhnya membersihkan banyak virus dari
dalam tubuh, tetapi berbeda kasus dengan HIV. Meski begitu, beberapa pengobatan dapat
mengendalikan virus tersebut dengan efektif sehingga siklus hidupnya berhenti. Salah satu
pengobatan yang dapat dilakukan adalah antiretroviral yang dilakukan secara teratur dan
pengharapan untuk hidup mendekati normal.

b. pengertian AIDS
Meskipun HIV adalah virus yang dapat menyebabkan infeksi, tetapi AIDS adalah
kondisi yang dapat terjadi akibat infeksi virus tersebut. AIDS sendiri adalah singkatan
dari acquired immunodeficiency syndrome. Seseorang yang tertular HIV dan terus dibiarkan
tanpa mendapatkan pengobatan segera dapat berkembang, sehingga memasuki kondisi AIDS.
Maka dari itu, diagnosis dini sangat penting untuk dilakukan.
AIDS dapat berkembang ketika virus tersebut telah menyebabkan kerusakan yang
serius pada sistem kekebalan. Hal ini adalah kondisi kompleks dengan gejala yang berbeda-
beda pada setiap orang. Seseorang dapat mengidap HIV tanpa mengembangkan AIDS, tetapi

10
tidak mungkin mengalami AIDS tanpa terkena HIV lebih dulu. Cara pencegahan agar AIDS
tidak terjadi adalah rutinitas melakukan terapi antiretroviral.

2.7 Cara Penularan dan Gejala dari HIV dan AIDS


HIV adalah sebuah virus sama seperti jenis lainnya yang dapat ditularkan dari seseorang
yang sudah terserang. Virus ini dapat ditularkan dari satu orang ke orang lain melalui
pertukaran cairan tubuh, seperti hubungan seks tanpa kondom atau berbagi jarum suntik.
Selain itu, seorang ibu juga dapat menularkan virus tersebut pada anaknya selama kehamilan
berlangsung.
Selain itu, HIV juga tidak selalu menimbulkan gejala tertentu saat terjadi, sehingga
sulit untuk mendiagnosisnya. Virus ini dapat menyebabkan gejala mirip flu sekitar dua,
hingga empat minggu setelah penularan terjadi. Jangka waktu singkat ini disebut juga dengan
infeksi akut. Setelah itu, sistem kekebalan akan mengendalikan infeksi yang mengarah pada
keadaan yang dapat membahayakan.
Sistem kekebalan tidak dapat sepenuhnya menghilangkan HIV, tetapi dapat
mengendalikannya untuk waktu yang lama. Selama periode yang dapat terjadi bertahun-tahun
tersebut, pengidapnya mungkin saja tidak mengalami gejala sama sekali. Namun, tanpa
mendapatkan terapi antiretroviral, seseorang yang memiliki HIV dapat berkembang menjadi
AIDS dan banyak dampak buruk yang dapat terjadi.

2.8 Pertumbuhan penyakit Kanker

Pertumbuhan sel kanker tidak terkendali disebabkan kerusakan deoxyribose nucleic acid
(DNA), sehingga menyebabkan mutasi gen vital yang mengontrol pembelahan sel. Beberapa
mutasi dapat mengubah sel normal menjadi sel kanker. Mutasi-mutasi tersebut diakibatkan
agen kimia maupun fisik yang edisebut karsinogen. Mutasi dapat terjadi secara spontan
maupun diwariskan (Sunaryati, 2011: 12).Sel-sel kanker membentuk suatu masa dari jaringan
ganas yang kemudian menyusup ke jaringan di dekatnya dan menyebar ke seluruh tubuh. Sel-
sel kanker sebenarnya dibentuk dari sel normal melalui proses transformasi terdiri dari dua
tahap yaitu tahap iniasi dan promosi. Tahap inisiasi, pada tahap ini perubahan bahan genetis
sel yang memancing sel menjadi ganas. Perubahan sel genetis disebabkan unsur pemicu
kanker yang terkandung dalam bahan kimia, virus, radiasi, atau sinar matahari (Sunaryati,

11
2011: 13).Pada tahap promosi, sel menjadi ganas disebabkan gabungan antara sel yang peka
dengan karsinogen. Kondisi ini menyebabkan sistem kekebalan tubuh berusaha merusak
sebelum sel berlipat ganda dan berkembang menjadi kanker. Sistem kekebalan tubuh yang
tidak berfungsi normal menjadikan tubuh rentan terhadap kannker (Sunaryati, 2011:14).

