Anda di halaman 1dari 53

[STRATEGI PENCEGAHAN STUNTING DIMASA KEHAMILAN

DAN BADUTA] 2020

A. Defenisi Stunting
Stunting atau sering disebut kerdil atau pendek adalah kondisi
gagal tumbuh pada anak berusia di bawah lima tahun (balita) akibat
kekurangan gizi kronis dan infeksi berulang terutama pada periode 1.000
Hari Pertama Kehidupan (HPK), yaitu dari janin hingga anak berusia 23
bulan. Anak tergolong stunting apabila panjang atau tinggi badannya
berada di bawah minus dua standar deviasi panjang atau tinggi anak
seumurnya. (TNP2K, 2018).
Stunting adalah perawakan pendek yang disebabkan oleh
malnutrisi kronis. Stunting pada anak balita biasanya kurang disadari
karena adanya perbedaan dengan anak yang tinggi normalnya tidak
terlalu terlihat. Stunting biasanya baru disadari setelah anak memasuki
masa puber atau remaja. Hal ini merugikan karena semakin terlambat
menyadarinya, semakin sulit mengatasi stunting. (Hendricks, 2005)
Stunting adalah kondisi tinggi badan seseorang yang kurang dari
normal berdasarkan usia dan jenis kelamin. Tinggi badan merupakan
salah satu jenis pemeriksaan antropometri dan menunjukkan status gizi
seseorang. Adanya stunting menunjukkan status gizi yang kurang
(malnutrisi) dalam jangka waktu yang lama (kronis). Diagnosis stunting
ditegakkan dengan membandingkan nilai z skor tinggi badan per umur
yang diperoleh dari grafik pertumbuhan yang sudah digunakan secara
global. Indonesia menggunakan grafik pertumbuhan yang dibuat oleh
World Health Organization (WHO) pada tahun 2005 untuk menegakkan
diagnosis stunting. Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI tahun
2010 maka gizi kurang dikategorikan seperti dalam tabel di bawah ini
[STRATEGI PENCEGAHAN STUNTING DIMASA KEHAMILAN
DAN BADUTA] 2020

Tabel 1. Kategori status gizi berdasarkan indeks antropometri

Stunting atau Kekurangan gizi terjadi sejak bayi dalam kandungan


dan pada masa awal setelah bayi lahir akan tetapi, kondisi stunting baru
nampak setelah bayi berusia 2 tahun. Balita pendek (stunted) dan sangat
pendek (severely stunted) adalah balita dengan panjang badan (PB/U)
atau tinggi badan (TB/U) menurut umurnya dibandingkan dengan
standar baku WHO-MGRS (Multicentre Growth Reference Study) 2006.
Stunting merupakan akibat dari malnutrisi kronis yang sudah
berlangsung bertahun-tahun. Oleh karena itu seseorang yang
mengalami stunting sejak dini dapat juga mengalami gangguan akibat
malnutrisi berkepanjangan seperti gangguan mental, psikomotor, dan
kecerdasan. Program penanggulangan malnutrisi memang sudah
dilakukan sejak beberapa tahun yang lalu, namun sepertinya belum
spesifik untuk malnutrisi kronis yang menyebabkan terjadinya stunting.
Oleh karena itu angka kejadian stunting tidak pernah turun meskipun
[STRATEGI PENCEGAHAN STUNTING DIMASA KEHAMILAN
DAN BADUTA] 2020

angka kejadian malnutrisi lain seperti wasting (kurus) sudah menurun


cukup signifikan. (Candra, 2020)
Definisi stunting menurut Kementerian Kesehatan (Kemenkes)
adalah anak balita dengan nilai z-score nya kurang dari -2SD/standar
deviasi (stunted) dan kurang dari – 3SD (severely stunted).
Stunting dan kekurangan gizi lainnya yang terjadi pada 1.000 HPK
di samping berisiko pada hambatan pertumbuhan fisik dan kerentanan
anak terhadap penyakit, juga menyebabkan hambatan perkembangan
kognitif yang akan berpengaruh pada tingkat kecerdasan dan
produktivitas anak di masa depan. Stunting dan masalah gizi lain
diperkirakan menurunkan produk domestik bruto (PDB) sekitar 3% per
tahun (TNP2K, 2018)
Stunting menjadi masalah kesehatan masyarakat jika prevalensi
20% atau lebih Kejadian balita stunting merupakan salah satu masalah
gizi yang dialami oleh balita di dunia saat ini. Pada tahun 2017 (22,2%)
atau sekitar 150,8 juta balita di dunia mengalami stunting. Namun angka
ini sudah mengalami penurunan jika dibandingkan dengan angka
stunting pada tahun 2000 yaitu 32,6%. (Pusdatin, 2018)

Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 menunjukkan


penurunan prevalensi stunting di tingkat nasional sebesar 6,4% selama
periode 5 tahun, yaitu dari 37,2% (2013) menjadi 30,8% (2018).
Sedangkan untuk balita berstatus normal terjadi peningkatan dari 48,6%
(2013) menjadi 57,8% (2018). Adapun sisanya mengalami masalah gizi
lain.
Data prevalensi balita stunting yang dikumpulkan World Health
Organization (WHO), dimana Indonesia termasuk ke dalam negara
ketiga dengan prevalensi tertinggi di regional Asia Tenggara/South-East
Asia Regional (SEAR). Rata-rata prevalensi balita stunting di Indonesia
tahun 2005-2017 adalah 36,4%. (Pusdatin, 2018)
[STRATEGI PENCEGAHAN STUNTING DIMASA KEHAMILAN
DAN BADUTA] 2020

B. Penyebab Stunting
1. Faktor Genetik
Sebuah Penelitian menyimpulkan bahwa tinggi badan orang tua
sangat mempengaruhi kejadian stunting pada anak. Salah satunya
adalah penelitian di kota Semarang pada tahun 2011 menyimpulkan
bahwa Ibu pendek (< 150 cm) merupakan faktor risiko stunting pada
anak 1-2 th. Ibu yang tubuhnya pendek mempunyai risiko untuk
memiliki anak stunting 2,34 kali dibanding ibu yang tinggi badannya
normal. Ayah pendek (< 162 cm) merupakan faktor risiko stunting
pada anak 1-2 th. Ayah pendek berisiko mempunyai anak stunting
2,88 kali lebih besar dibanding ayah yang tinggi badannya normal
(Candra dkk, 2011)
Tinggi badan orangtua sendiri sebenarnya juga dipengaruhi
banyak faktor yaitu faktor internal seperti faktor genetik dan faktor
eksternal seperti faktor penyakit dan asupan gizi sejak usia dini.
Faktor genetik adalah faktor yang tidak dapat diubah sedangkan
faktor eksternal adalah faktor yang dapat diubah. Hal ini berarti jika
ayah pendek karena gen-gen yang ada pada kromosomnya memang
membawa sifat pendek dan gen-gen ini diwariskan pada
keturunannya, maka stunting yang timbul pada anak atau
keturunannya sulit untuk ditanggulangi. Tetapi bila ayah pendek
karena faktor penyakit atau asupan gizi yang kurang sejak dini,
seharusnya tidak akan mempengaruhi tinggi badan anaknya. Anak
tetap dapat memiliki tinggi badan normal asalkan tidak terpapar oleh
faktor-faktor risiko yang lain. (Candra, 2020)
2. Faktor Ekonomi
Status ekonomi kurang dapat diartikan daya beli juga rendah
sehingga kemampuan membeli bahan makanan yang baik juga
rendah. Kualitas dan kuantitas makanan yang kurang menyebabkan
[STRATEGI PENCEGAHAN STUNTING DIMASA KEHAMILAN
DAN BADUTA] 2020

kebutuhan zat gizi anak tidak terpenuhi, padahal anak memerlukan


zat gizi yang lengkap untuk pertumbuhan dan perkembangannya.
Dilain sisi, Pada kelompok status ekonomi kurang maupun status
ekonomi cukup masih banyak dijumpai ibu yang memiliki
pengetahuan rendah di bidang gizi. Walaupun mereka rutin ke
posyandu, namun di posyandu mereka jarang memperoleh informasi
tentang gizi. Sehingga dari hal tersebut seharusnyan status ekonomi
kurang tidak menjadi kendala dalam pemenuhan kebutuhan gizi
keluarga karena harga bahan pangan di negara kita sebenarnya tidak
mahal dan sangat terjangkau. Jenis bahan makanan juga sangat
bervariasi dan dapat diperoleh dimana saja. Namun karena
pengetahuan akan gizi yang kurang menyebabkan banyak orangtua
yang beranggapan bahwa zat gizi yang baik hanya terdapat dalam
makanan yang mahal. Membuat masakan yang bergizi dan enak
rasanya memang membutuhkan kreativitas dan kesabaran.
Keterbatasan waktu terkadang membuat orangtua lebih senang
membelikan makanan jajanan daripada memasak sendiri. Pada
makanan jajanan sering ditambahkan zat-zat aditif yang bisa
membahayakan kesehatan. Selain itu makanan jajanan kebersihan
dan keamanannya sangat tidak terjamin. (Candra, 2020)
3. Jarak Kelahiran
Dari Hasil penelitian menyimpulkan bahwa jarak kelahiran dekat
(< 2 th) merupakan faktor risiko stunting pada anak 1-2 th. Anak yang
memiliki jarak atau selisih umur dengan saudaranya <2 th
mempunyai risiko menjadi stunting 10,5 kali dibanding anak yang
memiliki jarak ≥2 th atau anak tunggal. Pada analisis multivariat
diperoleh hasil anak dengan jarak kelahiran dekat (<2 th) berisiko
menjadi stunting 18 kali dibandingkan anak tunggal sedangkan anak
yang memiliki jarak kelahiran ≥ 2 th memiliki risiko menjadi stunting
4,6 kali dibanding anak tunggal. (Candra dkk, 2011)
[STRATEGI PENCEGAHAN STUNTING DIMASA KEHAMILAN
DAN BADUTA] 2020

Jarak kelahiran mempengaruhi pola asuh orangtua terhadap


anaknya. Jarak kelahiran dekat membuat orangtua cenderung lebih
kerepotan sehinga kurang optimal dalam merawat anak.
Selain itu, Jarak kelahiran kurang dari dua tahun juga
menyebabkan salah satu anak, biasanya yang lebih tua tidak
mendapatkan ASI yang cukup karena ASI lebih diutamakan untuk
adiknya. Akibat tidak memperoleh ASI dan kurangya asupan
makanan, anak akan menderita malnutrisi yang bisa menyebabkan
stunting. (Candra, 2020)
Jarak kehamilan yang terlalu dekat pun, selain kurang baik untuk
anak yang baru dilahirkan juga kurang baik untuk ibu. Kesehatan ibu
dapat terganggu karena kondisi fisik yang belum sempurna setelah
melahirkan sekaligus harus merawat bayi yang membutuhkan waktu
dan perhatian sangat besar. Ibu hamil yang tidak sehat akan
menyebabkan gangguan pada janin yang dikandungnya. Gangguan
pada janin dalam kandungan juga akan mengganggu pertumbuhan
sehingga timbullah stunting. (Candra, 2020)
4. Riwayat BBLR
Hasil penelitian menyimpulkan bahwa ada hubungan bermakna
antara riwayat BBLR dengan kejadian stunting pada anak 1-2 th Ada
riwayat BBLR merupakan faktor risiko stunting pada anak 1-2 th.
Hasil analisis pada penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa anak
yang mempunyai riwayat BBLR akan berisiko menjadi stunting 11,88
kali dibanding anak yang tidak mempunyai riwayat BBLR. Pada
analisis multivariat diketahui anak yang mempunyai riwayat BBLR
berisiko menjadi stunting 3 kali dibanding anak yang tidak
mempunyai riwayat BBLR (OR=3;CI:1,2-7,7). (Candra dkk, 2011)
Selain itu , dari penelitian lain juga menyimpulkan bahwa riwayat
BBLR dan underweight pada usia 6 bulan merupakan faktor risiko
stunting (OR=1,75; 95%CI:1,05-2,93).(Rehman, 2009).
[STRATEGI PENCEGAHAN STUNTING DIMASA KEHAMILAN
DAN BADUTA] 2020

