Pendahuluan
Senyawa kimia adalah suatu hal yang erat sekali hubungannya dengan kehidupan sehari-
hari. Senyawa kimia sangat beragam, salah satunya senyawa organik. Senyawa organik yang ada
di sekitar kita bisa berupa senyawa murni dan juga campuran. Materi yang terdapat di bumi ini
kebanyakan tidak murni tetapi berupa campuran dari berbagai komponen, contoh yang paling
konkret tanah terdiri dari berbagai senyawa dan unsur baik dalam wujud padat, cair atau gas,
selain tanah udara juga mengandung berbagai macam unsur dan senyawa, seperti oksigen,
nitrogen , uap air dan sebagainya. Zat murni bisa didapat dengan cara memisahkannya dari
campurannya. Pemisahan campuran dapat dilakukan melalui peristiwa fisika atau kimia
(Rositawati, 2013).
Teknik yang paling sederhana dan efektif untuk pemurnian padatan senyawa organik
adalah kristalisasi. Memperoleh suatu senyawa kimia dengan kemurnian yang sangat tinggi
merupakan hal yang sangat esensi bagi kepentingan kimiawi. Material jika masih merasa
diperlukan pemurnian, terdapat kelarutan dari proses kristalisasi yaitu rekristalisasi. Rekristalisasi
merupakan sebuah metode pemurnian senyawa dengan prinsip perbedaan kelarutan antara zat
pengotor dengan zat yang akan dimurnikan. Pemurnian demikian ini banyak dilakukan pada
industri-industri (kimia) maupun laboratorium untuk meningkatkan kualitas zat yang
bersangkutan. Rekristalisasi merupakan suatu pembentukan kristal kembali dari larutan atau
leburan dari material yang ada. Rekristalisasi adalah sebuah proses kelanjutan dari kristalisasi
(Harizon, 2003).
Rekristalisasi merupakan salah satu cara pemurnian zat padat yang banyak digunakan.
Reksristalisasi dilakukan dengan cara melarutkan zat padat dengan menggunakan pelarut yang
sesuai kemudian larutan tersebut dikristalakn kembali. Rekristalisasi menggunakan prinsip
dimana zat dapat larut dalam suatu pelarut tertentu pada saat dipanaskan. Karena konsentrasi total
zat dan pengotor biasanya lebih kecil dari konsentrasi zat yang dimurnikan, bila dingin, maka
konsentrasi zat dan pengotor yang rendah tetapi dalam larutan sementara produk yang
berkonsentrasi tinggi akan mengendap (Arsyad, 2001).
Rekristalisasi memiliki berbagai macam jenis. Rekristalisasi berdasarkan pelarut yang
digunakan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu rekristalisasi dengan pelarut tunggal dan
rekristalisasi dengan multi pelarut. Rekristalisasi jenis lain juga dapat digolongkan berdasarkan
teknik yang digunakan. Penggolongan tersebut dilakukan dengan membagi proses kristalisasi
menjadi tiga yaitu rekristalisasi dengan penyaringan panas, rekristalisasi dengan nukleasi spontan
dan rekristalisasi menggunakan seeding dari filtrat. Pelakasanaan proses pemurnian ini dilakukan
berulang-ulang untuk memastikan tidak ada pengotor yang ikut dalam kristal. Hal tersebut
mengakibatkan hilangnya sejumlah Kristal karena terbatasnya kelarutan senyawa yang akan
dimurnikan. Peristiwa rekristalisasi pada dasarnya berhubungan dengan reaksi pengendapan.
Endapan merupakan zat yang memisah dari satu fase padat keluar ke dalam larutannya. Endapan
terbentuk jika larutan berada dalam kondisi lewat jenuh terhadap zat yang dilarutkan (Pinalia,
2011).
Pemurnian senyawa organik padat dapat dilakukan dengan rekristalisasi dengan pelarut
yang didasarkan pada prinsip kelarutan. Zat-zat yang direkristalisasi dilarutkan dalam pelarut
pada suhu tinggi, dihilangkan pengotornya, disaring untuk menghilangkan residu yang tak larut
dan didinginkan. Kristal yang terbentuk kemudian disaring pada tekanan rendah, dicuci dan
dikeringkan (Chang,2004).