2.9 Jenis-jenis Penyakit Kanker yang disebabkan oleh HIV AIDS

a. Limfoma non-Hodgkin
Limfoma non-hodgkin (LNH) merupakan kanker yang berkembang dalam sistem
limfatik. Dalam sistem limfatik sendiri terdapat cairan bening atau ciran limfe. Cairan ini
mengandung limfosit (salah satu jenis sel darah putih) yang berperan melindungi tubuh untuk
melawan infeksi.
Kanker ini masuk ke dalam kelompok keganasan primer limfosit. LNH tepatnya berasal
dari limfosit B, limfosit T, dan terkadang berasal dari sel natural killer (NK) yang berada
dalam sistem limfatik.
Limfoma non-hodgkin ini bisa bisa muncul di bagian manapun, bahkan bisa menyebar ke
organ dalam tubuh. LNH ini sendiri terdiri dari berbagai jenis, tetapi limfoma sel B
merupakan sebaran yang paling umum.

Faktor resiko Limfoma yang disebabkan oleh HIV


1. Infeksi virus HIV
2. Sistem imun yang lemah
3. Penyakit autoimun. Penyakit yang menyerang sistem kekebalan tubuh seperti HIV
atau Aids

Limfoma non-Hodgkin (non-Hodgkin lymphoma/NHL) dapat terjadi pada bagian tubuh


tertentu dan menyebabkan berbagai gejala. Dalam sebagian besar kasus limfoma akibat HIV,
kanker akan menjangkiti sistem saraf pusat utama, terutama cairan tulang belakang dan otak.
Namun, beberapa kasus NHL juga dapat memengaruhi paru-paru atau perut, sehingga
menyebabkan penimbunan cairan abnormal di organ tersebut. NHL dapat terdeteksi saat
pasien mengalami gejala berikut:
1. Nodus limfa yang bengkak namun tidak sakit di leher, ketiak, atau selangkangan
2. Pembengkakan perut
3. Nyeri perut

12
4. Nyeri dada
5. Batuk
6. Kesulitan bernapas
7. Demam
8. Menggigil
9. Kelelahan
10. Penurunan berat badan yang tidak diketahui penyebabnya

Pengobatan limfoma non-hodgkin


1. Tahap awal: Bila LNH masih di tahap awal, biasanya pengobatannya akan dimulai
dengan kemoterapi oral obat tunggal/kombinasi dan radioterapi paliatif.
2. Tahap lanjut:
 Stadium I-IIA: Radioterapi atau kemoterapi parenteral kombinasi.
 Stadium IIB-IV: Di stadiun ini akan melibatkan kemoterapi parenteral kombinasi dan
radioterapi paliatif.
 Stadium akhir: Di tahap ini, dokter mungkin akan menggunakan kemoterapi
parenteral kombinasi, dan perawatan paliatif.

A. Kanker Serviks
Jenis kanker ini terjadi di serviks, yaitu organ wanita yang terletak di bagian bawah
rahim. Serviks, yang menghubungkan rahim ke vagina, merupakan saluran kelahiran yang
dilewati janin saat persalinan. Kanker serviks dikaitkan dengan infeksi HPV atau human
papillomavirus, yang dapat menyebabkan tumbuhnya sel pra-kanker.
Dalam studi yang dipublikasikan dalam Clinical Infectious Diseases mengungkapkan
bahwa imunodefisiensi terkait infeksi HIV diyakini berdampak buruk pada kesehatan
perempuan yang memiliki HPV.
Perempuan dengan HIV yang dianggap berisiko lebih tinggi terinfeksi HPV. Selain itu
mereka juga berpotensi terkena neoplasia intraepitel serviks atau displasia (prekursor kanker
serviks).
Namun mengutip Cervical Cancer News, para peneliti belum bisa memastikan HPV
dari strain mana yang menyebabkan risiko lebih tinggi. Sampai saat ini juga belum ada

13
rekomendasi pengobatan khusus untuk perempuan HIV yang juga memiliki genotipe HPV
tertentu.
Peneliti juga melakukan serangkaian studi yang mengalisis 19.883 perempuan HIV
positif terkait penyebaran jenis HPV. Tujuannya untuk mengetahui hubungan genotipe HPV
dengan perempuan positif HIV yang terinfeksi HPV.
Hasilnya, HPV strain 16, 18, dan 45 adalah strain paling berbahaya untuk perempuan
HIV. Artinya, perempuan HIV positif yang juga terinfeksi HPV strain ini memiliki risiko
lebih tinggi terkena kanker serviks.
Terkait hal tersebut, WHO merekomendasikan langkah pengobatan pada perempuan
terinfeksi dua virus tersebut tanpa memperhatikan status HIVnya.

