1
Zaprulkhan, Filsafat Ilmu, cet 1 (Jakarta: Raja Grafindo Persada,2015)
Epistemologi atau filsafat pengetahuan pada dasarnya juga merupakan suatu
upaya rasional untuk menimbang dan menentukan nilai kognitif pengalaman
manusia dalam interaksinya dengan diri, lingkungan sosial, dan alam sekitanya.
Maka, epistemologi adalah suatu disiplin ilmu yang bersifat evaluatif, normatif,
dan kritis. Evaluatif berarti sifat menilai, ia menilai apakah suatu keyakinan,
sikap, pernyataan pendapat, teori pengetahuan dapat dibenarkan, dijamin
kebenarannya, atau memiliki dasar yang dapat dipertanggungjawabkan secara
nalar. Normatif berarti menentukan norma atau tolak ukur, dalam hal ini tolak
ukur kenalaran bagi kebenaran pengetahuan (Zaprulkhan; 2015).2
Epistemologi sebagai cabang ilmu filsafat tidak cukup hanya memberi
deskripsi atau paparan tentang bagaimana proses menusia mengetahui itu terjadi,
tetapi juga perlu membuat mana yang betul dan mana yang keliru berdasarkan
norma epistemik. Sedangkan kritis berarti banyak mempertanyakan dan menguji
penalaran cara maupun hasil kegiatan manusia mengetahui. Yang dipertanyakan
adalah baik asumsi-asumsi, cara kerja atau pendekatan yang diambil, maupun
kesimpulan yang ditarik dalam berbagai kegiatan kognitif manusia.( J.
Sudarminta; 2002)3
Menurut Horald H. Titus, dkk., secara global terdapat tiga persoalan pokok dalam
bidang epistemologi:
1. Apakah sumber-sumber pengetahuan ? dari mana pengetahuan itu datang, dan
bagaimana kita dapat mengetahui? Ini semua adalah
problematika:”asal”(origins)
2. Apakah watak dari pengetahuan? Adakah dunia yang riil di luar akal, dan kalau
ada, dapat kita mengetahui? Ini semua adalah problematika: penampilan
(appearance) terhadapat realitas.
3. Apakah pengetahuan kita itu benar (valid)? Bagaimana kita membedakan
antara kebenaran dan kekeliruan? Ini adalah problematika: mencoba kebenaran
(verification). ( Horald.H.Titus)4
2
Zaprulkhan, Filsafat Ilmu, cet 1 (Jakarta: Raja Grafindo Persada,2015)
3
J.Sudarminta, Epistemologi Dasar (Yogyakarta: Kaniusus, 2002),hlm.18-19
4
Horald.H.Titus, Persoalan-persoalan, op.cit., hlm. 20-21
Epistemologi adalah cabang filsafat yang mempelajari benar atau tidaknya
suatu pengetahuan. (Nina W. Syam; 2010)5
Sejalan dengan Nina, D.W Hamlyin, beliau mengatakan bahwa
epistemologi sebagai cabang ilmu filsafat yang berurusan dengan hakikat dan
lingkup pengetahuan, dasar dan pengandaian-pengandaian serta secara umum hal
itu dapat diandalkannya sebagai penegasan bahwa orang memiliki pengetahuan.
( Mujamil Qomar; 2005)6
Dagobert D. Runes yang di tulis Mujamil Qomar, beliau memaparkan
bahwa epistemologi adalah cabang filsafat yang membahas, sumber, struktur,
metode-metode, dan validitas pengetahuan. Dan menurut Azyumardi Azra,
beliau menambahkan bahwa epistemologi sebagai ilmu yang membahas keaslian,
pengertian, struktur, metode, dan validitas ilmu pengetahuan . (Mujamil Qomar;
2005)7
Jadi epistemologi adalah pengetahuan sistematik mengenai pengetahuan.
Ia merupakan cabang filsafat yang membahas bagaimana proses yang
memungkinkan diperoleh pengetahuan berupa ilmu, bagaimana prosedurnya, hal-
hal apa yang perlu diperhatikan agar didapat pengetahuan yang benar, apa
kriterianya, cara, teknik, sarana apa yang digunakan untuk mendapatkan
pengetahuan berupa ilmu.
