Epid
Mata Kuliah : Epidemiologi Perencanaan Kesehatan
OLEH :
FITRIA SYAHRUNA
14120150251
Berkat bantuan dan tuntunan Tuhan Yang Maha Esa dan tidak
lepas dari bantuan berbagai pihak. Untuk itu dalam kesempatan ini kami
menghanturkan rasa hormat dan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada semua pihak yang membantu dalam pembuatan makalah ini.
FITRIA SYAHRUNA
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.....................................................................................
B. Rumusan Masalah...............................................................................
C. Tujuan..................................................................................................
BAB II : PEMBAHASAN
A. Pengertian Policy Brief........................................................................
B. Komponen dalam Policy Brief.............................................................
C. Sistematika Penulisan Policy Brief......................................................
D. Contoh Policy Brief..............................................................................
BAB III : PENUTUP
A. Kesimpulan..........................................................................................
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut maka rumusan masalah pada
makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Apa Pengertian dari Policy Brief
2. Bagaimana Komponen dalam Policy Brief
3. Bagaimana Sistematika dalam Penulisan Policy Brief
4. Bagiamana Contoh Policy Brief
C. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah tersebut maka tujuan dari makalah ini
adalah sebagai berikut :
1. Untuk menegetahui pengertian dari Policy Brief
2. Untuk mengatahui Komponen dalam Policy Brief
3. Untuk mengetahui Sistematika dalam Penulisan Policy Brief
4. Untuk mengetahui Contoh dari Policy Brief
BAB II
PEMBAHASAN
MASALAH
Arah kebijakan pembangunan kesehatan dalam RPJMN 2015-2019
menuntut adanya reformasi pada penguatan pelayanan kesehatan dasar
melalui peningkatan akses dan mutu pelayanan kesehatan dasar dan
rujukan yang didukung dengan penguatan sistem kesehatan dan
peningkatan pembiayaan kesehatan. Untuk mewujudkan hal tersebut
maka SRAN Penanggulangan HIV dan AIDS 2015-2019 menetapkan
bahwa pelaksanaan penanggulangan HIV dan AIDS merupakan bentuk
otoritas wajib pemerintah terkait dengan pelayanan dasar yang
dilaksanakan dengan mengikuti kebijakan desentralisasi pemerintah di
Indonesia. Kewenangan ini termasuk upaya mendapatkan dana program
yang bersumber dari dana lokal baik dana pemerintah daerah, swasta
maupun masyarakat.
Berdasarkan proyeksi ketersediaan dana untuk sisa beberapa
tahun kedepan, KPAN telah memperkirakan adanya pengurangan
dukungan pendanaan luar negeri untuk penanggulangan HIV dan AIDS di
Indonesia, sehingga perlu adanya peningkatan alokasi dana yang
memadai di tingkat daerah untuk penanggulangan HIV dan AIDS. Peran
pemangku kepentingan di kabupaten dan kota diharapkan akan lebih
besar di wilayahnya masing-masing dan menjadi lebih penting di masa
yang akan datang. Adapun yang diharapkan dari hal tersebut adalah
peningkatan kemapuan untuk (1) mengalokasikan pendanaan lokal dalam
proporsi yang lebih besar, dan (2) hal tersebut menuntut otoritas untuk
mengelola pelaksanaan dan perluasan cakupan LKB.
Hingga terdapat 386 kabupaten dan kota yang melaporkan kasus
HIV dan AIDS, sedangkan masih ada 112 yang belum melapor.
Sementara layanan HIV dan AIDS, meski belum lengkap, sudah tersebar
hampir di seluruh kabupaten dan kota yang telah melaporkan kasus HIV
dan AIDS di wilayahnya. Jumlah layanan konseling dan testing (KT)
adalah 1.291 unit, layanan infeksi menular seksual (IMS) 1.182 unit;
layanan perawatan, pengobatan dan dukungan (PDP) 448 unit; layanan
TBHIV 223 unit; layanan pencegahan penularan ibu ke anak (PPIA) 182
unit; dan 87 layanan terapi rumatan metadon (TRM). Hampir semua
layanan ini terkonsentrasi pada Puskesmas dan Rumah Sakit Umum
Daerah (RSUD) untuk PDP. Sementara itu, terdapat lebih dari 500 OMS
yang bekerja pada layanan tersebut di seluruh Indonesia. Sebanyak 141
kabupaten dan kota yang merupakan kabupaten dan kota yang yang
menerima pendanaan dari Gobal Fund diharapkan telah
mengimplementasikan Layanan HIV dan AIDS yang Komprehensif dan
Berkesinambungan (LKB) pada akhir tahun 2014.
