Anda di halaman 1dari 16

TUTORIAL 1

UNTUK MEMENUHI TUGAS TUTORIAL TEMA 11

Dosen Pembimbing : Rani Sumarni, M.Keb

Disusun Oleh:

Nadyanty Anggraeni (314118017)

PROGRAM STUDI SARJANA DAN PROFESI BIDAN

SEKOLAH TINNGI ILMU KESEHATAN

JENDERAL ACHMAD YANI CIMAHI

2020
A. KASUS

Skenario Kasus 1

Seorang perempuan, usia 33 tahun baru saja melahirkan putra ke-4 nya di
Klinik Bersalin. Persalinan ditolong oleh bidan, bayi lahir normal, plasenta lahir
spontan, bidan sudah mengecek kelengkapan plasenta, hasilnya plasenta dinilai
lengkap. Saat ini ibu mengatakan merasakan mules dan lemas.

Skenario Kasus 2

Hasil pemeriksaan: Abdomen; Palpasi uterus teraba keras, fundus teraba pada
2 jari di bawah pusat, kandung kemih tidak penuh. Tampak keluar perdarahan
aktif dari jalan lahir, warna darah merah segar, tampak robekan jalan lahir tidak
beraturan pada kulit, mukosa, serta otot perineum. Jumlah pengeluaran darah +-
200 ml.

Skenario Kasus 3

Ibu sudah minum segelas teh manis, namun ibu masih merasa haus dan
lemas. Hasil pemeriksaan lanjutan : Badan ibu tampak gemetar. TD 100/70
mmHg. N 90 x/mnt, R 28 x/menit, S 37°C. Dilakukan penjahitan perineum
dengan menggunakan anastesi, hasil seluruh robekan sudah terjahit, tidak ada
perdarahan aktif. Kemudian, bidan melakukan pemantauan kala empat secara
rutin pada ibu.

B. Learning Objektif
1. Penyebab ibu gemetar pada kala IV apa saja?
2. Bagaimana perubahan anatomi dan fisiologis pada kala IV?
3. Bagaimana prosedur pemantauan Bidan pada ibu kala IV ?
4. Apakah penyebab terjadinya mulas pada kala IV?
5. Bagaimana cara mengidentifikasi laserasi dan prosedur anastesi?
C. Pembahasan
1. Gemetar

Kadang dijumpai dari 38 oC dan tidak dijumpai tanda-tanda infeksi lain.


Gemetar terjadi karena hilangnya ketegangan dan sejumlah energi selama
melahirkan dan merupakan respon fisiologis terhadap penurunan volume
intraabdominal serta pergeseran hematologi (Sulistyawati dkk, 2013 : 177).

2. Perubahan Anatomi dan Fisiologi

a. Tanda Vital

Dua jam pertama setelah persalinan, tekanan darah, nadi, dan


pernapasan akan berlangsung normal. Suhu pasien biasanya akan
mengalami sedikit peningkatan, tapi masih di bawah 38 oC, hal ini
disebabkan oleh kurangnya cairan dan kelelahan. Jika intake cairan
baik, maka suhu akan berangsur normal kembali setelah dua jam.

b. Sistem Gastrointestinal

Selama dua jam pascapersalinan kadang dijumpai pasien merasa


mual sampai muntah, atasi ini dengan posisi tubuh yang memungkinkan
dapat mencegah terjadinya aspirasi corpus aleanum ke saluran
pernapasan dengan setengah duduk atau duduk di tempat tidur. Perasaan
haus pasti dirasakan pasien, oleh karena itu hidrasi sangat penting
diberikan untuk mencegah dehidrasi.

c. Sistem Renal

Selama 2-4 jam pascapersalinan kandung kemih masih dalam


keadaan hipotonik akibat adanya alostaksis, sehingga sering dijumpai
kandung keih dalam keadaan penuh dan mengalami pembesaran. Hal ini
disebabkan oleh tekanan pada kamdung kemih dan uretra selama
persalinan. Kondisi ini dapat diringankan dengan selalu megusahakan
kandung kemih kosong selama persalinan untuk mencegah trauma.
Setelah melahirkan, kandung kemih sebaiknya tetap kosong guna
mencegah uterus berubah posisi dan terjadi atoni. Uterus yang
berkontraksi dengan buruk meningkatkan perdarahan dan nyeri.

