Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH

TUBERKULOSIS DALAM MASYARAKAT


Dosen Pengampu: Abdullah Syafei, Skm, M.Kes

Disusun Oleh:
Erlinda Lutfitasari (02190200045)
Hermawan Andi Pradana (02190200040)
Mantau Jusak Penandang (02190200010)
Nurul Maulidia (02190200017)

PROGRAM STUDI S1 KESEHATAN MASYARAKAT


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN INDONESIA MAJU (STIKIM)
JAKARTA
2020
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya tentunya kami tidak
akan sanggup untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga
terlimpah curahkan kepada baginda tercinta kita yaitu Nabi Muhammad SAW yang kita nanti-
natikan syafa’atnya di akhirat nanti.

Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-Nya, baik itu
berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis mampu untuk menyelesaikan
pembuatan makalah sebagai tugas akhir dari mata kuliah Hukum Acara Peradilan Agama dengan
judul “Tuberkulosis Dalam Masyarakat”.

Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih banyak
terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, penulis mengharapkan kritik serta
saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya makalah ini nantinya dapat menjadi makalah yang
lebih baik lagi. Kemudian apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini penulis mohon
maaf yang sebesar-besarnya.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak khususnya kepada dosen mata
kuliah Ilmu Penyakit Pada Masyarkat kami yang telah memberikan pelajaran bagi kami dalam
makalah ini.

Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat. Terima kasih.


DAFTAR ISI

Halaman Judul

Kata Pengantar

Daftar Isi

Daftar Tabel

Daftar Gambar

BAB I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

B. Rumusan Masalah

C. Tujuan

BAB II. PEMBAHASAN

A. Definisi Tuberkulosis

B. Klasifikasi

C. Epidemiologi

D. Gambaran Klinis

E. Patofisiologi

F. Diagnosa

G. Pengobatan

H. Pencegahan

BAB III. PENUTUP

A. Kesimpulan

B. Saran
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Tuberkulosis (TB) sampai dengan saat ini masih merupakan salah satu masalah kesehatan
masyarakat di dunia walaupun upaya penanggulangan TB telah dilaksanakan di banyak
negara sejak tahun 1995. Di tingkat global, di tahun 2017 terdapat sekitar 558.000 kasus baru
(rentang, 483.000-639.000) TB rifampisin resistan di mana hampir separuhnya ada di tiga
negara yaitu India (24%), China (13%), dan Rusia (10%). Di antara kasus TB RR,
diperkirakan 82% kasus tersebut adalah TB MDR. Secara global, 3.6% kasus TB baru dan
17% kasus TB pengobatan ulang merupakan kasus TB MDR/RR.
WHO memperkirakan ada 23.000 kasus MDR/RR di Indonesia. Pada tahun 2017 kasus
TB yang tercatat di program ada sejumlah 442.000 kasus yang mana dari kasus tersebut
diperkirakan ada 8.600-15.000 MDR/RR TB, (perkiraan 2,4% dari kasus baru dan 13% dari
pasien TB yang diobati sebelumnya), tetapi cakupan yang diobati baru sekitar 27,36%.
Pada 2018, jumlah kasus TBC di Indonesia diperkirakan 842.000 kasus
berdasarkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Dari jumlah ini, masih ada 39 persen yang
belum terdeteksi dan belum menerima pengobatan sehingga penularannya masih tinggi
Walaupun setiap orang dapat mengidap TBC, penyakit tersebut berkembang pesat pada
orang yang hidup dalam kemiskinan, kelompok terpinggirkan, dan populasi rentan lainnya.
Kepadatan penduduk di Indonesia sebesar 136,9 per 2 km dengan jumlah penduduk miskin
pada September 2017 sebesar 10,12% (Susenas, 2017).
Penyebab utama yang mempengaruhi meningkatnya beban TB antara lain:
1. Belum memadainya tata laksana TB terutama di fasyankes yang belum menerapkan
layanan TB sesuai dengan standar pedoman nasional dan ISTC seperti penemuan
kasus/diagnosis yang tidak baku, paduan obat yang tidak baku, tidak dilakukan
pemantauan pengobatan, tidak dilakukan pencatatan dan pelaporan yang baku.
2. Belum memadainya tatalaksana TB sesuai dengan standar baik dalam penemuan
kasus/diagnosis, paduan obat, pemantauan pengobatan, pencatatan dan pelaporan.
3. Besarnya masalah kesehatan lain yang bisa berpengaruh terhadap risiko terjadinya TB
secara signifikan seperti HIV, gizi buruk, diabetes mellitus, merokok, serta keadaan lain
yang menyebabkan penurunan daya tahan tubuh.
4. Faktor sosial seperti besarnya angka pengangguran, rendahnya tingkat pendidikan dan
pendapatan per kapita, kondisi sanitasi, papan, sandang dan pangan yang tidak memadai
yang berakibat pada tingginya risiko masyarakat terjangkit TB.
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 67 Tahun 2016
yaitu Penanggulangan Tuberkulosis yang selanjutnya disebut Penanggulangan TB adalah
segala upaya kesehatan yang mengutamakan aspek promotif dan preventif, tanpa
mengabaikan aspek kuratif dan rehabilitatif yang ditujukan untuk melindungi kesehatan
masyarakat, menurunkan angka kesakitan, kecacatan atau kematian, memutuskan penularan,
mencegah resistensi obat dan mengurangi dampak negatif yang ditimbulkan akibat
Tuberkulosis.
Penanggulangan TB harus diselenggarakan secara terpadu, komprehensif dan
berkesinambungan. Mahasiswa kesehatan masyarakat mempunyai peran dalam
meningkatkan pengetahuan mengenai Tuberkulosis kepada masyarakat, pengetahuan
tersebut sangat berguna dan membantu pemerintah dalam menjalankan program
Penanggulangan TB Nasional eliminasi TB tahun 2035 dan Indonesia bebas TB tahun 2050.