Berat badan lahir rendah menandakan janin mengalami malnutrisi


di dalam kandungan sedangkan underweight menandakan kondisi
malnutrisi yang akut. Stunting sendiri terutama disebabkan oleh
malnutrisi yang lama. Bayi yang lahir dengan berat badan kurang dari
normal (<2500 gr) mungkin masih memiliki panjang badan normal
pada waktu dilahirkan. Stunting baru akan terjadi beberapa bulan
kemudian, walaupun hal ini sering tidak disadari oleh orangtua.
Orang tua baru mengetahui bahwa anaknya stunting umumnya
setelah anak mulai bergaul dengan teman-temannya sehingga
terlihat anak lebih pendek dibanding teman-temannya. Oleh karena
itu anak yang lahir dengan berat badan kurang atau anak yang sejak
lahir berat badannya di bawah normal harus diwaspadai akan
menjadi stunting. Semakin awal dilakukan penanggulangan malnutrisi
maka semakin kecil risiko menjadi stunting. (Candra, 2020)
5. Anemia Pada Ibu
Anemia pada ibu hamil sebagian besar disebabkan oleh defisiensi
zat gizi mikro terutama zat besi. Akibat defisiensi zat besi pada ibu
hamil akan mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan janin
sehingga janin yang dilahirkan sudah malnutrisi. Malnutrisi pada bayi
jika tidak segera diatasi akan menetap sehingga menimbulkan
malnutrisi kronis yang merupakan penyebab stunting. Ibu hamil
dengan anemia memiliki resiko yang lebih besar untuk melahirkan
bayi dengan berat di bawah normal dikarenakan anemia dapat
mengurangi suplai oksigen pada metabolisme ibu sehingga dapat
terjadi proses kelahiran imatur (bayi prematur). Pengaruh
metabolisme yang tidak optimal juga terjadi pada bayi karena
kekurangan kadar hemoglobin untuk mengikat oksigen, sehingga
kecukupan asupan gizi selama di dalam kandungan kurang dan bayi
lahir dengan berat di bawah normal. Beberapa hal di atas juga dapat
[STRATEGI PENCEGAHAN STUNTING DIMASA KEHAMILAN
DAN BADUTA] 2020

mengakibatkan efek fatal, yaitu kematian pada ibu saat proses


persalinan atau kematian neonatal. (Candra, 2020)
6. Hygiene dan sanitasi lingkungan
Sebuah metaanalisis yang dilakukan pada 71 penelitian
menyatakan bahwa faktor kebersihan dan kesehatan lingkungan
berpengaruh terhadap kejadian stunting. Studi yang disertakan
menunjukkan bahwa mikotoksin bawaan makanan, kurangnya
sanitasi yang memadai, lantai tanah di rumah, bahan bakar memasak
berkualitas rendah, dan pembuangan limbah lokal yang tidak
memadai terkait dengan peningkatan risiko Stunting pada anak.
7. Defisiensi Zat Gizi
Zat gizi sangat penting bagi pertumbuhan. Pertumbuhan adalah
peningkatan ukuran dan massa konstituen tubuh. Asupan zat gizi
yang menjadi faktor risiko terjadinya stunting dapat dikategorikan
menjadi 2 yaitu asupan zat gizi makro atau mkronutrien dan asupan
zat gizi mikro atau mikronutrien.
Berdasarkan hasil-hasil penelitian, asupan zat gizi makro yang
paling mempengaruhi terjadinya stunting adalah asupan protein,
sedangkan asupan zat gizi mikro yang paling mempengaruhi kejadian
stunting adalah asupan kalsium, seng, dan zat besi.
a. Asupan Protein
Protein merupakan zat gizi makro yang mempunyai fungsi
sangat penting antara lain sebagai sumber energi, zat
pembangun, dan zat pengatur. Pertumbuhan dapat berjalan
normal apabila kebutuhan protein terpenuhi, karena
pertambahan ukuran maupun jumlah sel yang merupakan
proses utama pada pertumbuhan sangat membutuhkan
protein. Secara umum protein dapat dikategorikan menjadi dua
yaitu protein hewani dan protein nabati. Protein hewani berasal
dari hewan seperti susu, daging, dan telur sedangkan protein
[STRATEGI PENCEGAHAN STUNTING DIMASA KEHAMILAN
DAN BADUTA] 2020

nabati berasal dari tumbuhan seperti kacang kacangan dan


biji-bijian.
b. Asupan Kalsium
Kalsium merupakan mineral utama yang menyusun tulang.
Pada anak dalam masa pertumbuhan, kekurangan kalsium
menyebabkan pertumbuhan tulang terhambat sedangkan pada
dewasa kekurangan kalsium menyebabkan pengeroposan
tulang atau osteoporosis. Hasil penelitian menyatakan bahwa
defisiensi kalsium berhubungan dengan kejadian stunting.
Salah satunya penelitian yang dilakukan di kota Pontianak
yang menyimpulkan bahwa Asupan protein, kalsium, dan
fosfor signifikan lebih rendah pada anak stunting dibandingkan
pada anak tidak stunting usia 24-59 bulan. (Sari dkk, 2016)
c. Asupan Zinc
Zinc diperlukan oleh manusia dan hewan untuk melakukan
fungsi fisiologis, seperti pertumbuhan, kekebalan tubuh, dan
reproduksi. Prevalensi defisiensi zinc pada balita di Indonesia
belum diketahui dengan pasti, namun diperkirakan cukup
tinggi mengingat pola makan balita di Indonesia yang belum
sesuai dengan anjuran pedoman gizi seimbang. Banyak hasil
penelitian menyatakan bahwa defisiensi Zinc berhubungan
dengan kejadian stunting. Salah satunya sebuah metaanalisis
yang menyatakan bahwa kekurangan zinc, menyebabkan
penurunan pertumbuhan linear 0,19 cm (95% CI 0,08-0,30).
(Goodarz dkk, 2016)
Hasil penelitian lain menyebutkan bahwa Suplementasi
zinc selama 6 bulan meningkatkan skor Z berat badan per
umur. Sedangkan untuk, skor Z tinggi badan per umur pada
kelompok suplementasi zinc lebih tinggi dibandingkan dengan
[STRATEGI PENCEGAHAN STUNTING DIMASA KEHAMILAN
DAN BADUTA] 2020

plasebo, dan kadar serum zinc meningkat pada kelompok


stunting ringan.(Park dkk, 2017)
d. Asupan Zat Besi
Fungsi zat besi berkaitan dengan transportasi dan
penyimpanan oksigen dan metabolisme jaringan. Kekurangan
zat besi mungkin disebabkan oleh rendahnya asupan daging,
ikan, telur, dan sereal yang dikonsumsi. Distribusi zat gizi yang
menurun akan menyebabkan otak kekurangan energi.
Akibatnya, daya pikir orang itu pun ikut menurun sehingga
prestasi pun ikut menurun. Anemia juga terbukti dapat
menurunkan atau mengakibatkan gangguan fungsi imunitas
tubuh, seperti menurunnya kemampuan sel leukosit dalam
membunuh mikroba. Anemia juga berpengaruh terhadap
metabolisme karena besi juga berperan dalam beberapa
enzim. Pada anak-anak, hal itu akan menghambat
pertumbuhan. Selain itu, anemia juga akan menyebabkan
penurunan nafsu makan yang akan menyebabkan seseorang
kekurangan gizi. (Candra, 2020)
Dalam sebuah penelitiam oleh Soliman et al Mengukur
pertumbuhan dan parameter lain pada 40 anak (usia 17,2 ±
12,4 bulan) dengan Iron Deficiency Anemia (IDA).
Pertambahan tinggi badan diukur sebelum dan selama 6 bulan
setelah terapi zat besi dan dibandingkan dengan kontrol
normal. Sebelum pengobatan, anak-anak dengan IDA secara
signifikan lebih pendek dan memiliki pertumbuhan yang lebih
lambat dibandingkan dengan kontrol yang sesuai usia. Setelah
intervensi, kecepatan pertumbuhan, z skor tinggi badan per
umur (TB/U) dan indeks massa tubuh (IMT) meningkat secara
signifikan. Kecepatan pertumbuhan berkorelasi signifikan
dengan konsentrasi Hb. (Soliman dkk, 2009)
[STRATEGI PENCEGAHAN STUNTING DIMASA KEHAMILAN
DAN BADUTA] 2020

Selain itu, Stunting juga disebabkan oleh faktor multi dimensi dan
tidak hanya disebabkan oleh faktor gizi buruk yang dialami oleh ibu
hamil maupun anak balita. Intervensi yang paling menentukan untuk
dapat mengurangi pervalensi stunting dengan melakukan intervensi
pada 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) dari anak balita. Secara
lebih detil, beberapa faktor yang menjadi penyebab stunting dapat
digambarkan sebagai berikut2 : (TNP2K, 2017)
1. pengasuhan yang kurang baik,
Pengasuhan yg kurang baik termasuk kurangnya
pengetahuan ibu mengenai kesehatan dan gizi sebelum dan
pada masa kehamilan, serta setelah ibu melahirkan. Beberapa
fakta dan informasi yang ada menunjukkan bahwa 60% dari
anak usia 0-6 bulan tidak mendapatkan Air Susu Ibu (ASI)
secara ekslusif, dan 2 dari 3 anak usia 0-24 bulan tidak
menerima Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI). MP-
ASI diberikan/mulai diperkenalkan ketika balita berusia diatas
6 bulan. Selain berfungsi untuk mengenalkan jenis makanan
baru pada bayi, MPASI juga dapat mencukupi kebutuhan
nutrisi tubuh bayi yang tidak lagi dapat disokong oleh ASI,
serta membentuk daya tahan tubuh dan perkembangan sistem
imunologis anak terhadap makanan maupun minuman.
2. Masih terbatasnya layanan kesehatan termasuk layanan ANC-
Ante Natal Care (pelayanan kesehatan untuk ibu selama masa
kehamilan) Post Natal Care dan pembelajaran dini yang
berkualitas.
Informasi yang dikumpulkan dari publikasi Kemenkes dan
Bank Dunia menyatakan bahwa tingkat kehadiran anak di
Posyandu semakin menurun dari 79% di 2007 menjadi 64% di
2013 dan anak belum mendapat akses yang memadai ke
[STRATEGI PENCEGAHAN STUNTING DIMASA KEHAMILAN
DAN BADUTA] 2020

layanan imunisasi. Fakta lain adalah 2 dari 3 ibu hamil belum


mengkonsumsi sumplemen zat besi yang memadai serta
masih terbatasnya akses ke layanan pembelajaran dini yang
berkualitas (baru 1 dari 3 anak usia 3-6 tahun belum terdaftar
di layanan PAUD/Pendidikan Anak Usia Dini).
3. Masih kurangnya akses rumah tangga/keluarga ke makanan
bergizi.
Hal ini dikarenakan harga makanan bergizi di Indonesia
masih tergolong mahal.Menurut beberapa sumber
(RISKESDAS 2013, SDKI 2012, SUSENAS), komoditas
makanan di Jakarta 94% lebih mahal dibanding dengan di
New Delhi, India. Harga buah dan sayuran di Indonesia lebih
mahal daripada di Singapura. Terbatasnya akses ke makanan
bergizi di Indonesia juga dicatat telah berkontribusi pada 1 dari
3 ibu hamil yang mengalami anemia.
4. Kurangnya akses ke air bersih dan sanitasi.
Data yang diperoleh di lapangan menunjukkan bahwa 1
dari 5 rumah tangga di Indonesia masih buang air besar (BAB)
diruang terbuka, serta 1 dari 3 rumah tangga belum memiliki
akses ke air minum bersih.

Selain itu berdasarkan kerangka konseptual stunting menurut WHO


(World Health Organization) dimana Kontributor dalam pertumbuhan dan
perkembangan yang terhambat dikelompokkan dalam rumah tangga dan
keluarga, termasuk kesehatan dan gizi ibu yang buruk, praktik
pemberian makan bayi dan anak kecil yang tidak memadai serta
penyakit infeksi, meliputi :

1. Status gizi dan kesehatan ibu sebelum, selama dan setelah


kehamilan mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan awal
anak yang dimulai dalam rahim, 8 dan berkontribusi penting terhadap
[STRATEGI PENCEGAHAN STUNTING DIMASA KEHAMILAN
DAN BADUTA] 2020

risiko stunting. 9 Keterbatasan pertumbuhan intrauterus karena


kekurangan gizi ibu (diperkirakan dengan angka berat badan lahir
rendah) merupakan 20% dari stunting pada masa kanak-kanak. 10
Kontributor ibu lain untuk stunting termasuk perawakan pendek, jarak
kelahiran yang pendek dan kehamilan remaja, yang mengganggu
ketersediaan nutrisi bagi janin karena tuntutan yang bersaing untuk
pertumbuhan ibu yang sedang berlangsung.
2. Praktik pemberian makan bayi dan anak kecil yang berkontribusi
pada stunting termasuk pemberian ASI yang kurang optimal (inisiasi
terlambat, pemberian ASI noneksklusif dan penghentian dini) dan
pemberian makanan pendamping yang tidak memadai (penyediaan
makanan berkualitas rendah, kuantitas dan / atau tidak aman).
3. Penyakit menular yang parah menyebabkan wasting, yang mungkin
memiliki konsekuensi jangka panjang pada pertumbuhan linier
tergantung pada tingkat keparahan, durasi dan kekambuhan,
terutama jika makanan tidak mencukupi atau praktik pemberian
makan yang tidak tepat untuk mendukung pemulihan.
4. Infeksi subklinis - akibat paparan lingkungan yang terkontaminasi
dan kebersihan yang buruk - ditandai dengan peradangan dan
perubahan struktural pada usus anak yang terkena, yang menjadi
kerdil akibat malabsorpsi nutrisi dan berkurangnya fungsi usus
sebagai penghalang melawan organisme penyebab penyakit.
5. Pengabaian atau ketidakhadiran pengasuh, praktik pemberian
makan yang tidak responsif, stimulasi dan aktivitas anak yang tidak
memadai dan kerawanan pangan karena kemiskinan rumah tangga
semuanya dapat berinteraksi untuk menghambat pertumbuhan dan
perkembangan melalui berbagai jalur. Lingkungan rumah idealnya
menyediakan lingkungan yang bersih, aman dan merangsang untuk
mengasuh ibu dan anak secara memadai.
[STRATEGI PENCEGAHAN STUNTING DIMASA KEHAMILAN
DAN BADUTA] 2020

