Anda di halaman 1dari 40

Daftar Undang-Undang

1. UU RI NO. 36 TAHUN 2009


2. UU RI NO. 5 TAHUN 1997
3. UU RI NO. 8 TAHUN 1999
4. UU RI NO. 35 TAHUN 2009
5. UU RI NO. 44 TAHUN 2009
6. UU RI NO. 36 TAHUN 2014
7. UU RI NO. 32 TAHUN 2004
8. UU RI NO. 13 TAHUN 2003
9. REGLEMENT DVG ST 1882 TAHUN 1949
10. ORDONANSI OBAT KERAS

ANATOMI UNDANG-UNDANG NO. 36 TAHUN 2009

ASPEK UU NO. 36 TAHUN 2009

Judul Kesehatan

Latar Belakang / a. Bahwa kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu
Alasan Diterbitkan unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-
cita bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pancasila
dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;
b. bahwa setiap kegiatan dalam upaya untuk memelihara dan
meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-
tingginya dilaksanakan berdasarkan prinsip nondiskriminatif,
partisipatif, dan berkelanjutan dalam rangka pembentukan
sumber daya manusia Indonesia, serta peningkatan ketahanan
dan daya saing bangsa bagi pembangunan nasional;
c. bahwa setiap hal yang menyebabkan terjadinya gangguan
kesehatan pada masyarakat Indonesia akan menimbulkan
kerugian ekonomi yang besar bagi negara, dan setiap upaya
peningkatan derajat kesehatan masyarakat juga berarti investasi
bagi pembangunan negara;
d. bahwa setiap upaya pembangunan harus dilandasi dengan
wawasan kesehatan dalam arti pembangunan nasional harus
memperhatikan kesehatan masyarakat dan merupakan tanggung
jawab semua pihak baik Pemerintah maupun masyarakat;
e. bahwa Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang
Kesehatan sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan,
tuntutan, dan kebutuhan hukum dalam masyarakat sehingga
perlu dicabut dan diganti dengan Undang-Undang tentang
Kesehatan yang baru;
f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e perlu
membentuk Undang-Undang tentang Kesehatan;

1. Pasal 20, Pasal 28H ayat (1), dan Pasal 34 ayat (3) Undang-
Dasar Hukum Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

Pasal 1
Definisi : Kesehatan, Sumber daya, Perbekalan kesehatan, Sediaan
farmasi, Alat kesehatan, Tenaga kesehatan, Fasilitas pelayanan
kesehatan, Obat, Obat Tradisional, Teknologi kesehatan, Upaya
Ketentuan Umum kesehatan, Pelayanan kesehatan promotif, Pelayanan kesehatan
preventif, Pelayanan kesehatan kuratif, Pelayanan kesehatan
rehabilitatif, Pelayanan kesehatan tradisional, Pemerintah Pusat,
Pemerintah daerah, Menteri.

Meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi


setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-
Tujuan tingginya, sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya manusia
yang produktif secara sosial dan ekonomis.

Materi Muatan / 1. Ketentuan Umum


Aspek yang Diatur 2. Asas dan Tujuan
3. Hak dan Kewajiban
4. Tanggung Jawab Pemerintah
5. Sumber Daya di Bidang Kesehatan (Tenaga Kesehatan,
Fasilitas Pelayanan Kesehatan, Perbekalan Kesehatan,
Teknologi dan Produk Teknologi)
6. Upaya Kesehatan (Umum, Pelayanan Kesehatan : Pemberian
Pelayanan, Perlindungan Pasien., Pelayanan Kesehatan
Tradisional, Peningkatan Kesehatan dan Pencegahan Penyakit,
Penyembuhan Penyakit dan Pemulihan Kesehatan, Kesehatan
Reproduksi, Keluarga Berencana, Kesehatan Sekolah,
Kesehatan Olahraga, Pelayanan Kesehatan Pada Bencana,
Pelayanan Darah, Kesehatan Gigi dan Mulut, Penanggulangan
Gangguan Penglihatan dan Gangguan Pendengaran, Kesehatan
Matra, Pengamanan dan Penggunaan Sediaan Farmasi dan Alat
Kesehatan, Pengamanan Makanan dan Minuman, Pengamanan
Zat Adiktif, Bedah Mayat)
7. Kesehatan Ibu, Bayi, Anak, Lansia, dan Penyandang Cacat
(Kesehatan ibu, bayi, dan anak, Kesehatan Remaja, Kesehatan
Lanjut Usia dan Penyandang Cacat)
8. Gizi
9. Kesehatan Jiwa
10. Penyakit Menular dan Tidak Menular
11. Kesehatan Lingkungan
12. Kesehatan Kerja
13. Pengelolaan Kesehatan
14. Informasi Kesehatan
15. Pembiayaan Kesehatan
16. Peran Serta Masyarakat
17. Badan Pertimbangan Kesehatan (Nama dan Kedudukan, Peran,
Tugas, dan Wewenang)
18. Pembinaan dan Pengawasan
19. Penyidikan
20. Ketentuan Pidana
21. Ketentuan Peralihan
22. Ketentuan Penutup

Kesehatan, Sumber daya, Perbekalan kesehatan, Sediaan farmasi, Alat


kesehatan, Tenaga kesehatan, Fasilitas pelayanan kesehatan, Obat,
Obat Tradisional, Teknologi kesehatan, Upaya kesehatan, Pelayanan
kesehatan promotif, Pelayanan kesehatan preventif, Pelayanan
kesehatan kuratif, Pelayanan kesehatan rehabilitatif, Pelayanan
kesehatan tradisional, Tenaga Kesehatan, Fasilitas Pelayanan
Materi Farmasi Kesehatan, Perbekalan Kesehatan, Teknologi dan Produk Teknologi,
Pemberian Pelayanan, Perlindungan Pasien., Pelayanan Kesehatan
Tradisional, Peningkatan Kesehatan dan Pencegahan Penyakit,
Reproduksi, Keluarga Berencana, Pengamanan dan Penggunaan
Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan, Pengamanan Makanan dan
Minuman, Pengamanan Zat Adiktif.

Sanksi 1. Pasal 190


1) Pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga
kesehatan yang melakukan praktik atau pekerjaan pada fasilitas
pelayanan kesehatan yang dengan sengaja tidak memberikan
pertolongan pertama terhadap pasien yang dalam keadaan
gawat darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2)
atau Pasal 85 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling
lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp200.000.000,00
(dua ratus juta
rupiah).
2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mengakibatkan terjadinya kecacatan atau kematian, pimpinan
fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan
tersebut dipidana dengan pidana penjara paling lama 10
(sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00
(satu miliar rupiah).

2. Pasal 191
Setiap orang yang tanpa izin melakukan praktik pelayanan
kesehatan tradisional yang menggunakan alat dan teknologi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1) sehingga
mengakibatkan kerugian harta benda, luka berat atau kematian
dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan
denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

3. Pasal 196
Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau
mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang
tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan keamanan,
khasiat atau kemanfaatan, dan mutu sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 98 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling
banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

4. Pasal 197
Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau
mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang
tidak memiliki izin edar sebagaimana dimaksud dalam Pasal
106 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 15
(lima belas) tahun dan denda paling banyak
Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).

5. Pasal 198
Setiap orang yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan
untuk melakukan praktik kefarmasian sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 108 dipidana dengan pidana denda paling banyak
Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

6. Pasal 201
1) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal
190 ayat (1), Pasal 191, Pasal 192, Pasal 196, Pasal 197, Pasal
198, Pasal 199, dan Pasal 200 dilakukan oleh korporasi, selain
pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya, pidana yang
dapat dijatuhkan terhadap korporasi berupa pidana denda
dengan pemberatan 3 (tiga) kali dari pidana denda sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 190 ayat (1), Pasal 191, Pasal 192, Pasal
196 , Pasal 197, Pasal 198, Pasal 199, dan Pasal 200.
2) Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
korporasi dapat dijatuhi pidana tambahan berupa:
a. pencabutan izin usaha; dan/atau
b. pencabutan status badan hukum

Aturan Peralihan / 1. Pasal 202


Penutup Peraturan Perundang-undangan sebagai pelaksanaan Undang-
Undang ini ditetapkan paling lambat 1 (satu) tahun sejak tanggal
pengundangan Undang-Undang ini.

2. Pasal 203
Pada saat Undang-Undang ini berlaku, semua peraturan
pelaksanaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang
Kesehatan dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak
bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.

3. Pasal 204
Pada saat Undang-Undang ini berlaku, Undang-Undang Nomor 23
Tahun 1992 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1992 Nomor 100, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3495) dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku.