B. RUMUSAN MASALAH
Seberapa pentingnya tuberkulosis bagi masyarakat?

C. TUJUAN
Masyarakat mampu mengetahui tuberkulosis secara keseluruhan meliputi definisi, sebaran,
gejala, patofisiologi, diagnosa, pengobatan dan pencegahannya
BAB II

PEMBAHASAN

A. DEFINISI TUBERKULOSIS

Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit menular langsung yang disebabkan oleh


infeksi bakteri Mycobacterium tuberkulosis. TB merupakan penyakit yang mudah
menular melalui udara dari sumber penularan pasien positif pada waktu batuk atau bersin.
TB dapat menyerang siapa saja, terutama usia produktif / masih aktif bekerja dan anak-
anak. Sekitar 75% pasien TB adalah kelompok usia yang paling produktif secara
ekonomis (15-50 tahun). Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga
mengenai organ tubuh lainnya yang biasa disebut dengan TB Ekstra Paru. TB Paru
merupakan bentuk yang paling sering dijumpai yaitu sekitar 80 % dari semua penderita.
TB yang menyerang jaringan paru-paru ini merupakan satu-satunya bentuk dari TB yang
mudah menular. TB Ekstra Paru merupakan bentuk penyakit TB yang menyerang organ
tubuh lain selain paru-paru. TB pada dasarnya ini tidak pandang bulu karena kuman ini
dapat menyerang semua organ dari tubuh.

B. KLASIFIKASI

Penentuan klasifikasi penyakit dan tipe penderita TB penting dilakukan untuk


menetapkan paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) yang sesuai dan dilakukan sebelum
pengobatan dimulai yang meliputi empat hal , yaitu:
1. Lokasi atau organ tubuh yang sakit
a. Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan paru (parenkim),
tidak termasuk selaput paru (pleura) dan kelenjar pada hilus.
b. Tuberkulosis ekstraparu adalah tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain
selain paru misalnya pelura, selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar
lymfe, tulang , persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan
organ tubuh lain. Pasien TB paru yang disertai TB ekstraparu diklasifikasikan
sebagai TB paru.
2. Bakteriologi (hasil pemeriksaan dahak secara mikroskopis)
Klasifikasi penyakit TB berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis, yaitu :
a. Tuberkulosis paru BTA (Bakteri Tahan Asam) positif
1. 2 atau lebih dari 3 spesimen dahak SPS (sewaktu-pagi-sewaktu) hasilnya BTA
positif, atau 2 dari 2 spesimen pagi dan pagi (P-P) berturut hasil BTA positif.
2. Satu spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada
menunjukan gambaran tuberkulosis .
3. Satu spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biarkan kuman TB positif.
4. Satu atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak SPS
pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan
setelah pemberian antibiotika non OAT.
b. Tuberkulosis paru BTA (Bakteri Tahan Asam) negatif
Kasus yang tidak memenuhi definisi TB pada paru BTA positif. Kriteria
diagnostik TB Paru BTA negatif harus meliputi kriteria berikut :
1. Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif
2. Foto toraks abnormal sesuai dengan gambaran tuberkulosis
3. Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT, bagi pasien
dengan HIV negatif
4. Ditentukan atau dipertimbangkan oleh dokter untuk diberi pengobatan.
Apabila fasilitas lengkap, dikonfirmasi penegakan diagnosis TB berdasar
metode kultur TB

3. Tingkat Keparahan Penyakit


a. TB paru BTA negatif toraks positif dibagi berdasarkan tingkat keparahan
penyakitnya, yaitu bentuk berat dan ringan. Bentuk berat apabila gambaran foto
toraks memperlihatkan gambaran kerusakan paru yang luas (misalnya proses yang
lebih tinggi), dan atau keadaan umum pasien buruk.
b. TB ekstraparu dibagi berdasarkan pada tingkat keparahannya, yaitu
1) TB ekstraparu ringan, misalnya TB kelenjar lymfe, pleuritis, eksudativa,
unilateral, tulang (kecuali tulang belakang), sendi, dan kelenjar adrenal.
2) TB ekstraparu berat, misalnya meningitis, milier, pericarditis peritonitis,
pleuritis eksudativa bilateral, TB tulang belakang, TB usus, TB saluran kemih
dan alat kelamin.

4. Riwayat pengobatan TB sebelumnya


Klasifikai berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya disebut sebagai tipe pasien
TB, sebagai berikut:
a. Kasus pasien TB baru adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau
sudah pernah menelan OAT kurang dari 1 bulan. Lpemeriksaan BTA bisa positif
atau negatif
b. Kasus pasien TB yang sebelumnya diobati
1) Kasus kambuh (Relaps) adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah
mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau
pengobatan lengkap, didiagnosis kembali dengan BTA positif (apusan atau
kultur)
2) Kasus pasien TB setelah putus berobat (default) adalah pasien yang telah
berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA positif.

