Anda di halaman 1dari 15

Hubungan Antara Jumlah Kepemilikan Ternak Fierzha Anugrah Putra

Hubungan Antara Jumlah Kepemilikan Ternak Dengan Tingkat Penerapan Teknologi


Pakan Hijauan Secara Fisik Pada Peternakan Sapi Perah Rakyat

The Correlation Between The Number of Livestock Ownership and Application Level
of Forage Technology Physically in Dairy Farmers Group

Fierzha Anugrah Putra*, Lilis Nurlina**, Syahirul Alim**


Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran, Jalan Raya Bandung – Sumedang KM 21 Sumedang 45363
* Alumni Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran Tahun 2016
** Staf Pengajar Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran
e-mail : fierzhaap@gmail.com

Abstrak
Penelitian dilakukan untuk mengetahui hubungan antara jumlah kepemilikan ternak dengan
tingkat penerapan teknologi pakan hijauan secara fisik pada peternakan sapi perah rakyat.
Penelitian ini dilakukan selama 1 minggu pada tanggal 26 Februari – 3 Maret 2016 bertempat
di Desa Mekarjaya, Kecamatan Cikajang, Kabupaten Garut. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui jumlah kepemilikan ternak dan tingkat penerapan teknologi pakan hijauan secara
fisik serta untuk menganalisis hubungan antara jumlah kepemilikan ternak dengan tingkat
penerapan teknologi pakan hijauan secara fisik. Penelitian menggunakan metode survey
dengan menggunakan analisis statistik deskriptif dan analisis korelasi Rank Spearmann pada
30 responden peternak yang tergabung dalam kelompok Pamegatan. Hasil penelitian
menunjukkan 1)jumlah kepemilikan ternak pada peternakan di kelompok Pamegetan umumnya
termasuk kategori skala rendah yakni 1 – 2 ekor, 2)tingkat penerapan teknologi pakan hijauan
secara fisik pada peternakan di kelompok pamegatan termasuk kedalam kategori sedang dan,
3)jumlah kepemilikan ternak memiliki hubungan positif dengan tingkat penerapan teknologi
pakan hijauan secara fisik pada peternakan sapi perah rakyat dengan nilai Rs 0,487 dengan
tingkat keeratan cukup erat.

Kata kunci : jumlah kepemilikan ternak, teknologi pakan hijauan, Peternak sapi perah rakyat.

Abstract
The research was conducted to investigate the correlation between the number of
livestock ownership and application level of forage technology physically in dairy farmers
group. The aim of this research is to determine the number of livestock ownership and the
application level of forage technology physically as well as to analyze the correlation between
the number of livestock ownership and application level of forage technology physically. The
research was conducted for 1 week on 26 February – 3 March 2016 take place in Desa
Mekarjaya, Kecamatan Cikajang, Kabupaten Garut. This research make use of survey method
with descriptive statistic analysis and Rank Spearmann correlation analysis on 30 farmers
respondence who incorporated in Pamegatan Group. The result of research showed 1) the
number of livestock ownership on farm in Pamegatan group generally was belong to low scale
category specifically 1 – 2 head of dairy, 2) the application level of forage technology physically
on farm in Pamegatan group belong to medium category and, 3) the number of livestock
ownership have a positive correlation on application level of forage technology physically in
dairy farmers group by means of Rs 0,487 with a closeness level of fairly closely.

Keyword : The number of livestock ownership, forage technology, dairy farmers


Hubungan Antara Jumlah Kepemilikan Ternak Fierzha Anugrah Putra

PENDAHULUAN
Subsektor peternakan merupakan salah satu sumber pertumbuhan baru khususnya bagi
sektor pertanian dan perekonomian nasional pada umumnya. Badan Pusat Statistik pada tahun
2014 mencatat bahwa subsektor peternakan menyumbang sekitar Rp. 45.960.100.000 (13,10
%) dari jumlah total PDB sektor pertanian secara nasional. Permintaan terhadap komoditi
peternakan sebagai sumber protein hewani diperkirakan akan semakin meningkat seiring
dengan peningkatan jumlah penduduk dan kesadaran akan gizi masyarakat.
Pengembangan usaha sapi perah merupakan salah satu alternatif dalam rangka
pemenuhan gizi masyarakat serta pengurangan tingkat ketergantungan nasional terhadap impor
susu. Usaha persusuan di Indonesia sudah sejak lama dikembangkan tepatnya pada saat
pemerintahan Hindia Belanda pada tahun 1906 serta pada saat Orde Baru sektor agribisnis
mulai diintensifkan salah satunya adalah agribisnis persusuan. Usaha ternak sapi perah di
Indonesia didominasi oleh skala kecil dengan tingkat kepemilikan ternak kurang dari empat
ekor (80%), empat sampai tujuh ekor (17%), dan lebih dari tujuh ekor (3%). Sekitar 64%
produksi susu nasional disumbangkan oleh usaha ternak sapi perah skala kecil (peternakan
rakyat), sisanya 28% dan 8% diproduksi oleh usaha ternak sapi perah skala menengah dan
usaha ternak sapi perah skala besar (Erwidodo, 1998 dan Swastika dkk., 2005). Pada Kondisi
keragaan usaha ternak sapi perah yang masih sangat kecil itu, menyebabkan ketidakmampuan
untuk bersaing dengan produk impor, sehingga akan memperlemah daya saing usaha usaha
ternak sapi perah di Indonesia.
Skala kepemilikan ternak peternakan sapi perah rakyat dapat diklasifikasikan menjadi
skala kecil, sedang dan besar. Skala usaha peternakan rakyat dibedakan atas tiga skala usaha,
yaitu: (1) skala usaha dengan jumlah kepemilikan ternak betina produktif sebanyak 1 – 3 ekor,
(2) skala usaha dengan jumlah kepemilikan ternak betina produktif sebanyak 4 – 6 ekor, (3)
skala usaha dengan jumlah kepemilikan ternak betina produktif sebanyak minimal 7 ekor
(Suryadi, dkk., 1989).
Tinggi rendahnya produksi susu dalam usaha ternak sapi perah sangat erat kaitannya
dengan jumlah ternak dan struktur populasi ternak sapi perah yang dipelihara
(Dasuki,dkk.,1977). Jumlah ternak yang dipelihara menentukan skala usaha, semakin banyak
jumlah ternak, maka skala usaha juga semakin besar. Meningkatnya skala usaha yang dikelola
akan mengurangi biaya produksi satuan ternak (Dasuki dan Rahayu, 1985).
Jika peternak dapat menggunakan pakan berkualitas dengan harga yang lebih murah,
maka usaha sapi perah dapat memberikan keuntungan yang lebih layak bagi usaha yang
dilaksanakan. Tingginya biaya pakan sering menjadi kendala bagi peternak dalam memenuhi
Hubungan Antara Jumlah Kepemilikan Ternak Fierzha Anugrah Putra

