Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN PENDAHULUAN

FRAKTUR TIBIA
STASE KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

DOSEN PEMBIMBING
Ns. Sukarni, M. Kep.

DISUSUN OLEH :
IRMA AGUSTINA
I4051201013

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
2021
LAPORAN PENDAHULUAN

Nama Mahasiwa : Irma Agustina

NIM : I4051201013

Tanggal Praktik : 15 Maret 2021

Judul Kasus : Fraktur Tibia

Ruangan : Ruang Bedah (K)

A. Konsep Penyakit
1. Definisi
Fraktur tibia merupakan fraktur yang cukup sering dijumpai dibidang orthopedic ,
kurang lebih 1,3 % dari semua jenis fraktur, paling banyak dijumpai pada laki-laki
dibanding wanita. (Arafah. 2019)
Fraktur tibia adalah terputusnya hubungan tulang, secara klinis bisa berupa fraktur
terbuka bila disertai kerusakan jaringan lunak (otot, kulit, jaringan saraf, pembuluh
darah) sehingga memungkinkan terjadinya hubungan antara fragmen tulang yang
patah dengan udara luar (Helmi, 2016)
2. Etiologi
Menurut Helmi (2014), Fraktur dapat disebakan oleh trauma maupun proses
patologik.
a. Fraktur Traumatic diakibatkan oleh:
a) Kecelakaan kendaraan bermotor
b) Terjatuh
c) Kekerasan ataupun perkelahian
d) Kecelakaan kerja
e) Kecelakaan lainnya
b. Fraktur Patologik
Fraktur patologik dapat diakibatkan oleh kista, tumor tulang, osteogenesis
imperfekta, osteomielitis, osteoporosis, atropi, ataupun nekrosis tulang.
3. Klasifikasi
Menurut Helmi (2012), Beberapa macam klasifikasi fraktur dapat digolongkan
bedasarkan:
a) Fraktur tertutup (close fracture) Fraktur tertutup adalah fraktur dimana kulit tidak
ditembus oleh fragmen tulang sehingga lokasi fraktur tidak tercemar oleh
lingkungan atau tidak mempunyai hubungan dengan dunia luar.
b) Fraktur terbuka (open fracture) Fraktur terbuka adalah fraktur yang mempunyai
hubungan dengan dunia luar melalui luka pada kulit dan jaringan lunak, dapat
berbentuk dari dalam (from within) atau dari luar (from without)
c) Fraktur dengan komplikasi (complicated fracture)
Fraktur dengan komplikasi adalah fraktur yang disertai dengan komplikasi
misalnya mal-union, delayed union, non-union, serta infeksi tulang.
4. Patofisiologi
Menurut Sylvia dalam Cahyanti, (2019), fraktur gangguan pada tulang biasanya
disebabkan oleh trauma gangguan adanya gaya dalam tubuh yaitu stress, gangguan
fisik, gangguan metabolic, patologik. Kemampuan otot mendukung tulang turun, baik
yang terbuka maupun yang tertutup. Kerusakan pembuluh darah akan mengakibatkan
perdarahan, maka volume darah menurun. COP menurun maka terjadi perubahan
perfusi jaringan. Hematoma akan mengeksudasi plasma dan proliferasi menjadi
oedem lokal dan terjadi penumpukan di dalam tubuh. Fraktur terbuka atau tertutup
akan mengenai serabut syaraf yang dapat menimbulkan gangguan rasa nyaman nyeri.
Selain itu dapat mengenai tulang dan dapat terjadi neurovaskuler yang menimbulkan
nyeri gerak sehingga mobilitas fisik terganggu. Disamping itu fraktur terbuka dapat
mengenai jaringan lunak yang kemungkinan dapat terjadi infeksi terkontaminasi
dengan udara luar dan kerusakan jaringan lunak akan mengakibatkan kerusakan
integritas kulit. Fraktur adalah patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma
gangguan metabolik, patologik yang terjadi itu terbuka atau tertutup. Pada umumnya
pada pasien fraktur terbuka maupun tertutup adalah dilakukan imobilitas yang
bertujuan untuk mempertahankan fragmen yang telah dihubungkan, tetap pada
tempatnya sampai sembuh.
5. Pathway ( Purwanto, 2016)