Hakikat Epsitemologi
Epistemologi berusaha memberi definisi ilmu pengetahuan, membedakan
cabang-cabangnya yang pokok, mengidentifikasikan sumber-sumbernya dan
menetapkan batas-batasnya. “Apa yang bisa kita ketahui dan bagaimana kita
mengetahui” adalah masalah-masalah sentral epistemologi, tetapi masalah-
masalah ini bukanlah semata-mata masalah-masalah filsafat. Pandangan yang
lebih ekstrim lagi bidang epistemologi bukanlah lapangan filsafat, melainkan
5
Nina W. Syam, Filsafat Sebagai Akar Ilmu Komunikasi (Bandung: Simbiosa
Rekatama, 2010), cet 1, hlm 229 (Ahmad Atabik)
6
Qomar, Mujamil. 2005. Epistemologi Pendidikan Islam: dari Metode Rasional
Hingga Metode Kritik. Jakarta: Erlangga (Ahmad Atabik)
7
Ibid (Qomar, Mujamil;2005) (Ahmad Atabik)
termasuk dalam kajian psikologi. Sebab epistemologi itu berkenaan dengan
pekerjaan pikiran manusia, the workings of human mind. ( Nina W. Syam; 2010)8.
Cara pandang demikian akan berimplikasi secara luas dalam menghilangkan
spesifikasi spesifikasi keilmuan. Tidak ada satu pun aspek filsafat yang tidak
berhubungan dengan pekerjaan pikiran manusia, karena filsafat mengedepankan
upaya pendayagunaan pikiran. Kemudian jika diingat, bahwa filsafat adalah
landasan dalam menumbuhkan disiplin ilmu, maka seluruh disiplin ilmu selalu
berhubungan dengan pekerjaan pikiran manusia, terutama pada saat proses
aplikasi metode deduktif yang penuh penjelasan dari hasil pemikiran yang dapat
diterima akal sehat. Ini berarti tidak ada disiplin ilmu lain, kecuali psikologi,
padahal realitasnya banyak sekali. Oleh karena itu, epistemologi lebih berkaitan
dengan filsafat, walaupun objeknya tidak merupakan ilmu yang empirik, justru
karena epistemologi menjadi ilmu dan filsafat sebagai objek penyelidikannya.
Dalam epistemologi terdapat upaya-upaya untuk mendapatkan pengetahuan dan
mengembangkannya. Aktivitas-aktivitas ini ditempuh melalui perenungan-
perenungan secara filosofis dan analitis.
Epistemologi atau teori mengenai ilmu pengetahuan itu adalah inti sentral
setiap pandangan dunia. Ia merupakan parameter yang bisa memetakan, apa yang
mungkin dan apa yang tidak mungkin menurut bidang-bidangnya; apa yang
mungkin diketahui dan harus diketahui; apa yang mungkin diketahui tetapi lebih
baik tidak usah diketahui; dan apa yang sama sekali tidak mungkin diketahui.
Epistemologi dengan demikian bisa dijadikan sebagai penyaring atau filter
terhadap objek-objek pengetahuan.
Epistemologi ini juga bisa menentukan cara dan arah berpikir manusia.
Seseorang yang senantiasa condong menjelaskan sesuatu dengan bertolak dari
teori yang bersifat umum menuju detail-detailnya, berarti dia menggunakan
pendekatan deduktif. Sebaliknya, ada yang cenderung bertolak dari gejala-gejala
yang sama, baru ditarik kesimpulan secara umum, berarti dia menggunakan
pendekatan induktif. Adakalanya seseorang selalu mengarahkan pemikirannya ke
8
Nina W. Syam, Filsafat Sebagai Akar Ilmu Komunikasi (Bandung: Simbiosa
Rekatama, 2010), cet 1, hlm 229 (Ahmad Atabik)
masa depan yang masih jauh, ada yang hanya berpikir berdasarkan pertimbangan
jangka pendek sekarang dan ada pula seseorang yang berpikir dengan
kencenderungan melihat ke belakang, yaitu masa lampau yang telah dilalui. Pola-
pola berpikir ini akan berimplikasi terhadap corak sikap seseorang. Kita terkadang
menemukan seseorang beraktivitas dengan serba strategis, sebab jangkauan
berpikirnya adalah masa depan, Tetapi terkadang kita jumpai seseorang dalam
melakukan sesuatu sesungguhnya sia-sia, karena jangkauan berpikirnya yang amat
pendek, jika dilihat dari kepentingan jangka panjang, maka tindakannya itu justru
merugikan.