kebutuhan nutrisi sapi yang dipelihara Berdasarkan hal tersebut, diperlukan upaya
menyediakan teknologi yang sesuai dengan kebutuhan peternak dengan harga yang murah
melalui pemanfaatan potensi pakan lokal. Teknologi secara umum diartikan sebagai cara-cara
melakukan proses kegiatan yang memberikan hasil atau produk. Teknologi adalah salah satu
sarana utama untuk mencapai tujuan efektifitas, efisiensi serta produktivitas yang tinggi dari
usaha (Gumbira, 2001).
Tingkat penerapan suatu teknologi akan berkaitan dengan adopsi serta inovasi. Adopsi
atau penerapan teknologi adalah proses perubahan perilaku baik yang berupa pengetahuan
(cognitive), sikap (affective), maupun keterampilan (psicomotoric) pada diri peternak setelah
menerima pesan yang disampaikan penyuluh pada peternak (Rogers, 1983).
Teknologi pakan merupakan salah satu bentuk adopsi yang kerap diterapkan peternak
terutama pada peternakan sapi perah rakyat. Atribut yang mendukung penjelasan tingkat adopsi
dari suatu inovasi meliputi: (1) keunggulan relatif, (2) tingkat kesesuaian, (3) tingkat
kerumitan, (4) dapat dicoba, dan (5) dapat diamati. (Rogers, 1983). Tolok ukur peternak dalam
melihat baik buruknya suatu inovasi biasanya dilihat melalui atribut tersebut. Teknologi pakan
tidak hanya mencakup pengawetan saja, melainkan semua teknologi mulai dari penyediaan
bahan pakan sampai ransum diberikan kepada ternak (Tangendjaja, 2009).
Pada peternakan sapi perah rakyat di wilayah kerja KPGS Cikajang sebagian besar
peternaknya sudah mulai menerapkan beberapa teknologi pakan hijauan secara fisik antara lain
pemberian complete feed pada ternak, pencacahan hijauan pakan ternak, pengeringan hijauan
pakan, penyimpanan pakan hijauan, penggunaan rumput unggul dan penerapan jumlah
pemberian yang sesuai. Namun penerapan teknologi pakan pada peternakan sapi perah rakyat
di Cikajang masih berbeda-beda perlakuan setiap peternaknya, hal tersebut dilihat dari besar
kecilnya jumlah kepemilikan peternakan tersebut.
Penelitian bertujuan untuk mengetahui serta mengalanisis hubungan antara jumlah
kepemilikan ternak dengan tingkat penerapan teknologi pakan hijauan secara fisik pada
peternakan sapi perah rakyat.
Hubungan Antara Jumlah Kepemilikan Ternak Fierzha Anugrah Putra

