A. Defenisi Stunting
Stunting atau sering disebut kerdil atau pendek adalah kondisi
gagal tumbuh pada anak berusia di bawah lima tahun (balita) akibat
kekurangan gizi kronis dan infeksi berulang terutama pada periode 1.000
Hari Pertama Kehidupan (HPK), yaitu dari janin hingga anak berusia 23
bulan. Anak tergolong stunting apabila panjang atau tinggi badannya
berada di bawah minus dua standar deviasi panjang atau tinggi anak
seumurnya. (TNP2K, 2018).
Stunting adalah perawakan pendek yang disebabkan oleh
malnutrisi kronis. Stunting pada anak balita biasanya kurang disadari
karena adanya perbedaan dengan anak yang tinggi normalnya tidak
terlalu terlihat. Stunting biasanya baru disadari setelah anak memasuki
masa puber atau remaja. Hal ini merugikan karena semakin terlambat
menyadarinya, semakin sulit mengatasi stunting. (Hendricks, 2005)
Stunting adalah kondisi tinggi badan seseorang yang kurang dari
normal berdasarkan usia dan jenis kelamin. Tinggi badan merupakan
salah satu jenis pemeriksaan antropometri dan menunjukkan status gizi
seseorang. Adanya stunting menunjukkan status gizi yang kurang
(malnutrisi) dalam jangka waktu yang lama (kronis). Diagnosis stunting
ditegakkan dengan membandingkan nilai z skor tinggi badan per umur
yang diperoleh dari grafik pertumbuhan yang sudah digunakan secara
global. Indonesia menggunakan grafik pertumbuhan yang dibuat oleh
World Health Organization (WHO) pada tahun 2005 untuk menegakkan
diagnosis stunting. Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI tahun
2010 maka gizi kurang dikategorikan seperti dalam tabel di bawah ini
[STRATEGI PENCEGAHAN STUNTING DIMASA KEHAMILAN
DAN BADUTA] 2020
B. Penyebab Stunting
1. Faktor Genetik
Sebuah Penelitian menyimpulkan bahwa tinggi badan orang tua
sangat mempengaruhi kejadian stunting pada anak. Salah satunya
adalah penelitian di kota Semarang pada tahun 2011 menyimpulkan
bahwa Ibu pendek (< 150 cm) merupakan faktor risiko stunting pada
anak 1-2 th. Ibu yang tubuhnya pendek mempunyai risiko untuk
memiliki anak stunting 2,34 kali dibanding ibu yang tinggi badannya
normal. Ayah pendek (< 162 cm) merupakan faktor risiko stunting
pada anak 1-2 th. Ayah pendek berisiko mempunyai anak stunting
2,88 kali lebih besar dibanding ayah yang tinggi badannya normal
(Candra dkk, 2011)
Tinggi badan orangtua sendiri sebenarnya juga dipengaruhi
banyak faktor yaitu faktor internal seperti faktor genetik dan faktor
eksternal seperti faktor penyakit dan asupan gizi sejak usia dini.
Faktor genetik adalah faktor yang tidak dapat diubah sedangkan
faktor eksternal adalah faktor yang dapat diubah. Hal ini berarti jika
ayah pendek karena gen-gen yang ada pada kromosomnya memang
membawa sifat pendek dan gen-gen ini diwariskan pada
keturunannya, maka stunting yang timbul pada anak atau
keturunannya sulit untuk ditanggulangi. Tetapi bila ayah pendek
karena faktor penyakit atau asupan gizi yang kurang sejak dini,
seharusnya tidak akan mempengaruhi tinggi badan anaknya. Anak
tetap dapat memiliki tinggi badan normal asalkan tidak terpapar oleh
faktor-faktor risiko yang lain. (Candra, 2020)
2. Faktor Ekonomi
Status ekonomi kurang dapat diartikan daya beli juga rendah
sehingga kemampuan membeli bahan makanan yang baik juga
rendah. Kualitas dan kuantitas makanan yang kurang menyebabkan
[STRATEGI PENCEGAHAN STUNTING DIMASA KEHAMILAN
DAN BADUTA] 2020
Selain itu, Stunting juga disebabkan oleh faktor multi dimensi dan
tidak hanya disebabkan oleh faktor gizi buruk yang dialami oleh ibu
hamil maupun anak balita. Intervensi yang paling menentukan untuk
dapat mengurangi pervalensi stunting dengan melakukan intervensi
pada 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) dari anak balita. Secara
lebih detil, beberapa faktor yang menjadi penyebab stunting dapat
digambarkan sebagai berikut2 : (TNP2K, 2017)
1. pengasuhan yang kurang baik,
Pengasuhan yg kurang baik termasuk kurangnya
pengetahuan ibu mengenai kesehatan dan gizi sebelum dan
pada masa kehamilan, serta setelah ibu melahirkan. Beberapa
fakta dan informasi yang ada menunjukkan bahwa 60% dari
anak usia 0-6 bulan tidak mendapatkan Air Susu Ibu (ASI)
secara ekslusif, dan 2 dari 3 anak usia 0-24 bulan tidak
menerima Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI). MP-
ASI diberikan/mulai diperkenalkan ketika balita berusia diatas
6 bulan. Selain berfungsi untuk mengenalkan jenis makanan
baru pada bayi, MPASI juga dapat mencukupi kebutuhan
nutrisi tubuh bayi yang tidak lagi dapat disokong oleh ASI,
serta membentuk daya tahan tubuh dan perkembangan sistem
imunologis anak terhadap makanan maupun minuman.