Pada bagian lain dikatakan, bahwa epistemologi keilmuan pada hakikatnya
merupakan gabungan antara berpikir secara rasional dan berpikir secara empiris.
Kedua cara berpikir tersebut digabungan dalam mempelajari gejala alam untuk
menemukan kebenaran, sebab secara epistemologi ilmu memanfaatkan dua
kemampuan manusia dalam mempelajari alam, yakni pikiran dan indera. Oleh
sebab itu, epistemologi adalah usaha untuk menafsir dan membuktikan keyakinan
bahwa kita mengetahui kenyataan yang lain dari diri sendiri. Usaha menafsirkan
adalah aplikasi berpikir rasional, sedangkan usaha untuk membuktikan adalah
aplikasi berpikir empiris. Hal ini juga bisa dikatakan, bahwa usaha menafsirkan
berkaitan dengan deduksi, sedangkan usaha membuktikan berkaitan dengan
induksi. Gabungan kedua macam cara berpikir tersebut disebut metode ilmiah.
9
Bakhtiar, Amsal, Filsafat Ilmu, Edisi Revisi, Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2012. (Ahmad Atabik)
semua milik atau isi pikiran. Dengan demikian, pengetahuan adalah hasil dari
proses usaha manusia untuk tahu.
2. Jenis Pengetahuan
Salam (2000; 6)10 dalam Hasnah Faizah mengemukakan bahwa dalam
kehidupan manusia pengetahuan terdiri atas:
Pertama, pengetahuan biasa. Pengetahuan yang dalam filsafat dikatakan
sebagai common sense, dan sering diartikan sebagai good sense, karena seseorang
memiliki Sesutu di mana ia menerima secara baik. Semua orang menyebut warna
ini putih karena memang itu putih. Air itu panas karena memang dipanasi dengan
api. Makanan bisa mengganjal rasa lapar, dll. Common sense diperoleh dari
pengalaman sehari-hari. Pengetahuan ini disebut dengan pengetahuan pra ilmiah
dan nir ilmiah.
Kedua, pengetahuan ilmu (science). Adalah pengetahuan yang diperoleh
lewat penggunaan metode-metode ilmiah yang lebih menjamin kepastian
kebenarannya. Ilmu pada hakikatnya merupakan usaha untuk mengorganisasikan
commons sense, suatu pengetahuan yang berasal dari pengalaman dan pengamatan
dalam kehidupan sehari-hari. Namun, dilanjutkan dengan suatu pemikiran secara
cermat dan teliti dengan menggunakan berbagai metode.
Ketiga, pengetahuan filsafat. Diperoleh lewat pemikiran rasional yang
didasarkan pada pemahaman, spekulasi, penilaiaan kritis dan penafsiran.
Pengetahuan filsafat lebih menekankan pada universalitas dan kedalaman kajian
tentang sesuatu. Kalau ilmu hanya pada satu bidang pengetahuan yang sempit dan
rigit, filsafat membahas hal yang lebih luas dan mendalam. Filsafat biasanya
memberikan pengetahuan yang reflektif dan kritis, sehingga ilmu yang tadinya
kaku dan cenderung tertutup menjadi longgar kembali.
Keempat, pengetahuan agama. Pengetahuan yang hanya diperoleh dari Tuhan
lewat para utusan-Nya. Pengetahuan agama bersifat mutlak dan wajib diyakini
oleh para pemeluk agama. Pengetahuan mengandung beberapa hal yang pokok,
yaitu ajaran tentang cara berhubungan dengan Tuhan, yang disering disebut
dengan hubungan secara vertikal (hablun min Allah), dan cara berhubungan
10
Hamzah Faizah, Filsafat Ilmu, Pekanbaru; Candikia Insani,2013
dengan sesama manusia (hablun min al-nas). Pengetahuan agama yang paling
penting adalah pengetahuan tentang tuhan, selain itu tentang keyakinan
(keimanan) dan syariat (implementasi dari keyakinan). Pengetahuan ini sifat
kebenarannya adalah mutlak karena berasal dari firman Tuhan dan sabda Nabi.
Jadi jenis pengetahuan itu banyak sekali sesuai menurut pandangan kita
masing-masing.
Sumber-Sumber Pengetahuan
Semua orang mengakui memiliki pengetahuan. Persoalannya dari mana
pengetahuan itu diperoleh atau lewat apa pengetahuan itu didapat.