4. Pasal 205
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia.

ANATOMI UU RI NO. 5 TAHUN 1997

ASPEK UU RI NO. 5 TAHUN 1997

Judul Psikotropika

a. bahwa pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan


Latar Belakang / suatu masyarakat adil dan makmur yang merata materiil dan
Alasan Diterbitkan spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
1945 dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
merdeka, berdaulat, bersatu, dan berkedaulatan rakyat dalam
suasana peri kehidupan bangsa yang aman, tenteram, tertib, dan
dinamis dalam lingkungan pergaulan dunia yang merdeka, adil,
bersahabat, dan damai;
b. bahwa untuk mewujudkan tujuan pembangunan nasional
tersebut, perlu dilakukan upaya secara berkelanjutan di segala
bidang, antara lain pembangunan kesejahteraan rakyat,
termasuk kesehatan, dengan memberikan perhatian terhadap
pelayanan kesehatan, dalam hal ini ketersediaan dan
pencegahan penyalahgunaan obat serta pemberantasan
peredaran gelap, khususnya psikotropika;
c. bahwa psikotropika sangat bermanfaat dan diperlukan untuk
kepentingan pelayanan kesehatan dan ilmu pengetahuan, maka
ketersediaannya perlu dijamin;
d. bahwa penyalahgunaan psikotropika dapat merugikan
kehidupan manusia dan kehidupan bangsa, sehingga pada
gilirannya dapat mengancam ketahanan nasional;
e. bahwa makin pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan dan tekno-
logi, transportasi, komunikasi, dan informasi telah mengakibat-
kan gejala meningkatnya peredaran gelap psikotropika yang
makin meluas serta berdimensi internasional;
f. bahwa sehubungan dengan pertimbangan tersebut di atas, di-
pandang perlu menetapkan Undang-undang tentang Psiko-
tropika;

1. Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Dasar


1945;
2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan
(Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 100, Tambahan
Dasar Hukum Lembaran Negara Nomor 3495);
3. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1996 tentang Pengesahan
Convention on Psychotropic Substances 1971 (Konvensi
Psikotropika 1971) (Lembaran Negara Tahun 1996 Nomor 100,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3657);

Pasal 1
Definisi : Psikotropika, Pabrik obat, Produksi, Kemasan Psikotropika,
Ketentuan Umum Peredaran, Perdagangan, Pedagang Besar Farmasi, Pengangkutan,
Dokumen, Transito, Penyerahan, Lembaga Penelitian/Pendidikan,
Korporasi, Menteri.
a. menjamin ketersediaan psikotropika guna kepentingan
pelayanan kesehatan dan ilmu pengetahuan;
Tujuan b. mencegah terjadinya penyalahgunaan psikotropika;
c. memberantas peredaran gelap psikotropika

23. Ruang Lingkup dan Tujuan


24. Produksi
25. Peredaran (Umum, Penyaluran, Penyerahan)
26. Ekspor dan Impor (Surat persetujuan ekspor dan persetujuan
impor, Transito, Pemeriksaan)
27. Label dan Iklan
28. Kebutuhan Tahunan dan Pelaporan
Materi Muatan /
29. Pengguna Psikotropika dan Rehabilitasi
Aspek yang Diatur
30. Pemantauan Prekursor
31. Pembinaan dan Pengawasan
32. Pemusnahan
33. Peran Serta Masyarakat
34. Penyidikan
35. Ketentuan Pidana

Materi Farmasi 1. Ruang Lingkup dan Tujuan


a. Digolongkan menjadi 4 golongan, psiko digunakan
untuk yankes dan ilmu pengetahuan, gol. 1 hanya untuk
ilmu pengetahuan
2. Produksi
a. Gol. 1 dilarang diproduksi / digunakan pada proses
produksi
3. Peredaran
a. Umum : syarat, tatacara pendaftaran, peredaran
ditetapkan menteri,
b. Penyaluran : dilakukan oleh pabrik obat, PBF, dan
sarana penyimpanan sed. Farmasi.
c. Penyerahan : dilakukan oleh apotek, RS, puskesmas,
balai pengobatan, dan dokter
4. Ekspor dan Impor (Surat persetujuan ekspor dan persetujuan
impor, Transito, Pemeriksaan)
5. Label dan Iklan
a. Psikotropika hanya dapat diiklankan pada media cetak
ilmiah kedokteran dan/atau media cetak ilmiah farmasi.
Syarat materi iklan diatur menteri
6. Kebutuhan Tahunan dan Pelaporan
7. Pengguna Psikotropika dan Rehabilitasi
8. Pemantauan Prekursor
9. Pembinaan dan Pengawasan
10. Pemusnahan
11. Peran Serta Masyarakat
12. Penyidikan
13. Ketentuan Pidana

Pasal 59
Sanksi 1. Barangsiapa :
a. menggunakan psikotropika golongan I selain dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (2) ; atau
b. memproduksi dan/atau menggunakan dalam proses produksi
psikotropika golongan I sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6;
atau
c. mengedarkan psikotropika golongan I tidak memenuhi ke-
tentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3); atau
d. mengimpor psikotropika golongan I selain untuk kepentingan
ilmu pengetahuan; atau
e. secara tanpa hak memiliki, menyimpan dan/atau membawa
psikotropika golongan I.dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 4 (empat) tahun, paling lama 15 (lima belas)
tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 150.000.000,00
(seratus lima puluh juta rupiah), dan paling banyak Rp.
750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).
2. Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
secara terorganisasi dipidana dengan pidana mati atau pidana
penjara seumur hidup atau pidana penjara selama 20 (dua puluh)
tahun dan pidana denda sebesar Rp. 750.000.000,00 (tujuh ratus
lima puluh juta rupiah).
3. Jika tindak pidana dalam pasal ini dilakukan oleh korporasi, maka
di samping dipidananya pelaku tindak pidana, kepada korporasi
dikenakan pidana denda sebesar Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar
rupiah).

Pasal 60
1. Barangsiapa :
a. memproduksi psikotropika selain yang ditetapkan dalam
ketentuan Pasal 5; atau
b. memproduksi atau mengedarkan psikotropika dalam bentuk
obat yang tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7; atau
c. memproduksi atau mengedarkan psikotropika yang berupa obat
yang tidak terdaftar pada departemen yang bertanggung jawab
di bidang kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat
(1); dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas)
tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua
ratus juta rupiah).
2. Barangsiapa menyalurkan psikotropika selain yang ditetapkan
dalam Pasal 12 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling
lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling banyak
Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
3. Barangsiapa menerima penyaluran psikotropika selain yang
ditetapkan dalam Pasal 12 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara
paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling banyak Rp.
60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
4. Barangsiapa menyerahkan psikotropika selain yang ditetapkan
dalam Pasal 14 ayat (1), Pasal 14 ayat (2), Pasal 14 ayat (3), dan
Pasal 14 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3
(tiga) tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 60.000.000,00
(enam puluh juta rupiah).
5. Barangsiapa menerima penyerahan psikotropika selain yang
ditetapkan dalam Pasal 14 ayat (3), Pasal 14 ayat (4) dipidana
dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda
paling banyak Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
Apabila yang menerima penyerahan itu pengguna, maka dipidana
dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) bulan.

Pasal 61
1. Barangsiapa :
a. mengekspor atau mengimpor psikotropika selain yang
ditentukan dalam Pasal 16, atau
b. mengekspor atau mengimpor psikotropika tanpa surat
persetujuan ekspor atau surat persetujuan impor sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17; atau
c. melaksanakan pengangkutan ekspor atau impor psikotropika
tanpa dilengkapi dengan surat persetujuan ekspor atau surat
persetujuan impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat
(3) atau Pasal 22 ayat (4); dipidana dengan pidana penjara
paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling
banyak Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
2. Barangsiapa tidak menyerahkan surat persetujuan ekspor kepada
orang yang bertanggung jawab atas pengangkutan ekspor
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) atau Pasal 22 ayat
(2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan
pidana denda paling banyak Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta
rupiah).
Pasal 62
Barangsiapa secara tanpa hak, memiliki, menyimpan dan/atau
membawa psikotropika dipidana dengan pidana penjara paling lama 5
(lima) tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 100.000.000,00
(seratus juta rupiah).

Pasal 63
1. Barangsiapa:
a. melakukan pengangkutan psikotropika tanpa dilengkapi
dokumen pengangkutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
10; atau
b. melakukan perubahan negara tujuan ekspor yang tidak
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24;
atau
c. melakukan pengemasan kembali psikotropika tidak memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25; dipidana
dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana
denda paling banyak Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta
rupiah).
2. Barangsiapa :
a. tidak mencantumkan label sebagaimana dimaksud dalam Pasal
29 ; atau
b. mencantumkan tulisan berupa keterangan dalam label yang
tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
30 ayat (1); atau
c. mengiklankan psikotropika selain yang ditentukan sebagai-
mana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1); atau
d. melakukan pemusnahan psikotropika tidak sesuai dengan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (2) atau
Pasal 53 ayat (3); dipidana dengan pidana penjara paling lama 5
(lima) tahun dan pidana denda paling banyak Rp.
100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Pasal 64
Barangsiapa :
a. menghalang-halangi penderita sindroma ketergantungan untuk
menjalani pengobatan dan/atau perawatan pada fasilitas
rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37; atau
b. menyelenggarakan fasilitas rehabilitasi yang tidak memiliki
izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (3); dipidana
dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pi-
dana denda paling banyak Rp. 20.000.000,00 (dua puluh juta
rupiah).

Pasal 65
Barangsiapa tidak melaporkan adanya penyalahgunaan dan/atau
pemilikan psikotropika secara tidak sah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 54 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu)
tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 20.000.000,00 (dua
puluh juta rupiah).

Pasal 66
Saksi dan orang lain yang bersangkutan dengan perkara psikotropika
yang sedang dalam pemeriksaan di sidang pengadilan yang menyebut
nama, alamat atau hal-hal yang dapat terungkapnya identitas pelapor
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1), dipidana dengan
pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun.