Zat padat umumnya mempunyai titik lebur yang tajam (rentangan suhunya kecil),
sedangkan pada amorf akan melunak dan kemudian melebur dalam rentangan suhu yang besar.
Suatu zat mempunyai bentuk kristal tertentu. Isomorfik adalah keadaan di mana dua zat yang
mempunyai struktur kristal yang sama, contohnya NaF dengan MgO, K2SO4 dengan K2SeO4,
dan Cr2O3 dengan Fe2O3. Zat isomorfik tidak selalu dapat mengkristal bersama secara
homogen. Hal itu berarti tidak mungkin satu partikel menggantikan kedudukan partikel lain.
Suatu zat yang mempunyai dua kristal atau lebih disebut polimorfik (banyak bentuk). Kemudahan
suatu endapan dapat disaring dan dicuci tergantung sebagian besar pada struktur morfologi
endapan, yaitu pada bentuk dan ukuran kristal-kristalnya. Makin besar Kristal-kristal yang
terbentuk selama berlangsungnya pengendapan, makin mudah mereka dapat disaring. Bentuk
Kristal juga penting. Struktur yang sederhana, seperti kubus, octahedron, atau jarum-jarum,
sangat menguntungkan, karena mudah dicuci setelah disaring. Ukuran Kristal yang terbentuk
selama pengendapan, tergantung terutama pada dua factor penting: yaitu laju pembentukan inti
(nukleasi) dan laju pertumbuhan Kristal. Hal ini dikarenakan derajat lewat jenuh pelarut yang
lebih besar sehingga pembentukan inti baru semakin besar, dan menyebabkan laju pembentukan
inti kristal juga semakin tinggi (Brady, 2005).
Pelarut memiliki beberapa syarat agar dapat digunakan dalam proses kristalisasi. Pelarut
harus memberikan perbedaan daya larut yang besar antara zat pengotor dengan zat yang akan
dimurnikan. Pelarut juga tidak boleh sampai meninggalkan zat pengotor pada kristal yang
dihasilkan. Pelarut yang digunakan juga harus mudah dipisahkan dari kristalnya (Rositawati,
2013).
Bahan pengotor pada suatu campuran dapat digolongkan menjadi dua macam, yaitu
pengotor pada permukaan kristal dan pengotor dalam kristal. Pengotor yang ada pada permukaan
kristal berasal dari larutan induk yang terbawa pada saat proses pemisahan padatan dari larutan
induknya sehingga tertinggal pada permukaan kristal. Pengotor jenis ini dapat dipisahkan hanya
dengan pencucian. Larutan yang digunakan saat pencucian harus mempunyai sifat yang dapat
melarutkan zat pengotor, tetapi tidak melarutkan padatan kristal. Larutan yang memenuhi hal
tersebut adalah larutan jenuh dari bahan kristal yang akan dicuci. Pengotor yang berada di dalam
kristal tidak dapat dihilangkan dengan cara pencucian, melainkan dengan jalan rekristalisasi.
Metode tersebut dilakukan dengan cara melarutkan kristal tersebut kemudian mengkristalkannya
kembali. Kelebihan proses kristalisasi dibandingkan dengan proses pemisahan yang lain adalah
bahwa pengotorhanya bisa terbawa dalam kristal jika terorientasi dengan baik dalam kisi kristal
(Setyopratomo, 2003).
Prinsip Kerja
Prinsip kerja yang digunakan dalam praktikum ini adalah perbedaan sifat kelarutan yang
dimiliki zat yang akan dimurnikan dengan kelarutan zat pencemar. Larutan yang mengandung
kedua zat tersebut dipisahkan, kemudian larutan yang diinginkan direkristalisasi dengan cara
menjenuhkannya.
Alat
Tabung reaksi, mortar, pipet mohr 5 mL, pipet tetes, penangas air, erlenmeyer, pipet
Pasteur, corong Buchner, timbangan, alat pennetu titik leleh.
Bahan
Asam salisilat, asam benzoat, asetanilida, etanol 95%, etil asetat, aseton, n-heksana,
toluena, aquades, norit, kapas.