Pengaruh penyebab yang mendasari pada stunting diberikan


melalui dampaknya terhadap asupan / pemanfaatan nutrisi dan infeksi.
Oleh karena itu, intervensi yang menargetkan faktor kontekstual akan
berkontribusi pada penurunan stunting jika hal itu mengarah pada
peningkatan asupan nutrisi dan penurunan infeksi

C. Dampak Stunting
Menurut World Health Organization (WHO) Dampak yang
ditimbulkan stunting dapat dibagi menjadi 2 bagian, yaitu dampak jangka
pendek dan jangka panjang.
1. Dampak Jangka Pendek.
a. Peningkatan kejadian kesakitan dan kematian;
b. Perkembangan kognitif, motorik, dan verbal pada anak tidak
optimal; dan
c. Peningkatan biaya kesehatan.
2. Dampak Jangka Panjang.
a. Postur tubuh yang tidak optimal saat dewasa (lebih pendek
dibandingkan pada umumnya);
b. Meningkatnya risiko obesitas dan penyakit lainnya;
c. Menurunnya kesehatan reproduksi;
d. Kapasitas belajar dan performa yang kurang optimal saat
masa sekolah; dan
e. Produktivitas dan kapasitas kerja yang tidak optimal.

D. Gerakan 1000 Hari Pertama Kehidupan


Gerakan 1000 Hari Pertama Kehidupan merupakan suatu gerakan
percepatan perbaikan gizi yang diadopsi dari gerakan Scaling Up-
Nutrition (SUN) Movement Gerakan Scaling Up-Nutrition (SUN)
Movement merupakan suatu gerakan global di bawah koordinasi
[STRATEGI PENCEGAHAN STUNTING DIMASA KEHAMILAN
DAN BADUTA] 2020

Sekretaris Jenderal PBB. Tujuan global dari SUN Movement adalah


untuk menurunkan masalah gizi pada 1000 HPK yakni dari awal
kehamilan sampai usia 2 tahun. Di Indonesia, Gerakan scaling up
nutrition dikenal dengan Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi
dalam rangka Seribu Hari Pertama Kehidupan (Gerakan 1000 HPK)
dengan landasan berupa Peraturan Presiden (Perpres) nomor 42 tahun
2013 tentang Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi. (Rahayu et
al, 2018)
Periode 1000 HPK sering disebut window of opportunities atau
sering juga disebut periode emas (golden period) didasarkan pada
kenyataan bahwa pada masa janin sampai anak usia dua tahun terjadi
proses tumbuh kembang yang sangat cepat dan tidak terjadi pada
kelompok usia lain. Pemenuhan asupan gizi pada 1000 HPK anak
sangat penting. Jika pada rentang usia tersebut anak mendapatkan
asupan gizi yang optimal maka penurunan status gizi anak bisa dicegah
sejak awal. (Rahayu et al, 2018).
Adapun titik kritis yang harus diperhatikan selama periode 1000
HPK adalah sebagai berikut :
1. Periode dalam kandungan (280 hari)
Ibu hamil dengan status gizi kurang akan menyebabkan
gangguan pertumbuhan janin, penyebab utama terjadinya bayi
pendek (stunting) dan meningkatkan risiko obesitas dan penyakit
degeneratif pada masa dewasa (The Lancet, 2013).
Janin tumbuh dengan mengambil zat-zat gizi dari makanan
yang dikonsumsi oleh ibunya dan dari simpanan zat gizi yang berada
di dalam tubuh ibunya. Selama hamil atau menyusui seorang ibu
harus menambah jumlah dan jenis makanan yang dimakan untuk
mencukupi kebutuhan pertumbuhan bayi dan kebutuhan ibu yang
sedang mengandung bayinya serta untuk memproduksi ASI. Bila
makanan ibu sehari-hari tidak cukup mengandung zat gizi yang
[STRATEGI PENCEGAHAN STUNTING DIMASA KEHAMILAN
DAN BADUTA] 2020

dibutuhkan, maka janin atau bayi akan mengambil persediaan yang


ada didalam tubuh ibunya, seperti sel lemak ibu sebagai sumber
kalori; zat besi dari simpanan di dalam tubuh ibu sebagai sumber zat
besi janin/bayi. Demikian juga beberapa zat gizi tertentu tidak
disimpan di dalam tubuh seperti vitamin C dan vitamin B yang
banyak terdapat di dalam sayuran dan buah-buahan. Sehubungan
dengan hal itu, ibu harus mempunyai status gizi yang baik sebelum
hamil dan mengonsumsi makanan yang beranekaragam baik
proporsi maupun jumlahnya (Kemenkes RI, 2014).
Seorang ibu hamil harus berjuang menjaga asupan nutrisinya
agar pembentukan, pertumbuhan dan perkembangan janinnya
optimal. Idealnya, berat badan bayi saat dilahirkan adalah tidak
kurang dari 2500 gram, dan panjang badan bayi tidak kurang dari 48
cm. Inilah alasan mengapa setiap bayi yang baru saja lahir akan
diukur berat dan panjang tubuhnya, dan dipantau terus menerus
terutama di periode emas pertumbuhannya, yaitu 0 sampai 2 tahun
(Kemenkes RI, 2017).
Kenyataannya di Indonesia masih banyak ibu-ibu yang saat
hamil mempunyai status gizi kurang, misalnya kurus dan menderita
Anemia. Hal ini dapat disebabkan karena asupan
makanannyaselama kehamilan tidak mencukupi untuk kebutuhan
dirinya sendiri dan bayinya. Selain itu kondisi ini dapat diperburuk
oleh beban kerja ibu hamil yang biasanya sama atau lebih berat
dibandingakan dengan saat sebelum hamil. Akibatnya, bayi tidak
mendapatkan zat gizi yang dibutuhkan, sehingga mengganggu
pertumbuhan dan perkembangannya (Kemenkes RI, 2014).
2. Periode 0 – 6 bulan (180 hari)
Ada dua hal penting dalam periode ini yaitu melakukan inisiasi
menyusu dini (IMD) dan pemberian Air Susu Ibu (ASI) secara
eksklusif. Inisiasi menyusu dini adalah memberikan kesempatan
[STRATEGI PENCEGAHAN STUNTING DIMASA KEHAMILAN
DAN BADUTA] 2020

kepada bayi baru lahir untuk menyusu sendiri pada ibunya dalam
satu jam pertama kelahirannya.
Dalam 1 jam kehidupan pertamanya setelah dilahirkan ke
dunia, pastikan mendapatkan kesempatan untuk melakukan Inisiasi
Menyusu Dini (IMD). IMD adalah proses meletakkan bayi baru lahir
pada dada atau perut sang ibu agar bayi secara alami dapat mencari
sendiri sumber Air Susu Ibu (ASI) dan menyusu. Sangat bermanfaat
karena bayi akan mendapatkan kolostrum yang terdapat pada tetes
ASI pertama ibu yang kaya akan zat kekebalan tubuh. Tidak hanya
bagi bayi, IMD juga sangat bermanfaat bagi Ibu karena membantu
mempercepat proses pemulihan pasca persalinan. Meskipun
manfaatnya begitu besar, banyak ibu yang tidak berhasil
mendapatkan kesempatan IMD, karena kurangnya pengetahuan dan
dukungan dari lingkungan (Kemenkes RI, 2017).
World Health Organization (WHO) merekomendasikan
pemberian ASI Eksklusif selama 6 bulan pertama dan pemberian ASI
diteruskan hingga anak berusia 2 tahun untuk meningkatkan daya
tahan tubuh anak dan mengurangi risiko kontaminasi dari
makanan/minuman selain ASI Pemberian ASI Eksklusif menurunkan
risiko infeksi saluran cerna, otitis media, alergi, kematian bayi, infeksi
usus besar dan usus halus (inflammatory bowel disease), penyakit
celiac, leukemia, limfoma, obesitas, dan DM pada masa yang akan
datang. Pemberian ASI Eksklusif dan meneruskan pemberian ASI
hingga 2 tahun juga dapat mempercepat pengembalian status gizi
ibu, menurunkan risiko obesitas, hipertensi, rematoid artritis, kanker
payudara ibu. (Rahayu et al, 2018)
3. Periode 6 – 24 bulan (540 hari)
Pada usia ini anak berada pada periode pertumbuhan dan
perkembangan cepat, mulai terpapar terhadap infeksi dan secara
fisik mulai aktif, sehingga kebutuhan terhadap zat gizi harus
[STRATEGI PENCEGAHAN STUNTING DIMASA KEHAMILAN
DAN BADUTA] 2020

terpenuhi dengan memperhitungkan aktivitas bayi/anak dan keadaan


infeksi. Agar mencapai gizi seimbang maka perlu ditambah dengan
Makanan Pendamping ASI atau MP-ASI, sementara ASI tetap
diberikan sampai bayi berusia 2 tahun. Pada usia 6 bulan, bayi mulai
diperkenalkan kepada makanan lain, mula-mula dalam bentuk lumat,
makanan lembik dan selanjutnya beralih ke makanan keluarga saat
bayi berusia 1 tahun (Kemenkes RI, 2014).
Ibu sebaiknya memahami bahwa pola pemberian makanan
secara seimbang pada usia dini akan berpengaruh terhadap selera
makan anak selanjutnya, sehingga pengenalan kepada makanan
yang beranekaragam pada periode ini menjadi sangat penting.
Secara bertahap, variasi makanan untuk bayi usia 6-24 bulan
semakin ditingkatkan, bayi mulai diberikan sayuran dan buah-
buahan, lauk pauk sumber protein hewani dan nabati, serta makanan
pokok sebagai sumber kalori. Demikian pula jumlahnya ditambahkan
secara bertahap dalam jumlah yang tidak berlebihan dan dalam
proporsi yang juga seimbang (Kemenkes RI, 2014).
Meskipun telah berhasil sampai pada akhir fase ASI Eksklusif,
lanjutkan menyusui ASI sampai anak berusia 2 tahun. Di usia 6
bulan kehidupannya, anak memasuki fase makan untuk pertama kali.
Dalam fase ini, anak akan mengenal makanan pendamping air susu
ibu (MP-ASI). Hal yang perlu diperhatikan adalah praktik Pemberian
Makan Bayi dan Anak (PMBA). Kalau ibu hamil berhasil IMD dan ASI
Eksklusif selama 6 bulan, selamat bayinya. Tapi jika dalam
pemberian makanan cair dan lunak dalam fase PMBA tadi itu tidak
diberikan makanan yang baik, maka tetap saja gagal (Kemenkes RI,
2017).
[STRATEGI PENCEGAHAN STUNTING DIMASA KEHAMILAN
DAN BADUTA] 2020

Strategi Pencegahan Stunting Dimasa Kehamilan Dan Baduta (Bayi


Dibawah Umur 2 Tahun/24 Bulan)
Untuk mencegah dan menurunkan stunting, pemerintah telah
menetapkan beberapa kebijakan dan program. Komitmen dan inisiatif
pemerintah untuk mencegah stunting diawali dengan bergabungnya Indonesia
ke dalam gerakan Global Scaling Up Nutrition (SUN) 2011. Hal ini ditandai
dengan penyampaian surat keikutsertaan Indonesia oleh Menteri Kesehatan
kepada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa. Gerakan ini
diluncurkan tahun 2010 dengan prinsip dasar bahwa semua warga negara
memiliki hak untuk mendapatkan akses terhadap makanan yang memadai dan
bergizi. (TNP2K, 2018)
Di Indonesia, kebijakan Scaling up Nutrition telah diterjemahkan kedalam
Gerakan Nasional 1000 Hari Pertama Kehidupan. Mengingat masalah gizi
merupakan masalah yang memiliki variabel multi faktorial, maka
implementasinyapun membutuhkan keterlibatan lintas sektor. Studi mengenai
keberhasilan implementasi kebijakan penurunan masalah gizi melalui berbagai
metode (sistematik review, kuantitative riset, semi kualitatif interview, analisis
pohon masalah) menunjukkan bahwa implementasi kebijakan penurunan
masalah gizi secara global tidak mudah.
. Pada 2011, Pemerintah Indonesia bergabung dalam gerakan tersebut
melalui perancangan dua kerangka besar Intervensi Stunting. Kerangka
Intervensi Stunting tersebut kemudian diterjemahkan menjadi berbagai macam
program yang dilakukan oleh Kementerian dan Lembaga (K/L) terkait, Dikarena
Untuk mencapai keberhasilan program tersebut maka dibutuhkan dukungan
lintas sektor. Kontribusi sektor kesehatan hanya menyumbang 30%, sedangkan
sektor non kesehatan berkontribusi sebesar 70% dalam penangulangan
khusunya pada masalah gizi. (TNP2K, 2017)
[STRATEGI PENCEGAHAN STUNTING DIMASA KEHAMILAN
DAN BADUTA] 2020