Sementara itu, kanker serviks ditandai oleh gejala berikut:


 Mual
 Muntah
 Nyeri perut
 Penyumbatan perut
 Pendarahan dalam
 Pembengkakan wajah yang parah
 Radang berat pada lengan, kaki, atau skrotum
 Sesak napas
 Batuk parah
 Kesulitan menelan

B. Sarkoma Kaposi Epidemik (terkait AIDS)


jenis kanker kulit yang disebabkan oleh herpesvirus 8 atau HHV-8. Kanker ini paling
banyak diderita oleh pria keturunan Afrika, Yahudi, atau Mediterania, serta pria
homokseksual yang terinfeksi HIV atau AIDS. Orang yang telah menjalani transplantasi
organ juga lebih berisiko terkena penyakit ini.

Seseorang yang terinfeksi virus HIV yang menyerang sel Limfosit T-Helper, merupakan
sistem kekebalan tubuh, sehingga imunitasnya turun sehingga terjadi berbagai penyakit

14
(AIDS).  Orang dengan HIV-AIDS memiliki risiko tertinggi sarkoma Kaposi.
Ketidakmampuan sistem kekebalan tubuh untuk melindungi tubuh dari infeksi
memungkinkan virus herpes terkait Sarkoma Kaposi bereplikasi. Melalui mekanisme yang
tidak diketahui, lesi karakteristik terbentuk.

Gejala Sarkoma Kaposi


Lesi kulit pada Sarkoma Kaposi ditandai dengan:
 Lesi kulit dapat terjadi di lokasi manapun tetapi biasanya lebih sering pada kaki,
daerah kepala dan leher
 Lesi dapat datar (makula), benjolan kurang dari 1 cm (papular) atau benjolan yang
lebih besar (nodular) atau mirip seperti plak
 Ukuran diameter lesi mulai dari beberapa milimeter hingga beberapa sentimeter
 Warna lesi dapat cokelat, merah muda, merah, atau ungu. Pada orang dengan kulit
gelap, lesi biasanya tersamar atau sulit dibedakan.
 Lesi kulit tidak terasa sakit atau nyeri
Sarkoma Kaposi yang berkembang pada sistem pencernaan sering tidak menimbulkan gejala,
tetapi tanda dan gejala dapat berupa:

 Nyeri menelan hingga kesulitan menelan


 Mual, muntah, dan nyeri perut
 Muntah darah, BAB berdarah, ataupun BAB hitam
 Sumbatan usus

Sarkoma Kaposi pada organ paru dapat ditemukan melalui pemeriksaan rontgen secara tidak
sengaja dan tanpa gejala, tetapi tanda dan gejala dapat meliputi:

 Batuk
 Sesak nafas
 Batuk darah
 Nyeri dada
 
a. Penyebab Sarkoma Kaposi

15
Sarkoma Kaposi disebabkan oleh infeksi virus yang disebut herpes virus terkait
sarkoma Kaposi (Kaposi Sarcoma associated Herpes Virus—KSHV), juga dikenal sebagai
human herpesvirus 8 (HHV8). Virus ini dapat ditularkan melalui hubungan intim atau dapat
terjadi dari ibu ke bayi melalui plasenta, karena virus ini dapat ditemukan di darah, air liur
atau saliva, cairan vagina,  dan cairan semen. Seseorang setelah terinfeksi virus ini tidak
menimbulkan gejala apapun dan replikasi dari virus ini dapat ditekan dengan sistem
kekebalan tubuh yang normal.

Jika kekebalan tubuh melemah atau turun, virus ini dapat bereplikasi dan menginfeksi
sel-sel yang melapisi pembuluh darah dan pembuluh limfa (sel endotel), kemudian virus
membawa gen ke dalam sel endotel tersebut menyebabkan sel membelah terlalu banyak,
tidak terkendali, dan sel dapat bertahan hidup lebih lama dari normalnya. Gen yang sama ini
dapat menyebabkan sel endotel membentuk pembuluh darah baru dan juga dapat
meningkatkan produksi bahan kimia tertentu yang menyebabkan peradangan. Perubahan ini
pada akhirnya membentuk lesi kanker.

b. Faktor Risiko Sarkoma Kaposi


Faktor risiko terinfeksi virus KSHV adalah melakukan hubungan intim tidak aman,
termasuk homoseksual yang melakukan hubungan intim melalui anus.

Infeksi KSHV dapat menyebabkan Sarkoma Kaposi, tetapi tidak semua orang yang
terinfeksi dengan KSHV berkembang menjadi Sarkoma Kaposi. Kebanyakan orang yang
terinfeksi virus KSHV yang berkembang menjadi lesi Sarkoma Kaposi memiliki sistem
kekebalan yang lemah. Beberapa faktor yang dapat melemahkan sistem tubuh, meliputi:

 Infeksi HIV 
 Transplantasi organ 
 Usia tua
 Penyakit kronis

c. Pengobatan Sarkoma Kaposi


Kanker ini tidak dapat disembuhkan, tetapi perkembanganya dapat diperlambat dengan
meningkatkan sistem kekebalan tubuh.