Prosedur Kerja
A. Pemilihan Pelarut
Dimasukkan masing-masing 0,05 g sampel yang telah dihaluskan kedalam 6 tabung reaksi.
Ditambahkan 2 mL aquades, etanol 95%, etil asetat, aseton, toluen, dan heksan secara terpisah
pada masing-masing tabung reaksi tadi dan diberi nomor 1-6 secara berurutan. Digoyang tabung
dan diamati apakah sampel larut dalam pelarut tersebut pada suhu kamar. Dimati dan dicatat
pengamatannya. Dipanaskan tabung berisi sampel yang tak larut, lalu digoyang tabung tersebut
dan dicatat jika sampel tersebut larut dalam pelarut panas. Diamati dan dicatat pengamatannya.
Dibiarkan larutan menjadi dingin dan amati pembentukan kristalnya. Dicatat masing-masing
pelarut dan ditunjukkan pelarut yang terbaik diantara keenam pelarut tersebut dan cocok untuk
proses rekristalisasi sampel. Dilakukan prosedur yang sama dengan diatas untuk sampel unknown
dan ditentukan pelarut yang sesuai untuk rekristalisasinya.
B. Rekristalisasi Sampel Unknown
Dimasukkan 0,05 g sampel unknown kedalam erlenmeyer. Ditambahkan 2 mL pelarut
yang sesuai. Dipanaskan campuran perlahan sambil digoyang larutan hingga semua padatan larut.
Ditambahkan sedikit pelarut (kira-kira 0,5 mL) jika padatan tidak larut sempurna dan dilanjutkan
pemanasan. Diamati setiap penambahan pelarut apakah lebih banyak padatan yang terlarut atau
tidak. Disaring larutan panas tersebut melewati penyaring pipet Pasteur untuk menghilangkan
pengotor yang tak larut atau dapat menggunakan karbon aktif. Disiapkan pipet Pasteur penyaring
dengan cara memasukkan sedikit kapas pada pipet lalu ditekan menggunakan kawat atau lidi
sehingga kapas berada pada bagian bawah (posisi menyumbat tip). Dipanaskan pipet penyaring
dengan cara melewatkan pelarut panas beberapa kali kedalam pipet dan tampung pelarut panas
yang telah melewati pipet kedalam wadah penampung atau Erlenmeyer. Didorong larutan dengan
bantuan karet penghisap jika larutan memenuhi pipet. Diencerkan dulu untuk mencegah
terjadinya kristalisasi selama proses penyaringan. sebelum larutan sampel dilewatkan dalam pipet
penyaring. Dicuci pipet Pasteur penyaring dengan sejumlah pelarut panas untuk recovery solute
yang kemungkinan terkristalisasi didalam pipet dan kapas. Ditutup wadah penampung atau
erlenmeyer dan biarkan filtrat atau larutan menjadi dingin. Disiapkan ice bath setelah larutan
berada dalam suhu kamar, untuk menyempurnakan proses kristalisasi. Dimasukkan wadah larutan
kedalam ice bath dan diamati pembentukan kristalnya. Disaring kristal dan dicuci dengan
sejumlah pelarut dingin menggunakan penyaring Buchner. Dilanjutkan penyaringan hingga
kering. Ditimbang kristal dan dihitung persen recovery-nya. Ditentukan titik leleh kristal dan
dicatat.