Kerangka Intervensi Stunting yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia


terbagi menjadi dua, yaitu Intervensi Gizi Spesifik dan Intervensi Gizi Sensitif.
1. Intervensi Gizi Spesifik.
Ini merupakan intervensi yang ditujukan kepada anak dalam 1.000
Hari Pertama Kehidupan (HPK) dan berkontribusi pada 30% penurunan
stunting. Kerangka kegiatan intervensi gizi spesifik umumnya dilakukan
pada sektor kesehatan. Intervensi ini juga bersifat jangka pendek dimana
hasilnya dapat dicatat dalam waktu relatif pendek. Kegiatan yang
idealnya dilakukan untuk melaksanakan Intervensi Gizi Spesifik dapat
dibagi menjadi beberapa intervensi utama yang dimulai dari masa
kehamilan ibu hingga melahirkan :
a. Intervensi Gizi Spesifik dengan sasaran Ibu Hamil.
Intervensi ini meliputi kegiatan memberikan makanan
tambahan (PMT) pada ibu hamil untuk mengatasi kekurangan energi
dan protein kronis, mengatasi kekurangan zat besi dan asam folat,
mengatasi kekurangan iodium, menanggulangi kecacingan pada ibu
hamil serta melindungi ibu hamil dari Malaria.
b. Intervensi Gizi Spesifik dengan sasaran Ibu Menyusui dan Anak Usia
0-6 Bulan.
Intervensi ini dilakukan melalui beberapa kegiatan yang
mendorong inisiasi menyusui dini/IMD terutama melalui pemberian
ASI jolong/colostrum serta mendorong pemberian ASI Eksklusif.
c. Intervensi Gizi Spesifik dengan sasaran Ibu Menyusui dan Anak Usia
7-23 bulan.
Intervensi ini meliputi kegiatan untuk mendorong penerusan
pemberian ASI hingga anak/bayi berusia 23 bulan. Kemudian,
setelah bayi berusia diatas 6 bulan didampingi oleh pemberian MP-
ASI, menyediakan obat cacing, menyediakan suplementasi zink,
melakukan fortifikasi zat besi ke dalam makanan, memberikan
[STRATEGI PENCEGAHAN STUNTING DIMASA KEHAMILAN
DAN BADUTA] 2020

perlindungan terhadap malaria, memberikan imunisasi lengkap, serta


melakukan pencegahan dan pengobatan diare.
2. Intervensi Gizi Sensitif.
Kerangka ini idealnya dilakukan melalui berbagai kegiatan
pembangunan diluar sektor kesehatan dan berkontribusi pada 70%
Intervensi Stunting. Sasaran dari intervensi gizi spesifik adalah
masyarakat secara umum dan tidak khusus ibu hamil dan balita pada
1.000 Hari Pertama Kehidupan/HPK. Kegiatan terkait Intervensi Gizi
Sensitif dapat dilaksanakan melalui beberapa kegiatan yang umumnya
makro dan dilakukan secara lintas Kementerian dan Lembaga. Ada 12
kegiatan yang dapat berkontribusi pada penurunan stunting melalui
Intervensi Gizi Spesifik sebagai berikut :
a. Menyediakan dan memastikan akses terhadap air bersih.
b. Menyediakan dan memastikan akses terhadap sanitasi.
c. Melakukan fortifikasi bahan pangan.
d. Menyediakan akses kepada layanan kesehatan dan Keluarga
Berencana (KB).
e. Menyediakan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
f. Menyediakan Jaminan Persalinan Universal (Jampersal).
g. Memberikan pendidikan pengasuhan pada orang tua.
h. Memberikan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Universal.
i. Memberikan pendidikan gizi masyarakat.
j. Memberikan edukasi kesehatan seksual dan reproduksi, serta gizi
pada remaja.
k. Menyediakan bantuan dan jaminan sosial bagi keluarga miskin.
l. Meningkatkan ketahanan pangan dan gizi.

Terkait upaya untuk mengurangi serta menangani pervalensi


stunting, pemerintah di tingkat nasional kemudian mengeluarkan berbagai
[STRATEGI PENCEGAHAN STUNTING DIMASA KEHAMILAN
DAN BADUTA] 2020

kebijakan serta regulasi yang diharapkan dapat berkontribusi pada


pengurangan pervalensi stunting, termasuk diantaranya :
1) Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005–2025
(Pemerintah melalui program pembangunan nasional ‘Akses Universal
Air Minum dan Sanitasi Tahun 2019’, menetapkan bahwa pada tahun
2019, Indonesia dapat menyediakan layanan air minum dan sanitasi
yang layak bagi 100% rakyat Indonesia).
2) Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2015-2019 (target
penurunan prevalensi stunting menjadi 28% pada 2019).
3) Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi 2011-2015, Bappenas, 2011.
4) Undang-Undang (UU) No. 36/2009 tentang Kesehatan.
5) Peraturan Pemerintah (PP) No.33/2012 tentang Air Susu Ibu Eksklusif.
6) Peraturan Presiden (Perpres) No. 42/2013 tentang Gerakan Nasional
Percepatan Perbaikan Gizi.
7) Keputusan Menteri Kesehatan (Kepmenkes) No.
450/Menkes/SK/IV/2004 tentang Pemberian Air Susu Ibu (ASI) Secara
Eksklusif Pada Bayi di Indonesia.
8) Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No.15/2013 tentang Tata
Cara Penyediaan Fasilitas Khusus Menyusui dan/atau Memerah Air
Susu Ibu.
9) Permenkes No.3/2014 tentang Sanitasi Total Berbasis Masyarakat
(STBM).
10) Permenkes No.23/2014 tentang Upaya Perbaikan Gizi.
11) Kerangka Kebijakan Gerakan Nasional Percepatan Gizi Dalam Rangka
Seribu Hari Pertama Kehidupan (Gerakan 1.000 HPK), 2013.
12) Hari Pertama Kehidupan (Gerakan 1000 HPK), 2013. (TNP2K, 2017)

Selain itu, pemerintah telah menetapkan Peraturan Presiden Nomor


59 tahun 2017 tentang Pelaksanaan Pencapaian Tujuan Pembangunan
Berkelanjutan (TPB). Upaya percepatan perbaikan gizi merupakan bagian
[STRATEGI PENCEGAHAN STUNTING DIMASA KEHAMILAN
DAN BADUTA] 2020

dari TPB tujuan dua yaitu mengakhiri kelaparan, mencapai ketahanan


pangan dan nutrisi yang lebih baik dan mendukung pertanian berkelanjutan.
Stunting telah ditetapkan sebagai prioritas nasional dalam dokumen
perencanaan dan TPB. Adapun strategi percepatan perbaikan gizi dalam
dokumen perencanaan RPJMN 2015-2019 adalah sebagai berikut:
a. Peningkatan surveilans gizi termasuk pemantauan pertumbuhan
b. Peningkatan akses dan mutu paket pelayanan kesehatan dan gizi
dengan fokus utama pada 1.000 hari pertama kehidupan (ibu hamil
hingga anak usia 23 bulan), balita, remaja, dan calon pengantin
c. Peningkatan promosi perilaku masyarakat tentang kesehatan, gizi,
sanitasi, higiene, dan pengasuhan
d. Peningkatan peran masyarakat dalam perbaikan gizi termasuk melalui
Upaya Kesehatan Berbasis Masyarakat/UKBM (Posyandu dan Pos
PAUD)
e. Penguatan pelaksanaan, dan pengawasan regulasi dan standar gizi
f. Pengembangan fortifikasi pangan
g. Penguatan peran lintas sektor dalam rangka intervensi sensitif dan
spesifik yang didukung oleh peningkatan kapasitas pemerintah pusat,
provinsi dan kabupaten/kota dalam pelaksanaan rencana aksi pangan
dan gizi

Kementerian/lembaga (K/L) juga sebenarnya telah memiliki program


baik terkait intervensi gizi spesifik maupun intervensi gizi sensitif, yang
potensial untuk menurunkan stunting.
Intervensi Program Gizi Spesifik dan Program Gizi Sensitif dilakukan
oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes) melalui Pusat Kesehatan
Masyarakat (Puskesmas) dan Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) melalui
Gerakan 1.000 Hari Pertama Kegiatan (HPK). Berikut ini adalah identifikasi
beberapa program gizi spesifik yang telah dilakukan oleh pemerintah :
[STRATEGI PENCEGAHAN STUNTING DIMASA KEHAMILAN
DAN BADUTA] 2020

1. Program terkait Intervensi dengan sasaran Ibu Hamil, yang dilakukan


melalui beberapa program/kegiatan berikut:
a. Pemberian makanan tambahan pada ibu hamil untuk mengatasi
kekurangan energi dan protein kronis
b. Program untuk mengatasi kekurangan zat besi dan asam folat
c. Program untuk mengatasi kekurangan iodium
d. Pemberian obat cacing untuk menanggulangi kecacingan pada
ibu hamil
e. Program untuk melindungi ibu hamil dari Malaria.
Jenis kegiatan yang telah dan dapat dilakukan oleh pemerintah
baik di tingkat nasional maupun di tingkat lokal meliputi pemberian
suplementasi besi folat minimal 90 tablet, memberikan dukungan kepada
ibu hamil untuk melakukan pemeriksaan kehamilan minimal 4 kali,
memberikan imunisasi Tetanus Toksoid (TT), pemberian makanan
tambahan pada ibu hamil, melakukan upaya untuk penanggulangan
cacingan pada ibu hamil, dan memberikan kelambu serta pengobatan
bagi ibu hamil yang positif malaria.
2. Program yang menyasar Ibu Menyusui dan Anak Usia 0-6 bulan :
termasuk diantaranya mendorong IMD/Inisiasi Menyusui Dini melalui
pemberian ASI jolong/colostrum dan memastikan edukasi kepada ibu
untuk terus memberikan ASI Eksklusif kepada anak balitanya. Kegiatan
terkait termasuk memberikan pertolongan persalinan oleh tenaga
kesehatan, Inisiasi Menyusui Dini (IMD), promosi menyusui ASI eksklusif
(konseling individu dan kelompok), imunisasi dasar, pantau tumbuh
kembang secara rutin setiap bulan, dan penanganan bayi sakit secara
tepat.
3. Program Intervensi yang ditujukan dengan sasaran Ibu Menyusui dan
Anak Usia 7-23 bulan :
a. mendorong penerusan pemberian ASI hingga usia 23 bulan
didampingi oleh pemberian MP-ASI
[STRATEGI PENCEGAHAN STUNTING DIMASA KEHAMILAN
DAN BADUTA] 2020

b. menyediakan obat cacing


c. menyediakan suplementasi zinc
d. melakukan fortifikasi zat besi ke dalam makanan
e. memberikan perlindungan terhadap malaria
f. memberikan imunisasi lengkap
g. melakukan pencegahan dan pengobatan diare

Terkait dengan intervensi gizi sensitif yang telah dilakukan oleh


pemerintah melalui K/L terkait beberapa diantaranya adalah kegiatan sebagai
berikut:
1. Menyediakan dan Memastikan Akses pada Air Bersih melalui program
PAMSIMAS (Penyediaan Air Bersih dan Sanitasi berbasis Masyarakat);
Program PAMSIMAS dilakukan lintas K/L termasuk Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional/Kementerian Perencanaan Pembangunan
Nasional (Bappenas/Kementerian PPN), Kementerian Pekerjaan Umum
dan Perumahan Rakyat (KemenPUPERA), Kementerian Kesehatan
(Kemenkes) dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Selain
pemerintah pusat, PAMSIMAS juga dilakukan dengan kontribusi dari
pemerintah daerah serta masyakart melalui pelaksanaan beberapa jenis
kegiatan seperti dibawah :
a. Meningkatkan praktik hidup bersih dan sehat di masyarakat
b. Meningkatkan jumlah masyarakat yang memiliki akses air minum
dan sanitasi yang berkelanjutan
c. Meningkatkan kapasitas masyarakat dan kelembagaan lokal
(pemerintah daerah maupun masyarakat) dalam penyelenggaraan
layanan air minum dan sanitasi berbasis masyarakat
d. Meningkatkan efektifitas dan kesinambungan jangka panjang
pembangunan sarana dan prasarana air minum dan sanitasi
berbasis masyarakat.
[STRATEGI PENCEGAHAN STUNTING DIMASA KEHAMILAN
DAN BADUTA] 2020