16
Sarkoma Kaposi terkait AIDS lebih serius daripada tipe klasik atau yang berhubungan
dengan transplantasi. Untuk sarkoma Kaposi terkait AIDS, langkah pertama dalam
pengobatan adalah memulai kombinasi obat antivirus yang dapat mengurangi jumlah virus
HIV dan meningkatkan jumlah sel Limfosit T-Helper sehingga replikasi dari virus KSHV
dapat ditekan. Dengan begitu lesi Sarkoma Kaposi dapat berkurang atau hilang.

Pengobatan lainnya untuk Sarkoma Kaposi dapat berupa:

 Operasi bedah kecil (eksisi), yaitu mengambil lesi kulit dan sedikit jaringan sehat
disekitarnya.
 Cryotherapy, yaitu dengan mematikan sel-sel kanker dengan cara membekukan sel-sel
kanker pada kulit dan jaringan sekitarnya.
 Terapi radiasi, digunakan untuk lesi kulit yang luas atau lesi mulut yang kecil dan
lokasi terjangkau oleh sinar radiasi.
 Kemoterapi. Pemberian obat-obatan kemoterapi dapat membuat perkembangan sel-sel
kanker terhenti. Pada Sarkoma kaposi organ dalam, atau terdapat lebih dari 25 lesi kulit, obat
kemoterapi dapat diberikan melalui infusan. Suntikan obat kemoterapi, misalnya vinblastine,
langsung pada lesi kulit juga dapat dilakukan.

Lesi yang telah sembuh dapat kambuh kembali dalam beberapa tahun dan pengobatan dapat
diulang kembali.

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Infeksi oportunistik adalah infeksi oleh patogen yang biasanya tidak bersifat invasif

17
namun dapat menyerang tubuh saat kekebalan tubuh menurun, seperti pada orang yang
terinfeksi HIV/AIDS. Infeksi ini dapat ditimbulkan oleh patogen yang berasal dari luar tubuh
(seperti bakteri, jamur, virus atau protozoa), maupun oleh mikrobiota sudah ada dalam tubuh
manusia namun dalam keadaan normal terkendali oleh sistem imun (seperti flora normal
usus). Penurunan sistem imun berperan sebagai “oportuniti” atau kesempatan bagi patogen
tersebut untuk menimbulkan manifestasi penyakit.

Penyakit kanker adalah suatu kondisi sel telah kehilangan pengendalian dan mekanisme
normalnya, sehingga mengalami pertumbuhan yang tidak normal, cepat dan tidak terkendali
(Diananda, 2009: 3). Penyakit kanker adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh
pertumbuhan sel-sel jaringan tubuh yang tidak normal, berkembang cepat dan terus
membelah diri, hingga menjadi penyakit berat (Maharani, 2009: 12). Menurut penulis
penyakit kanker merupakan penyakit berat dan bersifat kronis, yang ditandai pertumbuhan sel
tubuh tidak normal, berkembang cepat, menyebar, dan menekan organ atau saraf sekitar.

3.2 Saran

Pembuatan makalah ini sangat jauh dari kesempurnaan, karena keterbatasan sumber yang
kami proleh sehingga ini dari makalah ini masih bersifat umum, oleh karena itu kami
harapkan agar pembaca bisa mencari sumber yang lain guna membandingkan dengan
pembahasan yang kami buat, guna mengoreksi bila ada kesalahan dalam pembuatan makalah
ini

DAFTAR PUSTAKA

1. The Joint United Nations Programme on HIV/AIDS. Global AIDS statistic 2014.

18
World Health Organization; 2015. p. 1-8.
2. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia. Situasi dan analisis HIV/AIDS. Pusat Data dan
Informasi Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; 2014. p. 1-8.
3. Anonim. Register pasien poli Voluntary Counselling and Testing Rumah Sakit Umum
Pusat Sanglah Denpasar tahun 2004-2014. Tidak dipublikasikan.
4. Kaplan, J.E., Masur H. Preventing opportunistic infections among HIVinfected
persons. In: Holmes, K.K., Sparling, P.F., Stamm, W.E., Piot, P., Wasserheit, J.N.,
Corey, L., Cohen, M.S., Watts, D.H., eds. Sexually Transmitted Diseases. 4th ed.
New York: McGraw-Hill; 2008. p. 1423- 41.
5. http://erepo.unud.ac.id/id/eprint/10819/1/50dfe6557b9dd498968e02634cbaf235.pdf
6. https://www.halodoc.com/artikel/jangan-keliru-ketahui-perbedaan-hiv-dan-aids
7. https://www.halodoc.com/kesehatan/limfoma-non-hodgkin
8. https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20170420094154-255-208853/wanita-hiv-
positif-lebih-rentan-terkena-kanker-serviks
9. https://www.halodoc.com/kesehatan/sarkoma-kaposi

19

Anda mungkin juga menyukai