Hasil
N Sampel Keterangan Hasil
o
1. Asam Suhu ruang :
Salisilat Aseton = Larut
Etil Asetat = Larut
Etanol = Larut
Heksana = Tidak larut
Akuades = Tidak larut
Toluena = Tidak larut
Saat dipanaskan :
Heksana = Tidak larut
Akuades = Larut
Toluena = Larut
Setelah didingainkan :
Akuades = Kristal banyak
Toluena = Kristal sedikit
Pembahasan
Percobaan rekristalisasi dilakukan dengan tujuan mempelajari teknik rekristalisasi untuk
pemurnian senyawa organik. Rekristalisasi adalah suatu teknik pemisahan yang bekerja
berdasarkan prinsip perbedaan sifat kelarutan antara zat yang akan dimurnikan dengan zat
pengotor. Rekristalisasi dapat dilakukan dengan cara mengkristalkan kembali zat murni yang
diinginkan setelah dipisahkan dari pengotornya melalui pelarutan sampel dalam pelarut yang
sesuai. Pengkristalan kembali dilakukan dengan menjenuhkan larutan zat murni sampai lewat
jenuh dan terbentuk endapan berupa kristal. Penentuan jenis pelarut yang akan digunakan untuk
rekristalisasi sampel unknown menjadi suatu hal yang penting. Pelarut yang digunakan harus
tepat agar produk yang dihasilkan sesuai dengan yang diharapkan. Pelarut yang baik adalah
pelarut yang tidak dapat melarutkan padatan pada suhu kamar, dapat melarutkan ketika
dipanaskan, dan dapat membentuk kristal ketika suhu kemali diturunkan. Titik didih pelarut yang
digunakan harus lebih rendah rendah dari titik didih zat terlarut. Hal ini dilakukan agar selama
proses pemanasan yang mengalami penguapan adalah pelarutnya, bukan zat terlarutnya. Pelarut
yang digunakan juga harus inert sehingga tidak bereaksi dengan sampel. Pelarut yang tepat akan
menghasilkan rendemen yang besar, sehingga kemurnian yang dihasilkan dari rekristalisasi juga
akan tinggi (Rositawati, 2013).
Percobaan pertama dilakukan untuk menentukan pelarut yang tepat dengan cara
mereaksikan sampel ke dalam enam macam pelarut yang berbeda. Prinsip kerja yang digunakan
dalam praktikum ini adalah perbedaan sifat kelarutan yang dimiliki zat yang akan dimurnikan
dengan kelarutan zat pencemar. Larutan yang mengandung kedua zat tersebut dipisahkan,
kemudian larutan yang diinginkan direkristalisasi dengan cara menjenuhkannya. Sampel
ditimbang terlebih dahulu sebelum digunakan. Sampel tersebut kemudian ditempatkan ke dalam
tabung reaksi yang berbeda, dan masing –masing ditambahkan pelarut dengan volume yang
sudah ditentukan. Pelarut yang tidak mampu melarutkan sampel, kemudian dipanaskan.
Pemanasan ini dilakukan untuk memperbesar kelarutan zat terlarut dalam larutan tersebut.
Pemanasan dilakukan di dalam gelas bekaer yang diisi air. Hal ini dilakukan karena pelarut yang
digunakan merupakan senyawa volatil yang mudah terbakar ketika terjadi kontak langsung
dengan api. Larutan yang dapat melarutkan sampel pada suhu tinggi, selanjutnya didinginkan
hingga kembali mencapai suhu kamar. Pendinginan ini dilakukan untuk kembali menjenuhkan
larutan, sehingga kristal senyawa murni kembali terbentuk.
Penentuan jenis pelarut yang pertama dilakukan dengan menguji daya larut suatu pelarut
dengan menggunakan asam salisilat sebagai sampel. Asam salisilat merupakan senyawa
hidrokarbon dengan rumus molekul C7H6O3. Senyawa ini tergolong menjadi senyawa polar
karena memiliki gugus –OH dengan jumlah yang banyak. Struktur molekul asam salisilat adalah
sebagai berikut :
O OH
OH
H3C O CH3
H3C OH
Gambar 4. Struktur molekul aseton
Hasil percobaan menunjukkan bahwa asam salisilat mampu melarut sempurna dalam aseton. Hal
ini dikarenakan aseton dan asam salisilat merupakan senyawa polar. Asam salisilat dapat larut
dengan aseton karena keduanya memiliki gugus yang bisa digunakan untuk membentuk ikatan
hidrogen. Daya larut aseton terhadap asam salisilat juga besar sehingga larutan yang dihasilkan
belum dalam keadaan jenuh, yang ditandai dengan tidak ada asam salisilat yang tersisa. Hasil
yang diperoleh menunjukkan bahwa aseton bukan pelarut yang baik, karena dapat melarutkan
sampel pada suhu ruang.
