Oleh:
Kelompok 3
Norhidayah 20.11.1120
i
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim.
Assalamu’alaikum wr.wb
Syukur alhamdulilah, pertama-tama marilah kita panjatkan puji syukur
kepada Allah Swt. yang telah memberikan nikmat kesehatan sehingga kita mampu
menjalankan segala perintahnya dan menjauhi segala
larangannya, alhamdulillah.Kedua kalinya shalawat dan salam tak lupa kita
haturkan kepada junjungan alam nabi besar Muhammad saw. yang telah
merombak umat manusia dari masa kebodohan menuju masa yang berpikir sesuai
dengan anjuran Al-Qur’an dan Hadist. Karena berkat anugerah serta kasih sayang
beliau jualah sehingga kami dapat menyelesaikan makalah Ulumul Qur’an ini.
Yang kami beri judul “NASIKH DAN MANSUKH DALAM AL-QUR’AN” ini.
Adapun tentang ini insya allah telah kami usahakan semaksimal mungkin
dan tentunya dengan bantuan para dosen yang telah mengajarkan dan
membimbing kami, sehingga dapat memperlancar proses pembuatan ini. Oleh
sebab itu, kami juga ingin menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada semua pihak yang telah membantu kami dalam pembuatan ini khususnya
dosen pengampu kami pada mata kuliah Ulumul Qur’an yaitu (H. Muhammad,
Lc.,M.H.I) Terlepas dari semua itu, kami berharap semoga ini dapat menambah
pengetahuan para pembaca, untuk kedepan dapat memperbaiki atau menambah isi
agar menjadi lebih baik lagi.
Akhirnya tiada satu kata yang kami dapat berikan sebagai imbalan selain
mengucapkan terima kasih dan kami berharap semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi para pembaca. Dengan segala kesederhanaan tulisan ini, kami
tetap mengharapkan saran dan kritik demi penyempurnaan makalah ini.
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
1
tanpa menyatakan adanya ayat-ayat yang telah dibatalkan, dihapus, atau
tidak berlaku lagi dan ada pula yang menyatakan bahwa di antara ayat-ayat
yang turun kemudian telah membatalkan kandungan ayat sebelumnya, akibat
perubahan kondisi sosial.
Olek karena itu, apapun cara rekonsilasi tersebut, pada akhirnya mereka
sependapat bahwa tidak ada kontradikasi dalam ayat-ayat al-Qur’an. Karena
disepakati syarat-syarat kontradikasi, antara lain adalah persamaan subjek,
objek, waktu, syarat, dan lain-lain.
2. Rumusan Masalah
6. Apa pengertian Nasikh dan Mansukh?
7. Apakah rukun dan syarat naskh?
8. Apa saja jenis–jenis naskh?
9. Bagaimana kedudukan dan hikmah keberadaan naskh?
10. Bagaimana cara mengetahui naskh dan Mansukh?
3. Tujuan
a. Untuk mengetahui Apa pengertian Nasikh dan Mansukh.
b. Untuk mengetahui Apakah rukun dan syarat naskh.
c. Untuk mengetahui Apa saja jenis–jenis naskh.
d. Untuk mengetahui Bagaimana kedudukan dan hikmah keberadaan naskh.
e. Untuk mengetahui Bagaimana cara mengetahui naskh dan Mansukh.
2
BAB II
PEMBAHASAN
Sebaliknya ulama mutaakhkhir memperciut batasan-batasanpengertian terseb
ut untuk mempertajam perbedaan antara nasikh dan makhasshish, muqayyid, dan
lain sebagainya, sehingga pengertian naskh terbatas hanya untuk ketentuan
hukum yang datang kemudian, untuk mencabut atau menyatakan
berakhirnya masa pemberlakuan ketentuan hukum yang
3
terdahulu, sehingga ketentuan yang diberlakukan ialah
ketentuan yang ditetapkan terakhir dan menggantikan ketentuan yang
mendahuluinya. Dengan demikian tergambarlah, di satu pihak naskh mengandung
lebih dari satu pengertian, dan di lain pihak dalam perkembangan selanjutnya
naskh membatasinya hanya pada satu pengertian[2].