Tafsir (2002; 24-27 dalam Haznah)11 mengemukakan bahwa pengetahuan yang
ada pada kita diperoleh dengan menggunakan berbagai alat yang merupakan
sumber pengetahuan tersebut. Dalam hal ini ada beberapa sumber tentang
pengetahuan yaitu:
1. Rasionalisme
Aliran ini menyatakan bahwa akal adalah dasar kepastian pengetahuan.
Pengetahuan yang benar diperoleh dan diukur dari akal. Manusia memperoleh
pengetahuan melalui penangkapan objek.
Menurut kaum rasionalisme, sumber pengetahuan manusia didasarkan pada
innate idea (ide bawaan) yang dibawa oleh manusia sejak ia lahir. Ide bawaan
tersebut menurut Descartes terbagi atas tiga kategori, yaitu; Pertama, Cogitans
atau pemikiran, bahwa secara fitroh manusia membawa ide bawaan yang sadar
bahwa dirinya adalah makhluk yang berpikir, dari sinilah keluar statement
Descartes yang sangat terkenal, yaitu cogito ergo sum yaitu aku berpikir maka aku
ada. Kedua, Allah Atau deus, manusia secara fitroh memiliki ide tentang suatu
wujud yang sempurna, dan wujud yang sempurna itu tak lain adalah Tuhan.
Ketiga, Extensia atau keluasan, yaitu ide bawaan manusia, materi yang memiliki
keluasan dalam ruang. (Akhyar Yusuf Lubis; 2014)12
13
Bakhtiar, Amsal, Filsafat Ilmu, Edisi Revisi, Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2012. (Ahmad Atabik)
14
Bakhtiar, Amsal, Filsafat Ilmu, Edisi Revisi, Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2012. (Ahmad Atabik)
15
Donny Gahrial Adian, Menyoal Objetivisme IlmuPengetahuan,
(Bandung:Teraju,2002,cet.1) (Ahmad Atabik)
16
Noeng Muhadjir, Filsafat Ilmu; Positivisme, Post Positivisme dan Post
Modernisme, (Yogyakarta: Rakesarasin, 2001, Edisi-2) (Ahmad Atabik)
3. Intuisisme
Intuis, kemampuan ini mirip dengan insting, tetapi berbeda dengan kesadaran
dan kebebasannya. Pengembangan kemampuan ini memerlukan suatu usaha. Di
samping itu, instuisi adalah suatu pengetahuan yang angsung, dan mutlak dan
bukan pengetahuan yang relatif. (Haznah; 2013)17
Suriasumantri menyatakan, intuisi bersifat personal dan tidak bisa
diramalkan. Sebagai dasar untuk menyusun pengetahuan secara teratur, intuisi
tidak dapat diandalkan. (Jujun S Suriasumantri; 2000)18
Secara epistemologi, pengetahuan intuitif berasal dari intuisi yang
memperoleh melalui pengamatan langsung, tidak mengenai keberadaan lahiriah
suatu objek melainkan hakekat keberadaan dari suatu objek tersebut. (Ahmad
Tafsir; 2002)19
Dalam filsafat Islam, isme yang hampir mirip dengan intusionisme adalah
iluminasionisme (al-masyaiyyah). Aliran ini berkembang dikalangan tokoh
agama, yang di dalam agama Islam disebut dengan istilah ma’rifah, yaitu
pengetahuan yang datang dari tuhan melalui pencerahan dan penyinaran (al
masya>iyyah).
4. Wahyu
Wahyu adalah pengetahuan yang disampaikan oleh Allah kepada manusia
lewat peranan para Nabi. Para Nabi memperoleh pengetahuan dari Tuhan.
Pengetahuan mereka terjadi atas kehendak Tuhan. Tuhan mensucikan jiwa mereka
dan diterangkan-Nya pula jiwa mereka untuk memperoleh kebenaran dengan jalan
wahyu. Pengetahuan jalan ini merupakan kekhususan para Nabi.
Wahyu Allah (agama) berisikan pengetahuan, baik mengenai kehidupan
seseorang yang terjangkau oleh pngalaman, maupun yang mencakup masalah
transedental, seperti latar belakang dari tujuan penciptaan manusia, dunia, dan
segenap isinya, serta kehidupan diakhirat nanti.