d. Sistem Kardiovaskular

Selama kehamilan, volume darah normal digunakan untuk


menampung aliran darah yang meningkat yang diperlukan oleh plasenta
dan pembuluh darah uterus. Penarikan kembali estrogen menyebabkan
diuresis yang terjadi secara cepat sehingga mengurangi volume plasma
kembali pada proporsi normal. Aliran ini terjadi 2-4 jam pertama setelah
kelahiran bayi. Selama masa ini pasien mengeluarkan banyak sekali
urine. Hilangnya pengesteran membantu mengurangi retensi cairan
melekat, dengan meningkatnya vaskular pada jaringan tersebut selama
kehamilan bersama-sama degan trauma masa persalinan. Pada
persalinan per vagina kehilangan darah sekitar 200-500 ml sedangkan
pada persalinan SC pengeluarannya dua kali lipat. Perubahan terdiri dari
volume darah dan kadar hematokrit.

Setelah persalinan, shunt akan hilang dengan tiba-tiba. Volume


darah pasien relatif akan bertambah. Keadaan ini akan menyebabkan
beban pada jantung

e. Serviks

Perubahan-perubahan pada serviks terjadi segera setelah bayi lahir,


bentuk serviks agak menganga seperti corong. Bentuk ini disebabkan
oleh korpus uterus yang dapat mengadakan kontraksi, sedangkan serviks
tidak berkontraksi sehingga seolah-olah pada perbatasan antara korpus
dan serviks berbentuk semacam cincin.

Serviks berwarna merah kehitaman karena penuh dengan pembuluh


darah. Konsistensi lunak, kadang-kadang terdapat laserasi atau
perlukaan kecil. Karena robekan kecil terjadi selama berdilatasi, maka
serviks tidak akan pernah kembali lagi ke keadaan seperti sebelum
hamil.

Muara serviks yang berdilatasi sampai 10 cm sewaktu persalinan


akan menutup secara perlahan dan bertahap. Setelah bayi lahir tangan
bisa masuk ke dalam rongga rahim, setelah dua jam hanya dapat
dimasukin dua atau tiga jari.

f. Perineum

Segera setelah dilahirkan, perineum menjadi kendur kerena


sebelumnya teregang oleh tekanan bayi yang bergerak maju. Pada hari
ke-5 pascamelahirkan, perineum sudah mendapatkan kembali sebagian
tonusnya sekalipun tetap lebih kendur dibandingkan keadaan sebelum
hamil.

g. Vulva dan Vagina

Vulva dan vagina mengalami penekanan serta peregangan yang


sangat besar selama proses melahirkan, dan dalam beberapa hari
pertama sesudah proses tersebut kedua organ ini tetap dalam keadaan
kendur. Selama 3 minggu vulva dan vagina kembali kepada keadaan
tidak hamil dan rugae dalam vagina berangsur-angsur akan muncul
kembali, sementara labia menjadi lebih menonjol.

3. Pemantauan kala IV

a. Serviks

Indikasi pemeriksaan serviks menurut Sulistyawati (2013 : 180), yaitu :

1) Aliran perdarahan per vagina berwarna merah terang dari bagian


atas tiap laserasi yang diamati, jumlahnya menetap atau sedikit
setelah kontraksi uterus dipastikan.

2) Persalinan cepat atau presipitatus.

3) Manipulasi serviks selama persalinan, misalnya untuk mengurangi


tepi anterior.

4) Dorongan maternal (meneran) sebelum dilatasi maksimal.

5) Kelahiran per vagina dengan tindakan, misalnya ekstraksi vakum


atau forsep.

6) Kelahiran traumatik, misalnya distosia bahu.

Adanya salah satu dari faktor di atas mengindikasikan kebutuhan


untuk pemeriksaan serviks secara spesifik untuk menentukan langkah
perbaikan. Inspeksi serviks tanpa adanya perdarahan persisten pada
persalinan spontan normal tidak perlu secara rutin dilakukan
(Sulistyawati dkk, 2013 : 180).

b. Vagina

Pengkajian kemungkinan robekan atau laserasi pada vagina


dilakukan setelah pemeriksaan robekan pada serviks. Penentuan derajat
laserasi dilakukan pada saat ini untuk menentukan langkah penjahitan
(Sulistyawati dkk, 2013 : 181).

c. Perineum

Berat ringannya robekan perineum terbagi menjadi 4 derajat


(Sulistyawati dkk, 2013 : 181).