2. Masih terbatasnya layanan kesehatan termasuk layanan ANC-
Ante Natal Care (pelayanan kesehatan untuk ibu selama masa
kehamilan) Post Natal Care dan pembelajaran dini yang
berkualitas.
Informasi yang dikumpulkan dari publikasi Kemenkes dan
Bank Dunia menyatakan bahwa tingkat kehadiran anak di
Posyandu semakin menurun dari 79% di 2007 menjadi 64% di
2013 dan anak belum mendapat akses yang memadai ke
[STRATEGI PENCEGAHAN STUNTING DIMASA KEHAMILAN
DAN BADUTA] 2020
C. Dampak Stunting
Menurut World Health Organization (WHO) Dampak yang
ditimbulkan stunting dapat dibagi menjadi 2 bagian, yaitu dampak jangka
pendek dan jangka panjang.
1. Dampak Jangka Pendek.
a. Peningkatan kejadian kesakitan dan kematian;
b. Perkembangan kognitif, motorik, dan verbal pada anak tidak
optimal; dan
c. Peningkatan biaya kesehatan.
2. Dampak Jangka Panjang.
a. Postur tubuh yang tidak optimal saat dewasa (lebih pendek
dibandingkan pada umumnya);
b. Meningkatnya risiko obesitas dan penyakit lainnya;
c. Menurunnya kesehatan reproduksi;
d. Kapasitas belajar dan performa yang kurang optimal saat
masa sekolah; dan
e. Produktivitas dan kapasitas kerja yang tidak optimal.
kepada bayi baru lahir untuk menyusu sendiri pada ibunya dalam
satu jam pertama kelahirannya.
Dalam 1 jam kehidupan pertamanya setelah dilahirkan ke
dunia, pastikan mendapatkan kesempatan untuk melakukan Inisiasi
Menyusu Dini (IMD). IMD adalah proses meletakkan bayi baru lahir
pada dada atau perut sang ibu agar bayi secara alami dapat mencari
sendiri sumber Air Susu Ibu (ASI) dan menyusu. Sangat bermanfaat
karena bayi akan mendapatkan kolostrum yang terdapat pada tetes
ASI pertama ibu yang kaya akan zat kekebalan tubuh. Tidak hanya
bagi bayi, IMD juga sangat bermanfaat bagi Ibu karena membantu
mempercepat proses pemulihan pasca persalinan. Meskipun
manfaatnya begitu besar, banyak ibu yang tidak berhasil
mendapatkan kesempatan IMD, karena kurangnya pengetahuan dan
dukungan dari lingkungan (Kemenkes RI, 2017).