BAHAN DAN METODE


1. Objek Penelitian
Subjek dalam penelitian ini adalah peternak sapi perah rakyat anggota kelompok
Pamegatan Desa Mekarjaya, Kecamatan Cikajang, Kabupaten Garut, dengan objek yang
diamati berupa jumlah kepemilikan ternak dan tingkat penerapan teknologi pakan hijauan
secara fisik pada peternakan sapi perah rakyat.
2. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan adalah survei. Metode survei adalah suatu penelitian
dengan cara menghimpun informasi dari sampel yang diperoleh dari suatu populasi, dengan
tujuan untuk melakukan generalisasi terhadap populasi di mana sampel tersebut diambil
(Paturochman, 2012).
a. Teknik Penentuan Lokasi Penelitian
Teknik penentuan lokasi penelitian ditentukan dengan secara sengaja (purpossive) yakni
pada Peternakan sapi perah rakyat kelompok Pamegatan, Desa Mekarjaya, Kecamatan
Cikajang, Kabupaten Garut berdasarkan atas pertimbangan-pertimbangan tertentu antara lain
kelompok Pamegatan merupakan kelompok dengan anggota terbanyak di KPGS, Kelompok
peternak dengan produksi susu terbanyak, serta peternak-peternak yang ada di lokasi tersebut
memenuhi kriteria variabel yang diteliti.
b. Teknik Pengambilan Sampel
Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah proportional stratified random
sampling, yaitu pengambilan sampel dari anggota populasi secara acak dan berstrata secara
proporsional, dilakukan sampling ini apabila anggota populasinya heterogen (tidak sejenis).
Apabila penelitian bersifat deskriptif maka sampel minimumnya adalah 10% dari populasi
sedangkan bila penelitian bersifat korelasional maka jumlah sampel minimum yang diambil
yaitu 30 sampel (Gay dan Diehl, 1992). Sampel diambil sebanyak 30 responden dari total 180
peternak yang ada pada kelompok pamegatan.
c. Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas data primer dan data sekunder.
Sumber data dalam penelitian adalah objek dari mana data dapat diperoleh. Apabila penelitian
menggunakan kuisioner atau wawancara dalam pengumpulan datanya, maka sumber data
disebut responden. Responden yaitu orang yang diminta memberikan tentang suatu fakta atau
pendapat. Keterangan tersebut dapat disampaikan dalam bentuk tulisan atau lisan (Arikunto,
2002). Data diperoleh dengan menggunakan beberapa metode yakni dengan menggunakan
metode wawancara, metode observasi dan metode kepustakaan.
Hubungan Antara Jumlah Kepemilikan Ternak Fierzha Anugrah Putra

3. Operasionalisasi Variabel
Berkaitan dengan penelitian ini maka terdapat dua variabel yaitu variabel bebas
(independent variable) dan variabel terikat (dependent variable). Variabel yang menjadi
perhatian utama dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Variabel Bebas
Variabel bebas dalam penelitian ini adalah jumlah kepemilikan ternak. Frekuensi yang
diukur adalah jumlah kepemilikan yaitu jumlah induk produktif yang dikategorikan
berdasarkan kategori peternakan sapi perah rakyat. Diukur dalam satuan ekor dengan skala
rasio dan hasilnya dikelompokkan menjadi kategori besar (5 - 6 ekor), sedang (3 – 4 ekor) dan
kecil (1 – 2 ekor).

b. Variabel Terikat
Variabel terikat dalam penelitian ini adalah tingkat penerapan teknologi pakan pada
peternakan sapi perah rakyat di wilayah kerja KPGS Cikajang. Pemberian skor berdasarkan
skala Likert (ordinal), berjenjang dari satu sampai tiga. Dimensi yang diukur adalah: 1)
pengetahuan peternak, 2) sikap peternak dan 3) keterampilan peternak.

4. Model Analisis Data


a. Analisis Statistik Deskriptif
Data mengenai jumlah kepemilikan ternak dan tingkat penerapan teknologi pakan
hijauan secara fisik di analisis menggunakan analisis statistika deskriptif. Analisis statistik
deskriptif yakni analisis penelitian yang berusaha menggambarkan dan menginterpretasi objek
sesuai dengan data yang diperoleh (Best, 1982 dalam Sukardi, 2004).
b. Analisis Korelasi Rank - Spearmann
Data mengenai hubungan antara jumlah kepemilikan ternak dengan tingkat penerapan
teknologi pakan hijauan secara fisik pada peternakan sapi perah rakyat di kelompok Pamegatan
di analisis menggunakan Analisis korelasi rank Spearmann. Analisis dilakukan menggunakan
program SPSS dan Microsoft Excel agar meminimalisir perhitungan yang keliru.
Untuk menguji apakah terdapat korelasi antara variabel bebas dan variabel terikat maka
perlu dilakukan pengujian hipotesis. Uji signifikansi terhadap hipotesis tersebut dilakukan
dengan uji satu sisi, dimana jika p-value < α (α = 0.05) maka tolak Ho dan terima H1.
Hipotesis yang diajukan yaitu:
Ho = Tidak terdapat hubungan antara jumlah kepemilikan ternak dengan tingkat penerapan
teknologi pakan hijauan secara fisik pada peternakan sapi perah rakyat.
Hubungan Antara Jumlah Kepemilikan Ternak Fierzha Anugrah Putra

H1 = Terdapat hubungan antara jumlah kepemilikan ternak dengan tingkat penerapan


teknologi pakan hijauan secara fisik pada peternakan sapi perah rakyat.
Setelah melalui pengujian hipotesis dan hasilnya signifikan, (Ho ditolak), maka untuk
menentukan keeratan hubungan bisa digunakan Kriteria Guilford (1956), yaitu : kurang dari
0,20 : Hubungan yang sangat kecil dan bisa diabaikan, 0,20 – < 0,40 : Hubungan yang kecil
(tidak erat), 0,40 – < 0,70 : Hubungan yang cukup erat, 0,70 – < 0,90 : Hubungan yang erat
(reliable) 0,90 – rs-krit. Korelasi ini dapat juga disebut sebagai korelasi bertingkat, korelasi
berjenjang, korelasi berurutan, atau korelasi berpangkat.