2. Menyediakan dan Memastikan Akses pada Sanitasi; melalui Kebijakan


Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM) yang pelaksanaanya dilakukan
oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes) bersama dengan Kementerian
Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (KemenPUPERA). Kegiatan ini
meliputi gerakan peningkatan gizi/Scaling Up Nutrition (SUN) Movement
yang hingga 2015 telah menjangkau 26.417 desa/kelurahan.
3. Melakukan Fortifikasi Bahan Pangan (Garam, Terigu, dan Minyak Goreng);
umumnya dilakukan oleh Kementerian Pertanian.
4. Menyediakan Akses kepada Layanan Kesehatan dan Keluarga Berencana
(KB); melalui dua program:
a. Program KKBPK (Kependudukan, Keluarga Berencana dan
Pembangunan Keluarga) oleh BKKBN (Badan Kependudukan dan
Keluarga Berencana Nasional) bekerjasama dengan Pemerintah Daerah
(Kabupaten/Kota). Kegiatan yang dilakukan meliputi :
1) Penguatan advokasi dan KIE (Komunikasi, Informasi dan
Edukasi) terkait Program KKBPK
2) Peningkatan akses dan kualitas pelayanan KB yang merata
3) Peningkatan pemahaman dan kesadaran remaja mengenai
kesehatan reproduksi dan penyiapan kehidupan berkeluarga
4) Penguatan landasan hukum dalam rangka optimalisasi
pelaksanaan pembangunan bidang Kependudukan dan Keluarga
Berencana (KKB)
5) Penguatan data dan informasi kependudukan, KB dan KS
b. Program Layanan KB dan Kesehatan Seksual serta Reproduksi (Kespro)
oleh LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) Perkumpulan Keluarga
Berencana Indonesia (PKBI). Kegiatan yang dilakukan meliputi :
1) Menyediakan pelayanan kesehatan seksual dan reproduksi yang
terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat, termasuk difabel
(seseorang dengan kemampuan berbeda) dan kelompok marjinal
termasuk remaja
[STRATEGI PENCEGAHAN STUNTING DIMASA KEHAMILAN
DAN BADUTA] 2020

2) Menyediakan pelayanan penanganan kehamilan tak diinginkan


yang komprehensif yang terjangkau.
3) Mengembangkan standar pelayanan yang berkualitas di semua
strata pelayanan, termasuk mekanisme rujukan pelayanan
kesehatan seksual dan reproduksi
4) Melakukan studi untuk mengembangkan pelayanan yang
berorientasi pada kepuasan klien, pengembangan kapasitas dan
kualitas provider.
5) Mengembangkan program penanganan kesehatan seksual dan
reproduksi pada situasi bencana, konflik dan situasi darurat
lainnya.
6) Mengembangkan model pelayanan KB dan Kesehatan Produksi
(Kespro) melalui pendekatan pengembangan masyarakat.
5. Menyediakan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN); Kementerian Kesehatan
(Kemenkes) telah melakukan Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)-
Penerima Bantuan Iuran (PBI) berupa pemberian layanan kesehatan
kepada keluarga miskin dan saat ini telah menjangkau sekitar 96 juta
individu dari keluarga miskin dan rentan.
6. Menyediakan Jaminan Persalinan Universal (Jampersal); yang
dilaksanakan oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dengan
memberikan layanan kesehatan kepada ibu hamil dari keluarga/rumah
tangga miskin yang belum mendapatkan JKN-Penerima Bantuan Iuran/PBI.
7. Memberikan Pendidikan Pengasuhan pada Orang tua;
8. Memberikan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Universal; yang dilakukan
oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) melalui
Program Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD).Beberapa kegiatan yang
dilakukan berupa:
a. Perluasan dan peningkatan mutu satuan PAUD.
b. Peningkatan jumlah dan mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan (PTK)
PAUD.
[STRATEGI PENCEGAHAN STUNTING DIMASA KEHAMILAN
DAN BADUTA] 2020

c. Penguatan orang tua dan masyarakat.


d. Penguatan dan pemberdayaan mitra (pemangku kepentingan,
stakeholders).
9. Memberikan Pendidikan Gizi Masyarakat; Program Perbaikan Gizi
Masyarakat yang dilaksanakan oleh Kementerian Kesehatan (melalui
Puskesmas dan Posyandu) Kegiatan yang dilakukan berupa:
a. Peningkatan pendidikan gizi.
b. Penanggulangan Kurang Energi Protein.
c. Menurunkan prevalansi anemia, mengatasi kekurangan zinc dan zat
besi, mengatasi Ganguan Akibat Kekurangan Yodium (GAKY) serta
kekurangan Vitamin A
d. Perbaikan keadaan zat gizi lebih.
e. Peningkatan Survailans Gizi.
f. Pemberdayaan Usaha Perbaikan Gizi Keluarga/Masyarakat .
10. Memberikan Edukasi Kesehatan Seksual dan Reproduksi serta Gizi pada
Remaja; berupa Pelayanan Kesehatan Reproduksi Remaja yang
dilaksanakan oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes) melalui Pelayanan
Kesehatan Peduli Remaja (PKPR) termasuk pemberian layanan konseling
dan peningkatan kemampuan remaja dalam menerapkan Pendidikan dan
Keterampilan Hidup Sehat (PKHS).
11. Penyediakan Bantuan dan Jaminan Sosial bagi Keluarga Miskin; misalnya
melalui Program Subsidi Beras Masyarakat Berpenghasilan Rendah
(Raskin/Rastra) dan Program Keluarga Harapan (PKH) yang dilaksanakan
oleh Kementerian Sosial (Kemensos). Kegiatannya berupa pemberian
subsidi untuk mengakses pangan (beras dan telur) dan pemberian bantuan
tunai bersyarat kepada ibu Hamil, Menyusui dan Balita.
12. Meningkatkan Ketahanan Pangan dan Gizi; melalui Program Ketahanan
Pangan dan Gizi yang dilaksanakan Lintas K/L yaitu Kementerian
Pertanian, Kementerian Koperasi, Kemendagri. Kegiatan yang dilakukan
berupa :
[STRATEGI PENCEGAHAN STUNTING DIMASA KEHAMILAN
DAN BADUTA] 2020

a. Menjamin akses pangan yang memenuhi kebutuhan gizi terutama ibu


hamil, ibu menyusui, dan anak-anak.
b. Menjamin pemanfaatan optimal pangan yang tersedia bagi semua
golongan penduduk.
c. Memberi perhatian pada petani kecil, nelayan, dan kesetaraan gender.
d. Pemberdayaan Ekonomi Mikro bagi Keluarga dengan Bumil KEK
(Kurang Energi Protein).
e. Peningkatan Layanan KB. (TNP2K, 2017)

Implementasi kebijakan penurunan masalah gizi secara global tidak


mudah untuk dilakukan dimana Setidaknya terdapat delapan kelemahan
variabel yang masih menjadi kendala, antara lain :
1. masalah koordinasi yang sulit, strategi yang tidak cukup kuat
2. minat yang kurang dari stake holders
3. jaringan antar stake holders yang tidak kuat
4. masih lemahnya power dalam merekat kebijakan
5. struktur dalam kolaborasi yang tidak sama
6. sumberdaya manusia yang terbatas
7. tidak terjaminnya ketersediaan anggaran. (Morris, 2008)

Beberapa hal yang kemungkinan menjadi penyebab belum efektifnya


kebijakan serta program Intervensi Stunting yang ada dan telah dilakukan
adalah:
1) Kebijakan dan regulasi terkait Intervensi Stunting belum secara
maksimal dijadikan landasan
2) bersama untuk menangani stunting, contohnya bisa dilihat pada grafik 2
yang menunjukkan belum maksimalnya fungsi alokasi anggaran
kesehatan.
3) Kementerian/Lembaga (K/L) melaksanakan program masing-masing
tanpa koordinasi yang cukup.
[STRATEGI PENCEGAHAN STUNTING DIMASA KEHAMILAN
DAN BADUTA] 2020

4) Program-program Intervensi Stunting yang telah direncanakan belum


seluruhnya dilaksanakan.
5) Program/intervensi yang ada (baik yang bersifat spesifik gizi maupun
sensitif gizi) masih perlu ditingkatkan rancangannya, cakupannya,
kualitasnya dan sasarannya.
6) Program yang secara efektif mendorong peningkatan pengetahuan gizi
yang baik dan perubahan perilaku hidup sehat masyarakat belum
banyak dilakukan.
7) Program-program berbasis komunitas yang efektif di masa lalu tidak lagi
dijalankan secara maksimal seperti sebelumnya misalnya akses ke
Posyandu, PLKB, kader PKK, Dasawisma, dan ainnya, serta;
8) Pengetahuan dan kapasitas pemerintah baik pusat maupun daerah
dalam menangani stunting perlu ditingkatkan. (TNP2K, 2017)

Sehingga dari hal tersebut maka pemerintah pusat merencanakan


aksi intervensi stunting dengan memetakan masalah stunting serta
merumuskan dan mempertajam langkah-langkah penanganannya. (TNP2K,
2017)
[STRATEGI PENCEGAHAN STUNTING DIMASA KEHAMILAN
DAN BADUTA] 2020

Pemerintah menaruh perhatian yang cukup besar terkait isu


stunting terutama untuk mencari langkah terobosan dalam menangani
dan mengurangi stunting dimana hal tersebut dilakukan dengan sebuah
Strategi Nasional Percepatan Pencegahan Stunting yang terdiri dari lima
pilar, yaitu: 1) Komitmen dan visi kepemimpinan; 2) Kampanye nasional
dan komunikasi perubahan perilaku; 3) Konvergensi program
pusat,daerah,dan desa; 4) ketahanan pangan dan gizi; dan 5)
Pemantauan dan evaluasi. Strategi ini diselenggarakan di semua
tingkatan pemerintah dengan melibatkan berbagai institusi pemerintah
yang terkait dan institusi non-pemerintah, seperti swasta, masyarakat
madani, dan komunitas. Strategi ini digunakan untuk menyasar
kelompok prioritas rumah tangga 1.000 HPK dan masyarakat umum di
lokasi prioritas. (TNP2K, 2017)

Pilar 1: Komitmen dan Visi Pimpinan Tertinggi Negara. Pada pilar ini,
dibutuhkan Komitmen dari Presiden/Wakil Presiden untuk mengarahkan
K/L terkait Intervensi Stunting baik di pusat maupun daerah. Selain itu,
diperlukan juga adanya penetapan strategi dan kebijakan, serta target
nasional maupun daerah (baik provinsi maupun kab/kota) dan
memanfaatkan Sekretariat Sustainable Development Goals/SDGs dan
[STRATEGI PENCEGAHAN STUNTING DIMASA KEHAMILAN
DAN BADUTA] 2020

Sekretariat TNP2K sebagai lembaga koordinasi dan pengendalian-


program program terkait Intervensi Stunting.
Pilar 2: Kampanye Nasional berfokus pada Peningkatan
Pemahaman, Perubahan Perilaku, Komitmen Politik dan
Akuntabilitas. Berdasarkan pengalaman dan bukti internasional terkait
program program yang dapat secara efektif mengurangi pervalensi
stunting, salah satu strategi utama yang perlu segera dilaksanakan
adalah melalui kampanye secara nasional baik melalui media masa,
maupun melalui komunikasi kepada keluarga serta advokasi secara
berkelanjutan.
Pilar 3 : Konvergensi, koordinasi, dan konsolidasi program
nasional, daerah, dan masyarakat. Pilar ini bertujuan untuk
memperkuat konvergensi, koordinasi, dan konsolidasi, serta memperluas
cakupan program yang dilakukan oleh Kementerian/Lembaga (K/L)
terkait. Di samping itu, dibutuhkan perbaikan kualitas dari layanan
program yang ada (puskesmas, Posyandu, PAUD, BPSPAM, PKH dll)
terutama dalam memberikan dukungan kepada ibu hamil, ibu menyusui,
dan balita pada 1000 HPK serta pemberian insentif dari kinerja program
intervensi Stunting di wilayah sasaran yang berhasil menurunkan angka
stunting di wilayahnya. Terakhir, pilar ini juga dapat dilakukan dengan
memaksimalkan pemanfaatan dana alokasi khusus (DAK) dan dana
desa untuk mengarahkan pengeluaran tingkat daerah ke intervensi
prioritas Intervensi stunting.
Pilar 4 : Mendorong kebijakan “Foof Nutritional Security”. Pilar ini
berfokus untuk : (1) mendorong kebijakan yang memastikan akses
pangan berzigi, khususnya di daerah dengan kasus stunting tinggi. (2)
melaksanakan rencana fortifikasi bio-energi, makanan dan pupuk yang
komprehensif, (3) pengurangan kontaminasi pangan, (4) melaksanakan
program pemberian makanan tambahan, (5) mengupayakan intervensi
[STRATEGI PENCEGAHAN STUNTING DIMASA KEHAMILAN
DAN BADUTA] 2020