World Health Organization (WHO) merekomendasikan
pemberian ASI Eksklusif selama 6 bulan pertama dan pemberian ASI
diteruskan hingga anak berusia 2 tahun untuk meningkatkan daya
tahan tubuh anak dan mengurangi risiko kontaminasi dari
makanan/minuman selain ASI Pemberian ASI Eksklusif menurunkan
risiko infeksi saluran cerna, otitis media, alergi, kematian bayi, infeksi
usus besar dan usus halus (inflammatory bowel disease), penyakit
celiac, leukemia, limfoma, obesitas, dan DM pada masa yang akan
datang. Pemberian ASI Eksklusif dan meneruskan pemberian ASI
hingga 2 tahun juga dapat mempercepat pengembalian status gizi
ibu, menurunkan risiko obesitas, hipertensi, rematoid artritis, kanker
payudara ibu. (Rahayu et al, 2018)
3. Periode 6 – 24 bulan (540 hari)
Pada usia ini anak berada pada periode pertumbuhan dan
perkembangan cepat, mulai terpapar terhadap infeksi dan secara
fisik mulai aktif, sehingga kebutuhan terhadap zat gizi harus
[STRATEGI PENCEGAHAN STUNTING DIMASA KEHAMILAN
DAN BADUTA] 2020
Pilar 1: Komitmen dan Visi Pimpinan Tertinggi Negara. Pada pilar ini,
dibutuhkan Komitmen dari Presiden/Wakil Presiden untuk mengarahkan
K/L terkait Intervensi Stunting baik di pusat maupun daerah. Selain itu,
diperlukan juga adanya penetapan strategi dan kebijakan, serta target
nasional maupun daerah (baik provinsi maupun kab/kota) dan
memanfaatkan Sekretariat Sustainable Development Goals/SDGs dan
[STRATEGI PENCEGAHAN STUNTING DIMASA KEHAMILAN
DAN BADUTA] 2020
melalui kemitraan dengan dunia usaha, dana desa, dan lain-lain dalam
infrasturuktur pasar pangan baik ditingkat urban maupun rural.
Pilar 5 : Pemantauan dan Evaluasi. Pilar yang terakhir ini mencakuo
pemantauan exposure terhadap kampanye nasional, pemahaman serta
perubahan perilaku sebagai hasil kampanye nasional stunting.
Pemantauan dan evaluasi secara berkala untuk memastikan pemberian
dan kualitas dari layanan program intervensi stunting. Pengurangan dan
publikasi secara berkala hasil intervensi stunting dan perkembangan
anak setiap tahun untuk akuntabilitas, Result-based planning and
budgeting (penganggran dan perencanaan berbasis hasil) program pusat
dan daerah, dan pengendalian program-program intervensi stunting.
(TNP2K, 2017)
Adapun Strategi nasional Pencegahan Stunting yang dikeluarkan
berdasarkan Lima Pilar tersebut, antara lain :
1. Pilar 1 : Komitmen dan Visi Pemimpin Tertinggi Negara :
a. Kepemimpinan Presiden/Wakil Presiden untuk pencegahan
stunting; dengan memastikan bahwa visi, arahan, dan
dukungan Presiden dan Wakil Presiden tersosialisasi dengan
baik dan diterjemahkan ke dalam kebijakan dan distribusi
sumber daya yang tepat sasaran dan memadai di semua
tingkatan.
b. Kepemimpinan Pemerintah Daerah untuk pencegahan
stunting; dengan menciptakan lingkungan kebihakan yang
mendukung bagi penyelenggaraan kegiatan konvergensi
pencegahan stunting berbasis hasil.
c. Kepemimpinan Pemerintah Desa untuk pencegahan stunting;
dengan menciptakan lingkungan kebijakan yang mendukung
bagi penyelenggaraan pencegahan stunting secara konvergen
di tingkat desa.
[STRATEGI PENCEGAHAN STUNTING DIMASA KEHAMILAN
DAN BADUTA] 2020
kekurangan gizi, orang brazil yang hidup dengan < 1,25 US $ per hari
turun dari 25,6% menjadi 4,8% antara tahun 1990 dan 2008, seperti
yang terjadi pada balita pendek, dari 37,1 % pada tahun 1974 menjadi
7,1% pada tahun 2007. Gizi kurang pada anak-anak antara usia satu
dan dua tahun dari 20% menjadi 5% dan kurang dari 2% anak saat ini
menderita wasting. Ada Lima faktur kunci telah berkontrubusi pada
keberhasilan brazil dalam memerangi gizi buruk :
a. peningkatan daya beli keluarga melalui peningkatan upah minumun
dan perluasan program bantuan tunai.
b. peningkatan tingkat pendidikan perempauan
c. peningkatan dan perluasan layanan kesehatan ibu dan anak.
d. perluasan sistem air dan sanitasi, dan
e. peningkatan kualitas dan kuantitas pangan yang diproduksi oleh
pertanian keluarga kecil.
Keberhasilan brazil jga didorong oleh kepemimpinan politik,
desentralisasi yang efektif, keterlibatan aktif masyarakat sipil, serta
pandangan bersyarat dan ditargetkan. Pemeritah brazil tidak hanya
menunjukkan kemauan politik yang kuat untuk memerangi malnutrisi,
tetapi juga berinvestasi secara strategis dalam kebijakan dan program
untuk meningkatkan akses ke layanan sosial.