Pasal 67
1. Kepada warga negara asing yang melakukan tindak pidana
psikotropika dan telah selesai menjalani hukuman pidana
dengan putusan pengadilan sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun
sebagai-mana diatur dalam undang-undang ini dilakukan
pengusiran keluar wilayah negara Republik Indonesia.
2. Warga negara asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
kembali ke Indonesia setelah jangka waktu tertentu sesuai
dengan putusan pengadilan.

Pasal 68
Tindak pidana di bidang psikotropika sebagaimana diatur dalam
undang-undang ini adalah kejahatan.

Pasal 69
Percobaan atau perbantuan untuk melakukan tindak pidana
psikotropika sebagaimana diatur dalam undangundang ini dipidana
sama dengan jika tindak pidana tersebut dilakukan.

Pasal 70
Jika tindak pidana psikotropika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60,
Pasal 61, Pasal 62, Pasal 63, dan Pasal 64 dilakukan oleh korporasi,
maka disamping dipidananya pelaku tindak pidana, kepada korporasi
dikenakan pidana denda sebesar 2 (dua) kali pidana denda yang
berlaku untuk tindak pidana tersebut dan dapat dijatuhkan pidana
tambahan berupa pencabutan izin usaha.

Pasal 71
1. Barangsiapa bersekongkol atau bersepakat untuk melakukan,
melaksanakan, membantu, menyuruh turut melakukan,
mengan-jurkan atau mengorganisasikan suatu tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60, Pasal 61, Pasal 62, atau
Pasal 63 dipidana sebagai permufakatan jahat.
2. Pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dipidana dengan ditambah sepertiga pidana yang berlaku untuk
tindak pidana tersebut.

Pasal 72
Jika tindak pidana psikotropika dilakukan dengan menggunakan anak
yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah atau
orang yang di bawah pengampuan atau ketika melakukan tindak pidana
belum lewat dua tahun sejak selesai menjalani seluruhnya atau
sebagian pidana penjara yang dijatuhkan kepadanya, ancaman pidana
ditambah sepertiga pidana yang berlaku untuk tindak pidana tersebut.

Pasal 73
Semua peraturan perundang-undangan yang mengatur psikotropika
masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan/atau belum
Aturan Peralihan / diganti dengan peraturan yang baru berdasarkan undang-undang ini.
Penutup
Pasal 74
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

ANATOMI UU RI NO. 8 TAHUN 1999

ASPEK UU RI NO. 8 TAHUN 1999

Judul Perlindungan Konsumen

a. untuk meningkatkan harkat dan martabat konsumen perlu


meningkatkan kesadaran, pengetahuan, kepedulian,
kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi
Latar Belakang / dirinya serta menumbuhkembangkan sikap pelaku usaha yang
Alasan Diterbitkan bertanggung jawab
b. ketentuan hukum yang melindungi kepentingan konsumen di
Indonesia belum memadai

1. Pasal 5 Ayat (1), Pasal 21 Ayat (1), Pasal 27, dan Pasal 33
Dasar Hukum Undang-Undang Dasar 1945

Pasal 1
Definisi : Perlindungan Konsumen, Konsumen, Pelaku Usaha, Barang,
Jasa, Promosi, Impor Barang, Impor Jasa, Lembaga Perlindungan
Ketentuan Umum Konsumen Swadaya Masyarakat, Klausua Baku, Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen, Badan Perlindungan Konsumen Nasional,
Menteri.

a. meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian


Tujuan konsumen untuk melindungi diri;
b. mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara
menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang
dan/atau jasa;
c. meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih,
menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen;
d. menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung
unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses
untuk mendapatkan informasi;
e. menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya
perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan
bertanggungjawab dalam berusaha;
f. meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin
kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan,
kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.

36. Hak dan Kewajiban (Hak dan Kewajiban Konsumen, Hak dan
Kewajiban Pelaku Usaha)
37. Perbuatan yang Dilarang Bagi Pelaku Usaha
38. Ketentuan Pencantuman Klausula Baku
39. Tanggung Jawab Pelaku Usaha
40. Pembinaan dan Pengawasan (Pembinaan, Pengawasan)
41. Badan Perlindungan Konsumen Nasional (Nama Kedudukan
Materi Muatan /
Fungsi dan Tugas, Susunan Organisasi dan Keanggotaan)
Aspek yang Diatur
42. Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat
43. Penyelesaian Sengketa ( Umum, Penyelesaian Sengketa di luar
Pengadilan, Penyelesaian Sengketa Melalui Pengadilan)
44. Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen
45. Penyidikan
46. Sanksi (Sanksi Administratif, Sanksi Pidana)

1. Hak dan Kewajiban (Hak dan Kewajiban Konsumen, Hak dan


Kewajiban Pelaku Usaha)
2. Perbuatan yang Dilarang Bagi Pelaku Usaha
3. Ketentuan Pencantuman Klausula Baku
4. Tanggung Jawab Pelaku Usaha
5. Pembinaan dan Pengawasan (Pembinaan, Pengawasan)
6. Badan Perlindungan Konsumen Nasional (Nama Kedudukan
Materi Farmasi Fungsi dan Tugas, Susunan Organisasi dan Keanggotaan)
7. Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat
8. Penyelesaian Sengketa ( Umum, Penyelesaian Sengketa di luar
Pengadilan, Penyelesaian Sengketa Melalui Pengadilan)
9. Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen
10. Penyidikan
11. Sanksi (Sanksi Administratif, Sanksi Pidana)

Sanksi Administratif
Sanksi Pasal 60
1. Badan penyelesaian sengketa konsumen berwenang
menjatuhkan sanksi administratif terhadap pelaku usaha yang
melanggar Pasal 19 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 20, Pasal 25,
dan Pasal 26.
2. Sanksi administratif berupa penetapan ganti rugi paling banyak
Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
3. Tata cara penetapan sanksi administratif sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dalam peraturan
perundang-undangan.
Sanksi Pidana
Pasal 61
1. Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15,
Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, ayat (2), dan
Pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima)
tahun atau pidana denda paling banyak Rp.2.000.000.000,00
(dua miliar rupiah).
2. Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13 ayat (1), Pasal 14, Pasal 16
dan Pasal 17 ayat (1) huruf d dan huruf f dipidana dengan
pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda
paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
3. Terhadap pelanggaran yang mengakibatkan luka berat, sakit
berat, cacat tetap atau kematian diberlakukan ketentuan pidana
yang berlaku. Terhadap sanksi pidana sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 62, dapat dijadikan hukuman tambahan, berupa:
a. perampasan barang tertentu;
b. pengumuman keputusan hakim;
c. pembayaran ganti rugi;
d. perintah penghentian kegiatan tertentu yang
menyebabkan timbulnya kerugian konsumen;
e. kewajiban penarikan barang dari peredaran; atau
f. pencabutan izin usaha.

Pasal 64
Segala ketentuan peraturan perundang-undangan yang bertujuan
melindungi konsumen yang telah ada pada saat Undang-undang ini
diundangkan, dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak diatur secara
khusus dan/atau tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-
Aturan Peralihan / undang ini.
Penutup
Pasal 65
Undang-undang ini mulai berlaku setelah 1 (satu) tahun sejak
diundangkan.

ANATOMI UU RI NO. 35 TAHUN 2009

ASPEK UU RI NO. 35 TAHUN 2009

Judul Narkotika
a. bahwa untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang
sejahtera, adil dan makmur yang merata materiil dan spiritual
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, kualitas sumber daya manusia
Indonesia sebagai salah satu modal pembangunan nasional
perlu dipelihara dan ditingkatkan secara terus-menerus,
termasuk derajat kesehatannya;
b. bahwa untuk meningkatkan derajat kesehatan sumber daya
manusia Indonesia dalam rangka mewujudkan kesejahteraan
rakyat perlu dilakukan upaya peningkatan di bidang pengobatan
dan pelayanan kesehatan, antara lain dengan mengusahakan
ketersediaan Narkotika jenis tertentu yang sangat dibutuhkan
sebagai obat serta melakukan pencegahan dan pemberantasan
bahaya penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan
Prekursor Narkotika;
c. bahwa Narkotika di satu sisi merupakan obat atau bahan yang
bermanfaat di bidang pengobatan atau pelayanan kesehatan dan
pengembangan ilmu pengetahuan dan di sisi lain dapat pula
menimbulkan ketergantungan yang sangat merugikan apabila
disalahgunakan atau digunakan tanpa pengendalian dan
Latar Belakang / pengawasan yang ketat dan saksama;
Alasan Diterbitkan d. bahwa mengimpor, mengekspor, memproduksi, menanam,
menyimpan, mengedarkan, dan/atau menggunakan Narkotika
tanpa pengendalian dan pengawasan yang ketat dan saksama
serta bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
merupakan tindak pidana Narkotika karena sangat merugikan
dan merupakan bahaya yang sangat besar bagi kehidupan
manusia, masyarakat, bangsa, dan negara serta ketahanan
nasional Indonesia;
e. bahwa tindak pidana Narkotika telah bersifat transnasional
yang dilakukan dengan menggunakan modus operandi yang
tinggi, teknologi canggih, didukung oleh jaringan organisasi
yang luas, dan sudah banyak menimbulkan korban, terutama di
kalangan generasi muda bangsa yang sangat membahayakan
kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara sehingga Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika sudah tidak
sesuai lagi dengan perkembangan situasi dan kondisi yang
berkembang untuk menanggulangi dan memberantas tindak
pidana tersebut;
f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e, perlu
membentuk Undang-Undang tentang Narkotika;
1. Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 Undang-Undang Dasar Negara
Dasar Hukum Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1976 tentang Pengesahan
Konvensi Tunggal Narkotika 1961 beserta Protokol Tahun
1972 yang Mengubahnya (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1976 Nomor 36, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3085);
3. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1997 tentang Pengesahan
United Nations Convention Against Illicit Traffic in Narcotic
Drugs and Psychotropic Substances, 1988 (Konvensi
Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Pemberantasan Peredaran
Gelap Narkotika dan Psikotropika, 1988) (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 17, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3673);