melalui kemitraan dengan dunia usaha, dana desa, dan lain-lain dalam
infrasturuktur pasar pangan baik ditingkat urban maupun rural.
Pilar 5 : Pemantauan dan Evaluasi. Pilar yang terakhir ini mencakuo
pemantauan exposure terhadap kampanye nasional, pemahaman serta
perubahan perilaku sebagai hasil kampanye nasional stunting.
Pemantauan dan evaluasi secara berkala untuk memastikan pemberian
dan kualitas dari layanan program intervensi stunting. Pengurangan dan
publikasi secara berkala hasil intervensi stunting dan perkembangan
anak setiap tahun untuk akuntabilitas, Result-based planning and
budgeting (penganggran dan perencanaan berbasis hasil) program pusat
dan daerah, dan pengendalian program-program intervensi stunting.
(TNP2K, 2017)
Adapun Strategi nasional Pencegahan Stunting yang dikeluarkan
berdasarkan Lima Pilar tersebut, antara lain :
1. Pilar 1 : Komitmen dan Visi Pemimpin Tertinggi Negara :
a. Kepemimpinan Presiden/Wakil Presiden untuk pencegahan
stunting; dengan memastikan bahwa visi, arahan, dan
dukungan Presiden dan Wakil Presiden tersosialisasi dengan
baik dan diterjemahkan ke dalam kebijakan dan distribusi
sumber daya yang tepat sasaran dan memadai di semua
tingkatan.
b. Kepemimpinan Pemerintah Daerah untuk pencegahan
stunting; dengan menciptakan lingkungan kebihakan yang
mendukung bagi penyelenggaraan kegiatan konvergensi
pencegahan stunting berbasis hasil.
c. Kepemimpinan Pemerintah Desa untuk pencegahan stunting;
dengan menciptakan lingkungan kebijakan yang mendukung
bagi penyelenggaraan pencegahan stunting secara konvergen
di tingkat desa.
[STRATEGI PENCEGAHAN STUNTING DIMASA KEHAMILAN
DAN BADUTA] 2020

d. Pelibatan swasta, masyarakat madani, dan komunitas;


dengan memastikan keterlibatan mereka secara aktif dalam
percepatan pencegahan stunting di masyarakat.
Bertujuan untuk Memastikan pencegahan stunting menjadi
prioritas pemerintah dan masyarakat di semua tingkatan.
(TNP2K, 2017)
Penyusunan Kebijakan tentang Pencegahan Stunting.
Kebijakan ini disusun untuk memastikan efektifitas dan efisiensi
penggunaan sumber daya di semua tingkatan pemerintah untuk
pencegahan stunting. Alat yang digunakan untuk melaksanakan
aksi ini adalah :
1) Komite Percepatan Pencegahan Stunting yang terdiri dari
Komite Pengarah, Komite Pengendali, dan Tim Teknis.
Komite Pengarah dipimpin oleh Wakil Presiden dengan
Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan
Kebudayaan sebagai Wakil Ketua.
2) Peraturan atau Kebijakan di tingkat Daerah (Provinsi
dan/atau Kabupaten/Kota), untuk mendukung
penyelenggaraan aksi konvergensi/integrasi21
pencegahan stunting secara efektif dan efisien sesuai
dengan kewenangan dan sumber daya Pemerintah
Daerah dan Desa. (TNP2K, 2018)
2. Pilar 2 : Kampanye Nasional dan Komunikasi Perubahan
Perilaku :
a. Kampanye perubahan perilaku bagi masyarakat umum yang
konsisten dan berkelanjutan; dengan memastikan
pengembangan pesan, pemilihan saluran komunikasi, dan
pengukuran dampak yang efektif, efisien, tepat sasaran, dan
berkelanjutan.
[STRATEGI PENCEGAHAN STUNTING DIMASA KEHAMILAN
DAN BADUTA] 2020

b. Komunikasi antar pribadi sesuai konteks sasaran; dengan


memastikan pengembangan pesan sesuai kebutuhan
kelompok sasaran.
c. Advokasi berkelanjutan kepada pengambil kebutuhan; dengan
memastikan terselenggaranya penjangkauan yang sistematis.
d. Pengembangan kapasitas penyelenggara; dengan memberikan
pengetahuan dan pelatihan bagi penyelenggara kampanye dan
komunikasi perubahan perilaku yang efektif dan efisien.
Hal ini Bertujuan dalam Meningkatkan kesadaran publik dan
perubahan perilaku masyarakat untuk mencegah stunting.
(TNP2K, 2017)
Aksi ini juga dikembangkan dengan memperhatikan keadaan
sosial budaya masyarakat dan bukti-bukti keberhasilan intervensi
untuk mencegah dan menurunkan angka stunting. Kampanye
menggunakan materi komunikasi, informasi, dan edukasi dengan
pesan yang sama secara nasional yang disampaikan melalui
berbagai bentuk media komunikasi, institusi pendidikan dan
keagamaan, organisasi masyarakat madani, organisasi profesi,
swasta, dan sebagainya. Alat yang digunakan untuk
melaksanakan aksi ini adalah :
1) Rancangan kampanye perubahan perilaku disusun dengan
pesan inti yang sama secara nasional, berbasis fakta,
menyasar masyarakat secara luas, memiliki dampak yang
terukur, dilengkapi dengan panduan dan alat bantu
penyelenggaraan, serta didukung mekanisme koordinasi,
anggaran, dan sumber daya yang memadai. Pemahaman
masyarakat tentang pesan yang disampaikan dapat
dipantau dan diukur melalui berbagai kegiatan seperti
survei ke masyarakat, jajak pendapat, inisiatif masyarakat
untuk pencegahan stunting, dan sebagainya.
[STRATEGI PENCEGAHAN STUNTING DIMASA KEHAMILAN
DAN BADUTA] 2020

2) Alat ini dikelola oleh Kementerian Kesehatan bersama


Kementerian Komunikasi dan Informatika untuk tingkat
pusat, dan Dinas Kesehatan bersama Dinas Komunikasi
dan Informasi untuk tingkat provinsi dan kabupaten/kota.
(TNP2K, 2018)
3. Pilar 3 : Konvergensi, koordinasi, dan konsolidasi program
nasional, daerah, dan masyarakat :
a. Memperkuat konvergensi dalam perencanaan dan
penganggaran program dan kegiatan; untuk meningkatkan
cakupan dan kualitas intervensi gizi prioritas melalui
pengembangan kapasitas pemerintah kabupaten/kota.
b. Memperbaiki disain dan pengelolaan program; untuk
memastikan sasaran prioritas (rumah tangga 1.000 HPK)
memperoleh dan memanfaatkan paket intervensi yang
disediakan.
c. Memperkuat koordinasi lintas sektor dan antar tingkatan
pemerintah sampai desa; untuk memastikan keselarasan
penyediaan dan penyelenggaraan pelaksanaan program.
(TNP2K, 2017)
Hal ini Bertujuan untuk Memperkuat konvergensi melalui
koordinasi dan konsolidasi program dan kegiatan pusat, daerah,
dan desa, serta Membagi kewenangan dan tanggung jawab
pemerintah di semua tingkatan untuk menyelenggarakan
konvergensi tersebut, seperti dijelaskan di bawah ini :
1) Di Tingkat Pusat :
a) Bappenas mengkoordinasikan pelibatan institusi
pemerintah dan institusi/lembaga nonpemerintah untuk
mendukung konvergensi percepatan pencegahan
stunting.
[STRATEGI PENCEGAHAN STUNTING DIMASA KEHAMILAN
DAN BADUTA] 2020

b) Bappenas dan Kementerian Keuangan memastikan


perencanaan dan penganggaran untuk mendukung
kegiatan prioritas pencegahan stunting di
Kementerian/Lembaga dan mengevaluasi efektivitas
dan efisiensi penggunaan anggaran.
c) Kementerian Kesehatan melakukan penguatan
intervensi gizi spesifik, dengan memastikan tersedianya
sumber daya manusia yang berkapasitas, sumber dana
yang memadai, dan petunjuk teknis pelaksanaan
intervensi gizi spesifik.
d) Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Desa,
Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi
berkoordinasi untuk memprioritaskan pengembangan
kapasitas penyelenggaraan konvergensi ditingkat
provinsi, kabupaten/kota, desa dan memastikan
dukungan teknisnya.
e) Kementerian/Lembaga Teknis lain yang mendukung
penyelenggaraan intervensi gizi spesifik dan sensitif
memprioritaskan pencegahan stunting dalam
perencanaan dan penganggaran tahunan,
menyediakan dukungan pengembangan kapasitas,
dukungan teknis, dan dukungan lain yang tepat
2) Di Tingkat Provinsi :
a) Pemerintah Provinsi memfasilitasi pembinaan,
pemantauan, evaluasi, dan tindak lanjut provinsi atas
kebijakan dan pelaksanaan program dan anggaran
penyediaan intervensi gizi prioritas di wilayah
kabupaten/kota.
b) Pemerintah Provinsi memberikan fasilitas dan
dukungan teknis bagi peningkatan kapasitas
[STRATEGI PENCEGAHAN STUNTING DIMASA KEHAMILAN
DAN BADUTA] 2020

kabupaten/kota dalam penyelenggaraan Aksi


Konvergensi/Integrasi yang efektif dan efisien.
c) Pemerintah Provinsi mengkoordinir pelibatan institusi
non-pemerintah untuk mendukung Aksi
Konvergensi/Integrasi percepatan pencegahan stunting.
d) Pemerintah Provinsi membantu tugas Kementerian
Dalam Negeri untuk melaksanakan penilaian kinerja
kabupaten/kota dalam penyelenggaraan pencegahan
stunting, termasuk memberikan umpan balik serta
penghargaan kepada kabupaten/kota sesuai kapasitas
provinsi yang bersangkutan.
3) Di Tingkat Kabupaten/Kota :
a) Pemerintah kabupaten/kota memastikan perencanaan
dan penganggaran program/ kegiatan untuk intervensi
prioritas, khususnya di lokasi dengan prevalensi
stunting tinggi dan/atau kesenjangan cakupan
pelayanan yang tinggi.
b) Pemerintah kabupaten/kota memperbaiki pengelolaan
layanan untuk intervensi gizi prioritas dan memastikan
bahwa sasaran prioritas memperoleh dan
memanfaatkan paket intervensi yang disediakan.
c) Pemerintah kabupaten/kota mengkoordinir dan
melakukan pembinaan kepada kecamatan dan
pemerintah desa dalam menyelenggarakan intervensi
prioritas, termasuk dalam mengoptimalkan sumber
daya, sumber dana, dan pemutakhiran data.
4) Di Tingkat Desa :
a) Pemerintah desa melakukan konvergensi dalam
perencanaan dan penganggaran program dan kegiatan
[STRATEGI PENCEGAHAN STUNTING DIMASA KEHAMILAN
DAN BADUTA] 2020

pembangunan desa untuk mendukung pencegahan


stunting.
b) Pemerintah desa memastikan setiap sasaran prioritas
menerima dan memanfaatkan paket layanan intervensi
gizi prioritas. Implementasi kegiatan dilakukan bekerja
sama dengan Kader Pembangunan Manusia (KPM),
pendamping Program Keluarga Harapan (PKH),
petugas Puskesmas dan bidan desa, serta petugas
Keluarga Berencana (KB).
c) Pemerintah desa memperkuat pemantauan dan
evaluasi pelaksanaan pelayanan kepada seluruh
sasaran prioritas serta mengkoordinir pendataan
sasaran dan pemutakhiran data cakupan intervensi
secara rutin. (TNP2K, 2018)
4. Pilar 4 : Ketahanan Pangan dan Gizi :
a. Akses pangan yang bergizi; dengan memastikan
keterjangkauan dan keteresediaan pangan bergizi, dan
mendorong cakupa dan kualitas program fortifikasi pangan
utama yang sudah berjalan (garam, tepung terigu, minyak
goreng).
b. Perluasan program bantuan sosial dan bantuan pangan non
tunai yang bergizi untuk keluarga kurang mampu; agar dapat
memenuhi kebutuhan gizi sasaran prioritas dari keluarga
kurang mampu.
c. Pemenuhan kebutuhan pangan dan gizi keluarga; dengan
mempercepat diversifikasi pangan berbasis sumber daya
pangan lokal dan pengembangan Kawasan Ramah Pangan
Lestari (KRPL) berkelanjutan.
d. Penguatan regulasi mengenai label dan iklan pangan; dengan
memperkuat koordinasi kelembagaan, penegakan hukum, dan
[STRATEGI PENCEGAHAN STUNTING DIMASA KEHAMILAN
DAN BADUTA] 2020