Trauma Langsung Trauma tidak langsung Patologis Kondisi

Fraktur Tibia

Diskontinuitas tulang Pergeseran fragmen tulang NYERI

Perubahan jaringan sekitar kerusakan Fragmen tulang

pergeseran fragmen tulang reaksi stress klien

deformitas laserasi kulit Spasme otot melepaskan katekolamin

gg. fungsi kerusakan Integritas kulit Peningkatan tekenan kapiler memobilisasi asam lemak

Gangguan Mobilitas putus vena atau arteri pelepasan histamin bergabung dengan trombosit

Perdarahan Protein plasma hilang emboli

Kehilangan volume cairan Edema menyumbat pembuluh darah

Shock hipovelimik Penekanan pembuluh darah

Penurunan perfusi jaringan

Perfusi perifer tidak efektif


6. Tanda dan Gejala
Menurut (Purwanto, 2016), tanda-tanda pada fraktur mandibular sebagai berikut:
a. Nyeri terus menurus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang dimobilisasi,
hematoma, edema
b. Deformitas karena adanya pergeseran fragmen tulang yang patah
c. Terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena kontraksi otot yang melekat
diatas dan dibawah tempat fraktur
d. Kreptasi akibat gesekan antara fragmen satu dengan lainnya
e. Pembengkakan dan perubahan warna local pada kulit.
7. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Wijaya & Putri (2013) dan Purwanto (2016), pemeriksaan penunjang fraktur
mandibular adalah :
a. X-Ray : untuk menentukan luas/lokasi fraktur
b. Scan tulang untuk memperlihatkan fraktur lebih jelas, mengidentifikasi kerusakan
jaringan lunak.
c. Pemeriksaan jumlah darah lengkap : peningkatan leukosit sebagai respon terhadap
peradangan.
d. Arteriografi : dilakukan bila kerusakan vaskuler dicurigai
e. Kreatinin : trauma otot meningkatkan beban untuk klirens ginjal
f. Profil koalugasi : perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah, tranfus atau
cedera hati.
8. Penatalaksanaan
Menurut Purwanto (2016), penatalaksanaan fraktur adalah
a. Reduksi fraktur terbuka atau tertutup : tindakan manipulasi fragmen-fragmen
tulang yang patah sedapat mungkin untuk kembali seperti letak semula
b. Imobilisasi fraktur
c. Dapat dilakukan dengan fiksasi eksterna atau interna
d. Mempertahankan dan mengembalikan atau interna
e. Mempertahankan dan mengembalikan fungsi
a) Reduksi dan imobilisasi harus dipertahankan sesuai kebutuhan
b) Pemberian analgetik untuk mengerangi nyeri
c) Status neurovaskuler (misal:peredaran darah, nyeri, perabaan gerakan)
dipantau
d) Latihan isometric dan setting otot diusahkan untuk meminimalkan atrofi disuse
dan meningkatkan peredaran darah
9. Komplikasi
Menurut Purwanto (2016), Komplikasi yang bisa terjadi pada penderita fraktur antara
lain :
a. Malunion: tulang patah telah sembuh dalam posisi yang tidak seharusnya
b. Deleyed union : proses penyembuhan yang terus berjalan tetapi dengan
kecepatan lebih lambat dari keadaan normal
c. Non Union : tulang yang tidak menyatu kembali
B. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan dalam proses keperawatan, untuk itu
diperlukan kecermatan dan ketelitian tentang masalah-masalah klien sehingga dapat
memberikan arah terhadap tindakan keperawatan. Keberhasilan proses keperawatan
sangat bergantung pada tahap ini. Tahap ini terbagi atas:
a. Pengumpulan Data
a) Anamnese
1) Identitas Klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa yang dipakai,
status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan darah, no.
register, tanggal MRS, diagnosa medis.
2) Keluhan Utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa nyeri. Nyeri