Adapun Konsep LKB pada dasarnya merupakan suatu bentuk
integrasi layanan yang berorientasi pada klien dengan manajemen dan
program-program layanan kesehatan diarahkan guna memberikan
pelayanan berkelanjutan kepada pasien, misalnya pencegahan dan
pengobatan, yang sesuai dengan kebutuhan pasien dan melibatkan
berbagai pemangku kepentingan dalam lingkup sistem kesehatan15.
Berdasarkan sifatnya, strategi LKB seharusnya melibatkan banyak
penyedia layanan lini terdepan (frontline service) baik layanan kesehatan
pemerintah, layanan swasta dan layanan yang diberikan oleh OMS.
Permasalahan utama dalam membangun kerja sama dalam hal
perencanaan adalah keterbatasan OMS dalam penyediaan layanan
pencegahan dan dukungan kepada ODHA secara berkelanjutan. Pada
saat ini, sebagian besar OMS didukung oleh mitra pembangunan
initernasional dalam penyediaaan layanan mereka sesuai dengan rencana
dan penggunaan anggaran donor. Kerja sama hanya dapat dilakukan jika
OMS memperoleh dukungan teknis dan pendanaan dari para mitra
tersebut. Hal yang sama juga berlaku bagi layanan HIV dan AIDS di
Puskesmas yang selama ini didukung dengan pendanaan mitra
pembangunan internasional melalui Kementerian Kesehatan dan Dinas
Kesehatan Provinsi dan Kabupaten. Kerja sama yang tengah berlangsung
pada dasarnya adalah kerja sama yang mengikat guna memastikan agar
‘deliverables’ yang diharapkan dapat memenuhi target yang telah
ditentukan oleh para mitra pembangunan internasional melalui dukungan
pendanaannya. Situasi ini telah menghambat kapasitas OMS dan
Puskesmas dalam membangun rencana-rencana lokal guna memenuhi
profil epidemiologi mereka. Dengan ketergantungan OMS dan Puskesmas
pada pendanaan dari mitra pembangunan internasional, perencanaan dan
kegiatan bersama kerja sama antar OMS dan Puskesmas akan sulit
terwujud.
REKOMENDASI KEBIJAKAN
Untuk menjawab permasalahan di atas, maka perlu disepakati
dahulu bahwa pendekatan program secara vertikal akan sulit berpadu
dengan kebijakan desentralisasi. Jika Puskesmas atau OMS hanya
berisikan berbagai program yang berasal dari program vertikal, maka tidak
ada ruang bagi daerah untuk mengembangkan berbagai keputusan
strategis mereka Sendiri. Segala kebijakan dan strategi akan tetap berada
di tingkat nasional. Integrasi yang bersifat teknis harus disertai dengan
integrasi administratif yang pada dasarnya mencerminkan proses
desentralisasi.
Jadi untuk menangani masalah tersebut maka perlu adanya rekomendasi,
rekomendasi kebijakan dari masalah ini antara lain :
1. Otonomi yang lebih besar harus diletakkan pada Dinkes Kabupaten
dan kota, sebagai penanggung jawab pembangunan kesehatan di
wilayahnya mengingat penyediaan layanan kesehatan harus terus
berjalan di lini terdepan
2. Harus adanya adanya alokasi dana yang maksimal serta kerja sama
yang baik antara OMS, pihak puskesmas, Rumah sakit, dll agar
adanya pelayanan kesehatan yang dapat berjalan di lini terdepan
dimana sangat dibutuhkan guna memfasilitasi pelayanan kepada klien
atau pasien secara lebih efektif dan efisien
3. Perlu dari pihak OMS dan Puskesmas memiliki kewenangan
administratif didalam program penanggulangan HIV dan AIDS agar
meraka dapat menentukan dan memobilisasi sumber daya yang
dimilikinya.