mekanisme pelabelan dan penyampaiaan iklan pangan untuk


memastikan keamanan dan mutu pangan.
Hal ini Bertujuan dalam Meningkatkan akses terhadap
makanan bergizi dan mendorong ketahanan pangan. (TNP2K,
2017)
Selain itu, Pemenuhan kebutuhan pangan dan gizi
keluarga; dengan memastikan terpenuhinya kebutuhan
tersebut melalui dukungan kebijakan dan mekanisme
pemerintah dan peran masyarakat. Alat yang digunakan untuk
melaksanakan aksi ini adalah :
1) Diversifikasi pangan berbasis sumber daya pangan
pangan lokal;
2) Pengembangan Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL)
yang menjangkau seluruh lokasi (desa), terutama desa
fokus pencegahan stunting, pengembangan kelembagaan
kebun bibit Desa, unit pengolahan, dan pemasaran untuk
menjaga keberlanjutan KRPL;
3) Peningkatkan konsumsi pangan hewani, sayur, dan buah
terutama bagi kelompok sasaran dan kelompok rawan gizi
lainnya melalui sosialisasi kepada ibu hamil dan anak
sekolah;
4) Instrumen ini dikelola oleh Kementerian Kesehatan dan
Kementerian Pertanian untuk tingkat pusat dan Dinas
Kesehatan dan Dinas Pertanian dan/atau Dinas
Ketahanan Pangan bekerja sama dengan Puskesmas dan
lembaga masyarakat lainnya untuk tingkat provinsi dan
kabupaten/kota. (TNP2K, 2018)
5. Pilar 5 : Pemantauan dan Evaluasi ;
a. Peningkatan sistem pendataan; yang dapat memantau secara
akurat dan berkala data prevalensi stunting di tingkat nasional
[STRATEGI PENCEGAHAN STUNTING DIMASA KEHAMILAN
DAN BADUTA] 2020

dan kabupaten/kota. Sistem pendataan yang lebih baik juga


memudahkan pemerintah menelusuri program-program
prioritas dan penganggaran mulai dari tingkat
Kementerian/Lembaga hingga desa serta capaian output dari
setiap program. Peningkatan sistem pendataan meliputi tiga
aspek, yaitu masukan (input), pengolahan, dan keluaran
(output). Ketiga aspek tersebut saling berhubungan dan saling
mempengaruhi.
b. Penggunaan data dalam perencanaan dan penganggaran
berbasis hasil; data harus mudah diakses, dipahami, dan
digunakan pemerintah pusa dan daerah dalam menyusun
perencanaan dan penganggaran berbasis hasil pada tahun
anggaran berikutnya.
c. Percepatan siklus pembelajaran dan berbagi inovasi dan
praktik-praktik baik secara lokal maupun global. Informasi
terkait inovasi dan praktik-praktik baik perlu diketahui dan bisa
dipelajari oleh pihak-pihak yang berperan dalam percepatan
pencegahan stunting. Strategi ini diharapkan berpengaruh
pada pelaksanaan program yang lebih dapat
dipertanggungjawabkan, transparan, dan berkelanjutan.
(TNP2K, 2017)
Hal ini bertujuan untuk meningkatkan pemantauan dan
evaluasi sebagai dasar untuk memastikan pemberian layanan
yang bermutu, peningkatan akuntabilitas, dan percepatan
pembelajaran. Pemantauan dan evaluasi akan menitik
beratkan pada: (a) Dampak dan capaian program; (b) Output
kunci; dan (c) Faktor-faktor yang mendukung percepatan
pencegahan stunting. (TNP2K, 2018)
[STRATEGI PENCEGAHAN STUNTING DIMASA KEHAMILAN
DAN BADUTA] 2020

Dari berbagai negara juga telah melakukan strategi yang cukup


besar serta mengalami kamajuan dalam mengurangi masalah gizi terutama
masalah stunting yang ada di negaranya tersebut, antara lain :
1. Brazil
Program Zero Hunger diluncurkan oleh Presiden Lula pada 2003
guna memperbaiki situasi dengan memperkenalkan model
pembangunan yang baru, yang fokus pada pemberantasan kelaparan
dan inklusi sosial, menghubungkan ekonomi makro, sosial dan kebijakan
produktif. Beliau berusaha menjadikan program ini murni usaha nasional
dengan melibatkan partisipasi warga Brasil seluas mungkin. (FAO, 2003)
Brasil saat ini dijadikan contoh oleh negara-negara lain dalam hal
penanggulangan kelaparan, kerawanan pangan dan penurunan
kemiskinan. Keberhasilan Zero Hunger tidak terlepas dari lima faktor
utama, yaitu :
a. Komitmen politik di tingkat atas: Mulai dari hari pertama bekerja di
kantornya, Presiden Lula menempatkan pemberantasan
kelaparan dan penurunan kemiskinan sebagai tujuan utama
pembangunan Brasil. Beliau melibatkan seluruh sektor
kementerian dan tingkat pemerintahan serta masyarakat Brasil
dalam upaya bersama dan secara besar-besaran untuk
menjalankan agenda ini.
b. Tujuan Zero Hunger tercermin dalam kebijakan-kebijakan
ekonomi makro Brasil.
c. Dibentuknya kebijakan ketahanan pangan nasional dan nutrisi
yang terintegrasi, yang didukung oleh kerangka kerja hukum dan
kelembagaan yang baru. Hal ini didasarkan pada konsep bahwa
pemerintahlah yang bertanggung jawab untuk memastikan
seluruh rakyat Brasil dapat memperoleh haknya atas pangan yang
cukup.
[STRATEGI PENCEGAHAN STUNTING DIMASA KEHAMILAN
DAN BADUTA] 2020

d. Pendekatan jalur ganda: kebijakan-kebijakan untuk meningkatkan


produksi dihubungkan dengan promosi inklusi sosial guna
memperkuat dampaknya. Dengan cara ini, daya beli baru yang
diciptakan oleh proteksi sosial dimanfaatkan untuk menstimulasi
petani skala-kecil yang miskin meningkatkan produksi pangan dan
dengan demikian memperkuat ekonomi lokal komunitas mereka.
e. Inisiatif Zero Hunger dipelajari dari pengalaman lain : Zero Hunger
dibangun diatas kebijakan lokal dan nasional yang ada di Brasil
dan juga inspirasi-inspirasi dari tempat lain. Program transfer
uang diinspirasi dari program Kupon Pangan (Food Stamps) di
Amerika Serikat yang diciptakan setelah terjadinya Depresi Besar,
sementara lingkaran kebajikan (virtuous circle) antara produksi
dan konsumsi lokal didasarkan pada pengalaman dari California.
(FAO, 2003)
Sepuluh tahun setelah diluncurkan, Zero Hunger memperlihatkan
bahwa mengkombinasi antara pertumbuhan ekonomi yang cepat dan
distribusi pendapatan yang lebih baik dapat dilakukan.
Komponen-komponen utama Zero Hunger berusaha memperbaiki
nutrisi dengan cepat dan sekaligus mengatasi penyebab kelaparan dan
malnutrisi, termasuk ketimpangan penghasilan, ketidakadilan dalam
akses terhadap lahan, dan buruknya kualitas infrastruktur dan pelayanan
di daerah pedesaan. (FAO, 2003)
Program ini meliputi 30 rangkaian aksi yang setara dan saling
medukung dan diimplementasikan di tingkat nasional, sektoral dan lokal :
a. Pada tingkat nasional, reformasi kebijakan berfokus pada pekerjaan
dan peningkatan pendapatan, perlindungan sosial, bantuan untuk
pertanian skala- kecil dan percepatan reformasi lahan.
[STRATEGI PENCEGAHAN STUNTING DIMASA KEHAMILAN
DAN BADUTA] 2020

b. Aksi terkait sektor pangan dan gizi meliputi :


1) kupon makanan;
2) bantuan pangan darurat yang didukung oleh persediaan
pangan yang dimiliki publik;
3) keamanan pangan;
4) nutrisi ibu dan anak; makanan di sekolah, dan pendidikan
nutrisi.
c. Pada tingkat lokal, kebijakan disesuaikan untuk menjawab
perbedaan kebutuhan antara situasi kota dan desa dengan fokus
pada kebutuhan pelayanan yang lebih baik untuk petani skala-kecil :
1) bank pangan;
2) perbaikan infrastruktur penyimpanan pangan;
3) keterlibatan supermarket dalam manajemen pangan yang
lebih baik;
4) pertanian kota, dan sebagainya. (FAO, 2003)
Sebagai hasil dari Zero Hunger dan langkah-langkah terkait
lainnya (mis. undang-undang upah minimum), Brasil berhasil
memenuhi target Tujuan Pembangunan Global dengan
mengurangi angka kelaparan dan kemiskinan sampai 50% di
tahun 2010. Tren peningkatan ketimpangan antara kaya dan
miskin menjadi berbalik; misalnya indeks Gini turun dari 58,7 di
tahun 2003 menjadi 51,9 di tahun 2012. Angka kematian menurun
45% selama 11 tahun dan jumlah orang yang menderita kurang
gizi tingkat sedang dan parah turun dari 16,9% di tahun 2004
menjadi 11,5% pada 2009. (FAO, 2003)

Selain itu keberhasilan brasil jga terbukti dalam tiga dekade


terakhir, brazil telah membuat kemajuan yang signifikan dalam
perkembangan sosial dengan perbaikan kondisi kehidupan dan status
kesehatan penduduknya, termasuk penurunan susbstansi anak yang
[STRATEGI PENCEGAHAN STUNTING DIMASA KEHAMILAN
DAN BADUTA] 2020

kekurangan gizi, orang brazil yang hidup dengan < 1,25 US $ per hari
turun dari 25,6% menjadi 4,8% antara tahun 1990 dan 2008, seperti
yang terjadi pada balita pendek, dari 37,1 % pada tahun 1974 menjadi
7,1% pada tahun 2007. Gizi kurang pada anak-anak antara usia satu
dan dua tahun dari 20% menjadi 5% dan kurang dari 2% anak saat ini
menderita wasting. Ada Lima faktur kunci telah berkontrubusi pada
keberhasilan brazil dalam memerangi gizi buruk :
a. peningkatan daya beli keluarga melalui peningkatan upah minumun
dan perluasan program bantuan tunai.
b. peningkatan tingkat pendidikan perempauan
c. peningkatan dan perluasan layanan kesehatan ibu dan anak.
d. perluasan sistem air dan sanitasi, dan
e. peningkatan kualitas dan kuantitas pangan yang diproduksi oleh
pertanian keluarga kecil.
Keberhasilan brazil jga didorong oleh kepemimpinan politik,
desentralisasi yang efektif, keterlibatan aktif masyarakat sipil, serta
pandangan bersyarat dan ditargetkan. Pemeritah brazil tidak hanya
menunjukkan kemauan politik yang kuat untuk memerangi malnutrisi,
tetapi juga berinvestasi secara strategis dalam kebijakan dan program
untuk meningkatkan akses ke layanan sosial.

2. Peru
Di peru, CRECER (tumbuh). Strategi nasional melawan malnutrisi
anak memeiliki target awal untutk memerangi stunting sebesar 9%
antara tahun 2005 dan 2011. Di bawah kepemimpinan perdana menteri,
strategi tersebut melibatkan berbagai sektor : kesehatan, pendidikan, air
dan sanitasi, perumahan, pertanian, mitra Non-Pemerintah, dan
diterapkan ditingkat nasional, regional dan kabupaten. Program terkait
JUNTOS (“bersama”), adalah program transfer tunai bersyarat yang
menargetkan kota-kota termiskin, dengan tujuan meningkatkan sumber
[STRATEGI PENCEGAHAN STUNTING DIMASA KEHAMILAN
DAN BADUTA] 2020

daya di tingkat rumah tangga , serta memanfaatkan layanan kesehatan


dan gizi serta kesempatan pendidikan. Stunting balita turun dari 22,9%
pada tahun 2005 menjadi 17,9% pada tahun 2010. Tetapi penibgkatan di
daerah pedesaan yang miskin lebih besar dari rata-rata nasional, berkat
penargetan melalui JUNTOS. Setelah lebih dari satu dekade (1995-
2005) ketika tingkat sunting rata-rata nasional tetap tidak berubah
(karena prevalensi stunting pedesaan stagnan pada 40% sementara
stunting di perkotaan turun dari 16% menjadi 10%), penibgkatan
dramatis di peru antara 2005 dan 2010 menyoroti hal positif. Efek dari
reformasi kebijakan yang menginterpretasikan gizi ke dalam strategi
perlindungan sosial.