2. Peru
Di peru, CRECER (tumbuh). Strategi nasional melawan malnutrisi
anak memeiliki target awal untutk memerangi stunting sebesar 9%
antara tahun 2005 dan 2011. Di bawah kepemimpinan perdana menteri,
strategi tersebut melibatkan berbagai sektor : kesehatan, pendidikan, air
dan sanitasi, perumahan, pertanian, mitra Non-Pemerintah, dan
diterapkan ditingkat nasional, regional dan kabupaten. Program terkait
JUNTOS (“bersama”), adalah program transfer tunai bersyarat yang
menargetkan kota-kota termiskin, dengan tujuan meningkatkan sumber
[STRATEGI PENCEGAHAN STUNTING DIMASA KEHAMILAN
DAN BADUTA] 2020
3. Bolivia
Tanpa gizi buruk di Bolivia adalah model program bersama yang
melibatkan beberapa sektor ditingkat nasional, regional, dan kota. Untuk
memberantas gizi kurang di bawah usia dua tahun, program
meintegrasikian promosi ASI Eksklusif dalam enam bulan pertama dan
penggunaan MPASI yang difortifikasi dari enam hingga 23 bulan dalam
intervensi untuk meninglatkan ketahanan pangan dan gizi serta akses air
bersih, sanitasi, pendidika, perawatan kesehatan dan layanan nutrisi.
Mendukung pertanian keluarga yang berkelanjutan (produksi bahan
pokok, kacang-kacangan, sayuran, marmut dan ayam). Keluarga yang
berpartisipasi didorong untuk mengkomsumsi produksinya sendiri dan
menerapkan 10 kunci menuju makanan yang lebih aman dan pola
makan sehat. Setelah 8 bulan pelaksanan program, survei di 24 kota
rawan pangan menemukan bahwa di 80% keluarga, anak balita
mengkomsumsi satu atau lebih produkpertanian keluarga setiap hari,
termasuk berbagai macam sayuran, daging marmut, dan telur. Evaluasi
independen mendokumetasikan tren yang menjanjikan dari penurunan
[STRATEGI PENCEGAHAN STUNTING DIMASA KEHAMILAN
DAN BADUTA] 2020
4. India
India menempati peringkat negara dengan jumlah balita stunting
terbesar- sekitar 61,7%. Namun maharashtra, sebuah negara bagian di
india barat, behasil mengurangi tingkat stunting pada anak dibawah dua
tahun dari 44% pada tahun 2005 menjadi 22,8% pada tahun 2012.
Keberhasilan maharashtra didasarkan pada pendekatan seluruh-
pemerintah yang diluncurkan pada tahun 2005, Rajmata Misi Keehatan
Gizi ibu-anak Jijau. Ini adalah badan teknis, penasihat dan pelatihan
dengan misi tiga bagian : advokasi tentang pentingknya 1000 hari
pertama kehidupan; sebuah “think tank” yang memberikan saran
kebijakan kepeda pemerintah tentang intervensi berbasis bukti; dan
platfrom untuk mendorong konvergensi di antara berbagai departemen
dengan tujuan bersama untuk mengurangi malnutrisi. Selain itu, misi
membangun keberlanjutan dengan mempromosikan program yang
dipimpin dan dikelola olehkomunitas, mendorong perubahan perilaku
dengan menggunakan metode modern teknologi dna media serta
metode tradisional materi pendidikan cetak dan dari mulut ke mulut, dan
mendorong pengumpulan data tambahan untuk mengukur kemajuan dan
mengungkap kesenjangan. Inisiatif ini menciptakan dampak yang
signifikan pada gizi anak dibawah usia dua tahun.
A. Kesimpulan
Stunting adalah kondisi tinggi badan seseorang yang kurang dari
normal berdasarkan usia. Tinggi badan merupakan salah satu jenis
pemeriksaan antropometri dan menunjukkan status gizi seseorang.
Stunting ini merupakan kekurangan gizi dalam waktu lama yang terjadi
sejak dalam kandungan sampai awal kehidupan anak sampai berumur 24
bulan (1000 HPK) (Kemenkes, 2018). Baduta (Bayi dibawah usia Dua
Tahun) yang mengalami stunting akan memiliki tingkat kecerdasan tidak
maksimal, menjadikan anak menjadi lebih rentan terhadap penyakit dan
dimasa depan dapat beresiko pada menurunnya tingkat produktivitas.