Pemantauan dan Evaluasi Lanjut Kala IV

a. Tanda Vital

1) Tekanan darah dan nadi

Selama satu jam lekukan pemantauan pada tekanan darah dan


nadi setiap 15 menit dan pada satu jam kedua lakukan setiap 30
menit (Sulistyawati dkk, 2013 : 181).

Pemantauan tekanan darah ibu pascapersalinan digunakan


untuk memastikan bahwa ibu tidak mengalami syok akibat
mengeluarkan banyak darah. Adapun gejala syok yang diperhatikan
antara lain nadi cepat, lemah (110 kali/menit atau lebih), teanan
darah rendah (sistolik kurang dari 90 mmHg), pucat, berkeringat
atau dingin, kulit lembab, nafas cepat (lebih dari 30 kali/menit),
cemas, kesadaran menurun atau tidak sadar serta produksi urine
sedikit sehingga produksi urine menjadi pekat dan suhu tinggi perlu
diwaspadai juga kemungkinan terjadinya infeksi dan perlu
penangannan lebih lanjut (Walyani dkk. 2016 : 115).

2) Respirasi dan suhu

Lakukan pemantauan respirasi dan suhu setiap jam selama dua


jam pertama pascapersalinan (Sulistyawati dkk, 2013 : 180).

b. Kontraksi Uterus

Pemantauan kontraksi uterus dilakukan setiap 15 menit selama satu


jam pertama dan setiap 30 menit selama satu jam kedua. Pemantauan ini
dilakukan bersamaan dengan masase fundus uterus secara sirkular.
Topangan pada uterus bawah selama masase mencegah peregangan
ligamen kardinale. Untuk melakukan masase uterus yang benar, remas
uterus bawah pada abdomen tepat di atas simfisis dan tahan ditempat
dengan satu tangan, sementara tangan lain melakukan masase fundus.
Masase fundus yang efektif mencakup lebih dari lekuk anterior fundus.
Seluruh fundus anterior, lateral, dan posterior harus tercapai oleh tangan
seluruhnya. Prosedur ini dilakukan secara cepat dengan sentuhan yang
tegas dan lembut. Sewaktu bidan memulai prosedur ini, jangan lupa
jelaskan kepada pasien bahwa mungkin akan sangat menyakitkan
namun dengan penjelasan yang detail mengenai apa tujuan tindakna ini,
pasien biasanya akan paham dan kooperatif (Sulistyawati dkk, 2013 :
182).

Jika bidan tidak dapat berada di samping pasien secara terus


menerus untuk melakukan masase, maka kondisi pasien saat ini sangat
kondusif jika dilibatkan dalam tindakan. Bimbingan cara melakukan
masase dari bidan akan mendorong partisipasi aktif pasien dalam
mengatur perawatan dirinya sendiri dan lebih mengetahui tentang
tubuhnya (Sulistyawati dkk, 2013 : 182).

c. Tinggi Fundus Uteri (TFU)

Evaluasi TFU dilakukan dengan meletakkan jari tangan secara


melintang dengan pusat sebagai patokan. Umumnya fundus uterus
setinggi atau beberapa jari dibawah pusat (Sulistyawati dkk, 2013 :
182).

d. Lokia

Lokia dipantau bersamaan dengan masase uterus. Jika uterus


kontraksi dengan baik maka aliran lokia tidak akan terlihat banyak,
namun jika saat uterus berkontaksi terlihat lokia yang keluar lebih
banyak maka diperlukan suatu pengkajian lebih lanjut (Sulistyawati
dkk, 2013 : 182).

e. Kandung Kemih

Pada kala IV bidan memastikan bahwa kandung kemih selalu


dalam keadaan kosong setiap 15 menit sekali dalam satu jam pertama
pascapersalinan dan setiap 30 menit dalam satu jam kedua. Ini sangat
penting untuk dilakukan untuk mencegah beberapa penyulit akibat
penuhnya kandung kemih (Sulistyawati dkk, 2013 : 182), seperti :

1) Kandung kemih yang penuh akan menyebabkan atonia uterus dan


menyebabkan perubahan posisi uterus.

2) Urine yang terlalu lama berada dalam kandung kemih akan


berpotensi menyebabkan infeksi saluran kemih.