HASIL DAN PEMBAHASAN


1. Keadaan Umum Wilayah Penelitian
Desa Mekarjaya secara administratif terletak di Kecamatan Cikajang, Kabupaten Garut,
Provinsi Jawa Barat. Desa ini berada 4 km dari Ibukota Kecamatan Cikajang, 30 km dari
Ibukota Kabupaten, dan 200 km dari Ibukota Provinsi. Desa Mekarjaya Terdiri dari 3 Dusun,
7 RW, dan 43 RT. Desa Mekarjaya Berada pada ketinggian ± 1.200 mdpl membuat desa ini
keadaan suhunya relatif rendah, 22º-27ºC ketika siang hari dan 16º-18ºC ketika malam hari.
Luas wilayah Desa Mekarjaya adalah 372.72 Ha yang terdiri atas tanah ladang (200.49 Ha) dan
pemukiman (172.23 Ha). Penduduk Desa Mekarjaya berjumlah 7653 orang, yang terdiri dari
3.862 orang laki-laki dan 3.791 orang perempuan dengan 1871 Kepala keluarga.
Desa Mekarjaya merupakan salah satu wilayah penunjang kemajuan usaha peternakan
sapi perah di wilayah Cikajang, karena merupakan pemasok susu terbesar dengan sentra
peternak sapi perah yang ditenggarai oleh Kelompok Pamegatan. Jumlah populasi sapi perah
di Desa Mekarjaya 387 ekor dengan jumlah peternak sapi perah 181 orang. Seluruh peternak
sapi perah kelompok Pamegatan di Desa Mekarjaya ini tergabung dalam anggota Koperasi
Peternak Garut Selatan (KPGS).

2. Jumlah Kepemilikan Ternak Kelompok Pamegatan


Jumlah kepemilikan ternak pada kelompok Pamegatan diukur melalui jumlah induk
produktif. Penilaian responden dibedakan menjadi tiga kategori yakni kategori besar (5 – 6
ekor), sedang (3 – 4 ekor) dan kecil (1 – 2 ekor) serta dapat dilihat pada tabel 1.
Hubungan Antara Jumlah Kepemilikan Ternak Fierzha Anugrah Putra

Tabel 1. Jumlah Kepemilikan Ternak Kelompok Pamegatan


Jumlah
No. Kategori Orang %
1 Besar (5 – 6 ekor) 2 6,67
2 Sedang (3 – 4 ekor) 9 30
3 Kecil (1 – 2ekor) 19 63,33
Jumlah 30 100

Jumlah kepemilikan ternak pada kelompok Pamegatan berdasarkan Tabel 1 sebagian


besar dapat dikategorikan kedalam kategori kecil (63,33%) dan hanya sedikit responden yang
termasuk kategori tinggi (6,67%). Hal tersebut dikarenakan keterbatasan modal para peternak
untuk meningkatkan jumlah kepemilikan ternak, dan masih terbatasnya lahan HMT (Hijauan
Makanan Ternak), serta kurangnya pengetahuan peternak terhadap manajemen penyediaan
induk pengganti. Selain itu, pada umumnya peternak selalu menjual pedet hasil kelahiran induk
baik pedet jantan maupun betina. Selain itu juga peternak masih mempertimbangkan beban
biaya pemeliharaan apabila jumlah ternak yang dimiliki melebihi kemampuan manajemen
peternak. Hasil pengamatan Erwidodo (1998) dan (Swastika dkk., 2005) menunjukkan bahwa
sekitar 64 persen produksi susu nasional disumbangkan oleh usaha ternak sapi perah skala kecil,
sisanya 28 dan delapan persen diproduksi oleh usaha ternak sapi perah skala menengah dan
usaha ternak sapi perah skala besar. Terbatasnya kepemilikan ternak yang ada pada peternakan
sapi perah rakyat di Kelompok Pamegatan mengakibatkan pendapatan yang diterima oleh
peternak rendah dan tidak mampu dijadikan sebagai sumber penghasilan utama.

3. Tingkat Penerapan Teknologi Pakan Hijauan Secara Fisik Kelompok Pamegatan


Penerapan bisa dikatakan juga adopsi yakni suatu cara yang dilakukan seseorang melalui
perubahan perilaku baik pengetahuan, sikap maupun keterampilan. Penilaian responden
peternak terhadap tingkat penerapan teknologi pakan hijauan secara fisik dibedakan menjadi
beberapa kategori yaitu, tinggi, sedang dan rendah serta dapat dilihat pada tabel 2.

Tabel 2. Tingkat Penerapan Teknologi Pakan Hijauan Secara Fisik Kelompok Pamegatan
Jumlah
No Kategori Orang %
1 Tinggi 1 3,33
2 Sedang 22 73,33
3 Rendah 7 23,33
Jumlah 30 100

Tingkat penerapan teknologi pakan hijauan secara fisik pada kelompok Pamegatan
berdasarkan Tabel 2 dapat dikategorikan cukup baik, karena sebagian besar peternak responden
Hubungan Antara Jumlah Kepemilikan Ternak Fierzha Anugrah Putra

di kelompok Pamegatan dapat menerima dan menerapkan dengan baik teknologi pakan hijauan
secara fisik, yakni termasuk pada kategori sedang (73,33%) dan rendah (23,33%) serta pada
kategori tinggi (3,33%) hanya ketua kelompok Pamegatan yang termasuk kedalam kategori ini.
Tingkat penerapan teknologi pakan hijauan secara fisik yang cukup baik di kelompok ini tidak
terlepas dari peran ketua kelompok yang aktif dalam menyampaikan kembali materi
penyuluhan yang diberikan oleh para penyuluh dari KPGS.

a. Pengetahuan Peternak Terhadap Teknologi Pakan Hijauan Secara Fisik


Pengetahuan peternak dalam penelitian ini diukur melalui pengetahuan tentang
complete feed, cara menyimpan hijauan, cara mengeringkan hijauan, cara memberikan hijauan
berdasarkan proporsi yang tepat dan tentang rumput unggul. Tingkat pengetahuan peternak
dapat dilihat pada tabel 3.