Berdasarkan data World Health Organization (WHO Indonesia merupakan
negara ke 3 di Asia Tenggara yang memiliki prevalensi terbanyak.
Untuk mencegah dan menurunkan stunting, pemerintah telah
menetapkan beberapa kebijakan dan program. Komitmen dan inisiatif
pemerintah untuk mencegah stunting diawali dengan bergabungnya
Indonesia ke dalam gerakan Global Scaling Up Nutrition (SUN) 2011. Pada
2011, Pemerintah Indonesia bergabung dalam gerakan tersebut melalui
perancangan dua kerangka besar Intervensi Stunting. Kerangka Intervensi
Stunting tersebut kemudian diterjemahkan menjadi berbagai macam
program yang dilakukan oleh Kementerian dan Lembaga (K/L) terkait
dimana Kerangka Intervensi Stunting yang dilakukan oleh Pemerintah
Indonesia tersebut terbagi menjadi dua, yaitu Intervensi Gizi Spesifik dan
Intervensi Gizi Sensitif. Sasaran dari strategi ini meliputi baik ibu hamil
maupun anak usia 0 bulan sampai dengan 24 bulan.
Dalam kebijakan dan program tersebut tidak berjalan dengan baik
karena adanya berbagai macam kendala, sehingga pemerintah melakukan
upaya dengan mencari langkah terobosan dalam menangani dan
mengurangi stunting dimana hal tersebut dilakukan dengan sebuah Strategi
Nasional Percepatan Pencegahan Stunting yang terdiri dari lima pilar, yaitu:
[STRATEGI PENCEGAHAN STUNTING DIMASA KEHAMILAN
DAN BADUTA] 2020
DAFTAR PUSTAKA
Candra A, Puruhita N, JS. Risk Factors Of Stunting Among 1-2 Years Old Children In Semarang
City. Medical bulletin. MEDIA Med Indones [Internet]. 2011 Available
from:https://ejournal.undip.ac.id/index.php/mmi/article/view/3254
FAO, Fiat Panis. Nol Kelaparan Pengalaman Brazil. Sambutan inagurasi, Presiden Luiz Inacio
Lula da Silva, Januari 2003
Goodarz Danaei, KGA, Christopher R. Sudfeld1, Gu¨nther Fink1, Dana, Charles McCoy, Evan
Peet1, AS, et al. Risk Factors for Childhood Stunting in 137 Developing Countries: A
Comparative Risk Assessment Analysis at Global, Regional, and Country Levels;
Available from: https:// www.ncbi.nlm. nih.gov/
pmc/articles/PMC5089547/pdf/pmed.1002164.pdf
Morris SS, Cogill, B., Uauy, R. Effective international action against undernutrition: why has it
proven so diffi cult and what can be done to accelerate progress? Maternal and Child
Undernutrition 5. The Lancet, Published Online January 17, 2008
Park S-G, Choi H-N, Yang H-R, Yim J-E. Effects of zinc supplementation on catch-up growth in
children with failure to thrive. Nutr Res Pract [Internet]. 2017 [cited 2019 Oct
21];11(6):1976–1457. Available from: http://e-nrp.org
Pusat Data dan Informasi. 2018. Situasi Balita Pendek di Indonesia. Kementerian
Kesehatan.
Rahayu Atikah, Fauzie Rahman, Lenie Marlinae, Husaini, Meitria SN, Fahrini Yulidasari, Dian
Rosadi, Nur Laily. Buku Ajar Gizi 1000 Hari Pertama Kehidupan. 2018: 1. CV Mine .
Rehman AM, Gladstone BP, Verghese VP, Muliyil J, et al. Chronic growth faltering amongst a
birth cohort of Indian children begins prior to weaning and is highly prevalent at three
years of age. Nutrition Journal 2009; 8:44.
Sari Endah Mayang, Mohammad Juffrie, Neti Nurani, Mei Neni Sitaresmi. Asupan protein,
kalsium dan fosfor pada anak stunting dan tidak stunting usia 24-59 bulan. Jurnal Gizi
Klinik Indonesia. 12:4. 2016 (152-159).
[STRATEGI PENCEGAHAN STUNTING DIMASA KEHAMILAN
DAN BADUTA] 2020
WHO. WHO Global Nutrition Target: Stunting Policy Brief. TARGET: Reduce by 40% the number
of under-fi ve children who are stunted, from 171 million (2010 baseline) to 100 million
in 2025.