Pelarut keempat yang digunakan adalah etanol (C2H6O). Hasil saat dilakukan pencampuran
asam salisilat dengan etanol pada suhu kamar menunjukkan bahwa asam salisilat dapat larut
dalam etanol. Hal ini dikarenakan asam salisilat dan etanol merupakan senyawa polar. Etanol
95% merupakan rantai hidrokarbon dengan 2 atom C. Jumlah atom C yang sedikit membuat sifat
non polar etanol sangat kecil, sedangkan etanol memiliki gugus –OH yang menyebabkan sifat
polar etanol lebih dominan. Struktur molekul etanol adalah sebagai berikut :
H3C OH
Gambar 5. Struktur molekul etanol
Etanol juga dapat membuat ikatan hidrogen dengan asam salisilat. Interaksi yang terjadi adalah
antara asam salisilat dengan etanol gaya dipol-dipol, karena interaksi antar senyawa polar dengan
polar. Etanol juga memiliki daya larut yang besar terhadap asamm salisilat, sehingga asam
salisilat dapat larut sempurna dalam etanol. Hal ini menunjukkan bahwa larutan belum dalam
keadaan jenuh ketika asam salisilat ditambahkan. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa
etanol bukan pelarut yang baik, karena dapat melarutkan sampel pada suhu ruang.
Pelarut kelima yang digunakan adalah heksana. Hasil percobaan menunjukkan bahwa
heksana tidak dapat melarutkan asam salisilat. Hal ini disebabkan perbedaan sifat kepolaran
diantara dua senyawa tersebut. Heksana merupakan senyawa non polar, sedangkan asam salisilat
adalah senyawa semi polar dengan gugus polar yang lebih dominan. Struktur molekul heksana
adalah sebagai berikut :
H H H
H H H
H
H H
H H
H H H
Gambar 6. Struktur molekul heksana
Senyawa ini merupakan senyawa hidrokarbon dengan enam atom C yang berbentuk rantai lurus.
Heksana hanya mempunyai gugus non polar karena hanya memiliki ikatan C-H. Heksana juga
memiliki ikatan C-C yang menyebabkan tidak adanya perbedaan keelektronegatifan. Hal ini
menyebabkan elektron tersebar merata. Heksana juga tidak memiliki pasangan elektron bebas.
Heksana tidak dapat melarutkan asam salisilat meskipun asam salisilat memiliki gugus non polar.
Hal ini dikarenakan struktur molekul dua senyawa tersebut tidak menunjukkan kemiripan. Asam
salisilat berbentuk rantai siklik sedangkan heksana berbentuk rantai lurus. Hal ini yang
menyebabkan asam salisilat tidak dapat larut dalam heksana. Campuran ini selanjutnya
dipanaskan untuk menaikkan daya larut heksana, tetapi asam salisilat dalam toluena tetap dalam
keadaan yang tidak larut. Hal ini disebakan karena meskipun kelarutan heksana diperbesar
dengan cara pemanasan, tetapi tetap tidak mampu melarutkan asam salisilat karena keduanya
memang memiliki struktur molekul dan perbedaan sifat kepolaran yang berbeda. Hal ini
menunjukkan bahwa heksana bukan pelarut yang baik karena tidak mampu melarutkan asam
salisilat meskipun sudah dipanaskan.
Pelarut terakhir yang digunakan adalah akuades. Hasil pengamatan menghasilkan bahwa
asam salisilat pada suhu kamar tidak larut dalam akuades. Akuades merupakan senyawa yang
bersifat polar. Hal ini dikarenakan molekul air yang tersusun dari unsur yang memiliki perbedaan
keelektronegatifan yang tinggi, yaitu unsur O dan H. Hal ini menyebabkan penyebaran elektron
tidak merata, yaitu lebih tertarik ke unsur O karena merupakan atom yang lebih elektonegatif.
Gambar struktur molekul air adalah sebagai berikut :
H O H
Gambar 7. Struktur molekul akuades
Struktur molekul diatas menggambarkan bahwa akuades atau H2O memiliki pasangan elektron
bebas pada atom O. Hal ini menyebabkan struktur molekul yang tidak simetris, yaitu berbentuk
bengkok. Momen dipol yang dihasilkan lebih dari nol dengan arah vektor ke atas. Asam salisilat
merupakan zat yang dapat larut dalam akuades karena keduanya merupakan senyawa polar.