C. EPIDEMIOLOGI

Secara global pada tahun 2016 terdapat 10,4 juta kasus insiden TBC (CI 8,8 juta –
12, juta) yang setara dengan 120 kasus per 100.000 penduduk. Asia Tenggara dan Afrika
tercatat hampir 70% dari keseluruhan TB global, di Asia tenggara jumlah kasus
pertahunnya adalah 226 kasus per 100.000 populasi. Sebagian besar estimasi insiden
TBC pada tahun 2016 terjadi di Kawasan Asia Tenggara (45%), dimana Indonesia
merupakan salah satu di dalamnya dan 25% nya terjadi di kawasan Afrika. (Adam
Macnei dkk., 2017).
Gambar Tabel Prosentase Penderita TBC Secara Global

WHO melaporkan, 30 negara dengan beban TB tinggi menyumbang 87% dari


semua kasus insiden yang diperkirakan di seluruh dunia, dan delapan di antaranya negara
menyumbang dua pertiga dari total global: India (27%), Cina (9%), Indonesia (8%),
Filipina (6%), Pakistan (6%), Nigeria (4%), Bangladesh (4%) dan Afrika Selatan (3%)

Gambar Estimasi Jumlah Kasus Baru (incidence) TBC di Negara yang


Memiliki Paling Sedikit 100.000 Kasus Baru, 2016

Kasus TB di Indonesia pada tahun 2017 mencapai 420.994 jiwa (data per 17 Mei
2018 Kemenkes RI). Berdasarkan jenis kelamin, jumlah kasus baru TBC tahun 2017 pada
laki-laki 1,4 kali lebih besar dibandingkan pada perempuan. Bahkan berdasarkan Survei
Prevalensi Tuberkulosis prevalensi pada laki-laki 3 kali lebih tinggi dibandingkan pada
perempuan. Begitu juga yang terjadi di negara-negara lain. Hal ini terjadi kemungkinan
karena laki-laki lebih terpapar pada fakto risiko TBC misalnya merokok dan kurangnya
ketidakpatuhan minum obat. Survei ini menemukan bahwa dari seluruh partisipan laki-
laki yang merokok sebanyak 68,5% dan hanya 3,7% partisipan perempuan yang
merokok.

Gambar Jumlah Kasus Baru TBC di Indonesia Berdasarkan Jenis Kelamin, Tahun 2017

D. GAMBARAN KLINIS

Gambaran secara klinis tidak terlalu khas terutama pada kasus baru, secara umum
gejala penyakit TBC dapat dibagi menjadi gejala umum dan gejala khusus yang timbul
sesuai dengan organ yang terlibat.
a. Gejala sistemik/umum:
1. Batuk-batuk selama lebih dari 3 minggu (dapat disertai dengan darah).
2. Demam tidak terlalu tinggi yang berlangsung lama, biasanya dirasakan malam
hari disertai keringat malam. Kadang-kadang serangan demam seperti influenza
dan bersifat hilang timbul.
3. Penurunan nafsu makan dan berat badan.
4. Perasaan tidak enak (malaise), lemah.
b. Gejala khusus:
1. Tergantung dari organ tubuh mana yang terkena, bila terjadi sumbatan sebagian
bronkus (saluran yang menuju ke paru-paru) akibat penekanan kelenjar getah bening
yang membesar, akan menimbulkan suara “mengi”, suara nafas melemah yang
disertai sesak.
2. Kalau ada cairan dirongga pleura (pembungkus paru-paru), dapat disertai dengan
keluhan sakit dada.
3. Bila mengenai tulang, maka akan terjadi gejala seperti infeksi tulang yang pada suatu
saat dapat membentuk saluran dan bermuara pada kulit diatasnya, pada muara ini
akan keluar cairan nanah.
4. Pada anak-anak dapat mengenai otak (lapisan pembungkus otak) dan disebut sebagai
meningitis (radang selaput otak), gejalanya adalah demam tinggi, adanya penurunan
kesadaran dan kejang-kejang.
Pada pasien anak yang tidak menimbulkan gejala, TBC dapat terdeteksi kalua
diketahui adanya kontak dengan pasien TBC dewasa. Kira-kira 30-50% anak yang kontak
dengan penderita TBC paru dewasa memberikan hasil uji tuberkulin positif. Pada anak usia 3
bulan – 5 tahun yang tinggal serumah dengan penderita TBC paru dewasa dengan BTA
(Bakteri Tahan Asam) positif.

E. PATOFISIOLOGI
Penyebab TB adalah bakteri Mycobacterium tuberkulosis. Seorang pasien TB,
khususnya TB paru pada saat dia bicara, batuk dan bersin dapat mengeluarkan percikan
dahak yang mengandung Mycobacterium tuberkulosis. Orang-orang disekeliling pasien TB
tersebut dapat terpapar dengan cara mengisap percikan dahak. Infeksi terjadi apabila
seseorang menghirup percik halus air ludah yang mengandung kuman TB.
Ketika seseorang menghirup udara yang mengandung inti tetesan dan mengandung
M. tuberkulosis, sebagian besar tetesan yang besar akan bersarang atau menempel di saluran
pernapasan bagian atas (hidung dan tenggorokan), di mana infeksi tidak mungkin
berkembang. Namun, inti tetesan yang lebih kecil dapat mencapai kantung udara kecil paru-
paru (alveoli), di mana infeksi dapat dimulai. Infeksi dapat dimulai ketika inti tetesan
mencapai alveoli. Di alveoli, beberapa basil tuberkulosis terbunuh, tetapi beberapa
berkembang biak di dalam alveoli dan memasuki kelenjar getah bening dan aliran darah dan
menyebar ke seluruh tubuh. Bacilli dapat menjangkau bagian tubuh mana pun, termasuk
daerah di mana penyakit TB lebih mungkin untuk berkembang. Area-area ini termasuk
bagian atas paru-paru, ginjal, otak, dan tulang. Namun, dalam 2 hingga 8 minggu, sistem
kekebalan tubuh biasanya turun tangan, menghentikan multiplikasi dan mencegah
penyebaran lebih lanjut. Sistem kekebalan adalah sistem sel dan jaringan dalam tubuh yang
melindungi tubuh dari zat asing.