Tabel 3. Tingkat Pengetahuan Peternak Terhadap Teknologi Pakan Hijauan Secara Fisik
Kategori
No. Uraian Tinggi Sedang Rendah
%
1 Pengetahuan mengenai complete 0 26,67 73,33
feed
2 Pengetahuan mengenai 20 66,67 13,33
penyimpanan hijauan
3 Pengetahuan mengenai 20 63,33 16,67
pengeringan hijauan
4 Pengetahuan mengenai pemberian 0 10 90
hijauan
5 Pengetahuan mengenai rumput 6,67 36,67 56,66
unggul
Tingkat Pengetahuan Peternak 9,34 40,67 49,99

Tingkat pengetahuan peternak mengenai teknologi pakan hijauan secara fisik sebagian
besar peternak kelompok Pamegatan berada pada kategori antara sedang dan rendah (masing-
masing 40,67% dan 49,99%). Hal ini terutama dilihat dari tingkat pengetahuan mengenai
complete feed dan rumput unggul yang tergolong kategori rendah. Hampir sebagian besar
Peternak baik pada skala kepemilikan kecil maupun sedang tidak mengetahui secara jelas
mengenai complete feed. Demikian pula dengan pengetahuan mengenai rumput unggul,
peternak menganggap rumput lapang jauh lebih baik dari rumput raja (king grass) dan rumput
gajah. Hal tersebut tidak sesuai dengan pendapat Rukmana (2005) yang menjelaskan bahwa
rumput tanam yang sering disebut hijauan atau rumput unggul adalah rumput yang sengaja
dibudidayakan atau ditanam, karakteristik rumput unggul adalah produksi dan nilai gizinya
Hubungan Antara Jumlah Kepemilikan Ternak Fierzha Anugrah Putra

tinggi, jenis rumput yang banyak dan sengaja ditanam adalah rumput gajah, rumput raja, rumput
benggala, dan lain-lain.
Sedangkan tingkat pengetahuan sebagian besar peternak mengenai cara penyimpanan
pakan dan pengeringan pakan tergolong kategori sedang. Pengetahuan peternak mengenai
pemberian hijauan sesuai proporsi yang tepat juga tergolong kategori rendah (90%). Seluruh
peternak responden memiliki ternak laktasi dengan bobot diatas 500 Kg, sehingga seharusnya
pakan yang diberikan minimal 50 Kg atau lebih dari itu sesuai dengan yang dianjurkan oleh
bagian keswan dari KPGS. Seluruh responden peternak yang diamati pada umumnya
memberikan pakan hijauan berdasarkan jumlah hijauan per karung dan menganggap satu
karung itu adalah 40 Kg – 50 Kg dan tanpa ditimbang terlebih dahulu, sehingga proporsi yang
diberikan cenderung taksiran dan kemungkinan tidak sesuai. Menurut Hidayat (2001) pakan
hijauan yang diberikan setelah pemerahan susu adalah sebanyak 30-50 kg/ekor/hari atau 10%
dari bobot badan sapi. Rendahnya tingkat pengetahuan peternak dipengaruhi oleh tingkat
pendidikannya, karena hampir sebagian besar peternak yang diamati hanya mengenyam
pendidikan hingga bangku SD.
Pengetahuan peternak terbentuk pada tahapan adopsi sadar dan minat. Pada tahapan
sadar, peternak mulai kontak dengan sumber-sumber informasi mengenai teknologi pakan dan
tersedianya media atau sumber informasi mengenai teknologi pakan hijauan secara fisik. Pada
tahap minat, peternak mulai merasa membutuhkan teknologi pakan dan peternak pun mulai
aktif mencari tahu informasi mengenai teknologi pakan hijauan secara fisik, selain itu pula
dengan adanya ketersediaan informasi dari kelembagaan peternak dalam hal ini koperasi pun
akan memberikan dorongan kepada peternak untuk lebih memaksimalkan teknologi pakan
hijauan secara fisik. Hasil pengamatan Mosher (1978) menjelaskan bahwa proses suatu adopsi
inovasi biasanya dihubungkan dengan perluasan pertanian. Tahapan proses adopsi terdiri dari
5 tahap yaitu sadar, minat, evaluasi/penilaian dan adopsi (penerapan).

b. Sikap Peternak Terhadap Teknologi Pakan Hijauan Secara Fisik


Sikap peternak terbentuk pada tahapan adopsi menilai atau evaluasi. Pada fase ini,
peternak mulai mengetahui tentang keuntungan relatif dari penerapan teknologi pakan dengan
kesediaannya untuk mulai mencoba memanfaatkan dan mempraktekkan lebih lanjut teknologi
pakan hijauan secara fisik. Sikap peternak terhadap teknologi pakan hijauan secara fisik pada
kelompok Pamegatan dapat dilihat pada tabel 4.
Hubungan Antara Jumlah Kepemilikan Ternak Fierzha Anugrah Putra

Tabel 4. Sikap Peternak Terhadap Teknologi Pakan Hijauan Secara Fisik


Kategori
No. Uraian Tinggi Sedang Rendah
%
1 Kesediaan menggunakan 30 66,67 3,33
complete feed
2 Kesediaan melakukan 66,67 6,67 26,66
penyimpanan hijauan yang baik
3 Kesediaan melakukan 20 70 10
pengeringan hijauan yang baik
4 Kesediaan melakukan pemberian 10 36,67 53,33
hijauan yang sesuai proporsi
5 Kesediaan menggunakan rumput 93,33 0 6,67
unggul
Sikap Peternak 44 36.02 19.98