Pelarutan yang terjadi disebabkan karena kedua senyawa tersebut membentuk ikatan hidrogen
dan interaksi yang terjadi adalah interaksi dipol-dipol. Hasil pengamatan menunjukkan asam
salisilat tidak larut dalam akuades pada suhu ruang. Hal ini dikarenakan kecilnya daya larut asam
salisilat dalam akuades, sehingga membutuhkan akuades yang lebih banyak untuk dapat
melarutkannya. Asam salisilat yang tidak dapat larut dalam akuades menunjukkan bahwa larutan
sudah berada dalam kondisi lewat jenuh, sehingga tidak mampu lagi melarutkan asam salisilat.
Asam salisilat yang tidak larut dalam air kemudian dipanaskan. Hal ini dilakukan untuk
menaikkan suhu campuran. Suhu merupakan salah satu faktor yang dapat memperbesar kelarutan.
Peningkatan suhu menyebabkan energi kinetik partikel meningkat, sehingga menyebabkan
partikel bergerak lebih cepat. Hal ini yang menyebabkan ketika suhu dinaikkan kelarutan asam
salisilat dalam akuades juga semakin meningkat. Hasil setelah pemanasan menunjukkan bahwa
asam salisilat larut dalam akuades. Waktu pemanasan yang dilakukan sangat lama, hal ini
dikarenakan tingginya titik didih asam salisilat, yaitu sebesar 159 °C. Larutan yang sudah dalam
keadaan homogen selanjutnya didinginkan kembali untuk mengembalikan kondisi jenuh larutan,
sehingga asam salisilat dapat terbentuk kembali dalam bentuk kristal. Pembentukan kristal terjadi
sangat cepat. Hal ini dikarenakan besarnya derajat lewat jenuh asam salisilat dalam akuades yang
ditandai dengan banyaknya asam salisilat pada awal pelarutan dilakukan.
Percobaan di atas dapat diketahui bahwa kemungkinan pelarut yang baik adalah pada
toluena dan akuades. Hal ini dikarenakan kedua pelarut tersebut menyebabkan asam salisilat tidak
larut dalam suhu kamar. Campuran tersebut kemudian larut saat dipanaskan, dan terbentuk kristal
begitu didinginkan (Chang,2005). Perbedaan proses pada setiap pelarutan dapat digunakan
sebagai penentu pelarut yang terbaik bagi asam salisilat diantara dua pelarut baik tersebut.
Banyaknya asam salisilat yang tidak larut dalam pelarut akuades lebih banyak dari toluena. Hal
ini menunjukkan bahwa derajat lewat jenuh akuades lebih besar dari toluena, sehingga dengan
massa sampel awal yang sama, asam salisilaat yang tersisa dalam akuades lebih banyak. Proses
pemanasan yang dilakukan untuk meningkatkan kelarutan kedua pelarut menunjukkan bahwa
proses pelarutan akuades lebih lama dari toluena. Hal ini dikarenakan akuades memiliki titik
didih yang lebih rendah dari asam salisilat, sehingga pengikatan asam salisilat oleh akuades
berlangsung lama. Fakta bahwa kondisi titik didih akuades lebih rendah dari asam salisilat
semakin menunjukkan bahwa akuades adalah pelarut yang baik. Akuades memiliki titik didih
sebesar 100 °C sedangkan asam salisilat 159 °C. Hal ini berguna ketika pemanasan campuran
yang berlangsung lama, zat yang mengalami penguapan adalah akuades, sehingga sampel tidak
ada yang terbuang menjadi uap. Akuades dinilai lebih bagus dari toluena juga dapat dilihat dari
kecepatan pembentukan kristal setelah proses pemanasan. Akuades langsung membentuk
endapan ketika dikeluarkan dari penangas air, sedangkan toluena harus didinginkan terlebih
dahulu dalam icebath. Hal ini dikarenakan derajat lewat jenuh akuades lebih besar sehingga
pembentukan inti baru semakin besar, dan menyebabkan laju pembentukan inti juga semakin
tinggi (Brady, 2005). Pelarut lainnya yaitu etanol, etil asetat, dan aseton, bukan merupakan
pelarut yang baik dikarenakan pelarut ini bereaksi dengan sampel dapat dilihat dari kemampuan
pelarut melarutkan sampel pada suhu kamar, dan tidak dapat membentuk kristal. Heksana juga
bukan pelarut yang baik karena tidak dapat melarutkan sampel saat dipanaskan.