17
Hamzah Faizah, Filsafat Ilmu, Pekanbaru; Candikia Insani,2013
18
Suriasumantri, Jujun S., Filsafat Ilmu; Sebuah Pengantar Populer, Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan, 2000, cet. ke 13
19
Tafsir, Ahmad, Filsafat Umum, Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Catra,
Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002. (Ahmad Atabik)
C. KEBENARAN
1. Teori-teori Kebenaran
Purwadarminta dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, menerangkan bahwa
kebenaran itu adalah 1). Keadaan (hal dan sebagainya) yang benar (cocok dengan
hal atau keadaan yang sesungguhnya. Misalnya kebenaran berita ini masih saya
ragukan, kita harus berani membela kebenaran dan keadilan. 2). Sesuatu yang
benar (sugguh-sugguh ada, betul-betul hal demikian halnya, dan sebagainya).
Misalnya kebenaran-kebenaran yang diajarkan agama. 3). Kejujuran, kelurusan
hati, misalnya tidak ada seorangpun sanksi akan kebaikan dan kebenaran hatimu.
Sedang menurut Abbas Hamami,( Tim Dosen Filsafat Ilmu UGM; 2003) 20 kata
“kebenaran” bisa digunakan sebagai suatu kata benda yang konkrit maupun
abstrak. Jika subyek hendak menuturkan kebenaran artinya adalah proposisi yang
benar. Proposisi maksudnya adalah makna yang dikandung dalam suatu
pernyataan atau statement. Adanya kebenaran itu selalu dihubungkan dengan
pengetahuan manusia (subyek yang mengetahui) mengenai obyek. (A. Susanto ;
2011)21 Jadi, kebenaran ada pada seberapa jauh subjek mempunyai pengetahuan
mengenai objek. Sedangkan pengetahuan berasal mula dari banyak sumber.
Sumber-sumber itu kemudian sekaligus berfungsi sebagai ukuran kebenaran.
Berikut ini adalah teori-teori kebenaran.
a. Teori Korespondensi (Correspondence Theory of Truth)
Teori kebenaran korespondensi, Correspondence Theory of Truth yang
kadang disebut dengan accordance theory of truth, adalah teori yang
berpandangan bahwa pernyataan-pernyataan adalah benar jika berkorespondensi
terhadap fakta atau pernyataan yang ada di alam atau objek yang dituju
pernyataan tersebut. Kebenaran atau keadaan benar itu apabila ada kesuaian
(correspondence) antara arti yang dimaksud oleh suatu pernyataan atau pendapat
dengan objek yang dituju oleh pernyaan atau pendapat tersebut. (Jujun S
20
Tim Dosen Filsafat Ilmu UGM, Filsafat Ilmu; Sebagai Dasa Pengembangan
Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta: Liberti, 2003), cet-3
21
A. Susanto, Filsafat Ilmu: Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis,
Epistemologis dan Aksiologis, (Jakarta: Bumi Aksara, 2011)
Suriasumantri; 2000)22 Kebenaran atau suatu keadaan dikatakan benar jika ada
kesesuaian antara arti yang dimaksud oleh suatu pendapat dengan fakta. Suatu
proposisi adalah benar apabila terdapat suatu fakta yang sesuai dan menyatakan
apa adanya. (Amsal Bakhtiar; 2012)23
Teori korespondensi ini pada umumnya dianut oleh para pengikut realisme.
Di antara pelopor teori ini adalah Plato, Aristoteles, Moore, dan Ramsey. Teori ini
banyak dikembangkan oleh Bertrand Russell (1972-1970). Teori ini sering
diasosiasikan dengan teori-teori empiris pengetahuan. Teori kebenaran
korespondensi adalah teori kebenaran yang paling awal, sehingga dapat
digolongkan ke dalam teori kebenaran tradisional karena Aristoteles sejak awal
(sebelum abad Modern) mensyaratkan kebenaran pengetahuan harus sesuai
dengan kenyataan atau realitas yang diketahuinya. (Noeng Muhadjir; 2001)24
Problem yang kemudian muncul adalah apakah realitas itu obyektif atau subyektif
Terdapat dua pandangan dalam permasalahan ini, realisme epistemologis dan
idealisme epistemologis. Realisme epistemologis berpandangan, bahwa terdapat
realitas yang independen (tidak tergantung), yang terlepas dari pemikiran; dan kita
tidak dapat mengubahnya bila kita mengalaminya atau memahaminya. Itulah
sebabnya realism epistemologis kadangkala disebut objektivisme. Sedangkan
idealisme epistemologis berpandangan bahwa setiap tindakan berakhir dalam
suatu ide, yang merupakan suatu peristiwa subyektif. (Amsal Bakhtiar; 2012)25
Kedua bentuk pandangan realistas di atas sangatlah beda. Idealisme
epistemologi lebih menekankan bahwa kebenaran itu adalah apa yang ada didunia
ide. Karenanya melihat merah, rasa manis, rasa sakit, gembira, berharap dan
sebagainya semuanya adalah ide. Oleh sebab itu, idealisme epistemologis
sebagaiman didefinisikan di atas sama dengan subyektivitas.