tersebut bisa akut atau kronik tergantung dan lamanya serangan. Untuk
memperoleh pengkajian yang lengkap tentang rasa nyeri pasien digunakan:
 Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi faktor
presipitasi nyeri.
 Quality of Pain: seperti apa nyeri yang dirasakan atau digambarkan
pasien. Apakah terbakar, berdenyut, atau menusuk.
 Region: radiation, relief : apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa sakit
menjalar atau menyebar, dan dimana rasa sakit itu terjadi.
 Severity (Scale) of pain: seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan
pasien, bisa berdasarkan skala nyeri atau klien menerangkan seberapa
jauh rasa sakit mempengaruhi kemampuan fungsinya.
 Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah buruk
pada malam hari atau siang hari.
3) Riwayat Penyakit Sekarang
Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab dari fraktur,
yang nantinya membantu dalam membuat rencana tindakan terhadap klien.
Ini bisa berupa kronologi terjadinya penyakit tersebut sehingga nantinya
bisa ditentukan kekuatan yang terjadi dan bagian tubuh mana yang terkena.
Selain itu, dengan mengetahui mekanisme terjadinya kecelakaan bisa
diketahui luka kecelakaan yang lain.
4) Riwayat Penyakit Dahulu
Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab fraktur dan
memberi petunjuk berapa lama tulang tersebut akan menyambung.
Penyakit-penyakit tertentu seperti kanker tulang dan penyakit paget’s yang
menyebabkan fraktur patologis yang sering sulit untuk menyambung.
Selain itu, penyakit diabetes dengan luka di kaki sangat beresiko terjadinya
osteomyelitis akut maupun kronik dan juga diabetes menghambat proses
penyembuhan tulang.
5) Riwayat Penyakit Keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang merupakan
salah satu faktor predisposisi terjadinya fraktur, seperti diabetes,
osteoporosis yang sering teradi pada beberapa keturunan, dan kanker tulang
yang cenderung diturunkan secara genetik.
6) Riwayat Psikososial
Merupakan respons emosi pasien terhadap penyakit yang diderita dan peran
pasien dalam keluarga dan masyarakat serta respon atau pengaruhnya
dalam kehidupan sehari-harinya baik dalam keluarga ataupun dalam
masyarakat.
7) Pola-Pola Fungsi Kesehatan
 Pola Persepsi dan Tata Laksana Hidup Sehat
Pada kasus fratur akan timbul ketidaktakutan akan terjadinya
kecacatan pada dirinya dan harus menjalani penatalaksanaan kesehatan
untuk membantu penyembuhan tulangnya. Selain itu, pengkajian juga
meliputi kebiasaan hidup klien seperti penggunaan obat steroid yang
dapat menganggu metabolisme kalsium, pengkonsumsial alkohol yang
bisa mengganggu keseimbangannya dan apakah pasien melakukan
olahraga atau tidak.
 Pola Nutrisi dan Metabolisme
Pada klien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi melebihi kebutuhan
sehari-harinya seperti kalsium, zat besi, protein, vit C dan lainnya
untuk membantu proses penyembuhan tulang. Evaluasi terhadap pola
nutrisi pasien bisa membantu menentukan penyebab masalah
muskuloskeletal dan mengantisipasi komplikasi dari nutrisi yang tidak
adekuat terutama kalsium atau protein dan terpapar sinar matahari
yang kurang merupakan faktor oredisposisi masalah muskuloskeletal
terutama pada lansia. Selain itu juga menghambat degenerasi dan
mobilitas pasien.
 Pola Eliminasi
Untuk kasus fraktur mandibula tidak ada gangguan pada pola
eliminasi, tapi walaupun begitu perlu juga untuk dikaji frekuensi,
konsistensi, warna serta bau feses pada pola eliminasi alvi. Sedangkan