Pasal 1
Definisi : Narkotika, Prekursor Narkotika, Produksi, Impor, Ekspor,
Peredaran Gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika, Surat Persetujuan
Ketentuan Umum Impor, Surat Persetujuan Ekspor, Pengangkutan, PBF, Industri
Farmasi, Transito Narkotika, Pecandu Narkotika, Ketergantungan
Narkotika, Penyalah Guna, Rehabilitasi Medis, Rehabilitasi Sosial,
Permufakatan Jahat, Penyadapan, Kejahatan Terorganisasi, Korporasi,
Menteri.
a. menjamin ketersediaan Narkotika untuk kepentingan pelayanan
kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi;
b. mencegah, melindungi, dan menyelamatkan bangsa Indonesia
Tujuan dari penyalahgunaan Narkotika;
c. memberantas peredaran gelap Narkotika dan Prekursor
Narkotika; dan
d. menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan social bagi
Penyalah Guna dan pecandu Narkotika.

1. Dasar, Asas dan Tujuan


2. Ruang Lingkup
3. Pengadaan (Rencana Kebutuhan Tahunan, Produksi, Narkotika
untuk IPTEK, Penyimpanan dan Pelaporan, )
4. Impor dan Ekspor (Izin Khusus dan Surat Persetujuan Impor,
Izin Khusus dan Surat Persetujuan Ekspor, Pengangkutan,
Transito, Pemeriksaan)
5. Peredaran (Umum, Penyaluran, Penyerahan)
6. Label dan Publikasi
Materi Muatan / 7. Prekursor Narkotika (Tujuan Pengaturan, Penggolongan dan
Aspek yang Diatur Jenis Prekursor Narkotika, Rencana Kebutuhan Tahunan,
Pengadaan)
8. Pengobatan dan Rehabilitasi (Pengobatan, Rehabilitasi)
9. Pembinaan dan Pengawasan
10. Pencegahan dan Pemberantasan (Kedudukan dan Tempat
Kedudukan, Pengangkatan dan Pemberhentian, Tugas dan
Wewenang)
11. Penyidikan, Penuntutan, dan Pemeriksaan di sidang Pengadilan
12. Peran serta Masyarakat
13. Penghargaan
14. Ketentuan Pidana

Materi Farmasi 1. Dasar, Asas dan Tujuan


2. Ruang Lingkup
3. Pengadaan (Rencana Kebutuhan Tahunan, Produksi, Narkotika
untuk IPTEK, Penyimpanan dan Pelaporan, )
4. Impor dan Ekspor (Izin Khusus dan Surat Persetujuan Impor,
Izin Khusus dan Surat Persetujuan Ekspor, Pengangkutan,
Transito, Pemeriksaan)
5. Peredaran (Umum, Penyaluran, Penyerahan)
6. Label dan Publikasi
7. Prekursor Narkotika (Tujuan Pengaturan, Penggolongan dan
Jenis Prekursor Narkotika, Rencana Kebutuhan Tahunan,
Pengadaan)
8. Pengobatan dan Rehabilitasi (Pengobatan, Rehabilitasi)
9. Pembinaan dan Pengawasan
10. Pencegahan dan Pemberantasan (Kedudukan dan Tempat
Kedudukan, Pengangkatan dan Pemberhentian, Tugas dan
Wewenang)
11. Penyidikan, Penuntutan, dan Pemeriksaan di sidang Pengadilan
12. Peran serta Masyarakat
13. Penghargaan
14. Ketentuan Pidana
Pasal 111
Sanksi 1. Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hokum menanam,
memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau
menyediakan Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman,
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun
dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling
sedikit Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).
2. Dalam hal perbuatan menanam, memelihara, memiliki,
menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika
Golongan I dalam bentuk tanaman sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5
(lima) batang pohon, pelaku dipidana dengan pidana penjara
seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun
dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda
maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3
(sepertiga).

Pasal 112
1. Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hokum memiliki,
menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika
Golongan I bukan tanaman, dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas)
tahun dan pidana denda paling sedikit Rp800.000.000,00
(delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).
2. Dalam hal perbuatan memiliki, menyimpan, menguasai, atau
menyediakan Narkotika Golongan I bukan tanaman
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5
(lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana penjara seumur
hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan
paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).

Pasal 113
1. Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hokum
memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan
Narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun
dan pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu
miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00
(sepuluh miliar rupiah).
2. Dalam hal perbuatan memproduksi, mengimpor, mengekspor,
atau menyalurkan Narkotika Golongan I sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dalam bentuk tanaman beratnya
melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon
atau dalam bentuk bukan tanaman beratnya melebihi 5 (lima)
gram, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara
seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun
dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda
maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3
(sepertiga).

Pasal 114
1. Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hokum menawarkan
untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara
dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika
Golongan I, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau
pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20
(dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
2. Dalam hal perbuatan menawarkan untuk dijual, menjual,
membeli, menjadi perantara dalam jual beli, menukar,
menyerahkan, atau menerima Narkotika Golongan I dimaksud
pada ayat (1) yang dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 1
(satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon atau dalam
bentuk bukan tanaman beratnya 5 (lima) gram, pelaku dipidana
dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana
penjara paling singkat 6 (enam) tahun dan paling lama 20 (dua
puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).

Pasal 115
1. Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hokum membawa,
mengirim, mengangkut, atau mentransito Narkotika Golongan
I, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat)
tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda
paling sedikit Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan
paling banyak Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).
2. Dalam hal perbuatan membawa, mengirim, mengangkut, atau
mentransito Narkotika Golongan I sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 1 (satu)
kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon beratnya
melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana penjara
seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun
dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda
maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3
(sepertiga).

Pasal 116
1. Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hokum
menggunakan Narkotika Golongan I terhadap orang lain atau
memberikan Narkotika Golongan I untuk digunakan orang lain,
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun
dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling
sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling
banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
2. Dalam hal penggunaan narkotika terhadap orang lain atau
pemberian Narkotika Golongan I untuk digunakan orang lain
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang lain
mati atau cacat permanen, pelaku dipidana dengan pidana mati,
pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling
singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun
dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) ditambah 1/3 (sepertiga).

Pasal 117
1. Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hokum memiliki,
menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika
Golongan II, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3
(tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana
denda paling sedikit Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah)
dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
2. Dalam hal perbuatan memiliki, menyimpan, menguasai,
menyediakan Narkotika Golongan II sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling
lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda maksimum
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).

Pasal 118
1. Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hokum
memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan
Narkotika Golongan II, dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun
dan pidana denda paling sedikit Rp800.000.000,00 (delapan
ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp8.000.000.000,00
(delapan miliar rupiah).
2. Dalam hal perbuatan memproduksi, mengimpor, mengekspor,
atau menyalurkan Narkotika Golongan II sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram,
pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur
hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan
paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).

Pasal 119
1. Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hokum menawarkan
untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara
dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika
Golongan II, dipidana dengan penjara paling singkat 4 (empat)
tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda
paling sedikit Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan
paling banyak Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).
2. Dalam hal perbuatan menawarkan untuk dijual, menjual,
membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli,
menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan II
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5
(lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana
penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5
(lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana
denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditambah 1/3 (sepertiga).

Pasal 120
1. Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hokum membawa,
mengirim, mengangkut, atau mentransito Narkotika Golongan
II, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun
dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling
sedikit Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
2. Dalam hal perbuatan membawa, mengirim, mengangkut, atau
mentransito Narkotika Golongan II sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram maka pelaku
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun
dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda
maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3
(sepertiga).

Pasal 121
1. Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hokum
menggunakan Narkotika Golongan II terhadap orang lain atau
memberikan Narkotika Golongan II untuk digunakan orang
lain, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat)
tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda
paling sedikit Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan
paling banyak Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).
2. Dalam hal penggunaan Narkotika terhadap orang lain atau
pemberian Narkotika Golongan II untuk digunakan orang lain
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang lain
mati atau cacat permanen, pelaku dipidana dengan pidana mati,
pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling
singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun
dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) ditambah 1/3 (sepertiga).

Pasal 122
1. Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hokum memiliki,
menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika
Golongan III, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2
(dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda
paling sedikit Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah) dan
paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
2. Dalam hal perbuatan memiliki, menyimpan, menguasai,
menyediakan Narkotika Golongan III sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling
lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda maksimum
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).

Pasal 123
1. Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hokum
memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan
Narkotika Golongan III, dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan
pidana denda paling sedikit Rp600.000.000,00 (enam ratus juta
rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar
rupiah).
2. Dalam hal perbuatan memproduksi, mengimpor, mengekspor,
atau menyalurkan Narkotika Golongan III sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram,
pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima)
tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda
maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3
(sepertiga).