Sikap peternak terhadap kesediaan untuk menerapkan teknologi pakan hijauan secara
fisik tergolong dalam kategori antara tinggi (44%) dan sedang (36,02%). Sebagian besar
peternak bersedia menggunakan complete feed jika sudah memiliki pengetahuan yang cukup
dan diyakini memberikan keuntungan. Tabel 4 menunjukkan bahwa kesediaan peternak dalam
menggunakan complete feed masih tergolong dalam kategori sedang (66,67%), sementara
kesediaan peternak untuk melakukan penyimpanan pakan hijauan yang baik tergolong tinggi
karena sebagian besar peternak ingin menerapkannya (66,67%). Hal ini berbeda dengan
kesediaan peternak untuk melakukan pengeringan pakan hijauan yang hanya tergolong kategori
sedang karena sebagian besar peternak hanya akan mencobanya saja (70%). Kesediaan
peternak untuk melakukan pemberian pakan hijauan sesuai dengan proporsi yang tepat
tergolong kategori rendah (53,33%), karena sebagian besar peternak menganggap hal tersebut
rumit dan tidak efisien. Kondisi ini sejalan dengan pendapat Rogers (2003) yang menunjukkan
bahwa penerimaan masyarakat terhadap suatu inovasi teknologi pertanian yang baru
diperkenalkan dipengaruhi oleh lima faktor yaitu keuntungan relatif dari teknologi yang
diperkenalkan dengan apa yang sudah diketahui dan diterapkan selama ini, kesesuaian terhadap
kondisi lingkungan dan sosial budaya masyarakat setempat, tingkat kerumitan dari teknologi
yang diperkenalkan, dapat dicoba dan mudah diamati. Tingkat kerumitan menjadi hal yang
sangat dipertimbangkan peternak.
Seluruh peternak responden bersedia untuk menggunakan dan menerapkan rumput
unggul sehingga tergolong kategori tinggi (90%), karena penggunaan rumput unggul dinilai
dapat meningkatkan produktifitas sapi perah yang mereka miliki. Uraian di atas menunjukkan
bahwa peternak dapat menerima inovasi teknologi pakan hijauan secara fisik. Adanya
Hubungan Antara Jumlah Kepemilikan Ternak Fierzha Anugrah Putra

pengalaman dari peternak lain serta peran dari ketua kelompok yang sudah mengetahui tentang
pentingnya teknologi pakan hijauan secara fisik berpengaruh terhadap difusi inovasi teknologi
pakan hijauan ini, serta adanya penerangan kepada peternak mengenai keuntungan relatif dari
penerapan teknologi pakan ini juga mempengaruhi sikap peternak terhadap teknologi pakan
hijauan secara fisik. Berdasarkan paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa para peternak
responden menyetujui (mau menerapkan) teknologi pakan hijauan secara fisik karena dinilai
dapat meningkatkan produktifitas ternak sapi perah yang, namun perlu didukung peran
penyuluh dalam memberikan penyuluhan yang rutin terkait penerapan teknologi pakan hijauan
secara fisik.

c. Keterampilan Peternak Terhadap Teknologi Pakan Hijauan Secara Fisik


Tindakan peternak terbentuk pada tahapan adopsi mencoba dan menerapkan. Pada
tahap mencoba, peternak mulai mencoba-coba untuk menerapkan penggunaan teknologi pakan
hijauan secara fisik, terutama dalam hal pencacahan hijauan, penyimpanan pakan dan
pengeringan pakan. Keterampilan peternak terhadap teknologi pakan hijauan secara fisik dapat
dilihat pada tabel 5.

Tabel 5. Keterampilan Peternak Terhadap Teknologi Pakan Hijauan Secara Fisik


Kategori
No. Uraian Tinggi Sedang Rendah
%
1 Pola penyediaan hijauan 0 93,33 6,67
2 Upaya peningkatan kualitas 0 26,67 73,33
hijauan
3 Keterampilan saat ketersediaan 0 90 10
hijauan minim
4 Membuat complete feed 0 0 100
5 Melakukan pengeringan pakan 6,67 56,66 36,67
6 Melakukan penyimpanan pakan 6,67 13,33 80
7 Menggunakan atau menanam 90 3,33 6,67
rumput unggul
Keterampilan peternak 14,76 40,47 44,77

Berdasarkan Tabel 5 keterampilan/tindakan peternak terhadap teknologi pakan hijauan


secara fisik sebagian besar tergolong kategori rendah dan sedang berturut-turut sebesar 44,77%
dan 40,47%. Hal ini disebabkan oleh kurangnya ketersediaan dari pakan hijauan itu sendiri.
Sebagian besar peternak (93,33%), sudah memiliki lahan untuk penyediaan hijauan makanan
ternak, namun hasil panen hijauan dari lahan tersebut masih belum bisa memenuhi kebutuhan
ternaknya, sehingga terkadang peternak harus mencari hijauan ke bukit atau membeli ke buruh
Hubungan Antara Jumlah Kepemilikan Ternak Fierzha Anugrah Putra