pada pola eliminasi uri dikaji frekuensi, kepekatannya, warna, bau, dan
jumlah. Pada kedua pola ini juga dikaji pada kesulitan atau tidak.
 Pola Tidur atau Istirahat
Semua pasien fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan gerak,
sehingga hal ini dapat mengganggu pola dan kebutuhan tidur pasien.
Selain itu juga, pengkajian dilaksanakan pada lamanya tidur, suasana
lingkungan, kebiasaan tidur, dan kesulitan tidur serta penggunaan obat
tidur.
 Pola Aktivitas
Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka semua bentuk
kegiatan pasien menjadi berkurang dan kebutuhan pasien perlu banyak
dibantu oleh orang lain. Hal lain yang perlu dikaji adalah bentuk
aktivitas pasien terutama pekerjaan pasien. Karena ada beberapa
bentuk pekerjaan beresiko untuk terjadinya fraktur dibanding
pekerjaan lain.
 Pola Hubungan dan Peran
Pasien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam
masyarakat. Karena pasien harus menjalani rawat inap.
 Pola Persepsi dan Konsep Diri
Dampak yang timbul pada pasien fraktur yaitu timbul ketakutan
akan kecacatan akibat frakturnya, rasa cemas, rasa ketidakmampuan
untuk melakukan aktivitas secara optimal, dan pandangan terhadap
dirinya yang salah.
 Pola Sensori dan Kognitif
Pada pasien fraktur daya rabanya berkurang teruama pada bagian
distal fraktur, sedang pada indera yang lain tidak timbul gangguan.
Begitu juga pada kognitifnya tidak mengalami gangguan. Selain itu
juga, timbul rasa nyeri akibat fraktur.
 Pola Reproduksi Seksual
Dampak pada pasien fraktur yaitu, pasien tidak bisa melakukan
hubungan seksual karena harus menjalani rawat inap dan keterbatasan
gerak serta nyeri yang dialami pasien. Selain itu juga, perlu dikaji
status perkawinannya termasuk jumlah anak, lama perkawinannya.
 Pola Penanggulangan Stress
Pada pasien fraktur timbul rasa cemas tentang keadaan dirinya, yaitu
ketakutan timbul kecacatan pada diri dan fungsi tubuhnya. Mekanisme
koping yang ditemouh pasien bisa tidak efektif.
 Pola Tata Nilai dan Keyakinan
Untuk pasien fraktur tidak dapat melaksanakan kebutuhan beribadah
dengan baik terutama frekuensi dan konsentrasi. Hal ini bisa
disebabkan karena nyeri dan keterbatasan gerak pasien
b. Pemeriksaan Fisik
Dibagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan umum (status general) untuk mendapatkan
gambaran umum dan pemeriksaan setempat (lokalis). Hal ini perlu untuk dapat
melaksanakan total care karena ada kecenderungan dimana spesialisasi hanya
memperlibatkan daerah yang lebih sempit tetapi lebih mendalam.
a) Gambaran Umum
Perlu menyebutkan :
 Keadaan Umum : baik atau buruknya yang dicatat adalah tanda-tanda vital
seperti :
 Kesadaran penderita : apatis, sopor, koma, gelisah, kompos mentis
tergantung pada keadaan pasien.
 Kesakitan, keadaan penyakit : akut, kronik, ringan, sedang, berat dan
pada kasus fraktur biasanya akut
 Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan baik fungsi
maupun bentuk
 Secara sistemik dari kepala sampai kelamin
 Sistem integumen
Terdapat erytema, suhu sekitar daerah trauma meningkat, bengkak,
oedema, dan nyeri tekan
 Kepala
Tidak ada gangguan yaitu, normo cephalik, simetris, tidak ada
penonjoan, tidak ada nyeri kepala.
 Leher
Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada penonjolan, reflek
menelan dada.
 Wajah
 Wajah terlihat menahan sakit, lain-lain tidak ada perubahan fungsi
maupun bentuk. Tak ada lesi, simetris, tak oedema.
 Mata
Tidak ada gangguan seperti konjugtiva tidak anemis (karena tidak
terjadi perdarahan).