Gambar Saluran Pernapasan Manusia

Mikroba dapat bertahan hidup dalam dahak kering selama berminggu-minggu.


Mycobacterium tuberkulosis dapat dihancurkan oleh sinar ultraviolet, panas, alkohol,
glutaraldehyde, dan formaldehyde.
Ada dua tahap dalam patogenesis tuberkulosis: infeksi primer (infeksi TB) dan
infeksi sekunder atau infeksi ulang (penyakit TB)
Gambar Patofisiologi Pengembangan Tuberkulosis

Infeksi primer terjadi ketika mikroorganisme pertama kali memasuki paru-paru,


ditelan makrofag, dan menyebabkan reaksi inflamasi lokal, biasanya pada bagian perifer
lobus atas. Beberapa basil bermigrasi ke kelenjar getah bening, mengaktifkan tipe IV atau
respons hipersensitivitas yang dimediasi sel. limfosit dan makrofag berkumpul bersama
untuk membentuk granuloma di tempat peradangan.
Orang yang sehat dapat menahan invasi ini, sehingga lesi-lesi ini tetap sangat kecil
dan menjadi tertutup oleh jaringan fibrosa. Lesi ini di paru-paru dan kelenjar getah bening
disebut sebagai kompleks Ghon. Saat dikalsifikasi, tuberkel dapat terlihat pada foto rontgen
dada. Namun, basil mungkin tetap hidup dalam keadaan tidak aktif di dalam tubercle selama
bertahun-tahun, dan karenanya berpotensi bahaya.
Selama resistansi individu dan respon imun tetap tinggi, basil tetap tertutup di dalam
tuberkulum. Individu telah terpapar bacillus dan terinfeksi tetapi tidak memiliki penyakit
aktif dan tidak menunjukkan gejala. Sekitar 6 hingga 8 minggu, respons imun sudah lengkap.
Ini dianggap infeksi primer atau laten.
Tes Mantoux tuberculin digunakan untuk mendeteksi paparan bacillus beberapa
minggu setelah pajanan, orang tersebut menjadi hipersensitif dan akan menghasilkan reaksi
kulit positif, area indurasi yang luas (area yang keras, terangkat, merah), sebagai respons
terhadap pemberian tuberculoprotein. X-ray dada dan biakan dahak akan menentukan apakah
ada infeksi aktif.
TBC sekunder atau infeksi ulang adalah tahap infeksi aktif. Seringkali timbul
bertahun-tahun setelah infeksi primer, ketika basil yang disembunyikan di dalam tuberkel
diaktifkan kembali, biasanya karena penurunan resistensi host dan terkadang ada invasi baru
mikroba. Ketika organisme berlipat ganda, kerusakan jaringan terjadi, membentuk area besar
nekrosis. Kavitasi terjadi, dengan pembentukan daerah terbuka besar di paru-paru dan erosi
ke dalam bronkus dan pembuluh darah. Hemoptisis sering terjadi karena pembuluh darah
terkikis. Dengan kavitasi, terjadinya penyebaran organisme ke bagian lain paru-paru, dan
basil ada di dahak, di mana mereka dapat ditularkan ke orang lain. Bakteri dapat tertelan
untuk menginfeksi saluran pencernaan. Infeksi juga dapat menyebar ke rongga pleura,
menyebabkan pleuritis dan adhesi.

Sumber :
1. Self Study Modules On Tuberkulosis Module 1 : Transmission and Phatogenesis Of
Tuberkulosis
2. Hubert, Robert J dan Karin C. VanMeter. 2018. Gould’s Pathophysiology For The
Health Professions, Sixth Edition. Canada. Elsevier