STRATEGI KEBIJAKAN
Upaya-upaya untuk membuat perencanaan yang terintegrasi pada
layanan di tingkat lapangan ini tidak hanya bisa dipandang sebagai
sebuah integrasi yang bersifat teknis semata akan tetapi juga akan
mencakup pengembangan kapasitas untuk merencanakan dan mengelola
program, advokasi dan mobilisasi sumber daya yang dibutuhkan untuk
penyediaan layanan. Untuk itu strategi-strategi yang harus dilakukan
adalah sebagai berikut:
1. Sesuai dengan mandat dalam Keppres No. 75 Tahun 2006, KPAN
perlu memfasilitasi kerja sama antara Kementerian Kesehatan,
Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Keuangan untuk
mengembangkan kerangka regulasi yang memungkinkan kerja sama
perencanaan program di tingkat lapangan dengan melibatkan
organisasi-organisasi masyarakat sipil dan kerangka regulasi terkait
pengembangan skema pendanaan APBN, APBD Provinsi dan APBD
Kabupaten dan Kota bagi organisasi masyarakat sipil di sektor
kesehatan. Kerangka regulasi lain yang perlu dikembangkan secara
lebih jelas adalah perihal pengaturan hubungan Kerja sama antara
Kementerian Kesehatan, Dinas Kesehatan Provinsi dan Dinas
Kesehatan Kabupaten dan Kota. Hubungan dan pembagian kerja
dalam penanggulangan HIV dan AIDS sebenarnya sudah disebutkan
dalam SRAN 2015-2019 (lihat tabel di bawah ini). Meskipun
demikian, dokumen yang dikeluarkan oleh KPAN ini tentunya perlu
disinkronkan dengn UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah.
2. Alokasi pendanaan yang bersumber dari APBN Kementerian
Kesehatan untuk kegiatan-kegiatan Puskesmas melalui Bantuan
Operasional Kesehatan (BOK) perlu diatur dan diproritaskan guna
mendukung Kerja sama antara Puskesmas dan OMS dalam
melakukan upaya-upaya promotif dan preventif dalam
penanggulangan HIV dan AIDS.
3. Pengembangan regulasi di tingkat daerah yang mencakup kerangka
perencanaan program penanggulangan HIV dan AIDS di tingkat
kabupaten dan kecamatan perlu diselaraskan dengan
sisteminformasi, program-program keuangan dan tata kelola.
4. Peningkatan kapasitas bagi staf Puskesmas, rumah sakit dan
organisasi masyarakat sipil dalam proses perencanaan bersama
(joint planning), pengelolaan program terpadu, dan pengawasan dan
evaluasi program.
5. Para penyedia layanan perlu mengoptimalkan koordinasi sebagai
sebuah konsekuensi dari proses perencanaan bersama yang telah
terbentuk di lapangan. Informasi mengenai hambatan dalam
penyediaan layanan dan capaian masing-masing penyedia layanan
menjadi hal penting untuk ditangani. Dalam konteks kabupaten dan
kecamatan, Puskesmas sebagai simpul dari berbagai layanan HIV
dan AIDS di daerah dapat memanfaatkan lokakarya mini tiga
bulanan sebagai forum koordinasi dengan pihak eksternal.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Policy Brief adalah sebuah dokumen yang menguraikan dasar
rasional dalam pemilihan sebuah alternatif kebijakan khusus atau
rangkaian tindakan dalam sebuah kebijakan saat ini.
Sebuah policy brief mungkin berfokus langsug pada penyediaan
sebuah argumen untuk pengadopsian sebuah alternatif tertentu
yang bertujuan untuk meyakinkan para pihak target akan
pentingnya permasalahan saat ini dan perlu mengadopsi alternatif
yang dipilih.
2. Komponen yang dapat dijadikan pedoman dalam menyusun
sebuah Brief : Executive Summary, pernyataan isu/masalah, latar
belakang permasalahan, Pre-existing Policies, Pilihan Kebijakan,
Keuntungan dan Kelemahan, Rekomendasi, dan Sources
Consulted or Recommended
3. Sistematika Penulisan Policy Brief : Ringkasan Eksekutif,
Pendahuluan, Pendekatan yang digunakan, hasil, Kesimpulan,
Serta Implikasi dan Rekomendasi.
4. Contoh Policy Brief adalah “Memperkuat Penyedia Layanan Hiv
Dan Aids Lini Terdepan (Frontline Service) Melalui Perencanaan
Terpadu”
DAFTAR PUSTAKA
https://hardo1957.blogspot.co.id/2014/12/bagaimana-menulis-policy-
brief.html?m=1 (Akses : 8 Januari 2018)