Pasal 124
1. Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hokum menawarkan
untuk dijual, menjual, membeli, menerima, perantara dalam
jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan III,
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun
dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling
sedikit Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
2. Dalam hal perbuatan menawarkan untuk dijual, menjual,
membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli,
menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan III
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5
(lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun
dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) ditambah 1/3 (sepertiga).

Pasal 125
1. Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hokum membawa,
mengirim, mengangkut, atau mentransito Narkotika Golongan
III, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua)
tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling
sedikit Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
2. Dalam hal perbuatan membawa, mengirim, mengangkut, atau
mentransito Narkotika Golongan III sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram maka pelaku
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun
dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda
maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3
(sepertiga).

Pasal 126
1. Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hokum
menggunakan Narkotika Golongan III terhadap orang lain atau
memberikan Narkotika Golongan III untuk digunakan orang
lain, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga)
tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda
paling sedikit Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) dan
paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
2. Dalam hal penggunaan Narkotika terhadap orang lain atau
pemberian Narkotika Golongan III untuk digunakan orang lain
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang lain
mati atau cacat permanen, pelaku dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima
belas) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).

Pasal 127
1. Setiap Penyalah Guna:
a. Narkotika Golongan I bagi diri sendiri dipidana dengan
pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun;
b. Narkotika Golongan II bagi diri sendiri dipidana dengan
pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun; dan
c. Narkotika Golongan III bagi diri sendiri dipidana
dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun.
2. Dalam memutus perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
hakim wajib memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 54, Pasal 55, dan Pasal 103.
3. Dalam hal Penyalah Guna sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat dibuktikan atau terbukti sebagai korban penyalahgunaan
Narkotika, Penyalah Guna tersebut wajib menjalani rehabilitasi
medis dan rehabilitasi sosial.
Pasal 128
1. Orang tua atau wali dari pecandu yang belum cukup umur,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) yang sengaja
tidak melapor, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6
(enam) bulan atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000,00
(satu juta rupiah).
2. Pecandu Narkotika yang belum cukup umur dan telah
dilaporkan oleh orang tua atau walinya sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 55 ayat (1) tidak dituntut pidana.
3. Pecandu Narkotika yang telah cukup umur sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 55 ayat (2) yang sedang menjalani
rehabilitasi medis 2 (dua) kali masa perawatan dokter di rumah
sakit dan/atau lembaga rehabilitasi medis yang ditunjuk oleh
pemerintah tidak dituntut pidana.
4. Rumah sakit dan/atau lembaga rehabilitasi medis sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) harus memenuhi standar kesehatan
yang ditetapkan oleh Menteri.

Pasal 129
1. Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun
dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) setiap orang yang
tanpa hak atau melawan hukum:
a. memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan
Prekursor Narkotika untuk pembuatan Narkotika;
b. memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau
menyalurkan Prekursor Narkotika untuk pembuatan
Narkotika;
c. menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima,
menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau
menyerahkan Prekursor Narkotika untuk pembuatan
Narkotika;
d. membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito
Prekursor Narkotika untuk pembuatan Narkotika.

Pasal 130
1. Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal
111, Pasal 112, Pasal 113, Pasal 114, Pasal 115, Pasal 116,
Pasal 117, Pasal 118, Pasal 119, Pasal 120, Pasal 121, Pasal
122, Pasal 123, Pasal 124, Pasal 125, Pasal 126, dan Pasal 129
dilakukan oleh korporasi, selain pidana penjara dan denda
terhadap pengurusnya, pidana yang dapat dijatuhkan terhadap
korporasi berupa pidana denda dengan pemberatan 3 (tiga) kali
dari pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal-Pasal
tersebut.
2. Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
korporasi dapat dijatuhi pidana tambahan berupa:
a. pencabutan izin usaha; dan/atau
b. pencabutan status badan hukum.
Pasal 131
1. Setiap orang yang dengan sengaja tidak melaporkan adanya
tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111, Pasal
112, Pasal 113, Pasal 114, Pasal 115, Pasal 116, Pasal 117,
Pasal 118, Pasal 119, Pasal 120, Pasal 121, Pasal 122, Pasal
123, Pasal 124, Pasal 125, Pasal 126, Pasal 127 ayat (1), Pasal
128 ayat (1), dan Pasal 129 dipidana dengan pidana penjara
paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak
Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).

Pasal 132
1. Percobaan atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak
pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 111, Pasal 112, Pasal 113, Pasal 114,
Pasal 115, Pasal 116, Pasal 117, Pasal 118, Pasal 119, Pasal
120, Pasal 121, Pasal 122, Pasal 123, Pasal 124, Pasal 125,
Pasal 126, dan Pasal 129, pelakunya dipidana dengan pidana
penjara yang sama sesuai dengan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal-Pasal tersebut.
2. Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111,
Pasal 112, Pasal 113, Pasal 114, Pasal 115, Pasal 116, Pasal
117, Pasal 118, Pasal 119, Pasal 120, Pasal 121, Pasal 122,
Pasal 123, Pasal 124, Pasal 125, Pasal 126, dan Pasal 129
dilakukan secara terorganisasi, pidana penjara dan pidana
denda maksimumnya ditambah 1/3 (sepertiga).
3. Pemberatan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak
berlaku bagi tindak pidana yang diancam dengan pidana mati,
pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara 20 (dua
puluh) tahun.

Pasal 133
1. Setiap orang yang menyuruh, memberi atau menjanjikan
sesuatu, memberikan kesempatan, menganjurkan, memberikan
kemudahan, memaksa dengan ancaman, memaksa dengan
kekerasan, melakukan tipu muslihat, atau membujuk anak yang
belum cukup umur untuk melakukan tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111, Pasal 112, Pasal 113,
Pasal 114, Pasal 115, Pasal 116, Pasal 117, Pasal 118, Pasal
119, Pasal 120, Pasal 121, Pasal 122, Pasal 123, Pasal 124,
Pasal 125, Pasal 126, dan Pasal 129 dipidana dengan pidana
mati atau pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara
paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh)
tahun dan pidana denda paling sedikit Rp2.000.000.000,00 (dua
miliar rupiah) dan paling banyak Rp20.000.000.000,00 (dua
puluh miliar rupiah).
2. Setiap orang yang menyuruh, memberi atau menjanjikan
sesuatu, memberikan kesempatan, menganjurkan, memberikan
kemudahan, memaksa dengan ancaman, memaksa dengan
kekerasan, melakukan tipu muslihat, atau membujuk anak yang
belum cukup umur untuk menggunakan Narkotika, dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling
lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

Pasal 134
1. Pecandu Narkotika yang sudah cukup umur dan dengan sengaja
tidak melaporkan diri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55
ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam)
bulan atau pidana denda paling banyak Rp2.000.000,00 (dua
juta rupiah).
2. Keluarga dari Pecandu Narkotika sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) yang dengan sengaja tidak melaporkan Pecandu
Narkotika tersebut dipidana dengan pidana kurungan paling
lama 3 (tiga) bulan atau pidana denda paling banyak
Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah).

Pasal 135
Pengurus Industri Farmasi yang tidak melaksanakan kewajiban
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45, dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun
dan pidana denda paling sedikit Rp40.000.000,00 (empat puluh juta
rupiah) dan paling banyak Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).

Pasal 136
Narkotika dan Prekursor Narkotika serta hasil-hasil yang diperoleh dari
tindak pidana Narkotika dan/atau tindak pidana Prekursor Narkotika,
baik berupa aset dalam bentuk benda bergerak maupun tidak bergerak,
berwujud atau tidak berwujud serta barang-barang atau peralatan yang
digunakan untuk melakukan tindak pidana Narkotika dan tindak pidana
Prekursor Narkotika dirampas untuk negara.

Pasal 137
Setiap orang yang:
a. menempatkan, membayarkan atau membelanjakan, menitipkan,
menukarkan, menyembunyikan atau menyamarkan,
menginvestasikan, menyimpan, menghibahkan, mewariskan,
dan/atau mentransfer uang, harta, dan benda atau aset baik
dalam bentuk benda bergerak maupun tidak bergerak, berwujud
atau tidak berwujud yang berasal dari tindak pidana Narkotika
dan/atau tindak pidana Prekursor Narkotika, dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15
(lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah);
b. menerima penempatan, pembayaran atau pembelanjaan,
penitipan, penukaran, penyembunyian atau penyamaran
investasi, simpanan atau transfer, hibah, waris, harta atau uang,
benda atau aset baik dalam bentuk benda bergerak maupun
tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud yang
diketahuinya berasal dari tindak pidana Narkotika dan/atau
tindak pidana Prekursor Narkotika, dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10
(sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

Pasal 138
Setiap orang yang menghalang-halangi atau mempersulit penyidikan
serta penuntutan dan pemeriksaan perkara tindak pidana Narkotika
dan/atau tindak pidana Prekursor Narkotika di muka sidang
pengadilan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh)
tahun dan pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus
juta rupiah).

