Disusun Oleh:
Erlinda Lutfitasari (02190200045)
Hermawan Andi Pradana (02190200040)
Mantau Jusak Penandang (02190200010)
Nurul Maulidia (02190200017)
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya tentunya kami tidak
akan sanggup untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga
terlimpah curahkan kepada baginda tercinta kita yaitu Nabi Muhammad SAW yang kita nanti-
natikan syafa’atnya di akhirat nanti.
Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-Nya, baik itu
berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis mampu untuk menyelesaikan
pembuatan makalah sebagai tugas akhir dari mata kuliah Hukum Acara Peradilan Agama dengan
judul “Tuberkulosis Dalam Masyarakat”.
Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih banyak
terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, penulis mengharapkan kritik serta
saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya makalah ini nantinya dapat menjadi makalah yang
lebih baik lagi. Kemudian apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini penulis mohon
maaf yang sebesar-besarnya.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak khususnya kepada dosen mata
kuliah Ilmu Penyakit Pada Masyarkat kami yang telah memberikan pelajaran bagi kami dalam
makalah ini.
Halaman Judul
Kata Pengantar
Daftar Isi
Daftar Tabel
Daftar Gambar
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
A. Definisi Tuberkulosis
B. Klasifikasi
C. Epidemiologi
D. Gambaran Klinis
E. Patofisiologi
F. Diagnosa
G. Pengobatan
H. Pencegahan
A. Kesimpulan
B. Saran
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Tuberkulosis (TB) sampai dengan saat ini masih merupakan salah satu masalah kesehatan
masyarakat di dunia walaupun upaya penanggulangan TB telah dilaksanakan di banyak
negara sejak tahun 1995. Di tingkat global, di tahun 2017 terdapat sekitar 558.000 kasus baru
(rentang, 483.000-639.000) TB rifampisin resistan di mana hampir separuhnya ada di tiga
negara yaitu India (24%), China (13%), dan Rusia (10%). Di antara kasus TB RR,
diperkirakan 82% kasus tersebut adalah TB MDR. Secara global, 3.6% kasus TB baru dan
17% kasus TB pengobatan ulang merupakan kasus TB MDR/RR.
WHO memperkirakan ada 23.000 kasus MDR/RR di Indonesia. Pada tahun 2017 kasus
TB yang tercatat di program ada sejumlah 442.000 kasus yang mana dari kasus tersebut
diperkirakan ada 8.600-15.000 MDR/RR TB, (perkiraan 2,4% dari kasus baru dan 13% dari
pasien TB yang diobati sebelumnya), tetapi cakupan yang diobati baru sekitar 27,36%.
Pada 2018, jumlah kasus TBC di Indonesia diperkirakan 842.000 kasus
berdasarkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Dari jumlah ini, masih ada 39 persen yang
belum terdeteksi dan belum menerima pengobatan sehingga penularannya masih tinggi
Walaupun setiap orang dapat mengidap TBC, penyakit tersebut berkembang pesat pada
orang yang hidup dalam kemiskinan, kelompok terpinggirkan, dan populasi rentan lainnya.
Kepadatan penduduk di Indonesia sebesar 136,9 per 2 km dengan jumlah penduduk miskin
pada September 2017 sebesar 10,12% (Susenas, 2017).
Penyebab utama yang mempengaruhi meningkatnya beban TB antara lain:
1. Belum memadainya tata laksana TB terutama di fasyankes yang belum menerapkan
layanan TB sesuai dengan standar pedoman nasional dan ISTC seperti penemuan
kasus/diagnosis yang tidak baku, paduan obat yang tidak baku, tidak dilakukan
pemantauan pengobatan, tidak dilakukan pencatatan dan pelaporan yang baku.
2. Belum memadainya tatalaksana TB sesuai dengan standar baik dalam penemuan
kasus/diagnosis, paduan obat, pemantauan pengobatan, pencatatan dan pelaporan.
3. Besarnya masalah kesehatan lain yang bisa berpengaruh terhadap risiko terjadinya TB
secara signifikan seperti HIV, gizi buruk, diabetes mellitus, merokok, serta keadaan lain
yang menyebabkan penurunan daya tahan tubuh.