tani yang dijual per karung. Kurangnya produksi hijauan selain karena luas lahan yang terbatas
juga karena sebagian besar responden (73,33%), tidak melakukan pemupukan, pengairan
berupa irigasi serta pemotongan rumput yang tepat saat panen.
Upaya yang dilakukan peternak ketika ketersediaan hijauan minim terutama pada
musim kemarau diatasi dengan cara mengganti pakan hijauan dengan limbah pertanian berupa
daun wortel, kubis dan batang pohon pisang. Seluruh responden peternak tidak pernah
membuat complete feed, karena kurangnya pengetahuan peternak dan mempertimbangkan
kerumitan dalam pembuatanya. Seharusnya peternak dapat memanfaatkan limbah pertanian
yang dijadikan pakan pengganti tersebut untuk dibuat menjadi complete feed, sesuai pendapat
Pamuji (2012) yang menyebutkan bahwa secara umum complete feed adalah suatu teknologi
formulasi pakan yang mencampur semua bahan pakan yang terdiri dari hijauan (limbah
pertanian) dan konsentrat yang dicampur menjadi satu tanpa atau hanya dengan sedikit
tambahan rumput segar.
Sebagian besar peternak (56,66%) sudah melakukan pengeringan pakan namun masih
tergolong kategori sedang, karena peternak yang telah mendapatkan informasi dari penyuluh
untuk mengeringkan terlebih dahulu agar pakan hijauan yang diberikan kandungan airnya tidak
berlebih, walaupun dalam mengeringkan pakan hijauan peternak masih melakukannya secara
tradisional yaitu hanya dihamparkan di alas panggung (paranggung) didalam rumah pada saat
musim hujan dan dihamparkan di depan pekarangan pada musim kemarau agar terkena sinar
matahari. Sedangkan untuk upaya penyimpanan pakan hijauan, sebagian besar peternak
responden (80%) masih tergolong kategori rendah, karena tidak memiliki fasilitas untuk
menyimpan pakan di tempat yang tertutup seperti tong dan gudang pakan, peternak hanya
menyimpan pakan di ruangan terbuka serta di area kandang yang masih kosong dan minim
cahaya matahari, sehingga tempat penyimpanan tersebut berada dalam kondisi lembab dan
pakan hijauan akan mudah rusak.
Sebagian besar peternak responden dalam memanfaatkan rumput unggul tergolong
kategori tinggi (90%), hal ini dilihat dari peternak yang telah menggunakan dan menanam
rumput unggul berupa king grass, rumput gajah, serta ada beberapa yang menanam rumput
alfalfa. Pemahaman peternak terhadap definisi rumput unggul masih kurang. Peternak hanya
mengetahui rumput yang unggul itu dilihat dari jumlah produksi susu yang dihasilkan sapi
perah ketika diberikan rumput tersebut, dan peternak menilai rumput lapang jauh lebih unggul
daripada rumput gajah, king grass, karena rumput lapang memberikan hasil produksi yang lebih
baik dibandingkan king grass dan rumput gajah, sedangkan king grass dan rumput gajah dinilai
peternak hanya memberikan nilai berat jenis (BJ) yang baik saja. Mindset peternak rakyat yang
Hubungan Antara Jumlah Kepemilikan Ternak Fierzha Anugrah Putra

masih memikirkan kuantitas produksi daripada kualitas produksi terbentuk karena pendapatan
yang diperoleh peternak lebih ditentukan oleh jumlah produksi susu dibanding kualitas susu
sehingga peternak kurang memperhatikan kualitas susu.
Peternak terlebih dahulu mencoba menerapkan secara terbatas atau sebagai percobaan.
Pada tahap percobaan dianggap sangat penting karena dapat menentukan pengambilan
keputusan akhir peternak, namun belum tentu pula hasil percobaan diterapkan oleh peternak.
Para peternak dalam melakukan percobaan teknologi pakan hijauan secara fisik masih trial and
error (coba-coba), sehingga untuk sampai pada tingkat penerapan yang sesuai perlu dukungan
penyuluh dan ketua kelompok serta peternak lain yang pernah mencoba menggunakan
teknologi pakan hijauan secara fisik pun akan berpengaruh terhadap keterampilan/tindakan
peternak terhadap teknologi pakan hijauan secara fisik. Dari uraian tersebut maka dapat
disimpulkan bahwa sebagian besar peternak hanya menerima inovasi penerapan teknologi
pakan hijauan secara fisik ini, namun belum jauh diterapkan secara berkelanjutan.

4. Hubungan Antara Jumlah Kepemilikan Ternak Dengan Tingkat Penerapan


Teknologi Pakan Hijauan Secara Fisik
Berdasarkan hasil perhitungan menggunakan program SPSS didapat p-value sebesar
0,006 dengan taraf nyata α sebesar 5% atau 0,05, melalui uji signifikansi didapat hasil p-value
< α maka tolak H0 dan terima H1. Berdasarkan hasil analisis korelasi Rank Spearmann tersebut
diperoleh bahwa terdapat hubungan positif antara jumlah kepemilikan ternak dengan tingkat
penerapan teknologi pakan hijauan secara fisik dengan nilai rS 0,487 dengan tingkat keeratan
cukup erat. Hal tersebut menunjukkan bahwa semakin tinggi jumlah kepemilikan ternak maka
akan semakin baik pula tingkat penerapan teknologi pakan hijauan secara fisik yang diterapkan
peternak tersebut.
Jumlah kepemilikan ternak pada peternakan di kelompok Pamegatan umumnya termasuk
kategori skala kecil (1 – 2 ekor) dan tingkat penerapan teknologi pakan hijauan secara fisik
yang diukur melalui tingkat pengetahuan, sikap dan keterampilan termasuk kategori sedang.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin besar skala kepemilikan ternak umumnya
semakin baik juga tingkat penerapan teknologi pakan hijauan secara fisik. Pada umumnya sikap
peternak (kesediaan) untuk menerapkan teknologi pakan hijauan secara fisik dinilai cukup, baik
itu pada skala kepemilikan kecil dan sedang, Sedangkan tingkat pengetahuan dan keterampilan
peternak cenderung berbanding lurus dengan skala kepemilikan ternak yang dimiliki (semakin
tinggi skala kepemilikan maka semakin baik).
Hubungan Antara Jumlah Kepemilikan Ternak Fierzha Anugrah Putra

Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat diambil kesimpulan sebagai
berikut:
a. Jumlah kepemilikan ternak pada kelompok Pamegatan umumnya berada pada kategori
rendah yakni antara 1-2 ekor.
b. Tingkat penerapan teknologi pakan hijauan secara fisik pada kelompok Pamegatan
termasuk kedalam kategori sedang.
c. Terdapat hubungan yang positif dan tidak erat (kecil) antara skala kepemilikan ternak
dengan tingkat penerapan teknologi pakan hijauan secara fisik pada peternakan sapi
perah rakyat kelompok Pamegatan dengan nilai rS sebesar 0,487.

Saran
Adapun saran yang dapat diberikan adalah sebagai berikut:
a. Penyuluh diharapkan dapat memaksimalkan perannya dalam hal pemberian kegiatan
penyuluhan secara berkala terkait teknologi pakan hijauan secara fisik.
b. Peternak harus lebih membuka wawasan terhadap hal-hal baru dalam hal ini teknologi
pakan hijauan secara fisik.

Ucapan Terimakasih
Terimakasih penulis sampaikan kepada Dosen pembimbing utama dan Dosen
pembimbing anggota yang telah membimbing penulis dan memberikan masukan dalam skripsi
serta artikel ilmiah ini. Terimakasih juga penulis sampaikan kepada kelompok tani Pamegatan
Desa Mekarjaya Kecamatan Cikajang, Kabupaten Garut. Tak lupa juga penulis menyampaikan
terimakasih kepada KEMENRISTEK-DIKTI dan CIMB Niaga yang telah memberikan
Beasiswa Unggulan CIMB Niaga untuk menunjang biaya pendidikan penulis.

DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, S. 2002. Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta. PT. Rineka Cipta.
Dasuki, A dan Rahayu, S. 1985. Perbandingan Biaya Usaha Pokok Usaha Peternakan Sapi
Perah di Indonesia. Loka Karya Penyusunan Kebijaksanaan Pengembangan Sapi Perah
dan Ternak Kecil. Jakarta. Agribisnis Sapi Perah Bandung: Widya Padjadjaran
Dasuki, M.A., Paggi., Atmadja., M. Makin., A. Komar. 1977. Manajemen Usaha Peternakan
Sapi Perah di Indonesia. Loka Karya Penyusunan Kebijaksanaan Pengembangan Sapi
Perah dan Ternak Kecil. Jakarta.
Erwidodo. 1998. Dampak Krisis Moneter dan Reformasi Ekonomi terhadap Industri Persusuan
di Indonesia. Prosiding. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Departemen
Pertanian. Jakarta.
Gay, L. R. dan Diehl, P. L. 1992, Research Methods for Business and Management, Macmillan
Publishing Company, New York.
Hubungan Antara Jumlah Kepemilikan Ternak Fierzha Anugrah Putra

Hidayat, Arif. 2001. Buku Petunjuk Peternakan Sapi Perah. Jakarta: Dairy Technology
Improve Element Project Indonesia Pamuji, T. 2012. Pembuatan Complete Feed (Pakan
Kumplit) Untuk Ternak Ruminansia. www.teguhpramuji.wordpress.com. Di download
29 maret 2016.
Mosher, A.T. 1978. An Introduction to Agricultural Extension. Agricultural Development
Council. New York
Paturochman, M. 2012. Penentuan Jumlah dan Teknik Pengambilan Sampel. (Untuk Penelitian
Sosial Ekonomi). Unpad Press. Bandung
Rogers, M. Everett, 1983. Diffusion Of Innovations. Third edition. The Free Press. A Division
of Macmillan Publishing Co., Inc. New York.
Rukmana, Rahmat. 2005. Rumput Unggul Hijauan Makanan Ternak.
Penerbit Kanisius.Yogyakarta.
Said, E Gumbira. 2001 . Manajemen Teknologi Agribisnis. Ghalia Indonesia.
Sukardi, 2004, Metodologi Penelitian Pendidikan: Kompetensi dan Praktiknya, Jakarta: Bumi
Aksara.
Suryadi. D, R. Thawaf, S. Rahayu, Soedjana, Taslim, Permadi. 1989. Analisis Biaya Produksi
Susu pada Usaha Ternak Sapi Perah . Fakutas Peternakan Universitas Padjadjaran.
Bandung
Swastika, D. K. S, et. al. 2005. Dampak Krisis ekonomi terhadap Prospek Pengembangan
Peternakan Sapi Perah. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Penelitian Sosial ekonomi
Pertanian Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian. Bogor.
Tangendjaja B. 2009. Teknologi pakan dalam menunjang industri peternakan di Indonesia.
Pengembangan Inovasi Pertanian 2(3): 192-207. Bogor (ID): Pusat Penelitian dan
Pengembangan Peternakan.

Anda mungkin juga menyukai