Percobaan uji pelarut menggunakan sampel asam salisilat di atas menunjukkan bahwa
akuades adalah pelarut yang paling baik untuk melakukan proses rekristalisasi. Hal ini
menyebabkan akuades terpilih menjadi pelarut yang digunakan untuk melarutkan sampel
unknown. Sampel tersebut ditimbang sesuai dengan berat yang telah ditentukan terlebih dahulu.
Sampel kemudian dimasukkan ke dalam erlenmeyer dan ditambahkan pelarut akuades. Hasil
menunjukkan bahwa sampel tidak larut dalam akuades. Sampel yang tidak larut dalam akuades
disebabkan karena akuades sudah mencapai keadaan lewat jenuh yang menyebabkan tidak semua
sampel dapat larut. Campuran tersebut selanjutnya dipanaskan untuk meningkatkan kelarutannya
dengan cara meningkatkan energi kinetik yang mampu mempercepat gerakan partikel sehingga
tumbukan yang terjadi semakin cepat. Hal ini menyebabkan akuades semakin mudah mengkikat
sampel dan melarutkannya. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa sampel dapat larut dalam
akuades. Larutan tersebut selanjutnya didinginkan untuk menjenuhkan kembali larutan sehingga
krital kembali terbentuk. Pendinginan dilakukan dengan icebath untuk mempercepat proses
penurunan suhu. Kristal yang sudah terbentuk selanjutnya dipisahkan dari akuades menggunakan
kertas saring yang sudah ditimbang massanya terlebih dahulu. Penimbangan massa kertas saring
digunakan untuk mengetahui massa kristal yang sebenarnya.
Kristal yang masih tertinggal di dalam erlenmeyer kemudian dibilas menggunakan akuades
yang sudah didinginkan dengan icebath terlebih dahulu. Pendinginan ini dilakukan agar kristal
yang terbentuk masih dalam keadaan kristal ketika akuades ditambahkan dan mencegah sampel
tersebut larut kembali dalam akuades. Penyaringan seharusnya dilakukan menggunakan pipet
Pasteur. Penyaringan menggunakan pipet ini dilakukan dengan pemanasan pipet terlebih dahulu.
Hal ini dilakukan agar tidak ada sampel yang mengkristal begitu dilewatkan dalam pipet Pasteur,
sehingga dapat menyumbat aliran pipet. Penyaringan langsung dilakukan dengan menggunakan
kertas saring. Kristal yang sudah berada dalam kertas saring selanjutnya dioven untuk
mengeringkan rendemen dan menghilangkan kadar air dalam kristal. Rendemen dan kertas saring
selanjutnya di ambil setelah beberapa saat, dan ditimbang massanya menggunakan neraca
analitik. Massa kristal yang diperoleh sebesar 0,03 gram.
Data yang diperoleh tersebut selanjutnya diolah hingga persen recovery yang duperoleh
dapat diketahui. Massa rendemen yang diperoleh dapat diketahui dengan cara mengurangkan
massa kertas saring dan kristal yang diperoleh dengan massa kertas saring yang telah ditimbang
sebelumnya sebelum digunakan untuk filtrasi. Hasil yang diperoleh selanjutnya dibagi dengan
massa sampel awal kemudian dikali dengan 100 %. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa besar
recovery yang diperoleh sebesar 60%. Persen recovery yang diperoleh kurang dari 100 %. Hal ini
kristal yang diperoleh lebih murni karena bebrapa pengotor telah hilang
Jenis sampel unkonwn yang digunakan dapat diketahui dari sifat zat ketika proses
rekristalisasi dilakukan. Waktu yang digunakan ketika proses pemanasan campuran sampel
dengan akuades apabila tidak membutuhkan waktu yang sangat lama, maka dapat disimpulkan
bahwa sampel tersebut bukan asam salisilat. Hal ini dikarenakan asam salisilat membutuhkan
waktu yang sangat lama untuk mencapai homogen. Waktu yang digunakan untuk melarutkan
sampel juga tidak terlalu cepat, sehingga dapat dikatakan bahwa sampel yang digunakan adalah
senyawa lain.