F. DIAGNOSA
a. Diagnosis TB Paru
Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2-3 minggu atau
lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah, batuk
darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun, malaise,
berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik,demam meriang lebih dari satu bulan. Gejala-
gejala tersebut diatas dapat dijumpai pula pada penyakit paru selain TB, seperti
bronkiektasis, bronkitis kronis, asma, kanker paru, dan lain-lain. Mengingat prevalensi
TB paru di Indonesia saat ini masih tinggi, maka setiap orang yang datang ke UPK (Unit
Pelayanan Kesehatan) dengan gejala tersebut diatas, dianggap sebagai seorang tersangka
(suspek) pasien TB, dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung
pada pasien remaja dan dewasa, serta skoring pada pasien anak.
Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai keberhasilan
pengobatan dan menentukan potensi penularan. Pemeriksaan dahak untuk penegakan
diagnosis pada semua suspek TB dilakukan dengan mengumpulkan 3 spesimen dahak
yang dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang berurutan berupa dahak Sewaktu-
Pagi-Sewaktu (SPS):
• S (sewaktu):
Dahak dikumpulkan pada saat suspek TB datang berkunjung pertama kali. Pada saat
pulang, suspek membawa sebuah pot dahak untuk mengumpulkan dahak pagi pada hari
kedua.
• P (Pagi):
Dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah bangun tidur. Pot
dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas di UPK (Unit Pelayanan Kesehatan).
• S (sewaktu):
Dahak dikumpulkan di UPK pada hari kedua, saat menyerahkan dahak pagi. Diagnosis
TB Paru pada orang remaja dan dewasa ditegakkan dengan ditemukannya kuman TB
(BTA). Pada program TB nasional, penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak
mikroskopis merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan lain seperti foto toraks, biakan
dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang sesuai
dengan indikasinya. Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan
pemeriksaan foto toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas
pada TB paru, sehingga sering terjadi overdiagnosis. Gambaran kelainan radiologik
paru tidak selalu menunjukkan aktifitas penyakit.
Gambar alur prosedur diagnostik suspek TB paru
a.1. Indikasi Pemeriksaan Foto Toraks
Pada sebagian besar TB paru, diagnosis terutama ditegakkan dengan pemeriksaan
dahak secara mikroskopis dan tidak memerlukan foto toraks. Namun pada kondisi
tertentu pemeriksaan foto toraks perlu dilakukan sesuai dengan indikasi sebagai berikut:
• Hanya 1 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif. Pada kasus ini pemeriksaan
foto toraks dada diperlukan untuk mendukung diagnosis TB paru BTA positif.
• Ketiga spesimen dahak hasilnya tetap negatif setelah 3 spesimen dahak SPS pada
pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah
pemberian antibiotika non OAT(non fluoroquinolon).
• Pasien tersebut diduga mengalami komplikasi sesak nafas berat yang memerlukan
penanganan khusus (seperti: pneumotorak, pleuritis eksudativa, efusi pericarditis atau
efusi pleural) dan pasien yang mengalami hemoptisis berat (untuk menyingkirkan
bronkiektasis atau aspergiloma).
b. Diagnosis TB Ekstra Paru
1. Gejala dan keluhan tergantung organ yang terkena, misalnya kaku kuduk pada
Meningitis TB, nyeri dada pada TB pleura (Pleuritis), pembesaran kelenjar limfe
superfisialis pada limfadenitis TB dan deformitas tulang belakang (gibbus) pada
spondilitis TB dan lain-lainnya.
2. Diagnosis pasti sering sulit ditegakkan sedangkan diagnosis kerja dapat ditegakkan
berdasarkan gejala klinis TB yang kuat (presumtif) dengan menyingkirkan
kemungkinan penyakit lain. Ketepatan diagnosis bergantung pada metode
pengambilan bahan pemeriksaan dan ketersediaan alat-alat diagnostik, misalnya uji
mikrobiologi, patologi anatomi, serologi, foto toraks, dan lain-lain.
b.1. Uji Tuberkulin
Pada anak, uji tuberkulin merupakan pemeriksaan yang paling bermanfaat untuk
menunjukkan sedang/pernah terinfeksi Mycobacterium tuberkulosis dan sering
digunakan dalam “Screening TBC”. Efektifitas dalam menemukan infeksi TBC dengan
uji tuberkulin adalah lebih dari 90%. Penderita anak umur kurang dari 1 tahun yang
menderita TBC aktif uji tuberkulin positif 100%, umur 1–2 tahun 92%, 2–4 tahun 78%,
4–6 tahun 75%, dan umur 6–12 tahun 51%. Dari persentase tersebut dapat dilihat
bahwa semakin besar usia anak maka hasil uji tuberkulin semakin kurang spesifik.
Ada beberapa cara melakukan uji tuberkulin, namun sampai sekarang cara
Mantoux lebih sering digunakan. Lokasi penyuntikan uji mantoux umumnya pada ½
bagian atas lengan bawah kiri bagian depan, disuntikkan intrakutan (ke dalam kulit).
Penilaian uji tuberkulin dilakukan 48–72 jam setelah penyuntikan dan diukur diameter
dari pembengkakan (indurasi) yang terjadi:
1. Pembengkakan (Indurasi) : 0–4mm, uji mantoux negatif.
Arti klinis : tidak ada infeksi Mycobacterium tuberkulosis.
2. Pembengkakan (Indurasi) : 5–9mm, uji mantoux meragukan.
Hal ini bisa karena kesalahan teknik, reaksi silang dengan Mycobacterium atypikal
atau pasca vaksinasi BCG.
3. Pembengkakan (Indurasi) : >= 10mm, uji mantoux positif.
Arti klinis : sedang atau pernah terinfeksi Mycobacterium tuberkulosis.

G. PENGOBATAN
Saat ini, penyakit TB aktif diobati dengan terapi kombinasi yang terdiri atas 3 atau
lebih obat (biasanya 4). Selama terapi, pasien dengan TB aktif umumnya diberikan isoniazid
(INH), rifampisin (RIF), pirazinamid (PZA) dan etambutol (EMB) selama 2 minggu yang
merupakan fase intensif (Fase awal). Kemudian terapi dilanjutkan dengan pemberian
isoniazid dan rifampisin selama 4 bulan lagi (fase lanjutan) untuk memusnahkan sisa bakteri
yang telah masuk kedalam kondisi dormant.
1. Tujuan Pengobatan TB adalah:
a. Menyembuhkan pasien dan memperbaiki produktivitas serta kualitas hidup.
b. Mencegah terjadinya kematian oleh karena TB atau dampak buruk selanjutnya.
c. Mencegah terjadinya kekambuhan TB.
d. Menurunkan risiko penularan TB.
e. Mencegah terjadinya dan penularan TB resistan obat.

Tahapan Pengobatan TB: Pengobatan TB harus selalu meliputi pengobatan tahap


awal dan tahap lanjutan dengan maksud:
1. Tahap Awal: Pengobatan diberikan setiap hari. Paduan pengobatan pada tahap ini
adalah dimaksudkan untuk secara efektif menurunkan jumlah kuman yang ada dalam
tubuh pasien dan meminimalisir pengaruh dari sebagian kecil kuman yang mungkin
sudah resistan sejak sebelum pasien mendapatkan pengobatan. Pengobatan tahap awal
pada semua pasien baru, harus diberikan selama 2 bulan. Pada umumnya dengan
pengobatan secara teratur dan tanpa adanya penyulit, daya penularan sudah sangat
menurun setelah pengobatan selama 2 minggu pertama.