 Telinga
Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal. Tidak ada lesi atau
nyeri tekan.
 Hidung
Tidak ada deformitas, tidak ada pernafasan cuping hidung.
 Mulut dan Faring
Tidak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi perdarahan, mukosa
mulut tidak pucat.
 Thoraks
Tidak ada pergerakan otot intercostae, gerakan dada simetris.
 Paru
 Inspeksi
Pernafasan meningkat, reguler atau tidaknya tergantung pada
riwayat penyakit pasien yang berhubungan dengan paru.
 Palpasi
Pergerakan sama atau simetris, fermitus raba sama.
 Perkusi
Suara ketok sonor, tidak ada redup suara tambahan lainnya.
 Auskultasi
Suara nafas normal, tak ada wheezing, atau suara tambahan
lainnya seperti stridor dan ronchi.
 Jantung
 Inspeksi
Tidak tampak iktus jantung
 Palpasi
Nadi meningkat, iktus tidak teraba
 Auskultasi
 Suara S1 dan S2 tunggal, tidak ada mur-mur
 Abdomen
 Inspeksi
Bentuk datar, simetris, tidak ada hernia
 Palpasi
Turgor baik, tidak ada defands muskuler, hepar tidak teraba.
 Perkusi
Suara thympani, tidak ada pantulan gelombang cairan.
 Auskultasi Peristaltik usus normal kurang lebih 20 kali/menit
 Inguinal-Genetalia-Anus
Tidak ada hernia, tak ada pembesaran limpa, tak ada kesulitan BAB
b) Keadaan Lokal
Harus diperhitungan keadaan proksimal serta bagian distal terutama mengenai
status neurovaskuler. Pemeriksaan pada sistem muskuloskeletal adalah:
1) Look (Inspeksi)
Perhatikan apa yang dapat dilihat antara lain :
 Cicatriks (jaringan parut baik yang alami maupun buatan seperti bekas
operasi).
 Cape au lait spot (birth mark)
 Fistula
 Warna kemerahan atau kebiruan (livide) atau hyperpigmentasi
 Benjolan, pembengkakan, atau cekungan dengan halhal yang tidak
biasa (abnormal)
 Posisi dan bentuk dari ekstremitas (deformitas)
 Posisi jalan (gait, waktu masuk ke kamar periksa)
2) Feel (Palpasi)
Pada waktu akan palpasi, terlebih dahulu posisi penderita diperbaiki mulai
dari posisi netral (posisi anatomi). Pada dasarnya ini merupakan
pemeriksaan yang memberikan informasi dua arah, baik penderita maupun
pemeriksa. Yang perlu dicatat adalah :
 Perubahan suhu sekitar trauma (hangat) dan kelembaban kulit.
Capillary refill time normalnya 3-5 detik.
 Apabila ada pembengkakan, apakah terdapat fluktuasi atau oedema
terutama disekitar persendian.
 Nyeri tekan (tenderness), krepitasi, catat letak kelainan (1/3 proksimal,
tengah, atau distal).
Otot: tonus pada waktu relaksasi atau kontraksi, benjolan yang
terdapat dipermukaan atau melekat pada tulang. Selain itu juga
diperiksa status neurovaskuler. Apabila ada benjolan perlu
dideskripsikan permukaannya, konsistensinya. Pergerakan terhadap
dasar atau permukaannya, nyeri atau tidak, dan ukurannya.
3) Move (pergerakan terutama lingkup gerak)
Setelah melakukan pemeriksaan feel, kemudian diteruskan dengan
menggerakkan ekstremitas dan dicatat apakah terdapat keluhan nyeri pada
pergerakan. Pencatatan lingkup gerak ini perlu, agar dapat mengevaluasi
keadaan sebelum dan sesudahnya. Gerakan sendi dicatat dengan ukuran
derajat, dari tiap arah pergerakan mulai dari titik 0 (posisi netral) atau
dalam ukuran metrik. Pemeriksaan ini menentukan apakah gangguan
gerak (mobilitas) atau tidak. Pergerakan yang dilihat adalah gerakan aktif
dan pasif.
2. Diagnosa Keperawatan
a. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik
b. Perfusi perifer tidak efektif berhubungan dengan penurunan aliran arteri atau vena
c. Gangguan Mobilitas Fisik berhubungan dengan kerusakan integeritas tulang
3. Rencana Keperawatan