C. Jenis-Jenis Naskh
Masalah pertama yang ingin disoroti dalam bagian ini
ialah adanya naskh antara satu syari'at dengan syari'at lainnya. Ini terjadi
4
sebagaimana dapat kita amati antara syari'at hukum agama Islam dengan
syari'at Nabi Isa as yang lebih dahulu ada. Dalam hubungan ini, dapat kita
katakan bilamana kita mengikrarkan Islam sebagai syari'at,
dengan sendirinya kita mengaku adanya naskh, karena syari'at-
syari'at sebelumnya tidak akan kita anut lagi dan semua hukumnya pun
tidak akan kita berlakukan, sepanjang tidak dikukuhkan kembali oleh syari'at
Nabi Muhammad saw. [4]
Jika sudah melihat adanya nasikh-mansukh antar syari'at, di
dalam satu syari'at juga terjadi nasikh-
mansukh antara hukum yang satu dengan hukum yang lainnya. Kembali pada
syari'at Islam sendiri, akan menemui beberapa kasus. Seperti Sesudah hijrah ke
Madinah, kaum Muslim masih berkiblat ke arah Bait al-Muqaddas. Sekitar enam
bulan kemudian, Allah menetapkan ketentuan lain. Keharusan berkiblat ke arah
Bait al-Haram[5]. Ini berarti terjadi nasikh-mansukh dalam hukum kiblat. Kasus-
kasus yang digambarkan di atas, semuanya menyangkut bidang ibadat. Di bidang
lain ada pula perubahan-perubahan yang menyangkut ketentuan hokum
pembelaan diri, tentang minuman keras dan sebagainya.
Dari seluruh kasus-kasus tersebut berimplikasi bahwa
memang terbukti adanya nasikh-mansukh yang sifatnya intern dalam syari'at
Islam. Beberapa ketentuan hukum yang sudah berlaku, kemudian dicabut atau
berakhir masa pemberlakuannya dan diganti dengan ketentuan hukum lain.
Jenis nasikh-mansukh yang diuraikan diatas, menyangkut segi
formalnya. Jenis lain yang menyangkut segi materialnya, ada yang
bersifat eksklusif (sharih) dan inklusif (dlimmi). Untuk yang bersifat sharih,
nasikh itu langsung menjelaskan mansukhnya, misalnya
hukum kiblat. Ketentuan yang nasikh (pengganti) ditetapkan secara jelas.
Sedangkan contoh lain misalnya hukum
ziarah kubur. Didalam hadits disebutkan, pernah dilarang
dalam melakukan ziarah kubur. Selanjutnya, ayat itu ternasikh oleh ayat
yang membolehkannya seorang ziarah kubur. Berbeda dengan hal tersebut
diatas, nasikh yang bersifat dlimmi tidak memuat penegasan
5
didalamnya bahwa ketentuan yang mendahuluinya tercabut, tetapi isinya cukup
jelas bertentangan dengan ketentuan yang mendahuluinya.
D. MACAM-MACAM NASIKH
1. Al-Quran dinasikhkan dengan Al-Quran
Ulama Sepakat Mengatakan ini diperbolehkan. Demikian juga mengenai
jatuhnya. Umpama menurut ayat masa iddah bagi perempuan itu lamanya satu
tahun. Ayat iddah ini ternasikhkan oleh ayat lain. Masa iddah itu cukup empat
bulan sepuluh hari.
2. Al-Quran dinasikhkan dengan Sunnah
Yang termasuk dalam hal ini, terdapat dua macam definisi, yaitu:
Pertama, Al-Quran dinasikhkan dengan Hadist Ahad. Menurut jumhur tidak
diperbolehkan, karena Al-Quran itu mutawatir, harus diyakini. Sedangkan hadist
ahad masih diragukan.
Kedua, Al-Quran dinasikhkan dengan Hadist Mutawatir. Hal ini
diperbolehkan menurut imam malik, abu hanifah dan ahmad bin hambal.
3. Sunnah dinasikhkan dengan Al-Quran
Ini diperbolehkan menurut jumhur. Menghadap sembahyang ke baitul
mukaddis itu ditetapkan oleh sunnah, sedangkan di dalam Al-Quran tidak ada
yang menunjukkan demikian itu. Di sini dinasikhkan oleh Al-Quran QS 2:144.