Kesimpulan
Kesimpulan yang diperoleh dari praktikum kali ini adalah :
1. Rekristalisasi dapat dilakukan dengan menggunakan pelarut yang tepat untuk melarutkan
zat yang akan direkristalisasi. Pelarut yang baik adalah pelarut yang tidak dapat melarutkan
zat terlarut pada suhu kamar, dapat melarutkan ketika dipanaskan, dan dapat membentuk
kristal kembali ketika didinginkan. Pelarut paling baik dari enam pelarut yang diuji adalah
akuades, sehingga digunakan dalam rekristalisasi sampel unknown. Persen recovery yang
diperoleh adalah sebesar 60%.
Referensi
Arsyad,M., Natsir.2001.Kamus Kimia Arti dan Penjelasan Istilah.Jakarta: Gramedia
Brady, James E. 2005. Kimia Universitas Asas dan Struktur Edisi ke 5 Jilid 2. Jakarta: Binarupa
Aksara Publisher.
Chang,Raymond.2004.Kimia Dasar. Jakarta: Erlangga
Harizon.2003.Analisis Kualitatif. Jakarta: Erlangga
Petrucci, Ralph H. 2007. Kimia Dasar Jilid I. Jakarta: Erlangga.
Pinalia, A. 2011. Penentuan Metode Rekristalisasi Yang Tepat Untuk Meningkatkan Kemurnian
Kristal Amonium Perklorat (AP). Jurnal Sains dan Teknologi Dirgantara. Vol. 6 No. 2.
Rositawati, A.L., dkk. 2013. Rekristalisasi Garam Rakyat Dari Demak Untuk Mencapai SNI
Garam Industri. Jurnal Teknologi dan Industri, Vol.2, No.4, Halaman 217-225. [Serial
Online] http://eprints.undip.ac.id/41729/1/29._102013_217-225.pdf (Diakses pada 15
November 2020).
ScienceLab. 2018. Material Safety Data Sheet of Acetone [Serial Online]. https://www.
sciencelab. com/msds.php?msdsId=9927062 (Diakses pada 15 November 2020).
ScienceLab. 2020. Material Safety Data Sheet of Aquadest [Serial Online]. https://www.
sciencelab. com/msds.php?msdsId=9927321 (Diakses pada 15 November 2020).
ScienceLab. 2020. Material Safety Data Sheet of Benzoic Acid [Serial Online]. https://www.
sciencelab. com/msds.php?msdsId=9927096 (Diakses pada 15 November 2020).
ScienceLab. 2020. Material Safety Data Sheet of Ethyl Acetate [Serial Online]. https://www.
sciencelab.com/msds.php?msdsId=9927165 (Diakses pada 15 November 2020).
ScienceLab. 2020. Material Safety Data Sheet of Ethyl Alcohol [Serial Online]. https://www.
sciencelab. com/msds.php?msdsId=9923955 (Diakses pada 15 November 2020).
ScienceLab. 2020. Material Safety Data Sheet of Hexanes [Serial Online]. https://www.
sciencelab.com/msds.php?msdsId=9927187 (Diakses pada 15 November 2020).
ScienceLab. 2020. Material Safety Data Sheet of Salicylic Acid [Serial Online]. https://www.
sciencelab.com/msds.php?msdsId=9927249 (Diakses pada 15 November 2020).
ScienceLab. 2020. Material Safety Data Sheet of Toluene [Serial Online]. https://www.
sciencelab.com/msds.php?msdsId=9927301 (Diakses pada 15 November 2020).
Setyopratomo, dkk, (2003). Studi Eksperimental Pemurnian Garam NaCl dengan Cara
Rekristalisasi. Surabaya: Universitas Surabaya.
Nama Praktikan
Nama : Nahdiatul Ummah
NIM : 171810301061
Kelompok : B 1
Asisten : Ainun Nihayah