3) Secara psikologis akan menyebabkan kekhawatiran yang


berpengaruh terhadap penerimaan pasien berkaitan dengan
perubahan perannya.

f. Perineum

Setelah pengkajian derajat robekan; perineum kembali dikaji


dengan melihat adanya edema, memar, dan pembentukan hemtom yang
dilakukan bersamaan saat mengkaji lokia. Pengkajian ini termasuk juga
untuk mengetahui apakah terjadi hemoroid atau tidak. Jika terjadi,
lakukan tindakan untuk mengurangi ketidaknyamaan yang timbul
dengan memberikan kantong es yang ditempel di area hemoroid. Selain
itu, dapat juga diberikan zat yan bersifat menciutkan, misalnya witch
hazel atau tucks pads atau sprai dan krim anestesi, analgesik yang
digunakan secara lokal (Sulistyawati dkk, 2013 : 182-183).

g. Perkiraan Darah yang Hilang

Sangat sulit memperkirakan kehilangan darah secara tepat karena


darah serongkali bercampur dengan cairan ketuban atau urine dan
mungki terserap handuk, kain, atau sarung. Tak mungkin menilai
kehilangan darah secara akurat melalui perhitungan jumlah darah di
sarung karena ukuran sarung bermacam-macam dan mungkin sarung
telah diganti jika terkena sedikit darah atau basah oleh darah.
Meletakkan wadah atau pispot di bawah bokong pasien untuk
mengumpulkan darah bukanlah cara efektif untuk mengukur kehilangan
darah dan bukan cerminan asuhan sayang ibu, karena berbaring di atas
wadah atau pispot sangat tidak nyaman dan menyulitkan pasien untuk
memegang dan menyusui bayi (JNPK-KR, 2015 : 137).

Satu cara untuk menilai kehilangan darah adalah dengan melihat


volume darah yang terkumpul dan memperkirakan berapa banyak botol
500 ml dapat menampung semua darah tersebut. Jika darah bisa mengisi
2 botol, artinya pasien telah kehilangan satu liter darah, jika darah bisa
mengisi setengah botol pasien kehilangan 250 ml darah dan seterusnya.
Memperkirakan kehilangan darah hanyalah salah satu cara untuk
menilai kondisi pasien. Cara tak langsung untuk mengukur jumlah
kehilangan darah adalah melalui penampakan gejala dan tekanan darah.
Apabila perdarahan menyebabkan pasien lemas, pusing, dan kesadaran
menurun serta tekanan darah sistol turun lebih dari 10 mmHg dari
mondisi sebelumnya, maka telah terjadi perdarahan lebih dari 500 ml.
Bila pasien mengalami syok hipovolemik maka pasien telah kehilangan
darah 50% dari total jumalh darah (2000-2500 ml). Penting untuk selalu
memantau keadaan umum dan menilai jumlah kehilangan darah yang
keluar, dan kontraksi uterus. (JNPK-KR, 2015 : 137)

4. Penyebab Kontraksi pada kala IV

Pemberian ASI
Dengan menurunnya hormon estrogen, progesteron, dan Human Plasenta
Lactogen Hormone setelah plasenta lahir, prolaktin dapat berfungsi
membentuk ASI dan mengeluarkannya ke dalam alveoli bahkan sampai
duktus kelenjar ASI. Isapan langsung pada puting susu ibu menyebabkan
refleks yang dapat mengeluarkan oksitosin dari hipofisis sehingga mioepitel
yang terdapat disekitar alveoli dan duktus kelenjar ASI berkontraksi dan
mengeluarkan ASI ke dalam sinus yang disebut “let down refleks”
(Sulistyawati dkk, 2013 : 179).