22
Suriasumantri, Jujun S., Filsafat Ilmu; Sebuah Pengantar Populer, Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan, 2000, cet. ke 13
23
Bakhtiar, Amsal, Filsafat Ilmu, Edisi Revisi, Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2012. (Ahmad Atabik)
24
Noeng Muhadjir, Filsafat Ilmu; Positivisme, Post Positivisme dan Post
Modernisme, (Yogyakarta: Rakesarasin, 2001, Edisi-2) (Ahmad Atabik)
25
Bakhtiar, Amsal, Filsafat Ilmu, Edisi Revisi, Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2012. (Ahmad Atabik)
Kesimpulan dari teori korespondensi adalah adanya dua realitas yang berada
dihadapan manusia, pernyataan dan kenyataan. Menurut teori ini, kebenaran
adalah kesesuaian antara pernyataan tentang sesuatu dengan kenyataan sesuatu itu
sendiri. Misal, Semarang ibu kota Jawa Tengah. Pernyataan ini disebut benar
apabila pada kenyataannya Semarang memang ibukota propinsi Jawa Tengah.
Kebenarannya terletak pada pernyataan dan kenyataan. Signifikansi teori ini
terutama apabila diaplikasikan pada dunia sains dengan tujuan dapat mencapai
suatu kebenaran yang dapat diterima oleh semua orang. Seorang ilmuan akan
selalu berusaha meneliti kebenaran yang melekat pada sesuatu secara sungguh-
sungguh, sehingga apa yang dilihatnya itu benar-benar nyata terjadi. Sebagai
contoh, gunung dapat berjalan. Untuk membuktikan kebenaran pernyataan ini
harus diteliti dengan keilmuan yang lain yaitu ilmu tentang gunung (geologi),
ternyata gunung mempunyai kaki (lempeng bumi) yang bisa bergerak sehingga
menimbulkan gempa bumi dan tsunami. Dengan demikian sebuah pertanyaan
tidak hanya diyakini kebenarannya, tetapi harus diragukan dahulu untuk diteliti,
sehingga mendapatkan suatu kebenaran hakiki.
b. Teori Koherensi (Coherence Theory of Truth)
Teori kebenaran koherensi atau konsistensi adalah teori kebenaran yang
didasarkan kepada kriteria koheren atau konsistensi. Suatu pernyataan disebut
benar bila sesuai dengan jaringan komprehensif dari pernyataan-pernyataan yang
berhubungan secara logis. Menurut teori ini kebenaran tidak dibentuk atas
hubungan antara putusan dengan sesuatu yang lain, yaitu fakta dan realitas, tetapi
atas hubungan antara putusan putusan itu sendiri. (Amsal Bakhtiar; 2012)26 Teori
ini berpendapat bahwa kebenaran ialah kesesuaian antara suatu pernyataan dengan
pernyataan-pernyataan lainnya yang sudah lebih dahulu diketahui, diterima dan
diakui sebagai benar. Suatu proposisi benar jika proposisi itu berhubungan
(koheren) dengan proposisi proposisi lain yang benar atau pernyataan tersebut
26
Bakhtiar, Amsal, Filsafat Ilmu, Edisi Revisi, Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2012. (Ahmad Atabik)
bersifat koheren atau konsisten dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya yang
dianggap benar. (Jujun S Suriasumantri; 2000)27
Dengan demikian suatu putusan dianggap benar apabila mendapat penyaksian
(pembenaran) oleh putusan-putusan lainnya yang terdahulu yang sudah
diketahui,diterima dan diakui benarnya. Karena sifatnya demikian, teori ini
mengenal tingkat-tingkat kebenaran. Disini derajar koherensi merupakan ukuran
bagi derajat kebenaran. (Jujun S Suriasumantri; 2000) 28 Misal, Semua manusia
membutuhkan air, Ahmad adalah seorang manusia, Jadi, Ahmad membutuhkan