Tabel Pengelompokan OAT Lini Pertama (Permenkes No. 67 Th 2016)


JENIS SIFAT EFEK SAMPING
Isoniazid Neuropati perifer (Gangguan saraf tepi),
Bakterisidal
(H) psikosis toksik, gangguan fungsi hati, kejang.
Flu syndrome (gejala influenza berat),
Rifampisin gangguan gastrointestinal, urine Berwarna
Bakterisidal
(R) merah, gangguan fungsi hati, trombositopeni,
demam, sesak nafas, anemia hemolitik.
Pirazinamid Gangguan Gastrointestinal, gout, gangguan
Bakterisidal
(Z) fungsi hati
Nyeri ditempat suntikan, gangguan
Streptomisin keseimbangan dan pendengaran, renjatan
Bakterisidal
(S) anafilaktik, anemia, agranulositosis,
trombositopeni.
Etambutol Gangguan penglihatan, buta warna, neuritis
bakteriostatik
(E) perifer (Gangguan saraf tepi).
f. Tahap Lanjutan: Pengobatan tahap lanjutan bertujuan membunuh sisa sisa kuman yang
masih ada dalam tubuh, khususnya kuman persister sehingga pasien dapat sembuh dan
mencegah terjadinya kekambuhan (Zumla dkk., 2013; WHO, 2010).
Pengelompokan OAT Lini Kedua
Tabel Kelompok obat anti-TB (Zumla dkk., 2013)

g. Obat lini ketiga tersusun atas obat kelompok 5 atau “repurposed drugs”, yaitu obat
yang telah digunakan sebagai antiinfeksi selain TB namun sekarang dikembangkan
untuk indikasi baru yaitu TB. Obat “repurposed” ini meliputi clofazimin (cfz, anti
lepra) atau antibakteri spektrum luas seperti: kombinasi amoksisilin dan inhibitor β-
laktamse (asam klavulanat) (Amx/Clv), kombinasi imipenem dan inhibitor
dehidropeptidase (cilastatin) (Ipm/Cln), atau klaritomisin (Clr). Linezolid juga masuk
ke dalam lini ketiga ini. Obat lini ketiga tidak direkomendasikan untuk penggunaan
rutin dalam terapi TB resisten obat karena efikasinya belum jelas (Zumla dkk., 2013;
WHO, 2010).

Tabel Kelompok obat anti-TB (Zumla dkk., 2013)

2. Paduan OAT (Obat Anti Tuberkulosis)


Panduan OAT yang digunakan di Indonesia menurut Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia No. 67 Tahun 2016 yaitu:
a. Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3 atau 2(HRZE)/4(HR).
b. Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3 atau 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)E.
c. Kategori Anak : 2(HRZ)/4(HR) atau 2HRZE(S)/4-10HR.
d. Pasien TB Resistan Obat: terdiri dari OAT lini ke-2 yaitu Kanamisin, Kapreomisin,
Levofloksasin, Etionamide, Sikloserin, Moksifloksasin, PAS, Bedaquilin, Clofazimin,
Linezolid, Delamanid dan obat TB baru lainnya serta OAT lini-1, yaitu pirazinamid
and etambutol.
Paduan OAT kategori-1 dan kategori-2 disediakan dalam bentuk paket obat
kombinasi dosis tetap (OAT-KDT). Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 2 dan 4
jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini
dikemas dalam 1 (satu) paket untuk 1 (satu) pasien untuk 1 (satu) masa pengobatan.
Paket Kombipak adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniasid (H), Rifampisin
(R), Pirazinamid (Z) dan Etambutol yang dikemas dalam bentuk blister. Paduan OAT ini
disediakan program untuk pasien yang tidak bisa menggunakan paduan OAT KDT.
Paduan OAT kategori anak disediakan dalam bentuk paket obat kombinasi dosis tetap
(OAT-KDT). Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 3 jenis obat dalam satu tablet.
Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini dikemas dalam satu paket
untuk satu pasien untuksatu (1) masa pengobatan. Paduan OAT disediakan dalam bentuk
paket, dengan tujuan untuk memudahkan pemberian obat dan menjamin kelangsungan
(kontinuitas) pengobatan sampai selesai.
3. Penanganan Pasien TB - RO
Tuberkulosis Resistan Obat (TB-RO) adalah suatu keadaan di mana kuman M.
tuberkulosis sudah tidak dapat dibunuh dengan obat anti TB (OAT) lini pertama.
Prinsip Pengobatan TB-RO
Pada dasarnya strategi pengobatan pasien TB RR/TB RO mengacu kepada strategi
DOTS.
a. Semua pasien yang sudah terbukti TB RO ataupun Resistan Rifampisin
berdasarkan pemeriksaan uji kepekaan M. tuberkulosis baik dengan TCM TB
maupun metode konvensional harus segera dimulai pengobatan TB RO yang baku
dan bermutu.
b. Sebelum memulai pengobatan harus dilakukan persiapan awal termasuk
melakukan beberapa pemeriksaan penunjang.
c. Paduan OAT untuk pasien TB RO adalah paduan standar yang mengandung OAT
lini kedua dan lini pertama. Paduan OAT tersebut dapat disesuaikan bila terjadi
perubahan hasil uji kepekaan M. tuberkulosis dengan paduan baru.
d. Penetapan untuk mulai pengobatan pada pasien TB RR/TB MDR serta perubahan
dosis dan frekuensi pemberian OAT MDR diputuskan oleh dokter dan atau TAK
yang sudah dilatih, dengan masukan dari tim terapik jika diperlukan.
e. Inisiasi pengobatan TB RO dapat dimulai di Puskesmas yang telah terlatih.
Pemeriksaan Laboratorium penunjang dapat dilakukan dengan melakukan jejaring
rujukan ke RS Rujukan.
f. Pada pasien TB MDR dengan penyulit yang tidak dapat ditangani di Puskesmas,
rujukan ke RS harus dilakukan
g. Prinsip ambulatory, seperti halnya pengobatan TB non MDR. Hanya pasien
dengan kondisi dan atau komplikasi khusus yang memerlukan rawat inap di RS
atau fasyankes.
h. Pengawasan menelan obat dilakukan oleh petugas kesehatan di fasyankes. Jika
pemberian OAT MDR dilakukan di rumah pasien, maka pengawasan menelan
obat dapat dilakukan oleh petugas kesehatan/kader yang ditunjuk, atau oleh
keluarga pasien dengan sebelumnya sudah disepakati oleh petugas kesehatan dan
pasien.
i. Pasien TB RO yang memulai pengobatan TB MDR di RS Rujukan dapat
dilanjutkan pengobatannya di Puskesmas/fasyankes terdekat dengan tempat
tinggal pasien. Proses desentralisasi (perpindahan) pasien dari RS Rujukan ke
Puskesmas/Fasyankes dilakukan dengan persiapan sebelumnya.
4. Penanganan kasus TB Pada Anak
Paduan OAT Kategori Anak diberikan dalam bentuk paket berupa obat
Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT). Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 3 dan 2
jenis obat dalam satu tablet (2HRZ/4HR 3). Dosisnya disesuaikan dengan berat badan
pasien. Paduan ini dikemas dalam satu paket untuk satu pasien. Anak umumnya memiliki
jumlah kuman yang lebih sedikit (pausibasiler) sehingga rekomendasi pemberian 4
macam OAT pada fase intensif hanya diberikan kepada anak dengan BTA positif, TB
berat dan TB tipe dewasa. Terapi TB pada anak dengan BTA negatif menggunakan
paduan INH, Rifampisin, dan Pirazinamid pada fase inisial 2 bulan pertama kemudian
diikuti oleh Rifampisin dan INH pada 4 bulan fase lanjutan.
Tabel Panduan OAT pada Anak