Hormon oksitosin disekresikan dari kelenjar otak bagian belakang,


bekerja terhadap otot uterus dan jaringan payudara. Selama tahap ketiga
persalinan, hormon oksitosin berperan dalam pelepasan plasenta dan
mempertahankan kontraksi, sehingga mencegah perdarahan. Isapan bayi
dapat merangsang produksi ASI dan sekresi oksitosin, sehingga dapat
membantu involusi uteri (Yanti,2011).
Fisiologi Menyusui
Perkembangan embriologi mammae berasal dari Ectoderm Ridge,
berkembang menjadi 15-25 lobus yang terdiri dari alveoli. Laktasi selama
kehamilan tidak terjadi karena reseptor prolaktin diduduki oleh estrogen
yang berasal dari plasenta. Pasca persalinan terjadi penurunan kadar estrogen
yang bermakna, bersamaan dengan aktifitas prolaktin yang juga sedang
meningkat dapat memengaruhi kelenjar mammae untuk menghasilkan air
susu, dipacu oleh meningkatnya oksitosin sebagai respons terhadap stimulasi
hisapan mulut bayi (sucking) (Proverawati, 2010).
Oksitosin juga berfungsi meningkatkan kontraksi uterus sehingga
membantu involusi, oleh karena itu mengapa bayi yang baru lahir langsung
disusukan kepada ibunya (inisiasi dini), hal itu berfungsi untuk mempercepat
kontraksi uterus sehingga mempercepat pelepasan plasenta. Produksi ASI
dirangsang melalui let down reflex (Proverawati, 2010). Apabila bayi
disusui, maka gerakan menghisap yang berirama akan menghasilkan
rangsangan saraf yang terdapat pada glandula pituitaria posterior sehingga
mensekresi hormon oksitosin. Hal ini menyebabkan sel-sel mioepitel di
sekitar alveoli akan berkontraksi dan mendorong ASI masuk dalam
pembuluh ampula. Pengeluaran oksitosin selain dipengaruhi oleh hisapan
bayi, juga oleh reseptor yang terletak pada duktus. Bila duktus melebar,
maka secara reflektoris oksitosin dikeluarkan oleh hipofisis (Maritalia,
2014).
Refleks let-down dapat dirasakan sebagai sensasi kesemutan atau dapat
juga ibu merasakan sensasi apapun. Tanda-tanda lain dari let-down adalah
tetesan pada payudara lain yang sedang dihisap oleh bayi. Refleks ini
dipengaruhi oleh kejiwaan ibu (Ambarwati, 2010).
Manfaat pemberian ASI pada kala IV

Isapan langsung pada puting susu ibu menyebabkan reflek yang dapat
mengeluarkan oksitosin dari hipofisis, sehingga ini akan menambah
kekuatan kontraksi uterus.

Fungsi dari adanya kontraksi pada kala IV

Involusi uterus atau pengerutan uterus merupakan suatu proses dimana


uterus kembali ke kondisi sebelum hamil.
Proses involusi uterus adalah sebagai berikut :
1) Iskemia miometrium. Hal ini disebabkan oleh kontraksi dan retraksi
yang terus menerus dari uterus setelah pengeluaran plasenta sehingga
membuat uterus menjadi relatif anemi dan menyebabkan serat otot
atrofi.
2) Atrofi jaringan. Atrofi jaringan terjadi sebagai reaksi penghentian
hormon estrogen saat pelepasan plasenta.
3) Autolysis. Merupakan proses penghancuran diri sendiri yang terjadi di
dalam otot uterus. Enzim proteolitik akan akan memendekan jaringan
otot yang telah mengendur hingga panjangnya 10 kali panjang sebelum
hamil dan lebarnya 5 kali lebar sebelum hamil yang terjadi selama
kehamilan. Hal ini disebabkan karena penurunan hormon estrogen dan
progesteron.
4) Efek oksitosin. Oksitosin menyebabkan terjadinya kontraksi dan
retraksi otot uterus sehingga akan menekan pembuluh darah yang
mengakibatkan berkurangnya suplai darah ke uterus. Proses ini
membantu untuk mengurangi situs atau tempat implantasi plasenta serta
mengurangi perdarahan (Yanti, 2011).
Faktor-faktor yang mempengaruhi proses involusi uterus adalah laktasi,
mobilisasi, gizi/nutrisi dan paritas; oksitosin yang dihasilkan dari proses
laktasi akan menyebabkan terjadinya kontraksi dan retraksi otot uterus.
Mobilisasi akan membantu otot rahim bekerja dengan baik sehingga
kontraksi uterus berjalan normal. Masa nifas membutuhkan tambahan kalori
sebesar 500kkal/hari untuk menunjang proses laktasi dan involusi uterus.
Hasil penelitian menunjukan bahwa semakin tinggi paritas maka makin
cepat pengeluaran lochea tetapi karena fungsi otot rahim ibu multipara sudah
menurun, maka proses involusi akan berjalan lambat. (Cuningham, 2007)

Ukuran uterus pada masa nifas akan mengecil seperti sebelum hamil,
perubahan-perubahan normal pada uterus selama postpartum adalah sebagai
berikut :
Involusi uteri Tinggi fundus uteri Berat Diameter
uterus uterus
Plasenta lahir Setinggi pusat 1000 12,5 cm
gram
7 hari (1 Pertengahan pusat 500 gram 7,5 cm
minggu) dan simfisis
14 hari (2 Tidak teraba 350 gram 5 cm
minggu)
6 minggu Normal 60 gram 2.5 cm
5. Identifikasi laserasi