4. Faktor sosial seperti besarnya angka pengangguran, rendahnya tingkat pendidikan dan
pendapatan per kapita, kondisi sanitasi, papan, sandang dan pangan yang tidak memadai
yang berakibat pada tingginya risiko masyarakat terjangkit TB.
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 67 Tahun 2016
yaitu Penanggulangan Tuberkulosis yang selanjutnya disebut Penanggulangan TB adalah
segala upaya kesehatan yang mengutamakan aspek promotif dan preventif, tanpa
mengabaikan aspek kuratif dan rehabilitatif yang ditujukan untuk melindungi kesehatan
masyarakat, menurunkan angka kesakitan, kecacatan atau kematian, memutuskan penularan,
mencegah resistensi obat dan mengurangi dampak negatif yang ditimbulkan akibat
Tuberkulosis.
Penanggulangan TB harus diselenggarakan secara terpadu, komprehensif dan
berkesinambungan. Mahasiswa kesehatan masyarakat mempunyai peran dalam
meningkatkan pengetahuan mengenai Tuberkulosis kepada masyarakat, pengetahuan
tersebut sangat berguna dan membantu pemerintah dalam menjalankan program
Penanggulangan TB Nasional eliminasi TB tahun 2035 dan Indonesia bebas TB tahun 2050.
B. RUMUSAN MASALAH
Seberapa pentingnya tuberkulosis bagi masyarakat?
C. TUJUAN
Masyarakat mampu mengetahui tuberkulosis secara keseluruhan meliputi definisi, sebaran,
gejala, patofisiologi, diagnosa, pengobatan dan pencegahannya
BAB II
PEMBAHASAN
A. DEFINISI TUBERKULOSIS
B. KLASIFIKASI
C. EPIDEMIOLOGI
Secara global pada tahun 2016 terdapat 10,4 juta kasus insiden TBC (CI 8,8 juta –
12, juta) yang setara dengan 120 kasus per 100.000 penduduk. Asia Tenggara dan Afrika
tercatat hampir 70% dari keseluruhan TB global, di Asia tenggara jumlah kasus
pertahunnya adalah 226 kasus per 100.000 populasi. Sebagian besar estimasi insiden
TBC pada tahun 2016 terjadi di Kawasan Asia Tenggara (45%), dimana Indonesia
merupakan salah satu di dalamnya dan 25% nya terjadi di kawasan Afrika. (Adam
Macnei dkk., 2017).
Gambar Tabel Prosentase Penderita TBC Secara Global
Kasus TB di Indonesia pada tahun 2017 mencapai 420.994 jiwa (data per 17 Mei
2018 Kemenkes RI). Berdasarkan jenis kelamin, jumlah kasus baru TBC tahun 2017 pada
laki-laki 1,4 kali lebih besar dibandingkan pada perempuan. Bahkan berdasarkan Survei
Prevalensi Tuberkulosis prevalensi pada laki-laki 3 kali lebih tinggi dibandingkan pada
perempuan. Begitu juga yang terjadi di negara-negara lain. Hal ini terjadi kemungkinan
karena laki-laki lebih terpapar pada fakto risiko TBC misalnya merokok dan kurangnya
ketidakpatuhan minum obat. Survei ini menemukan bahwa dari seluruh partisipan laki-
laki yang merokok sebanyak 68,5% dan hanya 3,7% partisipan perempuan yang
merokok.
Gambar Jumlah Kasus Baru TBC di Indonesia Berdasarkan Jenis Kelamin, Tahun 2017
D. GAMBARAN KLINIS
Gambaran secara klinis tidak terlalu khas terutama pada kasus baru, secara umum
gejala penyakit TBC dapat dibagi menjadi gejala umum dan gejala khusus yang timbul
sesuai dengan organ yang terlibat.
a. Gejala sistemik/umum:
1. Batuk-batuk selama lebih dari 3 minggu (dapat disertai dengan darah).
2. Demam tidak terlalu tinggi yang berlangsung lama, biasanya dirasakan malam
hari disertai keringat malam. Kadang-kadang serangan demam seperti influenza
dan bersifat hilang timbul.
