Penerapan standar ini juga dimaksudkan untuk dapat memastikan bahwa produk,
proses atau jasa memenuhi serangkaian persyaratan yang akan menjamin kualitas
yang dihasilkan meskipun seringkali sulit diukur dan diobservasi (Lindlbauer, Schreyögg,
& Winter, 2016).
Standar adalah persyaratan teknis atau sesuatu yang dibakukan, termasuk tata cara
dan metode yang disusun berdasarkan konsensus semua pihak/pemerintah/keputusan
internasional yang terkait dengan memperhatikan syarat keselamatan, keamanan,
kesehatan, lingkungan hidup, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi,
pengalaman, serta perkembangan masa kini dan masa depan untuk memperoleh
manfaat yang sebesar-besarnya. Standar Nasional Indonesia yang selanjutnya disingkat
SNI adalah Standar yang ditetapkan oleh BSN dan berlaku di wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia (Sekretariat Negara, 2014).
Proses standardisasi teknologi dan cara-cara melakukan bisnis adalah kegiatan yang
rumit dan memakan waktu, tetapi sangat penting karena besarnya dampak terhadap
industri dan masyarakat (Shin, Kim, & Hwang, 2015)1.
Beberapa fungsi fisiologis yang diharapkan dari pangan fungsional antara lain adalah:
1
Kristiningrum, Ellia, Putty Anggraeni, Arini Widyastuti, dan Bety Wahyu Hapsari. 2019. PERANCANGAN KERANGKA KERJA
STANDAR PANGAN FUNGSIONAL UNTUK MEMBANTU PENYERAPAN KALSIUM. Jurnal Standardisasi. Vol 21(1). Hal; 19-30
2
Astawan M. 2011. PANGAN FUNGSIONAL UNTUK KESEHATAN YANG OPTIMAL. Fakultas Teknologi Pertanian IPB, Bogor.
Menurut para ilmuwan Jepang, beberapa persyaratan yang harus dimiliki oleh suatu
produk agar dapat dikatakan sebagai pangan fungsional adalah:
(1) Harus merupakan produk pangan (bukan berbentuk kapsul, tablet, atau bubuk) yang
berasal dari bahan (ingredien) alami,
(2) Dapat dan layak dikonsumsi sebagai bagian dari diet atau menu sehari-hari,
(3) Mempunyai fungsi tertentu pada saat dicerna, serta dapat memberikan peran dalam
proses tubuh tertentu, seperti: memperkuat mekanisme pertahanan tubuh, mencegah
penyakit tertentu, membantu mengembalikan kondisi tubuh setelah sakit tertentu,
menjaga kondisi fisik dan mental, serta memperlambat proses penuaan. Dari konsep
yang telah dikembangkan oleh para ilmuwan, jelaslah bahwa pangan fungsional tidak
sama dengan food supplement atau obat. Pangan fungsional dapat dikonsumsi tanpa
dosis tertentu, dapat dinikmati sebagaimana makanan pada umumnya, serta lezat dan
bergizi (Astawan, 2011).
Selain memiliki fungsi primer, bahan pangan sebaiknya juga memenuhi fungsi sekunder
yaitu memiliki penampakan dan cita rasa yang baik. Sebab, bagaimanapun tingginya
kandungan gizi suatu bahan pangan akan ditolak oleh konsumen bila penampakan dan
cita rasanya tidak menarik dan memenuhi selera konsumennya. Itulah sebabnya
kemasan dan cita rasa menjadi faktor penting dalam menentukan apakah suatu bahan
pangan akan diterima atau tidak oleh masyarakat konsumen.
4
Silalahi, Jansen. 2006. MAKANAN FUNGSIONAL. Yogyakarta: Penerbit Kani Sius
5
Dr. Ir. Tri Dewanti Widyaningsih, M. Kes, Novita Wijayanti, S. TP., MP, Nur Ida Panca Nugrahini, S. TP., MP. 2017. PANGAN
FUNGSIONAL. Malang: Universitas Brawijaya Press (UB Press).
•Pangan fungsional alami merupakan pangan fungsional yang sudah tersedia di alam
tanpa perlu pengolahan sama sekali. Contohnya buah-buahan dan sayur-sayuran segar
yang bisa langsung dimakan.
•Pangan fungsional tradisional merupakan pangan fungsional yang diolah secara
tradisional mengikuti cara pengolahan yang diturunkan dari satu generasi ke generasi
berikutnya.
3. Susu kedalai.
4. Susu dengan penambahan suplemen/vitamin.
5. Bumbu masak dari herbal pengganti MSG (Monosodium glutamat).