air. Suatu proposisi itu cenderung benar jika proposisi itu coherent (saling
berhubungan) dengan proposisi-proposisi lain yang benar, atau jika arti yang
dikandung oleh proposisi coherent dengan pengalaman kita. Bakhtiar sebagai
mana dikutip dari Aholiab Watholi, memberikan standarisasi kepastian kebenaran
dengan sekurang kurangnya memiliki empat pengertian, dimana satu keyakinan
tidak dapat diragukan kebenarannya sehingga disebut pengetahuan. Pertama,
pengertian yang bersifat psikologis. Kedua, pengertian yang bersifat logis. Ketiga,
menyamakan kepastian dengan keyakinan yang tidak dapat dikoreksi. Keempat,
pengertian akan kepastian yang digunakan dalam pembicaraan umum, di mana hal
itu di artikan sebagai kepastian yang didasarkan pada nalar yang tidak dapat
diragukan lagi. (Amsal Bakhtiar; 2012)29
Berbeda dengan teori korespondensi yang dianut oleh penganut realism dan
matrealisme, teori koherensi atau konsistensi ini berkembang pada abad ke-19
diba:wah pengaruh hegel dan diikuti oleh pengikut madzhab idealism. Dia
antaranya seorang filsuf Britania F. M Bradley (1864-1924). (Amsal Bakhtiar;
2012)30 Idealisme epistemologi berpandangan bahwa obyek pengetahuan, atau
kualitas yang kita serap dengan indera kita itu tidaklah berwujud terlepas dari
27
Suriasumantri, Jujun S., Filsafat Ilmu; Sebuah Pengantar Populer, Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan, 2000, cet. ke 13
28
Suriasumantri, Jujun S., Filsafat Ilmu; Sebuah Pengantar Populer, Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan, 2000, cet. ke 13
29
Bakhtiar, Amsal, Filsafat Ilmu, Edisi Revisi, Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2012. (Ahmad Atabik)
30
Bakhtiar, Amsal, Filsafat Ilmu, Edisi Revisi, Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2012. (Ahmad Atabik)
kesadaran tentang objek tersebut. Karenanya, teori ini lebih sering disebut dengan
istilah subjektivisme. Pemegang teori ini, atau kaum idealism berpegang,
kebenaran itu tergantung pada orang yang menentukan sendiri kebenaran
pengetahuannya tanpa memandang keadaan real peristiwa-peristiwa. Manusia
adalah ukuran segala-galanya, dengan cara demikianlah interpretasi tentang
kebenaran telah dirumuskan kaum idealisme. (A. Susanto; 2011)31
c. Teori Pragmatisme
Menurut teori ini benar atau tidaknya suatu ucapan atau dalil, atau teorema
semata-mata tergantung pada asas manfaat. Sesuatu dianggap benar jika
mendatangkan manfaat dan akan dikatakan salah jika tidak mendatangkan
manfaat.
Kebenaran terbukti oleh kegunaannya, oleh hasilnya, dan oleh akibat-akibat
praktisnya. Jadi, kebenaran adalah apa saja yang berlaku. (Hadiwijono; 2002)32
31
A. Susanto, Filsafat Ilmu: Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis,
Epistemologis dan Aksiologis, (Jakarta: Bumi Aksara, 2011),hlm. 85
32
Hadiwijono, Harun.2002. Sari Sejarah Filsafat Barat.2. Yogyakarta: Kanisius.
Makalah Revisi
FILSAFAT PENDIDIKAN
DIMENSI EPISTEMOLOGI ILMU
A. Pengertian Epistemologi Menurut Para Ahli
B. Cara-Cara Mendapatkan Pengetahuan
C. Kebenaran
OLEH
NIA MARDA ERLIA
1610247891
DOSEN PENGAMPU:
Dr. NAHOR MURANI HUTAPEA,M.Pd
PROGRAM PASCASARJANA
PENDIDIKAN MATEMATIKA
UNIVERSITAS RIAU
MARET 2017
DAFTAR PUSTAKA
A.Susanto. 2011. Filsafat Ilmu: Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis
dan Aksiologis. Jakarta: Bumi Aksara.