5. Pemantauan Kemajuan Pengobatan TB


a. Pengawasan langsung menelan obat (DOT = Directly Observed Treatment)
Pada program pengobatan yang di harapkan adalah menyembuhkan sebagian
besar pasien TB baru tanpa memicu munculnya kuman resistan obat. Agar hal hal
tersebut tercapai, sangat penting memastikan bahwa pasien menelan seluruh obat
yang diberikan sesuai anjuran, dengan pengawasan langsung oleh seorang PMO
(Pengawas Menelan Obat) untuk mencegah terjadinya resistensi obat.
Pilihan tempat pemberian pengobatan sebaiknya disepakati bersama pasien
agar dapat memberikan kenyamanan. Pasien bisa memilih datang ke fasyankes
terdekat dengan kediaman pasien atau PMO datang berkunjung kerumah pasien.
Apabila tidak ada faktor penyulit, pengobatan dapat diberikan secara rawat jalan.
1. Persyaratan PMO
 Seseorang yang dikenal, dipercaya dan disetujui, baik oleh petugas kesehatan
maupun pasien, selain itu harus disegani dan dihormati oleh pasien.
 Seseorang yang tinggal dekat dengan pasien.
 Bersedia membantu pasien dengan sukarela.
 Bersedia dilatih dan atau mendapat penyuluhan bersamasama dengan pasien.
2. Petugas PMO
Sebaiknya PMO adalah petugas kesehatan, misalnya Bidan di Desa,
Perawat, Pekarya, Sanitarian, Juru Immunisasi, dan lain lain. Bila tidak ada
petugas kesehatan yang memungkinkan, PMO dapat berasal dari kader
kesehatan, guru, anggota PPTI, PKK, atau tokoh masyarakat lainnya atau
anggota keluarga.
3. Tugas seorang PMO
 Mengawasi pasien TB agar menelan obat secara teratur sampai selesai
pengobatan.
 Memberi dorongan kepada pasien agar mau berobat teratur.
 Mengingatkan pasien untuk periksa ulang dahak pada waktu yang telah
ditentukan.
 Memberi penyuluhan pada anggota keluarga pasien TB yang mempunyai
gejala-gejala mencurigakan TB untuk segera memeriksakan diri ke Unit
Pelayanan Kesehatan. Tugas seorang PMO bukanlah untuk mengganti
kewajiban pasien mengambil obat dari unit pelayanan kesehatan. Pada saat
pasie mengambil obat, diupayakan bahwa dosis hari itu ditelan di depan
petugas keseheatan. Pada pengobatan TB RO, pengawasan menelan obat
dilakukan oleh petugas kesehatan di fasyankes. Pada beberapa kondisi
tertentu, pemberian OAT MDR dilakukan di rumah pasien, maka pengawasan
menelan obat dapat dilakukan oleh petugas kesehatan/kader yang ditunjuk,
atau oleh keluarga pasien dengan sebelumnya sudah disepakati oleh petugas
kesehatan dan pasien.