No Diagnosa Tujuan Intervensi


DX

1 Nyeri akut berhubungan Setelah dilakukan MANAJEMEN NYERI (I. 08238)


dengan agen pencedera intervensi selama Observasi
fisik diharapkan tingkat nyeri  lokasi, karakteristik, durasi,
membaik dengan kriteria frekuensi, kualitas, intensitas nyeri
hasil:  Identifikasi skala nyeri
 Identifikasi respon nyeri non verbal
a. Keluhan nyeri
 Identifikasi faktor yang
menurun (5)
memperberat dan memperingan
b. Gelisah menurun nyeri
 Identifikasi pengetahuan dan
keyakinan tentang nyeri
 Identifikasi pengaruh budaya
terhadap respon nyeri
 Identifikasi pengaruh nyeri pada
kualitas hidup
 Monitor keberhasilan terapi
komplementer yang sudah diberikan
 Monitor efek samping penggunaan
analgetik
Terapeutik
 Berikan teknik nonfarmakologis
untuk mengurangi rasa nyeri (mis.
TENS, hypnosis, akupresur, terapi
musik, biofeedback, terapi pijat,
aroma terapi, teknik imajinasi
terbimbing, kompres hangat/dingin,
terapi bermain)
 Control lingkungan yang
memperberat rasa nyeri (mis. Suhu
ruangan, pencahayaan, kebisingan)
 Fasilitasi istirahat dan tidur
 Pertimbangkan jenis dan sumber
nyeri dalam pemilihan strategi
meredakan nyeri
Edukasi
 Jelaskan penyebab,
periode, dan pemicu nyeri
 Jelaskan strategi
meredakan nyeri
 Anjurkan memonitor
nyeri secara mandiri
 Anjurkan menggunakan
analgetik secara tepat
 Ajarkan teknik
nonfarmakologis untuk mengurangi
rasa nyeri
Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian
analgetik, jika perlu

2 Perfusi perifer tidak Setelah dilakukan  PERAWATAN SIRKULASI


efektif berhubungan intervensi selama 3 x 24 (I.02079)

dengan penurunan aliran jam, diharapkan perfusi Observasi


arteri atau vena perifer meningkat dengan  Periksa sirkulasi perifer(mis. Nadi
kriteria hasil: perifer, edema, pengisian kalpiler,
warna, suhu, angkle brachial index)
a. Penyembuhan luka
 Identifikasi faktor resiko gangguan
meningkat (5)
b. Warna kulit pucat sirkulasi (mis. Diabetes, perokok,
menurun (5) orang tua, hipertensi dan kadar
kolesterol tinggi)
c. Edema perifer
 Monitor panas, kemerahan, nyeri,
menurun (5) atau bengkak pada ekstremitas

d. Akral dan turgor Terapeutik


kulit membaik (5)  Hindari pemasangan infus atau
pengambilan darah di area
keterbatasan perfusi

 Hindari pengukuran tekanan darah


pada ekstremitas pada keterbatasan
perfusi

 Hindari penekanan dan pemasangan


torniquet pada area yang cidera

 Lakukan pencegahan infeksi

 Lakukan perawatan kaki dan kuku

 Lakukan hidrasi

Edukasi

 Anjurkan berhenti merokok

 Anjurkan berolahraga rutin

 Anjurkan mengecek air mandi untuk


menghindari kulit terbakar

 Anjurkan menggunakan obat


penurun tekanan darah,
antikoagulan, dan penurun
kolesterol, jika perlu

 Anjurkan minum obat pengontrol


tekakan darah secara teratur

 Anjurkan menghindari penggunaan


obat penyekat beta

 Ajurkan melahkukan perawatan


kulit yang tepat(mis. Melembabkan
kulit kering pada kaki)