3. Penurunan nafsu makan dan berat badan.
4. Perasaan tidak enak (malaise), lemah.
b. Gejala khusus:
1. Tergantung dari organ tubuh mana yang terkena, bila terjadi sumbatan sebagian
bronkus (saluran yang menuju ke paru-paru) akibat penekanan kelenjar getah bening
yang membesar, akan menimbulkan suara “mengi”, suara nafas melemah yang
disertai sesak.
2. Kalau ada cairan dirongga pleura (pembungkus paru-paru), dapat disertai dengan
keluhan sakit dada.
3. Bila mengenai tulang, maka akan terjadi gejala seperti infeksi tulang yang pada suatu
saat dapat membentuk saluran dan bermuara pada kulit diatasnya, pada muara ini
akan keluar cairan nanah.
4. Pada anak-anak dapat mengenai otak (lapisan pembungkus otak) dan disebut sebagai
meningitis (radang selaput otak), gejalanya adalah demam tinggi, adanya penurunan
kesadaran dan kejang-kejang.
Pada pasien anak yang tidak menimbulkan gejala, TBC dapat terdeteksi kalua
diketahui adanya kontak dengan pasien TBC dewasa. Kira-kira 30-50% anak yang kontak
dengan penderita TBC paru dewasa memberikan hasil uji tuberkulin positif. Pada anak usia 3
bulan – 5 tahun yang tinggal serumah dengan penderita TBC paru dewasa dengan BTA
(Bakteri Tahan Asam) positif.
E. PATOFISIOLOGI
Penyebab TB adalah bakteri Mycobacterium tuberkulosis. Seorang pasien TB,
khususnya TB paru pada saat dia bicara, batuk dan bersin dapat mengeluarkan percikan
dahak yang mengandung Mycobacterium tuberkulosis. Orang-orang disekeliling pasien TB
tersebut dapat terpapar dengan cara mengisap percikan dahak. Infeksi terjadi apabila
seseorang menghirup percik halus air ludah yang mengandung kuman TB.
Ketika seseorang menghirup udara yang mengandung inti tetesan dan mengandung
M. tuberkulosis, sebagian besar tetesan yang besar akan bersarang atau menempel di saluran
pernapasan bagian atas (hidung dan tenggorokan), di mana infeksi tidak mungkin
berkembang. Namun, inti tetesan yang lebih kecil dapat mencapai kantung udara kecil paru-
paru (alveoli), di mana infeksi dapat dimulai. Infeksi dapat dimulai ketika inti tetesan
mencapai alveoli. Di alveoli, beberapa basil tuberkulosis terbunuh, tetapi beberapa
berkembang biak di dalam alveoli dan memasuki kelenjar getah bening dan aliran darah dan
menyebar ke seluruh tubuh. Bacilli dapat menjangkau bagian tubuh mana pun, termasuk
daerah di mana penyakit TB lebih mungkin untuk berkembang. Area-area ini termasuk
bagian atas paru-paru, ginjal, otak, dan tulang. Namun, dalam 2 hingga 8 minggu, sistem
kekebalan tubuh biasanya turun tangan, menghentikan multiplikasi dan mencegah
penyebaran lebih lanjut. Sistem kekebalan adalah sistem sel dan jaringan dalam tubuh yang
melindungi tubuh dari zat asing.
Sumber :
1. Self Study Modules On Tuberkulosis Module 1 : Transmission and Phatogenesis Of
Tuberkulosis
2. Hubert, Robert J dan Karin C. VanMeter. 2018. Gould’s Pathophysiology For The
Health Professions, Sixth Edition. Canada. Elsevier
F. DIAGNOSA
a. Diagnosis TB Paru
Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2-3 minggu atau
lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah, batuk
darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun, malaise,
berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik,demam meriang lebih dari satu bulan. Gejala-
gejala tersebut diatas dapat dijumpai pula pada penyakit paru selain TB, seperti
bronkiektasis, bronkitis kronis, asma, kanker paru, dan lain-lain. Mengingat prevalensi
TB paru di Indonesia saat ini masih tinggi, maka setiap orang yang datang ke UPK (Unit
Pelayanan Kesehatan) dengan gejala tersebut diatas, dianggap sebagai seorang tersangka
(suspek) pasien TB, dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung
pada pasien remaja dan dewasa, serta skoring pada pasien anak.
Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai keberhasilan
pengobatan dan menentukan potensi penularan. Pemeriksaan dahak untuk penegakan
diagnosis pada semua suspek TB dilakukan dengan mengumpulkan 3 spesimen dahak
yang dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang berurutan berupa dahak Sewaktu-
Pagi-Sewaktu (SPS):
• S (sewaktu):
Dahak dikumpulkan pada saat suspek TB datang berkunjung pertama kali. Pada saat
pulang, suspek membawa sebuah pot dahak untuk mengumpulkan dahak pagi pada hari
kedua.
• P (Pagi):
Dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah bangun tidur. Pot
dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas di UPK (Unit Pelayanan Kesehatan).
• S (sewaktu):
Dahak dikumpulkan di UPK pada hari kedua, saat menyerahkan dahak pagi. Diagnosis
TB Paru pada orang remaja dan dewasa ditegakkan dengan ditemukannya kuman TB
(BTA). Pada program TB nasional, penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak
mikroskopis merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan lain seperti foto toraks, biakan
dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang sesuai
dengan indikasinya. Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan
pemeriksaan foto toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas
pada TB paru, sehingga sering terjadi overdiagnosis. Gambaran kelainan radiologik
paru tidak selalu menunjukkan aktifitas penyakit.
Gambar alur prosedur diagnostik suspek TB paru
a.1. Indikasi Pemeriksaan Foto Toraks
Pada sebagian besar TB paru, diagnosis terutama ditegakkan dengan pemeriksaan
dahak secara mikroskopis dan tidak memerlukan foto toraks. Namun pada kondisi
tertentu pemeriksaan foto toraks perlu dilakukan sesuai dengan indikasi sebagai berikut:
• Hanya 1 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif. Pada kasus ini pemeriksaan
foto toraks dada diperlukan untuk mendukung diagnosis TB paru BTA positif.
• Ketiga spesimen dahak hasilnya tetap negatif setelah 3 spesimen dahak SPS pada
pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah
pemberian antibiotika non OAT(non fluoroquinolon).
• Pasien tersebut diduga mengalami komplikasi sesak nafas berat yang memerlukan
penanganan khusus (seperti: pneumotorak, pleuritis eksudativa, efusi pericarditis atau
efusi pleural) dan pasien yang mengalami hemoptisis berat (untuk menyingkirkan
bronkiektasis atau aspergiloma).
b. Diagnosis TB Ekstra Paru
1. Gejala dan keluhan tergantung organ yang terkena, misalnya kaku kuduk pada
Meningitis TB, nyeri dada pada TB pleura (Pleuritis), pembesaran kelenjar limfe
superfisialis pada limfadenitis TB dan deformitas tulang belakang (gibbus) pada
spondilitis TB dan lain-lainnya.
2. Diagnosis pasti sering sulit ditegakkan sedangkan diagnosis kerja dapat ditegakkan
berdasarkan gejala klinis TB yang kuat (presumtif) dengan menyingkirkan
kemungkinan penyakit lain. Ketepatan diagnosis bergantung pada metode
pengambilan bahan pemeriksaan dan ketersediaan alat-alat diagnostik, misalnya uji
mikrobiologi, patologi anatomi, serologi, foto toraks, dan lain-lain.
b.1. Uji Tuberkulin
Pada anak, uji tuberkulin merupakan pemeriksaan yang paling bermanfaat untuk
menunjukkan sedang/pernah terinfeksi Mycobacterium tuberkulosis dan sering
digunakan dalam “Screening TBC”. Efektifitas dalam menemukan infeksi TBC dengan
uji tuberkulin adalah lebih dari 90%. Penderita anak umur kurang dari 1 tahun yang
menderita TBC aktif uji tuberkulin positif 100%, umur 1–2 tahun 92%, 2–4 tahun 78%,
4–6 tahun 75%, dan umur 6–12 tahun 51%. Dari persentase tersebut dapat dilihat
bahwa semakin besar usia anak maka hasil uji tuberkulin semakin kurang spesifik.