6. Pemantauan kemajuan pengobatan TB


Pemantauan kemajuan dan hasil pengobatan pada orang dewasa dilaksanakan
dengan pemeriksaan ulang dahak secara mikroskopis. Pemantauan kemajuan pengobatan
dilakukan dengan pemeriksaan dua contoh uji dahak (sewaktu dan pagi). Hasil dari
pemeriksaan mikroskopis semua pasien sebelum memulai pengobatan harus dicatat.
Pemeriksaan ulang dahak pasien TB yang terkonfirmasi bakteriologis merupakan suatu
cara terpenting untuk menilai hasil kemajuan pengobatan.
Setelah pengobatan tahap awal, tanpa memperhatikan hasil pemeriksaan ulang
dahak apakah masih tetap BTA positif atau sudah menjadi BTA negatif, pasien harus
memulai pengobatan tahap lanjutan. Pemberian OAT sisipan sudah tidak dilakukan.
Semua pasien TB baru yang tidak konversi pada akhir 2 bulan pengobatan tahap
awal, tanpa pemberian paduan sisipan, pengobatan dilanjutkan ke paduan tahap lanjutan.
Pemeriksaan dahak diulang pada akhir bulan-3 pengobatan. Bila hasil tetap BTA positif,
pasien ditetapkan sebagai pasien terduga TB RO. Semua pasien TB pengobatan ulang
yang tidak konversi akhir tahap awal ditetapkan juga sebagai terduga TB-RO.
Semua pasien TB BTA positif, pemeriksaan ulang dahak selanjutnya dilakukan
pada akhir bulan ke 5 pengobatan. Apabila hasilnya negatif, pengobatan dilanjutkan
hingga seluruh dosis pengobatan selesai dan dilakukan pemeriksaan ulang dahak kembali
pada akhir pengobatan. Bilamana hasil pemeriksaan mikroskopis nya positif pasien
dianggap gagal pengobatan dan dimasukkan kedalam kelompok terduga TB-RO.
Pemantauan kondisi klinis merupakan cara menilai kemajuan hasil pengobatan
pasien TB ekstra paru (ISTC Standar 10). Sebagaimana pada pasien TB BTA negatif,
perbaikan kondisi klinis merupakan indikator yang bermanfaat untuk menilai hasil
pengobatan, antara lain peningkatan berat badan pasien, berkurangnya keluhan, dan lain-
lain.
Tabel Pemeriksaan dahak ulang untuk pemantauan hasil pengobatan
Keterangan :
(====): Pengobatan tahap awal
(-------) : Pengobatan tahap lanjutan
X : Pemeriksaan dahak ulang pada minggu terakhir bulan pengobatan untuk    
 memantau hasil pengobatan
(X) : Pemeriksaan dahak ulang pada bulan ini dilakukan hanya apabila hasil pada
akhir tahap awal hasilnya BTA(+)
Jika pasien tidak konversi atau pasien gagal, lakukan pemeriksaan dengan
tes cepat tes cepat molekuler TB, apabila hasil nya Resisten Rifampisin rujuk ke
RS rujukan MDR Pasien dan lakukan pemeriksaan biakan dan uji kepekaan.
Apabila hasil nya negative atau Sensitif Rifampisin lanjutkan pengobatan.
G. Pemantauan Pengobatan TB-RO
Pemantauan yang dilakukan selama pengobatan meliputi pemantauan secara
klinis dan pemantauan laboratorium seperti pada tabel 18 berikut. Selama menjalani
pengobatan, pasien harus dipantau secara ketat untuk menilai respons pengobatan dan
mengidentifikasi efek samping sejak dini. Gejala TB berupa batuk, berdahak, demam dan
BB menurun, pada umumnya membaik dalam beberapa bulan pertama pengobatan.
Konversi dahak dan biakan merupakan indikator respons pengobatan. Definisi konversi
biakan adalah pemeriksaan biakan 2 kali berurutan dengan jarak pemeriksaan 30 hari
menunjukkan hasil negatif yang semula biakan positif.
Tabel Pemantauan pengobatan TB-RO

Sumber :
1. Irianti, R. Rer. Nat. T, Dkk.2016. Mengenal Anti Tuberkulosis.Yogyakarta.
Grafika Indah
2. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 67 Tahun 2016 Tentang
Penanggulangan Tuberkulosis
H. PENCEGAHAN

Sebagai langkah pencegahan penularan TBC, anda harus memahami etika batuk atau
bersin sebagai berikut:

1. Gunakan Masker

2. Tutup mulut dan hidung dengan lengan atas bagian dalam

3. Tutup mulut dan hidung dengan tisu

4. Jangan lupa membuangnya ke tempat sampah

5. Cucilah tangan dengan menggunakan sabun dan air mengalir

Kementerian Kesehatan memberi perhatian khusus untuk hal ini, karena jika pengobatan
TBC tidak dilakukan dengan tepat dan cepat, maka kuman-kuman TBC akan menjadi kebal
terhadap pengobatan biasanya disebut Tuberkulosis Multi-drug Resistant (TB MDR) atau
Tuberkulosis Extensively-drug Resistand (TB XDR).

Kementerian Kesehatan juga menyatakan bahwa seluruh Puskesmas di Indonesia


sudah dapat memberikan Pelayanan Pengobatan TBC. Selain Puskesmas, Klinik, RS, serta
dokter swasta telah mampu memberikan pelayanan pengobatan TBC. Sudah 7 dasawarsa
terakhir, kurang lebih 300.000 pasien Tuberkulosis diobati dan dilayani per tahunnya.
Success Rate pengobatan Tuberkulosis di Indonesia mencapai 90% pasien TB, yang berarti
90% pasien penderita Tuberkulosis yang diobati dapat disembuhkan.

Anda mungkin juga menyukai