Untuk mengetahui apakah ada tidaknya robekan jalan lahir, maka


periksa daerah perineum, vagina dan vulva. Setelah bayi lahir, vagina akan
mengalami peregangan, oleh kemungkinan edema dan lecet. Introitus vagina
juga akan tampak terkulai dan terbuka. Sedangkan vulva bisa berwarna
merah, bengkak dan mengalami lecet-lecet. Untuk mengetahui ada tidaknya
trauma atau hemoroid yang keluar, maka periksa anus dengan rectal toucher.

Klasifikasi Laserasi

a. Tingkat I: Robekan hanya pada selaput lendir vagina dengan atau tanpa
mengenai kulit perineum.

b. Tingkat II: Robekan mengenai selaput lendir vagina dan otot perineum
transfersalis, tetapi tidak mengenai spinker ani.

c. Tingkat III: Robekan mengenai mukosa vagina, komisura posterior,


kulit perineum, otot perineum hingga otot sfingter ani

d. Tingkat IV: Robekan yang terjadi lebih dalam yaitu mengenai mukosa
vagina, komisura posterior, kulit perineum, otot sfingter ani sampai ke
dinding depan rektum.

Keuntungan Anastesi

a. Ibu lebih merasa nyaman (sayang ibu).

b. Bidan lebih leluasa dalam penjahitan.

c. Lebih cepat dalam menjahit perlukaannya (mengurangi kehilangan


darah).

d. Trauma pada jaringan lebih sedikit (mengurangi infeksi).

Cairan yang digunakan: Lidocain 1 %.

Tidak Dianjurkan Penggunaan Lidocain 2 % (konsentrasinya terlalu


tinggi dan menimbulkan nekrosis jaringan). Lidocain dengan
epinephrine (memperlambat penyerapan lidocain dan memperpanjang
efek kerjanya).

Prosedur Anastesi

a. Beritahu ibu tentang tindakan yang akan dilakukan

b. Tusukkan jarum suntik pada daerah kamisura posterior yaitu bagian


sudut bahwa vulva.

c. Lakukan aspirasi untuk memastikan tidak ada darah yang terhisap

d. Suntikan anestesi sambil menarik jarum suntik pada tepi luka daerah
perineum

e. Tanpa menarik jarum suntik keluar dari luka arahkan jarum suntik
sepanjang luka pada mukosa vagina

f. Lakukan langkah 2-5 diatas pada kedua tepi robekan

g. Tunggu 1-2 menit sebelum melakukan penjahitan

Konsep Map
Daftar Pustaka
Fakultas Kedokteran UNPAD Bandung. 1983. Obstetri Fisiologi. Bandung :
ELEMAN

Munawarah Annisa, dan Agustin Endriyani. 2018. Pengaruh Edukasi Teknik


Menyusui Terhadap Keefektifan Ibu Nifas Dalam Menyusui Di Rs Pku
Muhammadiyah Yogyakarta.

Prawirohardjo Sarwono. 2009. Ilmu Kebidanan. Jakarta : PT Bina Pustaka

Rosyati Heri. 2017. Buku Ajar Persalinan. Jakarta


file:///C:/Users/HP/Documents/tema%2010/tutor/BUKU%20AJAR%20P
%20E%20R %20S%20A%20L%20I%20N%20A%20N.pdf (diakses pada
tanggal 5 Maret 2020)

Varney, Helen, Jan M. Kriebs, dan Carolyn L. Gegor. 2007. Buku Ajar Asuhan
Kebidanan. Ed. 4. Jakarta : EGC

Wahidah, Nurul Jannatul. 2017. Perubahan Fisiologi dan Psikologi Ibu Bersalin.
Modul Pengantar Asuhan Kebidanan Persalinan

Wahyuni ninik dan lisa nurlatifah. 2017. Faktor –Faktor Yang Mempengaruhi Proses
Involusi Uterus Pada Masa Nifas Diwilayah Kerja Puskesmas Mandala
Kabupaten Lebak Propinsi Banten Tahun 2016. Jurnal Medikes, Volume 4,
edisi 2, November 2017

Anda mungkin juga menyukai