Ada beberapa cara melakukan uji tuberkulin, namun sampai sekarang cara
Mantoux lebih sering digunakan. Lokasi penyuntikan uji mantoux umumnya pada ½
bagian atas lengan bawah kiri bagian depan, disuntikkan intrakutan (ke dalam kulit).
Penilaian uji tuberkulin dilakukan 48–72 jam setelah penyuntikan dan diukur diameter
dari pembengkakan (indurasi) yang terjadi:
1. Pembengkakan (Indurasi) : 0–4mm, uji mantoux negatif.
Arti klinis : tidak ada infeksi Mycobacterium tuberkulosis.
2. Pembengkakan (Indurasi) : 5–9mm, uji mantoux meragukan.
Hal ini bisa karena kesalahan teknik, reaksi silang dengan Mycobacterium atypikal
atau pasca vaksinasi BCG.
3. Pembengkakan (Indurasi) : >= 10mm, uji mantoux positif.
Arti klinis : sedang atau pernah terinfeksi Mycobacterium tuberkulosis.
G. PENGOBATAN
Saat ini, penyakit TB aktif diobati dengan terapi kombinasi yang terdiri atas 3 atau
lebih obat (biasanya 4). Selama terapi, pasien dengan TB aktif umumnya diberikan isoniazid
(INH), rifampisin (RIF), pirazinamid (PZA) dan etambutol (EMB) selama 2 minggu yang
merupakan fase intensif (Fase awal). Kemudian terapi dilanjutkan dengan pemberian
isoniazid dan rifampisin selama 4 bulan lagi (fase lanjutan) untuk memusnahkan sisa bakteri
yang telah masuk kedalam kondisi dormant.
1. Tujuan Pengobatan TB adalah:
a. Menyembuhkan pasien dan memperbaiki produktivitas serta kualitas hidup.
b. Mencegah terjadinya kematian oleh karena TB atau dampak buruk selanjutnya.
c. Mencegah terjadinya kekambuhan TB.
d. Menurunkan risiko penularan TB.
e. Mencegah terjadinya dan penularan TB resistan obat.
g. Obat lini ketiga tersusun atas obat kelompok 5 atau “repurposed drugs”, yaitu obat
yang telah digunakan sebagai antiinfeksi selain TB namun sekarang dikembangkan
untuk indikasi baru yaitu TB. Obat “repurposed” ini meliputi clofazimin (cfz, anti
lepra) atau antibakteri spektrum luas seperti: kombinasi amoksisilin dan inhibitor β-
laktamse (asam klavulanat) (Amx/Clv), kombinasi imipenem dan inhibitor
dehidropeptidase (cilastatin) (Ipm/Cln), atau klaritomisin (Clr). Linezolid juga masuk
ke dalam lini ketiga ini. Obat lini ketiga tidak direkomendasikan untuk penggunaan
rutin dalam terapi TB resisten obat karena efikasinya belum jelas (Zumla dkk., 2013;
WHO, 2010).
Sumber :
1. Irianti, R. Rer. Nat. T, Dkk.2016. Mengenal Anti Tuberkulosis.Yogyakarta.
Grafika Indah
2. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 67 Tahun 2016 Tentang
Penanggulangan Tuberkulosis
H. PENCEGAHAN
Sebagai langkah pencegahan penularan TBC, anda harus memahami etika batuk atau
bersin sebagai berikut:
1. Gunakan Masker
Kementerian Kesehatan memberi perhatian khusus untuk hal ini, karena jika pengobatan
TBC tidak dilakukan dengan tepat dan cepat, maka kuman-kuman TBC akan menjadi kebal
terhadap pengobatan biasanya disebut Tuberkulosis Multi-drug Resistant (TB MDR) atau
Tuberkulosis Extensively-drug Resistand (TB XDR).