 Anjurkan program rehabilitasi


vaskuler

 Anjurkan program diet untuk


memperbaiki sirkulasi( mis. Rendah
lemak jenuh, minyak ikan, omega3)

 Informasikan tanda dan gejala


darurat yang harus dilaporkan( mis.
Rasa sakit yang tidak hilang saat
istirahat, luka tidak sembuh,
hilangnya rasa)

3 Gangguan Mobilitas Setelah dilakukan asuhan Dukungan mobilisasi


Fisik berhubungan keperawatan selama 3 kali Observasi
dengan kerusakan 24 jam, maka diharapkan  Identifikasi adanya nyeri atau
integeritas tulang gangguan mobilitas fisik keluhan fisik pasien
dapat teratasi, dengan  Monitor tekenan darah pasien
kriteria hasil : sebelum memulai mobilitas
1) Pergerakan  Monitor keadaan umum pasien
ekstermitas pasien selama melakukan mobilisasi
meningkat Terapeutik
2) Kekuatan otot  Ajarkan dan dukung pasien
pasien meningkat dalam gerak (ROM) aktif dan
3) Rentang gerak pasif menurunkan kekakuan
(ROM) pasien sendi dan mempertahankan atau
meningkat meningkatkan kekuatan serta
4) Nyeri menurun ketahan otot.
5) Gerakan terbatas  Libatkan keluarga untuk
menurun membantu pasien dalam
meningkatkan pergerakan.
 Fasilitasi alat bantu (misal:
Kursi roda atau tongkat) untuk
mobilisasi pasien jika tidak
stabil
Edukasi
 Jelaskan tujuan dan prosedur
mobilisasi
 Anjurkan melakukan mobilisasi
dini
 Ajarkan mobilisasi sederhana
yang harus dilakukan
(misal:duduk di tempat tidur,
dan berpindah dari tempat duduk
dan kursi).
Daftar Pustaka

Arafah, Musa., K, Martiana, I. (2019). Laporan Kasus: Fraktur Tibual Plateu Posterior:
Klasifikasi Three Column Consept dan Tantangan Approach Operasi. Jurnal Saintika Medika
Vol 15 No (1)

Cahyanti, Lilis Nur. Laporan Asuhan Keperawatan Pada Sdr S dengan Fraktur Mandibula di
Rumah Sakit Saiful Anwar Malang Ruang 17 Bedah. Universitas Muhamdiyyah: Malang

Hakim, A. H., & Adhani, R. (2016). Deskripsi Fraktur Mandibula pada Pasien Rumah Sakit
Umum Daerah Ulin Banjarmasih Periode Juli 2013 -Juli 2014. Vol I. No 2. September 2016,
192.

Helmi, Z. (2014). Buku Ajar Gangguan Muskulokeletal. Jakarta: Salemba Medika

Helmi, Z. (2012). Buku Saku Kedaruratan di Bidang Bedah Ortopedi. Jakarta: Salemba Medika.

Helmi, Z. (2016). Buku Ajar Gangguan Muskuloskeletal Ed.2. Jakarta : Salemba Medika.

PPNI (2016). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia: Definisi dan Indikator Diagnostik,
edisi 1. Jakarta: DPP PPNI

PPNI (2016). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia: Definisi dan Tindakan Keperawtaan,
edisi 1. Jakarta: DPP PPNI

PPNI (2016). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia: Definisi dan Kriteria Hasil
Keperawatan, edisi 1. Jakarta: DPP PPNI

Purwanto, Hadi. (2016). Keperawatan Medikal Bedah II. Jakarta : Kemenkes

Wijaya & Putri. (2013). Pemeriksaan Penunjang Pada Pasien Fraktur Mandibula. Jurnal
Kedokteran dan Kesehatan Vol. 4 No. 2 Tahun 2013, 156.

Anda mungkin juga menyukai