4. Sunnah dinasikhkan dengan Sunnah
Yang termasuk golongan ini ada empat macam, yaitu:
1. Mutawatir dinasihkan dengan mutawatir pula.
2. ahad dinasihkan dengan ahad pula.
3. ahad dinasikhkan dnegan mutawatir.
4. mutawatir dinasikhkan dengan ahad. [7]
E. BENTUK-BENTUK NASIKH
Nasikh di dalam Al-quran terdapat tiga bentuk, yaitu:
1. Nasikh tilawah dan hukumnya sekaligus.
6
Contoh : ayat yang menyatakan 10 kali penyusuan mengharamkan
pernikahan. Aisyah berkata:
صلَّى
َ ت فَتُ ُوفِّ َي َرسُو ُل اللَّ ِه
ٍ س َم ْعلُو َما
ٍ يُ َح ِّر ْمنَ ثُ َّم نُ ِس ْخنَ بِ َخ ْم ت
ٍ ت َم ْعلُو َما
ٍ ض َعا َ َكانَ فِي َما أُ ْن ِز َل ِمنَ ْالقُرْ آ ِن َع ْش ُر َر
.هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َوه َُّن فِي َما يُ ْق َرأُ ِمنَ ْالقُرْ آ ِن
Dahulu di dalam apa yang telah diturunkan di antara Al-Qur’an adalah:
“Sepuluh kali penyusuan yang diketahui, mengharamkan”, kemudian itu dinaskh
(dihapuskan) dengan: “Lima kali penyusuan yang diketahui”. Kemudian
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam wafat dan itu termasuk yang dibaca di
antara Al-Qur’an. [HR. Muslim, no: 1452]
2. Nasikh hukum dan tetap adanya tilawah.
Contohnya firman Allah Azza wa Jalla:
7
maka fungsi pencabutan itu lebih nampak. Tapi bila ditinjau
dari segi materinya, maka fungsi penjelasannya lebih menonjol. Meski
demikian, pada akhirnya dapat dilihat adanya
suatu fungsi pokok bahwa naskh merupakan salah satu interpretasi hukum.
8
Nasikh tidak dapat ditetapkan berdasarkan ijtihad, pendapat mufassir, atau
keadaan dalil-dalil yang secara lahir tampak kontradiktif, atau terlambatnya
keislaman seseorang dari dua perawi.
Ketiga-tiga persyaratan tersebut merupakan faktor yang sangat menentukan
adanya nasakh dan mansukh dalam Alquran. Jadi, berdasarkan penjelasan di atas
dapat dipahami bahwa nasakh mansukh hanya terjadi dalam lapangan hukum dan
tidak termasuk penghapusan yang bersifat asal (pokok)
9
BAB III
PENUTUP
Simpulan
Nasikh menurut bahasa yaitu mengaitkan kepada arti yang hilang. Nasikh
mengandung beberapa makna yaitu: menghilangkan, mengganti, memalingkan,
dan menukilkan. Sedangkan menurut istilah, ialah membuang hukum syar’i
dengan kitab syar’i. Ulama’ mutaqoddim memberi batasan naskh sebagai dalil
syar’i yang ditetapkan kemudian, tidak hanya untuk ketentuan-ketentuan hukum,
tapi juga mencakup pengertian pembatasan bagi suatu pengertian bebas.
Sebaliknya ulama’ mutaakhir memperciut batasan-batasan pengertian tersebut
untuk mempertajam perbedaan antara nasikh, mukhossim, dan muqoyyid
sehingga pengertian naskh terbatas hanya untuk ketentuan hukum yang datang
kemudian.
Adapun bagaimana cara mengetahui nasikh adalah harus melalui banyak
jalan, diantaranya: naskh yang sharih dari Rosulullah SAW, keterangan para
sahabat, perlawqanan yang tidak dapat dikompromikan, serta diketahui tarih
turunnya ayat-ayat itu. Masalah nasikh bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri. Ia
merupakan bagian yang berada dalam disiplin ilmu tafsir dan ilmu ushul fiqih
10
DAFTAR PUSTAKA
11