Pasal 139
Nakhoda atau kapten penerbang yang secara melawan hokum tidak
melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 atau
Pasal 28 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun
dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit
Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Pasal 140
1. Penyidik pegawai negeri sipil yang secara melawan hokum
tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 88 dan Pasal 89 dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan
pidana denda paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta
rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah).
2. Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia dan penyidik
BNN yang tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 87, Pasal 89, Pasal 90, Pasal 91 ayat (2)
dan ayat (3), dan Pasal 92 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat
(4) dikenai pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pasal 141
Kepala kejaksaan negeri yang secara melawan hukum tidak
melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 ayat
(1), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan
paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit
Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Pasal 142
Petugas laboratorium yang memalsukan hasil pengujian atau secara
melawan hukum tidak melaksanakan kewajiban melaporkan hasil
pengujiannya kepada penyidik atau penuntut umum, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling
banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Pasal 143
Saksi yang memberi keterangan tidak benar dalam pemeriksaan
perkara tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika di muka
sidang pengadilan, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1
(satu) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda
paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) dan paling
banyak Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).

Pasal 144
1. Setiap orang yang dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun
melakukan pengulangan tindak pidana sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 111, Pasal 112, Pasal 113, Pasal 114, Pasal 115,
Pasal 116, Pasal 117, Pasal 118, Pasal 119, Pasal 120, Pasal
121, Pasal 122, Pasal 123, Pasal 124, Pasal 125, Pasal 126,
Pasal 127 ayat (1), Pasal 128 ayat (1), dan Pasal 129 pidana
maksimumnya ditambah dengan 1/3 (sepertiga).
2. Ancaman dengan tambahan 1/3 (sepertiga) sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi pelaku tindak pidana
yang dijatuhi dengan pidana mati, pidana penjara seumur
hidup, atau pidana penjara 20 (dua puluh) tahun.

Pasal 145
Setiap orang yang melakukan tindak pidana Narkotika dan/atau tindak
pidana Prekursor Narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111,
Pasal 112, Pasal 113, Pasal 114, Pasal 115, Pasal 116, Pasal 117, Pasal
118, Pasal 119, Pasal 120, Pasal 121, Pasal 122, Pasal 123, Pasal 124,
Pasal 125, Pasal 126, Pasal 127 ayat (1), Pasal 128 ayat (1), dan Pasal
129 di luar wilayah Negara Republik Indonesia diberlakukan juga
ketentuan Undang-Undang ini.

Pasal 146
1. Terhadap warga negara asing yang melakukan tindak pidana
Narkotika dan/atau tindak pidana Prekursor Narkotika dan telah
menjalani pidananya sebagaimana diatur dalam Undang-
Undang ini, dilakukan pengusiran keluar wilayah Negara
Republik Indonesia.
2. Warga negara asing yang telah diusir sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilarang masuk kembali ke wilayah Negara
Republik Indonesia.
3. Warga negara asing yang pernah melakukan tindak pidana
Narkotika dan/atau tindak pidana Prekursor Narkotika di luar
negeri, dilarang memasuki wilayah Negara Republik Indonesia.

Pasal 147
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan
paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit
Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah), bagi:
a. pimpinan rumah sakit, pusat kesehatan masyarakat, balai
pengobatan, sarana penyimpanan sediaan farmasi milik
pemerintah, dan apotek yang mengedarkan Narkotika Golongan
II dan III bukan untuk kepentingan pelayanan kesehatan;
b. pimpinan lembaga ilmu pengetahuan yang menanam, membeli,
menyimpan, atau menguasai tanaman Narkotika bukan untuk
kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan;
c. pimpinan Industri Farmasi tertentu yang memproduksi
Narkotika Golongan I bukan untuk kepentingan pengembangan
ilmu pengetahuan; atau
d. pimpinan pedagang besar farmasi yang mengedarkan Narkotika
Golongan I yang bukan untuk kepentingan pengembangan ilmu
pengetahuan atau mengedarkan Narkotika Golongan II dan III
bukan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau bukan
untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan.

Pasal 148
Apabila putusan pidana denda sebagaimana diatur dalam Undang-
Undang ini tidak dapat dibayar oleh pelaku tindak pidana Narkotika
dan tindak pidana Prekursor Narkotika, pelaku dijatuhi pidana penjara
paling lama 2 (dua) tahun sebagai pengganti pidana denda yang tidak
dapat dibayar.

Pasal 149
a. Badan Narkotika Nasional yang dibentuk berdasarkan
Aturan Peralihan / Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2007 tentang Badan
Penutup Narkotika Nasional, Badan Narkotika provinsi, dan Badan
Narkotika kabupaten/kota, dinyatakan sebagai BNN, BNN
provinsi, dan BNN kabupaten/kota berdasarkan Undang-
Undang ini;
b. Kepala Pelaksana Harian BNN untuk pertama kali ditetapkan
sebagai Kepala BNN berdasarkan Undang- Undang ini;
c. Pejabat dan pegawai di lingkungan Badan Narkotika Nasional
yang ditetapkan berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 83
Tahun 2007 adalah pejabat dan pegawai BNN Undang-Undang
ini;
d. dalam waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak Undang-Undang
ini diundangkan, struktur organisasi dan tata kerja Badan
Narkotika Nasional yang dibentuk berdasarkan Peraturan
Presiden Nomor 83 Tahun 2007 harus sudah disesuaikan
dengan Undang-Undang ini;
e. dalam waktu paling lama 1 (satu) tahun sejak Undang- Undang
ini diundangkan, struktur organisasi dan tata kerja BNN
provinsi dan BNN kabupaten/kota yang dibentuk berdasarkan
Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2007 sudah disesuaikan
dengan Undang-Undang ini.

Pasal 150
Program dan kegiatan Badan Narkotika Nasional yang dibentuk
berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2007 yang telah
dilaksanakan tetapi belum selesai, masih tetap dapat dijalankan sampai
dengan selesainya program dan kegiatan dimaksud termasuk dukungan
anggarannya.

Pasal 151
Seluruh aset Badan Narkotika Nasional yang dibentuk berdasarkan
Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2007, baik yang berada di BNN
provinsi, maupun di BNN kabupaten/kota dinyatakan sebagai aset
BNN berdasarkan Undang-Undang ini.

Penutup
Pasal 152
Semua peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan
pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang
Narkotika (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor
67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3698)
pada saat Undang-Undang ini diundangkan, masih tetap berlaku
sepanjang tidak bertentangan dan/atau belum diganti dengan peraturan
baru berdasarkan Undang-Undang ini.

Pasal 153
Dengan berlakunya Undang-Undang ini:
a. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 67,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3698); dan
b. Lampiran mengenai jenis Psikotropika Golongan I dan
Golongan II sebagaimana tercantum dalam Lampiran Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 10, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3671) yang telah
dipindahkan menjadi Narkotika Golongan I menurut Undang-
Undang ini, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 154
Peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini harus telah ditetapkan
paling lambat 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan.

Pasal 155
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

ANATOMI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR


44 TAHUN 2009
ASPEK UU REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2009
Judul Rumah Sakit
Latar 1. bahwa pelayanan kesehatan merupakan hak setiap orang yang
Belakang / dijamin dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Alasan Tahun 1945 yang harus diwujudkan dengan upaya peningkatan
Diterbitkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya;
2. bahwa Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan bagi
masyarakat dengan karakteristik tersendiri yang dipengaruhi oleh
perkembangan ilmu pengetahuan kesehatan, kemajuan teknologi,
dan kehidupan sosial ekonomi masyarakat yang harus tetap mampu
meningkatkan pelayanan yang lebih bermutu dan terjangkau oleh
masyarakat agar terwujud derajat kesehatan yang setinggi-
tingginya;
3. bahwa dalam rangka peningkatan mutu dan jangkauan pelayanan
Rumah Sakit serta pengaturan hak dan kewajiban masyarakat dalam
memperoleh pelayanan kesehatan, perlu mengatur Rumah Sakit
dengan Undang-Undang;
4. bahwa pengaturan mengenai rumah sakit belum cukup memadai
untuk dijadikan landasan hukum dalam penyelenggaraan rumah
sakit sebagai institusi pelayanan kesehatan bagi masyarakat;
5. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam
huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d serta untuk memberikan
kepastian hukum bagi masyarakat dan Rumah Sakit, perlu
membentuk UndangUndang tentang Rumah Sakit.
Dasar Hukum Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, Pasal 28H ayat (1), dan Pasal 34 ayat (3)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Ketentuan Definisi : Rumah Sakit, Gawat Darurat, Pelayanan Kesehatan
Umum Paripurna, Pasien, Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Menteri
Tujuan 1. Mempermudah akses masyarakat untuk mendapatkan pelayanan
kesehatan;
2. Memberikan perlindungan terhadap keselamatan pasien,
masyarakat, lingkungan rumah sakit dan sumber daya manusia
di rumah sakit;
3. Meningkatkan mutu dan mempertahankan standar pelayanan
rumah sakit; dan
4. Memberikan kepastian hukum kepada pasien, masyarakat,
sumber daya manusia rumah sakit, dan Rumah Sakit.
Materi 1. Tugas dan Fungsi
Muatan / Aspek 2. Tanggung Jawab Pemerintah dan Pemerintah Daerah
yang Diatur 3. Persyaratan (Lokasi, banguan, Prasarana, Sumber daya
manusia, Kefarmasian dan Peralatan)
4. Jenis dan Klasifikasi (Berdasarkan jenis pelayanan yang
diberikan, Rumah Sakit dikategorikan dalam Rumah Sakit
Umum dan Rumah Sakit Khusus)
5. Perizinan
6. Kewajiban dan Hak (Kewajiban, Hak Rumah Sakit, Kewajiban
Pasien, Hak Pasien)
7. Penyelenggaraan (Pengorganisasian, Pengelolaan Klinik,
Akreditasi, Jejaring dan Sistem Rujukan, Keselamatan Pasien,
Perlindungan Hukum Rumah Sakit, Tanggung jawab Hukum,
Bentuk)
8. Pembiayaan
9. Pencataan dan Pelaporan
10. Pembinaan dan pengawasan (Dewan Pengawas Rumah Sakit,
Badan Pengawas Rumah Sakit Indonesia,)
11. Ketentuaan Pidana
Materi Farmasi 1. Persyaratan kefarmasian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7
ayat (1) harus menjamin ketersediaan sediaan farmasi dan alat
kesehatan yang bermutu, bermanfaat, aman dan terjangkau.
2. Pelayanan sediaan farmasi di Rumah Sakit harus mengikuti
standar pelayanan kefarmasian.
3. Pengelolaan alat kesehatan, sediaan farmasi, dan bahan habis
pakai di Rumah Sakit harus dilakukan oleh Instalasi farmasi
sistem satu pintu.
4. Besaran harga perbekalan farmasi pada instalasi farmasi Rumah
Sakit harus wajar dan berpatokan kepada harga patokan yang
ditetapkan Pemerintah.
5. Ketentuan lebih lanjut mengenai standar pelayanan kefarmasian
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan
Menteri
Sanksi 1. Setiap orang yang dengan sengaja menyelenggarakan Rumah
Sakit tidak memiliki izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25
ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua)
tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00- (lima
milyar rupiah)
2. Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
korporasi dapat dijatuhi pidana tambahan berupa:
a. pencabutan izin usaha; dan/atau
b. pencabutan status badan hukum
Aturan 1. Pada saat Undang-Undang ini berlaku, semua Rumah Sakit
Peralihan / yang sudah ada harus menyesuaikan dengan ketentuan yang
Penutup berlaku dalam UndangUndang ini, paling lambat dalam jangka
waktu 2 (dua) tahun setelah Undang-Undang ini
diundangkan.
2. Pada saat undang-undang ini berlaku, Izin penyelenggaraan
Rumah Sakit yang telah ada tetap berlaku sampai habis masa
berlakunya.