3. Bolivia
Tanpa gizi buruk di Bolivia adalah model program bersama yang
melibatkan beberapa sektor ditingkat nasional, regional, dan kota. Untuk
memberantas gizi kurang di bawah usia dua tahun, program
meintegrasikian promosi ASI Eksklusif dalam enam bulan pertama dan
penggunaan MPASI yang difortifikasi dari enam hingga 23 bulan dalam
intervensi untuk meninglatkan ketahanan pangan dan gizi serta akses air
bersih, sanitasi, pendidika, perawatan kesehatan dan layanan nutrisi.
Mendukung pertanian keluarga yang berkelanjutan (produksi bahan
pokok, kacang-kacangan, sayuran, marmut dan ayam). Keluarga yang
berpartisipasi didorong untuk mengkomsumsi produksinya sendiri dan
menerapkan 10 kunci menuju makanan yang lebih aman dan pola
makan sehat. Setelah 8 bulan pelaksanan program, survei di 24 kota
rawan pangan menemukan bahwa di 80% keluarga, anak balita
mengkomsumsi satu atau lebih produkpertanian keluarga setiap hari,
termasuk berbagai macam sayuran, daging marmut, dan telur. Evaluasi
independen mendokumetasikan tren yang menjanjikan dari penurunan
[STRATEGI PENCEGAHAN STUNTING DIMASA KEHAMILAN
DAN BADUTA] 2020

tahunan berkelanjutan (2008 hingga 2011) pada stunting anak dibawah


dua tahun (dari 18,5% menjadi 13,5%).

4. India
India menempati peringkat negara dengan jumlah balita stunting
terbesar- sekitar 61,7%. Namun maharashtra, sebuah negara bagian di
india barat, behasil mengurangi tingkat stunting pada anak dibawah dua
tahun dari 44% pada tahun 2005 menjadi 22,8% pada tahun 2012.
Keberhasilan maharashtra didasarkan pada pendekatan seluruh-
pemerintah yang diluncurkan pada tahun 2005, Rajmata Misi Keehatan
Gizi ibu-anak Jijau. Ini adalah badan teknis, penasihat dan pelatihan
dengan misi tiga bagian : advokasi tentang pentingknya 1000 hari
pertama kehidupan; sebuah “think tank” yang memberikan saran
kebijakan kepeda pemerintah tentang intervensi berbasis bukti; dan
platfrom untuk mendorong konvergensi di antara berbagai departemen
dengan tujuan bersama untuk mengurangi malnutrisi. Selain itu, misi
membangun keberlanjutan dengan mempromosikan program yang
dipimpin dan dikelola olehkomunitas, mendorong perubahan perilaku
dengan menggunakan metode modern teknologi dna media serta
metode tradisional materi pendidikan cetak dan dari mulut ke mulut, dan
mendorong pengumpulan data tambahan untuk mengukur kemajuan dan
mengungkap kesenjangan. Inisiatif ini menciptakan dampak yang
signifikan pada gizi anak dibawah usia dua tahun.

Disisi lain, jika Merujuk pada pola pikir UNICEF/Lancet, masalah


stunting terutama disebabkan karena ada pengaruh dari pola asuh,
cakupan dan kualitas pelayanan kesehatan, lingkungan, dan ketahanan
pangan, maka berikut ini mencoba untuk membahas dari sisi pola asuh
dan ketahanan pangan tingkat keluarga. (Pustadin, 2018)
[STRATEGI PENCEGAHAN STUNTING DIMASA KEHAMILAN
DAN BADUTA] 2020

Dari kedua kondisi ini dikaitkan dengan strategi implementasi


program yang harus dilaksanakan. Pola asuh (caring), termasuk di
dalamnya adalah Inisiasi Menyusu Dini (IMD), menyusui eksklusif
sampai dengan 6 bulan, dan pemberian ASI dilanjutkan dengan
makanan pendamping ASI (MPASI) sampai dengan 2 tahun merupakan
proses untuk membantu tumbuh kembang bayi dan anak. (Pusdatin,
2018)
Kebijakan dan strategi yang mengatur pola asuh ini ada pada
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal 128,
Peraturan Pemerintah Nomor 33 tahun 2012 tentang ASI, dan Rencana
Strategis Kementerian Kesehatan 2015-2019, Keputusan Menteri
Kesehatan Nomor HK.02.02/MENKES/52/2015.
Amanat pada UU Nomor 36 Tahun 2009 adalah :
a. Setiap bayi berhak mendapatkan ASI Eksklusif sejak dilahirkan
selama 6 bulan, kecuali atas indikasi medis.
b. Selama pemberian ASI pihak keluarga, pemerintah, pemerintah
daerah, dan masyarakat harus mendukung ibu bayi secara penuh
dengan penyediaan waktu dan fasilitas khusus. (Pusdatin, 2018)

Amanat UU tersebut diatur dalam PP Nomor 33 Tahun 2013 tentang


ASI yang menyebutkan :
a. Setiap ibu yang melahirkan harus memberikan ASI Eksklusif.
Pengaturan pemberian ASI Eksklusif bertujuan untuk: a. menjamin
pemenuhan hak bayi untuk mendapatkan ASI Eksklusif sejak
dilahirkan sampai dengan berusia 6 (enam) bulan dengan
memperhatikan pertumbuhan dan perkembangannya;
b. memberikan perlindungan kepada ibu dalam memberikan ASI
Eksklusif kepada bayinya;
[STRATEGI PENCEGAHAN STUNTING DIMASA KEHAMILAN
DAN BADUTA] 2020

c. meningkatkan peran dan dukungan keluarga, masyarakat,


pemerintah daerah, dan pemerintah terhadap pemberian ASI
Eksklusif.
d. Tenaga kesehatan dan penyelenggara fasilitas pelayanan kesehatan
wajib melakukan inisiasi menyusu dini terhadap bayi yang baru lahir
kepada ibunya paling singkat selama 1 (satu) jam. Inisiasi menyusu
dini sebagaimana dimaksud dilakukan dengan cara meletakkan bayi
secara tengkurap di dada atau perut ibu sehingga kulit bayi melekat
pada kulit ibu. (Pusdatin, 2018).
[STRATEGI PENCEGAHAN STUNTING DIMASA KEHAMILAN
DAN BADUTA] 2020

A. Kesimpulan
Stunting adalah kondisi tinggi badan seseorang yang kurang dari
normal berdasarkan usia. Tinggi badan merupakan salah satu jenis
pemeriksaan antropometri dan menunjukkan status gizi seseorang.
Stunting ini merupakan kekurangan gizi dalam waktu lama yang terjadi
sejak dalam kandungan sampai awal kehidupan anak sampai berumur 24
bulan (1000 HPK) (Kemenkes, 2018). Baduta (Bayi dibawah usia Dua
Tahun) yang mengalami stunting akan memiliki tingkat kecerdasan tidak
maksimal, menjadikan anak menjadi lebih rentan terhadap penyakit dan
dimasa depan dapat beresiko pada menurunnya tingkat produktivitas.
Berdasarkan data World Health Organization (WHO Indonesia merupakan
negara ke 3 di Asia Tenggara yang memiliki prevalensi terbanyak.
Untuk mencegah dan menurunkan stunting, pemerintah telah
menetapkan beberapa kebijakan dan program. Komitmen dan inisiatif
pemerintah untuk mencegah stunting diawali dengan bergabungnya
Indonesia ke dalam gerakan Global Scaling Up Nutrition (SUN) 2011. Pada
2011, Pemerintah Indonesia bergabung dalam gerakan tersebut melalui
perancangan dua kerangka besar Intervensi Stunting. Kerangka Intervensi
Stunting tersebut kemudian diterjemahkan menjadi berbagai macam
program yang dilakukan oleh Kementerian dan Lembaga (K/L) terkait
dimana Kerangka Intervensi Stunting yang dilakukan oleh Pemerintah
Indonesia tersebut terbagi menjadi dua, yaitu Intervensi Gizi Spesifik dan
Intervensi Gizi Sensitif. Sasaran dari strategi ini meliputi baik ibu hamil
maupun anak usia 0 bulan sampai dengan 24 bulan.
Dalam kebijakan dan program tersebut tidak berjalan dengan baik
karena adanya berbagai macam kendala, sehingga pemerintah melakukan
upaya dengan mencari langkah terobosan dalam menangani dan
mengurangi stunting dimana hal tersebut dilakukan dengan sebuah Strategi
Nasional Percepatan Pencegahan Stunting yang terdiri dari lima pilar, yaitu:
[STRATEGI PENCEGAHAN STUNTING DIMASA KEHAMILAN
DAN BADUTA] 2020

1) Komitmen dan visi kepemimpinan; 2) Kampanye nasional dan


komunikasi perubahan perilaku; 3) Konvergensi program pusat,daerah,dan
desa; 4) ketahanan pangan dan gizi; dan 5) Pemantauan dan evaluasi.
Strategi ini diselenggarakan di semua tingkatan pemerintah dengan
melibatkan berbagai institusi pemerintah yang terkait dan institusi non-
pemerintah, seperti swasta, masyarakat madani, dan komunitas. Strategi ini
digunakan untuk menyasar kelompok prioritas rumah tangga 1.000 HPK
dan masyarakat umum di lokasi prioritas. (TNP2K, 2018)
Selain itu dengan adanya faktor-faktor yang mempengaruhi
terjadinya stunting maka perlu juga adanya strategi implementasi program
yang harus dilaksanakan meliputi : Pola asuh (caring), termasuk di
dalamnya adalah Inisiasi Menyusu Dini (IMD), menyusui eksklusif sampai
dengan 6 bulan, dan pemberian ASI dilanjutkan dengan makanan
pendamping ASI (MPASI) sampai dengan 2 tahun merupakan proses untuk
membantu tumbuh kembang bayi dan anak. (Pusdatin, 2018). Kebijakan
dan strategi yang mengatur pola asuh ini ada pada Undang-Undang Nomor
36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal 128, Peraturan Pemerintah
Nomor 33 tahun 2012 tentang ASI, dan Rencana Strategis Kementerian
Kesehatan 2015-2019, Keputusan Menteri Kesehatan Nomor
HK.02.02/MENKES/52/2015. (Pusdatin, 2018)
[STRATEGI PENCEGAHAN STUNTING DIMASA KEHAMILAN
DAN BADUTA] 2020

DAFTAR PUSTAKA

Candra A, Puruhita N, JS. Risk Factors Of Stunting Among 1-2 Years Old Children In Semarang
City. Medical bulletin. MEDIA Med Indones [Internet]. 2011 Available
from:https://ejournal.undip.ac.id/index.php/mmi/article/view/3254

Candra, Aryu. Epidemiologi Stunting.2020:1. Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro


Semarang.

FAO, Fiat Panis. Nol Kelaparan Pengalaman Brazil. Sambutan inagurasi, Presiden Luiz Inacio
Lula da Silva, Januari 2003

Goodarz Danaei, KGA, Christopher R. Sudfeld1, Gu¨nther Fink1, Dana, Charles McCoy, Evan
Peet1, AS, et al. Risk Factors for Childhood Stunting in 137 Developing Countries: A
Comparative Risk Assessment Analysis at Global, Regional, and Country Levels;
Available from: https:// www.ncbi.nlm. nih.gov/
pmc/articles/PMC5089547/pdf/pmed.1002164.pdf

Hendricks KM. Manual of pediatric nutrition. Hamilton: BC Decker; 2005.8-52

Morris SS, Cogill, B., Uauy, R. Effective international action against undernutrition: why has it
proven so diffi cult and what can be done to accelerate progress? Maternal and Child
Undernutrition 5. The Lancet, Published Online January 17, 2008

Park S-G, Choi H-N, Yang H-R, Yim J-E. Effects of zinc supplementation on catch-up growth in
children with failure to thrive. Nutr Res Pract [Internet]. 2017 [cited 2019 Oct
21];11(6):1976–1457. Available from: http://e-nrp.org

Pusat Data dan Informasi. 2018. Situasi Balita Pendek di Indonesia. Kementerian
Kesehatan.

Rahayu Atikah, Fauzie Rahman, Lenie Marlinae, Husaini, Meitria SN, Fahrini Yulidasari, Dian
Rosadi, Nur Laily. Buku Ajar Gizi 1000 Hari Pertama Kehidupan. 2018: 1. CV Mine .

Rehman AM, Gladstone BP, Verghese VP, Muliyil J, et al. Chronic growth faltering amongst a
birth cohort of Indian children begins prior to weaning and is highly prevalent at three
years of age. Nutrition Journal 2009; 8:44.

Sari Endah Mayang, Mohammad Juffrie, Neti Nurani, Mei Neni Sitaresmi. Asupan protein,
kalsium dan fosfor pada anak stunting dan tidak stunting usia 24-59 bulan. Jurnal Gizi
Klinik Indonesia. 12:4. 2016 (152-159).
[STRATEGI PENCEGAHAN STUNTING DIMASA KEHAMILAN
DAN BADUTA] 2020

Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan. 100 Kabupaten/Kota Prioritas Untuk


Intervensi Anak Kerdil (Stunting). Sekretariat Wakil Presiden Republik Indonesia. 2017.

Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan. Strategi Nasional Percepatan


Pencegahan anak kerdil (Stunting) 2018-2024. Sekretariat Wakil Presiden Republik
Indonesia. 2018.

WHO. WHO Global Nutrition Target: Stunting Policy Brief. TARGET: Reduce by 40% the number
of under-fi ve children who are stunted, from 171 million (2010 baseline) to 100 million
in 2025.

Anda mungkin juga menyukai