Faizah Haznah. 2013. Filsafat Ilmu. Pekanbaru: Cendikia Insani
Suriasumantri, Jujun S., 2000. Filsafat Ilmu; Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan, cet. ke 13
Tim Dosen Filsafat Ilmu UGM. 2003. Filsafat Ilmu; Sebagai Dasa Pengembangan Ilmu
Pengetahuan. Yogyakarta: Liberti, cet-3
Zaprulkhan. 2015. Filsafat Ilmu. Jakarta: Raja Grafindo Persada, cet 1
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=401311&val=6782&title=TEORI
%20KEBENARAN%20PERSPEKTIF%20FILSAFAT%20ILMU:
%20Sebuah%20Kerangka%20Untuk%20Memahami%20Konstruksi
%20Pengetahuan%20Agama
KESIMPULAN
DIMENSI EPISTEMOLOGI ILMU
Tanggapan penyaji:
1. Pengetahuan intuisisme (dalam buku Haznah; 2013) menyatakan pengetahuan
intuisisme adalah suatu pengetahuan yang langsung dan mutlak dan bukan
pengetahuan yang relatif.
Pengetahuan ini secara tiba-tiba terpikirkan oleh pikiran tanpa adanya suatu
pembuktian yang nyata. Namun juga dikatakan untuk kegiatan intuisi dan
anilisis suatu intuisi bisa bekerjasama dalam menentukan kebenaran.
Misalnya: ada dua orang siswa, siswa A dan siswa B menjawab sebuah soal
yang diberikan guru, misalkan soal tentang bentuk akar. Siswa A menjawab
soal dengan jalan yang telah diberikan oleh guru pada contoh sebelumnya,
namun siswa B menjawab dengan cara dia sendiri yang mana hasil akhir
antara siswa A dan B sama, namun siswa B menjawab lebih kelogikanya
sendiri yang apabila dijelaskan akan agak kesulitan diterima oleh nalar orang
lain. Contoh ini dimisalkan contoh intuisi yang mana jawaban hanya
dipahami oleh dirinya sendiri.
2. Teori koherensi bisa juga dikatakan teori dimana kebenaran itu dikatakan
benar apabila suatu teori yang sudah ada tahan uji. Misalkan dahulu
pemerintah sepakat menggunakan kurikulum KTSP 2006 karena saat itu
kurikulum itu sesuai dengan keadaan siswa pada saat itu dan sekarang
kurikulum itu direvisi sehingga menjadi kurikulum K13 yang disesuaikan
pada kondisi siswa saat sekarang ini. Dari pengembangan kurikulum ini pada
dasarnya para ahli ini sudah terlebih dahulu mencoba kurikulum yang berlaku
sehingga dicoba pula dalam kawasan yang lebih luas yaitu digunakan oleh
seluruh Indonesia. Inilah teori yang tahan uji walaupun ada pertukaran namun
ini hanya penyesuaian dengan kondisi peserta didik saat ini.
3. Jawaban pertanyaan 3 dan 4
Teori Pragmatisme dalam buku Haznah diakatakan suatu pernyataan
dianggap benar apabila memiliki kegunaan atau manfaat praktis dan bersifat
fungsional dalam kehidupan sehari-hari. Misalkan dalam pelajaran
matematika kita mempelajari penjumlahan dan pengurangan, materi ini
dipelajari guna mempermudah menghitung dalam kehidupan sehari-hari.
Berarti karena ada manfaat maka seseorang mempelajarinya.
4. Pengetahuan biasa dalam buku Haznah diaktakan seseorang menerima
sesuatu dimana ia menerima secara baik dan mereka berpendapat sama.
Dengan kata lain pengetahuan biasa dimana orang memang mengetahui
secara umum tanpa mempermasalahkan dari mana datangnya. Misalkan air
dapat digunakan untuk menyiram bunga, jangka bisa digunakan untuk
membuat lingkaran, penggaris digunakan untuk membuat garis.
Pengetahuan Empirisme dalam buku Haznah dikatakan manusia memiliki
pengetahuan melalui pengalaman, pengalaman melalui inderawi. Dengan
adanya pengalaman seseorang akan memiliki pengetahuan, jadi tanpa
pengalaman pengetahuan manusia tidak akan bertambah. Contohnya seorang
guru diberi pelatihan mengenai cara proses pembelajaran aktif, dengan
adanya pelatihan pengalaman guru dalam mengajar semakin bertambah, guru
bisa melakukan berbagai pembalajaran yang aktif dikelas.
Dari kedua pengetahuan tersebut tentu terlihat perbedaannya, pengetahuan
biasa dapat dilakukan tanpa proses tertentu, sedangkan pengetahuan
empirisme ada tahapan yang dilakukan suapaya memperoleh pengetahuan.