ANATOMI UNDANG-UNDANG NO. 36 TAHUN 2014


ASPEK UU 36 TAHUN 2014
Judul TENAGA KESEHATAN
Latar Belakang / Alasan tenaga kesehatan memiliki peranan penting untuk
Diterbitkan meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan yang maksimal
kepada masyarakat agar masyarakat mampu untuk
meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup
sehat sehingga akan terwujud derajat kesehatan yang setinggi-
tingginya sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya
manusia yang produktif secara sosial dan ekonomi serta
sebagai salah satu unsur kesejahteraan umum sebagaimana
dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945
Dasar Hukum 1.
Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, Pasal 28H ayat (1), dan Pasal 34
ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
Ketentuan Umum Definisi : Tenaga Kesehatan, Asisten Tenaga Kesehatan,
Fasilitas Pelayanan Kesehatan, Upaya Kesehatan, Kompetensi,
Uji Kompetensi, Sertifikat Kompetensi, Sertifikat Profesi,
Registrasi, Surat Tanda Registrasi, Surat Izin Praktik, Standar
Profesi, Standar Pelayanan Profesi, Standar Prosedur
Operasional, Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia, Organisasi
Profesi, Kolegium masing-masing Tenaga Kesehatan, Penerima
Pelayanan Kesehatan,
Tujuan 1. memenuhi kebutuhan masyarakat akan Tenaga Kesehatan;
2. mendayagunakan Tenaga Kesehatan sesuai dengan
kebutuhan masyarakat;
3. memberikan pelindungan kepada masyarakat dalam
menerima penyelenggaraan Upaya Kesehatan;
4. mempertahankan dan meningkatkan mutu
penyelenggaraan Upaya Kesehatan yang diberikan oleh
Tenaga Kesehatan;
5. memberikan kepastian hukum kepada masyarakat dan
Tenaga Kesehatan.
Materi Muatan / Aspek 1. Tanggung Jawab dan Wewenang Pemerintah dan
yang Diatur Pemerintah Daerah
2. Kualifikasi dan Pengelompokan Tenaga Kesehatan
3. Perencanaan, Pengadaan dan Pendayagunaan
4. Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia
5. Registrasi dan Perizinan Tenaga Kesehatan (registrasi,
perizinan, pembinaan praktik, penegakan disiplin tenaga
kesehatan)
6. Organisasi Profesi
7. Tenaga Kesehatan WNI Lulusan Luar Negeri dan Tenaga
Kesehatan WNA
8. Hak dan Kewajiban Tenaga Kesehatan
9. Penyelanggaraan Keprofesian (kewenangan; pelimpahan
tindakan; standar profesi, standar pelayanan profesi dan
standar prosedur operasional; persetujuan tindakan
tenaga kesehatan; rekam medis; rahasia kesehatan
penerima pelayanan kesehatan; perlindungan bagi tenaga
kesehatan dan penerima pelayanan kesehatan)
10. Penyelesaian Perselisihan
11. Pembinaan dan Pengawasan
12. Sanksi Administratif
13. Ketentuan Pidana
Materi Farmasi Tenaga Kefarmasian, Tenaga Teknis Kefarmasian, Pekerjaan
Kefarmasian, Apoteker, Komite Farmasi Nasional, Sarjana
Farmasi, Ahli Madya Farmasi, Analis Farmasi, Pelayanan
Kefarmasian
Sanksi 1. teguran lisan;
2. peringatan tertulis;
3. denda administratif;
4. pencabutan izin.
Aturan Peralihan / 1. Bukti Registrasi dan perizinan Tenaga Kesehatan yang
Penutup telah dimiliki oleh Tenaga Kesehatan, pada saat
berlakunya Undang-Undang ini, dinyatakan masih tetap
berlaku sampai habis masa berlakunya.
2. Tenaga Kesehatan yang belum memiliki bukti Registrasi
dan perizinan wajib menyesuaikan dengan ketentuan
Undang-Undang ini paling lama 2 (dua) tahun sejak
Undang-Undang ini diundangkan.
3. Tenaga Kesehatan lulusan pendidikan di bawah Diploma
Tiga yang telah melakukan praktik sebelum ditetapkan
Undang-Undang ini, tetap diberikan kewenangan untuk
menjalankan praktik sebagai Tenaga Kesehatan untuk
jangka waktu 6 (enam) tahun setelah Undang-Undang ini
diundangkan.
4. Kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
diperoleh dengan mengajukan permohonan mendapatkan
STR Tenaga Kesehatan.
5. Majelis Tenaga Kesehatan Indonesia dan Komite Farmasi
Nasional sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-
undangan tetap melaksanakan fungsi, tugas, dan
wewenangnya sampai terbentuknya Konsil Tenaga
Kesehatan Indonesia.
6. Peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang ini harus
ditetapkan paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak
Undang-Undang ini diundangkan.
ANATOMI UNDANG-UNDANG NO. 32 TAHUN 2004

ASPEK UU 32 TAHUN 2004


Judul PEMERINTAHAN DAERAH
Latar belakang/Alasan 1. Perintah UUD 1945
Diterbitkan 2. Belum adanya efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintah
daerah
3. UU No 22 tahun 199 tentang Pemerintah Daerah tidak sesuai

Dasar Hukum 1. UUD 1945 pasal 1, 4, 5, 18, 18A, 18B, 20, 21, 22D, 23E ayat 2,
24A ayat 1, 31 ayat 4, 33, dan 34
2. UU No 28 tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih
dan Bebas dari KKN
3. UU No 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara
4. UU No 22 tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR,
DPD dan DPRD
5. UU No 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara
6. UU No 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Per-UU
7. UU No 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan
Tanggung Jawab Keuangan Negara
Tujuan 1. Pelaksanaan UUD 1945
2. Mewujudkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintah
daerah
Materi Muatan / Aspek Menimbang, mengingat, tujuan, ketentuan umum, pembentukan
yang Diatur daerah dan kawasan khusus, pembagian urusan pemerintahan,
penyelenggaraan pemerintahan, kepegawaian daerah, peraturan daerah
dan peraturan kepala daerah, perencanaan pembangunan daerah,
keuangan daerah, kerja sama dan penyelesaian perselisihan, kawasan
perkotaan, desa, pembinaan dan pengawasan, pertimbangan dalam
kebijakan otonomi daerah, ketentuan lain-lain, ketentuan peralihan,
ketentuan penutup
Materi Farmasi Pembagian urusan pemerintahan (pasal 13 ayat 1, pasal 14 ayat 1),
penyelenggaraan pemerintahan (pasal 22), keuangan daerah (pasal 167)
(pemberian kewenangan untuk pelaksanaan daerah otonom dalam
peningkatan pelayanan kesehatan)

Sanksi Pidana dan Denda


Aturan Peralihan/ 1. Semua per-UU terkait dengan daerah otonom wajib menyesuaikan
Penutup 2. Semua per-UU terkait pemerintahan daerah tetap berlaku
sepanjang tidak bertentangan
3. UU No 32 tahun 2004 ditetapkan maksimal tahun 2006
4. UU No 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah tidak berlaku
5. UU No 32 tahun 2004 berlaku pada 15 Oktober 2004
ANATOMI
UNDANG-UNDANG NO. 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN

Aspek UU. No. 13 Tahun 2003


Judul Ketenagakerjaan
Latar Belakang / Alasan a. pembangunan nasional dilaksanakan dalam rangka
Diterbitkan pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan
pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya untuk
mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil,
makmur, yang merata, baik materiil maupun spiritual
berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. dalam pelaksanaan pembangunan nasional, tenaga
kerja mempunyai peranan dan kedudukan yang sangat
penting sebagai pelaku dan tujuan pembangunan;
c. bahwa sesuai dengan peranan dan kedudukan tenaga
kerja, diperlukan pembangunan ketenagakerjaan untuk
meningkatkan kualitas tenaga kerja dan peransertanya
dalam pembangunan serta peningkatan perlindungan
tenaga kerja dan keluarganya sesuai dengan harkat dan
martabat kemanusiaan;
d. bahwa perlindungan terhadap tenaga kerja
dimaksudkan untuk menjamin hak hak dasar
pekerja/buruh dan menjamin kesamaan kesempatan
serta perlakuan tanpa diskriminasi atas dasar apapun
untuk mewujudkan kesejahteraan pekerja/buruh dan
keluarganya dengan tetap memperhatikan
perkembangan kemajuan dunia usaha;
e. bahwa beberapa undang undang di bidang
ketenagakerjaan dipandang sudah tidak sesuai lagi
dengan kebutuhan dan tuntutan pembangunan
ketenagakerjaan, oleh karena itu perlu dicabut
dan/atau ditarik kembali;
f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
tersebut pada huruf a,b,c,d, dan e perlu membentuk
Undang-Undang tentang Ketenagakerjaan
Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (2), Pasal 27 ayat (2), Pasal 28,
Dasar Hukum dan Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945
Ketentuan Umum Definisi : Ketenagakerjaan, Tenaga Kerja, Pekerja/Buruh,
Pemberi Kerja, Pengusaha, Perusahaan, Perencanaan Tenaga
Kerja, Informasi Ketenagakerjaan, Pelatihan Kerja,
Kompetensi kerja, Pemagangan, Pelayanan Penampatan
Tenaga Kerja, Tenaga Kerja Asing, Perjanjian Kerja,
Hubungan Kerja, Hubungan Industrial, Serikat
Pekerja/Serikat Buruh, Lembaga Kerjasama Bipartit,
Lembaga Kerjasama Tripartit, Peraturan Perusahaan,
Perjanjian kerja, Perselisihan Hubungan Industrial, Mogok
Kerja, Penutupan Perusahaan, Pemutusan Hubungan Kerja,
Anak, Siang Hari, Satu Hari, Seminggu, Upah, Kesejateraan
Pekerja/Buruh, Pengawasan Ketenagakerjaan, Menteri.
a. memberdayakan dan mendayagunakan tenaga kerja
secara optimal dan manusiawi;
b. mewujudkan pemerataan kesempatan kerja dan
penyediaan tenaga kerja yang sesuai dengan
Tujuan kebutuhan pembangunan nasional dan daerah;
c. memberikan perlindungan kepada tenaga kerja dalam
mewujudkan kesejahteraan; dan
d. meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja dan
keluarganya.
Landasan, Asas, dan Tujuan, Kesempatan dan Perlakuan yang
Sama, Perencanaan Tenaga Kerja dan Informasi
Ketenagakerjaan, Pelatihan Kerja, Penempatan Tenaga Kerja,
Materi Muatan / Aspek Perluasan Kesempatan Kerja, Penggunaan Tenaga Kerja
yang Diatur Asing, Hubungan Kerja, Perlindungan, Pengupahan dan
Kesejahteraan, Hubungan Industrial, Pemutusan Hubungan
Kerja, Pembinaan, Pengawasan, Penyidikan, Sanksi dan
Pidana.

Materi Farmasi Definisi Tenaga kerja (Pasal 1), Pelatihan Kerja (Pasal 18).

Sanksi Pidana dan Denda


Aturan Peralihan / Ketentuan Peralihan
Penutup Semua peraturan pelaksanaan yang mengatur ketenagakerjaan
tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan/atau belum
diganti dengan peraturan yang baru berdasarkan Undang
undang ini.
Ketentuan Penutup
Pada saat mulai berlakunya Undang-Undang ini, maka :
1. Ordonansi tentang Pengerahan Orang Indonesia Untuk
Melakukan Pekerjaan Di Luar Indonesia (Staatsblad
Tahun 1887 Nomor 8);
2. Ordonansi tanggal 17 Desember 1925 Peraturan
tentang Pembatasan Kerja Anak Dan Kerja Malam
Bagi Wanita (Staatsblad Tahun 1925 Nomor 647);
3. Ordonansi Tahun 1926 Peraturan mengenai Kerja
Anak anak Dan Orang Muda Di Atas Kapal
(Staatsblad Tahun 1926 Nomor 87);
4. Ordonansi tanggal 4 Mei 1936 tentang Ordonansi
untuk Mengatur Kegiatan kegiatan Mencari Calon
Pekerja (Staatsblad Tahun 1936 Nomor 208);
5. Ordonansi tentang Pemulangan Buruh Yang Diterima
Atau Dikerahkan Dari Luar Indonesia (Staatsblad
Tahun 1939 Nomor 545);
6. Ordonansi Nomor 9 Tahun 1949 tentang Pembatasan
Kerja Anak anak (Staatsblad Tahun 1949 Nomor 8);
7. Undang undang Nomor 1 Tahun 1951 tentang
Pernyataan Berlakunya Undang undang Kerja Tahun
1948 Nomor 12 Dari Republik Indonesia Untuk
Seluruh Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1951
Nomor 2);
8. Undang undang Nomor 21 Tahun 1954 tentang
Perjanjian Perburuhan Antara Serikat Buruh Dan
Majikan;
9. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1958 tentang
Penempatan Tenaga Asing;
10. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1961 tentang Wajib
Kerja;
11. Undang undang Nomor 7 Pnps Tahun 1963 tentang
Pencegahan Pemogokan dan/atau Penutupan (Lock
Out) Di Perusahaan, Jawatan, dan Badan Yang Vital;
12. Undang undang Nomor 14 Tahun 1969 tentang
Ketentuan ketentuan Pokok Mengenai Tenaga Kerja;
13. Undang-undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang
Ketenagakerjaan;
14. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1998 tentang
Perubahan Berlakunya Undang-undang Nomor 25
Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan;
15. Undang-undang Nomor 28 Tahun 2000 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
undang Nomor 3 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas
Undang-undang Nomor 11 Tahun 1998 tentang
Perubahan Berlakunya Undang-undang Nomor 25
Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan Menjadi
Undang-undang, dinyatakan tidak berlaku lagi.
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

ANATOMI REGLEMENT DVG ST 1882 TAHUN 1949

Aspek REGLEMENT DVG ST 1882 TAHUN 1949


Judul Tentang Menjalankan Peracikan Obat
Latar Belakang -
Dasar Hukum -

Ketentuan Umum Definisi : Menjalankan Peracikan Obat

Tujuan Menjalankan peracikan obat yaitu pembuatan atau penyerahan obat-


obatan dengan maksud – maksud kesehatan.

Aspek yang diatur Peracikan obat, Penyimpanan obat, Pengeluaran obat di apotek,
Ketentuan pekerjaan asisten apoteker, Ketentuan-ketentuan
hukuman

Materi Farmasi Pelayanan obat, penyimpanan obat, Penyiapan obat dengan resep

Sanksi - Pelanggaran dari peraturan terhadap pasal 41a dan 42a


dihukum dengan denda uang setinggi-tingginya 100 gulden
- Jika pelanggaran terjadi dalam jangka waktu 2 tahun setelah
dijatuhi vonis untuk pelanggaran yang sama, dapat dikenakan
hukuman penjara setinggi-tingginya 1 tahun atau dengan uang
setinggi-tingginya 500 gulden.

Aturan Peralihan / Penutup Setiap orang yang pada saat berlakunya peraturan ini (1 maret 1933)
berwenang menjalankan praktek pengobatan, dalam arti sepenuhnya
atau sebahagian, atau berdasarkan ketentuan hukum mempunyai
wewenang memakai gelar tetap memegang wewenang ini
ANATOMI UU OBAT KERAS

(St. No. 419 tgl 22 desember 1949)

Aspek UU OBAT KERAS (St. No. 419 tgl 22 desember 1949)


Judul Tentang Ordonansi Obat keras
Latar Belakang Pasal 49 Reglement DVG

Dasar Hukum UUD 1945 pasal 5 ayat 2

Ketentuan Umum Definisi : Obat – obat keras, apoteker, dokter pemimpin apotek,
dokter – dokter, Dokter – dokter gigi, dokter – dokter hewan, Obat-
obatan G, obat-obatan W

Tujuan Penetapan kembali Undang – undang obat keras (St. 1937 No. 541)

Aspek yang diatur Ordonansi pasal I, pasal II, dan pasal III

Materi Farmasi Penyerahan, penawaran untuk persediaan obat – obat keras,


pemasukan, pengeluaran, pengangkutan obat – obat keras, Ijin
penjualan / pengedaran obat – obat keras

Sanksi Hukuman Penjara setinggi – tingginya 6 bulan atau denda uang


setinggi – tingginya 5000 gulden

Aturan Peralihan / Penutup Ordonansi ini mulai berlaku satu hari setelah pengumumannya (22
desember 1949)

Anda mungkin juga menyukai